Randa Akuntabilitas Kepemimpinan dalam O
AKUNTABILITAS KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI KEAGAMAAN (Studi Etnografi Pada Sebuah Gereja Katolik Di Tana Toraja)
Oleh
Fransiskus Randa
(FE Universitas Atma Jaya Makassar)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap praktik akuntabilitas kepemimpinan pada organisasi Gereja Katolik dengan menggunakan paradigma interpretif dan metode etnograf pada sebuah komunitas Gereja lokal dengan informan utama adalah umat dan pemimpin Gereja setempat. Penelitian ini menemukan bahwa akuntabilitas kepemimpinan dalam organisasi Gereja adalah kepemimpinan yang melayani, namun di sisi lain organisasi Gereja yang sentralistik menjadi hambatan bagi pelaksanaan praktik tersebut, sehingga muncul desakan dari umat yang menginginkan kepemimpinan kolegial dan keterlibatan umat dalam proses pengambilan keputusan. Penelitian ini juga menemukan adanya perbedaan model pelayanan antara pemimpin pastor religius dan pemimpin pastor diosesan.
Kata Kunci: akuntabilitas, kepemimpinan, Gereja, Etnografi, Katolik, Tana Toraja
1. Pendahuluan
Menurut Sinclair (1995) akuntabilitas adalah tindakan individu atau kelompok untuk menjelaskan dan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Hal itu berarti akuntabilitas menjadi tanggung jawab individu maupun kelompok kepada para stakeholder. Desakan dari para stakeholder akan pentingnya pelaksanaan akuntabilitas dengan menjalankan prinsip-prinsip good governance yang meliputi transparansi, rasa keadilan di dalam setiap manajemen organisasi merupakan fenonema yang harus dicermati oleh setiap organisasi agar organisasi tersebut
dipercaya oleh para stakeholder. Dalam seminar akuntabilitas ORNOP 1
menyimpulkan bahwa akuntabilitas kepada stakeholder menjadi kebutuhan bagi setiap ORNOP jika ingin tetap mendapat kepercayaan dari mitranya.
1 Seminar tentang akuntabilitas ORNOP (Organisasi Non Pemerintah) yang diselenggarakan oleh LSM SMERU bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES) Jakarta dan Universitas Kristen
Duta Wacana, Yogyakarta
Organasisi Gereja sebagai salah satu organisasi publik non pemerintah pada bidang keagamaan, juga tidak luput dari berbagai kritik dan tuntutan agar Gereja terbuka dan melaksanakan praktik akuntabilitas. Selama ini organisasi Gereja dianggap tidak transparan dan tertutup terhadap praktik manajemen modern. Menurut Berry (2005), organisasi Gereja resisten terhadap praktik akuntabilitas karena kuatnya pengaruh para pemimpin dan tradisi dalam organisasi Gereja. Kondisi tersebut menyebabkan kasus-kasus penyelewengan dalam Gereja tidak banyak diketahui dan cenderung ditutup rapat-rapat agar tidak menjadi komsumsi publik (Rahardi, 2007). Dengan demikian menarik untuk dikaji guna membuka selubung praktik akuntabilitas kepemimpinan dalam Gereja Katolik.
Dalam Sejarah kepemimpinan Gereja Katolik ketika memasuki abad pertengahan terjadi pergeseran makna akuntabilitas dalam Gereja dari komunitas religius menjadi komunitas negara. Para pimpinan Gereja turut menjadi pemimpin negara sehingga pada setiap wilayah Gereja berdiri pusat-pusat teritorial Gereja yang ditandai dengan berdirinya gedung Gereja yang megah sebagai simbol kekuasaan dan kejayaan Gereja dan negara. Pimpinan Gereja lebih banyak sibuk mengurus aktivitas duniawi dan meninggalkan karya perutusan Gereja sesungguhnya. Kondisi tersebut menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pimpinan Gereja sendiri sehingga timbul gerakan reformasi yang dimotori oleh para pengikut Gereja Protestan.
Gerakan reformasi ini selanjutnya bagi Gereja Katolik juga menjadi pelajaran yang berharga sehingga Gereja Katolik sadar akan perutusan sesungguhnya dan mencoba untuk memperbaiki diri dengan melakukan gerakan kontra reformasi. Hasil dari kontra reformasi adalah Gereja Katolik tidak melibatkan diri dalam urusan negara, namun hirarki dalam Gereja Katolik tidak runtuh dan tetap eksis sampai sekarang. Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik universal membawahi para Uskup. Uskup kemudian menjadi pimpinan umat pada wilayah keuskupan tertentu yang dibantu oleh para pastor (imam) sebagai pemimpin umat pada suatu Gereja lokal (paroki). Kondisi tersebut menempatkan Gereja Katolik tetap sebagai organisasi yang Gerakan reformasi ini selanjutnya bagi Gereja Katolik juga menjadi pelajaran yang berharga sehingga Gereja Katolik sadar akan perutusan sesungguhnya dan mencoba untuk memperbaiki diri dengan melakukan gerakan kontra reformasi. Hasil dari kontra reformasi adalah Gereja Katolik tidak melibatkan diri dalam urusan negara, namun hirarki dalam Gereja Katolik tidak runtuh dan tetap eksis sampai sekarang. Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik universal membawahi para Uskup. Uskup kemudian menjadi pimpinan umat pada wilayah keuskupan tertentu yang dibantu oleh para pastor (imam) sebagai pemimpin umat pada suatu Gereja lokal (paroki). Kondisi tersebut menempatkan Gereja Katolik tetap sebagai organisasi yang
Pada sisi lain seiring dengan adanya tuntuan kemandirian, maka peran seluruh stakeholder dalam hidup menggereja harus ditingkatkan khususnya umat sebagai stakeholder utama. Peningkatan partispasi umat tersebut kemudian diikuti oleh kuatnya desakan dari stakeholder agar para pemimpin lebih akuntabel dalam mengelola organisasi Gereja.
Beberapa peneliti yang ingin memahami praktik akuntabiltas dan akuntasi dalam organisai Gereja seperti dilakukan oleh Laughlin (1988 1990) yang mencoba memahami praktik tersebut dalam organisasi Gereja-Gereja di Inggris dengan menggunakan pendekatan strukturasi. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat praktik akuntabilitas yang memadai antara jemaat, pemimpin Gereja (Imam), Dewan Gereja dan anggota kongregasi yang bernaung di bawah Gereja. Berbeda dengan penelitian Booth (1993) yang lebih mendalami praktik akuntabilitas pada tataran pemaknaan kata-kata “suci” dan “kudus” dalam pengelolaan keuangan Gereja. Booth (1993) merumuskan tiga unsur utama yang mempengaruhi penerapan akuntansi dan akuntabilitas dalam Gereja. Pertama, organisasi Gereja didominasi oleh doktrin suci dan konsep teologi yang berbeda-beda pada masing-masing aliran Gereja Protestan, sehingga ada resistensi terhadap penggunaan akuntansi dalam Gereja. Kedua, resistensi dilakukan oleh para pemimpin Gereja karena mereka mendominasi manajemen Gereja. Ketiga, resistensi juga muncul karena akuntansi dianggap sebagai media komunikasi yang dapat mengungkap kondisi riil apa yang ada dalam organisasi Gereja. Dalam konteks akuntabilitas dan pengendalian dalam Gereja, Berry (2005)
meneliti Gereja di Inggris sebagai salah satu organisasi yang expressive 2 . Penelitian
dilakukan dengan menjadi salah satu aktor yang terlibat langsung dalam proses penyusunan proposal pembiayaan bagi organisasi Gereja yang mengalami krisis keuangan. Dalam proses penyusunan proposal dengan para pemimpin Gereja
2 Organisasi Gereja disebut organisasi expressive karena perhatian utamanya pada kepercayaan dan jalan hidup pada suatu tokoh yaitu Yesus.
ditemukan bahwa organisasi Gereja sebagai organisasi yang expressive sulit menerima model akuntabilitas dari luar karena Gereja memiliki organisasi dan struktur yang sangat kompleks serta berbenturan dengan nilai-nilai tradisi dalam Gereja.
Penelitian ini di lakukan pada organisasi Gereja Katolik di daerah pedesaan yang mempunyai struktur organisasi yang sentralistik dan pyramidal sehingga dapat dibedakan dengan penelitian sebelumnya yang sebagian besar dilakukan pada organisasi Gereja protestan yang mempunyai otonomi masing-masing dalam dalam mengelola organisasi Gerejanya serta berlokasi di kota. Atas dasar tersebut, maka peneliti memilih salah satu Gereja Katolik di daerah Tana Toraja yaitu Paroki Makale. Gereja tersebut menjadi Gereja Katolik pertama di daerah Tana Toraja yang banyak berjuang dalam membangun organisasi khususnya karena hidup di tengah budaya yang masih tetap eksis.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan;“Bagaimana pemaknaan akuntabilitas kepemimpinan dalam organisasi Gereja Katolik?” Tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan dan memaknai praktik akuntabilitas kepemimpinan pada organisasi Gereja sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang konsep akuntabilitas kepemimpinan pada organisasi non profit khususnya lembaga keagamaan. Selain itu diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi konseptual tentang mekanisme akuntabilitas kepemimpinan dalam organisasi keagamaan.
2. Paradigma dan Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretif dan etnografi sebagai metode risetnya. Meskipun etnografi pada awalnya merupakan metode yang digunakan oleh antropologi yang terfokus pada pendeskripsian suatu budaya masyarakat primitif, namun dalam perkembangannya tidak lagi terbatas pada upaya mengungkap budaya masa lalu kelompok suku tertentu pada suatu wilayah tetapi berkembang masuk dalam bidang sosiologi dan dapat mengungkap kehidupan sosial masa kini (Molinowski dalam Spradley, 1997). Etnografi baru ini kemudian berkembang dan disebut etnografi aliran antropologi kognitif dan oleh Spradley dan Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretif dan etnografi sebagai metode risetnya. Meskipun etnografi pada awalnya merupakan metode yang digunakan oleh antropologi yang terfokus pada pendeskripsian suatu budaya masyarakat primitif, namun dalam perkembangannya tidak lagi terbatas pada upaya mengungkap budaya masa lalu kelompok suku tertentu pada suatu wilayah tetapi berkembang masuk dalam bidang sosiologi dan dapat mengungkap kehidupan sosial masa kini (Molinowski dalam Spradley, 1997). Etnografi baru ini kemudian berkembang dan disebut etnografi aliran antropologi kognitif dan oleh Spradley dan
Teknik pengumpulan data yang utama dalam hal ini adalah observasi partisipasi dan wawancara terbuka dan mendalam yang dilakukan dalam jangka waktu yang relatif lama, bukan kunjungan singkat dengan daftar pertanyaan yang terstruktur seperti pada 2kunjungan survei (Spradley, 1997: 157). Dengan demikian diharapkan dapat memperoleh hasil natural culture, integratif holism, in-depth studies analysis and chronology (Sarantakos, 1993; 264).
3. Hasil Penelitian
Memahami pelaksanaan tugas para pemimpin Gereja sebagai wujud akuntabilitas kepemimpinan mereka dalam organisasi Gereja tidak terlepas dari tokoh sentral yang dikagumi dan diteladani yaitu Yesus. Yesus dalam injilnya mengatakan: “Aku datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani”, yang kemudian sungguh melaksanakan apa yang dikatakanNya sepenuhnya selama melaksanakan tugas perutusan dari Allah. Suatu slogan yang mudah diucapkan para pemimpin Gereja sebagai penerus kepemimpinan Yesus namun sulit dipraktikkan.
Perkembangan model akuntabilitas kepemimpinan dalam organisasi keagamaan pada umumnya didasari oleh tokoh kharismatik sebagai pendiri, maupun sebagai penerus suatu keyakinan yang diimani oleh para pengikutnya. Dalam bab ini akan dikupas tentang bentuk-bentuk akuntabiltas kepemimpian yang muncul dari hasil pemaknaan di lapangan baik oleh umat, para pemimpin Gereja maupun hasil elaborasi dari peneliti. Proses pemaknaan dimulai dengan dasar kepemimpinan kristiani yaitu pelayanan, kemudian dilanjutkan dengan pelembagaan bentuk-bentuk kepemimpinan dalam Gereja Katolik yang cenderung sentralistik, tuntutan pentingnya model kolegial dan diakhiri dengan realitas kepemimpinan dalam diri para pemimpin Gereja yang menghayati panggilan mereka dalam bentuk cara hidup dan karya mereka di tengah umatnya.
3.1. Kepemimpinan yang Melayani
Kung (1977: 19) mencoba merumuskan dengan baik hakikat pelayanan Kristen :
“Faktor yang khas ialah bahwa kita tidak mencari kesenangan dalam jabatan di Gereja….melainkan kita menjadi seorang percaya yang murni dan sederhana; menjadi seorang yang percaya, mendengarkan, melayani, mengasihi dan berharap.”
Rangkaian kata kerja yang digunakan Kung untuk menjelaskan pelayanan dasar dari semua orang Kristen tersebut merupakan ringkasan yang padat tentang pendampingan pastoral. Seorang pastor selayaknya dapat mengemban makna dari suatu pelayanan yang diwariskan oleh sang tokoh Yesus. Pelayanan dalam bentuk pendampingan pastoral tersebut oleh Niebuhr dalam Campbell (1994: 51) dirumuskan : “Menumbuhkan cinta pada Allah dan pada sesama” yang sebenarnya merupakan penjabaran dari tiga fungsi utama kehidupan gereja yaitu kerygma (pemberitaan firman), koinonia (persekutuan) dan diakonia (pelayanan). Ketiga fungsi tersebut hendaknya tidak dipisahkan satu sama lain karena jika dipisahkan, maka akan menjadi superior di antara yang lain yang akhirnya akan mengakibatkan pemberitaan firman menjadi kemunafikan, persekutuan berubah menjadi perkumpulan eksklusif, dan pelayanan berubah menjadi aktivisme tanpa refleksi. Jadi, ketiga fungsi ini harus menjadi satu kesatuan dalam ikatan kreatif tapi bukan dalam artian bahwa harus melekat pada diri satu orang tetapi secara bersama-sama membentuk kesatuan yang utuh dengan fungsi yang sepenuh-penuhnya dalam komunitas.
Dengan latar belakang pandangan demikian maka pelayanan dalam kasih yang diwujudkan dalam pendampingan pastoral, tidak dapat disandarkan hanya pada satu orang pemimpin Gereja karena dapat terjadi bahwa seorang awam atau umat biasa dapat melaksanakan tugas hidup menggereja tersebut sama baiknya dengan seorang Pastor. Kepemimpinan dengan partisipatif perlu dikembangkan seperti membagi dua tugas utama di paroki yaitu pelayanan sakramen dan pelayanan non sakramen yang disebut diagram elips dengan dua foci oleh Sweeter (2005: 28). Hasil penelitian di
Amerika terhadap paroki menunjukkan bahwa paroki yang membagi tugas dengan salah seorang staff yang disebut administrator paroki berhasil mengurangi tugas pastor di bidang administratif dan sarana-prasarana paroki. Seperti dikatakan seorang Pastor Paroki dalam Sweeter (2005: 29): ”Aku tak tahu apa yang harus kulakukan apabila administrator itu, laki-laki atau perempuan tidak ada”. Peranan umat tidak tertahbis juga dapat mengambil alih tugas pastor yang non sakramen seperti yang dilaksanakan oleh informan 1
Tokoh Informan 1 pada awalnya tidak pernah bermimpi akan menjadi pengantar atau pemimpin ibadah selama tiga puluh tahun lebih seperti diungkapkannya:
“Ya benar itu sebenarnya saya tidak menyangka pada awalnya kalau saya akan jadi pengantar terlama di Santung. Waktu itu ketika bapak Salempang yang menjadi pengantar terangkat sebagai guru di kabupaten Maros, maka sering tidak ada orang yang memimpin ibadah apalagi setelah menetap disana, Gereja sering ditutup pada hari Minggu karena tidak ada orang yang memimpin ibadah. Kemudian Bapak Salu (lebih akrab dipanggil Ne’ Salu) menghubungi saya dan meminta saya untuk belajar dan menggantikan pak Salempang untuk menjadi pengantar di Gereja. Saya kemudian menghadap Pastor Paroki dan diberikan kursus kilat untuk menjadi pemimipin ibadah. Kami mulai lagi melaksanakan ibadah setiap hari Minggu meskipun kadang jumlah umat yang hadir hanya empat orang. Lama-kelamaan keadaan menjadi hidup kembali. Jumlah umat yang datang ke Gereja mulai banyak kembali.”
Tokoh Informan 1 mampu menjadi pelayan umat yang dikagumi meskipun dia tidak menjalani pendidikan formal sebagai seorang pelayan. Berbeda dengan para pastor yang kadang kala justru mendapat banyak kritik dan penolakan dari umat dalam proses pelayanan pastoralnya meskipun mereka dididik secara formal untuk pelayanan. Makna pelayanan yang harus dihayati oleh setiap pastor adalah kesejatian dan ketulusan hati dan tidak melembaga sebagai sesuatu yang formal dan mekanistik. Martin Buber dalam Campbell (1994: 54) mengkritik lembaga pelayan Gereja yang Tokoh Informan 1 mampu menjadi pelayan umat yang dikagumi meskipun dia tidak menjalani pendidikan formal sebagai seorang pelayan. Berbeda dengan para pastor yang kadang kala justru mendapat banyak kritik dan penolakan dari umat dalam proses pelayanan pastoralnya meskipun mereka dididik secara formal untuk pelayanan. Makna pelayanan yang harus dihayati oleh setiap pastor adalah kesejatian dan ketulusan hati dan tidak melembaga sebagai sesuatu yang formal dan mekanistik. Martin Buber dalam Campbell (1994: 54) mengkritik lembaga pelayan Gereja yang
Pelayanan kasih seorang gembala meskipun mendapat kritikan dari umat, namun masih ada yang sungguh-sungguh melaksanakan tugas pelayanan dengan penuh kasih. Salah seorang di antara mereka ialah informan 11, dia adalah Vikep Menurut salah seorang rekan kerjanya, dia mengagumi sang vikep sebagai pribadi yang bijaksana melihat setiap persoalan yang dihadapi baik para pastor, maupun umat dalam lingkup Kevikepan Tana Toraja. Dengan demikian para pastor jika menghadapi masalah dalam tugas penggembalaan tidak sulit mengambil keputusan karena Vikepnya siap untuk memberikan solusi secara cepat dan tepat.
Dalam wawancara dengan beliau, peneliti melihat tokoh ini sebagai pastor yang sungguh-sunguh menggembalakan umatnya, dia dengan mudah bisa ditemui oleh setiap orang yang membutuhkan beliau sejauh ada waktu dan tidak sibuk. Ketika ditanya tentang adanya perilaku para pastor yang tidak menghayati panggilannya secara baik dalam melayani umat, dia mengatakan :
“Ya itu saya sangat tidak mengerti bahwa para pastor keluar dari satu dapur yaitu jalur pendidikan seminari yang sama tetapi kemudian gaya masing-masing masih muncul dominan. Seharusnya mereka berpikir global tetapi bertindak lokal artinya kemampuan mereka lebih baik dari segi intelektual tetapi mampu juga memahami kondisi lokal dimana mereka bertugas. Mereka
menggembalakan umat. Kadang masih ada sifat egoisme masing-masing pastor . Tetapi tidak semua. Ada juga yang betul-betul menghayati panggilannya sehingga sangat senang menggembalakan umat. Kadang masih ada sifat egoisme masing-masing pastor . Tetapi tidak semua. Ada juga yang betul-betul menghayati panggilannya sehingga sangat senang
Pengakuan informan 11 tersebut membenarkan perilaku para pastor yang kurang menghayati panggilan mereka dalam kerangka pelayanan pastoral. Kegusaran pastor informan 11 ini menunjukkan bahwa perilaku para anak buahnya dalam pelaksanaan tugas mereka, masih perlu refleksi kembali makna panggilan yang sesungguhnya bagi para pastor. Terlebih jika dikaitkan dengan sang tokoh yang menjadi panutan, guru para pastor dan inspiratori model kepemimpinan yaitu Yesus yang mengatakan: “Aku datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani.”
3.2. Kepemimpinan yang Sentralistik
Kehadiran Dewan Gereja Keuskupan sebagai Gereja partikular yang di dalamnya dan darinya terwujud Gereja katolik yang satu dan satu-satunya yang meliputi keuskupan-keuskupan, vikaris apostolik, perfektur apostolik dan administrasi apostolik yang didirikan secara tetap. Dengan demikian keuskupan adalah bagian dari umat Allah, yang dipercayakan kepada seorang Uskup untuk digembalakan dengan kerjasama para imam, sedemikian sehingga dengan mengikuti gembalanya dan dipimpin olehnya, Injil serta Ekaristi dalam Roh Kudus, membentuk Gereja Partikular, dalam mana sungguh-sunguh terwujud dan berkarya Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik dan apostolik (kanon 368 dan 369 dalam KWI 2006).
Dewan Gereja Keuskupan terdiri dari lembaga-lembaga dan orang-orang yang membantu Uskup dalam memimpin seluruh keuskupan, terutama dalam mengarahkan karya pastoral, melaksanakan administrasi keuskupan dan juga menjalankan kuasa yudisial. Tata kelola keuskupan yang menyerupai suatu negara dan Uskup menjadi kepalanya, di satu sisi memperkokoh kewenangan pemimpin dalam menata umat dan harta benda, namun juga dengan kekuasaan yang besar demikian akan menjadikan
seorang Uskup dapat bertindak otoriter. Hal itu diakui oleh informan 13 (M41) 3 :
“Gereja sebenarnya adalah di bawah tanggung jawab pemimpinnya yaitu bapak Uskup. Sehingga harta benda Gereja dimanfaatkan dalam konteks Gereja lokal dimana Uskup menjadi penanggung jawab. Meskipun demikian
3 Manuskrip No 41.
Uskup tidak bekerja sendiri. dia dilengkapi dengan perangkat yang meliputi Kuria dan pengawas yaitu Dewan Keuangan dan dewan konsultor. Kuria meliputi Sekretaris, Ekonom dan Vikjen. Mereka ini bekerja mengatasnamakan Gereja lokal termasuk lembaga-lembaga lain yang mengatasnamakan Gereja Katolik di bawah kewenangan Uskup dan tunduk pada ketentuan keuskupan.”
Kekuasaan yang yang terfokus pada seorang Uskup yang dianggap wakil Kristus di dunia oleh sebagian pendapat umat diakui sebagai suatu kekuatan Gereja Katolik, namun jika Uskupnya tidak mempunyai kharisma yang cukup sebagai seorang pemimpin organisasi, maka akan semakin terjerumus dalam praktik organisasi keuskupan yang tidak terarah dan tidak akuntabel. Hal ini dapat menimbulkan akuntabilitas kepemimpinan dalam organisasi keuskupan tidak berjalan dengan baik. Seperti dalam Randa (2008) mengatakan bahwa meskipun organisasi keuskupan sebagian telah dilengkapi oleh perangkat struktur yang memadai namun korupsi dan penyelewengan tetap terjadi karena ketidakmampuan top manajemen dalam mengorganisir keuskupan.
Dengan demikian dibutuhkan seorang Uskup yang lebih arif dan bijaksana namun tegas, jika tidak, maka akan menimbulkan ketidakpuasan pada arus bawah yang dapat berdampak pada hilangnya semangat kolegialitas dalam kepemimpinan dan jika kurang dikontrol dari Uskup, maka seorang pastor paroki dengan kewenangan yang diterimanya juga menjadi pemimpin yang sedikit otoriter terhadap jemaat yang
digembalakan. Seperti yang diakui oleh Informan 8 (M33 4 ): “Uskup kita lemah dalam kepemimpinan akibatnya pastor
paroki kadang merasa frustasi jika ada suatu masalah yang seharusnya diputuskan cepat, namun oleh bapak Uskup kadang lambat dan kadang membiarkan masalah tersebut terlupakan namun menimbulkan ketidakpuasan yang terpendam sehingga umat kurang bergairah dalam mengambil bagian dalam karya perutusan Gereja.”
4 Manuskrip no 33.
Hal yang sama disampaikan oleh Informan 7 tentang gaya kepemimpinan Uskup, bahwa ketegasan seorang pemimpin dibutuhkan guna dapat menciptakan wibawa kepemimpinan yang selanjutnya mendorong dipatuhinya aturan main yang telah disepakati, agar konflik internal dalam organisasi dapat diperkecil. Lebih informan
7(M29 5 ) mengatakan:
“Saya melihat tidak ada ketegasan bapak Uskup. Semua masalah tidak diputuskan secara tuntas. Sebagian dibiarkan mengambang. Maka wajar kalau ada sebagian pastor yang tidak puas terhadap kepemimpinan beliau. Bagi pastor ada istilah tempat yang kering dan basah. Ada pastor yang tidak mau dipindahkan sehingga jurang antara pastor di paroki kaya dengan pastor di paroki miskin semakin lebar. Kaul-kaul yang diucapkan mereka ketika ditabiskan seakan tidak dilaksanakan lagi. Kaul selibat misalnya sudah banyak pastor yang meninggalkan imamat karena faktor ini. Kaul kemiskinan, ada pilih kasih di antara para umat. Kaul ketaatan lebih banyak pastor tidak lagi taat kepada Uskup sebagai atasan mereka.”
Usaha untuk menata organisasi Gereja, secara konsep telah memadai hal itu dilihat dari adanya sejumlah konsep tata kelola organisasi yang diterbitkan oleh KAMS. Konsep-konsep tersebut telah dibuat dan disahkan oleh Uskup untuk diberlakukan. Namun dalam pelaksanaannya tidak berjalan dengan baik seperti yang disampaikan oleh informan 7(M29) bahwa :
“Semuanya yang dibuat serba experimentum dan tidak ada tindak lanjutnya. Salah satu contoh pelaksanaan keputusan tentang pengelolaan Pastoral (dewan Pastoral). Saat ini kami tidak pernah rapat sudah lama sekali. Kita lebih banyak menunggu keputusan pastor selaku ketua Depas. Pastor lebih banyak jalan sendiri mungkin dengan asumsi bahwa telah ada pembagian tugas dalam struktur depas. Namun saya kira itupun tetap membutuhkan koordinasi lintas bagian. Saya melihat bahwa organisasi Gereja Katolik merupakan organisasi keagamaan yang kuat dan akuntabel dengan adanya struktur struktur yang berjenjang. Bahkan banyak ditiru oleh organisasi Gereja protestan dan organisasi
5 Manuskrip no 29.
keagamaan yang lain. Namun yang menjadi masalah adalah pelaksana organisasi kurang akuntabel dan cenderung tidak transparan meskipun organisasi secara keseluruhan dirancang transparan. Meskipun demikian tidak semua paroki seperti itu, saya pernah berbincang-bincang dengan pastor Hendrik Nyiolah dan Maris Marannu, mereka dengan konsep depas yang ada sudah menjalankan transparansi dengan baik di paroki masing-masing.”
Kegusaran informan 7 dilandasi pada beberapa fakta bahwa KAMS cukup banyak menyusun konsep tentang tata kelola organisasi antara lain Pedoman Dasar Dewan Pastoral Paroki tahun 2004, Pedoman Dasar Dewan Keuangan Paroki tahun 2004 dan Pedoman Umum Pengelolaan Keuangan Gereja Lokal KAMS, tahun 2005 yang semuanya dinyatakan sebagai percobaan yang kemudian diharapkan dapat berlaku tetap setelah masa percobaan. Namun dalam masa percobaan tersebut kurang disosialisasi dan ketika tiba waktu pelaksanaannya secara permanen tidak ditindak lanjuti, yang akhirnya kembali kepada kondisi awal yang disebut informan 7 bahwa bergantung pada keinginan pastor paroki (pastor sentries).
Pengukuhan kepemimpinan sentralistik demikian juga diperkuat oleh perubahan konsep tata kelola paroki yang awalnya disebut Dewan Paroki (DEPA) kemudian diganti Dewan Pastoral Paroki (DEPAS) yang mana terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam hal siapa yang boleh menjadi ketua Dewan Pastoral Paroki. Dalam konsep DEPA, ketua DEPA dapat berasal umat dan bukan pastor, sehingga pastor paroki hanya menjalankan tugas pelayanan sakramen. Di sisi lain perubahan ke konsep DEPAS bahwa Pastor Paroki secara ex officio menjadi ketua DEPAS, oleh sebagian umat ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan yang terlalu besar dan mengukuhkan organisasi Gereja sebagai organisasi yang sentralistik piramidal.
Hal itu dilakukan oleh keuskupan untuk memperkuat posisi struktur Gereja dimana para pastor menjadi perpanjangan tangan Uskup. Namun di sisi lain kewenangan yang terlalu besar pada diri pastor tersebut kemudian juga dapat menjadi bumerang bagi seorang Uskup bahwa para pastor menjadi tidak taat kepadanya. Para Hal itu dilakukan oleh keuskupan untuk memperkuat posisi struktur Gereja dimana para pastor menjadi perpanjangan tangan Uskup. Namun di sisi lain kewenangan yang terlalu besar pada diri pastor tersebut kemudian juga dapat menjadi bumerang bagi seorang Uskup bahwa para pastor menjadi tidak taat kepadanya. Para
Salah satu praktik yang diobservasi ialah adanya beberapa pastor paroki yang tidak bersedia menyetor dana solidaritas dan tidak membuat laporan keuangan tahunan yang diminta keuskupan. Keengganan untuk mematuhi permintaan Uskup juga banyak ditentukan oleh karakter Pastor Paroki. Ada pastor paroki yang sangat taat tetapi ada juga yang tidak bersedia mematuhi permintaan Uskup. Maka karakter dan style masing-masing Pastor Paroki juga menjadi kendala bagi keuskupan dalam menata organisasi keuskupan khususnya dalam membagun praktik akuntabilitas kepemimpinan. Seperti diungkapkan oleh Uskup Palangkaraya, Sutrisnaatmaka (2010: 86):
“Setiap pastor memiliki pribadi yang unik. Ada yang keunikannya direspon positif oleh rekan kerja serta umatnya. Namun, beberapa pastor yang memiliki keunikan yang menjadi batu sandungan bagi yang lain. Memang tak jarang hubungan pribadi antara Uskup dan imamnya (pastornya) diwarnai dengan keunikan-keunikan tersebut. Hal ini memerlukan usaha ekstra dari dua belah pihak. Umumnya hubungan yang biasa-biasa dirasa cukup, pada pribadi yang unik dan khusus harus pula diperhatikan dan diperlakukan secara khusus pula.”
Pendapat Informan 7 (M36) 6 dan informan 8 (M29) 7 bahwa kelalaian dan
ketidaktaatan paroki disinyalir juga disebabkan oleh ketidaktegasan Uskup sebagai pemimpin keuskupan. Ketika ada paroki yang tidak taat kemudian dibiarkan tanpa ada tindakan yang tegas, dapat menjadi contoh yang buruk bagi paroki lain untuk melakukan hal yang sama. Faktor lain adalah adanya keangkuhan staff keuskupan yang berhubungan langsung dengan para pastor di lapangan. Perilaku yang pilih kasih
6 Manuskrip no 36. 7 Manuskrip no 29.
dan kurang pendekatan sebagai sesama rekan kerja, menjadi dasar para pastor paroki untuk tidak kooperatif.
Keuskupan haruslah menggali permasalahan konkret yang dihadapi para pastor dalam hal ketidaksetiaan memenuhi apa yang diminta oleh keuskupan. Benarkah karena ada keinginan untuk tidak taat atau ketidaktaatan disebabkan oleh faktor lain seperti ketidakfahaman atas teknik penyajian informasi yang diminta oleh keuskupan.
Penyebab lain ketidaktaatan adalah ketidakpuasan para pastor di paroki akan kebijakan menyangkut diri mereka, seperti minimnya dana operasional yang diberikan untuk kebutuhan sehari-hari bagi paroki yang miskin dibanding dengan para pastor paroki kaya yang kebutuhannya melebihi dari yang cukup. Maka menarik bahwa apa yang diyakini oleh informan 9(M37) tentang kondisi umat yang tidak merata dalam memenuhi kebutuhan para pastor mereka. Dia mengatakan:
“Tentang keadaan ekonomi umat yang sering pastor-pastor katakan tempat yang kering dan yang basah bagi saya tidak perlu. Kita hidup apa adanya dari kondisi yang ada suatu waktu kita bisa lagi pindah ke tempat lain yang mungkin basah atau lebih kering lagi. Karena faktor kemiskinan tidak perlu menjadi hambatan dalam pelaksanaan tugas. Para pastor mengikuti saja irama dinamika situasional yang berkembang dalam umat.”
Namun jika dicermati lebih dalam, mungkin itu adalah suatu ungkapan kekesalan atas manajemen keuskupan yang tidak mampu memenuhi keinginan para pastor paroki di lapangan. Menurut Uskup Tanjung Selor, Harjususanto (2010: 95) bahwa seorang Uskup harus memberi perhatian dan kepercayaan. Menurutnya:
“Sebagai manusia biasa imam (pastor) membutuhkan perhatian. Perhatian yang tulus, bukan basa-basi dan dibuat-
buat, akan diterima dengan gembira dan suka cita. Banyak kali relasi terganggu justru karena kurangnya perhatian ini. Malahan ungkapan pertama yang muncul ketika bertemu adalah menyampaikan kritik dan menunjukkan kekurangan. Akibatnya, muncul perasaan kurang dihargai.”
Selain memberikan perhatian, lanjut Harjususanto bahwa seorang Uskup juga harus memberikan kepercayaan kepada para pastornya. Memberikan kepercayaan tidak berarti bahwa Uskupnya membiarkan para pastornya tetapi sedapat mungkin juga melibatkan diri dalam tugas para pastornya. Keterlibatan dalam tugas penggembalaan itu tetap diperlukan meskipun bentuknya berbeda dari apa yang yang dilakukan para imam. Menanyakan keadaan dan perkembangan karya, memberi tanggapan atas laporan dan menyampaikan pandangan merupakan salah satu dari aneka bentuk keterlibatan. Dengan demikian, tetap ada relasi antara Uskup dan pastor dalam keterlibatan karya penggembalaan.
3.3. Kepemimpinan yang Kolegial
Berbicara tentang akuntabilitas kepemimpinan dalam hidup menggereja tidak terlepas dari keinginan unsur-unsur yang bukan pemimpin dalam organisasi Gereja terlibat dalam hal pengambilan keputusan. Keterlibatan mereka yang menjadi bagian Gereja dapat dinyatakan lewat proses-proses pengambilan keputusan yang didukung oleh terciptanya demokratisasi dalam hidup menggereja. Pertanyaannya adalah mungkinkah demokratisasi dilaksanakan dalam Gereja? Adakah dasar teologis yang dapat digunakan untuk menjalankan praktik akuntabilitas dalam organisasi Gereja? Untuk membangun akuntabilitas kepemimpinan dengan keterlibatan umat dalam hidup menggereja, maka Gereja diperhadapkan pada dua dimensi yaitu dimensi Pneumatologis.
Dalam dimensi pneumatologis, Gereja adalah karya Roh Kudus (Sunarko, 2005: 43). Hal itu sudah nampak dari awal terbentuknya Gereja sebagai umat perdana yang menjadi pengikut Yesus Kristus. Kemudian selanjutnya dinyatakan dalam pengakuan iman atau syahadat yang menyatakan bahwa: “Aku percaya akan Roh Kudus, Gereja Katolik yang kudus”. Roh Kuduslah perwujudan kasih Allah yang mempersatukan dan mengumpulkan manusia menjadi umat orang beriman. Mempersatukan, memiliki arti kesatuan dalam kasih yaitu keunikan, kekhasan masing-masing pribadi, dan keragaman tetap mendapat tempat yang sentral, sehingga
Gereja ditata berdasarkan kehendak dan dipimpin dengan keanekaan yang mengagumkan (LG 32).
Konsekuensi lain ialah bahwa umat secara keseluruhan adalah bait tempat kediaman Roh Kudus (LG 7), pejabat Gereja pertama-tama adalah anggota umat dan karena itu juga harus bertindak sebagai pelayan bagi Gereja. Karena umat adalah bait Roh Kudus, maka semua umat turut ambil bagian dalam perutusan Yesus Kristus sebagi Raja, Nabi dan Imam (LG. 5-9). Hal itu juga telah ada dalam Gereja perdana bahwa berkat inspirasi Roh Kudus, setiap umat memiliki otoritas dalam umat (Schillebeeckx dalam Sunarko, 2005: 45).
Dimensi ini kurang diberi tempat yang wajar dalam tata kelola Gereja paroki. Seperti dikatakan Informan 8 : “Sangat kental peran pastor dalam kehidupan organisasi Gereja”, sehingga sering terjadi bahwa apa yang telah dibangun bersama lewat partisipasi umat dalam menyusun program kerja bisa dimentahkan oleh seorang Pastor Paroki yang baru. Kondisi demikian sering membuat umat apatis seperti diakui Informan 7 : “kami banyak menunggu dari Pastor Paroki baru dikerjakan”. Hal itu juga dinyatakan oleh Informan 8 : “Kami banyak bersikap pasif dan menunggu apa yang Pastor Paroki inginkan". Hal itu dapat terjadi manakala seorang pastor terlalu mengagungkan kharisma pada dirinya dan cenderung mengabaikan Roh Kudus yang juga bertiup kepada seluruh umat. Akibat selanjutnya ialah mematikan Roh Kudus dalam Umat (1Tes 5: 19) yang membawa akibat umat tidak lagi menjadi subjek iman berkat Roh Kudus tetapi menjadi objek pelayanan pastoral para pejabat Gereja (Schillebeeckx dalam Sunarko, 2005; 45).
Pemahaman dimensi pneumatoligis ini mendukung suatu tata kelola organisasi yang melibatkan umat, sebagai subjek yang digerakkan oleh Roh Kudus untuk melakukan tugas perutusan Gereja tidak hanya pada mereka yang mendapat tahbisan imamat atau menempuh hidup bakti. Seorang pejabat Gereja yang diangkat harus dimengerti bahwa peran Allah ada dalam dirinya yang memakai mereka namun tidak berarti mereka menempatkan diri di luar umat Allah. Sehingga yang menjadi pusat dalam Gereja bukan penjabat Gereja, melainkan umat apostolik dengan segala warisan Pemahaman dimensi pneumatoligis ini mendukung suatu tata kelola organisasi yang melibatkan umat, sebagai subjek yang digerakkan oleh Roh Kudus untuk melakukan tugas perutusan Gereja tidak hanya pada mereka yang mendapat tahbisan imamat atau menempuh hidup bakti. Seorang pejabat Gereja yang diangkat harus dimengerti bahwa peran Allah ada dalam dirinya yang memakai mereka namun tidak berarti mereka menempatkan diri di luar umat Allah. Sehingga yang menjadi pusat dalam Gereja bukan penjabat Gereja, melainkan umat apostolik dengan segala warisan
Dimensi pneumatologi dan tata kelola organisasi yang akuntabel juga berimplikasi pada pelaksanaan tugas pejabat Gereja secara kolegial. Pada semua tatanan hirarki Gereja sebaiknya menjadi unsur sinodal yang memungkinkan banyaknya pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan seharusnya dikembangkan. Semangat kolegial tersebut hendaknya juga diterapkan dalam ruang lingkup paroki, dalam relasi antara para imam dengan umatnya dan tidak mengabaikan jika ingin membangun semangat demokratisasi (Sunarko, 2005: 49), yang kemudian dapat bermuara pada tata kelola yang akuntabel di tingkat paroki.
Konsep demikian juga dinyatakan dalam Kanon 212 (KWI, 2006) . Kanon mengharapkan partisapasi umat dalam pengambilan keputusan dan bahkan mempunyai hak inisiatif untuk menyampaikan pendapat kepada para pastor dalam hal-hal yang dianggap penting. Namun dalam pelaksanaannya sering diabaikan sehingga para pastor selaku pejabat Gereja dan pemimpin umat di paroki berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan style masing-masing. Seperti diungkapkan informan 7 : ” Kita lebih banyak menunggu keputusan pastor selaku ketua Dewan Pastoral. Pastor lebih banyak jalan sendiri mungkin dengan asumsi bahwa telah ada pembagian tugas dalam struktur Dewan Pastoral.”
Realitas demikian menegaskan betapa pentingnya pemahaman konsep kepemimpinan bagi para Pastor Paroki. Para Pastor Paroki diperhadapkan pada dua sistem apakah menggunakan sistem partisipatif dengan melibatkan semua stakeholders dalam paroki atau sistem top down (hirarki piramidal). Hal ini penting di zaman modern bahwa umat perlu berbicara dalam pengambilan keputusan yang menyentuh hidup mereka (Sweetser, 2005). Jika tidak maka dapat terjadi keputusan-keputusan paroki yang tidak melibatkan arus bawah tidak akan berjalan dengan baik. Para pengurus paroki lebih banyak menunggu komando pastor. Di sisi lain pastor juga tidak mampu melaksanakan sendiri tugas-tugas pelayanan dan lebih banyak berfokus pada tugas sakramental. Seperti Realitas demikian menegaskan betapa pentingnya pemahaman konsep kepemimpinan bagi para Pastor Paroki. Para Pastor Paroki diperhadapkan pada dua sistem apakah menggunakan sistem partisipatif dengan melibatkan semua stakeholders dalam paroki atau sistem top down (hirarki piramidal). Hal ini penting di zaman modern bahwa umat perlu berbicara dalam pengambilan keputusan yang menyentuh hidup mereka (Sweetser, 2005). Jika tidak maka dapat terjadi keputusan-keputusan paroki yang tidak melibatkan arus bawah tidak akan berjalan dengan baik. Para pengurus paroki lebih banyak menunggu komando pastor. Di sisi lain pastor juga tidak mampu melaksanakan sendiri tugas-tugas pelayanan dan lebih banyak berfokus pada tugas sakramental. Seperti
Menurut San (2010: 123) bahwa para pastor adalah Gembala yang baik. Setiap gembala mengenal domba-dombanya dan domba-dombanya mengenal gembalanya (bdk Yoh;1:10-15). Seorang gembala yang baik dituntut memiliki keutamaan-keutamaan seperti: kejujuran, keterbukaan, rendah hati, sabar, murah hati, kasih, rela berkorban, tidak pilih kasih, tegas, adil, bijaksana dan tidak plin-plan. Dengan keutamaan tersebut seorang gembala akan mudah menyesuaikan diri dan diterima umat dan akan menjalankan praktik akuntabilitas kepemimpinan dalam Gereja paroki kepada para stakeholder.
Pada sisi lain faktor keberhasilan manajemen kepemimpinan organisasi paroki dari sudut keterlibatan umat secara menyeluruh juga ditentukan oleh seberapa besar beban kerja yang dipikul masing-masing anggota Dewan Pastoral Paroki. Menurut Paul Wikes dalam Sweetser (2005: 83) istilah sempurna dan sangat baik, tidak akan pernah ditemukan dan hanya merupakan suatu retorika belaka dalam manajemen paroki. Untuk itu perlu dilakukan perubahan sistem yang memberi tekanan bagaimana seorang pastor, pengurus dewan pastoral paroki dan pengawai paroki yang cukup baik dan jangan mengunakan kata sangat baik atau sempurna. Menurut Sweetser (2005: 84) jalan keluar adalah memberikan beban kerja yang masuk akal bagi orang-orang yang harus melakukan karya penggembalaan dan pelayanan. Dan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam proses kepemimpinan yang partisipatif.
Keberatan untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan tata kelola organisasi yang akuntabel dalam organisasi Gereja kadang juga dibangun oleh para pemimpin gereja dengan argumentasi dasar teologis lain yang memberikan tekanan pada dimensi Kristologis. Aliran ini menegaskan bahwa otoritas Kristus sebagai kepala Gereja harus selalu jelas. Mengutip surat Rasul Paulus kepada umat di Ibrani psl 23: 24: “ Gereja sendiri takluk kepada kepalaNya” dan umat sebagai murid sehingga kedudukan Gereja terhadap Yesus Kristus adalah yang menerima. Gereja perdana memahami jati dirinya bukan sebagai sumber dan pencipta credo tetapi menerimanya dari Tuhan (Sunarko, 2005: 49).
Begitu sentralnya Yesus Kristus dalam Gereja hingga turut masuk dan diteruskan dalam diri para pejabat hirarki Gereja. Pengakuan Petrus sebagai kepala Gereja pengganti Yesus Kristus, telah menunjukkan dimensi Kristologis sangat kuat dalam kehidupan organisasi Gereja dan menjadi dasar terbentuknya hirarki. Para Uskup sebagai pengganti para rasul kemudian mengangkat imam atau Pastor Paroki lewat tahbisan imamat juga turut mengalirkan dimensi tersebut sehingga menjadikan mereka sebagai pusat dalam segala aktivitas hidup menggereja. Seperti diungkapkan oleh Informan 8 (M36):
“Saya sudah dua periode jadi ketua depas. Kesan saya bahwa meskipun struktur depas itu baik namun dalam praktik Pastor sentris masih berjalan. Sangat kental peran Pastor dalam kehidupan organisasi gereja. Meskipun demikian seharusnya depas harus lebih kritis terhadap organisasi Gereja.”
Pemahaman yang demikian menurut Sunarko (2005; 52) akan membawa Gereja pada sikap otoriter para pejabat Gereja. Meskipun demikian dimensi kristologis juga dalam hal kepemimpinan tidak dapat dieliminasi mengingat seorang pastor juga harus bertindak untuk selalu mengingatkan umat untuk tidak bertindak atas dasar konsensus semata, melainkan berdasarkan kehendak dan ajaran Yesus Kristus. Secara konkret seorang pastor juga dituntut untuk melontarkan kritik kepada umatnya jika dia meyakini umatnya salah melangkah. Pejabat gereja tidaklah semata-mata berperan sebagai pendengar dari apa yang disampaikan umatnya, tetapi juga kadang-kadang mengingatkan mereka, sebagaimana juga sebaliknya umat dapat menegur para pejabat Gereja (Schillebeeckx dalam Sunarko, 2005: 52). Dengan demikian aspek kristologis dalam tata kelola organisasi Gereja khususnya para pemimpin Gereja hendaknya tidak dipahami secara mutlak. Tetapi dari sanalah dimensi ini akan menjadi jiwa dalam pelayanan bahwa apa yang dilakukan semuanya berpusat pada pribadi Yesus Kristus sebagai kepala Gereja. Dengan menjadikan Yesus Kristus sebagai pusat dan teladan mereka dalam melaksanakan tugas pelayanan, maka mereka akan bertindak dan menyerahkan hidup sepenuhnya bagi umat. Konsep Kristologis ini sejalan dengan salah satu teori kepemimpinan bahwa seorang pemimpin akan berhasil jika mempunyai kharisma (Luthans, 2002).
Dalam konteks keteladanan kepemimpinan, Yesus Kristus membasuh kaki murid- muridNya (Yoh.13-13-15) sebagai tanda kerendahan hati dan tidak otoriter. Karena itu gembala Gereja hendaknya mengikuti teladan Tuhan, dan saling melayani serta melayani Dalam konteks keteladanan kepemimpinan, Yesus Kristus membasuh kaki murid- muridNya (Yoh.13-13-15) sebagai tanda kerendahan hati dan tidak otoriter. Karena itu gembala Gereja hendaknya mengikuti teladan Tuhan, dan saling melayani serta melayani
“Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.”
Jika hal ini diabaikan, maka akan terjadi ketimpangan, Gereja akan menjadi sangat hirarkis dan aliran rahmat serta sabda Yesus hanya melalui satu saluran saja yaitu para pejabatpemimpin Gereja. Para umat hanya akan menjadi pendegar saja dan menemukan hirarki sebagai berikut : Allah, Kristus, paus, para Uskup, para imam dan diakon, lalu hirarki terendah adalah awam dimulai pertama para lelaki dan akhirnya perempuan serta anak-anak (Schillebeeckx dalam Sunarko, 2005: 53).
Pandangan pastor sentries ini juga diakui oleh Banawiratma (2002: 13) bahwa setelah konsili Vatikan II Gereja khususnya di Indonesia berusaha menyerap semangat konsili vatikan II mengenai Gereja sebagai Umat Allah. Menurutnya hidup menggereja di Indonesia nampaknya tidak berlebihan kalau dikatakan klerikal yaitu Gereja yang berpusat pada dan ditentukan oleh hirarki. Hidup menggereja kurang diperkembangkan dari bawah. Akibatnya, banyak kharisma yang dianugerahkan kepada umat, baik laki-laki maupun perempuan, tidak seluruhya dibiarkan tumbuh dan berkembang sehingga dapat merugikan komunitas umat Allah sendiri. Kondisi tersebut membuat umat tidak banyak terlibat karena ada pembatasan yang dilakukan oleh para hirarki Gereja dengan kurang tanggap terhadap dinamika umat yang ada sekarang ini.
Fakta lain yang diungkapkan oleh Informan 8 tentang keterpusatan aktivitas organisasi Gereja pada hirarki adalah adanya kewenangan yang berpusat pada Pastor Paroki. Lembaga Dewan Paroki tidak berfungsi sebagai wujud kepemimpinan kolegial karena hanya bersifat konsultatif bagi ketua Dewan Paroki yakni Pastor Paroki sendiri. Sebagai contoh lanjut Informan 8:
“…… dalam konteks paroki Makale, sebenarnya sudah sangat baik pengelolaan organisasi yang diawali dengan kombongan semacam pertemuan seluruh stakeholders Gereja. Dalam kombongan “…… dalam konteks paroki Makale, sebenarnya sudah sangat baik pengelolaan organisasi yang diawali dengan kombongan semacam pertemuan seluruh stakeholders Gereja. Dalam kombongan
Betapa pentingnya style para pemimpin Gereja dalam menentukan keberhasilan tata kelola organisasi keagamaan termasuk dalam Gereja Katolik. Seperti diakui oleh
informan 9(M37 8 ), beliau mengatakan:
“Ya itulah kembali kepada style para pengurus di stasi dan bukan hanya di stasi tetapi di paroki ada juga yang demikian. Tergantung style para pastornya. Ada Pastor Paroki yang suka mengumpulkan uang dan dianggap berhasil jika kas paroki besar. Kemudian datang pastor baru membelanjakannya semua. Sekali lagi tergantung style pengurus stasi dan Pastor Paroki masing-masing. Suatu organisasi Gereja yang pengurusnya tidak beres akan mengakibatkan aktivitas umatnya juga mandek.”
Pengakuan informan 9 tersebut seakan mengamini betapa style kepemimpinan seorang pastor dalam mengelola organisasi Gereja sangat berperan. Pastor Paroki menyadari sepenuhnya bahwa keterlibatan umat dalam organisasi Gereja tidak dapat dipisahkan dari figur pastor dalam memimpin umat. Ada yang otoriter ada juga yang lebih akomodatif, ada yang mengukur keberhasilan organisasi dari aspek ketersediaan saldo kas Gereja dan ada pula yang tidak peduli sekedar hanya melaksanakan tugas rutin pelayanan sakramen. Seperti yang dikatakan informan 9(M37) :
”Saya tidak terlalu memaksakan kepada umat. Saya menjalani apa adanya saja dan partisipasi umat saya kembalikan kepada mereka daripada memaksakan belum tentu diterima baik.”
Model demikian menciptakan akuntabiltias yang berpusat pada diri pemimpinnya yang dapat disimpulkan sebagai model akuntabilitas sentralistik pada seorang pemimpin umat.
Perwujudan tugas dan tanggung jawab sebagai pelayan dan pemimpin dalam organisasi Gereja, informan 9(M34 9 ) ketika ditanyakan tentang hal itu, dia menjawab :
8 Manuskrip no 37 9 Manuskrip no 34.
”Tidak berbeda dengan umat yang lain hanya saja lebih berperan dan menentukan dalam
keberlangsungan organisasi Gereja.” Berbeda dengan pandangan informan 11(M37 10 )