REFRESHMENT FILSAFAT ISLAM Studi Informa

REFRESHMENT FILSAFAT ISLAM;

Studi Informatif Dalam Perspektif Sejarah Dan Masa Depan
Qolbi Khoiri
Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu
qolbikhoiri@gmail.com
Abstrak; Perkembangan pemikiran Islam mengalami lompatan sejak pemerintahan Islam
pindah ke Damaskus, yakni pada masa Bani Umaiyah. Pada saat itu umat Islam dihadapkan
pada kebutuhan untuk menjawab persoalan-persoalan riil di masyarakat yang tidak cukup
dijawab dengan Qur’an dan Hadits. Karena alasan inilah, maka ijtihad pada masa itu
mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan, khususnya pada masa kebesaran
pemerintahan Bani Abbasyiyah yang berpusat di Baghdad. Pada dasarnya studi tentang
filsafat Islam dapat dilakukan oleh siapapun dan dengan metode (cara) apapun. Termasuk
model-model studi yang lebih sistematis yang sudah pernah dirumuskan secara ilmiah.
Terdapat beberapa model atau metode dalam filsafat yaitu Pertama, Metode Deskriptif; kedua,
metode analisis; ketiga, metode sistesis; keempat, metode komparatif. Selain itu adapula
model lain dari kajian filsafat Islam yaitu: Pertama, Model Amin Abdullah. Model yang
dikembangkan oleh Amin Abdullah adalah model studi tokoh; ; kedua, Model Otto
Horrasowitz, Majid Fakhry dan Harun Nasution. Ketiga tokoh ini menggunakan model
pendekatan campuran antara pendekatan his-toris, pendekatan kawasan, pendekatan substansi

dan tema-tema yang menjadi konsep filosofis sang filsuf; ketiga, Model studi tematik. Model
ini seperti yang dilakukan oleh Oliver Leaman dan Seyyed Husein Nasr; keempat, model
studi tematik al-Quran dengan kerangka filsafat
Kata Kunci: Filsafat, Masa Depan Filsafat Islam
Abstract: The development of Islamic thought to experience a leap since the Islamic
government moved to Damascus, ie during the Bani Umaiyah. At that time Muslims are faced
with the need to address the real problems in society are not sufficiently addressed by the
Qur'an and the Hadith. For this reason, the ijtihad of the time experienced significant growth,
especially during the reign of Bani Abbasyiyah greatness based in Baghdad. Basically the
study of Islamic philosophy can be done by anyone and the method (means) of any kind.
Including models that more systematic studies that have been scientifically formulated. There
are several models or methods in philosophy, namely First, descriptive methods; second, the
method of analysis; Third, the method of synthesis; fourth, comparative method. Additionally
unisex other models of Islamic philosophy studies: First, Model Amin Abdullah. The model
developed by Amin Abdullah is a model study of character; ; second, Otto Model
Horrasowitz, Majid Fakhry and Harun Nasution. These three figures using a mixed model of
approach between his approach-toris, regional approach, the approach of substance and
themes into the philosophical concept of the philosopher; Third, Model thematic studies. This
model as practiced by Oliver Leaman and Seyyed Hussein Nasr; Fourth, the model thematic
study of the Koran with philosophical framework

Keywords: Philosophy, The Future of Islamic Philosophy
A. PENDAHULUAN
Pada awal pertumbuhannya,
pemikiran Islam bergerak secara
70● Volume 5 No 1 Januari-Juni 2015

dinamis dan menghasilkan khazanah
ilmu pengetahuan dan peradaban yang
tinggi, bagai mercusuar yang sulit

tertandingi. Namun, sejak abad ke- 13,
khazanah pemikiran Islam mengalami
kemandekan, justru di saat Barat mulai
menampakkan kreatifitasnya dalam
membangun peradaban.
Menurut catatan para ahli,
perkembangan
pemikiran
Islam
mengalami

lompatan
sejak
pemerintahan
Islam
pindah
ke
Damaskus, yakni pada masa Bani
Umaiyah. Pada saat itu umat Islam
dihadapkan pada kebutuhan untuk
menjawab persoalan-persoalan riil di
masyarakat yang tidak cukup dijawab
dengan Qur’an dan Hadits. Karena
alasan inilah, maka ijtihad pada masa
itu mengalami pertumbuhan yang
sangat signifikan, khususnya pada
masa kebesaran pemerintahan Bani
Abbasyiyah yang berpusat di Baghdad.
Dalam
pandangan
Amin

Abdullah, pesatnya perkembangan
pemikiran umat Islam pada masa
kebesaran Islam di Baghdad adalah
karena mereka mampu menggunakan
filsafat sebagai alat untuk berijtihad.147
Dengan struktur . ilmiah yang
terbangun dalam tradisi filsafat, umat
Islam berupaya mengkaji khazanah
keislaman dan mengembangkannya
dalam beragam disiplin ilmu, seperti
kalam, Fiqh, nahwu, tafsir, tasawuf dan
lain-lain. Tanpa dukungan filsafat, ilmu
keislaman
akan
mengalami
kelumpuhan,
karena
ketidak
mampuannya
mengembangkan

pemikiran melalui struktur logis yang
ditawarkannya.
Pada tulisan ini penulis akan
mencoba mengulas mengenai hal ini
yang meliputi Pengertian filsafat,
Klasifikasi, metode pengkajian filsafat
dalam studi pemikiran Islam serta
contoh-contohnya dan Analisa Metode
Kebermanfaatan Filsafat bagi Masa
Depan ,.
147
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era
Posmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),
1995, h. 19

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat
Perkataan
Inggris
philosophy yang berarti filsafat

berasal
dari
kata
Yunani
“philosophia”
yang
lazim
diterjemahkan
sebagai
cinta
kearifan. Akar katanya ialah philos
(philia, cinta) dan sophia (kearifan).
Menurut
pengertiannya
yang
semula dari zaman Yunani Kuno
itu filsafat berarti cinta kearifan.
Namun, cakupan pengertian sophia
yang semula itu ternyata luas
sekali. Dahulu sophia tidak hanya

berarti kearifan saja, melainkan
meliputi pula kebenaran pertama,
pengetahuan
luas,
kebajikan
intelektual, pertimbangan sehat
sampai kepandaian pengrajin dan
bahkan
kecerdikkan
dalam
memutuskan soal-soal praktis.148
Banyak
pengertianpengertian atau definisi-definisi
tentang
filsafat
yang
telah
dikemukakan oleh para filsuf.
Menurut Merriam-Webster seperti
yang di ungkapkan Soeparmo, 149

secara harafiah filsafat berarti cinta
kebijaksanaan. Maksud sebenarnya
adalah
pengetahuan
tentang
kenyataan-kenyataan yang paling
umum dan kaidah-kaidah realitas
serta hakekat manusia dalam segala
aspek perilakunya seperti: logika,
etika,
estetika
dan
teori
pengetahuan.
Kalau
menurut
tradisi
filsafati dari zaman Yunani Kuno,
orang yang pertama memakai
istilah philosophia dan philosophos

ialah Pytagoras (592-497 S.M.),
yakni seorang ahli matematika
148

Liang Gie The Liang Gie, Pengantar
Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1999)., Cet.
Ke-4., h. 29
149
Soeparmo, Struktur Keilmuwan Dan
Teori Ilmu Pengetahuan Alam, (Surabaya:
Airlangga University Press, 1984)., h. 2

Volume 5 No 1 Januari-Juni 2015● 71

yang kini lebih terkenal dengan
dalilnya dalam geometri yang
menetapkan a2 + b2 = c2.
Pytagoras menganggap dirinya
“philosophos” (pencinta kearifan).
Baginya

kearifan
yang
sesungguhnya hanyalah dimiliki
semata-mata
oleh
Tuhan.
Selanjutnya, orang yang oleh para
penulis sejarah filsafat diakui
sebagai Bapak Filsafat ialah Thales
(640-546 S.M.). Ia merupakan
seorang Filsuf yang mendirikan
aliran filsafat alam semesta atau
kosmos dalam perkataan Yunani.
Menurut aliran filsafat kosmos,
filsafat adalah suatu penelaahan
terhadap alam semesta untuk
mengetahui asal mulanya, unsurunsurnya dan kaidah-kaidahnya.150
Menurut sejarah kelahiran
istilahnya, filsafat terwujud sebagai
sikap yang ditauladankan oleh

Socrates. Yaitu sikap seorang yang
cinta
kebijaksanaan
yang
mendorong pikiran seseorang untuk
terus menerus maju dan mencari
kepuasan pikiran, tidak merasa
dirinya ahli, tidak menyerah kepada
kemalasan,
terus
menerus
mengembangkan
penalarannya
untuk mendapatkan kebenaran.151
Timbulnya filsafat karena
manusia merasa kagum dan merasa
heran.
Pada
tahap awalnya
kekaguman atau keheranan itu
terarah pada gejala-gejala alam.
Dalam perkembangan lebih lanjut,
karena persoalan manusia makin
kompleks, maka tidak semuanya
dapat dijawab oleh filsafat secara
memuaskan.
Jawaban
yang
diperoleh
menurut
Koento
Wibisono
dkk,152
dengan
150

The Liang Gie, Pengantar....h., 31
Soeparmo, Struktur Keilmuwan...h. 4
152
Koento Wibisono S. Dkk, Filsafat Ilmu
Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan,
(Klaten: Intan Pariwara, 1997)., h. 6-7
151

72● Volume 5 No 1 Januari-Juni 2015

melakukan refleksi yaitu berpikir
tentang pikirannya sendiri. Dengan
demikian, tidak semua persoalan itu
harus persoalan filsafat.
Dilihat dari arti praktisnya,
filsafat adalah alam berfikir atau
alam pikiran. berfilsafat adalah
berfikir. Langeveld, dalam bukunya
"pengantar pada pemikiran filsafat"
(1959) menyatakan, bahwa filsafat
adalah
suatu
perbincangan
mengenai
segala hal, sarwa
sekalian alam secara sistematis
sampai ke akar-akarnya. Apabila
dirumuskan kembali, filsafat adalah
suatu wacana, atau perbincangan
mengenai segala hal secara
sistematis sampai konsekwensi
terakhir dengan tujuan menemukan
hakekatnya.
Sementara
menurut
Immanuel
Kant
menyatakan,
bahwa
filsafat
adalah
ilmu
pengetahuan yang menjadi pokok
dan
pangkal
dari
segala
pengetahuan yang didalamnya
mencakup empat persoalan, yaitu
apa
yang
dapat
diketahui
(metafisika), apa yang seharusnya
diketahui (etika), sampai dimana
harapan kita (agama), dan apa yang
dinamakan
dengan
manusia
(antropologi),
dan
menurut
Hasbullah Bakri merumuskan
filsafat
adalah
ilmu
yang
menyelidiki segala sesuatu dengan
mendalam mengenai ketuhanan,
alam, semesta alam, dan manusia
sehingga
dapat
menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana
hekekat ilmu filsafat dapat dicapai
oleh akal manusia dan bagaimana
seharusnya sikap manusia setelah
mencapai pengetahuan itu.
2. Klasifikasi Filsafat Menurut
Daerah Munculnya
Di seluruh dunia, banyak
orang yang menanyakan pertanyaan
yang sama dan membangun tradisi

filsafat,
menanggapi
dan
meneruskan banyak karya-karya
sesama mereka. Oleh karena itu
filsafat
biasa
diklasifikasikan
menurut daerah geografis dan
budaya. Pada dewasa ini filsafat
biasa dibagi menjadi:
a. Filsafat Barat; adalah ilmu yang
biasa dipelajari secara akademis
di universitas-universitas di
Eropa
dan
daerah-daerah
jajahan mereka. Filsafat ini
berkembang dari tradisi falsafi
orang Yunani kuno. Plato,
Aristoteles, Thomas Aquinas,
Réne Descartes, Immanuel
Kant, Georg Hegel, Arthur
Schopenhauer, Karl Heinrich
Marx, Friedrich Nietzsche, dan
Jean-Paul Sartre.
b. Filsafat Timur; adalah tradisi
falsafi
yang
terutama
berkembang di Asia, khususnya
di India, Tiongkok dan daerahdaerah lain yang pernah
dipengaruhi budayanya. Sebuah
ciri khas Filsafat Timur ialah
dekatnya hubungan filsafat
dengan agama. Meskipun hal
ini kurang lebih juga bisa
dikatakan untuk Filsafat Barat,
terutama di Abad Pertengahan,
tetapi di Dunia Barat filsafat ’an
sich’ masih lebih menonjol
daripada agama. Nama-nama
beberapa
filsuf:
Siddharta
Gautama/Buddha,
Bodhidharma, Lao Tse, Kong
Hu Cu, Zhuang Zi dan juga
Mao Zedong.
c. Filsafat Timur Tengah; ini
sebenarnya mengambil tempat
yang istimewa. Sebab dilihat
dari sejarah, para filsuf dari
tradisi ini sebenarnya bisa
dikatakan juga merupakan ahli
waris tradisi Filsafat Barat.
Sebab para filsuf Timur Tengah
yang pertama-tama adalah

orang-orang Arab atau orangorang Islam (dan juga beberapa
orang
Yahudi),
yang
menaklukkan daerah-daerah di
sekitar Laut Tengah dan
menjumpai kebudayaan Yunani
dengan tradisi falsafi mereka.
Lalu mereka menterjemahkan
dan memberikan komentar
terhadap karya-karya Yunani.
Bahkan ketika Eropa setalah
runtuhnya Kekaisaran Romawi
masuk ke Abad Pertengahan
dan melupakan karya-karya
klasik Yunani, para filsuf Timur
Tengah ini mempelajari karyakarya yang sama dan bahkan
terjemahan mereka dipelajari
lagi oleh orang-orang Eropa.
Nama-nama beberapa filsuf
Timur Tengah: Avicenna(Ibnu
Sina),
Ibnu
Tufail,
dan
Averroes.
3. Objek Kajian Filsafat
Tujuan berfilsafat ialah
menemukan
kebenaran
yang
sebenarnya. Jika kebenaran yang
sebenarnya itu disusun secara
sistematis, jadilah ia sistematis
filsafat. Sistematis filsafat itu
biasanya terbagi atas tiga cabang
besar
filsafat,
yaitu
teori
pengetahuan, teori hakekat, dan
teori nilai.
Isi filsafat ditentukan oleh
objek apa yang dipikirkan. Objek
yang dipikirkan oleh filosuf ialah
segala yang ada dan yang mungkin
ada, jadi luas sekali. Objek yang
diselidiki oleh filsafat ini disebut
objek materia, yaitu segala yang
ada dan mungkin ada tadi. tentang
objek materia ini banyak yang sama
dengan objek materia sains.
Bedanya ialah dalam dua hal.
Pertama, sains menyelidiki objek
materia yang impiris; filsafat
menyelidiki objek itu juga, tetapi
bukan bagian yang impriris,
Volume 5 No 1 Januari-Juni 2015● 73

melainkan bagian yang abtraknya.
Kedua, ada objek materia filsafat
yang memang tidak dapat diteliti
oleh sains, seperti Tuhan, hari
akhir, yaitu objek materia yang
untuk
selama-lamanya
tidak
empiris. Jadi, objek meteria filsafat
tetap saja luas dari objek materia
sains.
Selain objek materia, ada
lagi objekforma, yaitu sifat
penyelidikan. Objek forma filsafat
ialah penyelidikan yang mendalam.
Artinya, ingin tahunya filsafat
adalah ingin tahu bagian dalamnya.
Kata mendalam artinya ingin tahu
tentang objek yang tidak empiris.
Penyelidikan sain tidak mendalam
karena ia hanya ingin tahu sampai
batas objek itu daat diteliti secara
empiris. Jadi, objek penelitian sains
ialah pada batas dapat diriset,
sedangkan objek penelitian filsafat
adalah pada daerah tidak dapat
diriset, tetapi dapat dipikirkan
secara logis. Jadi, sains menyelidiki
dengan riset, filsafat meneliti
dengan memikirkannya.
4. Metode
Pengkajian
Filsafat
dalam Pemikiran Islam
Pada dasarnya studi tentang
filsafat Islam dapat dilakukan oleh
siapapun dan dengan metode (cara)
apapun. Termasuk model-model
studi yang lebih sistematis yang
sudah pernah dirumuskan secara
ilmiah.
Adalah
Ibrahim
153
Madkour , membagi metodemetode
studi filsafat
Islam
sebagaimana berikut:
Pertama, Metode Deskriptif,
yang bermakna suatu metode untuk
pengumpulan
keteranganketerangan
yang
mendekati
hakikatnya, mendasar sifatnya, dan
153

Ibrahim Madkour,. Filsafat Islam:
Metode dan Penerapannya I. ter. Yudian Wahyudi
Asmin dan Ahmad Hakim Mudzakir. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996

74● Volume 5 No 1 Januari-Juni 2015

menyangkut
esensinya
yang
dipandang amat diperlukan dalam
menyusun pandangan kefilsafatan.
Kedua, metode analisis
yaitu
suatu
metode
untuk
memahami nilai-nilai kefilsafatan
secara detil dengan menguraikan
makna-makna yang terkandung
dalam
data-data,
serta
menghubungkan makna tersebut
dengan makna lain yang didapat
dari kandungan data yang lain pula.
Sehingga
diperoleh
sebuah
kesimpulan akhir yang dianggap
benar.
Ketiga, metode sintesis,
yaitu
metode
yang
menyatupadukan berbagai esensi
dan keterangan yang mendasar,
sehingga
tersusun
sebuah
pandangan baru dalam bidang
kefilsafatan,
sebagai
hasil
konvergensi
berbagai
macam
esensi.
Keempat,
metode
komparatif, yakni metode yang
berusaha
mendapatkan
esensi
tertentu dalam bidang kefilsafatan
dengan jalan membandingkan
esensi, keterangan yang mendasar
dan berbagai aliran dalam filsafat.
Metode ini lebih berorientasi pada
perbandingan ciri-ciri pemikiran
kefilsafatan, bukan keseragaman
yang
tampak
pada
nilai
kefilsafatannya.
Kelima,
metode
fenomenologis.
Metode
ini
berusaha memahami fenomena
sebagai data dengan menekankan
inti kesadarannya, bukan persepsi
awal peneliti. Dengan kata lain,
fenomena yang hendak diteliti
dibiarkan mengalir apa adanya
tanpa intervensi dari peneliti.
Seperti halnya metode studi
filsafat, model-model studi filsafat
Islam pun variatif dan terus
berkembang. Di sini penulis

sengaja menyajikan model yang
diperkenalkan oleh Abuddin Nata,
sebagai bahan perbandingan bagi
pengembangan studi filsafat Islam
selanjutnya.
Setidak-tidaknya,
menurut Abuddin Nata, ada tiga
model studi filsafat Islam yang
dapat dikembangkan, yaitu :
Pertama,
Model
Amin
Abdullah.
Model
yang
dikembangkan oleh Amin Abdullah
adalah model studi tokoh, dimana
dalam
disertasinya
Amin
membandingkan konsep etika
menurut al-Ghazali dan Immanuel
Dalam
melakukan
Kant.154
penelitiannya,
Amin
meneliti
karya-karya yang telah ditulis oleh
kedua tokoh tersebut tentang etika,
sebagai sumber primer, maupun
karya-karya yang ditulis oleh orang
lain tentang konsep etika kedua
tokoh tersebut.
Kedua,
Model
Otto
Horrasowitz, Majid Fakhry dan
Harun Nasution.155 Ketiga tokoh ini
menggunakan model pendekatan
campuran
antara
pendekatan
historis, pendekatan kawasan,
pendekatan substansi dan tematema yang menjadi konsep filosofis
sang filsuf. Harun Nasution
misalnya, ia mengkaji filsafat
dengan menggunakan metode
historis, tokoh dan ide-idenya.
Begitu juga halnya dengan
Horrasowits dan Majid Fakhry,
154

Di antara karya lainnya dapat di lacak
dalam Amin Abdullah, Teologi dan Filsafat dalam
Perspektif Globalisasi E dalam Mukti Ali, Agama
Dalam Pergumulan Masyarakat, Yogya, Tiara
Wacana, 1998
155
Lebih lanjut dapat di tinjau dalam
bukunya di antaranya, Majid Fakhry, A History of
Islamic Philosophy. New York: Columbia
University Press, 1983 dan Majid Fakhry. Sejarah
Filsafat Islam. ter. Drs. R. Mulyadi Kartanegara.
Jakarta: Pustaka Jaya. 1987. juga dapat di lacak
mengenai model ini dalam Harun Nasution, Filsafat
dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang. 1973

selain
membahas
kesejarahan
filsafat
dan
tokoh-tokohnya,
mereka juga meneliti ajaran-ajaran
sang filsuf tentang cahaya, etika,
epistimologi, wahyu, gerak, jiwa
dan lain-lain. Model ini dapat
disebut sebagai metode holistik,
karena
variabel
filsafatyang
digunakan bervariasi.
Ketiga,
Model
studi
tematik. Model ini seperti yang
dilakukan oleh Oliver Leaman dan
Seyyed Husein Nasr.156 Kajian ini
menggunakan metode kepustakaan
dan analisis atas pemikiranpemikian filsuf muslim klasik
berdasarkan tema-tema tertentu,
seperti
mistisisme,
ontologi,
pengetahuan, ilmu dan lain-lain.
Keempat,
model
studi
tematik al-Quran dengan kerangka
filsafat. Metode ini diperkenalkan
oleh Afzalurrahman. Model studi
ini berdasarkan pada tema-tema
tertentu seperti Tuhan, manusia,
wahyi, alam semesta dan lainlainyang ada di dalam al-Quran
untuk dikaji secara filosofis.
Metode yang dipakai dalam model
ini adalah analisis bahasa dan
hermeneutik. Sesekali juga dapat
meng-gunkan analisis saintifik.
Hasil yang dapat dicapai dengan
model studi ini adalah kesimpulankesimpulan atas makna ayat
sebagai paradigma al-Quran.
Selain keempat model studi
tersebut, barangkali tidak sedikit
model lain yang dapat digunakan
untuk mengkaji filsafat. Hal ini
tidak mustahil mengingat kinerja
filsafat yang bertumpu pada
rasionalitas
akan
selalu
156

Dapat di lacak dalam, Seyyed Hossein
Nasr, Science and Civilizatiob in Islam. New York:
New American Library, 1970, Leaman, Oliver
Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Rajawali Pres,
1988 dan Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, terj. A.
Mujahid, Bandung, Risalah, 1986

Volume 5 No 1 Januari-Juni 2015● 75

berkembang
sesuai
dengan
perkembangan rasio.
5. Contoh-Contoh Kajian Filsafat
dalam Pemikiran Islam
Contoh pemikiran filsafat dari
Filsuf muslim berikut ini yang
penulis kemukakan adalah
a. Abu Nasr Muhammad AlFarabi (870-950 M).
Dalam
tulisantulisannya,
kerangka
pemikirannya
cenderung
berusaha memadukan corak
filsafat
Aristoteles
dan
Neoplatonisme
dengan
pemikiran keislaman mazhab
Syiah Imamiyah. Ia percaya,
seperti halnya al-Razi, bahwa
akal merupakan akses utama
untuk mencapai kebenaran.
Sekalipun kurang sependapat
dengannya ketika mengecilkan
arti penting kenabian. Bagi alFarabi, untuk membangun suatu
pemerintahan yang ideal (almadinah
al-fadhilah),
masyarakat manapun haruslah
mendapat
bimbingan
dari
seseorang yang beroleh wahyu
dari Allah. Ia juga percaya
sebagaimana para sufi bahwa
kesadaran penuh akan wahyu
bergantung pada spiritualitas
yang diolah dan dipertinggi.157
Tentang
penciptaan
alam,
Al-Farabi
mengembangkan konsep esensi
dan eksistensi Aristotelian
dengan memberi pembedaan
antara pengada yang niscaya
(wajib al-wujud li dzatihi /
wujud mutlak) dan pengada
yang kontingen (wajib al-wujud
li ghairih / wujud-mungkin).
Wujud-mungkin
adalah
makhluk yang menjadi bukti
157
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual
Nurcholish Islam (Jakarta : Bulan Bintang,1984), h.
30

76● Volume 5 No 1 Januari-Juni 2015

adanya wujud-mutlak yaitu
Allah.158 Dalam hal ini AlFarabi tidak sependapat dengan
al-Razi yang mempercayai
bahwa bahan dunia telah ada
sebelum penciptaan, tetapi lebih
sependapat dengan gagasan
neoplatonis
al-Kindi
yang
menyatakan bahwa semua
ciptaan beremanasi dari Allah
dan pikiran manusia mampu
mengetahui hal tersebut melalui
penerangan intelegensi yang
lebih tinggi dan eksternal.
Dalam teori emanasi (al-faidl)
al-Farabi
tersebut,
Tuhan
dilukiskan sebagai yang sama
sekali Esa dan karenanya tidak
bisa didefinisikan. Menurutnya,
definisi
hanya
akan
menisbatkan
batasan
dan
susunan kepada Tuhan yang itu
mustahil bagi-Nya. Tuhan itu
adalah substansi yang azali,
akal murni yang berfikir dan
sekaligus difikirkan. Ia adalah
aql, aqil dan ma’qul sekaligus.
Karena
pemikiran
Tuhan
tentang diri-Nya merupakan
daya yang dahsyat, maka daya
itu menciptakan sesuatu. Yang
diciptakan pemikiran Tuhan
tentang diri-Nya itu adalah
Akal I. Jadi, Yang Maha Esa
menciptakan yang Esa. Dalam
diri Akal I inilah mulai terdapat
arti banyak. Obyek pemikiran
Akal I adalah Tuhan dan
dirinya sendiri.159 Pemikirannya
tentang Tuhan menghasilkan
Akal II dan pemikirannya
tentang dirinya menghasilkan
Langit Pertama. Akal II juga
158

JMW Bakker, Sejarah Filsafat dalam
Islam (Yogyakarta : Kanisius, 1986), h. 13
159
Ibrahim Madkour, “Al-Farabi” dalam
MM. Syarif (Ed), History of Muslim Philosophy
alih bahasa Ilyas Hasan Para Filosof Muslim
(Bandung : Mizan, 1992), h. 55

mempunyai obyek pemikiran,
yaitu Tuhan dan dirinya sendiri.
Pemikirannya tentang Tuhan
menghasilkan Akal III dan
pemikirannya tentang dirinya
sendiri menghasilkan Alam
Bintang.
Begitulah
Akal
selanjutnya berfikir tentang
Tuhan dan menghasilkan Akal
dan berfikir tentang dirinya
sendiri
dan
menghasilkan
benda-benda langit lainnya,
yaitu: Akal III menghasilkan
Akal IV dan Saturnus; Akal IV
menghasilkan Akal V dan
Yupiter; Akal V menghasilkan
Akal VI dan Mars; Akal VI
menghasilkan Akal VII dan
Matahari;
Akal
VII
menghasilkan Akal VIII dan
Venus; Akal VIII menghasilkan
Akal IX dan Merkuri; Akal IX
menghasilkan Akal X dan
Bulan;
dan
Akal
X
menghasilkan hanya Bumi.
Pemikiran Akal X tidak cukup
kuat lagi untuk menghasilkan
Akal.
Demikianlah gambaran
alam dalam astronomi yang
diketahui pada zaman al-Farabi,
yaitu alam yang terdiri atas
sepuluh falak. Pemikiran Akal
X tentang Tuhan tidak lagi
menghasilkan Akal, karena
tidak ada lagi planet yang akan
diurusnya. Memang tiap-tiap
Akal itu mengurus planet yang
diwujudkannya.
Begitulah
Tuhan
menciptakan
alam
semesta dalam filsafat emanasi
Al-Farabi.
Tuhan
tidak
langsung menciptakan yang
banyak itu, tetapi melalui AkalAkal dalam rangkaian emanasi.
Dengan demikian dalam diri
Tuhan tidak terdapat arti
banyak dan Tuhan juga tidak
langsung berhubungan dengan

yang banyak. Inilah tauhid yang
murni dalam pendapat AlFarabi dan filsuf-filsuf muslim
berikutnya yang menganut
faham emanasi. Implikasi logis
dari faham emanasi ini adalah
pendapat
bahwa
alam
diciptakan bukan dari tiada atau
nihil (creatio ex nihilo)
sebagaimana sebelumnya masih
diterima oleh al-Kindi, tetapi
dari sesuatu materi asal yang
sudah ada sebelumnya yaitu
api, udara, air dan tanah. Materi
asal itupun bukannya timbul
dari ketiadaan, tetapi dari
sesuatu yang dipancarkan oleh
pemikiran Tuhan.
Secara ontologi, alFarabi
meyakini
faham
kesatuan
kebenaran
pada
tingkat
hakikat,
dimana
perbedaan pendapat dan aliran
hanyalah bersifat lahiriyah. AlFarabi kemudian mengajukan
pendapatnya
tentang
akal
manusia yang terdiri dari empat
macam, yaitu: akal potensi, akal
hakiki, akal iktisabi dan akal
wakil. Akal wakil disini adalah
akal pertama atau yang terpisah
dari jiwa dalam klasifikasi alKindi.
Al-Farabi
hanya
menyebutkan bahwa akal wakil
bentuknya tidak pernah dalam
benda, sedangkan akal yang
lainnya berhubungan dengan
benda. Pendapat al-Farabi ini
kemudian direkonstruksi lebih
lanjut oleh filsuf muslim
berikutnya yang bernama Abu
Ali al-Husain bin Abdullah bin
Sina (980 -1037 M). Ibnu Sina
berpendapat bahwa Nabi dan
filsuf menerima kebenaran dari
sumber yang sama yaitu Jibril.
Hanya
saja
prosedurnya
berbeda, nabi beroleh melalui
akal materiil sedangkan filsuf
Volume 5 No 1 Januari-Juni 2015● 77

melalui akal perolehan. Karena
itu kebenaran yang diperoleh
antara
keduanya
tidaklah
berbeda. Ibn Miskawaih juga
berpendapat serupa, bahwa para
filsuf adalah orang-orang yang
cepat dapat mempercayai apa
yang diserukan Nabi. Karena
apa yang dibawa Nabi tidak
bisa
ditolak
oleh
akal.
Sekalipun
Ibn
Miskawaih
meyakini
bahwa
filsafat
memang tidak untuk konsumsi
semua lapisan masyarakat,
tetapi (seperti diistilahkan Ibnu
Sina) hanya untuk kalangan
terpelajar (khawwas) saja.
Harmonisasi antara akal dan
wahyu
dalam
konteks
kefilsfatan
ini
nantinya
dikerjakan pula oleh Ibn
Thufail
dalam
karya
terkenalnya Hayy ibn Yaqzan
dan Ibnu Rusyd dalam proyek
ta’wil-nya.
b. Ibnu Sina (980-1037 M)
Ia
adalah
filsuf
peripatetik muslim berdarah
Persia yang memiliki pengaruh
sangat besar terhadap para
filsuf Barat terkemudian.160 Ia
melanjutkan konsepsi wujudmutlak dan wujud-mungkin dari
al-Farabi. Lebih lanjut ia juga
menemukan bahwa
antara
esensi benda dan eksistensinya
dapatlah dibedakan dalam
banyak kasus. Seseorang dapat
saja mempunyai ide tentang
struktur dasariah suatu benda
tanpa harus mengetahui apakah
ia eksis. Tetapi dalam kasus
Tuhan, sebagai suatu kesatuan
yang sempurna, maka eksistensi
tidak bisa menjadi sifat yang
ditambahkan melainkan bagian
yang integral dari esensi-Nya.
160

Nasr, Husain, Tiga Pemikir Islam, terj.
A. Mujahid, (Bandung: Risalah, 1986)., h 31.

78● Volume 5 No 1 Januari-Juni 2015

Ibnu Sina juga mengambil
penalaran
emanasi-hierarkis
Neoplatonis yaitu dari intelek
Tuhan atau Pikiran Murni
memancar
intelegensi
Tetapi
ia
lainnya.161
menganggap materi sebagai
fondasi abadi benda-benda,
bukan sekedar emanasi realitas
spiritual
yang
suram.
Konsepsinya
tentang
kosmogoni ini bersifat sangat
naturalistik,
misalnya
dari
pandangannya
tentang
bagaimana
Tuhan
campur
tangan
dalam
kehidupan
manusia. Menurutnya hal itu
tidak dilakukan melalui takdir
atau
mukjizat,
melainkan
melalui keteraturan hukumhukum alam yang niscaya.
Karena pandangan ini pula,
Ibnu Sina memandang bahwa
kehendak bebas yang murni
pada manusia tidak mungkin
ada.
Ibnu
Sina
juga
mengembangkan
pemikiran
tentang jiwa yang sudah diawali
oleh aI-Farabi, yaitu membagi
jiwa menjadi tiga bagian: (1)
Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan
daya makan, tumbuh dan
berkembang biak; (2) Jiwa
binatang dengan daya gerak dan
pancaindera. Indera ada dua
macam: (a) Indra luar, yaitu
pendengaran, penglihatan, rasa
dan raba; dan (b) Indra dalam
yang berada di otak dengan
fungsi: menerima kesan-kesan
yang diperoleh pancaindra;
menggambarkan kesan-kesan
tersebut; mengatur gambargambar ini; menangkap arti-arti
yang terlindung dalam gambar161
Abbas Mahmud Aqqad, Filsafat
Pemikiran Ibn Sina, (Solo: Pustaka Mantiq, 1988).,
h. 33

gambar
tersebut;
dan
menyimpan arti-arti itu sebagai
ingatan; (3) Jiwa manusia
dengan daya tunggalnya yaitu
berfikir yang disebut akal. Akal
terbagi dua: (a) Akal praktis,
yang menerima arti-arti yang
berasal dari materi melalui
indra pengingat yang ada dalam
jiwa binatang; dan (b) Akal
teoritis, yang menangkap artiarti murni, yang tak pernah ada
dalam materi seperti Tuhan, roh
dan malaikat. Akal praktis
memusatkan perhatian kepada
alam materi, sedangkan akal
teoritis kepada alam metafisik.
Dalam diri manusia terdapat
tiga macam jiwa ini, dan jelas
bahwa
yang
terpenting
diantaranya adalah jiwa berfikir
manusia yang disebut akal itu.
Akal teoritis mempunyai empat
tingkatan: (1) Akal potensial,
yaitu akal yang mempunyai
potensi untuk rnenangkap artiarti murni; (2) Akal bakat, yang
telah mulai dapat rnenangkap
arti-arti murni; (3) Akal aktual,
yang telah mudah dan lebih
banyak rnenangkap arti- arti
murni; dan (4) Akal perolehan
yang
telah
sernpurna
kesanggupannya
menangkap
arti-arti murni (bandingkan
dengan klasifikasi akal menurut
al-Kindi dan al-Farabi). Akal
tingkat keempat inilah yang
dimiliki oleh para filsuf. Akal
inilah yang dapat menangkap
arti-arti
murni
yang
dipancarkan Tuhan melalui
Akal X ke Bumi.162
Sifat seseorang banyak
bergantung pada jiwa mana dari
tiga yang tersebut di atas
162
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam,
ter. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya,
1987), h. 393-394.

berpengaruh pada dirinya. Jika
jiwa tumbuh-tumbuhan dan
binatang yang berpengaruh,
orang itu dekat menyerupai
binatang. Tetapi jika jiwa
manusia yang berpengaruh
terhadap dirinya maka ia dekat
menyerupai malaikat. Dan
dalam hal ini akal praktis
mempunyai malaikat. Akal
inilah yang mengontrol badan
manusia, sehingga hawa nafsu
yang terdapat di dalamnya tidak
menjadi halangan bagi akal
praktis
untuk
membawa
manusia kepada kesempurnaan.
Setelah tubuh manusia mati,
yang akan tinggal menghadapi
perhitungan di depan Tuhan
adalah jiwa manusia. Jiwa
tumbuh-tumbuhan dan jiwa
binatang akan lenyap dengan
hancurnya
tubuh
kembali
menjadi tanah. Jiwa tumbuhtumbuhan dan binatang lenyap
dengan matinya tubuh karena
keduanya hanya mempunyai
fungsi-fungsi fisik. Kedua jiwa
ini, karena telah rnemperoleh
balasan di dunia, tidak akan
dihidupkan kembali di akhirat.
Sementara
jiwa
manusia
berlainan dengan kedua jiwa di
atas dengan fungsinya yang
bersifat abstrak dan rohani.
Karena itu balasan yang akan
diterimanya bukan di dunia,
tetapi di akhirat. Kalau jiwa
tumbuh-tumbuhan dan binatang
tidak kekal, jiwa manusia
adalah kekal. Jika ia telah
mencapai
kesempurnaan
sebelum berpisah dengan badan
ia akan mengalami kebahagiaan
di akhirat. Tetapi kalau ia
berpisah dari badan dalam
keadaan belum sempurna ia
akan mengalami kesengsaraan
kelak. Penalaran inilah yang
Volume 5 No 1 Januari-Juni 2015● 79

mendasari faham bahwa yang
akan menghadapi perhitungan
kelak di akhirat adalah jiwa
manusia, dan secara logis
menolak adanya kebangkitan
jasmani. Ibnu Sina percaya
bahwa ruh bersifat abadi.163
6. Fungsi Filsafat di Masa Depan
a. Menjawab Tantangan
Kontemporer
Pada saat ini, umat
Islam telah dilanda berbagai
persoalan ilmiah filosofis, yang
datang dari pandangan ilmiahfilosofis Barat yang bersifat
sekuler. Berbagai teori ilmiah,
dari berbagai bidang, fisika,
biologi,
psikologi,
dan
sosiologi, telah, atas nama
metode ilmiah, menyerang
fondasi-fondasi
kepercayaan
agama. Tuhan tidak dipandang
perlu lagi dibawa-bawa dalam
penjelasan ilmiah. Misalnya
bagi Laplace (w. 1827),
kehadiran
Tuhan
dalam
pandangan ilmiah hanyalah
menempati posisi hipotesa. Dan
ia mengatakan, sekarang saintis
tidak memerlukan lagi hipotetsa
tersebut, karena alam telah bisa
dijelaskan secara ilmiah tanpa
harus merujuk kepada Tuhan.
Baginya, bukan Tuhan yang
telah bertanggung jawab atas
keteraturan alam, tetapi adalah
hukukm alam itu sendiri. Jadi
Tuhan telah diberhentikan
sebagai
pemelihara
dan
pengatur alam.
Mengenai hal ini, maka
filsafat menjadi sarana
b.
Filsafat sebagai Pendukung
Agama
Berbeda dengan yang
dikonsepsikan al-Ghazali, di
mana filsafat dipandang sebagai
163

Abbas Mahmud Aqqad, Filsafat....h. 35

80● Volume 5 No 1 Januari-Juni 2015

lawan bagi agama, kini filsafat
bisa kita jadikan sebagai mitra
atau pendukung bagi agama.
Dalam keadaan di mana agama
mendapat serangan yang gencar
dari sains dan filsafat modern,
filsafat Islam bisa bertindak
sebagai pembela atau tameng
bagi agama, dengan cara
menjawab serangan sains dan
filsafat modern terhadap agama
secara filosofis dan rasional.
Selama ini filsafat dicurigai
sebagai disiplin ilmu yang
dapat mengancam agama. Ya,
memang betul. Apaalagi filsafat
yang selama ini kita pelajari
bukanlah
filsafat
Islam,
melainkan filsafat Barat yang
telah lama tercerabut dari akarakar metafisiknya. Tetapi kalau
kita betul-betul mempelajari
filsafat
Islam
dan
mengarahkannya secara benar,
maka filsafat Islam juga adalag
sangat potensial untuk menjadi
mitra filsafat atau bahwan
pendukung agama.
Demikian juga serangan
terhadap validitas pengalaman
mistik dan religius, juga telah
dijawab secara mendalam oleh
Muhammad
Iqbal
dalam
bukunya Reconstruction of
Religiuous Thought in Islam
dan Mehdi Ha’iri Yazdi dalam
bukunya The Principle of
Epistemology
in
Islamic
Philosophy: Knowledge by
Presence. Dalam kedua karya
ini, Iqbal dan Yazdi telah
mencoba menjelaskan secara
filosofis
tentang
realitas
pengalaman
religious
dan
mistik,
dan
berusaha
menjadikan pengalaman mistik
sebagai salah satu sumber ilmu
yang sah. Tentu saja masih
banyak
hal
yang
dapat

dilakukan filsafat Islam untuk
mendukung agama, yang tidak
pada
tempatnya
untuk
dijelaskan secara rinci di sini.
7. Analisis Metode
Sebagaimana
telah
dijelaskan sebelumnya, terlihat AlFârâbî
mendefinisikan
kebijaksanaan tertinggi sebagai
"pengetahuan paling tinggi tentang
Yang Maha Esa sebagai Sebab
pertama dari setiap eksistensi
sekaligus Kebenaran pertama yang
merupakan sumber dari setiap
kebenaran". Mengikuti Aristoteles,
Al-Fârâbî menggunakan istilah
filsafat untuk merujuk pada
pengetahuan
metafisis
yang
diungkapkan dalam bentuk-bentuk
rasional
serta
ilmu-ilmu,yang
dijabarkan
dari
pengetahuan
metafisis yang didasarkan pada
metode
demonstrasi
yang
meyakinkan. Karena itu, filsafat
Al-Fârâbî terdiri dari empat bagian:
ilmu-ilmu
matematis,
fisika
(filsafat alam), metafisika, dan ilmu
tentang
masyarakat
(politik).
Perbedaan filsafat-agama oleh AlFârâbî dibayangkan dalam konteks
satu tradisi wahyu yang sama.
Tetapi perbedaan itu memiliki
keabsahan universal, yang dapat
diterapkan bagi setiap tradisi
wahyu. Dengan meninjau tiap-tiap
tradisi
dalam
batas-batas
pembagian
hierarkis
menjadi
filsafat dan agama, Al-Farabi
memberikan
teori
untuk
menjelaskan fenomena, keragaman
agama.
Menurutnya,
agama
berbeda itu satu sama lain karena
kebenaran-kebenaran
intelektual
dan spiritual yang sama bisa jadi
memiliki banyak penggambaran
imajinatif yang berlainan. Kendati
demikian, terdapat kesatuan pada
setiap tradisi wahyu didataran
filosofis,
karena
pengetahuan

filosofis
tentang
realitas
sesungguhnya hanya satu dan sama
bagi setiap bangsa dan masyarakat.
Pada saat yang sama, AlFârâbî
menyukai
gagasan
keunggulan relatif satu lambang
religius atas lambang lainnya,
dalam pengertian bahwa lambanglambang dan citra-citra yang
dipakai dalam satu agama lebih
mendekati kebeparan spiritual yang
hendak disampaikan-lebih tepat dan
lebih
efektif-ketimbang
yang
dipakai dalam agama lainnya.
renting dicatat, Al-Farabi diketahui
tidak pernah mencela agama
tertentu, meskipun dia berpendapat
bahwa sebagian dari lambang dan
citra religius agama tersebut tak
memuaskan
atau
bahkan
membahayakan. Tulisnya:
Tiruan dari hal-hal macam
itu
bertingkat-tingkat
dalam
keutamaannya;
penggambaran
imajinatif sebagian dari mereka
lebih baik dan lebih sempurna,
sementara yang lainnya kurang
baik dan kurang sempurna;
sebagian
lebih
dekat
pada
kebenaran, sebagian lain lebih jauh.
Dalam beberapa hal, butir-butir
pandangannya sedikit-atau bahkan
tidak dapat-diketahui, atau malah
sulit
berpendapat
menentang
mereka, sementara dalam beberapa
hal
lainnya,
butir-butir
pandangannya banyak atau mudah
dilacak, di samping mudah
memahami
pendapat
tentang
mereka atau untuk menolak
mereka.
Perbedaan
filsafat-agama
sebagaimana telah dirumuskan AlFârâbî, lagi-lagi, menjadi fokus
pemusatan hierarki ilmu dalam
pemikirannya. Ketika perbedaan ini
diterapkan baik pada dimensi
teoretis maupun praktis dari wahyu,
seperti dikemukakan sebelumnya,
Volume 5 No 1 Januari-Juni 2015● 81

kita akan sampai pada hasil yang
menyoroti lebih jauh perlakuan AlFârâbî terhadap ilmu-ilmu religius
dalam klasifikasinya dikaitkan
dengan ilmu-ilmu filosofis. Kalâm
dan fiqh, satu-satunya ilmu-ilmu
religius yang muncul dalam
klasifikasinya, Al-Fârâbî adalah
ilmu-ilmu eksternal atau eksoterik
dari dimensi-dimensi wahyu secara
teoretis dan praktis. Metafisika (al'ilm al-ilâhî) dan politik (al-'ilm almadanî) berturut-turut merupakan
mitra filosofisnya.
Dengan posisi seperti itu,
maka tidak mengherankan jika
dalam waktu yang tidak lama,
pemikiran filsafat Yunani segera
menduduki posisi puncak dalam
percaturan pemikiran Arab-Islam,
yakni pada masa Ibn Sina (9801037 M). Dalam filsafat, seperti
halnya
al-Farabi,
Ibn
Sina
menegakkan
bangunan
Neoplatonisme
diatas
dasar
kosmologi
Aristoteles-Plotinus,
dimana dalam bangunan tersebut
digabungkan konsep pembangunan
alam wujud menurut faham
emanasi. Dalam kaitannya dengan
kenabian, Ibn Sina juga berusaha
membuktikan adanya kenabian,
dengan
menyatakan
bahwa
kenabian
merupakan
bagian
tertinggi dari sukma yang disebut
akal E berbeda dengan al-Farabi
yang menyatakan bahwa kenabian
adalah suatu bentuk imajinasi
tertinggi. Dengan prestasi-prestasi
yang hebat dalam filsafat, Ibn Sina
kemudian diberi gelar Guru Utama
(al-Syaikh al-Rais).
Dari analisis di atas maka
penulis memandang bahwa model
kajian filsafat Al-Farabi dan Ibnu
Sina cendrung pada model atau
metode analisis yaitu suatu metode
untuk
memahami
nilai-nilai
kefilsafatan secara detil dengan
82● Volume 5 No 1 Januari-Juni 2015

menguraikan makna-makna yang
terkandung dalam data-data, serta
menghubungkan makna tersebut
dengan makna lain yang didapat
dari kandungan data yang lain pula,
sehingga
diperoleh
sebuah
kesimpulan akhir yang dianggap
benar, dan metode sistesis, yaitu
metode yang menyatupadukan
berbagai esensi dan keterangan
yang mendasar, sehingga tersusun
sebuah pandangan baru dalam
bidang kefilsafatan, sebagai hasil
konvergensi
berbagai
macam
esensi.
C. SIMPULAN
Dari pembahasan yang telah
penulis uraikan maka dapat di ambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengertian dari filsafat secara
umum
adalah
berarti
cinta
kebijaksanaan. Maksud sebenarnya
adalah
pengetahuan
tentang
kenyataan-kenyataan yang paling
umum dan kaidah-kaidah realitas
serta hakekat manusia dalam segala
aspek perilakunya seperti: logika,
etika,
estetika
dan
teori
pengetahuan
2. Terdapat beberapa model atau
metode dalam filsafat yaitu
Pertama, Metode Deskriptif; kedua,
metode analisis; ketiga, metode
sistesis;
keempat,
metode
komparatif. Selain itu adapula
model lain dari kajian filsafat Islam
yaitu: Pertama, Model Amin
Abdullah.
Model
yang
dikembangkan oleh Amin Abdullah
adalah model studi tokoh; ; kedua,
Model Otto Horrasowitz, Majid
Fakhry dan Harun Nasution. Ketiga
tokoh ini menggunakan model
pendekatan
campuran
antara
pendekatan his-toris, pendekatan
kawasan, pendekatan substansi dan
tema-tema yang menjadi konsep
filosofis sang filsuf; ketiga, Model

studi tematik. Model ini seperti
yang dilakukan oleh Oliver Leaman
dan Seyyed Husein Nasr; keempat,
model studi tematik al-Quran
dengan kerangka filsafat
Daftar Pustaka
Abbas Mahmud Aqqad, Filsafat Pemikiran
Ibn Sina,Solo: Pustaka Mantiq, 1988
Amin Abdullah, Teologi dan Filsafat
dalam Perspektif Globalisasi E
Mukti
Ali,
Agama
Dalam
Pergumulan Masyarakat, Yogya,
Tiara Wacana, 1998
______, Falsafah Kalam di Era
Posmodernisme,
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme
dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
1973
Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, terj. A.
Mujahid, Bandung, Risalah, 1986
Ibrahim Madkour, “Al-Farabi” dalam
MM. Syarif (Ed), History of Muslim
Philosophy alih bahasa Ilyas Hasan
Para Filosof Muslim Bandung :
Mizan, 1992
______, Filsafat Islam: Metode dan
Penerapannya I. ter. Yudian
Wahyudi Asmin dan Ahmad Hakim
Mudzakir. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996
JMW Bakker, Sejarah Filsafat dalam
Islam Yogyakarta : Kanisius, 1986
Koento Wibisono S. Dkk, Filsafat Ilmu
Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan,
Klaten:
Intan
Pariwara, 1997
Leaman, Oliver Pengantar Filsafat Islam,
Jakarta, Rajawali Pres, 1988
Liang Gie The Liang Gie, Pengantar
Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty,
1999., Cet. Ke-4
Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy. New York: Columbia
University Press, 1983

______, Sejarah Filsafat Islam, ter.
Mulyadhi
KartanegaraJakarta:
Pustaka Jaya, 1987
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual
Nurcholish Islam Jakarta : Bulan
Bintang,1984
Seyyed Hossein Nasr, Science and
Civilizatiob in Islam. New York:
New American Library, 1970,
Soeparmo, Struktur Keilmuwan Dan Teori
Ilmu Pengetahuan Alam, Surabaya:
Airlangga University Press, 1984

Volume 5 No 1 Januari-Juni 2015● 83