ETNOGRAFI dalam Penelitian Sastra Lisan
ETNOGRAFI
dalam Penelitian Sastra Lisan
Oleh: Suhariyadi
ABSTRAK. Tulisan ini hendak mengungkapkan sebuah
model analisis etnografi yang dikemukakan oleh James
Spradley bagi studi sastra lisan. Selama ini studi sastra
lisan lebih terfokus pada inventarisasi dan diskripsi.
Sementara kognisi sosial yang melandasi praktikpraktik sosiokultural masyarakat pemilik dalam
kaitannya dengan sastra lisan tersebut belum banyak
tersentuh. Hal itulah menjadi titik berangkat studi
yang bersifat teoritis dalam tulisan ilmiah ini dilakukan.
Model Analisis Etnografi yang dikemukakan oleh James
Spradley menjadi kasus untuk ditawarkan dalam
penelitian sastra lisan tersebut.
Kata Kunci : etnografi, sastra lisan, kognisi sosial,
wawancara etnografi, alur maju bertahap, Spradley.
A. Pendahuluan
Sebagai produk budaya, sastra lisan dapat menjadi
obyek bagi kajian etnografi. Dalam kerangka teori Spradley,
penelitian etnografi terhadap sastra lisan mengarah pada alam
pikiran masyarakat pemilik dan pendukung sastra lisan
tersebut. Bagaimana alam pikir mereka melihat dan
mendefinisikan sastra lisannya sebagai landasan untuk
bertindak dalam kaitannya dengan sastra lisan yang dimiliki
dan didukungnya itu? Sistem makna apakah yang melandasi
tindakan dan peristiwa kultural yang dilakukan masyarakat
setiap hari dalam kaitannya dengan sastra lisan yang
dimilikinya itu? Pertanyaan itulah yang menjadi fokus
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
1
penelitiannya, bukan terfokus pada sastra lisan itu. Sastra
lisan hanyalah simbol, ritualritual yang ada hanyalah fakta
permukaan, tetapi yang terpenting adalah organisasi pikiran
masyaraktnya yang melandasi tindakan dan peristiwa kultural
itu.
Sastra lisan dalam konteks ini digolongkan dalam
folklore lisan sebagaimana dikemukakan Dananjaya (1994:21).
Folklore lisan adalah folklore yang bentuknya memang murni
lisan. Bentukbentuk folklore yang termasuk ke dalam
kelompok lisan ini antara lain: (1) bahasa rakyat (folk speech)
seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel
kebangsawanan, (2) ungkapan tradisional seperti peribaqhasa,
pepatah, dan pemeo; (3) pertanyaan tradisional, seperti teks
teks; (d) puisis rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e)
cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f)
nyanyian rakyat. Sastra lisan merupakan puisi rakyat dan
cerita prosa rakyat dalam jenisjenis folklore lisan tersebut.
Definisi folklore secara keseluruhan adalah sebagian
kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan
turuntemurun, di antara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat (Dananjaya,1994:2). Lebih lanjut
dikatakan Dananjaya, mengutip pendapat Jan Harold, folklore
digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan
tipenya: (1) folklore lisan (verbal folklore); (2) folklore sebagian
lisan (partly verbal folklore); dan (3) folklore bukan lisan (non
verbal folklore) (1994:21).
Penelitian etnografi terhadap sastra lisan dapat
berobjekkan puisi rakyat atau cerita prosa rakyat. Namun
demikian, penelitiannya diarahkan kepada bagaimana
masyarakat mendefinisikan sastra lisan itu dalam alam pikir
mereka untuk melandasi tindakan sehariharinya. Tindakan
yang dimaksud adalah peristiwaperistiwa atau aktivitas
aktivitas kultural, baik dalam bentuk ritual tradisional,
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
2
keagamaan, maupun adat dan tradisi lainnya. Sukatman
menggolongan sastra lisan itu ke dalam tradisi lisan (2009:3).
Sedangkan ciriciri tradisi lisan menurut Dananjaya meliputi:
(1) penyebaran dan pewarisannya biasa dilakukan dengan
lisan, yakni dari mulut ke mulut; (2) bersifat tradisional, yakni
berbentuk relatif atau standard; (3) bersifat anonim; (4)
mempunyai varian atay versi yang berbeda; (5) mempunyai
pola bentuk; (6) mempunyai kegunaan bagi kolektif tertentu;
(7) menjadi miliki bersama suatu kolektif; dan (8) bersifat
polos dan lugu sehingga sering terasa kasar atau terlalu sopan
(dalam Sukatman,2009:5).
Menurut William R. Bascom, bahwa secara umum
tradisi lisan mempunyai empat fungsi penting. Pertama,
tradisi lisan berfungsi sebagai sistem proyeksi (cerminan)
anganangan suatu kolektif. Kedua, tradisi lisan berfungsi
sebagai alat legitimasi pranatapranata kebudayaan. Ketiga,
tradisi lisan berfungsi sebagai alat pendidikan. Dan, keempat,
tradisi lisan berfungsi sebagai alat pemaksa atau pengontrol
agar normanorma masyarakat selalu dipatuhi anggota
kolektifnya (dalam Sukatman,2009:78). Sastra lisan sebagai
bagian dari tradisi lisan juga memiliki fungsifungsi tersebut.
Sastra lisan dengan demikian bukan semata sebagai karya
seni, tetapi juga sebagai nilainilai yang mengatur kehidupan
sosial masyarakatnya.
Dalam keempat fungsinya itulah, sastra lisan dapat
menjadi obyek bagi penelitian etnografi. Bagaimanakah sastra
lisan yang dimiliki oleh suatu masyarakat memiliki makna
dalam alam pikir setiap anggota masyarakat itu.
Bagaimanakah sastra lisan mampu menjadi sistem makna
yang melandasi, mengontrol, melegitimasi, dan mengatur
tindakantindakan setiap anggota masyarakatnya.
Bagaimanakah organisasi pikiran setiap anggota masyarakat
yang terkonstruksi oleh substansi sastra lisan yang
dimilikinya. Masyarakat Indonesia memiliki tradisi lisan yang
kaya dan penting dalam mengatur kehidupan masyarakat.
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
3
Sastra lisan tersebut membentuk pola pikir, tindakan, dan
kesadaran masyarakat dalam berinteraksi dengan Tuhan,
alam sekitar, dan sesamanya. Sastra lisan semenjak dulu
telah melandasi hidup masyarakat dalam hubungan sarwa
tersebut.
Fenomena dan noumena masyarakat dalam kaitannya
dengan sastra lisan itulah yang menandai wilayah bagi
penelitian etnografi. Fenomena adalah dunia yang terlihat,
konkrit, fisikal, empiris, dan rasional, sedangkan noumena
adalah dunia abstrak, tak terlihat, gaib, dan tak rasional.
Keduanya melingkari keberadaan sastra lisan sebagai warisan
budaya masa lalu yang diwariskan secara turuntemurun.
Keduanya menjadi wilayah kajian ilmuilmu sosial seperti:
antropologi budaya, bahasa, filsafat, sastra, dan ekologi
budaya. Di dalamnya etnografi menjadi bagiannya sebagai
metode analisisnya. Pertanyaannya adalah, bagaimana
implementasi metode etnografi dalam penelitian sastra lisan?
Strategi dan model analisis etnografi beragam
bentuknya. Dalam tulisan ini, sekali lagi, menggunakan
strategi dan model yang dikemukakan oleh James P. Spradley
(2007). Spradley menyebutnya sebagai strategi Wawancara
Etnografi. Strategi ini bertumpu pada apa yang dikatakan
orang, atau dalam istilah penelitian lapangan disebut
informan. Melalui informan yang baik dan sudut pandang
penduduk asli, diharapkan penelitian etnografi mengasilkan
diskripsi etnografis tentang kebudayaan suatu masyarakat.
Sastra lisan sebagai bagian kebudayaan yang memiliki fungsi
melampaui fungsi dalam konteks kebahasaan dan kesastraan,
dapat menjadi fokus penelitian. Namun, yang diteliti bukan
sastra lisan itu sendiri, tetapi suasana budaya yang
melingkupinya. Suasana budaya merupakan tindakan yang
berlandaskan pada pola pemikiran dalam kaitannya dengan
sastra lisan tersebut.
Penelitian etnografi terhadap sastra lisan sesungguhnya
memiliki tujuan ganda. Pertama, menginventarisasi dan
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
4
mendikripsikan sastra lisan dalam rangka pendokumentasian
dan pelestarian sastra dan kearifan lokal. Kedua,
mendikripsikan kebudayaan lokal dalam rangka
pembangunan nasional.
B. Studi Kepustakaan
1. PrinsipPrinsip Dasar Etnografi
Spradley dalam bukunya berjudul Metode Etnografi
(2007) sangat gamblang dan sistematis menjelaskan tentang
empat tipe analisis etnografi, yaitu analisis domain, analisis
taksonomik, analisis komponen, dan analisis tema. Empat tipe
analisis tersebut menempatkan metode etnografi yang
dikemukakan Spradley itu dikenal sebagai Etnografi Baru.
Etnografi baru berusaha menemukan keunikan dari
masyarakat yang ditelitinya. Keunikan itu terletak pada
persepsi dan organisasi pikiran masyarakat atas fenomena
material yang ada di sekelilingnya. Bukan fenomena material
yang menjadi fokus kajian, melainkan persepsi dan struktur
pikiran terhadap fenomea material tersebut, yang dihadapinya
seharihari.
Menurut Spradley etnografi merupakan pekerjaan
mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuannya, untuk
memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang
penduduk asli, sebagaimana dikemukakan Bronislaw
Malinowski. Bronislaw Malinowski (dalam Spradley,2007:4)
mengemukakan bahwa tujuan etnografi adalah memahami
sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan
kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai
dunia. Dengan demikian, etnografi bukan semata mempelajari
masyarakat, tetapi juga belajar dari masyarakat.
Mempelajari sekaligus belajar dari masyarakat. Kalimat
tersebut menjadi pedoman yang harus selalu diingat oleh
seorang etnograf. Ada dua hal yang terkandung dalam
ungkapan kalimat tersebut. Pertama, tidak seperti kajian
kajian pada umumnya di mana peneliti dan obyek yang diteliti
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
5
terdapat jarak, di dalam etnografi seorang etnograf masuk
menjadi bagian dari masyarakat dan menggunakan sudut
pandang penduduk asli untuk memplajari masyarakat
tersebut. Kedua, seorang etnograf yang menggunakan sudut
pandang penduduk asli dimungkinkan manakala ia belajar
menjadi bagian dari masyarakat tersebut.
Spradley mengemukakan, inti etnografi adalah upaya
untuk memperhatikan maknamakna tindakan dari kejadian
yang menimpa orang yang ingin ia pahami. Beberapa makna
tersebut terekspresi secara langsung dalam bahasa, dan di
antara makna yang diterima, banyak disampaikan hanya
secara tidak langsung melalui katakata dan perbuatan.
Namun demikian, setiap masyarakat tetap menggunakan
sistem makna yang kompleks untuk mengatur tingkah
lakunya, untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain,
serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup. Sistem
makna inilah merupakan kebudayaan masyarakat tersebut.
Oleh karena itu, etnografi hendak mempelajari sistem makna
yang disebut dengan kebudayaan suatu masyarakat. Etnografi
tentunya menggunakan teori kebudayaan untuk
mempelajarinya.
a. Kebudayaan sebagai Fokus dan Tujuan Etnografi
Terdapat berbagai definisi dan perspektif untuk
memandang kebudayaan. Tetapi bagi etnografi, pengertian
kebudayaan dikonsepsikan sesuai dengan tujuannya: “untuk
memahami sudut pandang penduduk asli”. Pengertian
kebudayaan yang sesuai untuk itu menurut Spradley adalah,
menunjuk pada pengatahuan yang diperoleh, yang digunakan
orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan
tingkah laku sosial. Dengan demikian, kebudayaan yang
dipelajari etnografi bukanlah kebudayaan dalam arti material,
tetapi kognitif (organisasi atau struktur pikiran). Peristiwa,
tingkah laku, dan dunia tempat hidup suatu masyarakat
bukanlah menjadi fokus kajian, melainkan apa yang ada
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
6
dalam pikiran masyarakat; sistem organisasi pikiran apakah
yang menuntun masyarakat tersebut menafsirkan dan berperi
laku dan memandang dunia tempat mereka hidup.
Pengertian kebudayaan dalam sudut pandang etnografi
adalah sebagai suatu simbol yang mempunyai makna. Konsep
ini memiliki persamaan dengan pandangan teori
Interaksionisme Simbolik, yaitu suatu teori yang berusaha
menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan
makna. Teori ini memiliki tiga premis sebagai landasan
teorinya.
1. Manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang
diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Artinya,
orang bertidak memiliki makna dibalik tindakan itu.
2. Makna dari berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari
interasi sosial seseorang dengan orang lain.
3. Makna ditangani atau dimodivikasi melalui suatu proses
penafsiran yang digunakan orang dalam kaitannya dengan
berbagai hal yang dihadapi orang tersebut. Orang bukanlah
robot yang dikendalikan oleh kebudayaannya, melainkan
menggunakan, menginterpretasikan, dan mendefinisikan
kebudayaannya itu untuk situasi yang terjadi dalam
tindakan orang itu.
Menurut Spradley, kebudayaan dengan demikian
dipandang sebagai suatu peta yang dalam kehidupan sehari
hari manusia merujuk pada peta itu. Sebagai sebuah peta,
kebudayaan mengemukakan prinsipprinsip untuk digunakan
dalam menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap
suatu kejadian. Etnografi menurut teori Interaksionisme
Simbolik perlu secara cermat mempelajari makna. Untuk itu
etnografi membutuhkan teori mengenai makna dan
metodologis khusus yang dirancang untuk menyelidiki makna.
Etnografi menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda
dalam antropologi dan sosiologi.
Kebudayaan dengan demikian tidak dapat diamati
secara langsung, melainkan menyelami alam pikiran
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
7
masyarakatnya. Etnografer melihat dan mendengar kemudian
membuat kesimpulan tentang hal yang diketahui orang.
Kesimpulan itu dibuat berdasarkan tiga sumber, yaitu: (1) dari
yang dikatakan orang; (2) dari cara orang yang bertindak; dan
(3) dari berbagai artefak yang digunakan orang. Pada mulanya
kesimpulan itu hanya merupakan hipotesis mengenai hal yang
diketahui orang. Oleh karena itu, kesimpulan tersebut harus
diuji secara berulangulang sampai etnografer memiliki
kepastian bahwa orangorang itu samasama memiliki sistem
makna budaya yang khsus. Kesimpulan akhir yang diperoleh
merupakan sebuah deskripsi budaya. Kemudian, etnografer
mengevaluasi dan menguji ketepatan deskripsi itu.
Pengevaluasian dan pengujian dilakukan dengan jalan
menggunakan statetemn etnografi dalam diskripsi tersebut ke
dalam kondisi masyarakat itu. Deskripsi etnografi tersebut
merupakan pengetahuan mengenai sistem budaya suatu
masyarakat.
Apa yang dikemukakan oleh Spradley di atas dapat
disimpulan dalam beberapa pernyataan berikut.
1. Etnografi menggunakan sudut pandang penduduk asli
untuk mempelajari sistem kebudayaan suatu masyarakat.
2. Kebudayaan dalam pandangan etnografi bukanlah apa
yang dilihat dan didengar (secara material), tetapi alam
pikiran mereka (secara kognitif).
3. Sistem kebudayaan dipandang sebagai sistem makna atau
peta yang mengandung prinsipprinsip untuk digunakan
dalam menginterpretasikan dan memberikan respon
terhadap suatu kejadian.
4. Prose kerja penelitian etnografi berdasarkan sumber data
yang berupa: apa yang dikatakan orang, apa yang
dilakukan orang, dan artefak yang digunakan orang.
5. Tujuan etnografi adalah mendiskripsikan sistem
kebudayaan dari sudut pandang penduduk asli. Oleh
karena itu, masyarakat yang diteliti adalah objek sekaligus
subjek penelitian.
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
8
6. Hasil penelitian etnografi adalah diskripsi kebudayaan
sebagai sebuah pengetahuan mengenai makna, prinsip,
dan peta yang dirujuk oleh masyarakat untuk
menginterpretasikan kondisi tindakan yang dihadapi setiap
hari.
Dalam konteks keilmuan, etnografi menawarkan suatu
strategi yang sangat baik untuk menemukan grounded theory.
Grounded teori disebut juga dengan teori substantif adalah
teori didasarkan atas data empiris; suatu teori yang
dirumuskan berdasarkan abstraksi datadata penelitian.
Etnografi bukan menggunakan teoriteori formal, yaitu teori
teori yang sudah tersedia sebelumnya. Seorang etnografer
ketika terjun ke dalam masyarakat tidak membawa cara
pandang tertentu, karena penelitian etnografi hanya
menggunakan satu cara pandang, yaitu yang dimiliki oleh
penduduk asli dari masyarakat yang akan diteliti. Ketiadaan
teori untuk menemukan teori.
Salah satu strategi etnografi yang sering digunakan
adalah wawancara etnografis. Wawancara etnografis
merupakan suatu strategi untuk membuat orang berbicara
mengenai hal yang mereka ketahui. Sedangkan prosedur
penelitiannya disebut oleh Spradley sebagai “Alur Penelitian
Maju Bertahap” (The Developmental Research Sequence).
b. Langkah Kerja Penelitian Etnografi
Langkah kerja penelitian etnografi disebut sebagai “Alur
Penelitian Maju Bertahap” (The Developmental Research
Sequence). Sebagaimana dijelaskan Spradley dalam bukunya
Metode Etnografi (2007), tulisan ini mengemukakan satu
strategi penelitian etnografi yang disebut sebagai Strategi
Wawancara Etnografis. Strategi ini menggunakan wawancara
sebagai sumber datanya. Sebagaimana dalam penelitian pada
umumnya, wawancara dilakukan terhadap seorang informan.
Namun demikian, terdapat aturan untuk menetapkan
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
9
informan yang tepat dan relevan bagi penelitian etnografi.
Secar garis besar, “Alur Penelitian Maju Bertahap” tersebut
dapat diskemakan sebagai berikut.
MM ee nw ea twa pa ka n O b y e k , Fo ku s
M M e Mem leabnkuua arkaitk nK e si m p u l a n d a r i h a si l
M npeMcakan eg mrnuPea jb nu ea lti t di ae nsk, dr iap nsi
A Cmn ai etl irsaAti ansn ncaaH l ainssigi s l pW e an we lai tni acan r a d a n
iIEn tfeno tornmgo r ga rfia s fi s se b a g a
Wh i mp oae twne jsa nd cai k ar an n y a se b u a h h i p o t e si s
ken si m p u l a n a k h i r
is
Bagan Alur Penelitian Maju Bertahap
Tahapan tersebut sengaja dimodivikasi secara sederhana dari
pendapat Spradley bagi penelitian pemula
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
10
c. Menetapkan Subjek, Objek Penelitian,
dan Merancang Penelitian
Sebagaimana dalam penelitian pada umumnya,
penelitian etnografi diawali dengan menetapkan subjek, objek
sebagai fokus penelitian, dan merancang penelitian. Subjek
penelitian, sebagaimana dikemukakan di muka adalah
masyarakat pemilik kebudayaan di mana penelitian etnografi
akan dilakukan. Sedangkan objek atau fokus penelitian
etnografi adalah aspek kebudayaan suatu masyarakat yang
akan dipelajari dan dikaji secara etnografis. Keduanya
sesungguhnya dapat dikatakan sebagai objek penelitian, yaitu
objek formal dan meterial. Fokus penelitian hendaknya
menunjuk pada satu fenomena tindakan masyarakat sebagai
peristiwa kultural, yang secara bersamasama dilakukan
dalam masyarakat itu. Namun demikian, yang akan dituju
bukanlah peristiwa yang tampak, tetapi sistem makna di balik
permukaan peristiwa tersebut. Artinya, fokus penelitian
menunjuk pada alam pikiran atau organisasi pikiran yang
melandasi masyarakat dalam bertindak dalam peristiwa
kultural tersebut. Bagaimanakah sistem makna yang
digunakan masyarakat untuk menginterpretasikan dan
mendefinisikan situasi tindakannya dalam konteks interaksi
sosial.
Hal lain yang perlu dilakukan sebelum terjun ke
lapangan adalah, seorang etnografer perlu merancang
penelitian. Dalam penelitian pada umumnya disebut dengan
desain penelitian. Rancangan penelitian inilah yang akan
menjadi pedoman bagi peneliti dalam melakukan penelitian di
lapangan. Tentunya rancangan tersebut harus sesuai dengan
konsepkonsep dasar metode etnografi. Di muka telah
dikemukakan beberapa konsep dasar metode etnografi.
Konsepkonsep dasar metode etnografi tersebut dituangkan ke
dalam rancangan penelitian yang meliputi: obyek dan sumber
data, metode, teknik, dan prosedur penelitian. Obyek telah
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
11
dijelaskan di atas, sedangkan sumber data dalam etnografi
terdiri atas tiga macam, yaitu: (1) dari yang dikatakan orang;
(2) dari cara orang yang bertindak; dan (3) dari berbagai
artefak yang digunakan orang. Ketiga sumber data tersebut
akan menentukan metode dan teknik yang akan dipakai
untuk menggali data penelitian. Dari sumber data (1)
diterapkan metode wawancara; dari sumber data (2)
diterapkan metode observasi; dan dari sumber data (3)
diterapkan metode observasi dan dokumentasi. Dengan
demikian, teknik pemerolehan data didasarkan pada sumber
data mana yang digunakan.
Sedangkan hal yang berhubungan dengan bagunan teori
yang digunakan, studi etnografi menggunakan gounded
theory, sebagaimana dikemukan di muka. Gounded theory
merupakan teori yang didasarkan atau disusun dari
kumpulan data dalam suatu penelitian. Dengan demikian,
bangunan teori dalam studi etnografi disusun dalam proses
penelitian berdasarkan datadata yang dihimpun, bukan
menggunakan teori yang sudah ada. Teori semacam itu
disebut juga dengan teori substantif. Oleh karena itu, model
penelitian etnografi bersifat induktif.
d. Menetapkan Informan
Sebagaimana dikemukan di bagian awal, tulisan tentang
model penelitian etnografi ini menggunakan strategi
wawancara etnografi. Dengan demikian, sumber data yang
digunakan adalah apa yang dikatakan orang, sehingga metode
penelitian yang digunakan adalah wawancara. Wawancara
etnografi merupakan upaya menggali data dari informan.
Namun demikian, ada beberapa aturan yang harus dilakukan
etnografer untuk menetapkan informan yang bagaimana yang
layak sebagai sumber data.
Spradley mengemukakan, bahwa meskipun hampir
semua orang dapat menjadi informan, tetapi tidak setiap
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
12
orang dapat menjadi informan yang baik dan layak. Ada lima
syarat minimal bagi seorang informan yang baik dan layak
badi penelitian etnografi, sebagaimana berikut ini.
a. Enkulturasi penuh; informan yang baik adalah yang
mengetahui secara baik budayanya tanpa harus
memikirkannya. Informan semacam ini melakukan segala
hal secara otomatis berdasarkan pengalamannya. Salah
satu cara untuk memperkirakan seberapa dalam seseorang
telah mempelajari suatu suasana budaya adalah dengan
menentukan rentang waktu (lamanya) orang itu dalam
situasi budaya itu. Seorang yang telah 25 tahun tinggal di
masyarakat tertentu misalkan, lebih baik dari pada orang
yang baru 5 tahun. Seorang yang telah menjadi
gelandangan 5 tahun lebih baik dari pada seorang yang
baru menjadi gelandangan. Syarat inilah yang dipakai
sebagai salah satu kriteria menetapkan seorang informan.
b. Keterlibatan langsung. Seorang yang telah terenkulturasi
penuh dapat saja bukan seorang informan yang baik
apabila telah meninggalkan atau tidak terlibat lagi dalam
suasana budaya. Oleh karena itu, seorang yang baik untuk
menjadi informan apabila masih terlibat langsung dalam
suasana budaya itu. Seorang yang telah 15 tahun menjadi
gelandangan atau menjadi pawang di suatu masyarakat
misalkan, tetapi karena profesi itu tidak lagi dilakukan, ia
sesungguhnya telah mengalami ketidakterlibatan
langsung. Ia mungkin telah melupakan detildetilnya,
sehingga yang diingat hanya garis besarnya saja. Dengan
begitu, orang tersebut meskipun telah terenkulturasi,
tetapi tidak baik menjadi informan karena sudah tidak
terlibay langsung lagi.
c. Suasana budaya yang tidak dikenal. Syarat ini
sesungguhnya berkaitan dengan hubungan antara
etnografer sendiri dengan informan. Artinya, ada
hubungan yang sangat produktif antara seorang etnografer
dengan informannya. Hubungan produktif tersebut
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
13
kadangkala tidak terjadi kalau antara kedua samasama
telah mengenal kebudayaan itu. Seorang informan akan
enggan menjawab pertanyaan etnografer karena
menganggap percuma saja pertanyaan itu dijawab lantaran
etnografernya sudah mengenal apa yang ditanyakan itu.
Bahkan kadangkala informan beranggapan kalau
etnografer menguji mereka. Oleh karena itu, wawancara
etnografi akan terjadi dalam hubungan yang produktif
apabila etnografer tidak mengenal budaya yang akan
ditanya kepada informan. Dengan demikian, etnografer
tidak terenkulturasi penuh dan informan terenkulturasi
penuh.
d. Cukup waktu. Karena wawancara etnografis selalau
diselingi dengan analisis hasil wawancara yang cerman,
maka dibutuhkan beberapa kali wawancara. Untuk itu,
perlu kiranya diperkirakan apakah seorang calon informan
mempunyai cukup waktu untuk berpartisipasi. Apabila
terjadi permasalahan dalam kaitan dengan ketercukupan
waktu wawancara, salah satu cara yang bisa digunakan
adalah informan ganda. Informan ganda merupakan
seorang yang direkomendasikan oleh informan lain yang
mempunyai permasalahan dalam waktu wawancara.
e. NonAnalitik. Informan yang baik sesuai dengan kriteria
ini adalah, informan yang menggunakan perspektif
penduduk asli untuk menganalisis dan
menginterpretasikan berbagai kejadian atau tindakan
sebagaimana yang ditanyakan oleh etnografer. Sedangkan
apabila seorang informan menggunakan perspektif teori
atau ilmu tertentu untuk menganalisis dan menjelaskan
tingkah laku atau tindakan yang ditanyakan oleh seorang
etnografer, maka ia bukan seorang informan yang baik.
Oleh karena itu, seorang informan yang pandai dalam ilmu
dapat belajar menjawab pertanyaan dengan cara non
analitik. Ia harus meninggalkan latar belakang
keilmuannya untuk menganalisis dan menjelaskan
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
14
tindakan atau suasana budaya yang ditanyakan oleh
etnografer.
Kelima kriteria di atas merupakan kriteria minimal.
Seorang etnografer dapat menggunakan kriteria lain, tetapi
tetap juga menggunakan kelima kriteria tersebut, sebagai
tambahan. Keterpenuhan lima kriteria tersebut selanjutnya
penelitian dapat dilaksanakan. Informan yang mana yang
relevan dengan lima kriteria tersebut. Dalam penelitian
etnografi terdapat informan utama dan informan tambahan
atau pun informan ganda.
e. Mewawancarai informan
Spradley mengemukakan bahwa wawancara etnografis
merupakan jenis peristiwa percakapan yang khusus. Artinya,
peristiwa wawancara etnografis berlangsung dalam konteks
persahabatan, menggunakan sudut pandang penduduk asli,
dan memperhatikan tujuan etnografis dan pertanyaan
etnografis. Tujuan etnografis beserta penjelasannya harus
diberikan sejak awal wawancara dilaksanakan agar
wawancara dapat terarah. Seorang informan harus
mengetahui persis apa tujuan wawancara dan apa yang harus
dilakukan pada saat wawancara beserta alatalat apa yang
akan digunakan dalam wawancara, misalnya perekaman,
demontrasi atau permintaan untuk memperagakan, dan
pencatatan. Satu hal yang terpenting adalah, penjelasan
bahasa asli. Seorang etnografer harus mendorong informan
menggunakan cara yang sama ketika mereka berbicara
dengan orang lain dalam suasana budaya mereka sendiri,
termasuk bahasa aslinya.
Sedangkan dalam kaitannya dengan wawancara
etnografis, seorang etnografer harus menguasai bentuk
bentuk pertanyaan etnografis dan menerapkannya ke dalam
wawancaranya. Bentukbentuk wawancara etnografis terdiri
atas sebagaimana berikut ini.
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
15
a. Pertanyaan deskripsi. Tipe pertanyaan ini
memungkinkan seseorang mengumpulkan satu sampel
yang terjadi dalam bahasa informan. Bisanya pertanyaan
deskripsi berupa pertanyaan tentang apa saja yang
dilakukan informan dalam realitas seharihari. Apa yang
dilakukan hendaknya dalam hubungannya dengan apa
yang hendak dipelajari etnografer terhadap informannya.
b. Pertanyaan struktural. Pertanyaan jenis ini
memungkinkan etnografer untuk menemukan informasi
mengenai domain unsurunsur dasar dalam pengetahuan
budaya seorang informan. Bagaimana seorang informan
mengorganisir pengetahuannya tentang apa saja yang
dilakukan setiap harinya.
c. Pertanyaan kontras. Pertanyaan tipe ini memungkinkan
etnografer menemukan berbagai hal yang dimaksudkan
oleh informan dengan berbagai istilah yang digunakan
dalam bahasa aslinya. Biasanya pertanyaan tipe ini
menanyakan tentang perbedaan tentang sesuatu hal
dengan hal lain yang terkandung dalam jawaban informan
yang disampaikan sebelumnya.
Tipetipe pertanyaan itulah yang perlu diterapkan dalam
wawancara etnografis. Dengan tipetipe pertanyaan tersebut
dapat mengarahkan jawabanjawaban informan secara terarah
sesuai dengan tujuan wawancara.
f. Membuat Catatan Etnografis
Catatan etnografis terdiri atas tiga macam, yaitu:
laporan ringkas, laporan yang diperluas, jurnal penelitian
lapangan, dan analisis dan interpretasi. Pertama, semua
catatan yang dilakukan selama wawancara adalah laporan
ringkas. Kedua, laporan yang diperluas merupakan laporan
yang ditulis secara detil berdasarkan catatan dalam laporan
ringkas dan halhal yang diingat kembali berbagai hal yang
tidak tercatat selama wawancara. Oleh karena itu, laporan
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
16
yang diperluas segera ditulis setelah wawancara selesai.
Menunggu terlalau lama akan mengakibatkan etnografe
melupakan halhal yang sebenarnya sangat penting yang tidak
sempat dicatat ketika wawancara berlangsung. Ketiga, jurnal
penelitian lapangan seperti buku harian yang memuat semua
hal yang terjadi pada saat penelitian berlangsung. Oleh karena
itu, jurnal perlu dicatat berdasarkan tanggal. Keempat,
catatan analisis dan interpretasi sesungguhnya etnografi akhir
tentang budaya yang dipelajari dalam suatu penelitian.
Catatan inilah sebagai deskripsi makna budaya yang diteliti
secara etnografi.
Namun demikian catatan analisis dan interpretasi itu
masih dalam tarf hipotetis, sehingga perlu dibuktikan atau
diuji ketepatannya. Pengujiannya dilakukan dengan
diterapkan di lapangan, apakah hasil analisis dan
interpretasinya tersebut telah menunjukkan ketetapannya di
lapangan. Di dalam proses ini bisa terjadi terjadi penambahan
dan penyempurnaan terhadap catatan analisis dan
interpretasi tersebut. Bisa juga hasil analisis dan interpretasi
tersebut dikonfirmasikan kepada seseorang di dalam
masyarakat yang diteliti tentang kebenaran apa yang
diungkapkan dalam catatan tersebut. Hasil dari pembuktian
dan pengujian itu merupakan temuan dari penelitian
etnografi.
g. Menulis suatu Etnografi
Apa yang dihasilkan dalan penelitian etnografi?
Penelitian etnografi menghasilkan etnografi. Dalam pengertian
ini etnografi adalah deskripsi tentang sistem budaya yang
diacu atau dirujuk oleh masyarakat dalam
menginterpretasikan dan mendefinisikan peristiwa kultural di
dalam masyarakat. Sebagai suatu sistem, semua anggota
masyarakat samasama memiliki alam pikir yang sama
tentang suatu tindakan atau peristiwa kultural yang diteliti.
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
17
Deskripsi inilah yang menjadi hasil dalam penelitian etnografi.
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menulis
deskripsi etnografi tersebut.
a. Memilih khalayak, Seorang etnografer harus menentukan
untuk siapakah deskripsi etnografi yang akan ditulis itu.
Menulis untuk sebuah jurnal ilmiah atau laporan
penelitian ilmiah, jelas berbeda dengan apabila tulisan
tersebut untuk dibaca masyarakat umum. Jurnal ilmiah
dan laporan penelitian ilmiah memiliki aturan tersendiri.
Demikian juga apabila tulisan deskripsi etnografi untuk
majalah atau koran, jelas berbeda dengan bentuk buku
yang akan dibaca oleh pelajar atau mahasiswa. Seorang
etnografer harus selalu mengingat untuk siapa dan untuk
apa tulisan deskripsi etnografi itu akan dibuat.
b. Memilih tesis. Tesis merupakan tematema yang akan
ditulis dalam tulisan deskripsi etnografi. Tematema
tersebut diperoleh selama penelitian berlangsung. Dengan
demikian, menulis deskripsi etnografi terbagi atas tesis
tesis atau tematema tersebut. Ada satu tema utama dan
beberapa tema bawahan. Tesis biasanya diungkapkan
dalam bentuk rumusan yang berisi petunjuk atau instruksi
untuk melaksanakan aktivitasaktivitas atau tindakan
dalam kehidupan seharihari. Tentunya aktivitas dan
tindakan dalam kaitannya dengan sistem budaya yang
diteliti.
c. Membuat topik dan garis besar. Topik dan garis besar
sesungguhnya semacam kerangka tulisan yang berisi
tentang tesistesis yang akan diuraikan dalam tulisan.
d. Menulis Naskah. Tahap ini adalah pengembangan garis
besar menjadi uraian berdasarkan catatan analisis dan
interpretasi yang telah dibuat sebelumnya. Lihat jenis
catatan lapangan.
e. Merevisi dan mengedit. Sebelum menjadi deskripsi
etnografi yang final, perlu dilakukan pemeriksaan dan
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
18
revisi bagian mana yang harus dirubah, disempurnakan,
ditambahi berdasarakan catatan penelitian di lapangan.
f. Menuliskan pengantar dan kesimpulan. Pada tahap ini
tulisan yang telah direvisi dan diedit diberikan pengatar
dan kesimpulan.
C. Pembahasan
1. Model Analisis Etnografi terhadap Sastra Lisan
Pada bagian awal tulisan ini telah dikemukakan prinsip
prinsip dasar bagi analisis etnografi dengan mengambil
strategi Wawancara Etnografi dan Alur Penelitian Maju
Bertahap. Strategi dan prosedur penelitian etnografi Spradley
itulah yang akan diacu untuk merumuskan sebuah model
penelitian etnografi terhadap sastra lisan. Beberapa prinsip
yang bisa dan relevan diambil dari pemikiran Spradley untuk
penelitian sastra lisan adalah sebagai berikut.
a. Hasil akhir dari penelitian etnografi adalah suatu deskripsi
verbal mengenai situasi budaya yang dipelari.
b. Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang
penduduk asli.
c. Sumber data utama adalah informan dan didukung oleh
data yang berupa apa yang dilihat dan artefak.
d. Metode wawancara merupakan metode utama untuk
menggali data dari informan tentang suasana budaya yang
hendak dipelajari.
e. Prosedur penelitiannya menggunakan Alur Penelitian Maju
Bertahap, yang terdiri atas: menetapkan informan,
mewawancarai informan, membuat catatan etnografis,
melakukan analisis wawancara, membuat analisis domain,
membuat analisis komponen, menemukan tematema
budaya, dan diakhiri dengan menulis suatu etnografi.
Kelima prinsip tersebut dapat digunakan sebagai
ancangan bagi penelitian etnografi terhadap sastra lisan.
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
19
Namun demikian, perlu diadakan modivikasi sesuai dengan
kebutuhan analisis dan hakikat obyek penelitian. Model
analisisnya akan berupa rangkaian analisis termodivikasi
sebagaimana skema berikut ini.
Menentukan subyek
dan obyek penelitian
Membuat rancangan
penelitian
Menetapkan informan
Melakukan wawancara
Deskripsi sastra lisan
Suasana budaya
Melakukan analisis hasil
wawancara
Membuat Kesimpulan
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
20
Skema Model Analisis Etnografi Spradley Termodivikasi
terhadap Sastra Lisan
a. Menentukan Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian adalah masyarakat di mana suatu
sastra lisan berada. Dalam kasuskasus tertentu, wilayah
subyek penelitian hanya terbatas pada suatu lingkungan
tertentu sebagai bagian dari suatu masyarakat. Cerita prosa
rakyat berbentuk mite atau legenda tentang suatu tempat
keramat atau makam misalnya, penyebarannya hanya
terbatas di lingkungan sekitar tempat itu, tidak sampai
menyebar ke wilayah yang lebih luas. Radius penyebarannya
hanya terbatas tidak sampai satu komunitas desa. Banyak
contoh dalam masyarakat di Indonesia, satu desa memiliki
banyak tempat semacam itu dengan cerita rakyat yang
berbedabeda. Dalam kasus seperti ini penentuan subyek
penelitiannya hanya terbatas pada masyarakat di lingkungan
sekitarnya.
Sedangkan obyek penelitiannya adalah sastra lisan dan
suasana budaya yang berkaitan dengan sastra lisan tersebut.
Suasana budaya yang dimaksud adalah, alam pikiran
masyarakat yang digunakan untuk memahami,
mengkonstruksi, dan mendefinisikan tindakantindakan
mereka dalam kaitannya dengan sastra lisan tersebut. Sastra
lisan sebagai obyek penelitian diarahkan untuk
menginventarisasi dan mendiskripsikan sastra lisan tersebut
dalam rangka menemukan satu versi cerita yang relatif sama.
Namun demikian, penelitiannya bukan berorientasi
sebagaimana proses penelitian dalam filologi, meskipun hal itu
terbuka untuk dilakukan. Sedangkan suasana budaya sebagai
obyek penelitian merupakan obyek utama dalam penelitian
etnografi, yaitu sebuah deskripsi etnografi mengenai
kebudayaan lokal suatu masyarakat.
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
21
b. Membuat Rancangan Penelitian
Setiap penelitian pada umumnya diawali dengan
menyusun rancangan penelitian atau disebut dengan desain
penelitian. Tujuannya, memberikan pedoman dan arah yang
jelas bagi peneliti dalam melaksanakan proses penelitiannya.
Rancangan penelitian meliputi bangunan teori, metode, dan
teknik pemerolehan data dan analis data, dan prosedur
penelitian. Sebagaimana dikemukakan Spradley, bangunan
teori dalam penelitian etnografi adalah grounded theory, yaitu
teori berdasarkan sekumpulan data. Dalam istilah lain disebut
sebagai teori substantif, yaitu teori sebagai hasil abstraksi
data dalam proses penelitian (baca: Ratna,2011). Oleh karena
itu, seorang peneliti dituntut menganlisis secermat mungkin
terhadap datadata yang telah dikumpulkannya dan
membangun konsepkonsep dan proposisiproposisi sebagai
sebuah teori berdasarkan data (substantif). Meskipun hal itu
sulit dan memakan waktu, kemungkinan untuk itu tetap ada,
baik sebagai proses pembelajaran maupun pembentukan
pengalaman penelitian.
Metode dalam penelitian etnografi dengan strategi
Wawancara Etnografi, sebagaimana dikemukakan Spradley,
jelas menggunakan metode wawancara. Pertanyaan dalam
metode wawancara etnografi terdiri atas: pertanyaan dekriptif,
struktural, dan kontras. Hasilhasil wawancara tersebut
dicatat dan direkan dalam catatan atau dokumentasi
lapangan yang berupa: laporan, jurnal, catatan analisis dan
interpretasi, rekan audio, video, dan sebagainya. Dokumen
inilah tidak boleh diabaikan oleh peneliti, karena melalui
dokumen itulah datadata akan dihimpun dan diolah. Halhal
yang menyangkut pencatatan dan perekaman itulah perlu
direncanakan secara cermat agar semua data dapat dihimpun
secara lengkap dan tepat. Cara pencatatan dan perekaman itu
disebut dengan teknik pengumpulan data yang relevan dengan
metode wawancara yang digunakan. Sedangkan teknik
analisis data berupa interpretasi dan dekripsi setiap aspek
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
22
atau domain. Dengan demikian, sistematika analisis data
akan tercapai berdasarkan tematema, aspekaspek, atau
domaindomain tentang fokus penelitian.
Yang tak kalah penting adalah merencanakan prosedur
penelitian. Prosedur penelitian berupa langkahlangkah yang
harus dilalui dalam proses penelitian. Bagan tentang model
penelitian etnografi di atas sebenarnya telah mencerminkan
langkahlangkah apa yang harus dilakukan dalam proses
penelitian tersebut.
c. Menetapkan Informan
Penetapan seorang informan juga sangat penting dalam
proses penelitian. Dari informan itulah data penelitian
diperoleh. Informan dalam penelitian ini terdiri atas informan
utama dan informaninforman lain sebagai pendukung atau
pelengkap. Bahkan dalam konteks pendeskripsian dan
penginventarisasian satu versi sastra lisan dibutuhkan
beberapa informan untuk dibandingkan satu sama lain
sehingga dapat ditentukan satu versi yang sama. Dalam
penelitian filologi dikenal dengan metode stema. Namun
demikian, dalam penelitian ini bukan bertujuan menemukan
hyperchetyp dan archetyp sebagaimana dalam kerja filologi.
Oleh karena itu, proses pendeskripsian dan inventariasi tidak
semendalam kerja filologi tersebut.
Penetapan seorang informan menurut Spradley
berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang telah
dikemukakan terdahulu. Peneliti dapat mengunakannya
untuk menetapkan mana calon informan yang baik dan mana
yang tidak.
d. Melakukan Wawancara
Banyak teknik wawancara yang dapat dilakukan dalam
penelitian. Namun demikian, dalam wawancara etnografi
teknik wawancara dapat menggunakan sistem snow ball (bola
salju). Artinya, wawancara dimulai dari satu pertanyaan dan
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
23
jawaban atas pertanyaan itu memunculkan pertanyaan
pertanyaan lainnya hingga semua aspek yang dibutuhkan
terpenuhi. Wawancara etnografi memiliki waktu yang panjang
dan berulangulang. Setiap satu kali wawancara akan
dianalisis dan diinterpretasikan, yang selanjutnya akan
dilengkapi dan direncanakan wawancara selanjutnya.
Pembagian waktu wawancara dapat menggunakan tipetipe
wawancara etnografi yang telah dikemukakan di muka.
Wawancara pertama diawali dengan bentukbentuk
pertanyaan diskripsi, dilanjutkan wawancara selanjutnya
dengan tipe pertanyaan struktural dan kontras. Masing
masing tipe pertanyaan tersebut dilakukan lebih dari sekali.
Itulah kenapa wawancara dilakukan dalam jangka waktu yang
lama dan berulangulang sehingga terkumpul data yang
lengkap.
e. Melakukan Analisis Wawancara
Sebagaimana dikemukakan di atas, setiap kali
wawancara selesai dilakukan, peneliti melakukan analisis
hasil wawancara. Analisis tersebut bertujuan untuk
mengetahui apakah datadata yang terkumpul dalam
wawancara tadi telah memenuhi tujuan dan konsep
wawancara. Oleh karena itu, sebelum dilakukan wawancara,
peneliti merumuskan halhal apakah yang hendak dicapai
dalam wawancara tersebut. Apabila dirasa datadata masih
ada kekurangan, dicatat sebagai bahan wawancara
selanjutnya. Di samping itu, analisis tersebut diarahkan
untuk menemukan konsepkonsep dan propo
dalam Penelitian Sastra Lisan
Oleh: Suhariyadi
ABSTRAK. Tulisan ini hendak mengungkapkan sebuah
model analisis etnografi yang dikemukakan oleh James
Spradley bagi studi sastra lisan. Selama ini studi sastra
lisan lebih terfokus pada inventarisasi dan diskripsi.
Sementara kognisi sosial yang melandasi praktikpraktik sosiokultural masyarakat pemilik dalam
kaitannya dengan sastra lisan tersebut belum banyak
tersentuh. Hal itulah menjadi titik berangkat studi
yang bersifat teoritis dalam tulisan ilmiah ini dilakukan.
Model Analisis Etnografi yang dikemukakan oleh James
Spradley menjadi kasus untuk ditawarkan dalam
penelitian sastra lisan tersebut.
Kata Kunci : etnografi, sastra lisan, kognisi sosial,
wawancara etnografi, alur maju bertahap, Spradley.
A. Pendahuluan
Sebagai produk budaya, sastra lisan dapat menjadi
obyek bagi kajian etnografi. Dalam kerangka teori Spradley,
penelitian etnografi terhadap sastra lisan mengarah pada alam
pikiran masyarakat pemilik dan pendukung sastra lisan
tersebut. Bagaimana alam pikir mereka melihat dan
mendefinisikan sastra lisannya sebagai landasan untuk
bertindak dalam kaitannya dengan sastra lisan yang dimiliki
dan didukungnya itu? Sistem makna apakah yang melandasi
tindakan dan peristiwa kultural yang dilakukan masyarakat
setiap hari dalam kaitannya dengan sastra lisan yang
dimilikinya itu? Pertanyaan itulah yang menjadi fokus
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
1
penelitiannya, bukan terfokus pada sastra lisan itu. Sastra
lisan hanyalah simbol, ritualritual yang ada hanyalah fakta
permukaan, tetapi yang terpenting adalah organisasi pikiran
masyaraktnya yang melandasi tindakan dan peristiwa kultural
itu.
Sastra lisan dalam konteks ini digolongkan dalam
folklore lisan sebagaimana dikemukakan Dananjaya (1994:21).
Folklore lisan adalah folklore yang bentuknya memang murni
lisan. Bentukbentuk folklore yang termasuk ke dalam
kelompok lisan ini antara lain: (1) bahasa rakyat (folk speech)
seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel
kebangsawanan, (2) ungkapan tradisional seperti peribaqhasa,
pepatah, dan pemeo; (3) pertanyaan tradisional, seperti teks
teks; (d) puisis rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e)
cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f)
nyanyian rakyat. Sastra lisan merupakan puisi rakyat dan
cerita prosa rakyat dalam jenisjenis folklore lisan tersebut.
Definisi folklore secara keseluruhan adalah sebagian
kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan
turuntemurun, di antara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat (Dananjaya,1994:2). Lebih lanjut
dikatakan Dananjaya, mengutip pendapat Jan Harold, folklore
digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan
tipenya: (1) folklore lisan (verbal folklore); (2) folklore sebagian
lisan (partly verbal folklore); dan (3) folklore bukan lisan (non
verbal folklore) (1994:21).
Penelitian etnografi terhadap sastra lisan dapat
berobjekkan puisi rakyat atau cerita prosa rakyat. Namun
demikian, penelitiannya diarahkan kepada bagaimana
masyarakat mendefinisikan sastra lisan itu dalam alam pikir
mereka untuk melandasi tindakan sehariharinya. Tindakan
yang dimaksud adalah peristiwaperistiwa atau aktivitas
aktivitas kultural, baik dalam bentuk ritual tradisional,
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
2
keagamaan, maupun adat dan tradisi lainnya. Sukatman
menggolongan sastra lisan itu ke dalam tradisi lisan (2009:3).
Sedangkan ciriciri tradisi lisan menurut Dananjaya meliputi:
(1) penyebaran dan pewarisannya biasa dilakukan dengan
lisan, yakni dari mulut ke mulut; (2) bersifat tradisional, yakni
berbentuk relatif atau standard; (3) bersifat anonim; (4)
mempunyai varian atay versi yang berbeda; (5) mempunyai
pola bentuk; (6) mempunyai kegunaan bagi kolektif tertentu;
(7) menjadi miliki bersama suatu kolektif; dan (8) bersifat
polos dan lugu sehingga sering terasa kasar atau terlalu sopan
(dalam Sukatman,2009:5).
Menurut William R. Bascom, bahwa secara umum
tradisi lisan mempunyai empat fungsi penting. Pertama,
tradisi lisan berfungsi sebagai sistem proyeksi (cerminan)
anganangan suatu kolektif. Kedua, tradisi lisan berfungsi
sebagai alat legitimasi pranatapranata kebudayaan. Ketiga,
tradisi lisan berfungsi sebagai alat pendidikan. Dan, keempat,
tradisi lisan berfungsi sebagai alat pemaksa atau pengontrol
agar normanorma masyarakat selalu dipatuhi anggota
kolektifnya (dalam Sukatman,2009:78). Sastra lisan sebagai
bagian dari tradisi lisan juga memiliki fungsifungsi tersebut.
Sastra lisan dengan demikian bukan semata sebagai karya
seni, tetapi juga sebagai nilainilai yang mengatur kehidupan
sosial masyarakatnya.
Dalam keempat fungsinya itulah, sastra lisan dapat
menjadi obyek bagi penelitian etnografi. Bagaimanakah sastra
lisan yang dimiliki oleh suatu masyarakat memiliki makna
dalam alam pikir setiap anggota masyarakat itu.
Bagaimanakah sastra lisan mampu menjadi sistem makna
yang melandasi, mengontrol, melegitimasi, dan mengatur
tindakantindakan setiap anggota masyarakatnya.
Bagaimanakah organisasi pikiran setiap anggota masyarakat
yang terkonstruksi oleh substansi sastra lisan yang
dimilikinya. Masyarakat Indonesia memiliki tradisi lisan yang
kaya dan penting dalam mengatur kehidupan masyarakat.
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
3
Sastra lisan tersebut membentuk pola pikir, tindakan, dan
kesadaran masyarakat dalam berinteraksi dengan Tuhan,
alam sekitar, dan sesamanya. Sastra lisan semenjak dulu
telah melandasi hidup masyarakat dalam hubungan sarwa
tersebut.
Fenomena dan noumena masyarakat dalam kaitannya
dengan sastra lisan itulah yang menandai wilayah bagi
penelitian etnografi. Fenomena adalah dunia yang terlihat,
konkrit, fisikal, empiris, dan rasional, sedangkan noumena
adalah dunia abstrak, tak terlihat, gaib, dan tak rasional.
Keduanya melingkari keberadaan sastra lisan sebagai warisan
budaya masa lalu yang diwariskan secara turuntemurun.
Keduanya menjadi wilayah kajian ilmuilmu sosial seperti:
antropologi budaya, bahasa, filsafat, sastra, dan ekologi
budaya. Di dalamnya etnografi menjadi bagiannya sebagai
metode analisisnya. Pertanyaannya adalah, bagaimana
implementasi metode etnografi dalam penelitian sastra lisan?
Strategi dan model analisis etnografi beragam
bentuknya. Dalam tulisan ini, sekali lagi, menggunakan
strategi dan model yang dikemukakan oleh James P. Spradley
(2007). Spradley menyebutnya sebagai strategi Wawancara
Etnografi. Strategi ini bertumpu pada apa yang dikatakan
orang, atau dalam istilah penelitian lapangan disebut
informan. Melalui informan yang baik dan sudut pandang
penduduk asli, diharapkan penelitian etnografi mengasilkan
diskripsi etnografis tentang kebudayaan suatu masyarakat.
Sastra lisan sebagai bagian kebudayaan yang memiliki fungsi
melampaui fungsi dalam konteks kebahasaan dan kesastraan,
dapat menjadi fokus penelitian. Namun, yang diteliti bukan
sastra lisan itu sendiri, tetapi suasana budaya yang
melingkupinya. Suasana budaya merupakan tindakan yang
berlandaskan pada pola pemikiran dalam kaitannya dengan
sastra lisan tersebut.
Penelitian etnografi terhadap sastra lisan sesungguhnya
memiliki tujuan ganda. Pertama, menginventarisasi dan
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
4
mendikripsikan sastra lisan dalam rangka pendokumentasian
dan pelestarian sastra dan kearifan lokal. Kedua,
mendikripsikan kebudayaan lokal dalam rangka
pembangunan nasional.
B. Studi Kepustakaan
1. PrinsipPrinsip Dasar Etnografi
Spradley dalam bukunya berjudul Metode Etnografi
(2007) sangat gamblang dan sistematis menjelaskan tentang
empat tipe analisis etnografi, yaitu analisis domain, analisis
taksonomik, analisis komponen, dan analisis tema. Empat tipe
analisis tersebut menempatkan metode etnografi yang
dikemukakan Spradley itu dikenal sebagai Etnografi Baru.
Etnografi baru berusaha menemukan keunikan dari
masyarakat yang ditelitinya. Keunikan itu terletak pada
persepsi dan organisasi pikiran masyarakat atas fenomena
material yang ada di sekelilingnya. Bukan fenomena material
yang menjadi fokus kajian, melainkan persepsi dan struktur
pikiran terhadap fenomea material tersebut, yang dihadapinya
seharihari.
Menurut Spradley etnografi merupakan pekerjaan
mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuannya, untuk
memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang
penduduk asli, sebagaimana dikemukakan Bronislaw
Malinowski. Bronislaw Malinowski (dalam Spradley,2007:4)
mengemukakan bahwa tujuan etnografi adalah memahami
sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan
kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai
dunia. Dengan demikian, etnografi bukan semata mempelajari
masyarakat, tetapi juga belajar dari masyarakat.
Mempelajari sekaligus belajar dari masyarakat. Kalimat
tersebut menjadi pedoman yang harus selalu diingat oleh
seorang etnograf. Ada dua hal yang terkandung dalam
ungkapan kalimat tersebut. Pertama, tidak seperti kajian
kajian pada umumnya di mana peneliti dan obyek yang diteliti
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
5
terdapat jarak, di dalam etnografi seorang etnograf masuk
menjadi bagian dari masyarakat dan menggunakan sudut
pandang penduduk asli untuk memplajari masyarakat
tersebut. Kedua, seorang etnograf yang menggunakan sudut
pandang penduduk asli dimungkinkan manakala ia belajar
menjadi bagian dari masyarakat tersebut.
Spradley mengemukakan, inti etnografi adalah upaya
untuk memperhatikan maknamakna tindakan dari kejadian
yang menimpa orang yang ingin ia pahami. Beberapa makna
tersebut terekspresi secara langsung dalam bahasa, dan di
antara makna yang diterima, banyak disampaikan hanya
secara tidak langsung melalui katakata dan perbuatan.
Namun demikian, setiap masyarakat tetap menggunakan
sistem makna yang kompleks untuk mengatur tingkah
lakunya, untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain,
serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup. Sistem
makna inilah merupakan kebudayaan masyarakat tersebut.
Oleh karena itu, etnografi hendak mempelajari sistem makna
yang disebut dengan kebudayaan suatu masyarakat. Etnografi
tentunya menggunakan teori kebudayaan untuk
mempelajarinya.
a. Kebudayaan sebagai Fokus dan Tujuan Etnografi
Terdapat berbagai definisi dan perspektif untuk
memandang kebudayaan. Tetapi bagi etnografi, pengertian
kebudayaan dikonsepsikan sesuai dengan tujuannya: “untuk
memahami sudut pandang penduduk asli”. Pengertian
kebudayaan yang sesuai untuk itu menurut Spradley adalah,
menunjuk pada pengatahuan yang diperoleh, yang digunakan
orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan
tingkah laku sosial. Dengan demikian, kebudayaan yang
dipelajari etnografi bukanlah kebudayaan dalam arti material,
tetapi kognitif (organisasi atau struktur pikiran). Peristiwa,
tingkah laku, dan dunia tempat hidup suatu masyarakat
bukanlah menjadi fokus kajian, melainkan apa yang ada
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
6
dalam pikiran masyarakat; sistem organisasi pikiran apakah
yang menuntun masyarakat tersebut menafsirkan dan berperi
laku dan memandang dunia tempat mereka hidup.
Pengertian kebudayaan dalam sudut pandang etnografi
adalah sebagai suatu simbol yang mempunyai makna. Konsep
ini memiliki persamaan dengan pandangan teori
Interaksionisme Simbolik, yaitu suatu teori yang berusaha
menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan
makna. Teori ini memiliki tiga premis sebagai landasan
teorinya.
1. Manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang
diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Artinya,
orang bertidak memiliki makna dibalik tindakan itu.
2. Makna dari berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari
interasi sosial seseorang dengan orang lain.
3. Makna ditangani atau dimodivikasi melalui suatu proses
penafsiran yang digunakan orang dalam kaitannya dengan
berbagai hal yang dihadapi orang tersebut. Orang bukanlah
robot yang dikendalikan oleh kebudayaannya, melainkan
menggunakan, menginterpretasikan, dan mendefinisikan
kebudayaannya itu untuk situasi yang terjadi dalam
tindakan orang itu.
Menurut Spradley, kebudayaan dengan demikian
dipandang sebagai suatu peta yang dalam kehidupan sehari
hari manusia merujuk pada peta itu. Sebagai sebuah peta,
kebudayaan mengemukakan prinsipprinsip untuk digunakan
dalam menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap
suatu kejadian. Etnografi menurut teori Interaksionisme
Simbolik perlu secara cermat mempelajari makna. Untuk itu
etnografi membutuhkan teori mengenai makna dan
metodologis khusus yang dirancang untuk menyelidiki makna.
Etnografi menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda
dalam antropologi dan sosiologi.
Kebudayaan dengan demikian tidak dapat diamati
secara langsung, melainkan menyelami alam pikiran
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
7
masyarakatnya. Etnografer melihat dan mendengar kemudian
membuat kesimpulan tentang hal yang diketahui orang.
Kesimpulan itu dibuat berdasarkan tiga sumber, yaitu: (1) dari
yang dikatakan orang; (2) dari cara orang yang bertindak; dan
(3) dari berbagai artefak yang digunakan orang. Pada mulanya
kesimpulan itu hanya merupakan hipotesis mengenai hal yang
diketahui orang. Oleh karena itu, kesimpulan tersebut harus
diuji secara berulangulang sampai etnografer memiliki
kepastian bahwa orangorang itu samasama memiliki sistem
makna budaya yang khsus. Kesimpulan akhir yang diperoleh
merupakan sebuah deskripsi budaya. Kemudian, etnografer
mengevaluasi dan menguji ketepatan deskripsi itu.
Pengevaluasian dan pengujian dilakukan dengan jalan
menggunakan statetemn etnografi dalam diskripsi tersebut ke
dalam kondisi masyarakat itu. Deskripsi etnografi tersebut
merupakan pengetahuan mengenai sistem budaya suatu
masyarakat.
Apa yang dikemukakan oleh Spradley di atas dapat
disimpulan dalam beberapa pernyataan berikut.
1. Etnografi menggunakan sudut pandang penduduk asli
untuk mempelajari sistem kebudayaan suatu masyarakat.
2. Kebudayaan dalam pandangan etnografi bukanlah apa
yang dilihat dan didengar (secara material), tetapi alam
pikiran mereka (secara kognitif).
3. Sistem kebudayaan dipandang sebagai sistem makna atau
peta yang mengandung prinsipprinsip untuk digunakan
dalam menginterpretasikan dan memberikan respon
terhadap suatu kejadian.
4. Prose kerja penelitian etnografi berdasarkan sumber data
yang berupa: apa yang dikatakan orang, apa yang
dilakukan orang, dan artefak yang digunakan orang.
5. Tujuan etnografi adalah mendiskripsikan sistem
kebudayaan dari sudut pandang penduduk asli. Oleh
karena itu, masyarakat yang diteliti adalah objek sekaligus
subjek penelitian.
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
8
6. Hasil penelitian etnografi adalah diskripsi kebudayaan
sebagai sebuah pengetahuan mengenai makna, prinsip,
dan peta yang dirujuk oleh masyarakat untuk
menginterpretasikan kondisi tindakan yang dihadapi setiap
hari.
Dalam konteks keilmuan, etnografi menawarkan suatu
strategi yang sangat baik untuk menemukan grounded theory.
Grounded teori disebut juga dengan teori substantif adalah
teori didasarkan atas data empiris; suatu teori yang
dirumuskan berdasarkan abstraksi datadata penelitian.
Etnografi bukan menggunakan teoriteori formal, yaitu teori
teori yang sudah tersedia sebelumnya. Seorang etnografer
ketika terjun ke dalam masyarakat tidak membawa cara
pandang tertentu, karena penelitian etnografi hanya
menggunakan satu cara pandang, yaitu yang dimiliki oleh
penduduk asli dari masyarakat yang akan diteliti. Ketiadaan
teori untuk menemukan teori.
Salah satu strategi etnografi yang sering digunakan
adalah wawancara etnografis. Wawancara etnografis
merupakan suatu strategi untuk membuat orang berbicara
mengenai hal yang mereka ketahui. Sedangkan prosedur
penelitiannya disebut oleh Spradley sebagai “Alur Penelitian
Maju Bertahap” (The Developmental Research Sequence).
b. Langkah Kerja Penelitian Etnografi
Langkah kerja penelitian etnografi disebut sebagai “Alur
Penelitian Maju Bertahap” (The Developmental Research
Sequence). Sebagaimana dijelaskan Spradley dalam bukunya
Metode Etnografi (2007), tulisan ini mengemukakan satu
strategi penelitian etnografi yang disebut sebagai Strategi
Wawancara Etnografis. Strategi ini menggunakan wawancara
sebagai sumber datanya. Sebagaimana dalam penelitian pada
umumnya, wawancara dilakukan terhadap seorang informan.
Namun demikian, terdapat aturan untuk menetapkan
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
9
informan yang tepat dan relevan bagi penelitian etnografi.
Secar garis besar, “Alur Penelitian Maju Bertahap” tersebut
dapat diskemakan sebagai berikut.
MM ee nw ea twa pa ka n O b y e k , Fo ku s
M M e Mem leabnkuua arkaitk nK e si m p u l a n d a r i h a si l
M npeMcakan eg mrnuPea jb nu ea lti t di ae nsk, dr iap nsi
A Cmn ai etl irsaAti ansn ncaaH l ainssigi s l pW e an we lai tni acan r a d a n
iIEn tfeno tornmgo r ga rfia s fi s se b a g a
Wh i mp oae twne jsa nd cai k ar an n y a se b u a h h i p o t e si s
ken si m p u l a n a k h i r
is
Bagan Alur Penelitian Maju Bertahap
Tahapan tersebut sengaja dimodivikasi secara sederhana dari
pendapat Spradley bagi penelitian pemula
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
10
c. Menetapkan Subjek, Objek Penelitian,
dan Merancang Penelitian
Sebagaimana dalam penelitian pada umumnya,
penelitian etnografi diawali dengan menetapkan subjek, objek
sebagai fokus penelitian, dan merancang penelitian. Subjek
penelitian, sebagaimana dikemukakan di muka adalah
masyarakat pemilik kebudayaan di mana penelitian etnografi
akan dilakukan. Sedangkan objek atau fokus penelitian
etnografi adalah aspek kebudayaan suatu masyarakat yang
akan dipelajari dan dikaji secara etnografis. Keduanya
sesungguhnya dapat dikatakan sebagai objek penelitian, yaitu
objek formal dan meterial. Fokus penelitian hendaknya
menunjuk pada satu fenomena tindakan masyarakat sebagai
peristiwa kultural, yang secara bersamasama dilakukan
dalam masyarakat itu. Namun demikian, yang akan dituju
bukanlah peristiwa yang tampak, tetapi sistem makna di balik
permukaan peristiwa tersebut. Artinya, fokus penelitian
menunjuk pada alam pikiran atau organisasi pikiran yang
melandasi masyarakat dalam bertindak dalam peristiwa
kultural tersebut. Bagaimanakah sistem makna yang
digunakan masyarakat untuk menginterpretasikan dan
mendefinisikan situasi tindakannya dalam konteks interaksi
sosial.
Hal lain yang perlu dilakukan sebelum terjun ke
lapangan adalah, seorang etnografer perlu merancang
penelitian. Dalam penelitian pada umumnya disebut dengan
desain penelitian. Rancangan penelitian inilah yang akan
menjadi pedoman bagi peneliti dalam melakukan penelitian di
lapangan. Tentunya rancangan tersebut harus sesuai dengan
konsepkonsep dasar metode etnografi. Di muka telah
dikemukakan beberapa konsep dasar metode etnografi.
Konsepkonsep dasar metode etnografi tersebut dituangkan ke
dalam rancangan penelitian yang meliputi: obyek dan sumber
data, metode, teknik, dan prosedur penelitian. Obyek telah
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
11
dijelaskan di atas, sedangkan sumber data dalam etnografi
terdiri atas tiga macam, yaitu: (1) dari yang dikatakan orang;
(2) dari cara orang yang bertindak; dan (3) dari berbagai
artefak yang digunakan orang. Ketiga sumber data tersebut
akan menentukan metode dan teknik yang akan dipakai
untuk menggali data penelitian. Dari sumber data (1)
diterapkan metode wawancara; dari sumber data (2)
diterapkan metode observasi; dan dari sumber data (3)
diterapkan metode observasi dan dokumentasi. Dengan
demikian, teknik pemerolehan data didasarkan pada sumber
data mana yang digunakan.
Sedangkan hal yang berhubungan dengan bagunan teori
yang digunakan, studi etnografi menggunakan gounded
theory, sebagaimana dikemukan di muka. Gounded theory
merupakan teori yang didasarkan atau disusun dari
kumpulan data dalam suatu penelitian. Dengan demikian,
bangunan teori dalam studi etnografi disusun dalam proses
penelitian berdasarkan datadata yang dihimpun, bukan
menggunakan teori yang sudah ada. Teori semacam itu
disebut juga dengan teori substantif. Oleh karena itu, model
penelitian etnografi bersifat induktif.
d. Menetapkan Informan
Sebagaimana dikemukan di bagian awal, tulisan tentang
model penelitian etnografi ini menggunakan strategi
wawancara etnografi. Dengan demikian, sumber data yang
digunakan adalah apa yang dikatakan orang, sehingga metode
penelitian yang digunakan adalah wawancara. Wawancara
etnografi merupakan upaya menggali data dari informan.
Namun demikian, ada beberapa aturan yang harus dilakukan
etnografer untuk menetapkan informan yang bagaimana yang
layak sebagai sumber data.
Spradley mengemukakan, bahwa meskipun hampir
semua orang dapat menjadi informan, tetapi tidak setiap
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
12
orang dapat menjadi informan yang baik dan layak. Ada lima
syarat minimal bagi seorang informan yang baik dan layak
badi penelitian etnografi, sebagaimana berikut ini.
a. Enkulturasi penuh; informan yang baik adalah yang
mengetahui secara baik budayanya tanpa harus
memikirkannya. Informan semacam ini melakukan segala
hal secara otomatis berdasarkan pengalamannya. Salah
satu cara untuk memperkirakan seberapa dalam seseorang
telah mempelajari suatu suasana budaya adalah dengan
menentukan rentang waktu (lamanya) orang itu dalam
situasi budaya itu. Seorang yang telah 25 tahun tinggal di
masyarakat tertentu misalkan, lebih baik dari pada orang
yang baru 5 tahun. Seorang yang telah menjadi
gelandangan 5 tahun lebih baik dari pada seorang yang
baru menjadi gelandangan. Syarat inilah yang dipakai
sebagai salah satu kriteria menetapkan seorang informan.
b. Keterlibatan langsung. Seorang yang telah terenkulturasi
penuh dapat saja bukan seorang informan yang baik
apabila telah meninggalkan atau tidak terlibat lagi dalam
suasana budaya. Oleh karena itu, seorang yang baik untuk
menjadi informan apabila masih terlibat langsung dalam
suasana budaya itu. Seorang yang telah 15 tahun menjadi
gelandangan atau menjadi pawang di suatu masyarakat
misalkan, tetapi karena profesi itu tidak lagi dilakukan, ia
sesungguhnya telah mengalami ketidakterlibatan
langsung. Ia mungkin telah melupakan detildetilnya,
sehingga yang diingat hanya garis besarnya saja. Dengan
begitu, orang tersebut meskipun telah terenkulturasi,
tetapi tidak baik menjadi informan karena sudah tidak
terlibay langsung lagi.
c. Suasana budaya yang tidak dikenal. Syarat ini
sesungguhnya berkaitan dengan hubungan antara
etnografer sendiri dengan informan. Artinya, ada
hubungan yang sangat produktif antara seorang etnografer
dengan informannya. Hubungan produktif tersebut
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
13
kadangkala tidak terjadi kalau antara kedua samasama
telah mengenal kebudayaan itu. Seorang informan akan
enggan menjawab pertanyaan etnografer karena
menganggap percuma saja pertanyaan itu dijawab lantaran
etnografernya sudah mengenal apa yang ditanyakan itu.
Bahkan kadangkala informan beranggapan kalau
etnografer menguji mereka. Oleh karena itu, wawancara
etnografi akan terjadi dalam hubungan yang produktif
apabila etnografer tidak mengenal budaya yang akan
ditanya kepada informan. Dengan demikian, etnografer
tidak terenkulturasi penuh dan informan terenkulturasi
penuh.
d. Cukup waktu. Karena wawancara etnografis selalau
diselingi dengan analisis hasil wawancara yang cerman,
maka dibutuhkan beberapa kali wawancara. Untuk itu,
perlu kiranya diperkirakan apakah seorang calon informan
mempunyai cukup waktu untuk berpartisipasi. Apabila
terjadi permasalahan dalam kaitan dengan ketercukupan
waktu wawancara, salah satu cara yang bisa digunakan
adalah informan ganda. Informan ganda merupakan
seorang yang direkomendasikan oleh informan lain yang
mempunyai permasalahan dalam waktu wawancara.
e. NonAnalitik. Informan yang baik sesuai dengan kriteria
ini adalah, informan yang menggunakan perspektif
penduduk asli untuk menganalisis dan
menginterpretasikan berbagai kejadian atau tindakan
sebagaimana yang ditanyakan oleh etnografer. Sedangkan
apabila seorang informan menggunakan perspektif teori
atau ilmu tertentu untuk menganalisis dan menjelaskan
tingkah laku atau tindakan yang ditanyakan oleh seorang
etnografer, maka ia bukan seorang informan yang baik.
Oleh karena itu, seorang informan yang pandai dalam ilmu
dapat belajar menjawab pertanyaan dengan cara non
analitik. Ia harus meninggalkan latar belakang
keilmuannya untuk menganalisis dan menjelaskan
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
14
tindakan atau suasana budaya yang ditanyakan oleh
etnografer.
Kelima kriteria di atas merupakan kriteria minimal.
Seorang etnografer dapat menggunakan kriteria lain, tetapi
tetap juga menggunakan kelima kriteria tersebut, sebagai
tambahan. Keterpenuhan lima kriteria tersebut selanjutnya
penelitian dapat dilaksanakan. Informan yang mana yang
relevan dengan lima kriteria tersebut. Dalam penelitian
etnografi terdapat informan utama dan informan tambahan
atau pun informan ganda.
e. Mewawancarai informan
Spradley mengemukakan bahwa wawancara etnografis
merupakan jenis peristiwa percakapan yang khusus. Artinya,
peristiwa wawancara etnografis berlangsung dalam konteks
persahabatan, menggunakan sudut pandang penduduk asli,
dan memperhatikan tujuan etnografis dan pertanyaan
etnografis. Tujuan etnografis beserta penjelasannya harus
diberikan sejak awal wawancara dilaksanakan agar
wawancara dapat terarah. Seorang informan harus
mengetahui persis apa tujuan wawancara dan apa yang harus
dilakukan pada saat wawancara beserta alatalat apa yang
akan digunakan dalam wawancara, misalnya perekaman,
demontrasi atau permintaan untuk memperagakan, dan
pencatatan. Satu hal yang terpenting adalah, penjelasan
bahasa asli. Seorang etnografer harus mendorong informan
menggunakan cara yang sama ketika mereka berbicara
dengan orang lain dalam suasana budaya mereka sendiri,
termasuk bahasa aslinya.
Sedangkan dalam kaitannya dengan wawancara
etnografis, seorang etnografer harus menguasai bentuk
bentuk pertanyaan etnografis dan menerapkannya ke dalam
wawancaranya. Bentukbentuk wawancara etnografis terdiri
atas sebagaimana berikut ini.
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
15
a. Pertanyaan deskripsi. Tipe pertanyaan ini
memungkinkan seseorang mengumpulkan satu sampel
yang terjadi dalam bahasa informan. Bisanya pertanyaan
deskripsi berupa pertanyaan tentang apa saja yang
dilakukan informan dalam realitas seharihari. Apa yang
dilakukan hendaknya dalam hubungannya dengan apa
yang hendak dipelajari etnografer terhadap informannya.
b. Pertanyaan struktural. Pertanyaan jenis ini
memungkinkan etnografer untuk menemukan informasi
mengenai domain unsurunsur dasar dalam pengetahuan
budaya seorang informan. Bagaimana seorang informan
mengorganisir pengetahuannya tentang apa saja yang
dilakukan setiap harinya.
c. Pertanyaan kontras. Pertanyaan tipe ini memungkinkan
etnografer menemukan berbagai hal yang dimaksudkan
oleh informan dengan berbagai istilah yang digunakan
dalam bahasa aslinya. Biasanya pertanyaan tipe ini
menanyakan tentang perbedaan tentang sesuatu hal
dengan hal lain yang terkandung dalam jawaban informan
yang disampaikan sebelumnya.
Tipetipe pertanyaan itulah yang perlu diterapkan dalam
wawancara etnografis. Dengan tipetipe pertanyaan tersebut
dapat mengarahkan jawabanjawaban informan secara terarah
sesuai dengan tujuan wawancara.
f. Membuat Catatan Etnografis
Catatan etnografis terdiri atas tiga macam, yaitu:
laporan ringkas, laporan yang diperluas, jurnal penelitian
lapangan, dan analisis dan interpretasi. Pertama, semua
catatan yang dilakukan selama wawancara adalah laporan
ringkas. Kedua, laporan yang diperluas merupakan laporan
yang ditulis secara detil berdasarkan catatan dalam laporan
ringkas dan halhal yang diingat kembali berbagai hal yang
tidak tercatat selama wawancara. Oleh karena itu, laporan
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
16
yang diperluas segera ditulis setelah wawancara selesai.
Menunggu terlalau lama akan mengakibatkan etnografe
melupakan halhal yang sebenarnya sangat penting yang tidak
sempat dicatat ketika wawancara berlangsung. Ketiga, jurnal
penelitian lapangan seperti buku harian yang memuat semua
hal yang terjadi pada saat penelitian berlangsung. Oleh karena
itu, jurnal perlu dicatat berdasarkan tanggal. Keempat,
catatan analisis dan interpretasi sesungguhnya etnografi akhir
tentang budaya yang dipelajari dalam suatu penelitian.
Catatan inilah sebagai deskripsi makna budaya yang diteliti
secara etnografi.
Namun demikian catatan analisis dan interpretasi itu
masih dalam tarf hipotetis, sehingga perlu dibuktikan atau
diuji ketepatannya. Pengujiannya dilakukan dengan
diterapkan di lapangan, apakah hasil analisis dan
interpretasinya tersebut telah menunjukkan ketetapannya di
lapangan. Di dalam proses ini bisa terjadi terjadi penambahan
dan penyempurnaan terhadap catatan analisis dan
interpretasi tersebut. Bisa juga hasil analisis dan interpretasi
tersebut dikonfirmasikan kepada seseorang di dalam
masyarakat yang diteliti tentang kebenaran apa yang
diungkapkan dalam catatan tersebut. Hasil dari pembuktian
dan pengujian itu merupakan temuan dari penelitian
etnografi.
g. Menulis suatu Etnografi
Apa yang dihasilkan dalan penelitian etnografi?
Penelitian etnografi menghasilkan etnografi. Dalam pengertian
ini etnografi adalah deskripsi tentang sistem budaya yang
diacu atau dirujuk oleh masyarakat dalam
menginterpretasikan dan mendefinisikan peristiwa kultural di
dalam masyarakat. Sebagai suatu sistem, semua anggota
masyarakat samasama memiliki alam pikir yang sama
tentang suatu tindakan atau peristiwa kultural yang diteliti.
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
17
Deskripsi inilah yang menjadi hasil dalam penelitian etnografi.
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menulis
deskripsi etnografi tersebut.
a. Memilih khalayak, Seorang etnografer harus menentukan
untuk siapakah deskripsi etnografi yang akan ditulis itu.
Menulis untuk sebuah jurnal ilmiah atau laporan
penelitian ilmiah, jelas berbeda dengan apabila tulisan
tersebut untuk dibaca masyarakat umum. Jurnal ilmiah
dan laporan penelitian ilmiah memiliki aturan tersendiri.
Demikian juga apabila tulisan deskripsi etnografi untuk
majalah atau koran, jelas berbeda dengan bentuk buku
yang akan dibaca oleh pelajar atau mahasiswa. Seorang
etnografer harus selalu mengingat untuk siapa dan untuk
apa tulisan deskripsi etnografi itu akan dibuat.
b. Memilih tesis. Tesis merupakan tematema yang akan
ditulis dalam tulisan deskripsi etnografi. Tematema
tersebut diperoleh selama penelitian berlangsung. Dengan
demikian, menulis deskripsi etnografi terbagi atas tesis
tesis atau tematema tersebut. Ada satu tema utama dan
beberapa tema bawahan. Tesis biasanya diungkapkan
dalam bentuk rumusan yang berisi petunjuk atau instruksi
untuk melaksanakan aktivitasaktivitas atau tindakan
dalam kehidupan seharihari. Tentunya aktivitas dan
tindakan dalam kaitannya dengan sistem budaya yang
diteliti.
c. Membuat topik dan garis besar. Topik dan garis besar
sesungguhnya semacam kerangka tulisan yang berisi
tentang tesistesis yang akan diuraikan dalam tulisan.
d. Menulis Naskah. Tahap ini adalah pengembangan garis
besar menjadi uraian berdasarkan catatan analisis dan
interpretasi yang telah dibuat sebelumnya. Lihat jenis
catatan lapangan.
e. Merevisi dan mengedit. Sebelum menjadi deskripsi
etnografi yang final, perlu dilakukan pemeriksaan dan
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
18
revisi bagian mana yang harus dirubah, disempurnakan,
ditambahi berdasarakan catatan penelitian di lapangan.
f. Menuliskan pengantar dan kesimpulan. Pada tahap ini
tulisan yang telah direvisi dan diedit diberikan pengatar
dan kesimpulan.
C. Pembahasan
1. Model Analisis Etnografi terhadap Sastra Lisan
Pada bagian awal tulisan ini telah dikemukakan prinsip
prinsip dasar bagi analisis etnografi dengan mengambil
strategi Wawancara Etnografi dan Alur Penelitian Maju
Bertahap. Strategi dan prosedur penelitian etnografi Spradley
itulah yang akan diacu untuk merumuskan sebuah model
penelitian etnografi terhadap sastra lisan. Beberapa prinsip
yang bisa dan relevan diambil dari pemikiran Spradley untuk
penelitian sastra lisan adalah sebagai berikut.
a. Hasil akhir dari penelitian etnografi adalah suatu deskripsi
verbal mengenai situasi budaya yang dipelari.
b. Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang
penduduk asli.
c. Sumber data utama adalah informan dan didukung oleh
data yang berupa apa yang dilihat dan artefak.
d. Metode wawancara merupakan metode utama untuk
menggali data dari informan tentang suasana budaya yang
hendak dipelajari.
e. Prosedur penelitiannya menggunakan Alur Penelitian Maju
Bertahap, yang terdiri atas: menetapkan informan,
mewawancarai informan, membuat catatan etnografis,
melakukan analisis wawancara, membuat analisis domain,
membuat analisis komponen, menemukan tematema
budaya, dan diakhiri dengan menulis suatu etnografi.
Kelima prinsip tersebut dapat digunakan sebagai
ancangan bagi penelitian etnografi terhadap sastra lisan.
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
19
Namun demikian, perlu diadakan modivikasi sesuai dengan
kebutuhan analisis dan hakikat obyek penelitian. Model
analisisnya akan berupa rangkaian analisis termodivikasi
sebagaimana skema berikut ini.
Menentukan subyek
dan obyek penelitian
Membuat rancangan
penelitian
Menetapkan informan
Melakukan wawancara
Deskripsi sastra lisan
Suasana budaya
Melakukan analisis hasil
wawancara
Membuat Kesimpulan
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
20
Skema Model Analisis Etnografi Spradley Termodivikasi
terhadap Sastra Lisan
a. Menentukan Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian adalah masyarakat di mana suatu
sastra lisan berada. Dalam kasuskasus tertentu, wilayah
subyek penelitian hanya terbatas pada suatu lingkungan
tertentu sebagai bagian dari suatu masyarakat. Cerita prosa
rakyat berbentuk mite atau legenda tentang suatu tempat
keramat atau makam misalnya, penyebarannya hanya
terbatas di lingkungan sekitar tempat itu, tidak sampai
menyebar ke wilayah yang lebih luas. Radius penyebarannya
hanya terbatas tidak sampai satu komunitas desa. Banyak
contoh dalam masyarakat di Indonesia, satu desa memiliki
banyak tempat semacam itu dengan cerita rakyat yang
berbedabeda. Dalam kasus seperti ini penentuan subyek
penelitiannya hanya terbatas pada masyarakat di lingkungan
sekitarnya.
Sedangkan obyek penelitiannya adalah sastra lisan dan
suasana budaya yang berkaitan dengan sastra lisan tersebut.
Suasana budaya yang dimaksud adalah, alam pikiran
masyarakat yang digunakan untuk memahami,
mengkonstruksi, dan mendefinisikan tindakantindakan
mereka dalam kaitannya dengan sastra lisan tersebut. Sastra
lisan sebagai obyek penelitian diarahkan untuk
menginventarisasi dan mendiskripsikan sastra lisan tersebut
dalam rangka menemukan satu versi cerita yang relatif sama.
Namun demikian, penelitiannya bukan berorientasi
sebagaimana proses penelitian dalam filologi, meskipun hal itu
terbuka untuk dilakukan. Sedangkan suasana budaya sebagai
obyek penelitian merupakan obyek utama dalam penelitian
etnografi, yaitu sebuah deskripsi etnografi mengenai
kebudayaan lokal suatu masyarakat.
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
21
b. Membuat Rancangan Penelitian
Setiap penelitian pada umumnya diawali dengan
menyusun rancangan penelitian atau disebut dengan desain
penelitian. Tujuannya, memberikan pedoman dan arah yang
jelas bagi peneliti dalam melaksanakan proses penelitiannya.
Rancangan penelitian meliputi bangunan teori, metode, dan
teknik pemerolehan data dan analis data, dan prosedur
penelitian. Sebagaimana dikemukakan Spradley, bangunan
teori dalam penelitian etnografi adalah grounded theory, yaitu
teori berdasarkan sekumpulan data. Dalam istilah lain disebut
sebagai teori substantif, yaitu teori sebagai hasil abstraksi
data dalam proses penelitian (baca: Ratna,2011). Oleh karena
itu, seorang peneliti dituntut menganlisis secermat mungkin
terhadap datadata yang telah dikumpulkannya dan
membangun konsepkonsep dan proposisiproposisi sebagai
sebuah teori berdasarkan data (substantif). Meskipun hal itu
sulit dan memakan waktu, kemungkinan untuk itu tetap ada,
baik sebagai proses pembelajaran maupun pembentukan
pengalaman penelitian.
Metode dalam penelitian etnografi dengan strategi
Wawancara Etnografi, sebagaimana dikemukakan Spradley,
jelas menggunakan metode wawancara. Pertanyaan dalam
metode wawancara etnografi terdiri atas: pertanyaan dekriptif,
struktural, dan kontras. Hasilhasil wawancara tersebut
dicatat dan direkan dalam catatan atau dokumentasi
lapangan yang berupa: laporan, jurnal, catatan analisis dan
interpretasi, rekan audio, video, dan sebagainya. Dokumen
inilah tidak boleh diabaikan oleh peneliti, karena melalui
dokumen itulah datadata akan dihimpun dan diolah. Halhal
yang menyangkut pencatatan dan perekaman itulah perlu
direncanakan secara cermat agar semua data dapat dihimpun
secara lengkap dan tepat. Cara pencatatan dan perekaman itu
disebut dengan teknik pengumpulan data yang relevan dengan
metode wawancara yang digunakan. Sedangkan teknik
analisis data berupa interpretasi dan dekripsi setiap aspek
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
22
atau domain. Dengan demikian, sistematika analisis data
akan tercapai berdasarkan tematema, aspekaspek, atau
domaindomain tentang fokus penelitian.
Yang tak kalah penting adalah merencanakan prosedur
penelitian. Prosedur penelitian berupa langkahlangkah yang
harus dilalui dalam proses penelitian. Bagan tentang model
penelitian etnografi di atas sebenarnya telah mencerminkan
langkahlangkah apa yang harus dilakukan dalam proses
penelitian tersebut.
c. Menetapkan Informan
Penetapan seorang informan juga sangat penting dalam
proses penelitian. Dari informan itulah data penelitian
diperoleh. Informan dalam penelitian ini terdiri atas informan
utama dan informaninforman lain sebagai pendukung atau
pelengkap. Bahkan dalam konteks pendeskripsian dan
penginventarisasian satu versi sastra lisan dibutuhkan
beberapa informan untuk dibandingkan satu sama lain
sehingga dapat ditentukan satu versi yang sama. Dalam
penelitian filologi dikenal dengan metode stema. Namun
demikian, dalam penelitian ini bukan bertujuan menemukan
hyperchetyp dan archetyp sebagaimana dalam kerja filologi.
Oleh karena itu, proses pendeskripsian dan inventariasi tidak
semendalam kerja filologi tersebut.
Penetapan seorang informan menurut Spradley
berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang telah
dikemukakan terdahulu. Peneliti dapat mengunakannya
untuk menetapkan mana calon informan yang baik dan mana
yang tidak.
d. Melakukan Wawancara
Banyak teknik wawancara yang dapat dilakukan dalam
penelitian. Namun demikian, dalam wawancara etnografi
teknik wawancara dapat menggunakan sistem snow ball (bola
salju). Artinya, wawancara dimulai dari satu pertanyaan dan
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIROW Tuban
23
jawaban atas pertanyaan itu memunculkan pertanyaan
pertanyaan lainnya hingga semua aspek yang dibutuhkan
terpenuhi. Wawancara etnografi memiliki waktu yang panjang
dan berulangulang. Setiap satu kali wawancara akan
dianalisis dan diinterpretasikan, yang selanjutnya akan
dilengkapi dan direncanakan wawancara selanjutnya.
Pembagian waktu wawancara dapat menggunakan tipetipe
wawancara etnografi yang telah dikemukakan di muka.
Wawancara pertama diawali dengan bentukbentuk
pertanyaan diskripsi, dilanjutkan wawancara selanjutnya
dengan tipe pertanyaan struktural dan kontras. Masing
masing tipe pertanyaan tersebut dilakukan lebih dari sekali.
Itulah kenapa wawancara dilakukan dalam jangka waktu yang
lama dan berulangulang sehingga terkumpul data yang
lengkap.
e. Melakukan Analisis Wawancara
Sebagaimana dikemukakan di atas, setiap kali
wawancara selesai dilakukan, peneliti melakukan analisis
hasil wawancara. Analisis tersebut bertujuan untuk
mengetahui apakah datadata yang terkumpul dalam
wawancara tadi telah memenuhi tujuan dan konsep
wawancara. Oleh karena itu, sebelum dilakukan wawancara,
peneliti merumuskan halhal apakah yang hendak dicapai
dalam wawancara tersebut. Apabila dirasa datadata masih
ada kekurangan, dicatat sebagai bahan wawancara
selanjutnya. Di samping itu, analisis tersebut diarahkan
untuk menemukan konsepkonsep dan propo