Kerjasama maro sawah sistem gembreng dalam perspektif hukum Islam : studi kasus di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.

KERJASAMA MARO SAWAH SISTEM GEMBRENG
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Studi Kasus di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten
Lumajang)

Oleh:

Muchammad Khoiruddin Ro’uf
(C02213043)

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syariah
SURABAYA
2017

ABSTRAK

Skripsi dengan judul Kerjasama Maro Sawah Sistem Gembreng Dalam
Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di Desa Padang Kec. Padang Kab.

Lumajang), adalah hasil penelitian kualitatif dengan metode deduktif untuk
menjawab pertanyaan: Bagaimana praktek kerjasama maro sawah sistem
gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang dan
Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah sistem
gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.
Data penelitian dihimpun melalui wawancara dan dokumentasi dengan
pihak pemilik lahan sawah dan penggarap sawah di desa tersebut serta kepada
pihak GAPOKTAN Desa Padang Kecamatan Padang. Selanjutnya data yang
berhasil dihimpun dianalisis dengan metode deskriptif yaitu membuat deskripsi,
gambaran atau menjelaskan secara sistematis atas data yang berhasil dihimpun
dari pemilik lahan dan penggarap terkait dengan pembahasan.
Hasil penelitian ini menyimpulkan yang dimaksud dengan maro sawah
dengan sistem gembreng adalah membagi hasil panen sesuai dengan perjanjian
yang disepakati antara pemilik lahan dengan pekerja menggunakan takaran
gembreng bukan per kilo ataupun per karung. Maro sawah dimana kerjasama
tersebut lebih menguntungkan pihak penggarap dikarenakan terdapat kecurangan
yang terjadi pada saat pembagian hasil waktu panen dimana pihak penggarap
melebihi takaran yang telah disepakati antara pemilik sawah. Di dalam Hukum
Islam apabila ada salah satu pihak yang melakukan kecurangan otomatis akad
tersebut menjadi tidak sah dikarenakan pihak penggarap melakukan kecurangan.

Orang yang melakukan perbuatan curang tersebut termasuk mengingkari janji
dan tidak bisa menjaga amanah. Sehingga akad yang disepakati oleh pihak
penggarap dan pemilik lahan bisa dikatakan melanggar dari perjanjian, sehingga
akad tersebut menjadi batal di karenakan terjadi kecurangan disalah satu pihak.
pelanggaran atau kecurangan yang dimaksud adalah dari sisi berat dalam
konteksnya tetap pakai gembreng tapi berat gembreng antara bagian dari
penggarap dengan penyedia lahan lebih berat bagian penggarap.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka kepada penggarap disarankan
untuk: Untuk menghindari kecurangan dan untuk memperjelas hasil dari
pembagian hasil panen agar kiranya takaran yang semula menggunakan
gembreng diganti dengan timbangan kilogram ataupun kwintalan karena dengan
memakai takaran timbangan lebih jelas, sehingga antara penyedia lahan dan
penggarap tidak ada yang dirugikan.

vi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI


Halaman
SAMPUL DALAM .....................................................................................

i

PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................................

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................

iii

PENGESAHAN ..........................................................................................

iv

MOTTO .....................................................................................................

v


PERSEMBAHAN .......................................................................................

vi

ABSTRAK ..................................................................................................

vii

KATA PENGANTAR .................................................................................

viii

DAFTAR ISI ...............................................................................................

x

DAFTAR TRANSLITERASI ......................................................................

xiii


BAB I

PENDAHULUAN .......................................................................

1

A. Latar Belakang .........................................................................

1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ............................................

6

C. Rumusan Masalah ....................................................................

7

D. Kajian Pustaka..........................................................................


7

E. Tujuan Penelitian .....................................................................

10

F. Kegunaan Penelitian ................................................................

10

G. Definisi Operasional .................................................................

11

H. Metode Penelitian ....................................................................

12

I.


17

Sistematika Pembahasan ..........................................................

x

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II

LANDASAN TEORI
A. Muzāra’ah ................................................................................

19

1. Pengertian Muzāra’ah ............................................

19


2. Dasar Hukum Muzāra’ah .......................................

21

3. Rukun-Rukun Muzāra’ah ......................................

22

B. Perbedaan Muza>ra’ah, Mukhabarah, musaqah ........................

37

1. Muza>ra’ah ..............................................................

37

2. Mukhabarah ...........................................................

37


3. Musa>qah .................................................................

38

BAB III Letak Geografis Desa Padang kec padang kabupaten
Lumajang
A. Gambaran Umum Obyek Penelitian ......................................

41

1. Sejarah Desa Padang Kec. Padang Kab.
Lumajang ...............................................................

41

2. Demograf ...............................................................

41

3. Keadaan Sosial ......................................................


47

4. Keadaan Ekonomi .................................................

50

5. Keadaan Pemerintah Desa.....................................

52

B. Pandangan Masyarakat Desa Padang Kec. Padang Kab.
Lumajang

dalam

Praktek

Maro


Sawah

Sistem

Gembreng ...............................................................................

53

xi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB IV PRAKTEK
DAN
TINJAUAN
HUKUM
ISLAM
TERHADAP KERJASAMA MARO SAWAH SISTEM
GEMBRENG

BAB V

A. Prektek Kerjasama Maro Sawah Sistem Gembreng di
Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang .......

56

B. Analisis Hukum Islam dalam Kerjasama Maro Sawah
dengan Sistem Gembreng ......................................................

59

PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................

64

B. Saran .......................................................................................

65

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xii

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan
satu sama lain untuk memenuhi kekurangannya, karena manusia
diciptakan Allah tidak ada yang sempurna. Ada yang kaya dan ada yang
miskin, ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang tinggi dan ada yang
rendah, dan lain sebagainya. Tentunya untuk memudahkan manusia untuk
saling membantu dan bekerjasama dalam memenuhi kekurangan masingmasing.1
Dalam kajian fiqih hubungan antara sesama manusia diantaranya
meliputi jual beli, hutang piutang, jasa penitipan, sewa menyewa, gadai,
kerjasama dan lain sebagainya. Tak ada seorangpun yang bisa memenuhi
kebutuhannya tanpa bantuan orang lain dan untuk bisa memenuhi
kebutuhan itulah mereka bekerja sama dengan cara bermuamalah.2
Kerjasama dengan cara bagi hasil merupakan salah satu kegiatan
mu’amalah yang sering terjadi dikalangan masyarakat Indonesia,
khususnya dalam bidang pertanian. Kerjasama secara bagi hasil ataupun
sewa menyewa ini diperbolehkan dalam Islam baik terhadap barang

1

Sudarsono, Pokok- pokok Hukum Islam (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1992), 462.
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
71.

2

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

bergerak ataupun barang tidak bergerak seperti tanah.3 Hal ini dikenal
sebagai Muzāra’ah atau Mukhabārah.
Sistem bagi hasil menjadi suatu yang penting terhadap orangorang mempunyai tenaga kerja tetapi tidak mempunyai lahan, sementara
yang lain memiliki lahan tetapi tidak mempunyai modal dan tenaga kerja.
Berdasarkan keadaan seperti ini saling membantu dan bekerjasama, maka
hanya sistem bagi hasil yang merupakan cara efektif untuk menghasilkan
lebih banyak tanah yang dapat diolah sehingga menguntungkan kedua
belah pihak.4 Secara etismologi, Muzāra’ah diambil dari kata Az-zar’a,
yang berati menaburkan benih ke dalam tanah atau menanam. Dalam
Ensiklopedia Hukum Islam disebutkan Muzāra’ah adalah kerjasama di
bidang pertanian antara pemilik lahan dan penggarap.5
Dasar hukum yang digunakan para ulama’ mengenai transaksi

Muzāra’ah atau Mukhabārah yakni sebuah hadist yang diriwayatkan oleh

ِ
ِ
‫صلى لُ َعلَْي ِه َو َسل َم َعا َم َل اَ ْ َل َخْيبَ َر بِ َشطْ ِر‬
َ ‫َع ِن ابْ ِن عُ َمَر َر ض َي لُ َعْن ُه َما اَن َر ُس ْو َل ل‬
‫َما َيُْر ُج ِمْن َها ِم ْن َثَر اَْوَزْرع‬
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw. melakukan kerjasama
(penggarap tanah) dengan penduduk Khaibar dengan imbalan separuh dari
hasil yang kelar dari tanah tersebut, baik buah-buahan maupun tanaman.
(H.R Bukhari-Muslim).6

3

SayyidSabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Jakarta: PT.PenaPundiAksana, 2009), 207.
Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II (Yogyakarta, PT. Dana Bakti Wakaf, 1995),
279
5
Abdul Aziz Dahlan (Edi), Ensiklopedi Hukum Islam, cet. 1, (Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), 75.
6
Muhammad bin Isma’il Al-Kahli, Subul As-Salam, Juz 3, Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa
Al-Babiy Al-Halabi, Mesir, cet. I, 1960, 77.
4

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

Kerjasama mengenai pengolahan sawah yang sering dibahas dalam
fiqih mua’amalah yakni Muzāra’ah atau Mukhabārah yaitu ketentuannya
telah ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi keadilan dan
tidak merugikan salah satu pihak baik pemilik tanpa maupun buruh itu
sendiri. Konsekuensinya dari adanya ketentuan ini adalah bahwa sistem
kerjasama bagi pekerja dan pemiliki tanah harus sesuai dengan ketentuan
norma yang ditetapkan. Menurut pengertian syara’ Muzāra’ah atau

Mukhabārah berarti akad kejasama dalam pemindahan hak guna dari
barang atau jasa yang diikuti dengan pembayaran upah atau biaya sewa
tanpa disertai dengan perpindahan hak milik.7
Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang memiliki
aset berupa persawahan yang luas. Mayoritas masyarakat bekerja sebagai
petani. Namun, tidak semua petani memiliki sawah dan mereka
menggarap sawah milik orang lain dengan perjanjian yang telah
ditentukan yang biasa disebut dengan istilah maro sawah.
Pelaksanaan bagi hasil kerjasama maro sawah antara pemilik lahan
dan penggarap sawah ketika panen padi di wilayah Desa Padang ini dari
masa ke masa menggunakan sistem bagi hasil yang disebut dengan sistem
gembreng.

Sistem

gembreng

merupakan

proses

takaran

yang

menggunakan media gembreng sebagai alat ukur yang digunakan oleh
penggarap dan pemilik sawah. Proses penakaran dilakukan saat panen
terjadi, dimana padi dirontokkan dengan mesin perontok, kemudian hasil
7

M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), 227 .

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

perontokan itu yang biasa disebut dengan gabah. Setelah perontokan
selesai, gabah dijadikan satu untuk kemudian ditakar dengan media
gembreng. Prosesnya gabah ditakar dengan media gembreng kemudian di
masukkan kedalam karung. Setiap karung berisi kisaran empat atau lima
gembreng sesuai dengan ukuran atau volume karung tersebut. Prosentase
dari sistem gembreng tersebut dari total seluruh gabah dibagi dengan
perbangdingan 7 : 2 : 1, dimana 7 bagian itu dibagi menjadi 2 yaitu untuk
pemilik sawah dan penggarap sawah, sedangkan 2 bagian itu
diperuntukkan kepada penggarap sawah dan 1 bagian diperuntukkan
sebagai pembayaran irigasi sawah. Dalam kenyataannya dengan luas
sawah 1 hektar persegi menghasilkan 5 ton gabah, 5 ton gabah sama
dengan 5000 kg gabah kemudian ditakar menggunakan gembreng dan
dibagi menjadi 7 : 2 : 1 bagian. Yang mana persatu gembreng berisi
kurang lebih 13 kg. Sehingga pembagian hasil tersebut dapat dihitung
sebagai berikut:
5000 kg / 13 = 384,6 gembreng
7/10 x 384,6 gembreng = 269 gembreng , 134.5 gembreng untuk
pemilik sawah dan 134.5 gembreng
untuk penggarap sawah.
2/10 x 384,6 gembreng = 77 gembreng untuk penggarap sawah.
Jadi, pemilik sawah mendapat 134.5 gembreng gabah, sedangkan
penggarap mendapat 211,5 gembreng gabah.8
8

Bambang Slamet, Wawancara, Lumajang, 25 November 2016.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

Dalam pelaksanaan sistem gembreng

tersebut buruh tani

melakukan tindakan yang menguntung dirinya sendiri dan merugikan
pemilik lahan. Seperti halnya saat proses penakaran gabah waktu panen
yang dilakukan oleh penggarap sawah menghasilkan berat gabah yang
diterima oleh pemilik sawah mempunyai berat yang tidak sesuai dengan
takaran gabah yang diterima oleh penggarap sawah. Jika dalam menakar

gabah untuk pembagian pemilik sawah, gabah ditakar sesuai dengan
volume gembreng. Namun, untuk penakaran gabah yang akan menjadi
bagian dari penggarap sawah, penakaran berbeda dengan takaran pemilik
sawah, penggarap melakukan tindakan kecurangan dengan melebihi
takaran gembreng tersebut dengan cara gabah yang dimasukkan kedalam
gembreng tersebut ditekan agar supaya memperoleh berat yang maksimal.
Dengan demikian pemilik sawah mengalami kerugian dalam kerjasama
bagi hasil tersebut karena ada unsur kecurangan dalam proses pembagian
yang tidak sesuai dengan kesepakan yang telah disepakati sebelumnya.
Berdasarkan realita tersebutlah yang melatar belakangi penulis
tertarik untuk meneliti terkait maro sawah dengan menggunakan sistem
gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang, Dan
untuk bahasan lebih lanjut akan dituang dalam bentuk skripsi yang
berjudul ‚Kerjasama Maro Sawah Sistem Gembreng dalam Perspektif
Hukum Islam (Studi kasus di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten
Lumajang)‛.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan kemungkinankemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian
dengan melakukan identifikasi sebanyak-banyaknya kemudian yang dapat
diduga sebagai masalah.9 Identifikasi masalah dalam kasus ini sebagai
berikut :
1.

Praktek kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang
Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang

2.

Perspektif hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah sistem
gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang

3.

Analisa hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah sistem
gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang

4.

Berakhinya akad kerjasama kerjasama maro sawah sistem gembreng
di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang

5.

Syarat dan Rukun dalam kerjasama bagi hasil pertanian

6.

Norma kerjasama pertanian dalam Islam

7.

Pentingnya kerjasama bagi hasil maro sawah sistem gembreng bagi
masyarakat di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang
Untuk memperjelas persoalan masalah yang ada di dalam masalah

ini, agar nantinya mencegah uraian yang panjang lebar, maka penulis
perlu membatasi supaya maslah ini sesuai dengan judul serta yang penulis
harapkan, diantaranya :
9

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi,
(Surabaya: Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam, 2016), 8.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

1.

Praktek kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang
Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang

2.

Perspektif hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah sistem
gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian identifikasi dan pembatasan masalah, maka
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1.

Bagaimana praktik kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa
Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang?

2.

Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah
sistem gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten
Lumajang?

D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan
diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak
merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang
telah ada.10 Ada pun kajian pustaka dari penelitian ini yaitu :
1. Skripsi yang ditulis oleh Syahkrul Amil Mukminin, dalam skripsi
berjudul‚ ‛Analisis Hukum Islam Terhadap paron Sapi di Desa Ragang
10

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, petunjuk teknis penulisan skripsi,
(Surabaya: Fakultas Syariah danEkonomi Islam, 2016),8

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan‛. Skripsi ini membahas
tentang praktik Paron sapi dalam tinjauan hukum Islam. Kesimpulan
dari skripsi ini adalah bahwa sistem Paron yang telah dilakukan oleh
masyarakat di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan
tersebut diperbolehkan karena tidak bertentangan dengan hukum Islam
karena kedua belah pihak yang melakukan akad telah memenuhi
kewajiban dan persyaratan yang ada dan sesuai dengan hukum Islam.11.
2. Skripsi yang ditulis oleh Abu Yasid, dalam skripsi berjudul‚ ‚Analisis
Hukum Islam Terhadap Pemanfaatan Hewan Paron di Desa Gunung
Sereng Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan‛. Skripsi ini
membahas tentang Pemanfaatan Hewan Paron dalam tinjauan hukum
Islam. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa sistem Paron yang
telah dilakukan oleh masyarakat di Desa Gunung Sereng Kecamatan
Kwanyar Kabupaten Bangkalan tersebut diperbolehkan karena tidak
bertentangan dengan hukum Islam karena kedua belah pihak yang
melakukan akad telah sesuai dengan akad yang disepakati dan sesuai
dengan hukum Islam.12
3. Skripsi yang ditulis oleh Fairuz Abadi, dalam skripsi berjudul‚
‚Analisis Hukum Islam Terhadap Konsep Paron Dalam Kerjasama
Penggemukan Sapi di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar

Syahkrul a il uk i i ,”A alisa Huku Islam terhadap paron sapi di desa Ragang kec Waru
Kab Pamekasan”.(Skripsi—UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014).
12
Abu Yasid, ‚Analisis Hukum Islam TerhadapPemanfaatan Hewan Paron Di Desa Gunung
Sereng Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan‛, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya
2015),
11

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

Kabupaten Bangkalan‛. Skripsi ini membahas tentang kerjasama paron
penggemukan sapi dalam tinjauan hukum Islam. Kesimpulan dari
skripsi ini adalah bahwa sistem sistem paron yang ada di Desa Batah
Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan selama ini
dilaksanakan sudah sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Sebab,
pelaksanaan

kerjasama

yang

mereka

laksanakan

berdasarkan

kesepakatan bersama dan tidak ada unsur paksaan.13
4. Penelitian Afia Susilo, dalam sekripsi berjudul, ‚Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Akad Bagi Hasil Pertanian (Muzāra’ah) studi kasus di
Desa Dalangan Kecamatan Tulung Kabupaten Klaten‛, Hasil skripsi
Afia Susilo menjelaskan bahwa akad Muzāra’ah di Desa Dalangan
Kecamatan Tulung Kabupaten Klaten antara pemilik tanah dengan
penggarap belum sesuai dengan hukum Islam, karena dalam praktik

Muzāra’ah tersebut mengandung unsur (ketidak jelasan) pada objek
akad dengan bagi hasil yang menyebabkan terjadi perbedaan antara
tujuan akad aslinya dengan akad yang terjadi.14
Skripsi yang akan diteliti oleh peneliti berbeda dengan skripsi
yang telah disebutkan diatas, yaitu membahas tentang proses pembagian
hasil gabah waktu panen yang menggunakan sistem gembreng yang
terjadi di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.

13

Fairuz Abadi A, ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Konsep Paron Dalam Kerjasama
Penggemukan Sapi Di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan‛, (Skripsi-UIN Sunan Ampel Surabaya 2015), 60.
14
Afia Susilo, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Bagi Hasil Muzara’ah (Studi Kasus di
Desa Dalangan, Kabupaten Klaten‛, (Skripsi--Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah titik akhir yang akan dicapai dalam
sebuah penelitian dan juga menentukan arah penelitian agar tetap dalam
koridor yang benar hingga tercapainya sesuatu yang dituju.15 Tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui bagaimana Praktek kerjasama maro sawah
sistem gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten
Lumajang?
2. Untuk mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam terhadap
kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang
Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang?

F. Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.

Aspek teoritis
Dengan adanya penelitian ini penulis berharap semoga
dapat mengembangkan dan memberikan sumbangsih pengetahuan
terhadap pengembangan hukum Islam khususnya perihal praktek
kerjasama maro sawah dengan sistem gembreng yang di dalam
istilah Islam kerjasma bagi hasil maro sawah dikenal dengan
Musāqah, Muzāra’ah dan Mukhabārah.

15

Haris Herdiansyah, ‚Metodologi Penelitian Kualitatif‛, (Jakarta Selatan: Salemba Humanika,
2010), 89.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

2.

Aspek praktis
Diharapkan dengan adanya penelitian ini bergiuna bagi
mahasiswa

untuk

meningkatkan

kapasitas

keilmuan

dan

diharapkan pula agar bisa membantu petani untuk lebih
mengetahui terkait apa yang dibahas dalam skripsi ini.

G. Definisi Operasional
Definisi operasional yaitu untuk memuat penjelasan tentang
pengertian yang bersifat operasional dari konsep atau variabel penelitian
sehingga bisa dijadikan acuan dalam menelusuri, menguji atau mengukur
variabel

tersebut

melalui

penelitian.16

Penelitian

ini

berjudul

‚KERJASAMA MARO SAWAH SISTEM GEMBRENG DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI DESA PADANG
KECAMATAN

PADANG

KABUPATEN

LUMAJANG)‛

Untuk

memudahkan pemahaman dalam judul penelitian ini, maka perlu untuk
menjelaskan secara operasional agar terjadi kesepahaman dalam
memahami judul skripsi.
Hukum Islam

: Adalah peraturan-peraturan dan ketentuan
hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan

as-Sunnah.17 Aturan

yang dimaksud

kerjasama maro sawah sistem gembreng
16

Fakultas Syari’ah UIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: Fakultas
Syari’ah, 2016), 9.
17
Anwar Harjono, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman-Islami, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1995), 83.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

dalam skripsi ini yaitu syarat dan rukun
Muzāra’ah menurut pendapat ulama.
Kerjasama maro sawah
Dengan Sistem gembreng

: Kerjasama dimana antara pemilik dan
pekerja

membagi

hasil

sawah

menggunakan takaran gembreng

H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research)
terhadap ‚KERJASAMA MARO SAWAH SISTEM GEMBRENG
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI DESA
PADANG KECAMATAN PADANG KABUPATEN LUMAJANG)‛
dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Kemudian untuk
memberikan gambaran yang baik, dibutuhkan serangkaian langkah yang
sistematis. Adapun langkah-langkah tersebut terdiri dari, data yang
dikumpulkan, sumber data, teknik analisis data, dan sistematika
pembahasan.
1. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hal-hal yang
berkenaan dengan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini
sesuai dengan rumusan masalah diatas. Data yang akan dikumpulkan
dalam penelitian ini meliputi:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

a.

Data gambaran umum lokasi penelitian yang terletak di Desa
Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.

b.

Data tentang praktek kerjasama maro sawah dengan sistem
gembreng.

c.

Data akibat kerjasama maro sawah dengan sistem gembreng.

2. Sumber Data
Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan
penelitian lapangan (field research) yang mengkhususkan pada kasus
yang terjadi di lapangan dengan tetap mengarah pada konsep-konsep
yang ada seperti sumber dari kepustakaan maupun dari subyek
penelitian sebagai bahan data pendukung. Adapun sumber-sumber
dalam penelitian ini didapat dari sumber primer dan sumber sekunder
yaitu:
a.

Sumber Primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber subyek
penelitian.18 Yakni sumber data dari informasi atau wawancara
dengan para petani pada khususnya antara pemilik sawah (Pak
Tasan dan Pak Buari) dan penggarap sawah (Pak Jai) sebagai
pihak yang melakukan kerjasama.

b.

Sumber Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari bahan kepustakaan. Data
sekunder merupakan data pendukung proyek penelitian dan

18

Restu Kartiko Widi, Asas Metodelogi Penelitian, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010), 236.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

sebagai pelengkap data primer, mengingat data primer merupakan
data praktik dalam lapangan.19 Karena penelitian ini merupakan
penelitian yang tidak terlepas dari kajian hukum Islam, maka
penulis menempatkan sekunder data yang berkenaan dengan
kajian-kajian tersebut sebagai sumber data sekunder. Adapun
buku-buku atau literatur yang menjadi sumber data sekunder
dalam skripsi ini meliputi:
1. Sudarsono, Pokok- pokok Hukum Islam.
2. Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Hukum Bisnis dan Sosial.
3. Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah.
4. Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat.
5. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12.
6. Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Observasi, yaitu suatu penggalian data dengan cara mengamati,
memperhatikan, mendengar dan mencatat terhadap peristiwa,
keadaan, atau hal lain yang menjadi sumber data.20 Dalam hal ini
penulis akan melakukan observasi di Desa Padang Kecamatan

19

Andi Prastowo, Memahami Metode-Metode Penelitian, ( Yogyakarta : Ar-Ruz Media, 2011),
33.
20
Adi Riyanto, Metodologi Penelitian Social dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), 70.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

Padang Kabupaten Lumajang guna mengetahui secara langsung
praktek yang dilakukan oleh pelaku kerjasama maro sawah tersebut
b. Wawancara (interview), yakni proses percakapan dengan maksud
untuk

mengonstruksi

mengenai

orang,

kejadian,

kegiatan,

organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan yaitu
pewawancara dan narasumber. Oleh karena itu wawancara
merupakan metode pengumpulan data yang amat terkenal, karena
itu banyak digunakan di berbagai penelitian.21 Adapun dalam
penelitian ini yakni dengan melakukan wawancara langsung kepada
para pihak terkait yang diperlukan dalam penelitian, khususnya
pemilik sawah dan penggarap sawah.
c. Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melihat
atau mencatat suatu laporan yang telah tersedia. Dengan kata lain,
proses penyampaiannya dilakuan melalui data tertulis yang memuat
garis besar data yang akan dicari dan berkaitan dengan judul
penelitian.22 Dokumentasi ini merupakan data konkrit yang bisa
penulis jadikan acuan untuk memperoleh data-data yang digunakan
penulis sebagai landasan teoritis.

21

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006),
143.
22
Ahmad Tanzeh, Metodologi Penelitian Praktis, (Yogyakarta: Teras, 2011), 94.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

4. Teknik Pengolahan Data
Setelah data berhasil dikumpulkan dari lapangan maupun
penulisan. Maka peneliti menggunakan teknik pengolahan data dengan
tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Organizing, yaitu menyusun data yang diperoleh secara sistematis
terhadap kerjasama maro sawah dengan sistem gembreng di Desa
Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.
b. Editing, yaitu data yang sudah dikumpulkan tersebut lalu diperiksa
kembali secara cermat. Pemeriksaan tersebut meliputi segi
kelengkapan sumber informasi, kejelasan makna, kesesuaian dan
keselarasan

antara

satu

dan

yang

lainnya,

relevansi

dan

keseragaman data mengenai kerjasama maro sawah dengan sistem
gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.
c. Analizing, yaitu menganalisa data-data tersebut sehingga diperoleh
kesimpulan-kesimpulan tertentu.
5. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, yaitu data dari hasil lapangan maupun
pustaka, maka dilakukan analisa data secara kualitatif melalui
pendekatan deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif, yaitu data
yang telah diperoleh dari proses penalaran untuk menarik kesimpulan
berupa peinsip atau bsikap yang berlaku khusus berdasarkan atas faktafakta yang bersifat umum., dengan diiringi uraian-uraian yang jelas
mengenai kerjasama maro sawah dengan sistem gembreng di Desa

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang. Sehingga uraianuraian tersebut dapat ditarik pada kesimpulan yang lebih khusus.

I. Sistematika Pembahasan
Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah,
kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi
operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua memuat tentang landasan teori dari penelitian ini yang
berisi definisi Muzāra’ah, landasan hukum Muzāra’ah, hukum Muzāra’ah,
syarat

dan

rukun

Muzāra’ah, macam-macam, berakhirnya akad

Muzāra’ah.
Bab ketiga mengemukakan hasil penelitian tentang pelaksanaan
kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang Kecamatan
Padang Kabupaten Lumajang meliputi: profil Desa Padang Kecamatan
Padang Kabupaten Lumajang dan mekanisme kerjasama maro sawah
sistem gembreng meliputi latar belakang kerjasama maro sawah sistem
gembreng, akad yang digunakan pada kerjasama maro sawah.
Bab keempat memuat tentang analisis terhadap kerjasama maro
sawah sistem gembreng dalam perspektif hukum Islam di Desa Padang
Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

Bab kelima merupakan bab penutup dari keseluruhan isi
pembahasan skripsi, pada bab ini meliputi kesimpulan dan saran dari
penulis.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
Pengertian, Dasar Hukum, Syarat dan Rukun Muzara’ah
A. Muzāra’ah
1. Pengertian Muzara’ah

Menurut etimologi Muzāra’ah adalah

yang mengikuti wazan

dengan

ِ
‫ات‬
ُ َ‫ااَءنُب‬

‫اعلَة‬
َ ‫ُم َف‬

dari kata

‫اَلزرع‬

ُ‫اعة‬
َ ‫اَلْ ُمَز‬

bentuk kata

yang sama artinya

(Menumbuhykan).1 memiliki dua macam arti,

yaitu:
a.

Menabur benih di tanah.

b.

Menumbuhkan
Pengertian yang pertama merupakan arti majaz, sedangkan

pengertian yang kedua adalah makna haqiqi. Oleh karena itu
terdapat larangan seorang manusia mengucapkan‚ saya telah
menumbuhkan hendaklah ia mengucapkan Saya petani.2
Sebagaimana Firman Allah SWT:
َ َ َ
َ
َ ُ َ َ ُ َ َََ
َ ُ ََ
ۡ ۡ ۡ‫ون‬
ۡ ‫لزرِ ُع‬
َۡ ‫نۡٱ‬
ُۡ ‫ن‬
ۡ ۡ‫نتݗۡۡت ۡܲ َر ُعون ُۡهۥۡۡأ ۡم‬
‫ونۡ ۡۡءأ‬
ۡ ‫ت ُܱث‬
ۡ ۡ‫أفܱءيۡتݗۡݘا‬

1

Atabik Ali Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer, (Yogyakarta: yayasan Ali Maksum
Krapyak Yogyakarta, 1999), 1875.
2
Abdur Rahman al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Terj. Moh. Zuhri, 15.

19

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam?
Kamukah

yang

menumbuhkan

ataukah

kami

yang

menumbuhkannya (al-Waqiah 63-64)
Adapun Muzāra’ah menurut terminologi Ulama’ fiqih
sebagai berikut:
a. Menurut mazhab Hanafi

Muzāra’ah menurut pengertian syara’ ialah suatu
akad

perjanjian,

pengelolaan

tanah

dengan

memperoleh hasil sebagian dari penghasilan Tanah
itu.3
b. Menurut mazhab Maliki

Muzāra’ah

menurut

pengertian

syara’

ialah

persekutuan dalam satu akad Perjanjian 4
c. Menurut mazhab Syafi’i
Berpendapat muza>ra’ah adalah kerjasama antara
pemilik

dengan

penggarap

untuk

menggarap

tanahnya dengan imbalan sebagian dari hasil nanti
dibagi menurut kesepakatan bersama, sedangkan
benih diberikan oleh pemilik tanah.5
d. Menurut mazhab Hanabilah

3

Abdul Rahman Al Jaziri, Fiqih Empat Madzhab, Moh. Zuhri dkk, Asy Syifa, Semarang, 1994,
18
4
Ibid., 21.
5
Ibid., 22.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

Mengatakan bahwa Muzāra’ah adalah penyerahan
tanah pertanian kepada seorang petani untuk
digarap dan hasilnya dibagi berdua.6
e. Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri

Muzāra’ah adalah pekerjaan mengelola tanah
dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan
modal pemilik tanah.7
f. Menurut Muhammad Syafi'i Antonio
Adalah kerjasama pengelolahan pertanian antara
pemilik lahan dan penggarap di mana pemiliki
lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami
dan dipelihara dengan imbalan sebagian persentase
dari hasil panennya.8
2. Dasar Hukum Muzāra’ah.

Dalil-dalil

yang

menyatakan

tentang

dibolehkannya

Muzāra’ah antara lain sebagai berikut:
Al-Qur’an Surat al-Waqi’ah ayat 63-64
َ َ َ
َ
َ ُ َ َ ُ َ َََ
َ ُ ََ
ۡ ۡ‫ون‬
ۡ ‫لزرِ ُع‬
َۡ ‫نۡٱ‬
ُۡ ‫ن‬
ۡ ۡ‫نتݗۡۡت ۡܲ َر ُعون ُۡهۥۡۡأ ۡم‬
‫ونۡ ۡۡءأ‬
ۡ ‫ت ُܱث‬
ۡ ۡ‫أفܱءيۡتݗۡݘا‬
Artinya: Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam.
menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya.9
6

Nasoen Haroen, Fiqih Muamalah, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 27.
Suhendi , Fiqih, 216
8
Belajar Ekonomi Syari'ah, faizlife.blogspot.com/2012/04/muzara’ah.html diakses tanggal 12
Juni 2017
9
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, hal 27.
7

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

Al-Qur’an Surat Al-Jum’ah ayat 10
َ
ُ
َ
ُ
ُ َ َ ‫ََ َ م‬
َ
َ ‫ ۡقُض َيتِۡ ۡٱ‬٤‫فَإ َذ‬
ُ ِ َ‫لصݖَوۡۡةُ ۡ ۡفَٱنت‬
ۡۡ‫ِيا ۡل َعݖكݗ‬
ۡ ‫ّ ۡكث‬
ۡ ‫ل ۡٱ‬
ِۡ ‫ض‬
ۡ ‫ ۡݘِن ۡف‬٤‫و‬
ۡ ‫ض ۡ َوۡٱ ۡب َۡتغ‬
ۡ ِ ۡ‫ل‬
ۡ ‫ف ۡٱ‬
ۡ ِ ۡ ۡ٤‫ِو‬
ۡ ‫ۡ ۡٱ‬٤‫ِّ ۡ َۡوٱ ۡذك ُܱو‬
ِ
ِ
َ ُ ُ
ۡ٠ۡ‫ون‬
ۡ ‫تفۡݖ ِح‬
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyakbanyak supaya kamu beruntung.10
3. Rukun-Rukun Muzāra’ah

Rukun merupakan suatu yang harus ada, tanpa adanya
rukun maka Muzāra’ah tidak akan dibilang sah, hal tersebut
merupakan prinsip mendasar yang harus dipenuhi dalam

Muzāra’ah seperti ijab dan qabul dalam masalah jual beli, tanpa
adanya ijab qabul jual beli itu tidaklah sah, karena ijab qabul
merupakan rukun jual beli.
Demikian juga dalam masalah muza>ra’ah tentulah ada
unsurunsur (rukun) yang dapat menyebabakan sahnya suatu
perjanjian muza>ra’ah. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat
dalam menetapkan rukun-rukun tersebut.
Pendapat itu antara lain:
a. Ulama’- ulama’ Hanafiah
Menurut ulama’ Hanafiyah rukun muza>ra’ah antara
lain ijab qabul yaitu perkataan pemilik tanah
kepada penggarap. Akan tetapi, sebagian ulama

10

Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, hal 267

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

Hanafi mengatakan bahwa sahnya rukun muza>ra’ah
ada 4 macam:
1) Ada tanah yang dikelolah
2) Pekerjaan yang dilakukan pengelola
3) Benih
4) Alat Pertanian11
b. Ulama’- ulama’ Malikiyah
Menurut Ulama Maliki mengatakan bahwa rukun
muza>ra’ah adalah segala sendi yang menjadikan
muza>ra’ah itu berjalan sesuai dengan aturan yang
benar. Dan ada tiga macam pendapat mengenai
rukun muza>ra’ah yaitu:
1) Bentuk kerjasama itu dianggap berlangsung
dengan ijab qabul semata.
2) Bahwa kerjasama itu dianggap berlangsung
dengan ijab qabul serta adanya upaya
pengelola tanah seperti membajak dan
meratakan tanah.
3) Kerjasama itu tidak dapat berlangsung
kecuali setelah adanya penaburan benih.12
c. Ulama’- ulama’ Syafi’iyah
11

Abdul Rahman Al Jaziri, Fiqih Empat Madzhab, Moh. Zuhri dkk, Asy Syifa, Semarang, 1994,
24.
12

Ibid.,

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

Menurut ulama Syafi’iyah rukun muza>ra’ah antara
lain:
1) Pemilik tanah
2) Petani penggarap
3) Objek muza>ra’ah yaitu antara manfaat
tanah dan hasil kerja petani
4) Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari
pemilik tanah) qabul (pernyataan penerima
tanah untuk digarap dari petani).13
d. Ulama’- ulama’ Hanabilah
Menurut

ulama

Hanabilah

rukum

muza>ra’ah

adalah:
1) Pemilik tanah
2) Petani penggarap
3) Objek muza>ra’ah yaitu anatar tanah dan
hasil kerja petani
4) Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari
pemilik tanah) dan Qabul (pernyataan
penerimaan
petani).14

tanah
Namun,

untuk

digarap

ulama

dari

hanabilah

mengatakan bahwa penerimaan (qabul) akad
13

Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2000), 278.

14

Abdul Aziz Dahlan(ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Hoeve, 2006),
1273.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

muza>ra’ah tidak perlu diungkapkan, tetapi
boleh juga dengan tindakan yaitu petani
langsung menggarap tanah itu.15

4. Syarat-syarat Muza>ra’ah

a. Mazhab Hanafi
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut ulamaulama mazhab Hanafi meliputi:
1) Aqid

(orang yang mengadakan kesepakatan )

minimal seorang aqid harus memenuhi dua syarat:
a) Aqid harus berakal.
b) Tidak murtad.
2) Tanaman harus jelas dengan menjelaskan tanaman
apa yang akan ditanam. Adapun syarat mazru
(tanaman yang ditanam) sebagaimana tanaman
yang biasanya ditanam terutama yang sesuai
dengan

cara

muza>ra’ah,

syarat-syarat

yang

berkaitan dengan hasil yang diperoleh dari tanaman
antara lain:
a) Hasil yang diperoleh teruslah diterangkan
dalam akad.

15

Ibid,.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

b) Hasil yang diperoleh merupakan barang
yang disekutukan antara dua orang yang
bersepakat (berakad).
c) Bagian hasil yang diperoleh berupa bagian
yang belum dibagi secara garis besar antara
dua orang yang berakad.
3) Syarat-syarat tanah yang ditanami antara lain:
a) Tanahnya harus subur ditanami.
b) Tanah yang akan ditanami harus jelas.
c) Tanahnya diserahkan secara penuh dan
terlepas dari segala halangan yang yang
merintangi penggarapan.
4) Syarat-syarat

yang

berkaitan

dengan

waktu

muza>ra’ah antara lain:
a) Waktu harus ditentukan.
b) Waktunya layak untuk terselenggaranya
pengelolahan tanah sampai selesai.
c) Waktunya terbentang selama-lamanya.
b. Mazhab Maliki
Dalam masalah akad muza>ra’ah ulama Maliki memberikan
syarat sebagai berikut:
1) Akad penyewaan tanah tidak mengandung sesuatu
yang terlarang.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

2) Dua orang yang bekerjasama hendaknya bersamasama dalam memperoleh keuntungan artinya
masing-masing

memungut

keuntungan

sesuai

dengan modal yang diserahkan jadi salah satu pihak
menyerahkan separuh yang dibutuhka maka ia tidak
boleh memungut hasilnya lebih dari sepertiga.
3) Mencampurkan bahan makanan pokok dari masingmasing orang yang bekerja sama.
4) Masing-masing dari orang yang bekerjasama
mengeluarkan benih yang sama dengan benih
kawannya dalam jenis dan sifatnya.16
c. Mazhab Syafi’i.
Sedangkan syarat-syarat muza>ra’ah menurut ulama syafi’i
antara lain:
1) Akad musaqah dan akad muza>ra’ah di jadikan satu,
kalau akadnya sendiri sendiri maka akad tersebut
tidak sah (batal).
2) Akad muza>ra’ah dan musaqah bersambung artinya
akad muza>ra’ahlah yang mengikuti akad musaqah.
3) Mendahulukan akad musaqah dari akad muza>ra’ah.
4) Hendaklah berhati-hati terhadap penggunaan akad
musaqah dengan tanpa merawat hasil itu jika tidak
16

Abdur rahman al-jaziri, Fiqih Empat Madzhab, Moh. Zuhri dkk, Asy Syifa, Semarang, 1994, 43

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

tetap menyirami pohon (tumbuh-tumbuhan) atau
pohon kurma salah satunya, apabila hasil itu
dimungkinkan dan sesugguhnya praktek diatas
seperti itu sah, dengan memberi upah secara
kontinyu terhadap muza>ra’ah akan tetapi syarat ini
tidak tetap.17
d. Mazhab Hanabilah
Adapun

muza>ra’ah

syarat-syarat

menurut

ulama

Hanabilah antara lain18:
1) Orang yang melangsungkan akad.
Untuk orang yang melakukan syarat dilakukan
bahwa keduanya adalah orang yang telah baligh dan
berakal, karena kedua syarat inilah yang membuat
seseorang dianggap lebih cakap bertindak hukum.
2) Benih yang akan ditanam.
Syarat yang menyangkut benih yang ditanam harus
jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu,
benih

yang

ditanam

itu

jelas

dan

akan

menghasilkan.
3) Tanah yang akan dikerjakan.
Syarat yang menyangkut benih yang ditanam harus
jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu,
17
18

Ibid.,17.
Abdul Aziz Dahlan(ed), Ensiklopedi Hukum Islam, hal 1273

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

benih

yang

ditanam

itu

jelas

dan

akan

menghasilkan. Tanah yang akan dikerjakan :
a) Menurut adat dikalangan petani tanah itu
boleh digarap dan menghasilkan jika tanah
itu boleh digarap dan menghasilkan jika
tanah itu adalah tanah yang tandus dan
kering sehingga tidak memungkinkan untuk
dijadikan

tanah

pertanian

maka

akad

muzara’ah> tidak sah.
b) Batas tanah itu harus jelas.
c) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada
petani untuk digarap apabila disyaratkan
bahwa pemilik tanah ikut mengelola tanah
pertanian itu, maka akad muzara’ah> itu
tidak sah.
4) Hasil yang akan dipanen
Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen
adalah sebagai berikut:
a) Pembagian hasil panen bagi masing-masing
pihak harus jelas.
b) Hasil itu benar-benar milik bersama orang
yang

berakad

tanpa

boleh

ada

pengkhususan.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

30

c) Pembagian hasil panen itu (1/2) setengah,
(1/3) sepertiga atau (1/4) seperempat sejak
dari awal akad sehingga tidak timbul
perselisihan

di

kemudian

hari

dan

penetuannya tidak boleh berdasarkan jumlah
tertentu secara mutlak seperti 1 kwintal
untuk pekerja atau satu karung karena
kemungkinan seluruh hasil panen jauh di
bawah jumlah itu atau dapat dengan jauh
melampaui jumlah itu.
d) Syarat yang menyangkut jangka waktu yang
harus dijelaskan dalam akad sejak semula,
karena akad muzara’ah mengandung akad
ijarah (sewa menyewa atau upah-mengupah)
dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh
karena itu, jangka waktunya harus jelas,
untuk penentuan jangka waktu itu biasanya
disesuaikan

dengan

adat

kebiasaan

setempat.19
e. Pendapat Jumhur Ulama’.
Jumhur Ulama’ yang membolehkan akad muza>ra’ah
mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi,
19

Abdul Aziz Dahlan(ed), Ensiklopedi Hukum Islam, hal 1273.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

31

sehingga akad dianggap sah.20 Rukun muza>ra’ah menurut
mereka adalah:
a) Pemilik lahan.
b) Petani penggarap.
c) Objek muza>ra’ah, yaitu antara manfaat lahan dan
hasil kerja petani.
d) Ijab dan qabul.
Adapun syarat-syarat yang muza>ra’ah menurut
jumhur ulama’ adalah ada yang menyangkut orang
yang berakad, benih yang akan ditanam dan lahan
yang dikerjakan hasil yang akan dipanen dan dan
jangka waktunya berlakunya akad. Untuk orang
yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya
harus orang yang telah baligh dan berakal dan
kedua syarat inilah yang membuat seseorang
dianggap telah cakap bertindak hukum. Pendapat
lain

dari

kalangan

ulama

Mazhab

Hanafi

menambahkan bahwa salah seorang atau keduanya
bukan orang yang murtad karena tindakan hukum
orang yang murtad dianggap mauquf. Akan tetapi,
Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan AsySyafi’I tidak menyetujui syarat tambahan ini,
20

Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2000), 278.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

32

karena menurut mereka akad muza>ra’ah boleh
dilakukan antara muslim dan non muslim termasuk
orang murtad.21
Syarat yang menyangkut benih ditanam harus jelas,
sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu benih yang ditanam
itu jelas dan akan menghasilkan, sedangkan syarat yang
menyangkut lahan pertanian adalah:
a. Menurut adat dikalangan petani, lahan itu bisa diolah dan
menghasilkan jika lahan tersebut adalah lahan yang tandus
dan kering sehingga tidak mungkin dijadikan lahan
pertanian maka akad muza>ra’ah tidak sah.
b. Batas-batas lahan itu jelas.
c. Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk
diolah. Apabila disyaratkan bahwa pemilik lahan ikut
mengelola pertanian itu, maka akad muza>ra’ah tidak sah.
Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah
sebagai berikut:
a. Pembagian hasil panen untuk masing-masing pihak harus
jelas.
b. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad,
tanpa ada pengkhususan.

21

Prof. DR. Rahmat Syafe’i, MA, Fiqih Muamalah,208

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

33

c. Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga,
atau seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak
timbul perselisihan di kemudian hari dan penentuannya
tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak
seperti satu kwintal untuk pekerjaan atau satu karung
karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah
jumlah tersebut atau dapat dengan jauh melampaui jumlah
itu.
Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus
dijelaskan dalam akad sejak semula karena akad muza>ra’ah
mengandung makna akad ijarah ( sewa menyewa atau upah )
dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka
waktu harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini, biasanya
disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat. Untuk objek akad
jumhur Ulama’ membolehkan muza>ra’ah mensyaratkan juga harus
jelas baik berupa jasa petani sehingga benih yang akan ditanam
datangnya dari pemilik lahan maupun pemanfaatan lahan sehingga
benihnya dari petani.
Imam Abu Yusuf dan Muhammmad bin Hasan AsySyaibani menyatakan