Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis

SINOPSIS

PERIWAYAT KHAWARIJ DALAM LITERATUR HADIS SUNNI

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Magister Agama bidang Humaniora (MA.Hum) Konsentrasi Hadis dan Ilmu Hadis

Oleh:

AHMAD ‘UBAYDI HASBILLAH NIM: 10.2.00.1.05.09.0059

Pembimbing:

Dr. Fuad Jabali, MA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/ 2013 M

ABSTRAK

Tesis ini berkesimpulan bahwa semakin tinggi komitmen seseorang terhadap Sunnah Nabi, semakin dapat menetralisir bias ideologi dalam periwayatan hadis. Maka, ideologi seorang periwayat tidak dapat dijadikan sebagai alasan penolakan sebuah hadis. Tesis ini juga menunjukkan bahwa seorang penganut ideologi sektarian dapat meriwayatkan hadis secara objektif. Di samping itu, fenomena periwayatan lintas ideologi menunjukkan bahwa efek perbedaan ideologi tidaklah signifikan dalam proses periwayatan, namun cukup signifikan dalam validasi dan pemahaman hadis.

Kesimpulan ini berbeda dengan kesimpulan Maya Yazigi bahwa hadis tidak otentik dari Nabi karena sektarianisme orang-orang yang terlibat dalam hadis tersebut. Kassim Ahmad juga meragukan otoritas hadis karena hadis Nabi bias ideologi, bertentangan dengan rasio, bias gender, dan rasis. Demikian juga William Muir dalam The Life of Mahomet, yang menyatakan bahwa hadis tidaklah otentik dari Nabi karena dalam periwayatannya sangat bias dan sarat dengan pemalsuan. Kebergantungan pada individu periwayat dan perselisihan politik-keagamaan antar komunitas muslim adalah penyebab utamanya.

Pada saat yang sama, kesimpulan ini juga sama dengan tesis ‘A>’id} al-Qarni> dan Muh{ammad Mus{t}afa> al-A‘z}ami> yang menyatakan bahwa periwayatan seorang penganut ideologi sektarian juga dapat diterima selama tidak provokatif atau mendukung ideologinya. Tesis ini juga menguatkan teori al-Qa>simi> tentang "al-mubadda‘u>n" yang menolak pelabelan bidah kepada para penganut ideologi non-Sunni dan penetapan jarh} terhadap seorang periwayat karena tidak berideologi Ahlussunnah.

Kesimpulan ini diperoleh dari analisis sosio-historis terhadap beberapa kasus periwayatan hadis dari para periwayat yang berafiliasi dalam kelompok-kelompok ideologi. Data-data penelitian diperoleh melalui kajian pustaka (library research) dengan menggunakan ilmu takhri>j al- hadi>th dan rija>l al-h}adi>tth. Dalam proses identifikasi, sumber yang dipakai adalah literatur-literatur rija>l al-h}adi>th seperti Tahdhi>b al-Kama>l karya al-Mizzi>, Tahdhi>b al-Tahdhi>b karya Ibn H}ajar al- ‘Asqala>ni>, al-Jarh} wa al-Ta‘di>l karya Ibn Abi> H}a>tim al-Ra>zi>. Sementara itu, dalam proses inventarisasi digunakan literatur-literatur hadis induk seperti al-kutub al-sittah. Selanjutnya, data yang diperoleh dibaca secara kritis dengan pendekatan ilmu al-jarh} wa al-ta‘di>l dan teori Message Reception and Processing yang merupakan bagian dari Ilmu Komunikasi. [AUH]

ABSTRACT

This Thesis concludes the higher narrators' commitment to the Sunna, the higher their ability to neutralize the ideological bias in the Sunna. Then, the ideology of narrator could not be used as a basis for the denial of h}adi>th. This thesis shows an adherent of sectarian ideology may narrate hadiths objectively. In addition, the phenomenon of cross-transmission of ideology suggests the effect of ideological differences is not too significant in the process of narration, however is quite significant in the validation and understanding of hadi>th.

This conclusion is different from the thesis of Maya Yazigi that hadith is not authentic from the Prophet because of sectarianism of some people involved in the hadith. Kassim Ahmad is also doubtful about the authority of hadith, because it is ideological bias, contrary to the ratio, gender bias, and racism. Similarly, William Muir in his The Life of Mahomet, stated h}adi>ths are not authentically from the Prophet because of the bias and full ideologies in the process narration. The independency of narrators and quarrel of political-religious Muslim communities is the main cause.

At the same time, this conclusion is also similar to the thesis of ‘A>’id} al-Qarni> and Muh{ammad Mus{t}afa> al-A‘z}ami>, who stated the narrations of sectarian ideologists are acceptable as long as not to support their ideology. This thesis is also defense of al-Qa>simi>'s theory of "al- mubadda‘u>n" denied the labeling of heresy to the adherent of non-Sunni ideology and the denouncing (jarh}) the narrators because of their non-Sunni> ideology.

The conclusion of this thesis is obtained from the socio-historical analysis on some cases regarding h}adi>ths transmitted by some narrators affiliated in any ideologies. The data was obtained by a library research using the science of takhri>j al-hadi>th and rija>l al-h}adi>th. Regarding the identification, the significant sources are some literatures on rija>l al-h}adi>th, i.e. Tahdhi>b al- Kama>l of al-Mizzi>, Tahdhi>b al-Tahdhi>b of Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni>, and al-Jarh} wa al-Ta‘di>l of Ibn Abi> H}a>tim al-Ra>zi>. Meanwhile in the process of inventarization, it used some literatures of h}adi>th like al-kutub al-sittah. Then, the obtained data was critically read and approached with the ‘ilm al- jarh} wa-al-ta‘di>l and the communication theory of Message Reception and Processing. [AUH]

. ﺢﻴﺤﺼ او ﺔﻳار ا タ ﻪﻨﻜ و ،ﺔﻳاوﺮ ا タ ᅠﻏ マﺻ o ا ﺪﻨﻋ ﻦﻣ ﺚﻳﺪJا نﻮ ﻳ نأ ﺢﺼﻳ ﻻ ﻪﻧﺄﺑ ニ ﺰﻳ ﺎﻳﺎﻣ ﻪ ﺎﻗ ﺎT ﺔﻔﻟﺎO ﺔﺠﻴ ا هﺬﻬﻓ ﺚﻳدﺎﺣﻷا ﺾﻌﺑ دورﻮ ﺚﻳﺪJا ﺔﻴﺠﺣ مﺪﻌﺑ ،ﺪRأ ﻢﺳﺎﻗ لﻮﻗ ﻚ ﺬ و . ﺎﺟر ﺐﺼﻌ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﺮ ﻮ مﺎﻴﻠ و لﺎﻗ ﻪ و . ﺔ ﻨﻌﻟا ﺪ ﺆ و ةأﺮTا ﺪﺿ ᄚﺤﺘ و ﻞﻘﻌﻟا ﻒﻟﺎFو ﺎﻣ yﻮ ﻮﻳﺪﻳأ ヘإ ﻞﻴﻤﺗ pﻟا ﻊﺿﻮ ا ة゙ﻛ ﻦﻣ ﻪﺘﻳاور タ ﺎT o ا ﻦﻣ اردﺎﺻ ﺚﻳﺪJا نﻮ ﻳ نأ ﺢﺼﻳ ﻻ ﻪﻧﺈﻓ (William Muir) قﺮﻓ ᄍﺑ oﻫﺬTاو ・ﺎﻴﺴ ا عا او ﺚﻳﺪJا لﺎﺟﺮﺑ طﺎﻨTا ﺐﺒﺴ ﻚ ذو ،yﻮ ﻮﻳﺪﻳﻷا زﺎﻴ=ﻻاو . ᄍﻤﻠﺴTا و (( ﺔﻳار او ﺔﻳاوﺮ ا タ ﺎﻫﺮﺛأو ﺔﻋﺪ ا )) タ ﺮﻘﻟا ﺾﺋ ﺎﻗ ﺎT ةﺪ ّ ﺆ ﺔﻟﺎﺳﺮ ا هﺬﻫ نأ ﺎﻤ و ᄍﺒﺼﻌﺘTا ᄍﻤﺘﻨTا ةاوﺮ ا نﺄﺑ ، (( هرﻮﻄﺗو ﻪﺗﺄﺸ ،ᄍﺛﺪﺤTا ﺪﻨﻋ ﺪﻘ ا ﺞﻬﻨﻣ )) タ ヤﻈﻋﻷا テﻄﺼ ﺪﻤN

ﻞﺋﺎﻘﻟا ヤﺳﺎﻘﻠ " ᄍﻋﺪﺒTا " ﺔ ﺮﻈ ةﺪ ﺆ ﺎﻬﻧﺈﻓ ،ﻪﺘﻴﺟﻮ ﻮﻳﺪﻳأ ﺪ ﺆﺗ ﻢ ﺎﻣ ﻢﻬﺘﻳاور ﻞﺒﻘﺗ yﻮ ﻮﻳﺪﻳأ يأ ヘإ . ﺔﻨﺴ ا ﻞﻫأ ﺐﻫﺬﻣ ヘإ ﻢﻬﺋﺎﻤﺘﻧا مﺪﻋ ﺐﺒﺴ ﻢﻬﺣﺮﺟو ﺔﻨﺴ ا ﻞﻫأ ᅠﻏ ヘإ ᄍﻠﺤﺘﻨTا ﻊﻳﺪﺒﺗ ﺾﻓﺮﺑ ﺎﻫاور ﺚﻳدﺎﺣأ タ ﺎﻳﺎﻀﻘﻟا ﺾﻌﺑ タ 「 رﺎ ا ケﺎﻤﺘﺟﻻا ﻞﻴﻠﺤ ا ﻦﻣ ﺔﺟﺮﺨﺘﺴ ﺔﺠﻴ ا هﺬﻬﻓ لﺎﺟرو ﺞ ﺮﺨ ا ﻢﻠﻋ ﺞﻬﻨﻣ oﺘﻜTا ﺚﺤ ا ﻦﻣ تﺎﻴﻄﻌTا ﺖﻌPو . ﺎﻣ yﻮ ﻮﻳﺪﻳأ يأ ヘإ نﻮﻤﺘﻨTا لﺎﻤﻜ ا ﺐﻳﺬﻬﺗ )) نﺎﺒﻳﺬﻬ ا ﺎﻬﻨﻣ ،ﺚﻳﺪJا لﺎﺟر ﺐﺘﻛ ﻦﻣ جﺮﺨﺘﺴ ﺎﻬﻧﺈﻓ تﺎﻧﺎﻴ ا ﺎﻣأو . ﺚﻳﺪJا ﺖﻠﻠﺤﻓ . يزاﺮ ا ﻢﺗﺎﺣ `أ ﻦﺑﻻ ﻞﻳﺪﻌ او حﺮHاو ، (( cﻼﻘﺴﻌﻠ ﺐﻳﺬﻬ ا ﺐﻳﺬﻬﺗو )) (( يﺰﻤﻠ ﺎﻨﻴﻌﺘﺴ ﻞﻳﺪﻌ او حﺮHا ﻢﻠﻋ ﻖ ﺮﻃ ﻦﻋ ﺔﺘﺴ ا ﺐﺘﻜ ا ﻞﺜﻣ ﺔﻴ ﻳﺪJا ﺐﺘﻜ ا ﻦﻣ ﺔﻋﻮﻤﺠTا تﺎﻴﻄﻌTا ﺖﻧᄐ pﻟا ( Message Reception and Processing Theory ) ﺎﻬﺋاﺮﺟ و ﺔﻟﺎﺳﺮ ا ﻞﻤ: ﺔ ﺮﻈﻨﺑ

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allah SWT, yang dengan taufi>q-Nya penelitian berjudul "Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni" yang semula berjudul "Relasi Ideologi dalam Periwayatan Hadis," ini dapat diselesaikan. Demikian juga, salawat serta salam semoga selalu tercurahkan untuk Rasulullah saw, yang ajarannya tak kan pernah lekang ditelan zaman.

Sebagai karya tulis seorang hamba yang lemah, tentunya di dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau menelaahnya dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini.

Penelitian ini merupakan wujud kepedulian dan rasa keingintahuan penulis terhadap beberapa masalah yang kelihatannya sepele namun memiliki pengaruh yang begitu besar dalam bidang hadis. Penulis juga menyadari bahwa, penelitian ini tak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materiil. Atas segala bantuan tersebut penulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya kepada:

1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, (Direktur Sekolah Pascasarjana), Prof. Dr. Suwito, MA (Ketua Program Doktor), Dr. Yusuf Rahman, MA (Ketua Program Magister). Jaza>kumulla>h ah}san al-jaza>' wa- nafa‘ana> bi ‘ulu>mikum.

2. Dr. Fuad Jabali, MA selaku pembimbing Tesis. Fa-jaza>kalla>h wa-matta‘ana> Allahu bi-‘ulu>mik.

3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Islam (Dirjen Diktis) Kementerian Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, dan mantan Dirjen Diktis, Prof. Dr. Machasin, MA, yang telah memberikan beasiswa studi S2 kepada Penulis. Fa-jaza>kum Alla>hu ah}san al-Jaza>'.

4. Ketua STIT Darul Fattah Tangerang, Rektor dan Dekan Fakultas Ushuluddin Institut PTIQ Jakarta, Kha>dim Ma‘had Da>r al-Sunnah al-Dawli> li ‘Ulu>m al-H{adi>th Indonesia-Malaysia, dan Direktur Quran Learning Center Jakarta. Jaza>kumulla>h ah}san al-jaza>'.

5. Segenap guru dan dosen yang pernah mengajar, membimbing, menguji dan mendidik penulis di manapun, khususnya di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. H{afiz}ahum Alla>hu wa- nafa‘ana> Alla>hu bi-‘ulu>mihim. Fa-lawla>kum la-ma> ‘araftu al-‘a>lam.

6. Kedua orangtua Penulis, Abah K. Hasan Bishri dan Ibu Siti Romlah serta mertua Penulis, Abah KH>.

Imam Nawawi dan Ibu Hj. Istinah. Alla>humma ih}faz}hum wa-irh}amhum kama> rabbawna> s}igha>ran.

7. Istri tercinta, Rifqoh, S.Pd. beserta buah hati yang sedang dalam penantian kelahirannya. Rabbana> hab lana> min-azwa>jina> wa-dhurri>ya>tina> qurrata a‘yun wa-ij‘alna li-al-muttaqi>na ima>man.

8. Segenap kakak, adik, dan saudara. Alla>humma allif baynana> wa-uh}shurna> fi>-zumrat al-awliya>' wa-al- s}a>lih}i>n.

9. Segenap kawan, sahabat, murid, mahasiswa, mahasantri, yang selalu menemani hari-hari penulis, baik di dalam maupun di luar kelas, kampus, pesantren, kantor, dan juga di masyarakat. Falawla>hum jami>‘an la-ma> ‘araftu al-h}adi>th wa-ma> ah}babtuhu>.

Meski tanpa menyebut nama satu persatu, Penulis tidak mengurangi sedikitpun rasa hormat, ta‘z}i>m, dan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada mereka semua. Teriring doa, Jaza>kumullah ah}san al-jaza>' wa-matta‘ana> Alla>h bi-h}aya>tikum, wa-h}abbaba ilaina> al-i>ma>na wa-zayyanahu> fi>-qulu>bina> wa-karraha ilaina> al-kufra wa-al-fusu>qa wa-al-‘is}ya>na wa-ja‘alana> min-al-ra>shidi>n, wa-waffaqana> li-ma> yuh}ibbuhu> wa- yard}a>hu. Mohon maaf atas segala khilaf dan terimakasih.

Jakarta, 16 Mei 2013 Penulis,

Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah

DAFTAR ISI

Persembahan ii Pernyataan Bebas Plagiasi

iii Persetujuan Pembimbing

iv Persetujuan Dewan Penguji

v Pedoman Transliterasi

vi Abstrak

vii Kata Pengantar

xi Daftar Isi

xiii Daftar Tabel dan Gambar

xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Permasalahan

C. Perdebatan Akademik

D. Sumber Penelitian

E. Metode Penelitian

F. Signifikansi Penelitian

G. Langkah Operasional Penelitian

BAB II DISKURSUS IDEOLOGI DAN PURIFIKASI HADIS

A. Otentisitas Hadis dalam Perdebatan

B. Problem Ideologi dalam Periwayatan

C. Ideologi dan Orisinalitas Pesan Kenabian

BAB III PERIWAYAT HADIS DALAM DIALOG ANTAR IDEOLOGI

A. Afiliasi Ideologi; Sebuah Keniscayaan Bagi Periwayat

1. Generasi Teladan; Wacana Keterlibatan Sahabat dalam Ideologi

2. Ideologi Politik Praktis; Periwayat Masa Dinasti Umawiyah

3. Ideologi Keagamaan; Periwayat Masa Dinasti Abbasiyah

B. Diskursus Hadis Nabi dalam Berbagai Mainstrim Ideologi

C. Ahli Hadis dan Sektarianisme Sunnah 103

BAB IV KHAWARIJ DALAM KONSTELASI PERIWAYATAN HADIS

A. Periode Formulasi Hadis dan Genealogi Khawarij 110

B. Khawarij dan Periwayatan Hadis 128

C. Dibenci, Tapi Diterima; Khawarij di Mata Ahli Hadis 138

D. Era Transmisi Hadis sebagai Basis Konsolidasi Sunnah 148

BAB V SILANG IDEOLOGI DALAM PERIWAYATAN HADIS

A. Tokoh Intelektual Khawarij 158

1. Generasi Sahabat 165

2. Generasi Pasca Sahabat 174

B. Otoritas Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni 176

C. Periwayatan Lintas Ideologi dan Orisinalitas Pesan Kenabian 212

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan 229

B. Rekomendasi 232

Daftar Pustaka 235 Glosarium

Lampiran 263 Riwayat Penulis

Daftar Tabel dan Gambar

A. Tabel

No. Judul Tabel Hal

1. Gerakan Khawa>rij pada masa ‘Ali> hingga akhir Umawi>yah 124

2. Tokoh-tokoh intelektual Khawa>rij 176

3. Sebaran Periwayat Khawa>rij dalam Literatur Hadis Sunni> 179

4. Ragam Tema Riwayat Khawa>rij dalam Literatur Sunni> 221

B. Gambar

No. Judul Gambar Hal

1. Sebaran Hadis ‘Ikrimah 183

2. Sebaran Hadis Ja>bir bin Zayd 185

3. Sebaran Hadis Da>wu>d bin al-H{us}ayn 188

4. Sebaran Hadis ‘Imra>n bin Da>war 189

5. Sebaran Hadis al-Wali>d bin Kathi>r 192

6. Sebaran Hadis Abu H{assa>n al-A‘raj 193

7. Sebaran Hadis Isma>‘i>l bin Sumai‘ 195

8. Sebaran Hadis Farwah bin Naufal 196

9. Sebaran Hadis Thaur bin Zayd 198

10. Sebaran Hadis Abu> ‘Ubaydah 199

11. Sebaran Hadis ‘Imra>n bin H{at}t}a>n 200

12. Sebaran Hadis H{a>jib bin ‘Umar 202

13. Sebaran Hadis Jurayy bin Kulayb 203

14. Sebaran Hadis Nas}r al-Laithi> 204

15. Sebaran Hadis S{a>lih} al-Dahha>n 205

16. Sebaran Hadis al-Rabi>‘ bin H{abi>b 208

17. Sebaran Hadis Abu> ‘Amr 209

18. Sebaran Hadis S{a>lih} bin Dirham 210

19. Sebaran Hadis Shabath bin Rib‘i> 212

20. Sebaran Hadis S{adaqah bin Yasa>r 214

21 Sebaran Periwayat Khawa>rij dalam Literatur Hadis Sunni> 216

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

“Siapa saja yang berbohong dengan mengatasnamakan aku, maka silakan dia menempati singgasananya di neraka” begitulah kata Nabi Muhammad saw sebagaimana diabadikan oleh al-Bukha>ri>, Muslim, dan para kolektor hadis lain. 1 Dalam kesempatan yang berbeda, Nabi saw juga pernah

memperingatkan umatnya sebagaimana terekam dalam pesan-pesannya kepada para sahabat, agar tidak bersikap “pragmatis” dalam beragama, melainkan harus “normatif-paternalis”. Waspadalah terhadap hal-hal yang baru (al-muh}datha>t) karena setiap yang baru adalah bnid’ah, sedangkan setiap bid ‘ah adalah

kesesatan. Sementara itu, setiap kesesatan adalah di neraka tempatnya. 2

Dua pesan yang bersumber dari sosok yang dijadikan sebagai perfect pattern oleh umat Islam itu menjadi doktrin yang sangat kuat dalam kehidupan beragama umat Islam. Kedua hadis itu yang pada akhirnya dijadikan sebagai undang-undang dasar umat Islam untuk menentukan apakah aktivitas keberagamaan mereka saat ini masih sesuai dengan

pattern-nya atau tidak. 3 Jika tidak sesuai—untuk tidak menyatakan sama—berarti tergolong sebagai hal baru. Sedangkan menurut kaidah umumnya, jika hal itu

baru, berarti tergolong bid‘ah. Sementara segala yang bid‘ah adalah kesesatan. Lebih tegas dari itu, jika hal baru yang tidak sesuai dengan pattern-nya itu diklaim sebagai yang bersumber dari nabi, maka dianggap sebagai kobohongan besar yang mengatasnamakan Nabi, dan neraka adalah ancamannya.

Sebagai sebuah teks sejarah (baca: berita), hadis bisa jadi benar dan bisa jadi salah. Berita yang benar dikenal dengan istilah s}ah}i>h}, sedangkan yang salah disebut dengan d}a‘i>f, sesuai dengan jenis dan spesifikasinya. Hanya saja, kesalahan sebuah berita bisa berangkat dari ketidaktahuan dan bisa pula dari

faktor kesengajaan untuk membuat berita palsu. 4

Ucapan dan perbuatan Rasulullah berbeda dengan ucapan dan perbuatan dari orang selain beliau. Di samping karena Rasulullah diyakini sebagai manusia paripurna dan perfect pattern, juga karena adanya

“Man kadhaba ‘alayya muta‘ammidan fal-yatabawwa’ maq‘adahu> min-al-na>r.” Hadis ini sebagaimana menurut Ibn al- S}ala>h{ merupakan sau-satunya hadis yang mutawatir lafz}i>. Jumlah sahabat yang meriwayatkannya lebih dari seratus orang, dan sepuluh di antaranya sahabat yang mendapat nobel “heaven award”. Hadis dengan kualifikasi seperti ini, baik menurut kelompok Sunni maupun non-Sunni dapat dijadikan sebagai hujah. Kebanyakan hadis mutawatir tidak sampai pada derajat ini karena kemutawatirannya hanya pada batas makna saja, bukan redaksi (lafz}an). Hadis dengan redaksi demikian dapat dilihat dalam al- Bukhari, S}ah{i>h{ al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r Ibn Kathi>r al-Yama>mah, 1987), 1/52, hadis no. 106-107; Muslim bin al-H}ajja>j, S}ah}i>h} Muslim (Beiru>t: Da>r al-Ji>l, t.th), 1/7, hadis no. 4; lihat juga Muh}ammad Ja‘far al-Katta>ni>, Naz}m al-Mutana>thir Min-al-H}adi>th al- Mutawa>tir (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1980), 20-24

2 Redaksi hadis tersebut adalah, "Iyya>kum wa-muh}datha>t al-umu>r, fa-inna kulla muh}dathatin bid‘ah, wa-kull bid‘ah d}ala>lah, wa-kull d}ala>lah fi-al-na>r." HR. Ahmad, al-Da>rimi>, Abu Da>wu>d, Ibn Ma>jah, Ibn Hibba>n, dan al-H{a>kim.

3 Dalam berbagai literatur keagamaan, hadis ini adalah yang paling banyak muncul. Tidak hanya dalam bentuk buku, dalam berbagai ceramah pun hadis ini tak jarang pula disebutkan sebagai pembukaan khutbah dan bahkan menjadi tema pokok yang

selalu diulang-ulang. Di samping karena validitas dan akurasinya yang sangat kuat, kemunculan hadis ini juga karena dijadikan sebagai dasar dan standar atas segala justifikasi perbuatan umat Islam. Setiap kali ada perbuatan umat Islam yang dinilai asing bagi seseorang, maka yang pertama kali dipertanyakan adalah perihal adakah contohnya dari Rasul? Pernahkah Nabi menyuruhnya? Atau Pernahkan sahabat melakukannya kemudian diketahui oleh Nabi? Jika jawaban dari beberapa pertanyaan itu adalah “tidak”, maka dapat dipastikan bahwa hal itu adalah perkara baru dalam Islam yang hukumnya pasti bid‘ah. Konsekuensinya, sebagaimana teks hadis tersebut, segala yang bid‘ah adalah sesat dan pelakunya pasti masuk neraka. Namun, dari hadis yang sama, tak jarang pula yang memahaminya berbeda. Bagi kelompok ke dua ini label bid‘ah tidak selamanya sesat. Mereka menafsirkan bahwa jika bid‘ah itu masih sesuai dengan perkara yang ada contohnya dari Nabi, maka tidak sesat. Demikianlah perdebatan tentang bid‘ah ini tidak akan pernah selesai sampai kapan pun. Terkait dengan tinggi “rating” hadis ini dalam literatur-literatur keagamaan dan berbagai ceramah, terdapat sebuah penelitian kuntitatif terhadap buku-buku keagamaan dan materi-materi ceramah di majelis taklim di Indonesia. Sebuah survey yang dilakukan pada 1995 juga menunjukkan sekitar 89% dari para responden mengenal hadis ini. Banyak di antara mereka (36%) sering mendengarnya. Di samping itu, orang mengenal hadis ini melalui beberapa cara: membaca dan mendengarkan ceramah dan khutbah. Terkait hal ini, lihat Ahmad Haris, Islam Inovatif: Eksposisi Bid‘ah dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 73-114. Bandingkan dengan Howard M. Federspiel, The Usage of Traditions of the Prophet in Contemporary Indonesia (Arizona: Arizona State University, 1993). Federspiel dalam penelitiannya ini meneliti sebanyak 40 karya Indonesia mengenai hadis, yang menurut para penulisnya difokuskan pada rekapitulasi pelajaran- pelajaran Islam tradisional.

4 Kesalahan yang tidak sengaja dapat dimaafkan seperti dalam kasus idra>j. Hanya saja, jika telah disengaja apalagi jika terlalu banyak pengubahan, maka bisa masuk kategori pembohongan publik dan pamalsuan dan seluruh riwayatnya, baik ketika

sebelum atau sesudah ketahuan berbohong. Lihat Ibn Kathi>r, al-Ba>‘ith al-H}athi>th Fi>-Ikhtis}a>r ‘Ulu>m al-H}adi>th (Beirut: Da>r a-Kutub, 2000), 12; Zayn al-Di>n ‘Abdurrah}ma>n al-‘Ira>qi>, al-Taqyi>d wa-al-I>d}a>h} Sharh} Muqaddimah Ibn al-S}}ala>h} (Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-Salafi>yah, 1969), 150; Ibra>hi>m bin Mu>sa bin Ayyu>b al-Abna>si>, al-Shadhdh al-Faya>h} Min-‘Ulu>m Ibn al-S{ala>h{ (Madinah: Maktabah al-Rushd, 1998), 254; Ibn al-S}ala>h}, Muqaddimah Ibn al-S}ala>h} (t.tp.: Maktabah al-Fa>ra>bi>, 1984), 61; al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi> Fi>-Sharh} Taqri>b al-Nawa>wi,> (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 2006), 219.

wahyu yang turun kepadanya. 5 Sebagaimana pernyataannya, Rasulullah menegaskan bahwa dirinya adalah manusia biasa, yang sama dengan manusia-manusia lain. 6 Hanya saja, dia menerima wahyu ketuhanan, sementara manusia yang lain tidak. Al-Quran sebagai teks suci

(scripture) pun menyatakan demikian, 7 bahkan segala tindak tuturnya adalah wahyu dari Tuhan. 8 Dengan demikian, wajar jika ucapan dan perbuatannya diperlakukan secara berbeda dengan ucapan dan perbuatan orang lain oleh umat Islam.

Beberapa ulama mendefinisikan hadis bukan sebagai ucapan, perbuatan, atau ketetapan Rasulullah, melainkan ucapan dan perbuatan yang dinisbatkan kepada Rasulullah. 9 Ia diyakini berasal darinya dengan

indikasi-indikasi tertentu yang kuat. Dengan demikian, hadis sahih adalah hadis yang kuat validasi nisbatnya kepada nabi. Sedangkan jika validasi nisbat itu lemah, hadisnya pun menjadi d}a‘i>f, bahkan bisa maud}u>‘ (palsu) jika terbukti tidak dapat dipertanggungjawabkan. 10

Meski hanya diyakini berasal dari Rasulullah, bukan berarti setiap orang dapat dengan semena- mena menisbatkan setiap ucapan dan perbuatan kepada Nabi. Memang, Muhammad adalah sesosok manusia yang telah menjadi milik seluruh umat, namun bukan berarti bahwa semua orang bisa mengatasnamakan dirinya untuk tujuan-tujuan tertentu, bahkan tujuan dakwah Islam sekalipun. Hal inilah yang sejak jauh-jauh hari telah diantisipasi oleh Nabi sendiri. Tindakan preventif Nabi terhadap hal ini menjadi ancaman tersendiri bagi orang-orang yang hendak mengelabuhi umat dengan cara berbohong atas nama Nabi. Ancaman tegas berupa kavling khusus di neraka itu diutarakan agar umat Islam tidak dengan seenaknya menisbatkan sebuah ucapan kepadanya. Ini karena menisbatkan sebuah ucapan atau perbuatan

kepada nabi bukanlah hal yang sulit. 11 Untuk menyikapi hal itu, dalam tradisi ilmiah hadis, hal pertama yang harus dilakukan oleh para

pengkaji hadis adalah skeptis terhadap otentisitas berita apapun yang didengar dan dinisbatkan kepada Nabi. Abdurrahman bin Mahdi> (198 H) menyatakan bahwa dua hal yang tidak dibenarkan berbaik sangka (menerima secara buta:

h}usn al-z}ann) adalah peradilan (al-h}ukm) dan hadis. 12 Bahkan lebih tegas lagi Nabi

5 Dalam hal ini, al-Quran dengan tegas menjelaskan bahwa Nabi adalah manusia biasa yang tidak ada bedanya dari manusia-masnusia lain jika dia tidak menerima wahyu. Hanya itulah yang membedakan Nabi dari manusia lainnya. “Qul Innama>

ana basharun mithlukum yu>h}a> ilayya annama> ila>hukum ila>hun wa>h}id.” (Qs. al-Kahf [18]: 110) dalam ayat lain ditegaskan, “Wa-ma> yant}iq ‘an al-hawa>. In huwa illa> wah}yun yu>h}a>.” (Qs. al-Najm [53]: 3)

6 Dalam hal ini, Rasulullah pernah menegur para sahabtnya yang merasa canggung dan enggan untuk bertanya kepadanya terkait hal-hal yang diragukannya. Ketika terjadi kesalahan dan lupa dalam salat Nabi, para sahabat tidak segera mengingatkannya

karena khawatir terjadi revisi dalam tata cara salat. Mengetahui sikap mereka itu, Nabi bersabda, “…Innama> ana> basharun mithlukum. Ansa> kama> tansawn. Fa-idha> nasi>tu fa-dhakkiru>ni>...” Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, i, 156, hadis no. 392; Muslim, S}ah}i>h} Muslim, ii, 84-285, hadis no. 1302, 1311, 1312; Abu> Da>wud al-Sijista>ni>, Sunan Abi> Da>wu>d (Beiru>t: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th), i, 390-391, hadis no. 1022; Ibn Ma>jah al-Qazwi>ni>, Sunan Ibn Ma>jah (Beiru>t: Dar al-Fikr, t.th.), i, 382. 7

“Qul Innama> ana basharun mithlukum yu>h}a> ilayya annama> Ila>hukum ila>hun wa>h}id” (Qs. al-Kahf [18]: 110) 8 “Wa-ma> yant}iq ‘an al-hawa>. In huwa Illa> wah}yun yu>h}a>” (Qs. al-Najm [53]: 3) 9 Dalam berbagai literatur ilmu Hadis, hadis selalu didefinisikan sebagai kullu ma> ud}i>fa ila>-al-Nabi> min qawl aw-fi‘l aw-

taqri>r aw-s}ifah. Dalam hal ini penisbatan hadis kepada nabi sebagaimana disebutkan dengan definisi tersebut biasa dikenal dengan istilah hadis marfu>‘. Lihat Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi> Fi> Sharh} Taqri>b al-Nawa>wi>, 116; Shams al-Di>n Muh}ammad bin Abdurrah}ma>n al-Sakha>wi>, Fath} al-Mughi>th Sharh} Alfi>yat al-H}adi>th (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, t.th), i, 10, 102; Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Qawa>‘id al-Tah}di>th Min-Funu>n Mus}t}alah} al-H}adi>th (Beiru>t: Da>r al-H}adi>th, 2005), i, 20, 81.

10 Validasi nisbat itu dapat dilihat dari sistem isnad atau sanad. Ia adalah rangkaian periwayat yang menyampaikan hadis itu secara berkesinambungan dari sumbernya hingga kepada para pegkodifikasi. Isnad digunakan untuk menjamin validitas dan

otentisitas sebuah berita yang disinyalir bersumber dari Nabi. Tanpa isnad, berita-berita itu tertolak. Ia bahkan menjadi kebanggaan umat Islam dalam rangka menjaga keotentikan dan kemurnian ajaran agama. Dengan isnad ini pula, seseorang tidak dapat semena- mena mengaku pernah mendengar sebuah hadis nabi dari seorang periwayat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ibn al-Mubarak, “al-Isna>d min-al-di>n. Lawla> al-isna>d laqa>la man sha>’a ma> sha>’a.” Isnad adalah bagian dari agama. Tanpa Isnad, niscaya seseorang akan mengatakan apa saja yang dia kehendaki. Di samping itu, isnad juga dijadikan sebagai metode validasi hadis. Dalam hal ini, Ibn Si>ri>n menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipercaya tanpa mendatangkan isnad. “Lam yaku>nu> yas’alu>n ‘an-al-isna>d. Fa- lamma> waqa‘at al-fitnah, qa>lu> sammu> lana> rija>lakum. Fa-yunz}ar ila>-Ahl al-sunnah fa-yu’khadh h}adi>thuhum wa-yunz}ar ila>-ahl al- bida‘ fa-la> yu’khadh h}adi>thuhum.” Muslim, S}ah}i>h} Muslim, i, 11, hadis no. 27.

11 Bahkan Nabi sendiri dalam pendahuluan riwayat tentang ancaman berbohong atas namanya, menegaskan bahwa kebohongan atas nama Nabi sangat berbeda dari kebohongan atas nama selain Nabi. “Inna kadhiban ‘alayya laisa kakadzibin ‘ala-

ah}ad. Man kadhaba ‘alayya fal-yatabawwa’ maq‘adahu> min-al-na>r.” al-Bukhari, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, i, 434; Muslim, S}ah}i>h} Muslim, i, 8.

12 Redaksi pernyataan tersebut adalah, “Khas}lata>ni la> yastaqi>m fi>hima> h}usn al-z}ann: al-h}ukm wa-al-h}adi>th.” Lihat Ibn Abi> H}a>tim, al-Jarh} wa-al-Ta‘di>l, i, 36. Pernyataan ini bertentangan dengan asumsi Goldziher yang menyatakan bahwa umat Islam,

dalam hal ini muh}addithu>n, ceroboh dalam menerima hadis. Apapun yang diketahui berasal dari Nabi diterima begitu saja secara apologetik, tanpa diteliti terlebih dahulu. Ia menyatakan hal ini dalam rangka membedakan antara sikap umat Islam dan sikap non- muslim dalam menyikapi sebuah berita yang disinyalir berasal dari Nabi. Bagi non-muslim, sikap pertama adalah skeptic, sementara bagi umat Islam, langsung menerima tanpa mempertanyakan keotentikannya terlebih dahulu. Lihat Albrecht Noth, “Common Features of Muslims and Western H}adi>th Criticism: Ibn al-Jawzi>’s Categories of H}adi>th Forgers” dalam Harald Motzki (ed), H}adi>th: Origins and Developments (Britain: Ashgate Aviorum, 2004), vol. 28, 315-316 dalam hal ini muh}addithu>n, ceroboh dalam menerima hadis. Apapun yang diketahui berasal dari Nabi diterima begitu saja secara apologetik, tanpa diteliti terlebih dahulu. Ia menyatakan hal ini dalam rangka membedakan antara sikap umat Islam dan sikap non- muslim dalam menyikapi sebuah berita yang disinyalir berasal dari Nabi. Bagi non-muslim, sikap pertama adalah skeptic, sementara bagi umat Islam, langsung menerima tanpa mempertanyakan keotentikannya terlebih dahulu. Lihat Albrecht Noth, “Common Features of Muslims and Western H}adi>th Criticism: Ibn al-Jawzi>’s Categories of H}adi>th Forgers” dalam Harald Motzki (ed), H}adi>th: Origins and Developments (Britain: Ashgate Aviorum, 2004), vol. 28, 315-316

dasarnya tidak ada data dan informasi yang taken for granted. Dengan demikian, langkah pertama yang harus dilakukan ketika mendengar sebuah hadis (pernyataan yang dinisbatkan kepada Nabi) adalah skeptis

terhadap validitasnya; apakah benar berita itu dari Nabi? Setelah itu, barulah dibuktikan keotentikan penisbatannya kepada Nabi dengan seperangkat metodologi yang muktabar dalam disiplin Ilmu Hadis.

Sementara itu, dalam Ilmu Hadis, untuk mengukur kuatnya validitas nisbat sebuah hadis kepada Nabi digunakan dua pendekatan yaitu pendekatan sanad dan matan. Pendekatan sanad meliputi kontinuitas periwayatan dari seorang periwayat kepada periwayat sesudahnya. Di samping itu, seorang periwayat juga harus memenuhi standar perfeksi dari segi kredibilitasnya yang dibuktikan dengan integritas yang tinggi dan sehat secara psikologis. Tidak hanya itu, seorang periwayat juga harus memiliki daya hafal yang sangat kuat karena hadis pada awal perkembangannya berstatus sebagai oral history seputar Nabi. Tanpa didukung daya hafal yang kuat, sejarah kenabian yang hanya tersimpan dalam memori pasti kacau balau dan tidak

dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya. 14

Secara normatif, sebuah hadis dinyatakan kuat validitas nisbatnya kepada Nabi juga apabila terhindar dari shudhu>dh dan ‘illat. Keduanya dianggap sebagai virus yang sulit diidentifikasi dan dapat membatalkan kesahihan sebuah hadis. Ia bisa saja terdapat pada sanad dan bisa juga pada matannya. 15 Masalah yang muncul kemudian adalah ketika validasi itu dipastikan dengan dasar integritas (al- ‘ada>lah) dan kualitas memori periwayat (al-d}abt}), apakah standar baku yang digunakan untuk menentukan bahwa seorang periwayat itu memiliki integritas moral yang tinggi dan daya hafal yang kuat? Jika seorang penilai (kritikus) memiliki kecenderungan yang berbeda, apakah standar itu bisa dijamin efektifitasnya? Lalu, di manakah posisi kritikus ketika mengomentari seorang periwayat yang memiliki ideologi berbeda? Akankah dia menolak riwayat para periwayat yang ditengarai berideologi berbeda atau menerima secara apologis hadis riwayat orang yang seideologi dengannya?

Seorang periwayat dituntut untuk dapat bersikap objektif dalam menerima dan menyampaikan riwayat. Setidaknya daya hafal (al-d}abt} wa al-itqa>n) yang kuat dapat menjadi prasyarat utama bagi seseorang untuk dapat menyampaikannya secara objektif. Tidak hanya itu, seorang periwayat tidak boleh terbawa oleh arus ideologi yang dia anut, apalagi jika sampai terjebak dalam fanatisme, khususnya ketika menerima dan manyampaikan sebuah hadis. Selama berita itu diyakini benar dan valid penisbatannya kepada Nabi, maka harus disampaikan dengan seobjektif mungkin dan tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Jika hal ini dilanggar, maka dua pernyataan Nabi di atas akan menjadi saksi atas kebohongannya dan sanksi yang ada di dalamnya pun siap untuk dieksekusi. Bahkan lebih dari itu, seorang periwayat yang terbukti pernah berbohong (apalagi jika mengatasnamakan Nabi), maka riwayatnya tidak dapat diterima

selamanya meski telah bertaubat. 16

“Cukuplah seseorang disebut berbohong karena selalu menceritakan apapun yang dia dengar.” (HR. Muslim) lihat Muslim bin al-H{ajja>j, S}ah}i>h} Muslim, i, 8, hadis no. 7. Memang, secara eksplisit, hadis ini tidak sedang berbicara tentang periwayatan hadis, melainkan pembicaraan secara umum. Seseorang yang selalu menebar berita dan informasi apapun yang dia dengar tanpa diklarifikasi terlebih dahulu akan terjebak dalam kebohongan publik. Karena itu, seseorang harus berhati-hati dalam menyampaikan pesan, apalagi pesan tersebut menyangkut nama nabi dan agama. Karena itu, secara implisit hadis tersebut juga dapat berlaku pada kasus periwayatan hadis. Seseorang yang tidak mengkalifikasi kesahihan hadis tersebut dan menyampaikannya begitu saja apapun yang dia dengar, maka hal tersebut rawan masuk ke dalam jurang kebohongan. Tanpa ada uji validitas ini, pasti ajaran Islam tidak lagi murni dari Allah dan Rasul-Nya, melainkan telah bercampur dengan berbagai informasi dari selainnya. Karena itulah, dalam disiplin Ilmu Hadis, seorang periwayat harus terlebih dahulu mengklarifikasi otentisitasnya terlebih dahulu. Lihat Muh}ammad Mus}t}afa> al-A‘z}ami>, Manhaj al-Naqd ‘Inda-al-Muh}addithi>n (Riya>d}: Sharikah al-T}iba‘ah al-‘Arabi>yah al- Sa‘u>di>yah al-Mah}du>dah, 1982), cet. 2, 5

14 Pada dasarnya hadis sahih adalah hadis yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya dari sumber aslinya. Jika validitas itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujah. Terkait hal ini, untuk membuktikan

validitas sebuah hadis terdapat lima kriteria utama yang harus dipenuhi, sebagiamana yang muktabar dalam kajian ilmu hadis, yaitu: [1] sanadnya bersambung dari awal sampai akhir (ittis}a>l al-sanad), [2] para priwayatnya adil (yarwi>h ‘adlun), [3] para periwayat memiliki daya hafal yang sangat kuat (d}a>bit}), [4] tidak menyalahi riwayat lain yang lebih kuat (sha>dhdh), dan [5] tidak ada cacat sedikitpun (‘illat). Lihat al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi>, 31-38

15 Lihat al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi>, 32-38 16 Al-Suyu>t}i menganalogikan hal ini dengan seorang pezina. Meski telah bertaubat nasuha, seorang pezina tetap tidak akan dapat mengembalikan kehormatannya (la> ya‘u>d muh}s}anan) yang telah hilang direnggut orang lain dengan cara yang tidak benar. Masalah pertaubatannya diterima dan benar-benar tidak mengulanginya lagi adalah urusan lain. Demikian juga dengan dosa orang yang berbohong, meski telah diampuni karena telah bertaubat nasuha, tetap saja riwayatnya tidak dapat diterima karena dia tidak dapat mengembalikan kepercayaan orang lain. Bahwa dosanya telah diampuni, itu adalah urusannya dengan Tuhan. Sementara dalam tataran sosial, ia masih meninggalkan rekam jejak yang buruk yang membuat orang lain tidak lagi dapat memercayainya. Apalagi jika laporan yang dibawakan olehnya itu adalah menyangkut agama. Di sinilah letak kehati-hatian para ulama hadis untuk tidak sembarangan menerima laporan yang dinisbatkan kepada Nabi dari orang yang memiliki kredibilitas

Dalam sejarah peradaban Islam, ahli hadis diposisikan sebagai sebuah “komunitas akademik” penggiat studi hadis dan tradisi kenabian. Keberadaannya disejajarkan dengan komunitas-komunitas akademik lain seperti Kalam, Fikih, Tasawuf, Filsafat, dan juga politikus atau penguasa. Bahkan konflik di antara mereka pun sangat kentara. Lebih dari itu, perseteruan akademis itu kemudian berbelok kepada perseteruan teologis yang pada akhirnya muncul klaim sesat,

zindi>q, kafir, dan sejenisnya. 17 Dalam interaksinya dengan kelompok ahli fiqh, komunitas ahli hadis cenderung tampak adem ayem

dan tidak banyak konflik. Sebagaimana ahli fikih, hubungan ahli hadis juga sangat mesra dengan ahli tafsir. Praktis tidak ditemukan adanya perseteruan antara keduanya. Hal ini berbeda dengan komunitas akademik lain seperti ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat yang banyak ditemukan terjadi perdebatan sengit di antara mereka. Bahkan dengan ahli tafsir inilah ahli hadis mengawinkan ilmunya lebih dari sekedar hubungan mesranya dengan ahli fikih. Tafsir-tafsir dengan manhaj athari> (riwa>yat; bi al-ma’thu>r) menjadi sebuah nomenklatur dalam kajian tafsir yang paling diunggulkan dan dibanggakan. Validitas dan akurasi tafsir dengan pendekatan riwayat atau hadis menempati ranking teratas setelah tafsir ayat dengan ayat. Lagi-lagi hal ini adalah karena sosok Nabi yang menjadi perfect pattern juga orang-orang yang diyakini mewarisi Nabi itulah yang menafsirkannya. Dengan demikian, tidak ada alasan apapun yang dibenarkan untuk menolak penafsiran Nabi tersebut. Penafsiran-penafsiran baru dianggap menyimpang jika tidak lahir dari

penafsiran Nabi tersebut. 18

Sebagai kelompok ideologi yang selalu berbeda dan memiliki kriteria validasi hadis yang tidak sama, tentu akan sulit bagi masing-masing kelompok untuk menerima begitu saja riwayat dari kelompok di luar mereka. Dibutuhkan penyeleksian yang sangat ketat untuk meloloskan sebuah hadis dari praduga- praduga kesalahan dan pemalsuan. Sebagai kelompok yang sama-sama ingin eksis dan mempertahankan ideologinya, pasti ada perasaan curiga dan tidak percaya satu sama lain. Bahkan tidak tertutup kemungkinan masing-masing akan menyandarkan sebuah pernyataan yang disandarkan kepada sang perfect pattern, termasuk Nabi, untuk tujuan validasi dan legitimasi ideologi mereka.

Permasalahan ini berangkat dari adanya asumsi bahwa kemunculan istilah ahli hadis (muh}addithu>n) atau ahl al-sunnah adalah dalam rangka merespon sikap yang dinilai negatif sebagaimana ditunjukkan oleh kelompok-kelompok pendahulunya. 19 Karena itu, para ahli hadis merasa perlu mengadakan sebuah komunitas pelesatari sunnah dan penggiat kajian hadis untuk menandingi kekuatan mereka. Tak jarang, terjadi perseturuan di antara ahli kalam, sufi, sastra dan filsafat dengan ahli hadis, sehingga banyak periwayat yang ditengarai berideologi tertentu yang berseberangan dengan ahli hadis, mendapat nilai merah (majru>h}) dari para kritikus hadis. 20

rendah. Abdurrah}ma>n bin Abu> Bakr al-Suyu>t}i, al-Ashba>h wa-al-Naz}a>’ir (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1403 H), 530; Tadri>b al- Ra>wi>>, 219.

17 Wacana seperti ini dapat dibaca secara komprehensif dalam al-Raud} al-Ba>sim fi-al-Dhabb ‘an-Sunnat Abi> al-Qa>sim karya Ibn al-Wazi>r al-Yamani> dan Minha>j al-Sunnah al-Nabawi>yah karya Ibn Taymiyah.

18 Dalam hal ini para ulama klasik hampir selalu menggunakan riwayat sebagai manhaj penafisarannya. Ini lah yang kemudian memunculkan istilah tafsi>r athari> atau al-tafsi>r bi-al-ma’thu>r dalam kajian Ulumul Quran. Metode ini dinilai paling

otoritatif dalam tradisi penafsiran al-Quran, apalagi jika penafsiran itu adalah antar ayat atau dengan hadis nabi. Lihat misalnya dalam Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zurqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n (Beirut: ‘I>sa> Ba>bi> al-H}alabi>, t.th.), 12. Bahkan jika tidak menggunakan manhaj ini, penafsiran bisa sesat dan keliru. Lihat Muh}ammad al-T}a>hir Ibn ‘A>shu>r, al-Tah}ri>r wa-al-Tanwi>r (Tu>nis: al- Da>r al-Tu>nisi>yah li al-Nashr, 1984), 28-29. Dalam hal ini banyak sekali dijumpai karya-karya tafsir al-Quran yang berbasis riwayat seperti Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an-Ta’wi>l A>yin min-al-Qur’a>n karya al-T}abari>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m karya Ibn Kathi>r, dan al-Durr al- Manthu>r fi>-al-Tafsi>r bi-al-Ma’thu>r karya al-Suyu>t}i>.

Lebih jauh dan tegas, Birkeland bahkan berkesimpulan bahwa pada perkembangan pertama hadis memang digunakan untuk kepentingan tafsir al-Quran. Ibn Abbas adalah tokoh pionir dalam hal ini dan saat itu tidak satupun ulama (sahabat) yang menentang praktik penafsiran yang dilakukan oleh Ibn Abbas ini. Bahkan pada periode selanjutnya (sekitar th. 100 H) tradisi penafsiran ini semakin menguat seiring munculnya kelompok ahli tafsi>r bi-al-ra’y. Karena itulah penafsiran al-Quran berbasis riwayat (hadis) menjadi semakin digalakkan untuk membendung arus penafsiran al-Quran bi-al-ra’y. Lihat Birkeland, Old Muslim Opposition against Interpretation of the Koran (Oslo: Jacob Dybwad, 1955), 9-10; Pendapat Birkeland ini kemudian didukung oleh Nabia Abbott yang secara spesifik juga menolak Goldziher. Bagi Abbott, sejak periode awal Islam telah terjadi transmisi dan penulisan hadis-hadis tafsir. Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Quranic Commentary and Tradition (Chicago: The University of Chicago Oriental Publications, 1967), vol. 76, 106-111; Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (London: Curzon Press, 2000), 69.

19 Christopher Melchert, “The Piety of the Hadith Folk” dalam International Journal of Middle East Studies, vol. 34, No. 3, 2002, 426

20 Meski demikian, bukan berarti bahwa ahli hadis menolak begitu saja seluruh penggiat kajian sejarah, ilmu kalam, tasawuf, sastra, dan sejenisnya. Penilaian buruk (al-jarh}) yang mereka berikan itu tidak lain adalah karena kepribadian dan

kebiasaannya yang menurut kriteria ahli hadis tidak tepat sehingga tidak dapat dipercaya riwayatnya. Lihat al-Dhahabi>, Mi>za>n al- I‘tida>l (Beiru>t: Da>r al-Ma‘rifah, 1405 H), 1/5; al-Dhahabi>, al-Mu>qiz}ah (H}alab, Maktab al-Mat}bu>‘a>t al-Isla>mi>yah, 1405 H), 67-68; al-Zarkashi>, al-Nukat ‘Ala> Ibn al-S}ala>h} (Riya>d}{: Maktabah Ad{wa>’ al-Salaf, 1419 H), 1/98-100. Memang dalam ilmu al-jarh} wa-al-

Di satu sisi sikap ahli hadis yang demikian itu sangatlah wajar, namun di sisi lain juga sangat utopis. Sebagai sebuah kelompok, pasti mereka juga memperjuangkan hak-hak akademis dan eksistensi mereka. Namun, tak dapat disangkal bahwa tidak sedikit pula riwayat-riwayat kenabian yang disampaikan oleh pihak-pihak di luar mereka. Sehingga jika riwayat mereka itu ditolak begitu saja hanya karena perbedaan ideologi, pasti akan terlalu banyak hadis yang terbuang. Di samping itu jika hal tersebut terjadi, pasti kelompok ahli hadis akan semakin dikucilkan karena tidak mengakui kebenaran yang disampaikan oleh mereka.

Kondisi demikianlah yang membuat para sarjana Barat berasumsi bahwa mayoritas hadis diproduksi pada abad ke-3 H/ 9M dan setelah itu tumbuh berkembang dari hasil pemalsuan-pemalsuan (forgery). Hal ini, bagi William Muir disebabkan oleh dua faktor, yaitu:

1. Selama lebih dari satu abad, hadis hanya ditransmisikan secara oral. Selama itu pulalah kualitas periwayatan hadis sangat bergantung pada kualitas hafalan setiap periwayatnya. Di samping itu, cara periwayatan semacam itu juga sarat dengan bias yang laten. Periwayatan secara lisan yang berlangsung cukup lama itu juga juga banyak terpengaruh oleh perkembangan komunitas-komunitas muslim yang secara tidak disadari memiliki efek signifikan terhadap hadis yang diriwayatkannya. Permasalahan ini menjadi semakin rumit jika dihadapkan dengan problem, bagaimana seorang periwayat memahami dan

meriwayatkan hadis-hadis yang telah dia terima itu secara utuh. 21

2. Perselisihan atau percekcokan politik dan keagamaan antar komunitas muslim yang menyebabkan terjadinya pemalsuan (falsification) hadis-hadis yang telah ada dan mengadakan (invention) hadis-

hadis baru yang belum perah ada. 22

Asumsi-asumsi di atas akan sulit dibenarkan jika membaca biografi-biografi para periwayat dan ahli hadis pada umumnya. Tak jarang ditemukan rawi-rawi al-Bukha>ri> dan Muslim yang berseberangan ideologi dengannya. 23 Hal ini juga masih menyisakan sebuah pertanyaan terkait dengan akurasi catatan biografis yang ada dalam kitab-kitab rija>l al-h}adi>th. Di samping itu, dalam problem otonomisasi ideologi dari penyampai hadis, terdapat sebuah pertanyaan besar bahwa bisakah ideologi itu dilepaskan dari hadis yang disampaikannya? Artinya dalam meriwayatkan sebuah hadis, seorang komunikator tidak sedang berpretensi menyampaikan ideologi- ideologinya, melainkan hanya menyampaikan informasi (hadis) yang dia dapatkan kepada orang lain, meski harus bertentangan dengan ideologi mereka sekalipun. Begitu pula dengan seorang periwayat yang menjadi komunikan (penerima hadis) atau seorang kolektor hadis (mukharrij), apakah dia mampu bersikap secara objektif untuk tidak melihat siapa komunikatornya (penyampainya)? Berideologi apakah dia? Di manakah posisi dia ketika meriwayatkan hadis dari seorang komunikator yang berbeda ideologi? Dan bagaimanakah mereka melakukan validasi hadis yang diterima dari periwayat yang berideologi beda itu?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi menarik karena di satu sisi, seorang periwayat harus melihat apa ideologi gurunya yang dalam hal ini menjadi komunikator. 24 Jika dia terbukti berideologi bid‘ah (non Ahlussunnah), maka riwayatnya ditolak. Sedangkan jika ideologinya adalah Ahlussunnah, riwayatnya dapat diterima. 25 Sebaliknya, dalam sebuah riwayat dari Ali bin Abu T}a>lib menegaskan untuk tidak melihat dari siapa sebuah perkataan itu didapatkan. Selama bermuatan nilai-nilai positif dan bermanfaat, maka ucapan itu laik diterima (unz}ur ma> qa>l wa-la> tanz}ur man qa>l). Di samping itu, dalam tradisi penelitian hadis, seorang kritikus justru tidak boleh melihat ideologi periwayat, melainkan harus melihat kredibilitas dan kekuatan hafalannya. Bagi mereka, qauluhum shay’ wa-fi‘luhum shay’ (ucapan dan

ta‘di>l redaksi-redaksi yang secara spesifik menunjuk pada profesi dan spesialisasi keahlian dan keilmuan itu ada yang berarti positif dan negatif. Misalnya, ketika seseorang disebut sebagai faqi>h (pintar, mendalam ilmunya, atau biasa juga berarti ahli fiqh [j: fuqaha>’]), maka berarti baik. Sebaliknya, jika seseorang itu disebut qas}s}a>s}, akhba>ri> yang keduanya adalah bermakna “ahli sejarah dengan kriteria khusus”, maka berarti jelek (majru>h}). Lihat Akram D}iya>’ al-‘Umari>, “Marwi>ya>t al-Si>rah al-Nabawi>yah Bain Qawa>‘id al-Muh}addithi>n wa Riwa>ya>t al-Akhba>ri>yi>n” (t.tp.: Makalah Simposium Internasional, t.th.), 7-8. 21

William Muir, The Life of Mahomet (London, Smith, Elder and Co., 65, Cornhill, 1858), xxxv-xxxvi 22 Muir, The Life of Mahomet, xxxviii, xxxix

23 Dalam hal ini tercatat ada sekitar 141 periwayat yang berseberangan ideologi (mubtadi‘ah) dengan muhaddithu>n dalam al-kutub al-sittah. Muhammad ‘Abdul H}aki>m al-Qad}i>, Asma>’ al-Mubtadi‘ah fi-al-Kutub al-Sittah, 109. Bahkan dalam dua kitab

hadis yang dinilai paling sahih, S}ah}i>h} al-Bukha>ri> dan S}ah}i<h} Muslim sekalipun, juga terdapat beberapa periwayat yang berseberangan ideologi (dinilai menyimpang: mubtadi‘), namun riwayatnya tetap diterima.

24 Semetara itu, dalam kode etik pembelajaran klasik, seorang murid dilarang keras mengorek ideologi gurunya. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa etika murid terhadap guru yang terdapat dalam berbagai literatur akhlak.

25 Demikianlah pernyataan Ibn Si>ri>n dalam memberikan pengarahan terkait langkah-langkah validasi isnad, “Lam yaku>nu> yas’alu>na ‘an-al-isna>d, falamma> waqa‘at al-fitnah qa>lu>, ‘Sammu> lana> rija>lakum.’ Fa yunz}ar ila> Ahl al-sunnah fa-yu’khadh

h}adi>thuhum, wa-yunz}ar ila>-ahl al-bida‘ fa-la> yu’khadh h}adithuhum.” Lihat Muslim, S}ah}i>h} Muslim, i, 11, hadis no. 27 h}adi>thuhum, wa-yunz}ar ila>-ahl al-bida‘ fa-la> yu’khadh h}adithuhum.” Lihat Muslim, S}ah}i>h} Muslim, i, 11, hadis no. 27

bahwa seseorang tidak boleh dibenci karena ideologinya. 26

Di sinilah penelitian ini akan beroperasi. Ia akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Penelitian ini menjadi penting untuk menelusuri perseteruan di antara ahli hadis dengan komunitas

akademik dan ideologi lain. Bisakah mereka bekerja secara professional dan tidak terkungkung oleh ideologi yang bersemayam dalam dirinya. Lalu, bagaimana cara kerja dan objektivitas ahli hadis dalam menerima dan menyampaikan pesan-pesan kenabian menjadi objek utama penelitian ini. Terutama, terkait dengan metode validasi dan otentifikasi hadis yang didapatkan dari guru yang berbeda ideologi, berikut cara penilaian terhadap kepribadian guru yang oposan tersebut.

Penelusuran biografi dan metode kritik (al-jarh} wa-al-ta‘di>l) akan banyak digunakan sebagai konsep kunci untuk memasuki wilayah kritis ini dan juga untuk membaca karakter masing-masing kritikus berikut sikapnya terhadap para periwayat yang berbeda ideologi dengannya. Pembacaan selanjutnya juga akan mengarah pada pesan apa yang disampaikan oleh seorang perawi misionaris ideologi tertentu, dan kepada siapa dia menyampaikannya? Lalu, dengan media apakah dia menerima dan menyampaikan pesan kenabian itu dan apa efeknya bagi perubahan sosial, atau minimal pengaruhnya terhadap periwayat yang menerima pesan tersebut? Pada akhirnya, tesis ini hanya akan menyatakan bahwa hadis yang valid penisbatannya kepada Nabi dapat dipastikan otonom dan tidak terpengaruh oleh ideologi para periwayatnya.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah