Praktek Korupsi Dalam Proyek Konstruksi

Seminar Nasional ke-2: Sains, Rekayasa & Teknologi UPH - 2017
Rabu - Kamis, 17 - 18 Mei 2017, Gedung D, Kampus UPH Karawaci, Tangerang

PRAKTEK KORUPSI DALAM PROYEK KONSTRUKSI
Dr. Wulfram I. Ervianto1
1

Staf Pengajar Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
e-mail: ervianto@mail.uajy.ac.id

ABSTRAK
Proyek konstruksi sering kali dikonotasikan sebagai media untuk memperoleh keuntungan finansial
bagi pengelolanya. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Hal ini
dibuktikan dengan semakin panjangnya daftar proyek yang masuk dalam kategori “dikorupsi” dan
dikuatkan dengan semakin banyaknya pejabat publik yang telah dinyatakan bersalah selama
mengelola sejumlah proyek di Indonesia. Berbagai penyebab terjadinya hal ini tidak terlepas dari
banyak hal, antara lain: kapasitas pengelola proyek yang kurang mumpuni sehingga tergelincir
masuk dalam daerah abu-abu yang rawan praktek korupsi atau keberadaan sebuah proyek telah
direncanakan dengan sengaja untuk menyangga finansial berbagai aktivitas yang telah
direncanakan. Kedua skenario tersebut pada akhirnya akan mengantarkan pengelola proyek dalam
situasi yang tidak nyaman dan harus mempertanggungjawabkan seluruh bentuk kesalahannya.

Khusus untuk proyek yang diadakan guna menyangga finansial sebuah kegiatan, dapat diartikan
bahwa keberadaan proyek ini dengan sengaja direncanakan untuk dikorupsi. Adapun praktek
korupsi dapat dikondisikan di sepanjang daur hidup proyek dan khususnya di tahap pengadaan.
Dalam lingkup yang lebih sempit, praktek korupsi dapat dikondisikan oleh pengelola proyek dengan
mempersiapkan “kantong” aktivitas yang akan dimanipulasi secara terstruktur. Hal ini dapat
dilakukan dengan relatif aman apabila sejak awal telah dipersiapkan sistem dan bentuk pelaporan
administrasi. Adapun bentuk dokumen yang terkait dengan praktek korupsi adalah (1) Dokumen
Mutual Check (MC) 0%, (2) Spesifikasi, (3) Gambar Rencana Proyek, (4) Gambar Terbangun ( as
built drawing), (5) Laporan harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Sedangkan praktek korupsi
yang umumnya dilakukan adalah mereduksi kualitas dan kuantitas bangunan.
Kata kunci: Praktek, Korupsi, Proyek Konstruksi.

1. PENDAHULUAN
Global Transparency International melaporkan tentang dampak buruk korupsi dalam pembangunan, berupa
penyalahgunaan aset, korupsi, suap, pencucian uang, pemalsuan produk dan lain sebagainya (Rodriguez, Waite &
Wolfe, 2005). Hal senada juga terjadi di Indonesia sebagaimana dilaporkan oleh Indonesia Corruption Watch
(ICW), bahwa Sektor infrastruktur merupakan bisnis yang tinggi tingkat korupsinya dengan kejadian sebanyak 139
kasus korupsi di sektor infrastruktur yang diselidiki yang didominasi sektor transportasi. Sohail, M. and Cavill, S.,
pada tahun 2006 meyatakan bahwa korupsi dalam proyek konstruksi marak terjadi di berbagai negara.
Pricewaterhouse Cooper, pada tahun 2003 melakukan survey terhadap 184 perusahaan konstruksi di 44 negara di

seluruh dunia yang menyimpulkan bahwa praktek korupsi dan suap merupakan ancaman besar di sektor konstruksi.
Sepertiga dari perusahaan yang di survey telah melakukan kejahatan di bidang ekonomi.

Adanya kecenderungan terjadinya korupsi dalam proyek konstruksi yang disebabkan oleh adanya kesepakatan harga
di awal baru dilanjutkan dengan proses konstruksi. Hal ini berakibat tidak adanya kepastian biaya dalam
mewujudkannya. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai macam risiko yang mungkin terjadi, antara lain timbulnya
kerugian finansial bagi pihak yang melaksanakan pembangunan proyek. Namun demikian, situasi ini justru dapat
dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memperoleh manfaat secara pribadi maupun kelompok tertentu, sebagai
contoh proyek Hambalang yang hingga kini belum ada kejelasannya. Informasi mengenai besarnya nilai konstruksi
yang diselesaikan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir diperlihatkan dalam gambar 1. Data tersebut
mengalami peningkatan drastis di tahun 2011 dengan tren meningkat dari tahun ke tahun.
Seiring dengan adanya program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
tahun 2011-2025, tentu akan diikuti dengan pembangunan infrastruktur yang strategis untuk dikembangkan dalam
kawasan tersebut, yaitu : (a) pembangunan akses jalan Parigi sepanjang 36 kilometer di Palu, (b) pengembangan
jalan Roro di Palu dan Parigi, (c) pembangunan jalan dari Nabire ke pantai Enay di kepulauan Arafuru, (d)
pembangunan ruas jalan tol Trans Jawa Ngawi-Kertosono. (e) pembangunan double track Solo-Madiun dan
Madiun-Surabaya, (f) akses jalan ke pelabuhan Tanah Grogot Kalimantan Timur, (g) pembangunan jalur transmisi
untuk beberapa seksi di Kalimantan Timur, (h) pembangunan jalan high-grade highway trans-Sumatera. (i)
pengembangan pelabuhan Kuala Tanjung, (j) pengembangan jalan di KPI Dumai, Trans Flores, (k) pengembangan


1

pelabuhan di NTB dan di kawasan Sorong. Sejumlah proyek tersebut tentu membutuhkan dana yang sangat besar
yang berpotensi dikondisikan untuk hal-hal yang bersifat negatif.
Di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang
terjadi untuk berbagai jenis proyek pembangunan perlu segera dilakukan agar dapat digunakan untuk menjalankan
berbagai program yang bertujuan untuk pengentasan kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan. Ironisnya, praktek
korupsi di Indonesia semakin hari semakin panjang daftar proyek yang tersandung korupsi. Hal ini mengindikasikan
ada ketidakberesan dalam pengelolaannya apalagi dengan adanya rencana pembangunan infrastruktur di Indonesia
dengan pendanaan yang besar sehingga perlu dilakukan pencegahan dini terhadap timbulnya praktek korupsi. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan kajian komprehensif yang menggambarkan pola, mekanisme, dan tindakan pencegahan
yang terkait dengan penyebab terjadinya korupsi dalam pengelolaan proyek konstruksi di Indonesia.

Sumber : https://www.bps.go.id, diakses tanggal 28 Maret 2017.
Gambar 1. Data runtun nilai konstruksi yang diselesaikan di Indonesia

Indeks persepsi korupsi
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) merupakan indeks komposit yang mengukur persepsi pelaku usaha dan pakar
terhadap korupsi di sektor publik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan
politisi. Sejak diluncurkan pada tahun 1995, IPK telah digunakan oleh banyak negara sebagai rujukan tentang situasi

korupsi dalam negeri dibandingkan dengan negara lain. Dalam lima tahun terakhir, IPK di Indonesia cenderung
meningkat namun di tahun 2016 mengalami penurunan dari urutan 88 di tahun 2015 menjadi urutan 90 (gambar 2).
Di sisi lain, data nilai konstruksi yang diselesaikan dalam lima tahun terakhir cenderung meningkat (gambar 1).
Secara rasional, semakin kecil IPK maka kualitas infrastruktur yang dibangun cenderung lebih baik dibandingkan
sebelumnya.

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Persepsi_Korupsi
diakses tanggal 28 Maret 2017.
Gambar 2. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dalam lima tahun terakhir

2

2. KAJIAN PUSTAKA
Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam
tindak pidana korupsi adalah: (a) setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, (b) melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri, (c) menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, (d) menyalahgunakan
kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, selanjutnya korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh jenis tindak pidana
korupsi yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga belas, yaitu : (1) Kerugian keuangan negara, (2)

Suap-menyuap, (3) Penggelapan dalam jabatan, (4) Pemerasan, (5) Perbuatan curang, (6) Benturan kepentingan
dalam pengadaan, (7) Gratifikasi, (8) Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, (9) Tidak memberi
keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, (10) Bank yang tidak memberikan keterangan rekening
tersangka, (11) Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, (12) Orang yang
memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu, dan (13) Saksi yang
membuka identitas pelapor. (Komisi Pemberantasan Korupsi, Agustus 2006).
Rasionalisasi mengapa proyek konstruksi menjadi media untuk praktek korupsi perlu diterangkan secara jelas, salah
satunya adalah penetapan biaya proyek yang disepakati di awal sedangkan proses konstruksi dilakukan kemudian.
Selain itu, penyebab sektor konstruksi rentan terhadap praktek korupsi antara lain adalah : (a) persoalan kompetisi,
(b) banyaknya jumlah sub-kontraktor kualifikasi menengah dan kecil, (c) terjadinya komitmen dalam persoalan
perizinan, (d) adanya keunikan setiap proyek sehingga timbul kendala dalam membandingkan nilai finansial setiap
proyek (e) terbukanya peluang untuk menunda pelaksanaan pekerjaan yang berpotensi terjadinya ketidaktepatan
biaya dan waktu sehingga melebihi batasan waktu dan biaya yang ditetapkan; dan (f) adanya
kesempatan/kemungkinan untuk mengurangi kualitas bangunan (Stansbury, 2005).
Dalam hal Indeks Persepsi Korupsi (IPK), jika dibandingkan dengan tahun 2015 dimana Indonesia berada di urutan
88 dari 168 negara, di tahun 2016 Indonesia mengalami peningkatan menjadi urutan 90 dari 176 negara. Hal ini
disebabkan adanya peningkatan 1 poin dari 36 menjadi 37, yang diartikan bahwa pemberantasan korupsi masih
berjalan lambat (Trisasongko, D., Transparansi International Indonesia, 2016).

Karakteristik proyek konstruksi

Keunikan proyek konstruksi membuka peluang terjadinya korupsi, penyuapan dan penipuan. Salah satu
keunikannya adalah selalu melibatkan banyak pihak yang terikat dalam mekanisme kontrak termasuk risiko dan
kesulitannya. Pada umumnya, pola pengelolaan yang dilakukan untuk merealisasikan sebuah proyek adalah sebagai
berikut: (a) pemilik proyek melakukan kontrak dengan kontraktor utama untuk melaksanakan seluruh proyek, (b)
kontraktor utama melakukan sub-kontrak dengan sub-kontraktor untuk pekerjaan struktur utama bangunan, (c) subkontraktor mengadakan sub-sub-kontrak untuk pekerjaan spesialis, (d) sub-sub-kontraktor akan melakukan kontrak
dengan supplier untuk pengadaan peralatan dan material. Resultan dari mekanisme tersebut diatas akan
menimbulkan sejumlah kontrak baru yang berada dalam jaringan bisnis, dimana setiap jaringan tersebut berpotensi
memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan melalui berbagai mekanisme suap dan atau penipuan.
Secara umum praktek korupsi dalam proyek konstruksi dapat berlangsung dalam dua tahap, yaitu : (a) dalam
penyediaan dan pengelolaan pembiayaan proyek, dan (b) selama pelaksanaan proyek, yang mencakup kelayakan,
perencanaan, pengadaan, konstruksi, pemeliharaan, dan dekonstruksi (Gambar 3). Sedangkan potensi praktek
perbuatan korupsi sepanjang daur hidup proyek mencakup berbagai hal sebagaimana diperlihatkan dalam Tabel 1.

Gagasan

Kelayakan
proyek

Perencanaan


Pengadaan

Tahap penyediaan dan pembiayaan proyek

Konstruksi

Pemeliharaan

Dekonstruksi

Tahap pelaksanaan proyek

Gambar 3. Potensi terjadinya praktek korupsi dalam daur hidup proyek

Tahap penyediaan dan pembiayaan proyek
Penyuapan dan penipuan yang terkait dengan penyediaan dan pengelolaan pembiayaan proyek konstruksi dapat
dilakukan melalui beberapa pola sebagai berikut : (a) pola 1, dilakukan oleh pihak sumber pendanaan untuk
keuntungan pribadi pihak sumber pendanaan, (b) pola 2, dilakukan oleh pihak pemilik proyek untuk kepentingan
pemilik proyek, (c) pola 3, dilakukan oleh pihak pemilik proyek untuk kepentingan pribadi pihak pemilik proyek
(gambar 4). Selain itu, masih ada pola suap atau penipuan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk


3

kepentingan “resmi”. Sedangkan konotasi “pemerasan” ( extortion) adalah meminta sesuatu (uang atau lainnya)
dengan ancaman penganiayaan fisik atau lainnya.
Realisasi suap dapat dinyatakan dalam bentuk uang, benda atau lainnya yang secara langsung dapat diberikan
kepada penerimanya, namun umumnya dilakukan oleh perantara yang ditunjuk untuk mengaburkan identitas pelaku
dan tujuan penyuapan tersebut, usaha ini disebut dengan menyembunyikan korupsi (Conceilment of Corruption).
Berdasarkan perspektif tujuannya, suap dan penipuan merupakan dua hal yang saling berinteraksi. Kadangkala suap
dilakukan untuk membantu menyembunyikan penipuan, atau sebaliknya penipuan diperlukan dalam rangka
memfasilitasi/menyembunyikan suap.
Pola suap atau penipuan dalam
pengelolaan sumber pendanaan

Pola 1

Pola 2

Pola 3


Sumber pendanaan

Sumber pendanaan

Sumber pendanaan

Suap atau penipuan yang
dilakukan oleh pihak sumber
pendanaan

Suap atau penipuan yang
dilakukan oleh pihak
pemilik proyek

Suap atau penipuan yang
dilakukan oleh pihak pemilik
proyek

Untuk kepentingan pribadi
pihak sumber pendanaan


Untuk kepentingan pemilik
proyek

Untuk kepentingan pribadi
pihak pemilik proyek

Gambar 4. Pola suap dan penipuan dalam pengelolaan sumber pendanaan.

Tahap pelaksanaan proyek
Proses pencairan sebuah komitmen yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi
dapat dilakukan melalui berbagai mekanisme, antara lain jika dalam kontrak konstruksi cara pembayaran yang
disepakati antara owner dan kontraktor adalah kontrak harga satuan ( unit price) maka harga setiap satu satuan
pekerjaan cenderung tetap sepanjang pelaksanaan konstruksi kecuali terjadi hal-hal lain yang memungkinkan untuk
meninjau kembali harga satuan pekerjaan tersebut (misal, terjadinya perbedaan volume yang signifikan antara
mutual check 0% dan realisasinya). Dalam persoalan ini yang menjadi variabel bebasnya adalah volume pekerjaan,
sehingga bagian yang dapat direkayasa adalah dokumen Mutual Check 0% (MC 0%), contohnya untuk pekerjaan
galian dan timbunan tanah dalam proyek jalan. Hal penting agar pekerjaan ini tidak digunakan sebagai media
korupsi adalah memastikan elevasi permukaan tanah asli telah sesuai dengan hasil pengukuran sebenarnya yang
dilakukan oleh surveyor. Adanya kecenderungan praktek untuk memanipulasi elevasi permukaan tanah dengan cara

meninggikan elevasi di bagian galian dan menurunkan elevasi di bagian timbunan. Melalui mekanisme ini maka
akan tercipta volume pekerjaan tanah fiktif yang relatif cukup besar. Namun demikian, tidak semata-mata hal ini
dapat dilakukan sendiri oleh kontraktor, akan tetapi harus dilakukan secara kolaborasi dengan pengawas lapangan
untuk mengesahkan hasil pengukurannya dan pada akhirnya terjadi komitmen mengenai proporsi pembagiannya.
Sedangkan untuk jenis kontrak harga menyeluruh (lump sum) bergantung kepada tingkat akurasi estimasi volume
sebuah pekerjaan. Secara umum, potensi praktek korupsi di sepanjang daur hidup proyek konstruksi berbeda di
setiap tahapnya (Tabel 1).
Tabel 1. Praktek korupsi dalam daur hidup proyek konstruksi
Tahap

Praktek korupsi

1. Perencanaan

a. Proyek yang diadakan untuk kepentingan seseorang dalam pemenangan suara.
b. Perencanaan proyek yang mengakomodasi kepentingan golongan tertentu sehingga
mengabaikan kepentingan golongan kurang mampu.

2. Pengawasan

a. Menyuap pengawas lapangan dengan cara memberikan hadiah berupa uang atau
barang yang bertujuan agar hasil kerjanya dapat diterima meskipun tidak sesuai
dengan yang seharusnya.

4

Tahap

Praktek korupsi
b. Praktek korupsi yang dilakukan oleh konsultan dalam tahap studi kelayakan,
penyusunan spesifikasi, dan dokumen penawaran.

3. Perancangan

4. Penawaran dan
tanda tangan
kontrak

a. Tidak berimbangnya risiko dalam kontrak sehingga menimbulkan ketidak adilan
bagi salah satu pihak.
b. Pihak tertentu yang merekomendasikan/menjual belikan kontrak
c. Campur tangan politisi dalam memilih/merekomendasikan kontraktor tertentu.
d. Adanya kegiatan entertainment
e. Tidak kompetitif

5. Konstruksi

a. Mengganti sub-kontraktor yang telah menerima suap dengan sub-kontraktor baru.
b. Menyalahgunakan aspek pendanaan dan fasilitas yang tersedia.
c. Melakukan pembayaran untuk peralatan, bahan atau jasa lainnya yang
sesungguhnya tidak ada/fiktif.
d. Melaksanakan pekerjaan dengan kualitas di bawah standar yang ditetapkan.
e. Menyuap pengawas lapangan agar menyatakan bahwa hasil pekerjaan kontraktor
telah sesuai dengan spesifikasi.

6. Serah terima

a. Daftar hadir tamu undangan fiktif

Mengelola praktek korupsi
Praktek suap dan korupsi dapat dilakukan melalui dua tahap, yaitu : (a) tahap perencanaan praktek korupsi, yang
mencakup tahap gagasan hingga tahap pengadaan umumnya membahas tentang penyediaan dan pembiayaan proyek
konstruksi dan (b) tahap pencairan praktek korupsi, yang mencakup tahap pelaksanaan proyek konstruksi hingga
dekonstruksi. Namun demikian, pencairan praktek korupsi hanya dapat dilakukan di tahap konstruksi melalui
mekanisme pembayaran termin kontraktor (gambar 5). Praktek korupsi mencakup tindakan penyuapan (bribery),
pemerasan (extortion), penipuan (fraud) dan tindak pidana lain yang setara.

Gagasan

Kelayakan
proyek

Perencanaan

Pengadaan

Tahap perencanaan praktek korupsi



Konstruksi

Pemeliharaan

Dekonstruksi

Tahap pencairan
praktek korupsi

Gambar 5. Perencanaan praktek korupsi dan pencairan praktek korupsi

Perencanaan praktek korupsi

Pada umumnya, praktek korupsi telah direncanakan sebelumnya agar tidak diketahui oleh pihak lain. Namun
demikian tidak semuanya melalui proses perencanaan yang baik sehingga berujung pada terbongkarnya praktek
korupsi tersebut. Korupsi dapat direncanakan yang dimulai dari pimpinan proyek dilanjutkan sampai di tingat
operasional (top-down) atau sebaliknya, korupsi disiapkan mulai dari tingkat operasional dan dikomunikasikan ke
tingkat diatasnya (bottom-up). Salah satu bentuk perencanaan lain yang penting adalah bagaimana mekanisme
pencairannya, agar tidak diketahui oleh pihak owner maupun pihak yang berwenang. Pada umumnya, praktek
korupsi yang tidak terencana akan berujung diketahuinya praktek tersebut oleh pihak lain. Namun demikian, ada
praktek korupsi yang terencana dengan baik sejak tahap kelayakan hingga tahap pencairan praktek korupsi.



Pencairan praktek korupsi

Setelah korupsi direncanakan maka akan dilanjutkan dengan tahap mencairkan korupsi. Hal ini dapat dilakukan
melalui berbagai macam skema, antara lain : (i) skema pertama, mengelola volume pekerjaan dengan cara
menitipkan sejumlah volume fiktif dalam dokumen perencanaan. (ii) skema kedua, mengelola harga satuan
pekerjaan yang telah dimodifikasi dalam range yang masih terlihat wajar. (iii) skema ketiga, dengan melakukan
praktik penawaran tidak seimbang (unbalanced bid). Ketiga cara tersebut dapat terlaksana jika terjalin kerjasama
antara pengguna jasa dan penyedia jasa. Skema tersebut diatas, umumnya pemilik proyeknya adalah pemerintah.

5

Skema pertama, mengelola volume pekerjaan dengan cara menitipkan sejumlah “volume fiktif” dalam dokumen
perencanaan. Pola ini umumnya dilakukan untuk pekerjaan yang mempunyai tingkat ketidakpastian relatif besar
sehingga dimungkinkan untuk dilakukan hal-hal yang dapat merugikan pemilik proyek. Dalam mekanisme ini, harus
ada keterlibatan pihak pemilik proyek.
Tabel 2. Kalkulasi nilai fiktif dalam proyek konstruksi
Jenis
pekerjaan
(1)
Galian tanah
Galian batu
Timbunan

Volume
Riil
(m3)
(2)
X
Y
Z

Volume
“Fiktif”
(m3)
(3)
X+a=A
Y+b=B
Z+c=C
Total (Rp)

Harga
Satuan
(Rp)
(4)
D
E
F

Nilai
volume riil
(Rp)
(2) x (4)
XD
YE
ZF

Catatan: a, b, c, adalah volume “fiktif”.

Nilai
Volume “fiktif”
(Rp)
(3) x (5)
axD
bxE
cxF
∑ {(a x D) + (b x E) + (c x F)}

Tindakan preventif skema ini adalah melakukan klarifikasi volume pekerjaan antara pemilik proyek dan kontraktor
dengan menyepakati dokumen mutual check 0% sebagai dasar untuk menghitung progress pekerjaan. Selanjutnya,
potensi manipulasi data saat realisasi pekerjaan masih dimungkinkan berupa kerjasama antara kontraktor dan
pengawas lapangan menyepakati untuk melakukan penambahan volume fiktif. Tindakan ini hanya dapat
ditimbulkan manakala telah terjadi kesepakatan antara owner , kontraktor, pengawas untuk berbuat kecurangan
secara kolektif.
Skema kedua, mengelola harga satuan pekerjaan yang telah dimodifikasi dalam range harga yang masih “terlihat
wajar”. Cara ini berpotensi dilakukan apabila harga satuan pada item pekerjaan tertentu masih dimungkinkan untuk
dilakukan “pengaturan” sebatas masih wajar. Dimungkinkannya adanya variasi harga satuan di berbagai daerah di
Indonesia membuka peluang untuk mengelola harga satuan pekerjaan sejauh masih dapat diterima oleh pihak lain
secara rasional. Cara ini dapat dilakukan manakala praktek korupsi menjadi bagian yang telah direncanakan sejak
awal. Praktek ini akan mengubah nilai total proyek. Salah satu tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah
membandingkan harga satuan tersebut dengan harga satuan yang pernah ada dalam proyek lain dengan metoda yang
sama.
Tabel 3. Praktek korupsi melalui “harga satuan”
Jenis
pekerjaan
(1)
Galian tanah
Galian batu
Timbunan

Volume
(m3)
(2)
X
Y
Z

Harga
Satuan riil
(Rp)
(3)
A
B
C
Total (Rp)

Harga
Satuan
“Fiktif”
(Rp)
(4)
A+a=D
B+b=E
C+c=F

Nilai
Biaya Fiktif

Biaya riil
(Rp)
(2) x (3)
XA
YB
ZC

Catatan: a, b, c, adalah harga satuan “fiktif”.

(Rp)
(2) x (4)
Xxa
Yxb
Zxc
∑ {(X x a) + (Y x b) + (Z x c)}

Skema ketiga, melakukan praktek penawaran tidak seimbang (unbalanced bid). Praktek ini dapat terjadi manakala
pembayarannya menggunakan kontrak harga satuan yang berlaku sepanjang umur proyek. Harga satuan setiap
pekerjaan tidak berlaku tetap, namun dapat diubah jika terjadi keadaan tertentu, misalnya terjadi perbedaan volume
secara ekstrim antara rencana dan aktual dalam item tertentu. Sebagai contoh, dalam tabel 4 dan tabel 5, dapat
dilihat dengan jelas bahwa penawaran yang dilakukan oleh kedua kontraktor sama, yaitu Rp. 105.000.000. Bagi
orang awam dalam perspektif biaya proyek, memilih kontraktor A atau B tidak ada bedanya. Namun jika dipahami
lebih lanjut, adanya perbedaan “harga satuan” oleh kedua kontraktor dapat disengaja atau secara kebetulan.
Tabel 4. Harga Penawaran Proyek “X” oleh kontraktor A
Jenis pekerjaan
Galian tanah
Galian batu
Timbunan

6

Volume
(m3)
8.000
2.000
4.000
Total

Harga Satuan
(Rp)
7.500
12.500
5.000

Jumlah
(Rp)
60.000.000
25.000.000
20.000.000
105.000.000

Tabel 5. Harga Penawaran Proyek “X” oleh kontraktor B
Jenis pekerjaan
Galian tanah
Galian batu
Timbunan

Volume
(m3)
8.000
2.000
4.000
Total

Harga Satuan
(Rp)
8.625
10.000
4.000

Jumlah
(Rp)
69.000.000
20.000.000
16.000.000
105.000.000

Pada umumnya, kontraktor melakukan hitung ulang volume pekerjaan yang didasarkan pada dokumen pelelangan
(gambar lelang dan spesifikasi) untuk memastikan volume riilnya, dan kemudian disandingkan dengan Bill Of
Quantity (BOQ) yang diterbitkan oleh pemilik proyek. Apabila terjadi ketidak sesuaian antara kedua data tersebut,
maka informasi ini dapat dikaji lebih lanjut dan dapat dimanfaatkan untuk melakukan pendekatan tertentu dalam
mengajukan harga penawaran yang bertujuan untuk menguntungkan pihak kontraktor. Misalnya, volume galian
tanah ± 8.000
yang tercantum dalam BOQ dianggap terlalu besar bagi kontraktor, volume perkiraannya adalah ±
5.000
; demikian juga untuk volume galian batu ± 2.000
dianggap terlalu kecil, sedangkan volume perkiraan
kontraktor adalah ± 5.000
(Tabel 6).
Tabel 6. Estimasi volume pekerjaan yang dilakukan oleh owner dan kontraktor

Jenis Pekerjaan
Galian tanah
Galian batu
Timbunan

Estimasi
Volume
Owner
(m3)
8.000
2.000
4.000

Estimasi
Volume
Kontraktor
(m3)
5.000
5.000
4.000

Deviasi
Volume

Harga
Satuan

Jumlah

(m3)
(-) 3.000
() 3.000
-

(Rp)
?
?
5.000

(Rp)
?
?
20.000.000

Berdasarkan data/informasi tersebut diatas dapat digunakan sebagai dasar untuk menghitung harga satuan setiap
item pekerjaan. Pendekatan yang digunakan adalah menetapkan harga setiap item pekerjaan agar diperoleh manfaat
terbaik. Untuk jenis pekerjaan yang volumenya cenderung berkurang, strategi yang digunakan adalah “merugi”.
Contoh harga satuan galian tanah semula Rp. 7.500; (lihat tabel 7) diubah menjadi Rp. 4.375; (lihat tabel 8).
Sedangkan untuk jenis kegiatan yang volumenya cenderung bertambah, digunakan strategi untuk memaksimalkan
keuntungan. Contoh harga satuan galian batu yang semula Rp. 12.500; diubah menjadi Rp. 25.000. Dengan hanya
mengubah harga satuan kedua item pekerjaan tersebut maka akan diperoleh selisih antara pengeluaran dan
pendapatan sebesar Rp. 166.875.000; – Rp. 120.000.000; = Rp. 46.875.000; Dengan menggunakan mekanisme ini
apakah termasuk dalam kategori strategi ataukah korupsi ?. Tindakan preventif dalam skema ini adalah
mencantumkan klausul tambahan dalam kontrak yang menyatakan bahwa jika terjadi perubahan volume yang relatif
besar maka harga satuan pekerjaan tersebut dinegosiasikan kembali.
Tabel 7. Harga penawaran berdasarkan penawaran seimbang
(balanced bid)
Jenis pekerjaan
Galian tanah
Galian batu
Timbunan

Volume
(m3)
5.000
5.000
4.000
Total

Harga Satuan
(Rp)
7.500
12.500
5.000

Jumlah
(Rp)
37.500.000
62.500.000
20.000.000
120.000.000

Tabel 8. Harga penawaran berdasarkan penawaran tidak
seimbang (unbalanced bid)
Jenis pekerjaan
Galian tanah
Galian batu
Timbunan

Volume
(Rp)
5.000
5.000
4.000
Total

Harga Satuan
(Rp)
4.375
25.000
5.000

Jumlah
(Rp)
21.875.000
125.000.000
20.000.000
166.875.000

7

KESIMPULAN
Beberapa hal penting dalam yang dapat digunakan sebagai pembelajaran terkait dengan praktek korupsi dalam
proyek konstruksi adalah sebagai berikut:
 Karakteristik proyek konstruksi yang membuka peluang untuk melakukan korupsi dengan menempatkan
kesepakatan nilai proyek di awal baru dilakukan proses pembentukan produk. Selain itu, proyek konstruksi
selalu melibatkan banyak pihak sehingga praktek korupsi umumnya dilakukan secara bersama-sama.
 Adanya kecenderungan penggunaan kontrak yang tidak sesuai dengan karakteristik proyek yang sedang
dilakukan, oleh sebab itu perlu kontrak konstruksi yang mampu mengakomodasi seluruh praktek korupsi dalam
proyek konstruksi.
 Dimungkinkannya melakukan praktek korupsi melalui pendekatan penawaran seimbang maupun penawaran
tidak seimbang perlu diakomodasi dalam kontrak konstruksi di Indonesia agar iklim pengadaan penyedia jasa
menjadi lebih profesional guna meningkatkan kapasitas penyedia jasa.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Komisi Pemberantasan Korupsi, Agustus 2006, Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi.
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun 2011-2025.
Pricewaterhouse Cooper, 2003.
Rodriguez, Waite & Wolfe, 2005.
Sohail, M. and Cavill, S., 2006. Corruption in construction projects. IN: Serpell, A. (ed.). Proceedings of the
CIB W107 Construction in Developing Countries Symposium Construction in Developing Economies.
Stansbury, 2005.
Transparency International, Juli 2006, Preventing Corruption on Construction Projects.
Trisasongko, D., 2016, Transparansi International Indonesia.

https://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Persepsi_Korupsi, diakses tanggal 25 Maret 2017
https://www.bps.go.id, diakses tanggal 25 Maret 2017

8