T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemilikan Tanah Pertanian Absentee di Desa Paslaten Kabupaten Minahasa Selatan T1 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah bagi kehidupan manusia memiliki arti yang sangat penting, karena
sebagian besar dari kehidupannya tergantung pada tanah.1 Indonesia merupakan salah
satu negara agraris yang penduduknya sebagian besar bermata pencaharian di bidang
pertanian baik sebagai petani pemilik tanah, petani penggarap tanah maupun sebagai
buruh tani.
Oleh sebab itu, tanah harus diusahakan, dimanfaatkan atau digunakan bagi
kebutuhan yang nyata dalam bentuk penyediaan, peruntukan, penguasaan,
penggunaan dan pemeliharaannya perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan
agar terjamin kepastian hukum serta terselenggaranya perlindungan hukum bagi
rakyat, terutama golongan petani. Peningkatan volume pembangunan dalam suatu
negara, mengikis pentingnya tanah untuk pertanian.
Pertambahan penduduk yang memerlukan areal yang luas, mengakibatkan
mengecilnya atau berkurangnya persediaan tanah. Karena pentingnya tanah pertanian,
maka tanah pertanian perlu diatur keberadaannya agar tidak dikuasai secara besar1
Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah , Multi Grafik, Medan, 2005, hal. 2.
1
besaran oleh sebagian pihak saja. Lahirnya UU No 56 Prp Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian (selanjutnya disebut UUPA) mengandung makna
idiologis, dalam sejarahnya mencerminkan kehendak dan tekad seluruh bangsa
Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan hak-hak rakyat atas
tanah yang dilakukan oleh penguasa penjajah (Kolonial Belanda). Perlawanan
tersebut baik dalam bentuk menyusun dan memberlakukan sistem atau sel-sel hukum
baru, yaitu membentuk dan memberlakukan sistem hukum agraria nasional dengan
mengganti sistem hukum agraria peninggalan penjajah (kolonial) maupun menghapus
praktek penghisapan dan pemerasan rakyat miskin oleh yang kaya.2
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar RI 1945 menentukan bahwa:
“bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”3.
Untuk merealisasi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 maka
ditetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria yang juga disebut dengan singkatan UUPA. Perlindungan terhadap
tanah pertanian diatur lebih lanjut dalam Pasal 7, Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 17
UUPA. Pengaturan tentang pemilikan tanah pertanian dapat dikelompokan
menjadi dua bagian yaitu Pasal 10 ayat(1) dan Pasal 7 dengan Pasal 17 UUPA.
1. Pengaturan berkaitan asas diwajibkan mengerjakan secara aktif ,
Pasal 10 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa:
2
H. Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, 2007, Hukum Agraria Indonesia Dalam
Perspektif Sejarah , Refika Aditama, Bandung, hal. 2.
3
Lihat pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
2
“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas
tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara
pemerasan”.
2. Pengaturan berkaitan dengan batas maksimum dan minimum diatur
dalam Pasal 7 jo Pasal 17 UUPA yang berbunyi : bahwa pemilikan
dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan 4.
Untuk menghindari praktek tuan tanah dan menjamin kemakmuran
rakyat perlu diatur batas maksimum pemilikan tanah. Pasal 17
UUPA menyatakan bahwa: “tanah yang merupakan kelebihan batas
maksimum diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian,
selanjutnya
dibagikan
kepada
rakyat
yang
membutuhkan.
Kelebihan luas maksimum perlu diatur agar tercapainya pemerataan
pemilikan tanah oleh masyarakat”5.
Sebagai pelaksanaan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA telah diundangkannya
Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian. Untuk melaksanakan redistribusi tanah sebagaimana diamantkan Pasal
17 (3) UUPA jo Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut, telah
ditetapkan Peraturan Pemerintah No 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Peraturan Pemerintah ini
4
Ibid hal 11
5
Lihat Pasal 7, Pasal 10, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
3
kemudian telah diubah dan ditambah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224
tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Pemberian Ganti Kerugian.
Sedangkan untuk Pasal 10 ayat (1) UUPA telah diundangkan Peraturan Pemerintah
Nomor 224 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 Tentang
Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiun Pegawai
Negeri
Pasal 10 ayat (1) UUPA yaitu dengan asasnya harus mengerjakan tanah
pertanian secara aktif. lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 224 tahun 1961 yang menyatakan bahwa:
“Pemilik tanah yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak
tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas
tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau
pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”6.
Apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan maka tanah pertanian itu akan
diambil pemerintah dan selanjutnya dibagikan kepada para petani yang belum
memiliki tanah pertanian.
Pemilikan tanah Absentee di larang karena mencegah penguasaan dan
pemilikan tanah hanya pada sebagian orang. Dengan demikian ada beberapa esensi
dari ketentuan absentee:
6
Lihat Pasal 3 (ayat 1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961.
4
a. tanah pertanian wajib di di kerjakan secara aktif,
b. pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di kecamatan tempat letak
tanahnya,
c. wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan letak
tanahnya tersebut,
d. Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada
orang atau badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar
Kecamatan tempat letak tanahnya. 7
Larangan untuk memiliki tanah secara absentee/guntai ini sebenarnya,
bertujuan agar tanah pertanian yang berada di kecamatan tersebut dikelola sendiri
oleh petani yang berada di kecamatan letak tanah itu, sehingga hasilnya pun
maksimal dan jika dibiarkan seseorang atau badan hukum memiliki tanah secara
absentee/guntai akan menyebabkan ketidakadilan karena yang bekerja bukan
pemilik tanah pertanian tersebut, Sehingga tidak sesuai dengan tujuan landreform
yang diselenggarakan di Indonesia.
Dalam kenyataannya, sekalipun larangan ini masih berlaku, pemilikan
tanah
pertanian
secara
absentee
juga
banyak
dijumpai
di Desa Paslaten Kecamatan Tatapaan Kabupaten Minahasa Selatan. Fakta Di
Desa Paslaten masih banyak terdapat tanah pertanian dan masih banyak
masyarakatnya yang menjadi petani, baik sebagai pemilik maupun sebagai petani
penggarap. Di Desa Paslaten, terdapat pemilikan tanah pertanian secara absentee
7
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia , Djambatan, Jakarta, 2002, hlm 6.
5
dengan 45 pemilikan tanah pertanian secaraa absentee di mana domisili pemilikpemilik tanah tersebut di pulau Jawa, Kalimantan, Papua, dan sebagian lainnya di
kota Manado. Pemilikan tanah pertanian secara absentee ini karenakan adanya
pewarisan, jual beli tanah dimana pembeli berdomisili di luar daerah, pembelian
melalui lembaga lelang negara (kredit macet) dimana pembeli berdomisili di luar
daerah serta banyaknya tanah-tanah yang belum terdaftar (bersertifikat) membuat
jangkauan pelaksanaan landreform dianggap tidak sampai kepada sasaran.8
Pemilik tanah mendapatkan tanah absentee disebabkan karena kelurahan
dengan mudanya menerbitkan surat keterangan berdomisili sebagai pengganti
KTP. Selain itu aparat Kantor Pertanahan di Kabupaten tersebut kurang memiliki
kesadaraan dalam menegakan aturan-aturan tentang pemilikan tanah pertanian
secara absentee dengan meloloskan surat keterangan domisili, bahkan tanpa
identitas domisili juga dapat di proses pemberian hak atau peralihan hak. 9
Sehingga permasalahan ini terletak pada penegak hukum dalam hal ini
adalah Kantor Pertanahan Kabupaten Minahasa Selatan sebagai pelaksana
kebijakan di bidang pertanahan sangat diharapkan dalam mensosialisasikan
peraturan-peraturan
yang
ada
mengenai
larangan
kepemilikan
tanah
absentee/guntai kepada masyarakat Desa Paslaten untuk menunjang terlaksananya
program Landreform di Indonesia.
8
Wawancara Dengan Ibu Yatie Sebagai Tokoh Masyarakat Di Desa Paslaten, Pada Tanggal
29 Desember 2015.
9
Wawancara Dengan Ibu Yatie Sebagai Tokoh Masyarakat Di Desa Paslaten, Pada Tanggal
29 Desember 2015.
6
Penelitian ini, berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan, hal ini
dapat dijelaskan dalam table di bawah ini:
Tabel. 1.1 Perbandingan Fokus Penelitian
No
1.
Substansi
Judul
Jessica
Pemilikan
Whenita
Redefinisi
Peran Kantor
Pertanian Absentee Di
Pengaturan Larangan
Pertanahan Dalam
Desa
Kepemilikan
Tanah
Mengatasi
Pertanian
Secara
Kepemilikan Tanah
Absentee
Dimasa
Kabupaten
Tanah
Ariska
Paslaten
Minahasa
Selatan
Kini
2.
Rumusan
Bagaimanakah
masalah
Pemilikan
“Absentee/Guntai” di
Kabupaten Banyumas
1. Faktor-faktor apa
1. Faktor-faktor apa
Tanah
sajahkah yang
sajakah yang
Pertanian Absentee Di
menyebabkan
menyebabkan
Desa
terjadinya
terjadinya pemilikan
pemilikan tanah
tanah secara
secara absentee?
absentee/guntai di
Kabupaten
Paslaten
Minahasa
Selatan
2. Perlukah
redefinisi untuk
7
Kabupaten
Banyumas ?
pengaturan
2. Bagaimanakah peran
larangan
Kantor Pertanahan
kepemilkan
Kabupaten
tanah pertanian
Banyumas dalam
secara absentee
mengatasi atau
dimassa kini ?
menyelesaikan
masalah tanah-tanah
absentee/guntai ?
3.
3.
Objek
Kabupaten Minahasa
Kabupaten
Penelitian
Selatan di Kecamatan
Temanggung dan
Tatapaan Desa
Kabupaten
Paslaten.
Banyumas.
Tujuan
Untuk
Mengetahui
Penelitian
Bagaimanakah
Kabupaten Banyumas.
- Menggambarkan
- Untuk mengetahui
pengaturan
tentang faktor-faktor
kepemilikan tanah
yang menyebabkan
Pertanian Absentee Di
pertanian
terjadinya
Desa
absentee.
Pemilikan
Kabupaten
Tanah
Paslaten
Minahasa
secara
pemilikan tanah
- Menggambarkan
Selatan.
perlunya tindakan
absentee/guntai di
redefinisi
Kabupaten
atau
pemaknaan
kembali
8
secara
Banyumas.
untuk
- Untuk mengetahui
pengaturan
peran Kantor
larangan
Pertanahan
kepemilikan tanah
Kabupaten Banyumas
pertanian
dalam
secara
absentee pada saat
mengatasi atau
ini.
menyelesaikan
masalah tanah-tanah
absentee/guntai.
4.
Pembahas
Penulis akan meneliti
Penulis akan meneliti
Penulis akan meneliti
an
kepemilikan
tanah
Mengenai
larangan
Fungsi
secara
pemilikan
tanah
absentee di kecamatan
pertanian
secara
Tatapaan
absentee
guna
pertanian
Kabupaten
Hukum
Penegakan
dan
Hukum,
serta Peran BPN dalam
melaksanakan
Minahasa Selatan, serta
melihat sejauh mana
Kebijakan
Pertanahan
peran
kepemilikan tersebut,
di
Kabupaten
serta
Banyumas.
Pertanahan
kabupaten
terhadap
kantor
di
minahasa
kepemilikan
di
perlukan
pemaknaan
mengenai
tanah pertanian secara
guna
absentee.
kebutuhan
kembali
ketentuan
memenuhi
masyarakat saat ini,
karena
9
sudah
di
temukanadanya
kepemilikan
tanah
pertanian
secara
absentee
khususnya
diwilayah Kabupaten
Temanggung
dan
Kabupaten
Banyumas.
Sekalipun rumusan masalahnya sama dengan Ariska tentang Peran Badan
Pertanahan Nasional dalam mengatasi atau menyelesaikan tanah-tanah absentee,
tetapi teori yang digunakan berdeda. Penulis akan menganalisis teori Robert
Seidman dan Ariska penelitiannya memakai teori Soerjono Soekanto. Perbedaan
antara teori Robert Seidman dan Soerjono soekanto ialah:
-
Pada Teori Robert B. Seidman, untuk melihat bekerjanya hukum dalam
masyarakat dapat dilihat dari tiga elemen, yaitu: 1) lembaga pembuat
peraturan; 2) lembaga pelaksana peraturan; dan 3) pemangku peran. Tiga
elemen tersebut, disebut dengan proses pembuatan hukum; proses
penegakan hukum; dan pemakai hukum, merupakan hal yang sangat
penting untuk menilai berfungsinya hukum atau bekerjanya hukum dalam
masyarakat.
10
-
Sedangkan pada teori Soejono Soekanto mengatakan bahwa efektif atau
tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu: faktor
hukumnya sendiri (undang-undang), faktor penegakan hukum, faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor
masyarakat, faktor kebudayaan.
Sehingga dalam perbandingan diatas tidak ditemukan kesamaan, sehingga
tingkat originalitas penulis dapat di pertanggung jawabkan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar
belakang
yang
telah
dipaparkan,
penulis
merumuskan masalah yang ada, sebagai berikut :
Bagaimanakah Pemilikan Tanah Absentee Di Desa Paslaten
Kabupaten Minahasa ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Pemilikan Tanah Absentee Di Desa Paslaten Kabupaten
Minahasa.
D. Manfaat Penelitian
11
1) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum pertanahan
serta masyarakat umumnya mengenai pelaksanaan larangan pemilikan
tanah pertanian secara absentee.
2) Secara praktis, penelitian ini dapat berguna bagi pemerintahan dimana
dalam pembuatan kebijakan hukum agar menjadi masukan pada proses
kebijakan hukum pertanahan selanjutnya.
E. Metode Penelitian
1) Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka,
penelitian dilakukan adalah penelitian Empiris dan menggunakan
metode Penelitian sosio legal. Metode ini memandang hukum dari
luar sebagai gejala sosial semata-mata dan mengaitkannya dengan
masalah2 sosial, di dalam penelitian hukum yang diteliti adalah
kondisi hukum secara intrinsik, yaitu hukum sebagai sistem nilai
dan hukum sebagai norma sosial.10 Oleh karenanya kajian SosioLegal Dalam penelitian ini penting karna dilihat juga hubungan
hukum di masyarakat, dengan budaya (kebiasaan) masyarakat,
dengan berkaitan mengenai pemilikan tanah secara absentee di
Desa Paslaten.
10
Peter M. Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya , Prenada Media 2008, Hal 30
12
2) Pendekatan
Pendekatan penelitian ini menggunakan adalah yuridis sosiologis,
artinya suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata
masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan
untuk menemukan fakta (fact-finding), yang kemudian menuju
pada identifikasi (problem-identification) dan pada akhirnya
menuju kepada penyelesaian masalah (problem-solution).11 Dalam
penulisan ini dilihat tentang kenyataan yang terjadi di wilayah
penelitian mengenai pemilikan tanah absentee di Desa Paslaten
akan dilihat dari sudut yuridis mengenai pengaturannya dalam
undang-undang, penerapannya dalam masyarakat, serta bagaimana
Kantor Pertanahan Kabupaten Minahasa Selatan dalam mencegah
45 Pemilikan tanah absentee dan menyelesaikan masalah-masalah
pemilikan tanah secara absentee.
3) Jenis Data
a. Data Primer
Data primer adalah data asli yang diperoleh secara langsung
dari responden dan narasumber sebagai data utama. Data primer
dalam penelitian ini adalah keterangan dari hasil wawancara
dengan Kantor Badan Pertanahan Nasional Minahasa Selatan
dan Tokoh masyarakat desa paslaten sebagai data utama.
b. Data Sekunder terdiri dari:
11
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hlm. 10
13
1) Bahan hukum Primer:
a) Undang-undang Dasar 1945;
b) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria;
c) Undang –undang Nomor 56 prp tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian;
d) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Gati
Kerugian;
e) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 Tentang
Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor
224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pemberian Ganti
Kerugian;
f) Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1977 tentang
Pemilikan tanah Pertanian Secara Gutai/Absentee Bagi
Para Pensiunan Pegawai Negeri;
g) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah;
h) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian
Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah
Tertentu;
14
i) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang
Badan Pertanahan Nasional;
j) Ketetapan MPR RI Nomor IX Tahun 1999 tentang
Pembaharuan Agraria
2) Bahan hukum sekunder:
Bahan
hukum
sekunder
adalah
hukum
yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
yang berupa pendapat hukum dari tulisan pakar hukum
agraria, yang dituangkan dalam bentuk buku, paper/makalah
serta hasil dan studi kepustakaan yang berkaitan dengan
peran BPN dalam menyelesaikan pemilikan tanah absentee.
4) Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara :
a. Penentuan Lokasi
Kabupaten
Minahasa
Selatan
terdiri
dari
17
kecamatan: Amurang, Amurang Barat, Amurang Timur,
Kumelembuay,
Ranoyapo,
Maesaan,
Sinonsayang,
Mondoinding,
Tareran,
Motoling,
Suluun-Tareran,
Tatapaan, Tenga, Tompaso Baru, Tumpaan, Motoling
Timur, Motoling Barat.
Dari 17 Kecamatan yang ada di Kabupaten
Minahasa Selatan penulis memilih Kecamatan Tatapaan,
15
yaitu di Desa Paslaten yang terindikasi jumlah kepemilikan
tanah di Desa tidak seimbang dengan jumlah pemilik tanah
yang domisili 12.
Lokasi penelitian di Desa Paslaten Kecamatan
Tatapaan Kabupaten Minahasa Selatan. Dari sebelas desa
yang ada di kecamatan Tatapaan diambil satu desa secara
purposive, dengan pertimbangan desa yang paling banyak
terdapat
pemilikan tanah secara absentee ialah di Desa
Paslaten dengan 45 kepemilikan Sedangkan di desa yang
lain seperti Desa Arakan memiliki 9 pemilikan dan Desa
Wawona memiliki 2 pemilikan tanah secara absentee. 13
b. Penentuan Responden
Wawancara dengan mengajukan pertanyaan kepada
narasumber yaitu Kepala Kantor Pertanahan di Kabupaten
Minahasa Selatan untuk mengetahui jumlah luas tanah
pemilik dan Tokoh masyarakat yang telah memberikan data
tentang pemilik tanah serta tempat.
Berdasarkan 45 orang yang memiliki tanah pertanian
secara absentee, hanya 4 orang pemilik tanah yang bisa
12
Wawancara Dengan Kepala Kantor Pertanahan Minahasa Selatan, Pada Tanggal
29 Desember 2015.
13
Keterangan Dari Kepala Bidang Pemetaan Kantor Pertanahan Kabupaten
Minahasa Selatan Pada Tanggal 29 Desember 2015
16
diwawancarai penulis untuk mmendaptkan informasi untuk
penelitian.
c. Responden
Adapun responden dalam penelitian ini adalah:
1. Ibu Vivi Sumajow
2. Ibu Sandra Johannis
3. Bapak Larry Katiandhago
4. Bapak Ferry Yoko
5) Unit Amatan
Menjadi unit amatan dalam penelitian ini adalah tokoh
masyarakat dan Kantor Badan Pertanahan Nasional tersebut dan
penulis mengambil data pemilikan tanah dari responden untuk di
kembangkan dalam bentuk analisis sesuai data yang diperoleh.
6) Unit Analisi
Menjadi unit analisa dalam penelitian ini adalah Peran
Penegak Hukum dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dalam
kinerja kerjanya untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah
tanah-tanah terutama tanah pertanian di desa Paslaten.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistem pembahasan penelitian yang akan disajikan dalam penelitian
ini terdiri atas tiga bab, yang secara terinci sebagai berikut:
17
Bab I: Bab ini memuat tentang Latar Belakang Permasalahan yang
menguraikan hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan dibuatnya
tulisan ini. Dalam bab ini juga dapat dibaca Pokok Permasalahan,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
Bab II: Hasil Penelitian di uraikan Tinjauan Pustaka Tentang Larangan
Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee, Tinjauan Tentang
Tugas dan Wewenang Badan Pertanahan Nasional, Tinjauan
Tentang Berkerjanya Hukum Dalam Masyarakat, Hasil Penelitian
Meliputi tentang: gambaran wilayah penelitian dimana tanah
absentee itu berada, praktek-praktek absentee di wilayah penelitian,
Tindakan Badan Pertanahan Nasional terhadap praktek absentee dan
Analisis Hasil Penelitian Menurut Teori Robert Seidman.
Bab III: Berisi tentang Kesimpulan dan saran-saran sebagai rekomendasi
berdasarkan yang di peroleh dalam penelitian.
18
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah bagi kehidupan manusia memiliki arti yang sangat penting, karena
sebagian besar dari kehidupannya tergantung pada tanah.1 Indonesia merupakan salah
satu negara agraris yang penduduknya sebagian besar bermata pencaharian di bidang
pertanian baik sebagai petani pemilik tanah, petani penggarap tanah maupun sebagai
buruh tani.
Oleh sebab itu, tanah harus diusahakan, dimanfaatkan atau digunakan bagi
kebutuhan yang nyata dalam bentuk penyediaan, peruntukan, penguasaan,
penggunaan dan pemeliharaannya perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan
agar terjamin kepastian hukum serta terselenggaranya perlindungan hukum bagi
rakyat, terutama golongan petani. Peningkatan volume pembangunan dalam suatu
negara, mengikis pentingnya tanah untuk pertanian.
Pertambahan penduduk yang memerlukan areal yang luas, mengakibatkan
mengecilnya atau berkurangnya persediaan tanah. Karena pentingnya tanah pertanian,
maka tanah pertanian perlu diatur keberadaannya agar tidak dikuasai secara besar1
Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah , Multi Grafik, Medan, 2005, hal. 2.
1
besaran oleh sebagian pihak saja. Lahirnya UU No 56 Prp Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian (selanjutnya disebut UUPA) mengandung makna
idiologis, dalam sejarahnya mencerminkan kehendak dan tekad seluruh bangsa
Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan hak-hak rakyat atas
tanah yang dilakukan oleh penguasa penjajah (Kolonial Belanda). Perlawanan
tersebut baik dalam bentuk menyusun dan memberlakukan sistem atau sel-sel hukum
baru, yaitu membentuk dan memberlakukan sistem hukum agraria nasional dengan
mengganti sistem hukum agraria peninggalan penjajah (kolonial) maupun menghapus
praktek penghisapan dan pemerasan rakyat miskin oleh yang kaya.2
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar RI 1945 menentukan bahwa:
“bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”3.
Untuk merealisasi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 maka
ditetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria yang juga disebut dengan singkatan UUPA. Perlindungan terhadap
tanah pertanian diatur lebih lanjut dalam Pasal 7, Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 17
UUPA. Pengaturan tentang pemilikan tanah pertanian dapat dikelompokan
menjadi dua bagian yaitu Pasal 10 ayat(1) dan Pasal 7 dengan Pasal 17 UUPA.
1. Pengaturan berkaitan asas diwajibkan mengerjakan secara aktif ,
Pasal 10 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa:
2
H. Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, 2007, Hukum Agraria Indonesia Dalam
Perspektif Sejarah , Refika Aditama, Bandung, hal. 2.
3
Lihat pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
2
“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas
tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara
pemerasan”.
2. Pengaturan berkaitan dengan batas maksimum dan minimum diatur
dalam Pasal 7 jo Pasal 17 UUPA yang berbunyi : bahwa pemilikan
dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan 4.
Untuk menghindari praktek tuan tanah dan menjamin kemakmuran
rakyat perlu diatur batas maksimum pemilikan tanah. Pasal 17
UUPA menyatakan bahwa: “tanah yang merupakan kelebihan batas
maksimum diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian,
selanjutnya
dibagikan
kepada
rakyat
yang
membutuhkan.
Kelebihan luas maksimum perlu diatur agar tercapainya pemerataan
pemilikan tanah oleh masyarakat”5.
Sebagai pelaksanaan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA telah diundangkannya
Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian. Untuk melaksanakan redistribusi tanah sebagaimana diamantkan Pasal
17 (3) UUPA jo Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut, telah
ditetapkan Peraturan Pemerintah No 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Peraturan Pemerintah ini
4
Ibid hal 11
5
Lihat Pasal 7, Pasal 10, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
3
kemudian telah diubah dan ditambah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224
tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Pemberian Ganti Kerugian.
Sedangkan untuk Pasal 10 ayat (1) UUPA telah diundangkan Peraturan Pemerintah
Nomor 224 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 Tentang
Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiun Pegawai
Negeri
Pasal 10 ayat (1) UUPA yaitu dengan asasnya harus mengerjakan tanah
pertanian secara aktif. lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 224 tahun 1961 yang menyatakan bahwa:
“Pemilik tanah yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak
tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas
tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau
pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”6.
Apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan maka tanah pertanian itu akan
diambil pemerintah dan selanjutnya dibagikan kepada para petani yang belum
memiliki tanah pertanian.
Pemilikan tanah Absentee di larang karena mencegah penguasaan dan
pemilikan tanah hanya pada sebagian orang. Dengan demikian ada beberapa esensi
dari ketentuan absentee:
6
Lihat Pasal 3 (ayat 1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961.
4
a. tanah pertanian wajib di di kerjakan secara aktif,
b. pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di kecamatan tempat letak
tanahnya,
c. wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan letak
tanahnya tersebut,
d. Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada
orang atau badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar
Kecamatan tempat letak tanahnya. 7
Larangan untuk memiliki tanah secara absentee/guntai ini sebenarnya,
bertujuan agar tanah pertanian yang berada di kecamatan tersebut dikelola sendiri
oleh petani yang berada di kecamatan letak tanah itu, sehingga hasilnya pun
maksimal dan jika dibiarkan seseorang atau badan hukum memiliki tanah secara
absentee/guntai akan menyebabkan ketidakadilan karena yang bekerja bukan
pemilik tanah pertanian tersebut, Sehingga tidak sesuai dengan tujuan landreform
yang diselenggarakan di Indonesia.
Dalam kenyataannya, sekalipun larangan ini masih berlaku, pemilikan
tanah
pertanian
secara
absentee
juga
banyak
dijumpai
di Desa Paslaten Kecamatan Tatapaan Kabupaten Minahasa Selatan. Fakta Di
Desa Paslaten masih banyak terdapat tanah pertanian dan masih banyak
masyarakatnya yang menjadi petani, baik sebagai pemilik maupun sebagai petani
penggarap. Di Desa Paslaten, terdapat pemilikan tanah pertanian secara absentee
7
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia , Djambatan, Jakarta, 2002, hlm 6.
5
dengan 45 pemilikan tanah pertanian secaraa absentee di mana domisili pemilikpemilik tanah tersebut di pulau Jawa, Kalimantan, Papua, dan sebagian lainnya di
kota Manado. Pemilikan tanah pertanian secara absentee ini karenakan adanya
pewarisan, jual beli tanah dimana pembeli berdomisili di luar daerah, pembelian
melalui lembaga lelang negara (kredit macet) dimana pembeli berdomisili di luar
daerah serta banyaknya tanah-tanah yang belum terdaftar (bersertifikat) membuat
jangkauan pelaksanaan landreform dianggap tidak sampai kepada sasaran.8
Pemilik tanah mendapatkan tanah absentee disebabkan karena kelurahan
dengan mudanya menerbitkan surat keterangan berdomisili sebagai pengganti
KTP. Selain itu aparat Kantor Pertanahan di Kabupaten tersebut kurang memiliki
kesadaraan dalam menegakan aturan-aturan tentang pemilikan tanah pertanian
secara absentee dengan meloloskan surat keterangan domisili, bahkan tanpa
identitas domisili juga dapat di proses pemberian hak atau peralihan hak. 9
Sehingga permasalahan ini terletak pada penegak hukum dalam hal ini
adalah Kantor Pertanahan Kabupaten Minahasa Selatan sebagai pelaksana
kebijakan di bidang pertanahan sangat diharapkan dalam mensosialisasikan
peraturan-peraturan
yang
ada
mengenai
larangan
kepemilikan
tanah
absentee/guntai kepada masyarakat Desa Paslaten untuk menunjang terlaksananya
program Landreform di Indonesia.
8
Wawancara Dengan Ibu Yatie Sebagai Tokoh Masyarakat Di Desa Paslaten, Pada Tanggal
29 Desember 2015.
9
Wawancara Dengan Ibu Yatie Sebagai Tokoh Masyarakat Di Desa Paslaten, Pada Tanggal
29 Desember 2015.
6
Penelitian ini, berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan, hal ini
dapat dijelaskan dalam table di bawah ini:
Tabel. 1.1 Perbandingan Fokus Penelitian
No
1.
Substansi
Judul
Jessica
Pemilikan
Whenita
Redefinisi
Peran Kantor
Pertanian Absentee Di
Pengaturan Larangan
Pertanahan Dalam
Desa
Kepemilikan
Tanah
Mengatasi
Pertanian
Secara
Kepemilikan Tanah
Absentee
Dimasa
Kabupaten
Tanah
Ariska
Paslaten
Minahasa
Selatan
Kini
2.
Rumusan
Bagaimanakah
masalah
Pemilikan
“Absentee/Guntai” di
Kabupaten Banyumas
1. Faktor-faktor apa
1. Faktor-faktor apa
Tanah
sajahkah yang
sajakah yang
Pertanian Absentee Di
menyebabkan
menyebabkan
Desa
terjadinya
terjadinya pemilikan
pemilikan tanah
tanah secara
secara absentee?
absentee/guntai di
Kabupaten
Paslaten
Minahasa
Selatan
2. Perlukah
redefinisi untuk
7
Kabupaten
Banyumas ?
pengaturan
2. Bagaimanakah peran
larangan
Kantor Pertanahan
kepemilkan
Kabupaten
tanah pertanian
Banyumas dalam
secara absentee
mengatasi atau
dimassa kini ?
menyelesaikan
masalah tanah-tanah
absentee/guntai ?
3.
3.
Objek
Kabupaten Minahasa
Kabupaten
Penelitian
Selatan di Kecamatan
Temanggung dan
Tatapaan Desa
Kabupaten
Paslaten.
Banyumas.
Tujuan
Untuk
Mengetahui
Penelitian
Bagaimanakah
Kabupaten Banyumas.
- Menggambarkan
- Untuk mengetahui
pengaturan
tentang faktor-faktor
kepemilikan tanah
yang menyebabkan
Pertanian Absentee Di
pertanian
terjadinya
Desa
absentee.
Pemilikan
Kabupaten
Tanah
Paslaten
Minahasa
secara
pemilikan tanah
- Menggambarkan
Selatan.
perlunya tindakan
absentee/guntai di
redefinisi
Kabupaten
atau
pemaknaan
kembali
8
secara
Banyumas.
untuk
- Untuk mengetahui
pengaturan
peran Kantor
larangan
Pertanahan
kepemilikan tanah
Kabupaten Banyumas
pertanian
dalam
secara
absentee pada saat
mengatasi atau
ini.
menyelesaikan
masalah tanah-tanah
absentee/guntai.
4.
Pembahas
Penulis akan meneliti
Penulis akan meneliti
Penulis akan meneliti
an
kepemilikan
tanah
Mengenai
larangan
Fungsi
secara
pemilikan
tanah
absentee di kecamatan
pertanian
secara
Tatapaan
absentee
guna
pertanian
Kabupaten
Hukum
Penegakan
dan
Hukum,
serta Peran BPN dalam
melaksanakan
Minahasa Selatan, serta
melihat sejauh mana
Kebijakan
Pertanahan
peran
kepemilikan tersebut,
di
Kabupaten
serta
Banyumas.
Pertanahan
kabupaten
terhadap
kantor
di
minahasa
kepemilikan
di
perlukan
pemaknaan
mengenai
tanah pertanian secara
guna
absentee.
kebutuhan
kembali
ketentuan
memenuhi
masyarakat saat ini,
karena
9
sudah
di
temukanadanya
kepemilikan
tanah
pertanian
secara
absentee
khususnya
diwilayah Kabupaten
Temanggung
dan
Kabupaten
Banyumas.
Sekalipun rumusan masalahnya sama dengan Ariska tentang Peran Badan
Pertanahan Nasional dalam mengatasi atau menyelesaikan tanah-tanah absentee,
tetapi teori yang digunakan berdeda. Penulis akan menganalisis teori Robert
Seidman dan Ariska penelitiannya memakai teori Soerjono Soekanto. Perbedaan
antara teori Robert Seidman dan Soerjono soekanto ialah:
-
Pada Teori Robert B. Seidman, untuk melihat bekerjanya hukum dalam
masyarakat dapat dilihat dari tiga elemen, yaitu: 1) lembaga pembuat
peraturan; 2) lembaga pelaksana peraturan; dan 3) pemangku peran. Tiga
elemen tersebut, disebut dengan proses pembuatan hukum; proses
penegakan hukum; dan pemakai hukum, merupakan hal yang sangat
penting untuk menilai berfungsinya hukum atau bekerjanya hukum dalam
masyarakat.
10
-
Sedangkan pada teori Soejono Soekanto mengatakan bahwa efektif atau
tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu: faktor
hukumnya sendiri (undang-undang), faktor penegakan hukum, faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor
masyarakat, faktor kebudayaan.
Sehingga dalam perbandingan diatas tidak ditemukan kesamaan, sehingga
tingkat originalitas penulis dapat di pertanggung jawabkan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar
belakang
yang
telah
dipaparkan,
penulis
merumuskan masalah yang ada, sebagai berikut :
Bagaimanakah Pemilikan Tanah Absentee Di Desa Paslaten
Kabupaten Minahasa ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Pemilikan Tanah Absentee Di Desa Paslaten Kabupaten
Minahasa.
D. Manfaat Penelitian
11
1) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum pertanahan
serta masyarakat umumnya mengenai pelaksanaan larangan pemilikan
tanah pertanian secara absentee.
2) Secara praktis, penelitian ini dapat berguna bagi pemerintahan dimana
dalam pembuatan kebijakan hukum agar menjadi masukan pada proses
kebijakan hukum pertanahan selanjutnya.
E. Metode Penelitian
1) Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka,
penelitian dilakukan adalah penelitian Empiris dan menggunakan
metode Penelitian sosio legal. Metode ini memandang hukum dari
luar sebagai gejala sosial semata-mata dan mengaitkannya dengan
masalah2 sosial, di dalam penelitian hukum yang diteliti adalah
kondisi hukum secara intrinsik, yaitu hukum sebagai sistem nilai
dan hukum sebagai norma sosial.10 Oleh karenanya kajian SosioLegal Dalam penelitian ini penting karna dilihat juga hubungan
hukum di masyarakat, dengan budaya (kebiasaan) masyarakat,
dengan berkaitan mengenai pemilikan tanah secara absentee di
Desa Paslaten.
10
Peter M. Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya , Prenada Media 2008, Hal 30
12
2) Pendekatan
Pendekatan penelitian ini menggunakan adalah yuridis sosiologis,
artinya suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata
masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan
untuk menemukan fakta (fact-finding), yang kemudian menuju
pada identifikasi (problem-identification) dan pada akhirnya
menuju kepada penyelesaian masalah (problem-solution).11 Dalam
penulisan ini dilihat tentang kenyataan yang terjadi di wilayah
penelitian mengenai pemilikan tanah absentee di Desa Paslaten
akan dilihat dari sudut yuridis mengenai pengaturannya dalam
undang-undang, penerapannya dalam masyarakat, serta bagaimana
Kantor Pertanahan Kabupaten Minahasa Selatan dalam mencegah
45 Pemilikan tanah absentee dan menyelesaikan masalah-masalah
pemilikan tanah secara absentee.
3) Jenis Data
a. Data Primer
Data primer adalah data asli yang diperoleh secara langsung
dari responden dan narasumber sebagai data utama. Data primer
dalam penelitian ini adalah keterangan dari hasil wawancara
dengan Kantor Badan Pertanahan Nasional Minahasa Selatan
dan Tokoh masyarakat desa paslaten sebagai data utama.
b. Data Sekunder terdiri dari:
11
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hlm. 10
13
1) Bahan hukum Primer:
a) Undang-undang Dasar 1945;
b) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria;
c) Undang –undang Nomor 56 prp tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian;
d) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Gati
Kerugian;
e) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 Tentang
Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor
224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pemberian Ganti
Kerugian;
f) Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1977 tentang
Pemilikan tanah Pertanian Secara Gutai/Absentee Bagi
Para Pensiunan Pegawai Negeri;
g) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah;
h) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian
Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah
Tertentu;
14
i) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang
Badan Pertanahan Nasional;
j) Ketetapan MPR RI Nomor IX Tahun 1999 tentang
Pembaharuan Agraria
2) Bahan hukum sekunder:
Bahan
hukum
sekunder
adalah
hukum
yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
yang berupa pendapat hukum dari tulisan pakar hukum
agraria, yang dituangkan dalam bentuk buku, paper/makalah
serta hasil dan studi kepustakaan yang berkaitan dengan
peran BPN dalam menyelesaikan pemilikan tanah absentee.
4) Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara :
a. Penentuan Lokasi
Kabupaten
Minahasa
Selatan
terdiri
dari
17
kecamatan: Amurang, Amurang Barat, Amurang Timur,
Kumelembuay,
Ranoyapo,
Maesaan,
Sinonsayang,
Mondoinding,
Tareran,
Motoling,
Suluun-Tareran,
Tatapaan, Tenga, Tompaso Baru, Tumpaan, Motoling
Timur, Motoling Barat.
Dari 17 Kecamatan yang ada di Kabupaten
Minahasa Selatan penulis memilih Kecamatan Tatapaan,
15
yaitu di Desa Paslaten yang terindikasi jumlah kepemilikan
tanah di Desa tidak seimbang dengan jumlah pemilik tanah
yang domisili 12.
Lokasi penelitian di Desa Paslaten Kecamatan
Tatapaan Kabupaten Minahasa Selatan. Dari sebelas desa
yang ada di kecamatan Tatapaan diambil satu desa secara
purposive, dengan pertimbangan desa yang paling banyak
terdapat
pemilikan tanah secara absentee ialah di Desa
Paslaten dengan 45 kepemilikan Sedangkan di desa yang
lain seperti Desa Arakan memiliki 9 pemilikan dan Desa
Wawona memiliki 2 pemilikan tanah secara absentee. 13
b. Penentuan Responden
Wawancara dengan mengajukan pertanyaan kepada
narasumber yaitu Kepala Kantor Pertanahan di Kabupaten
Minahasa Selatan untuk mengetahui jumlah luas tanah
pemilik dan Tokoh masyarakat yang telah memberikan data
tentang pemilik tanah serta tempat.
Berdasarkan 45 orang yang memiliki tanah pertanian
secara absentee, hanya 4 orang pemilik tanah yang bisa
12
Wawancara Dengan Kepala Kantor Pertanahan Minahasa Selatan, Pada Tanggal
29 Desember 2015.
13
Keterangan Dari Kepala Bidang Pemetaan Kantor Pertanahan Kabupaten
Minahasa Selatan Pada Tanggal 29 Desember 2015
16
diwawancarai penulis untuk mmendaptkan informasi untuk
penelitian.
c. Responden
Adapun responden dalam penelitian ini adalah:
1. Ibu Vivi Sumajow
2. Ibu Sandra Johannis
3. Bapak Larry Katiandhago
4. Bapak Ferry Yoko
5) Unit Amatan
Menjadi unit amatan dalam penelitian ini adalah tokoh
masyarakat dan Kantor Badan Pertanahan Nasional tersebut dan
penulis mengambil data pemilikan tanah dari responden untuk di
kembangkan dalam bentuk analisis sesuai data yang diperoleh.
6) Unit Analisi
Menjadi unit analisa dalam penelitian ini adalah Peran
Penegak Hukum dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dalam
kinerja kerjanya untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah
tanah-tanah terutama tanah pertanian di desa Paslaten.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistem pembahasan penelitian yang akan disajikan dalam penelitian
ini terdiri atas tiga bab, yang secara terinci sebagai berikut:
17
Bab I: Bab ini memuat tentang Latar Belakang Permasalahan yang
menguraikan hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan dibuatnya
tulisan ini. Dalam bab ini juga dapat dibaca Pokok Permasalahan,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
Bab II: Hasil Penelitian di uraikan Tinjauan Pustaka Tentang Larangan
Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee, Tinjauan Tentang
Tugas dan Wewenang Badan Pertanahan Nasional, Tinjauan
Tentang Berkerjanya Hukum Dalam Masyarakat, Hasil Penelitian
Meliputi tentang: gambaran wilayah penelitian dimana tanah
absentee itu berada, praktek-praktek absentee di wilayah penelitian,
Tindakan Badan Pertanahan Nasional terhadap praktek absentee dan
Analisis Hasil Penelitian Menurut Teori Robert Seidman.
Bab III: Berisi tentang Kesimpulan dan saran-saran sebagai rekomendasi
berdasarkan yang di peroleh dalam penelitian.
18