Nilai-nilai al-Qur'an dalam Pancasila: pendekatan Tafsir Maqasidi atas Pancasila sila pertama dan kedua.

(1)

NILAI-NILAI AL-QURAN DALAM PANCASILA

(Pendekatan Tafsir Maqa>s}idi Atas Pancasila, Sila Pertama Dan Kedua)

Skripsi:

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Dalam Ilmu Alquran Dan Tafsir

Oleh:

MOKH. KHUSNI MUBAROK (E83213162)

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Mokh. Khusni Mubarok, Nilai-nilai Pancasila Dalam Al-Qur’an

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1). Bagaimanakah tafsir maqa>s}idi dalam posisinya sebagai metode penafsiran al-Qur’an? 2). Bagaimana aplikasi tafsir maqa>s}idi dalam memahami pesan-pesan al-Qur’an yang mempunyai relevansi dengan Pancasila, sila pertama dan ke dua?

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab secara metodologis kesesuaian antara nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam Pancasila, sila pertama dan ke dua dengan pesan-pesan al-Qur’an. Oleh karena itu, tidak ada alasan bahwa Pancasila bertentangan dengan al-Qur’an atau mempertentangkannya.

Penelitian ini berangkat dari adagium, bahwa al-Qur’an S{a>lih likulli Zama>n Wa Maka>n, yakni bahwa ajaran-ajaran yang dibawa al-Qur’an senantiasa relevan setiap waktu maupun tempat. Maka, mengenai diskursus Pancasila ini, al-Qur’an diharapkan mampu menjawab secara tepat, elegan, tidak condong ke kutub kanan (ekstrem), pun juga ke kutub kiri (liberal).

Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) dan menggunakan metode maudu’i dan pedekatan maqa>s}idi (pendekatan maqa>s}id atau tujuan-tujuan al-Qur’an), yaitu mencari ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai pesan-pesan yang sama dengan topik yang dimaksud, kemudian memahami berdasarkan pendekatan aspek maqa>s}id al-Qur’an dan maqa>s}id al-shari>ah.

Dari penelusuran pesan-pesan yang terdapat dalam sila pertama dan ke dua, maka ditemukan beberapa pesan ideologis, 1). Tauhid 2). Agama sebagai nilai fundamental dalam konteks kenegaraan 3). Kebebasan beragama 4). Kemanusiaan 5). Hak Asasi Manusia. Selanjutnya seluruhnya akan coba dikorelasikan dengan konsep-konsep maqa>s}id, juga dengan menukil beberapa tafsir dari para pakar maqa>s}id dan akan coba dianalisis secara mendetail.

Dengan demikian, akan dapat disimpulkan bahwa tiga pesan pertama sesuai dengan konsep maqasid shariah Hifdz} al-di>n dan selebihnya merupakan manifestasi dari Hifdz} al-nafs.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM………..……… i

ABSTRAK………..……… ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI……….…..……….. ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI…………..……… iv

PERNYATAAN KEASLIAN………. v

MOTTO………. vi

DEDIKASI……… vii

KATA PENGANTAR……… viii

DAFTAR ISI……….. xii

PEDOMAN TRANSLITERASI……… xv

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang………. 1

B. Identifikasi Dan Batasan Masalah……… 8


(8)

D. Tujuan Penelitian……… 9

E. Manfaat Penelitian……… 9

F. Telaah Pustaka……… 10

G. Metode Penelitian……… 12

H. Sistematika Pembahasan……… 15

BAB II: PANCASILA: PENGERTIAN, SEJARAH, LANDASAN IDEOLOGI DAN FILOSOFINYA A. Pengertian Dan Sejarah Konseptualisasi Pancasila……… 17

B. Pancasila Sebagai Landasan Ideologi, Dasar Falsafat Bangsa Dan Negara Indonesia……… 26

C. Pengertian Dan Perkembangan Tafsir Maqa>s}idi……… 30

D. Tujuan-tujuan Umum (al-Maqa>s}id al-‘A>mmah) Dalam Al-Qur’an…… 35

E. Prinsip-prinsip dasar tujuan (maqa>s}id) al-shari>ah……… 43

BAB III: NILAI-NILAI AL-QUR’AN DALAM PANCASILA: PENDEKATAN TAFSIR MAQA<S{IDI PADA SILA PERTAMA DAN KE DUA A. Relevansi Pesan-pesan Al-Qur’an Dengan Sila Pertama Dan Ke Dua Pancasila………..… 51


(9)

BAB IV: KONTEKSTUALISASI PESAN-PESAN AL-QUR’AN ATAS NILAI -NILAI PANCASILA: STUDI ANALISIS MAQA>S}ID AL-QUR’AN

A. Kontekstualisasi Maqa>s}id Dalam Sila Pertama………83 B. Kontekstualisasi Maqa>s}id Dalam Sila Ke Dua….………96

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan………105

B. Saran-saran………..………..107


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Diskurus al-Siya>sah al-Isla>miyah atau Politik Islam merupakan sesuatu yang tidak akan pernah habis dikaji, baik lintas waktu maupun tempat. Sebuah pertanyaan, al-isla>m d>i>n? au al-isla>m di>n wa dawlah? apakah Islam adalah dogma yang hanya mengatur urusan agama atau juga meliputi aspek politik merupakan jawaban yang problematik dan debatable yang hingga kini masih terjadi perbedaan pendapat baik di kalangan ulama maupun cendekiawan muslim. Hal ini, karena al-Qur’an tidak pernah secara tersurat mengemukakan jawabannya. Al-Qur’an hanya mengemukakan ajaran yang mengandung nilai-nilai yang harus dipegang oleh para pemeluknya dalam segala aspek kehidupan, hal ini tak terkecuali dalam masalah politik.

Ayat-ayat yang berkonotasi politik, seperti term “khali>fah, khila>fah”, “al-hukm” “hudu>d” “muslim” atau “kufr” dan lainnya hingga kini terjadi perbedaan

pendapat dalam menafsirkannya. Sebagian kalangan mengatakan bahwa khilafah dalam perspektif konsep kenegaraan merupakan fardu ain yakni kewajiban bagi seluruh umat Islam yang harus dilaksanakan dan sebagian lain mengatakan tidak. Hal tersebut karena al-Qur’an tidak pernah sama sekali berbicara tentang sistem pemerintahan. Oleh karena itu, menurut argumen pendapat kedua ini, bahwa dalam


(11)

2

sejarah Islam terjadi beberapa masa yang berbeda dalam merumuskan faham kenegaraan. Ada yang menghendaki khilafah ada lagi yang menghendaki sistem kerajaan (al-mulk). Hal tersebut belum lagi, pendapat madzhab Shiah yang berpendapat akan sistem ima>mah sebagai syarat keabsahan suatu pemerintahan.

Dalam sejarah modern, setelah bergantinya sistem pemerintahan Turki, dari khilafah menjadi republik sekuler di bawah rezim Kemal Attaturk (tahun 1924), maka negara-negara di dunia, termasuk negara-negara Islam satu persatu mendirikan negara secara mandiri (national state). Sebagian masih menjadikan dasar-dasar al-Qur’an sebagai hukum undang-undang konstitusional (da>r al-isla>m),1 sebagian lagi tidak (sekuler). Dalam konteks Indonesia, maka negara ini mempunyai ke-khasan tersendiri yang berbeda dengan negara-negara lain. Indonesia bukan menjadi negara agama, bukan juga menjadi sekuler, tetapi mengambil jalan tengah di antara keduanya, yakni negara yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan demokrasi yang dianut bukan seperti demokrasi liberal sebagaimana yang ada di barat tetapi demokrasi Pancasila. Yakni demokrasi yang menjadikan nilai-nilai yang ada dalam lima pasal Pancasila (termasuk sila ketuhanan yang mencakup aspek agama) sebagai landasan utama. Ini tentu berbeda dengan yang lain. Hal ini akan penulis paparkan pada bab ke dua nanti.

1

Walaupun demikian, negara-negara yang mengklaim da>r al-Isla>m yang ada dewasa ini, tentu sangat berbeda dengan da>r al-Isla>m yang ada di masa klasik lalu. Karena negara-negara tersebut, seperti Saudi, Pakistan, Brunai dan lain lain, walaupun undang-undang konstitusionalnya memakai al-Qur’an dan Sunnah, tapi dalam konsepnya mereka tetap memakai sistem negara kebangsaan (national state), bukan negara khilafah.


(12)

3

Berbicara mengenai Pancasila, Soekarno 1956, sebagai sala satu perumusnya menyatakan bahwa Pancasila adalah suatu Weltanschauung, yang artinya suatu dasar falsafah. Pancasila adalah suatu dasar pemersatu yang diyakini bahwa bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila ini. Senada dengan Soekarno, Yudi Latif menambahkan bahwa Pancasila adalah warisan dari jenius nusantara, sesuai dengan karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri kelautan yang ditadabburi pulau pulau (archipelago), jenius nusantara yang merefleksikan lautan.2 Dua pendapat tersebut merupakan pandangan yang berangkat dari realitas sosial di mana Pancasila berdiri dan aplikasi Pancasila dalam konteks kekinian.

Adanya Pancasila sebagai dasar negara ini tidak berangkat dari ruang hampa. Pada fase sebelum kemerdekaan, ada tarik ulur di antara founding fathers dalam menentukan dasar Negara yang akan dipakai pasca kemerdekaan. Apakah akan menjadikan Indonesia sebagai Da>r al Isla>m atau Negara Islam, atau Negara sekuler. Terjadi pertarungan gagasan yang cukup lama dalam beberapa sidang penting, baik BPUPKI maupun PPKI yang berjalan hingga beberapa kali. Pada akhirnya kemudian terjadi kesepakatan di antara para perumus tersebut untuk mengambil jalan tengah, yakni menjadikan Indonesia sebagai Negara Pancasila.

Rumusan Pancasila yang telah disepakati ini secara objektif dikagumi oleh seorang ahli tentang Indonesia, dari Cornell University USA, George MC Turner

2

Dedi Mulyadi, Internalisasi Nilai Nilai Ideologi Pancasila: Dalam Dinamika Demokrasi Dan Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2014), 1.


(13)

4

Kahin dan Filsuf besar Bertrand Russel. Pancasila merupakan karya besar bangsa Indonesia di tengah tengah pandangan filsafat dan ideologi besar dunia dewasa ini.3 Berkat Pancasila, ribuan pulau, suku, budaya dan agama bisa hidup tentram hingga dewasa ini sebagai suatu bangsa yang satu. Menurut pandangan para islamis yang berhaluan moderat, ada dua alasan sederhana untuk menerima Pancasila sebagai ideologi Negara, yaitu sejalan dengan nilai-nilai dan ajaran Islam dan Pancasila selama ini mampu menjamin kebaikan konstitusional bagi keseluruhan rakyat Indonesia. Pancasila adalah pegangan primer dalam perikehidupan masyarakat Indonesia dan agama-agama adalah seperangkat aturan dan ajaran ila>hiah. Di mana pada prinsipnya, Pancasila memuat nilai-nilai dasar kemanusiaan, yang mempunyai rajutan erat dengan human dignity (martabat manusia). Dan human dignity adalah fondasi kuat semua nilai moral dasar ideologi Pancasila.4

Penerimaan golongan moderat ini bukan tanpa dasar. Karena jika melihat konteks sosio historis, maka rumusan Pancasila ini juga mempunyai rujukan yang sama dalam Islam, yakni dalam Piagam Madinah yang dianggap sebagai konstitusi pertama dalam Islam. Nabi Muhammad Saw datang ke Madinah, sebuah kota yang terdiri dari banyak suku, budaya dan agama. Untuk menjamin kesamaan dan keadilan antara kaum muslim dan non muslim, maka dirumuskanlah piagam Madinah. Umat Islam mempunyai kedudukan yang sama, dalam mendapatkan hak hak kebijakan

3

Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis Dan Aktualisasinya, (Yogjakarta: Paradigma, 2013), xi.

4

Makmun Rasyid, Hizbut Tahrir Indonesia: Gagal Faham Khilafah (Tanggerang: Pustaka Kompas 2016), xiv.


(14)

5

publik, ekonomi dan juga kewajiban yang sama dalam melindungi Madinah dari serangan luar. Demikian telah dikemukakan beberapa hal tentang Pancasila. Namun di tengah pengakuan dari berbagai kalangan dan juga penerimaan seluruh komponen rakyat Indonesia, termasuk dari kalangan ulama, dewasa ini muncul ideologi-ideologi Islam trans-nasional yang sering mengeluarkan fatwa-fatwa dan statement yang radikal yang menolak Pancasila.

Mereka mengatakan, bahwa Pancasila adalah ideologi tha>guth (berhala) yang haram diikuti. Pandangan-pandangan HTI ini karena mereka tidak memahami sejarah bangsa Indonesia, juga sejarah konseptualisasi Pancasila dimana pada waktu itu banyak terdapat benturan pemikiran. Implikasi dari pandangan HTI tersebut, bahwa penduduk yang berdomisili di dalamnya pun boleh jadi akan mendapatkan label yang sama, yakni ka>fir. Mereka menukil ayat-ayat al-Qur’an sebagai dasar pandangan politiknya, juga pandangan-pandangan dari ulama tradisional, yang kemudian mengesankan seolah olah pandangan mereka mendapatkan restu dari Islam. Lebih jauh, tokoh-tokoh HTI Indonesia, seperti Abu Jibril mengatakan dengan pongah,

‘bahwa orang-orang yang mengikuti Pancasila akan binasa’. Penyataan ini diungkapkan Jibril dalam media propaganda mereka yang bernama VOA Islam.5

Pandangan gerakan-gerakan di atas sama sekali tidak rasional karena mengabaikan aspek maqa>s}id shariah yang merupakan inti dari kandungan al-Qur’an. Maka, tidak sepantasnya membenturkan Pancasila dengan al-Qur’an, karena walau

5

http://utama.seruu.com/read/2016/01/18/269634/ormas-anti-pancasila-tak-layak-hidup-di-bumi-nusantara (diakses: Senen-30 Januari 2016).


(15)

6

secara teks dan lambang, Pancasila tidak ada dalam al-Qur’an, tapi secara substansi seluruh nilai-nilai yang ada dalam lima pasal, seluruhnya sesuai dengan ajaran

al-Qur’an. Beberapa tokoh yang membantah argumen HTI, seperti Masdar Farid Masudi dalam beberapa tulisannya. Menurut Masdar, prinsip ketuhanan yang Maha Esa merupakan landasan spiritual moral negara kesatuan Indonesia.6 Dalam perspektif Islam, konsep ketuhanan yang Maha Esa tidak lain adalah sama dengan tauhid, demikian antara lain bunyi keputusan muktamar NU ke-26 di Situbondo pada 1984. Tafsir ini tidak menafikkan hak hidup agama-agama lain yang hidup di Indonesia. Karena tauhid itulah yang terdalam dan yang paling awal (primordial) dari semua agama-agama yang ada di dunia.7

Penerapan Pancasila selama lebih dari 50 tahun terbukti memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia. Seandainya masih terdapat penyimpangan di sana sini, seperti korupsi, kesenjangan ekonomi, kemiskinan dan berbagai penyimpangan lain, maka keselahan bukan berada di konsep Pancasila tetapi pelaku Pancasila itu sendiri. Jika kita telaah lebih jauh, beberapa poin ajaran dalam Pancasila tenrnyata banyak terdapat kesesuaian dengan pesan-pesan al-Qur’an. Sila pertama, misalnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” Sila ini bisa difahami bahwa Indonesia adalah negara yang beragama (bukan negara agama). Itu artinya ‘agama’ merupakan landasan bagi kehidupan sehari-hari masyarakat, baik dalam hubungan dengan Tuhan, masyarakat ataupun personal keluarga. Redaksi ‘Esa’ dalam kalimat

6

Masdar Farid Masudi, Islam Nusantara: Dari Usul Fiqih Hingga Faham Kebangsaan

(Bandung: Mizan 2015), 288.

7


(16)

7

tersebut juga juga terdapat titik kesamaan dengan prinsip ‘tauhid’ yang ada dalam

Islam. Substansi dari sila ini dapat ditemukan melalui pesan-pesan al-Quran. Misalnya dalam ayat:





















Katakanlah (Muhammad) “Sungguh, apa yang diwahyukan kepadaku ialah bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang maha esa, maka apakah kamu telah berserah diri (kepadaNya)?8

Demikian beberapa paparan singkat dari latar belakang penelitian ini. Maka, melalui penelitian ini, penulis hendak mengkaji pesan-pesan al-Qur’an yang sesuai dengan poin-poin dari pasal-pasal yang telah disebutkan di atas. Data-data yang penulis dapatkan nantinya akan dikemukakan di bab III, dengan menggunakan metode tafsir maqa>s}idi sebagai pendekatan dalam memahami ayat. Pada bab ke IV nantinya penulis akan memberikan analisis secara menyeluruh dan kemudian memberikan jawaban, apakah Pancasila sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dalam syariat Islam atau tidak.

8


(17)

8

B.Identifikasi Dan Batasan Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas, maka ditemukan beberapa permasalahan yang teridentifikasi, di antaranya adalah:

1. Pengertian dan sejarah konstruksi Pancasila

2. Landasan pemikiran, ideologis dan filosofis Pancasila 3. Melacak nilai-nilai Pancasila dalam al-Qur’an

4. Pengertian, sejarah dan tokoh tokoh Tafsir maqa>s}idi

5. Metode dan aplikasi pendekatan Tafsir maqa>s}idi dalam memahami nilai-nilai Pancasila dalam al-Qur’an.

Melihat begitu banyak permasalahan yang teridentifikasi serta keterbatasan waktu, pengetahuan dan tenaga penulis, maka permasalahan yang teridentifikasi di atas perlu dibatasi agar pembahasan dapat mencapai target dan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, pembahasan akan dibatasi pada poin ke 1. Pengertian dan sejarah konstruksi Pancasila, 2. Landasan pemikiran, ideologis dan filosofis Pancasila, 3. Melacak nilai-nilai Pancasila dalam Al-Qur’an dan 5. Metode dan aplikasi tafsir maqa>s}idi dalam memahami nilai-nilai Pancasila terhadap tujuan-tujuan (maqa>sid)

al-Qur’an. Namun mengingat keterbatasan waktu dan sumber, maka pada poin ke 5 tersebut, penulis hanya membatasi pada poin sila pertama dan ke dua bukan seluruh sila, yang mana hanya berbicara tentang ketuhanan, kemanusiaan yang berkeadilan, tentunya dalam potret Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.


(18)

9

C.Rumusan Masalah

Masalah-masalah pokok yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.Bagaimana penafsiran nilai-nilai al-Qur’an yang terkandung dalam Pancasila, sila pertama dan ke dua?

2.Bagaimana aplikasi tafsir maqa>s}idi dalam memahami nilai nilai Pancasila pada sila pertama dan ke dua terhadap tujuan-tujuan (maqa>s}id) al-Qur’an?

D.Tujuan Penelitian

Dalam rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain:

1.Mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Pancasila, baik pengertian, ajaran serta sejarah konseptualisasinya

2.Mengetahui Tafsir maqa>s}idi, metode serta pendekatannya dalam memahami pesan-pesan al-Qur’an dalam Pancasila pada sila pertama dan ke dua.

E.Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk hal-hal sebagaimana berikut:


(19)

10

Diharapkan penelitian ini dapat memperkaya khazanah keilmuan tafsir

al-Qur’an dan memberikan manfaat bagi pengembangan penelitian yang sejenis.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan seputar al-Qur’an, pemahaman kepada masyarakat dan para pengkaji tentang Pancasila dan pentingnya Pancasila bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Diharapkan hal ini sebagai penguat ideologi, bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan pesan-pesan yang ada dalam al-Qur’an. Pancasila sebagai dasar negara selaras dengan lima prinsip dasar dalam syariat Islam (maqa>s}id al-shari>ah), yakni hifz} al-di>n yakni memelihara agama, hifz} al-nafs, memelihara jiwa, hifz} aql memelihara akal, hifz} al-ma>l, memelihara harta dan hifz} al-nasl yang berarti memelihara keturunan. Menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, bermanfaat akan terjaganya lima hal di atas terhadap seluruh lapisan masyarakat. Dan mengganti Pancasila dengan ideologi lain akan memberikan dampak yang sangat berbahaya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

F. Telaah Pustaka

Telaah pustaka dalam penelitian ini bermaksud untuk memberikan kesan keorisinilan penelitian. Namun, sejauh ini belum ditemukan karya-karya ilmiah yang membahas permasalahan serupa dalam bentuk skripsi. Beberapa penelitian yang


(20)

11

sedikit mempunyai sisi kesamaan yang bisa penulis ditemukan adalah sebagai berikut:

1. Di UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, penelitian tentang tafsir maqa>s}idi sudah mulai dilakukan. Ini seperti terlihat dalam skripsi yang ditulis Azmil Mufidah tahun 2013 dengan judul Tafsir Maqa>s}idi: Pendekatan Maqa>s}id Shari>ah T{a>hir Ibn Ashu>r Dan Aplikasinya Dalam Tafsir al-Tahri>r Wa al-Tanwi>r. Namun dalam penelitiannya tersebut, Azmil hanya memaparkan metode maqa>s}id Ibn Ashu>r dan mencontohkan beberapa hal aplikasi penafsirannya dalam kitab al-Tahri>r.

2. Kajian ke dua di UIN Sunan Kalijaga tentang tafsir maqa>s}idi dilakukan oleh Faridatus Sa’adah yang berjudul Tafsir Maqa>s}idi, kajian kitab Ahka>m Al-Qur’an karya Abu Bakar Ibn Ara>bi. Berbeda dengan Azmil yang menjadikan metode Ibn Asyur sebagai objek penelitian, maka di skripsi ini Faridah menjadikan kitab Ahka>m karya Ibn Ara>bi sebagai objeknya dalam memotret aspek maqa>s}id.

3. Kajian tentang Pancasila juga pernah dilakukan oleh Khafidz Ja’far mahasiswa UIN Wali Songo Semarang tahun 2015 dalam skripsinya yang berjudul Pancasila Dalam Perspektif Tasawuf. Dalam penelitian tersebut Khafidz mencoba menghubungkan antara nilai-nilai ajaran Pancasila dengan sistem tasawuf yang ada dalam Islam. Namun ia tidak


(21)

12

menyinggung korelasi Pancasila dengan al-Qur’an dengan memakai sudut pandang tafsir.

4. Kajian tentang Pancasila juga pernah dilakukan oleh Rasyid Muafa dalam artikelnya yang berjudul Pancasila Dalam Perspektif Al-Qur’an.9 Walau demikian, Rasyid hanya sedikit mencantumkan dalil al-Qur’an sebagai pendukung teorinya, sehingga bahasannya terkesan parsial dan tidak mendalam.

G.Metodologi Penelitian 1.Model penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang kerangka ideologis, epistemologis dan asumsi-asumsi metodologis pendekatan terhadap kajian tafsir dengan menelusuri secara langsung pada literatur yang terkait.10

2.Jenis penelitian

Jenis penelitian ini merupakan library research (penelitian kepustakaan) yaitu penelitian yang memanfaatkan sumber kepustakaan untuk memperoleh data

9

http://pancasiladanalquran.blogspot.co.id/2015/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html (akses, Selasa 27 Desember 2017).

10

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 2.


(22)

13

penelitiannya. Dengan cara mencari dan meneliti ayat yang dimaksud, kemudian mengolahnya dengan menggunakan keilmuan tafsir.11

3.Metode penelitian

Dalam rangka untuk memperoleh hasil yang diinginkan, penulis memakai

metode maudu’i (tematik). Menurut Quraish Shihab, metode ini mempunyai langka-langka sebagai berikut:

1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik/tema).

2. Melacak dan menghimpun masalah yang akan dibahas tersebut dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakannya.

3. Mempelajari ayat demi ayat yang berbicara tentang tema yang dipilih sambil memperhatikan Sabab Nuzulnya.

4. Menyusun runtutan ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan ayat sesuai dengan masa turunnya.

5. Memahami korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.

6. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna, sistematis dan utuh. 7. Melengkapi penjelasan ayat dengan hadis, riwayat sahabat, dan lain-lain yang

relevan.

8. Menghimpun masing-masing ayat pada kelompok uraian ayat dengan menyisihkan yang telah terwakili, atau mengompromikan antara yang a>mm (umum), dan kha>ss (khusus). Mutlak dan muqayyad atau yang pada lahirnya

11


(23)

14

bertentangan sehingga semuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan sehingga lahir satu simpulan tentang pandangan al-Qur’an tentang pandangan tema yang dibahas.12

4.Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, yakni mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, kitab dan literatur lainnya. Melalui metode dokumentasi akan dapat diperoleh data-data yang berkaitan dengan penelitian berdasarkan konsep dan kerangka penulisan yang telah dipersiapkan sebelumnya.13

5.Teknik analisis data

Semua data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan analisis tafsir maqa>s}idi, yaitu suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolahnya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari satu atau beberapa pernyataan yang melibatkan beberapa pendapat para mufassir pakar maqa>s}id.

6.Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen perpustakaan yang terdiri dari dua jenis sumber yaitu primer dan sekunder:

12

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati 2013), 389-390.

13

Faiz al-Ayyubi, “Korupsi Dan Prevensinya Dalam Al-Qur’an” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel, 2015).13.


(24)

15

Sumber sumber data primer yang akan digunakan di antaranya adalah: a. Al-Qur’an dan terjemahnya

b. Ijtiha>d Maqa>s}idi, Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah karya Dr. A Halil Thahir

c. Al-Madkhal ila> maqa>s}id al-Qur’an karya Abd al-Kari>m Ha>midi d. Maqa>s}id Shari>ah al-Isla>miyyah karya T{a>hir Ibn Ashu>r

e. Tafsir Al-Tahri>r Wa Al-Tanwi>r karya T{a>hir Ibn Ashu>r

Sedangkan sumber sekunder sebagai rujukan pelengkap bagi penelitian ini, antara lain:

a. Negara Kebangsaan Pancasila, Kultural, Historis, Filosofis Dan Yuridis Dan Aktualisasinya karya Kaelan

b. Tafsir Ja>mi’ al-Baya>n Fi> Ta’wi>l Al-Qur’an, karya Ibn Jari>r al-T{aba>ri

c. Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Quran karya M. Quraish Shihab

H. Sistematika Pembahasan

Penulis menyusun sistematika pembahasan dalam skripsi ini menjadi lima bab, yakni sebagai berikut:

Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, lalu kemudian dilanjutkan dengan sistematika pembahasan.


(25)

16

Bab II menjelaskan tentang Pancasila yang meliputi pengertian dan sejarah konseptualisasi, landasan ideologi, dasar falsafahnya bangsa dan negara Indonesia, pengertian dan perkembangan tafsir maqasidi, maqasid al-amm dalam al-Qur’an, prinsip-prinsip maqasid al-shariah.

Bab III menjelaskan nilai-nilai al-Qur’an dalam Pancasila, pendekatan tafsir maqa>s}idi yang berisi dua bab, relevansi pesan-pesan al-Qur’an dengan sila pertama dan ke dua, aplikasi tafsir maqa>s}idi atas sila pertama dan ke dua.

Bab IV bersisi Studi analisis maqa>s}id al-Qur’an, yakng berisi dua bab, kontekstualisasi maqa>s}id pada sila pertama, kontekstualisasi maqa>s}id dalam sila ke dua.


(26)

BAB II

PANCASILA: PENGERTIAN, SEJARAH, LANDASAN

IDEOLOGI DAN FILOSOFINYA

A. Pengertian Dan Sejarah Konseptualisasi Pancasila

Secara etimologi dalam bahasa Sansekerta (Bahasa Brahmana India), Pancasila berasal dari kata ‘Panca’ dan ‘Sila’. Panca artinya lima,sila atau syila yang berarti batu sendi atau dasar. Kata sila bisa juga berasal dari kata susila, yang berarti tingkah laku yang baik. Jadi secara kebahasaan dapat disimpulkan bahwa Pancasila dapat berarti lima batu sendi atau dasar. Atau dapat juga berarti lima tingka laku yang baik.

Secara terminologi, Pancasila digunakan oleh Bung Karno sejak sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 untuk memberi nama pada lima prinsip dasar negara.1 Eksistensi Pancasila tidak dapat dipisahkan dari situasi menjelang lahirnya negara Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Setelah mengalami pergulatan pemikiran, para pendiri bangsa ini akhirnya sepakat dengan lima pasal yang kemudian dijadikan sebagai landasan hidup dalam berbangsa dan bernegara.

1

Kumawi Basyir dkk, Pancasila Dan Kewarganegaraan, (Surabaya: Sunan Ampel Press 2013), 10.


(27)

18

Pancasila dirumuskan berbeda-beda oleh para perumusnya di masa lalu dan sempat mengalami beberapa perubahan dari waktu ke waktu hingga mencapai rumusan yang sah secara konstitusional dan dipakai hingga dewasa ini.

Menurut Mr. Mohammad. Yamin sebagaimana yang disampaikan dalam sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, isinya sebagai berikut: (1) Prikebangsaan (2) Prikemanusiaan (3) Priketuhanan (4) Prikerakyatan (5) Kesejahteraan rakyat.

Sedangkan menurut Soekarno yang disampaikan pada 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, Pancasila memuat hal sebagai berikut: (1) Nasionalisme atau kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau prikemanusiaan (3) Mufakat atau demokrasi (4) Kesejahteraan sosial dan (5) Ketuhanan yang berkebudayaan. Pancasila dalam piagam Jakarta yang disahkan pada 22 Juni 1945 adalah sebagai berikut: (1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan piagam Jakarta tersebut kemudian mengalami perubahan, dan perubahan ini yang kemudian dianggap sah secara konstitusional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu: (1) Ketuhanan yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab (3) Persatuan Indonesia (4) Kerakyatan yang


(28)

19

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.2

Berbeda dengan latar belakang sejarah perkembangan negara modern di Inggris, Amerika, Prancis dan Rusia, Negara Indonesia perjuangan untuk terwujudnya negara modern diwarnai dengan penjajahan bangsa asing selama 3,5 abad serta akar budaya yang dimilikinya, yang merupakan local wisdom bangsa Indonesia sendiri. Pengalaman sejarah ini memberikan warna sendiri terhadap Indonesia dalam merumuskan negara modern yang demokratis yang berbeda dengan negara-negara lain.

Indonesia resmi sebagai sebuah bangsa, lahir sejak diikrarkannya sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Sebuah ikrar perjanjian luhur (mu’a>hadah) pemuda-pemudi Indonesia yang bertekad untuk satu bangsa, satu tanah air dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indoensia. Peristiwa tersebut merupakan eskalasi tekad bangsa Indonesia untuk bersama-sama merebut kemerdekaan dari cengkraman penjajah, sehingga kemerdekaan berhasil diwujudkan beberapa tahun kemudian.

Perjanjian luhur yang diikrarkan perjanjian luhur yang diiklarkan bangsa Indonesia, tidak semata di bangun atas kesamaan perangai, melainkan lebih pada kesadaran geo-politik, cita-cita, dan nilai-nilai luhur hidup dan mengakar dalam kepribadian bangsa Indonesia. Menurut Bung Karno, bangsa Indonesia melewati perjuangan panjang dengan mempersembahkan segenap pengorbanan dan penderitaan. Bangsa Indonesia lahir menurut cara, dan jalan yang ditempuhnya

2


(29)

20

sendiri, yang merupakan hasil antara proses sejarah, tantangan perjuangan, dan cita-cita masa depan, yang secara keseluruhan membentuk karakter kepribadiannya. Karakter kepribadian bangsa Indonesia inilah yang selanjutnya ditetapkan sebagai pandangan hidup dan dasar negara yakni pancasila. Karena itu, pancasila tidak lahir secara tiba-tiba pada 1 juni 1945. Pancasila merupakan penjelmaan dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia yang telah hidup sejak dahulu hingga sekarang. Pancasila adalah filsafat dan pandangan hidup yang digali melalui pemikiran sedalam-dalamnya dari budaya, sifat dan cita-cita bangsa yang di yakini sebagai kenyataan norma-norma dan nilai-nilai yang paling benar, paling adil, paling baik, dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia. Pancasila merupak titik temu dari pluralitas bagi bangsa Indonesia NKRI yang menjadi perjanjian luhur bangsa, dan pancasila menjadi payung kebinekaannya.3

Menjaga perjanjian luhur anak bangsa merupakan tugas bagi generasi bangsa. Oleh karena itu, ormas-ormas Islam di Indonesia termasuk NU sejak awal hingga era-kemerdekaan, era ordelama, era ordebaru, dan era reformasi, senantiasa menunjukkan kesetiaan dan komitmen dan NKRI sebagai negara bangsa dan pancasila sebagai lambang dasarnya. Kesetiaan dan komitmen NU, ini bisa dilihat dalam lintasan sejarah Indonesia:

1. Tahun 1936 dalam muktamar di Banjarmasin, NU mengukuhkan piagam Indonesia sebagai negara bangsa.

3

Tim Forza Pesantren, Ijitihad Politik Islam Nusantara, Membumikan Fiqih Siyasah Melalui Pendekatan Maqa>s}id Shari>ah(Kediri: Lirboyo Press, 2015), 205.


(30)

21

2. Tahun 1945-1946, NU mendeklarasikan resolusi jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

3. Tahun 1954 dalam munas se-Indonesia di Cipanas Bogor, NU menetapkan piagam waliy al-amri al-d}oru>ri bi al-Shaukah untuk legitimasi kekuasaan Soekarno sebagai presiden RI yang sah.

4. Tahun 1967 dalam muktamar di bandung, NU mengeluarkan deklarasi pancasila.

5. Tahun 1983 dalam munas alim ulama NU di Situbondo, NU membuat piagam hububangan agama dan pancasila.

6. Tahun 2006 dalam munas dan konbes NU di Surabaya ditetapkan maklumat NU yang meneguhkan kembali komitmen kebangsaan untuk mempertahankan dan mengembangkan pancasila dan UUD 45 dalam wadah NKRI.

7. Tahun 2011 dalam harlah NU ke-85 NU mengeluarkan maklumat untuk menyelamatkan NKRI dan pancasila dari fundamentalime agama (radikalisme) dan fundamentalime pasar (liberalisme).4

Sikap NU dan juga ormas-ormas lain di Indonesia yang mendukung Pancasila bukan tanpa alasan. Mereka berfikir, bahwa selama ini ideologi ini dianggap mampu mewujudkan kemaslahatan umat dan menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila dianggap mampu mewadahi kebinekaan yang ada di Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa wacana-wacana untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain hanya membawa dampak keburukan dan kekisruhan politik, ini seperti

4


(31)

22

terlihat dari adanya upaya DI/TII, PKI, dan belakangan ini, yakni wacana khilafah yang diusung oleh HTI.

Menurut Kaelan, Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia sebelum disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum bangsa Indonesia mendirikan negara, yang berupa nilai adat istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai tersebut telah ada dan melekat serta teramalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup, sehingga matari Pancasila yang berupa nilai-nilai tersebut tidak lain adalah bangsa Indonesia sendiri, sehingga bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila. Nilai-nilai tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara untuk dijadikan sebagai dasar filsafat Negara Indonesia.5

Dalam perspektif historis, kelahiran, perumusan dan pengesahan Pancasila melewati perdebatan, pembahasan dan kajian yang cukup lama yang melibatkan berbagai pihak dan kelembagaan yakni Badan Penyidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Sembilan dan terakhir Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

1. Sidang BPUPKI Pertama (28 mei-1 juni 1945)

Dalam sidang pertama ini diisi dengan beberapa tokoh yang berpidato mengemukakan gagasannya masing masing tentang konsep negara. Sesuai

5

Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, (Yogyakarta: Paradigma 2013), 5.


(32)

23

kesepakatan, tokoh yang berpidato pertama adalah Mr. Mohammad Yamin. Yamin mengusulkan usulan (lisan) rumusan dasar negara Indonesia sebagai berikut: (1) Prikebangsaan, (2) Prikemanusiaan (3) Priketuhanan (4) Prikerakyatan dan (5) Kesejahtraan rakyat. Selain usulan lisan tersebut Mohammad Yamin kemudian mengusulkan usulan tertulis mengenai dasar negara kebangsaan dengan rumusan sebagai berikut: (1) Ketuhanan yang maha Esa (2) Kebangsaan persatuan Indonesia (3) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan perwakilan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.6

Di hari selanjutnya (31 Mei) yang mendapat giliran menyampaikan pidato adalah Prof. Dr. Soepomo. Berbeda dengan Yamin, Soepomo mengemukakan gagasan sebagai berikut: (1) Teori negara perseorangan (Individualis) sebagaimana diajarkan oleh Thomas Hobbes (Abad 17) dan Jean Jacques Rousseau (Abad 18) Herbert Spencer (Abad 19), HJ. Laski (Abad 20). Menurut paham tersebut, negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak seluruh individu (contract social). Selain teori negara perseorangan tersebut, Soepomo juga mengajukan teori perbandingan, (2) Paham negara kelas (Class Theory) yang merupakan gagasan Marx, Engels dan Lenin, dan (3) Paham negara integralistik yang diajarkan Spinoza, Ada, Muller, Hegel (Abad 18 dan 19). Pada tahap selanjutnya

6

Kumawi Basyir dkk, Pancasila Dan Kewarganegaraan, (Surabaya: Sunan Ampel Press 2013), 10-11.


(33)

24

Soepomo mengusulkan usulan rumusan lima besar dasar Negara sebagai berikut (1) Persatuan (2) Kekeluargaan (3) Keseimbangan lahir batin (4) Keadilan rakyat.7

Pada tanggal 1 Juni, giliran Soekarno yang menyampaikan pidato yang disampaikan tanpa teks. Soekarno mengusulkan adanya dasar negara yang terdiri atas lima prinsip yang rumusannya adalah (1) Kebangsaan (Nasionalisme), (2) Perikemanusiaan (Internasionalisme) (3) Mufakat (Demokrasi) (4) Keadilan sosial (5) Ketuhanan yang Maha Esa. Setelah usulan-usulan tersebut ditampung maka kemudian dibentuk panitia kecil yang berjumlah delapan orang yang kemudian dikenal dengan ‘panitia 8’ yang bertugas untuk menyusun dan mengelompokkan semua usulan tertulis. Anggota panitia delapan tersebut terdiri dari: (1) Ir. Soekarno (Ketua) (2) Drs Moh. Hatta (3) M. Soetardjo Kartohadikoesomo (4) KH. Wahid Hasyim (5) Ki Bagus Hadikusumo (6) Rd. Otto Iskandardinata (7) Mohammad. Yamin (8) Mr. Alfred Andre Maramis. Setelah panitia kecil tersebut bekerja meneliti, dan berusaha merumuskan, maka kemudian diketahui terjadi perbedaan pendapat diantara para anggota. Anggota yang beragama Islam menghendaki bahwa negara berdasarkan syariat Islam, sedangkan yang berhaluan nasionalis menghendaki bahwa negara tidak berdasarkan hukum agama tertentu. Maka untuk mengatasi hal tersebut maka dibentuklah panitia yang terdiri dari sembilan orang yang kemudian dikenal dengan ‘panitia 9’ yaitu: (1) Ir. Soekarno (Ketua) (2) Mr. Yamin (3) KH. Wahid

7


(34)

25

Hasyim (4) Drs. Moh. Hatta (5) KH. Abdul Kahar Moezakir (6) Mr. Maramis (7) Mr. Soetardjo Kartohadikoesoemo (8) Abi Kusno Tjokrosoejoso (9) H. Agus Salim.8

Pantia sembilan bersidang pada tanggal 22 Juni 1945 menghasilkan kesepakatan akan lima pasal/konsep dasar negara yang kemudian dipopulerkan oleh Mohammad. Yamin dengan sebutan Piagam Jakarta. Lima pasal tersebut adalah: (1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab (3) Persatuan Indonesia (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.9

2. Sidang BPUPKI Ke dua (10-16 juli 1945)

Sidang kedua ini berisi diantaranya penjelasan Soekarno terhadap rumusan Piagam Jakarta yang telah disepakati. Semua menerima dengan bulat, baik golongan Islamis maupun Nasionalis. Sidang BPUPKI kedua ini lebih menekankan pembicaraan rumusan Undang-undang dasar, dan susunan pemerintahan Negara yang terdapat dalam penjelasan UUD.10

3. Sidang PPKI Pertama (18 Agustus 1945)

Sala satu perubahan terjadi dalam Pancasila adalah pada sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dilaksanakan 18 Agustus 1945. Dalam rapat tersebut, 20 menit sebelum rapat dimulai diadakan pertemuan yang membahas

8

Ibid., 16.

9

Ibid.,

10


(35)

26

beberapa perubahan terhadap Piagam Jakarta terutama pada sila pertama. Pertama ini kemudian menghasilkan rumusan dan kesepakatan dengan mengurangi beberapa redaksi kalimat pada sila pertama, menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagaimana yang kita lihat sekarang ini.11 Sidang PPKI dilaksanakan hingga empat kali. Namun bangun rumusan final Pancasila mencapai kesepakatan pada sidang yang pertama ini. Pada sidang-sidang selanjutnya lebih menitikberatkan membentuk konsep pemerintahan, pembagian wilayah dan membentuk komite Nasional.

B. Pancasila Sebagai Landasan Ideologi, Dasar Falsafat Bangsa Dan Negara Indonesia

Sala satu sebab kokoh berdirinya sebuah komunitas masyarakat adalah adanya ideologi yang dibangun bersama demi kemaslahatan bersama. Ideologi berfungsi sebagai doktrin terhadap masyarakat tersebut yang menyebabkan adanya kesadaran untuk mewujudkan kemaslahatan bersama tanpa membedakan satu dengan yang lain. Hal ini tak terkecuali dengan Bangsa Indonesia. Sejak pertama kali negara ini berdiri, para perumus Pancasila berkeinginan menjadikan Pancasila sebagai dasar ideologi dalam berbangsa dan bernegara. Sehingga substansi dari nilai-nilai yang terdapat dalam lima pasal benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh semua masyarakat Indonesia.

11


(36)

27

Secara etimologi, ideologi berasal dari kata ‘idea’ yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar dan cita cita, dan ‘logos’ yang berarti ‘ilmu’. Kata ‘idea’ berasal dari kata bahasa Yunani ‘eidos’ yang artinya ‘bentuk’. Di samping itu ada kata ‘idein’ yang artinya ‘melihat’. Maka secara harfiah, ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide ide (the science of ideas) atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar.12 Secara terminologi ideologi dapat diartikan sebagai kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut dan mengatur tingka laku sekelompok manusia tertentu dalam berbagai bidang kehidupan.13 Jika diposisikan sebagai sistem pemikiran (Syistem of Thought) maka ideologi terbagi menjadi dua. Ideologi yang bersifat terbuka dan tertutup.14

Dalam potretnya sebagai sebuah ideologi, Pancasila merupakan ideologi yang terbuka, yang tidak kaku dan tertutup. Ini dimaksudkan bahwa Pancasila mempunyai sifat yang aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan perkembangan zaman.15 Sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka, Pancasila

12

Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, (Yogyakarta: Paradigma 2013), 60-61.

13

Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, 62.

14

Menurut Kaelan, Ideologi tertutup mempunyai ciri khas, diantaranya bahwa ideologi itu bukan cita cita yang sudah hidup dalam masyarakat, melainkan merupakan cita cita satu kelompok orang yang mendasari satu progam untuk merubah dan memperbaharui masyarakat. Sedangkan merupakan ciri khas dari ideologi terbuka adalah bahwa nilai nilai dan cita citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari suatu kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat itu sendiri. Dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, maliankan hasil musyawarah dan konsensus dari masyarakat tersebut.,(Kaelan 63-64).

15


(37)

28

mempunyai beberapa dimensi. Diantaranya dimensi idealistis, yakni nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila bersiat sistematis dan rasional yaitu hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila Pancasila yaitu, ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Yang kedua adalah dimensi normatif, yang artinya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yang memiliki kedudukan tertinggi dalam dalam tertib hukum Indonesia. Ketiga adalah dimensi realistis, yang artinya, sebagai suatu sistem ideologi, Pancasila harus mampu mencerminkan realitas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.16

Berdasarkan hakikat ideologi Pancasila yang bersifat terbuka yang memiliki tiga dimensi tersebut maka ideologi Pancasila tidak bersifat ‘utopis’ yang hanya merupakan sistem ide-ide belaka yang jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Keterbukaan ideologi Pancasila ini bisa kita saksikan bahwa Pancasila bisa menerima budaya asing yang masuk ke Indonesia. Ini bukan berarti bahwa keterbukaan ini adalah terbuka tanpa batas. Melainkan harus ada standar nilai dan tolak ukur bahwa terhadap budaya asing tersebut bahwa tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan.17

Bagi bangsa dan negara Indonesia, dasar filsafat dalam kehidupan bersama itu adalah Pancasila. Pancasila sebagai core philosophy negara Indonesia, sehingga

16

Ibid., 68.

17


(38)

29

konsekuensinya merupakan esensi staatsfundamentalnorm bagi reformasi konstitusionalisme. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam filsafat negara tersebut sebagai dasar filosofis ideologis untuk mewujudkan cita-cita negara, baik dalam arti tujuan prinsip konstitusionalisme sebagai suatu negara hukum formal, maupun empat cita-cita kenegaraan yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, yaitu: (1) Melindungi segenap bangsa dan tumpa darah Indonesia (2) Memajukan (meningkatkan) kesejahteraan umum (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.18

Bilamana kita rinci secara sistematis kedudukan Pancasila sebagai dasar kerohanian negara dapat disusun secara bertingkat seluruh kehidupan negara sebagai penjelmaan Pancasila. Unsur-unsur ini terkandung dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke IV. Susunan tersebut menunjukkan, bahwa Pancasila pada hakikatnya merupakan dasar, atau basis filosofi bagi negara dan tertib hukum Indonesia. Hal ini dapat dirinci sebagai berikut:

1. Pancasila merupakan dasar filsafat negara (asas kerohanian negara), pandangan hidup dan filsafat hidup.

2. Di atas basis (dasar) itu berdirilah negara Indonesia, dengan asas politik negara (kenegaraan) yaitu berupa republik yang berupa kedaulatan rakyat. 3. Kedua-duanya menjadi basis penyelengaraan kemerdekaan kebangsaan

Indonesia, yaitu pelaksanaan dan penyelengaraan negara sebagaimana

18


(39)

30

tercantum dalam hukum positif Indonesia, termuat dalam Undang-undang Dasar Negara Indonesia.

4. Selanjutnya di atas Undang-undang dasar (yaitu sebagai basis) maka berdirilah bentuk susunan pemerintahan dan keseluruhan peraturan hukum positif yang lainnya, yang mencakup segenap bangsa Indonesia dalam suatu kesatuan hidup bersama yang berasas kekeluargaan.

5. Segala sesuatu yang disebutkan di atas adalah demi tercapainya tujuan bersama, yaitu tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara tersebut, yaitu kebahagiaan bersama, baik jasmaniah maupun rohaniah, serta tuhaniah.19

C.

Pengertian Dan Perkembangan Tafsir Maqa>s}idi

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, ‘tafsir’ diartikan dengan keterangan penjelasan tentang ayat ayat suci al-Qur’an20. Kata tersebut diadopsi dari bahasa Arab (ريسفت - رسفي -رسف) yang mempunyai banyak arti, diantaranya menerangkan, menjelaskan, memberikan komentar, menerjemahkan atau mentakwilkan.21 Maqa>s}idi merupakan kalimat jamak (plural) dari kata tunggal maqs}ad (yang disertai ya’ nisbat). Lebih jauh, menurut Abd al-Kari>m Ha>midi, secara etimologi bahwa akar kata

kalimat ini adalah ‘دصق’ qas}ada yang berarti niat, mantap, menuju kepada sesuatu.

Dari akar kata tersebut kemudian muncul kalimat ‘داصثقاا ,دصاق لا ,دصقلا ,دصق لا’ dan

19

Ibid., 50-51.

20

Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Media Pustaka Phoenix, 2012), 826.

21

Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 1055.


(40)

31

seterusnya.22 Secara terminologi pengertian maqa>s}id adalah akhir, tujuan yang dikehendaki oleh seseorang, baik itu yang bersumber dari ucapan atau perbuatannya.23 Dari dua kata ini kita dapat memberikan pengertian bahwa tafsir maqa>s}idi adalah metode penafsiran al-Qur’an dengan menjadikan maqa>s}id ( tujuan-tujuan) sesuatu sebagai metode penafsiran sekaligus pendekatannya. Konsep maqa>s}id ini kemudian nanti akan terbagi menjadi dua tema24, yang pertama maqa>s}id al-Qur’an, dan yang ke dua adalah maqa>s}id al-shariah, sebagaimana yang akan penulis jelaskan setelah ini.

Dalam sejarahnya, tafsir ini adalah sesuatu yang relatif baru, terutama dalam posisinya sebagai metode dalam tafsir. Hal ini berangkat dari kaidah di kalangan penganut tafsir kontemporer ‘al-ibrah bi maqa>s}id shariah’. Kaidah ini berusaha mencoba mencari sintesa kreatif ketika menafsirkan teks dengan berpegang teguh pada tujuan disyariatkannya sebuah doktrin. Oleh karena itu, ayat-ayat al-Qur’an harus difahami dari sisi pesan moral atau maqa>s}id shariahnya25. Inilah yang kemudian dikenal dengan al-tafsi>r al-maqa>s}idi (menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan maqa>s}id shariah). Penyebutan ini (tafsir maqa>s}idi) meminjam dari

22 Abd al-Kari>m Ha>midi>, al-Madkhal Ila> Maqa>s}id al-Qur’an, (Riyad: Maktabah al-Rusyd,

2007), 18.

23

Ha>midi>, al-Madkhal Ila> Maqa>s}id al-Qur’an,21.

24

Ibid., 24.

25

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta 2010), 64.


(41)

32

wacana seminar Internasional yang bertemakan metode alternatif penafsiran

al-Qur’an seputar kajian tafsir maqa>s}idi di kota Oujda Maroko.26

Dalam ranah akademik, topik tafsir maqa>s}idi pernah diangkat secara tuntas oleh Nurudin Qirath dalam disertasi doktoralnya (Universitas Muhammad V) yang mengangkat tema Tafsir Maqa>s}idi Menurut Perspektif Ulama Maghrib ‘Arabi, begitu juga oleh Profesor Jelal el Merini dari Universitas Qarawiyin dari bukunya D}awa>bit} Tafsi>r Maqa>s}idi li Al-Qur’an Al-Kari>m dan beberapa penelitian lain yang sebagian besar dilakukan oleh ulama maghrib (Maroko).27

Menurut Abd Madjid al-Najjar, seharusnya wilayah kajian maqa>s}id shari>ah menyentuh apa saja yang dapat dikatakan sebagai perintah dan larangan Tuhan, baik dalam tataran tingka laku manusia maupun dalam akidah dan aspek-aspek lainnya dalam kehidupan manusia. Setiap perintah Tuhan tentu memilki tujuan (maqs}ad) yang menuntut untuk direalisasikan, baik di dunia maupun di akhirat. Perintah beriman kepada Allah Swt, misalnya bertujuan untuk merealisasikan ketenangan jiwa di dunia sebelum mendapat kenikmatan surgawi di akhirat. Berkaitan dengan tujuan ini, Allah menegaskan dalam surat al-Ra’d ayat 28 : ala> bi d}ikrilla>hi tat}mainnul qulu>b (ketahuilah dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang).28

Berbicara tentang maqa>s}id shari>ah sebagai landasan dasar tafsir maqa>s}idi, sebelum T{a>hir Ibn Ashu>r, maqa>s}id Shari>ah belum sama sekali didefinisikan oleh

26

Sumber:http://idrismuhammad.blogspot.co.id/2010/12/tafsir-maqashidi-sebuah-tawaran.html (diakses : 25-1-2017)

27

Ibid.,

28

Halil Tahir, Ijtihad Maqa>s}idi, Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah (Yogyakarta: LkiS) 2015. 16.


(42)

33

tokoh maqa>s}id, termasuk oleh al-Shatibi yang merupakan konseptor maqasid pertama dalam karyanya al-muwa>faqa>t. Adapun alasannya kenapa al-Shatibi mengesampingkan definisi maqa>s}id sariah menurut Musfir bin Ali al-Qaht}ani ada dua kemungkinan yang menyebabkan hal ini. Pertama: Bahwa al-Muwa>faqa>t yang ditulis al-Shatibi hanya untuk konsumsi ulama yang betul-betul mendalam dan mempunyai perhatian besar terhadap ilmu syariat. Oleh karena itu, dia tidak merasa butuh untuk mendefinisikan sesuatu yang sudah sama-sama diketahui oleh kalangan ulama. Kedua: Fokus kajian al-Shatibi dalam muwa>faqa>t adalah membangun teori maqa>s}id yang belum terjamah oleh ulama sebelumnya. Walaupun secara khusus al-Shatibi tidak mendefinisikannya, penjelasan detail yang ia kemukakan mengantarkan pembaca pada definisi maqa>s}id al-shari>ah.29

Setelah al-Shatibi, konsep maqa>s}id al-shari>ah mengalami perkembangan pesat, dan para ulama sadar bahwa kajian yang mereka kaji perlu didefinisikan sedemikian rupa, sesuai dengan kaidah-kaidah baku dalam memberikan definisi, yaitu jami mani’ (komprehensif). Menurut al-Raisuni, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Mawardi, shari>ah adalah “sejumlah hukum amaliah yang dibawa oleh agama Islam, baik yang

berkaitan dengan konsepsi akidah maupun legislasi hukum Islam.30 Definisi yang dikemukakan oleh para ulama itu yang merujuk pada padanan-padanan maknanya, seperti hikmah hukum, tujuan-tujuan hukum, makna-makna hukum. Definisi tersebut

29

Ibid., 16.

30

Imam Mawardi, Fiqih Minoritas Fiqih al-Aqalliyat Dan Evolusi Maqa>s}id al-Shari>ah Dari Konsep Ke Pendekatan (Yogyakarta: LkiS, 2000). 178-179.


(43)

34

secara berurutan dikemukanan oleh al-Banani, al-Asnawi dan al-Samarqandi. Dengan demikian, ada kaitan erat antara maqa>s}id shari>ah dengan hikmah, illat, tujuan atau niat, dan kemaslahatan.31

Pengertian maqa>s}id al-shari>ah yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Ibn Ashur. Menurut Ibn Ashur, maqa>s}id al-tashri>’ al-a>mmah adalah:

هحاص ادتساو اا ا ظفح ه ا يف يرشتلا ن اعلا دصاق لا ا

اا هو هي ع ن ي لا اصب

ه ع اصو ه قع اص هحاص شيو , اس

هيف شيعي لا لاعلا اد ج ن هيدي نيب ا اصو

Tujuan (maqa>s}id) shari>at secara umum adalah terbentuknya tatanan umat dan segala bentuk kebaikan bagi mereka seluruhnya. Hal tersebut mencakup kebaikan, baik bagi akal, perbuatan dan seluruh alam tempat mereka hidup.32

Senada dengan Ibn Ashu>r, Jaser Auda menambahkan bahwa maqa>s}id shari>ah yaitu makna-makna yang ingin direalisasikan oleh Sha>ri’ melalui syariat dan hukum hukumnya. Menurut Abd al-Kari>m Ha>midi, maqa>s}id al-shari>ah adalah makna, tujuan-tujuan dan hukum yang ingin diwujudkan oleh Sha>ri’ (Allah) ketika mensyariatkan sebuah hukum.33

Maqa>s}id shari>ah terdiri atas tiga kategori berdasarkan urutan prioritas dan signifikansinya, yaitu umum (a>mm), khusus (kha>ss), dan partikular (juz’iyyat). Maqa>s}id a>mm, adalah makna-makna yang terkandung dalam seluruh atau mayoritas

31

Mawardi, Fiqih Minoritas Fiqih al-Aqalliyat Dan Evolusi Maqa>s}id al-Shari>ah Dari Konsep Ke Pendekatan 180.

32 Al-T{a>hir Ibn Ashu>r

, Maqa>s}id al-Shari>ah al-Isla>miyah, (Kairo Mesir: Dar al-Salam 2014), 68.

33

Abd al-Kari>m Ha>midi>, al-Madkhal Ila> Maqa>s}id al-Qur’an, (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 2007), 25.


(44)

35

kondisi syariat, seperti maqa>s}id toleransi, kemudahan, keadilan, pemeliharaan fitrah, kesetaraan dan sebagainya.34 Al-mas}lahah al-a>mmah tercakup dalam pembagian ulama tentang lima maslahah yang terkenal yang menjadi tujuan syariat demi kebaikan hambaNya, baik dunia maupun akhirat, seperti pelestarian agama, jiwa raga, akal, keturunan dan harta benda.35

Tujuan umum syariat Islam berhubungan dengan tujuan diciptakannya manusia yakni agar menjadi khalifah (pemimpin, pengelola) di muka bumi dengan beribadah kepada Allah Swt. Sementara kepemimpinan tidak akan terwujud secara nyata tanpa adanya keteraturan yang bersifat individu dalam wadah kehidupan sosial. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tujuan umum dan tertinggi dari syariat Islam adalah untuk mewujudkan tujuan kehadirannya di muka bumi, yakni sebagai khalifah dengan mengemban amanat mewujudkan kemaslahatan sebagai individu dan bagian dari sistem kehidupan sosial masyarakat agar memperoleh kebahagiaan sejati baik di dunia ataupun akhirat.36

D. Tujuan-tujuan umum (al-maqa>s}id al-a>mmah) dalam Al-Qur’an

Pembahasan maqa>s}id shari>ah telah banyak dibahas oleh para ulama, tapi jarang yang mencoba melakukan pembahasan atau berbicara tentang tujuan-tujuan umum

34

Jaser Auda, Wanita Dan Masjid, (Jakarta: Amzah. 2015), 12.

35

Auda, Wanita Dan Masjid, 13.

36

Halil Tahir, Ijtihad Maqa>s}idi, Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah (Yoguakarta: LkiS. 2015). 19.


(45)

36

dalam al-Qur’an (maqa>s}id al-a>mmah fi al-Qur’an). Halil Tahir mengutip pendapat Ahmad al-Raisuni dalam kitabnya Maqa>s}id maqa>s}id gha>ya>t ilmiyyah wa al-amaliyyah li maqa>sid al-shari>ah, bahwa yang dimaksud dengan tujuan-tujuan umum al-Quran (maqa>s}id al-Qur’an) adalah:37

ف اعلا دصاق لا ا ا

ت

ارقلا ا حا

ن صا لا اي علا ارعاا ك

Tujuan tujuan luhur yang diperoleh dari sekumpulan hukum-hukum al-Qur’an

Dalam bukunya al-Madkhal ila> Maqa>s}id al-Qur’an, Abd al-Kari>m Ha>midi menulis:

دابعلا حلاص ل اقيق ت ا جا ارقلا ا ىتلا اياغلا ه ارقلا دصاق

Maqa>s}id al-Qur’an adalah tujuan-tujuan yang dengannya al-Qur’an diturunkan, yang seluruhnya berorientasi untuk kemaslahatan hamba.

Sementara untuk mengetahui tujuan al-Qur’an bisa dengan dua cara sebagai berikut :

1. Diketahui secara mans}u>s}ah (ditegaskan oleh nash)

Yang maksudnya bahwa al-Qur’an secara tegas menyebutkan tujuan-tujuan yang dikehendakinya. Menurut al-Raisuni, ada empat tujuan yang secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an: Pertama: Mengesakan Allah Swt dan beribadah kepadaNya

37

Tahir, Ijtihad Maqa>s}idi, Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah 19-20.


(46)

37

(tauhi>dullah wa iba>datihi).38

Diantara ayat yang berbicara tentang tauhid ini adalah Surat Hud ayat 1-3 berikut:





































































































Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu, Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya Aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa khabar gembira kepadamu daripada-Nya, Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang Telah ditentukan dan dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.39

Tujuan ke dua adalah, petunjuk (hidayah) bagi manusia baik dalam urusan agama maupun duniawi (maqa>s}id al-hida>yah al-di>niyyah wa al-dunyawiyyah)40 Berkaitan dengan tujuan ini dalam beberapa ayat, yaitu:

Surat al-Baqarah ayat 185:







































38 Ibid., 20. 39

Al-Quran dan Terjemahnya, 11:1-3.

40


(47)

38

Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).41

Tujuan al-Qur’an ketiga adalah penyucian diri dan mengajarkan kebijaksanaan (maqsad al-tazkiyyah wa ta’li>m al-hikmah).42

Tujuan ini dapat kita lihat dalam beberapa ayat sebagai berikut:



















































Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Tujuan al-Qur’an yang ke empat adalah kasih sayang dan kebahagiaan (maqsad al-rahmah wa al-sa’a>dah)43

dan dapat difahami dalam beberapa ayat sebagai berikut:



















Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.44

41 Al-Qur’an dan Terjemahnya, 2:185. 42

Tahir, Ijtihad Maqa>s}idi, Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah, 24

43

Tahir, Ijtihad Maqa>s}idi, Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah,


(48)

39

Surat al-Isra’ ayat 82:

































Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang-orang-orang yang zalim selain kerugian.45

Tujuan al-Qur’an yang ke lima adalah menegakkan kebenaran dan keadilan (maqsad al-haq wa al-ada>lah)46

, yang secara tegas dapat kita lihat pada beberapa ayat sebagai berikut:

Surat al-Hadid ayat 25:































































Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.47

44 Al-Qur’an dan Terjemahnya, 21:107.

45 Al-Qur’an dan Terjemahnya, 17:82. 46

Tahir, Ijtihad Maqa>s}idi, Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah 26.

47


(49)

40

Surat al-Maidah ayat 48:























































































































Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,

2. Diketahui melalui ijtihad (istinbat)

Yang di maksud di sini adalah tujuan-tujuan umum yang diperoleh melalui penelitian induktif terhadap maqa>s}id al-Qur’an (tujuan-tujuan al-Qur’an) dan juga meneliti apa yang ditunjuk secara universal (dala>lah kulliyyah) oleh maqa>s}id


(50)

41

memang menekuni dan mendalami seluk beluk al-Qur’an, dan hidupnya selalu dalam naungan al-Qur’an.48

Demikian beberapa paparan tentang maqa>s}id al-Qur’an sebagaimana dikutip dari pendapat Ahmad al-Raisuni, yang merupakan sala satu pakar maqa>s}id kontemporer yang masih ada sekarang ini. Sedikit berbeda dengan al-Raisuni, maqa>s}id al-Qur’an versi Imam Ghazali dibagi menjadi dua kategori, yaitu tujuan penting (muhimmah) dan tujuan penyempurna (mughniyah, mutimmah). Tujuan pokok dalam al-Qur’an mencakup tiga hal: Pertama, memperkenalkan Tuhan yang berhak untuk disembah

(ta’rif al-mad’u ilaih), yaitu Allah Swt. Kedua, memperkenalkan jalan yang lurus (ta’rif al-s}ira>t al-mustaqi>m), yaitu syariat Islam, ke tiga, memperkenalkan kondisi manusia ketika bertemu dengan Allah Swt (ta’ri>f al-wusu>l ilaih) yaitu hari kiamat.49

Maqa>s}id al-Qur’an yang bersifat penyempurna menurut al-Ghazali juga ada tiga: Pertama, memperkenalkan kondisi orang orang yang menerima dakwah (ajakan kebaikan), rahasia-rahasia apa yang diperbuat Allah Swt terhadap mereka, agar kita senang (li al-taghri>b) dan rindu (li al-tashwi>q) kepadaNya. Pada saat yang sama juga memperkenalkan kondisi orang-orang yang menolak dan menentang dakwah, sebagaimana Allah Swt memberikan peringatan dan sekaligus siksa terhadap mereka, agar kita dapat mengambil pelajaran (li al-i’tiba>r) dan takut (li al-tarhi>b) kepadaNya.50

48

Tahir, Ijtihad Maqa>s}idi, Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah 28.

49

Ibid., 29.

50


(1)

106

kehidupan. Selanjutnya, yang begitu ditekankan dalam sila pertama, bahwa melalui Pancasila, negara menjamin kebebasan beragama bagi seluruh penduduknya. Negara tidak diperkenankan melakukan intervensi dan diskriminasi agama dengan alasan apapun.

3. Sila ke dua mencakup beberapa prinsip penting, diantaranya adalah humanisme (kemanusiaan) yang diwujudkan akan kemuliaan manusia, sila ini juga mencakup makna Hak Asasi Manusia (HAM) yang juga menjadi bagian fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Poin ke dua dan ke tiga yang telah disebutkan dianggap selaras dengan prinsip

maqa>s}id, baik maqa>s}id al-Qur’an maupun maqa>s}id shari>ah, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Nilai Tauhid, ke-Esaan Tuhan yang ada dalam sila pertama selaras dengan prinsip maqasid al-Qur’an yang paling fundamental yakni ‘tauhi>d Allah wa

iba>datihi>’. Selain itu, nilai-nilai ajaran yang ada dalam sila ke-Tuhanan

selaras dengan konsep maqa>s}id al-shari>ah ‘hifz al-di>n’.

2. Nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia yang ada dalam sila ke dua, mempunyai titik relevansi dengan maqa>s}id al-shari>ah ‘hifz al-nafs’ yakni perlindungan terhadap eksistensi jiwa manusia dan hak-haknya.


(2)

107

B. Saran

1. Dengan mengetahui pengertian Pancasila, sejarah dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya, hendaknya pembaca dapat mengambil kesimpulan bahwa Pancasila selaras dengan ajaran-ajaran al-Qur’an, karena sesuai dengan prinsip-prinsip maqa>sid shari>ah.

2. Hendaknya masyarakat tidak ragu untuk mengamalkan Pancasila, meyakininya sebagai dasar yang benar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

‘A<su>r, Muhammad T{a>hir. Maqa>sid al-Sari>at al-Isla>miyah.Tunis: Da>r Suhunu>n, 2014.

‘Ali>, al-S}asi> al-Qafa>l, Muh}ammad. Mah}a>sin al-Sari>ah. Lebanon: Da>r Kutub

al-Ilmi>ah, 2007.

Al-Qat}t}a>n, Manna>’. Mabahi>s fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Surabaya: al-Hidayah, 2009.

Al-S{a>fi’i>, Abi> Bakr al-Hada>li> al-Yamani>. Al-Fara>id al-Bahiyyati. Kediri: al-Hidayat, t.th.

Al-Suyuthi, Jalaluddin. Luba>b Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l. Beirut: Da>r al-Tah}ri>r, 1963.

Al-T{abari>. Tafsi>r al-T{abari>. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmi>ah, 2012.

Al-Syatibi, Abu Ishak. Al-Muwa>fa>qat fi Us}u>l al-Syari>ah, Kairo: Dar al-Hadis, 2006.

Al-Zarkasyi>, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, tahq>iq: Muhammad Abu> al-Fadhl Ibra>hi>m. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmi>ah, 2011.

Asfaha>ni>, al-Ra>ghib. Mu’jam Mufrada>t al-Fa>z} al-Qur’a>n. Beirut: Da>r Kutub al-Ilmi>ah, 2013.

Auda, Jasser. Wanita dan Masjid. ter. Rosidin. Jakarta: AMZAH, 2015.

Baiquni, Ahmad., dkk. Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham


(4)

Faizin., dkk. Pancasila dan Kewarganegaraan. Surabaya: SAP, 2013.

Ghoza>li, Muh{ammad. Fiqh al-Si>rah. Beirut: Da>r al-Qalam, 2006.

Habibi, Royyan., dkk. Ijtihad Politik Islam Nusantara. Kediri: Lirboyo Press, 2015.

Ha>midi, Abd al-Kari>m,al-Madkhal ila> Maqa>s}id al-Qur’an. Riyad: Maktabah

al-Ruyd, 2007.

Ibrahim, Najih. Bahaya Mimpi Al-Baghdadi: Seruan Menggagas Fiqh Da’wah

Moderrasi. Yogyakarta: REVIVA, 2016.

Jauhar, Ahmad al-Mursi Husain.Maqa>s}id Sari>ah. ter. Kuwais. AMZAH, 2013.

Kaelan. Negara Kebangsaan Pancasila. Yogyakarta: PARADIGMA, 2013.

Mawardi, Ahmad Imam.. Fiqih Minoritas, Fiqih al-Aqalliya>t dan Evolusi Maqa>s}id

al-Shari>ah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta: LkiS, 2010

Mulyadi, Dedi. Internasional Nilai-Nilai Ideologi Pansila dalam Dinamika

Demokrasi dan Perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Bandung: PT.

Refika Aditama, 2014.

Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwar Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.


(5)

Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir

dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer.

Yogyakarta: Adabpress, 2014.

________________. Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2015.

Podo, Siswo Prayitno., dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Phoenix, 2012.

Rahma>ni, S{afi. Rahi>q al-Makhtu>m. Beirut: Da>r Wafa>’, t.th.

Rasyid Ridha, Muhammad. Tafsi>r al-Mana>r. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmi>ah, 2011. Rasyid, Makmun. Gagal Paham Khilafah. Ciputat: Pustaka Compass, 2016.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. ter. Tim Penerjemah Serambi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2012.

________________. Kaidah-Kaidah Tafsir. Jakarta: Lentera Hati, 2013.

________________. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2007.


(6)

______________. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2013.

T{ahir, Halil. Ijtiha>d Maqa>s}idi: Rekontruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas

Maslahah. PT. Lkis Pelangi Aksara, 2015.

Tim Lajnah Ta’li>f Wa al-Nasyr. Ahka>m Fuqaha>: Solusi Problematika Aktual Hukum

Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes NU (1926-2010 M).

Surabaya: Khalista, 2011.

Umar, Nasruddin. Islam Fungsional: Revitalisasi & Reaktualisasi Nilai-Nilai