ANALISIS YURIDIS TERHADAP GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PUTUSAN NOMOR 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda TENTANG HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO.

ANALISIS YURIDIS TERHADAP GUGATAN OBSCUUR LIBEL
DALAM PUTUSAN NOMOR 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda TENTANG
HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO
SKRIPSI
Oleh
Nur Aini Hidayati
NIM. C01212044

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam
Surabaya
2016

ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan yang berjudul “Analisis
Yuridis Terhadap Gugatan Obscuur Libel dalam Putusan Nomor
0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang Harta Bersama di Pengadilan Agama
Sidoarjo”. Rumusan masalah adalah: bagaimana pertimbangan hukum yang
dipakai

oleh
Majelis
Hakim
dalam
memutus
perkara
Nomor
0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama di Pengadilan Agama Sidoarjo
dan bagaimana kesesuaian pertimbangan hukum yang dipakai oleh Majelis
Hakim dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum
Acara Peradilan Agama.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, data yang digunakan adalah isi
putusan Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda meliputi identitas para pihak, posita,
petitum, pertimbangan hukum, dasar hukum dan amar putusan. Sumber data
meliputi sumber primer yakni dokumen putusan Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda
dan sumber sekunder berupa buku-buku yang terkait dengan pembahassan.
Teknik penggumpulan data dilakukan melalui pembacaan dan kajian teks (text
reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis dan
menggunakan pola pikir deduktif yaitu dengan menggunakan teori-teori bersifat
umum tentang putusan harta bersama dalam Hukum Acara Peradilan Agama

yang digunakan untuk menganalisi putusan Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertimbangan hukum yang
digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor
0201/Pdt.G/2014/PA>Sda adalah mengenai alamat Tergugat yang dinilai Majelis
Hakim kabur (obscuur libel). Padahal didapati relaas panggilan yang pertama
telah sampai ke Tergugat dan pada persidangan pertama Tergugat hadir dalam
persidangan. Namun pada panggilan selanjutnya yang disampaikan oleh jurusita,
relaas panggilan tidak sampai kepada Tergugat dikarenakan Tergugat sudah
tidak ada di alamat sebagaimana yang tercantum dalam surat gugatan. Hal ini
yang menjadi pertimbangan hukum yang digunakan Hakim dalam memutus
gugatan Niet Ontvankelijike Verklaard. Padahal jika dilihat dalam Pasal 390
dikatakan bahwa jika Penggugat tidak diketahui alamat keberadaannya maka
jurusita harus menyampaikan panggilan ke Bupati dan mengumumkan di papan
pengumuman Pengadilan Agama dan kemudian persidangan tersebut dilanjutkan
dengan pemeriksaan acara biasa atau contradictoir. Namun jika melihat petitum
dan objek gugatan yang mana petitum hanya berisi tuntutan ax aequo et bono
dan objek sengketa tidak menyebutkan secara rinci letak atau alamat objek
sengketa dan salah dalam menyebutkan batas-batas dari objek sengketa, sehingga
menjadikan gugatan Penggugat obscuur libel. Seharusnya dalam memutus
gugatan Penggugat tidak dapat diterima Hakim menggunakan pertimbangan

hukum petitum dan objek sengketa yang kabur atau obscuur libel, bukan karena
alamat Tergugat.
Dari kesimpulan diatas, dalam menjalakan sidang pemeriksaan perkara
diharapkan Pengadilan Agama Sidoarjo untuk lebih detail dalam meneliti dan
memeriksa perkara dan cukum untuk memberikan pertimbangan dan dasar
hukumnya untuk dapat menjatuhkan putusan atau penetapan.

i

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ........ ....................................................................................

i

PERNYATAAN KEASLIAN .............................................................................

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................... iii

PENGESAHAN .................................................................................................. iv
ABSTRAK ..........................................................................................................

v

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
PERSEMBAHAN ............................................................................................... viii
MOTTO ..............................................................................................................

x

DAFTAR ISI......... .............................................................................................. xi
DAFTAR TRANSLITERASI ............................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah.......................................................... 11
C. Rumusan Masalah ................................................................................. 12
D. Kajian Pustaka....................................................................................... 12
E. Tujuan Penelitian .................................................................................. 15

F. Kegunaan Hasil Penelitian .................................................................... 16
G. Definisi Operasional.............................................................................. 16
H. Metode Penelitian.................................................................................. 17

BAB II GUGATAN OBSCUUR LIBEL DAN ALASANNYA DALAM
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
A. Harta Bersama ....................................................................................... 23
1. Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama .................................. 23
2. Macam-macam Harta Bersama ........................................................ 26
3. Pembagian Harta Bersama................................................................ 27
B. Gugatan dan Formulasinya ................................................................... 29
1. Pengertian Gugatan........................................................................... 29
2. Bentuk Gugatan ................................................................................ 31
3. Macam-macam Gugatan dalam Amar Putusan ................................ 32
4. Prinsip-prinsip Gugatan .................................................................... 34
5. Syarat-syarat Gugatan....................................................................... 36
6. Formulasi Gugatan ........................................................................... 39
C. Gugatan Obscuur Libel ......................................................................... 43
1. Pengertian Gugatan Obscuur Libel................................................... 43
2. Macam-macam Gugatan Obscuur Libel ........................................... 44

BAB III ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA SIDOARJONOMOR O2O1/Pdt.G/2014/PA.Sby
TENTANMG HARTA BERSAMA
A. Profil Pengadilan Agama Sidoarjo ........................................................ 48
B. Deskripsi Isi Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor
0201/Pdt.G/2014/PA.Sda ...................................................................... 51

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP GUGATAN OBSCUUR LIBEL
DALAM PERKARA NOMOR 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda TENTANG HARTA
BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO
A. Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam
Memutus Perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda Tentang Harta
Bersama di Pengadilan Agama Sidoarjo ................................................ 58
B. Analisis Yuridis Terhadap Kesesuaian Pertimbangan Hukum yang
Digunakan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam Memutus Obscuur
Libel Perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum Acara
Peradilan Agama..................................................................................... 63
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 72
B. Saran ....................................................................................................... 73

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara hukum1 oleh karena itu segala sesuatu tindakan
penyelenggara Negara harus berdasarkan hukum. Peran hukum dalam
kehidupan

bermasyarakat

sangatlah

penting,

karena dalam pergaulan

masyarakat terdapat aneka macam hubungan antara masyarakat, yakni

hubungan

yang

masyarakat,

ditimbulkan

disinilah

peran

oleh

kepentingan-kepentingan

hukum

sebagai


penjamin

anggota

kelangsungan

keseimbangan dalam hubungan antar anggota masyarakat tersebut. Setiap
pelanggar peraturan hukum yang ada akan dikenakan sanksi yang berupa
hukuman sebagai reaksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum yang
dilakukannya.2

Untuk itu diperlukan suatu lembaga yang mempunyai

kewenangan untuk menjalankan dan menegakkan hukum yang belaku dan
mengikat bagi setiap subjek hukum. Hal ini diperlukan untuk mencegah
terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting).3
Di Indonesia lembaga yang mempunyai kewenangan tersebut adalah
Pengadilan. Pengadilan merupakan penyelenggara Peradilan atau organisasi
yang menyelenggarakan


hukum dan keadilan sebagai pelaksana dari

kekuasaan kehakiman. Sebagai cerminan dari kekuasaan kehakiman, itu
1

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1989), 40.
3
Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdat dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata,
(Surabaya: Kencana, 2009), 1.
2

1

2

dilihat sejak diundangkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 sampai berlakunya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2004, disebutkan bahwa: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasan

Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terlaksananya Negara
Hukum Republik Indonesia.”4
Penyelenggara kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan
Peradilan

yang ditetapkan

dengan Undang-Undang.

Peradilan

adalah

kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan masalah untuk menegakkan hukum dan keadilan. Adapun
yang dimaksud dengan kekuasaan Negara adalah kekuasaan kehakiman yang
memiliki kebebasan dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan
bebas dari paksaan, direktifa atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra
yuidisial, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang.5 Sejalan
dengan tugas pokok tersebut, maka Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas. Hal ini berarti Pengadilan wajib untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara tersebut.6
Dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan

4

Kehakiman

dinyatakan

bahwa penyelenggaraan

kekuasaan

A. Rahmat Rosyid dan Sri Hatini, Advokat dalam Prespektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2003), 57.
5
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 1998), 6.
6
Bambang Sutiyosno dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2005), 27.

3

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan
Peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Adapun badan Peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara.7
Dalam Bab III Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan tentang kewenangan dan
kekuasaan mengadili yang menjadi beban tugas Peradilan Agama. Dalam
Pasal 49 ditentukan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkarta di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta
wakaf dan sedekah.8
Dalam menjalankan tugas Peradilan terdapat tiga tahap tindakan. Yaitu
tahap

pendahuluan,

pendahuluan

tahap

merupakan

penentuan
persiapan

dal tahap

menuju

pelaksanaan.

kepada

penentuan

Tahap
atau

pelaksanaan. Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan
pembuktian

sekaligus sampai pada putusannya.

Sedang dalam tahap

pelaksanaan diadakan pelaksanaan dari pada putusan.9

7

M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), 2.
8
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2005), 12-13.
9
Sudikmo Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), 5.

4

Sengketa perkawinan merupakan salah satu kewenangan absolut yang
dimiliki oleh Pengadilan Agama. Perkawinan sendiri merupakan suatu
perbuatan hukum yang meimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak
yang mengikatkan diri pada perkawinan tersebut. Hak dan kewajiban tersebut
harus dipenuhi oleh pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan.
Akibat hukum yang ditimbulkan oleh perkawinan tidak hanya sebatas dalam
hal hubungan kekeluargaan, terlebih dari itu juga dalam bidang harta
kekayaanya.10
Harta yang dapat disengketakan ketika terjadi percaraian adalah harta
yang diperoleh selama perkawinan (harta bersama) saja, sedangkan harta
bawaan tidak dapat disengketakan atau dibagi dan tetap berada di bawah
kekuasaan masing-masing pihak. Pembagian harta bersama dapat dilakukan
dengan musyawarah kekeluargaan atau atas dasar kesepakatan antara kedua
belah pihak. Tidak jarang cara kekeluargaan

tersebut

tidak berhasil

menyelesaikan permasalahan pembagian harta bersama dikarenakan adanya
pihak yang merasa diragukan, sehingga seringkai terjadi sengketa atas
pembagian harta bersama tersebut. Pengajuan gugatan atas harta bersama
bisa dilakukan dilakukan di Pengadilan Agama.11
Agar

Hakim

Pengadilan

Agama

dapat

mempertimbangkan

dan

mengabulkan gugatan Penggugat, maka Penggugat harus mencantumkan
permohonan dalam petitum gugatannya yang diajukan ke Pengadilan.
10

J. Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2012),

1.
11

Ibid.

5

Pengajuan gugatan hak pada dasarnya adalah merupakan salah satu upaya
mendapatkan jaminan kepastian hukum atas hak perdata materiil.12 Tiap
orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
dianggap merugikan lewat Pengadilan.13 Pengajuan gugatan bisa secara tulis
ataupun secara lisan. Gugatan lisan dibenarkan kepada mereka yang buta
huruf. Namun dalam perkembangannya, praktek Peradilan sekarang tidak
lazim lagi ditemukan pengajuan gugatan secara lisan.14
Dalam tata hukum Indonesia, kata gugatan atau permohonan hanya
dipakai dalam kaitan Acara Perdata.15 Perbedaan antara gugatan dan
permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau
konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan. Sedangkan yang
disebut permohonan tidak ada sengketa, misalnya apabila segenap ahli waris
almarhum secara bersama-sama menghadap ke Pengadilan untuk mendapat
suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum.16
Cara pengajuan gugatan diatur dalam Pasal 118 H.I.R, akan tetapi pasal
118 H.I.R tidak mengatur hal-hal apa saja yang harus dimuat dalam surat
gugatan.17 Namun mengenai persyaratan tentang isi daripada gugatan kita
dapat melihat dalam Pasal 8 ayat (3) Rv yang mengharuskan adanya pokok

12

Edi As’Adi, Hukum Acara Perdata dalam Prespektif Mediasi (ADR) di Indonesia, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012), 9.
13
R, Soeroso, Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 26.
14
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2004), 25.
15
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1994), 63.
16
Retnowulan Sutanto, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), 10.
17
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Binacipta, 1989), 30.

6

gugatan yang meliputi:18 “(a) Identitas dari para pihak; (b) Dalil-dalil konkret
tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan
dari

tuntutan.

Dalil-dalil

ini

lebih

dikenal

dengan

istilah

fundamentium petebdi; (c) Tuntutan atau ini harus jelas dan tegas. H.I.R
dan R.Bg sendiri hanya mengatur mengenai cara mengajukan gugatan.”
Formulasi gugatan yang disusun dan diajukan penggugat merupakan dasar
serta acauan dalam pemeriksaan perkara tersebut di Pengadilan. Apabila
gugatan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat formil sebuah gugatan, maka
akibat hukumnya adalah gugatan tersebut akan dinyatakan tidak dapat
diterima (Neit Ont Van Kelijk Ver Klaard) yang disingkat NO. Dengan
demikian, surat gugatan yang diajukan ke Pengadilan harus disusun dan
dirumuskan secara sistematis.19
Jika ada ketidakjelasan dari gugatan yang diajukan, maka Pengadilan
berhak untuk tidak menerima gugatan tersebut. Karena gugatan dianggap
kabur (obscuur libel) sehingga perkara tidak dapat diterima dan harus
membuat gugatan baru jika ingin perkara tersebut diperiksa di Pengadilan.20
Yang dimaksud obscuur libel adalah surat gugatan Penggugat yang tidak
jelas. Sebab kejelasan suatu surat gugatan merupakan syarat formil dari
sebuah gugatan. Ada beberapa alasan atau pertimbangan Hakim dalam
menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima, salah satunya adalah

18

Sophar Maru Hutangalung, Praktik Peradilan Perdata Teknis Mengenai Perkara di Pengadilan,
(Jakrta: Sinar Grafika, 2011), 17
19
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar…, 28.
20
R, Soeroso, Tata Cara dan…, 90.

7

dengan alasan obscuur libel, misalnya menyangkut

batas-batas

objek

sengketa yang tidak jelas. Hakim memegang peranan penting dalam menilai
dan mempertimbangkan formalitas sebuah gugatan, yakni apakah telah
memenuhi syarat formil berdasarkan Pasal 8 Rv atau tidak. Setiap pihak yang
ingin mengajukan gugatan haruslah mempunyai kepentingan hukum yang
cukup.21
Patokan perkara obscuur libel adalah:22 “(a) Fundamentum Petendi tidak
menjelaskan dasar gugatan; (b) Tidak jelas objek yang disengketakan; (c)
Penggabungan perkara yang tidak jelas; (d) Bertentangan antara posita dan
petitum; (e) Petitum tidak terinci.”
Untuk mengatasi adanya kekurangan-kekurangan yang dihadapi oleh para
pencari keadilan
atau

dalam memperjuangkan kepentingannya,

Pasal 119 HIR

Pasal 143 RBg memberi wewenang kepada Ketua Pengadilan untuk

memberi nasehat dan bantuan kepada pihak Penggugat dalam pengajuan
gugatannya. Dengan demikian hendak dicegah pengajuan gugatan-gugatan
yang cacat formil atau gugatan yang tidak sempurna, yang akan dinyatakan
tidak dapat diterima.23 Namun pada prakteknya masih ada atau sering perkara
yang berakhir dengan dictum putusan yang menyatakan gugatan Penggugat
tidak dapat diterima.

21

Sudikmo Mertokusumo, Hukum Acara…, 53.
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), 88-89.
23
Sudikmo Mertokusumo, Hukum Acara…, 67.
22

8

Sebelum memasuki pemeriksaan perkara di persidangan maka para pihak
yang berperkara harus dipanggil terlebih dahulu. Panggilan menurut Hukum
Acara Perdata ialah menyampaikan secara resmi (official) dan patut

(properly) kepada pihak-pihak yang terlibat

dalam suatu perkara di

Pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan
diperintahkan majelis hakim atau pengadilan. Meurut pasal 388 dan pasal 390
ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah jurusita. Hanya
yang dilakukan jurusita panggilan dianggap resmi dan sah. Kewenangan
jurusita ini berdasarkan pasal 121 ayat (1) HIR diperolehnya lewat perintah
ketua (Majelis Hakim) yang dituangkan pada penetapan hari sidang atau
penetapan pemberitahuan,24
Pemanggilan terhadap tergugat harus dilakukan secara patut. Setelah
melakukan panggilan, jurusita harus menyerahkan risalah (relaas) panggilan
kepada Hakim yang akan memeriksa perkara tersebut yang merupakan bukti
bahwa tergugat telah dipanggil. Oleh karena itu, sah tidaknya pemanggilan
dan pemberitahuan yang dilakukan oleh pihak pengadilan sangat menentukan
baik atau buruknya proses pemeriksaan persidangan di pengadilan.25
Perkara ini diawali dengan gugatan harta bersama yang diajukan oleh
Pemohon tanggal 20 Januari 2014 di Pengadilan Agama Sidoarjo. Pada saat
hari sidang yang telah ditentukan atau persidangan pertama Penggugat dan
Tergugat hadir dan Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan kedua belah

24
25

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 213.
Dwimas Andila, Pemanggilan Pihak-Tinjauan Umum (FHUI: adobe reader, 2009), 9.

9

pihak namun tidak berhasil. Kemudian Penggugat dan Tergugat juga telah
menjalankan mediasi akan tetapi hasil dari mediasi antara para pihak tidak
berhasil atau telah gagal mencapai kesepakatan. Pada saat persidangan kedua
dan selanjutnya Tergugat tidak pernah datang menghadap, dan menurut
relaas panggilan yang disampaikan oleh juru sita Pengadilan Agama Sidoarjo,
Tergugat sudah tidak tinggal di alamat sebagaimana alamat Tergugat di
dalam surat gugatan Penggugat, bahkan Majelis Hakim telah memerintahkan
kepada Penggugat untuk mencari alamat Tergugat, akan tetapi Penggugat
masih tetap memberikan alamat sebagaimana alamat Tergugat yang ada di
dalam surat gugatan.
Berdasarkan pertimbangan

hukum tersebut

di atas, maka gugatan

Penggugat dikatakan tidak jelas (obscuur libel), oleh karenanya Majelis
Hakim menyatakan bahwa gugatan harta bersama yang diajukan oleh
Penggugat tidak dapat diterima (di NO = Nit Onvankeljke Verklaard).
Dari pemaparan diatas penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih
lanjut mengenai bagaimana prosedur Hakim dalam menetapkan obscuur libel
sebagaimana yang telah diputus oleh pihak Pengadilan Agama Sidoarjo
terhadap putusan perkara 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dan disamping itu penulis
ingin mengetahui bagaimana kesesuaian pertimbangan hukum dan dasar
hukum yang digunakan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dengan Hukum
Acara Peradilan Agama. Sehingga penulis bermaksud mengadakan penelitian
terhadap

putusan

perkara

tersebut.

10

Disini penulis mengangkat masalah obscuur libel dari sudut pandang yang
berbeda dengan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo. Hakim Pengadilan
Agama Sidoarjo menganggap bahwa gugatan Penggugat obscuur libel
dikarenakan alamat Tergugat tidak jelas atau kabur, sedangkan ketika dilihat
dalam fakta persidangan Tergugat hadir dalam persidangan pertama sehingga
dapat dikatakan bahwa Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut dengan
relaas panggilan yang disampaikan oeleh jusu sita. Maka dapat disimpulkan
bahwa alamat Tergugat jelas atau tidak kabur.
Kalaupun relaas terebut tidak samapai kepada Tergugat sejak panggilan
pertama dan Kepala Desa menerangkan bahwa Tergugat sudah tidak
bertempat tinggal sebagaimana dalam alamat surat gugatan maka Juru Sita
seharusnya menyampaikan surat panggilan kepada Bupati dan selanjutnya
menempelkannya pada papan pengumuman Pengadilan Agama agar Tergugat
tahu bahwa dia merupakan pihak yang berperkara dalam perkara tersebut. Hal
tersebut sesuai dengan Pasal 390 ayat (3) HIR atau Pasal 718 ayat (3) RBg.
Disini penulis berpendapat lain bahwa obscuur libel dalam gugatan
Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda terletak pada objek sengketa dan petitum.
Objek sengketa harus rinci baik alamat atau letak objek, luas objek, serta
batas-batas objek sengketa. Sedangkan dalam merumuskan petitum gugatan
harus secara jelas dan tegas apa yang dimintakan kepada Hakim. Dalam
gugatan Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda objek sengketa tidak dirinci secara

11

jelas, dan petitumnya hanya berbentuk ex-aequo et beno (mohon keadilan)
saja sehingga tidak memenuhi syarat formil suatu gugatan.
Dari pemaparan tersebut diatas penulis membahas masalah tersebut
dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Gugatan Obscuur Libel Dalam
Putusan

Nomor 0201/Pdt.G/2014/Pa.Sda

Tentang

Harta

Bersama Di

Pengadilan Agama Sidoarjo”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Sesuai dengan paparan latar belakang masalah di atas dapat diketahui
timbulnya beberapa masalah yang berhubungan dengan obscuur libel dalam
perkara

Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda

tentang

harta

bersama

di

Pengadilan Agama Sidoarjo sebagai berikut:
1. Syarat-syarat bentuk dan formulasi gugatan.
2. Syarat-syarat gugatan obscuur libel.
3. Gugatan tidak dapat diterima.
4. Hukum Acara Peradilan Agama.
5. Pertimbangan hukum putusan Pengadilan Agama Sidoarjo menyatakan

obscuur libel gugatan 0201/Pdt.G/’2014/PA.Sda tentang harta bersama.
6. Dasar hukum putusan Pengadilan Agama Sidoarjo menyatakan obscuur

libel putusan 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama.
7. Kesesuaian

putusan

Pengadilan

Agama

Sidaorjo

perkara

Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda yang menggunakan pertimbangan hukum dan
dasar hukum dengan Hukum Acara Peradilan Agama.

12

Dari identifikasi masalah tersebut peneliti membatasi masalah yaitu:
1. Pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus
perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda

tentang harta bersama di

Pengadilan Agama Sidaorjo.
2. Kesesuaian pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim
dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum
Acara Peradilan Agama.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim
dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta
bersama di Pengadilan Agama Sidaorjo?
2. Bgaimana kesesuaian pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis
Hakim dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan
Hukum Acara Peradilan Agama?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya untuk memperoleh
gambaran mengenai permasalahan yang akan diteliti dengan penelitian
sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya sehingga diharapkan
tidak ada pengulangan penelitian secara mutlak. Sepanjang data yang penulis
peroleh tentang gugatan obscuur libel di Pengadilan Agama yang pernah
dilakukan,

diantaranya

adalah:

13

1. Skripsi yang disusun oleh saudari Fatmawati dengan judul “Analisis
Yuridis Terhadap Putusan Hakim No.1359/Pdt.G/2013/PA.Mlg dengan
Alasan Gugatan Obscuur Libel dalam Perkara Cerai Gugat.” Penelitian
ini membahas tentang pertimbangan Majelis Hakim bahwasanya gugatan
dari Penggugat tidak secara spesifik mendalilkan dan mengemukakan
alasannya sendiri melainkan

hanya mengangkat

dalil dan alasan

sebagaimana yang dipergunakan dalam jawaban dan duplik dalam perkara
No.1122/Pdt.G/2009/PA.Mlg. Adapun analisis terhadap putusan Hakim
No. 1359/Pdt.G/2013/PA.Mlg yang menyatakan gugatan obscuur libel
dalam perkara cerai gugat adalah jika dilihat dari asas Peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.26
2. Skripsi yang disusun oleh saudara Syihabuddin yang berjudul “Tinjauan
Yuridis Terhadap Putusan Neit OnvantKelijk (NO) (Studi Kasus Perkara
No. 0380/Pdt.G/2013/PA.Mlg).” Penelitian ini membahas tentang dasar
Majelis Hakim menjatuhkan putusan tidak dapat menerima gugatan cerai
Penggugat dikarenakan gugatan obscuur libel sebab kuasa hukum dari
Penggugat

telah melampaui

batasan

kewenangan dari hak kuasa.

Bahwasanya Penggugat telah memberi kuasa kepada kuasa hukumnya
untuk menggugat cerai Tergugat saja tidak termasuk menggugat lainnya.

26

Fatmawati, Analisis Yuridis Terhadap Putusan Hakim No.1359/Pdt.G/2013/PA.Mlg dengan
Alasan Gugatan Obscuur Libel dalam Perkara Cerai Gugat, Prodi Ahwalus Syakhsiyah, Jurusan
Hukum Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014.

14

Hal ini sudah sesai dengan Pasal 123 ayat (1) HIR dan SEMA No. 1
Tahun 1971 jo. SEMA No.6 Tahun 1994.27
3. Skripsi yang disusun oleh saudari Rasidatul Fitriah dengan judul
“Pembatalan

Putusan Oleh MA Terhadap Putusan PTA Surabaya

Tentang Gugatan Obscuur Libel dalam Perkara Sengketa Waris (Analisis
Putusan

466

pertimbangan
Surabaya

K/AG/1999).”

Penelitian

ini

membahas

tentang

hukum yang dipakai oleh Pengadilan Tinggi Agama

membatalkan

putusan

Pengadilan

Agama Pasuruan

dan

memutus tidak menerima gugatan dari Penggugat karena obscuur libel
dengan adanya ketidakjelasan kebenaran hubungan nasab ahli waris yang
merupakan subjek gugatan. Akan tetapi Mahkamah Agung membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya tentang gugatan obscuur

libel dalam perkara sengketa waris. Menurut Mahkamah Agung tidak
adanya

unsur obscuur libel dalam gugatan

yang diajukan

oleh

Penggugat28.
4. Skripsi yang disusun oleh saudara M. Riyan Fadli dengan judul “Analisis
Terhadap Putusan Nomor: 318/Pdt.G/2007/PA.Sda tentang Penolakan
Pembagian Harta Bersama.” Penelitian ini membahas tentang dasar
pertimbangan hukum yang dipakai oleh Pengadilan Agama Sidoarjo
dalam memutus perkara Nomor: 318/Pdt.G/2007/PA.Sda yang mana
27

Syihabuddin, Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Neit OnvantKelijk (NO) (Studi Kasus
Perkara No. 0380/Pdt.G/2013/PA.Mlg), Jurusan Ahwalus Syakhsiyah, Fakultas Syariah, UIN

Sunan Ampel Surabaya, 2013.
28
Rasidatul Fitriah, Pembatalan Putusan Oleh MA Terhadap Putusan PTA Surabaya Tentang
Gugatan Obscuur Libel dalam Perkara Sengketa Waris (Analisis Putusan 466 K/AG/1999),
Jurusan Ahwalus Syahsiyah, Fakultas Syariah, IAIN Sunan Ampel Surbaya, 2007.

15

Hakim telah mengabulkan gugatan dari istri tentang harta bersama semua
jatuh kepada istri dikarenakan perjanjian yang dibuat dari sisi hukum
yang dipakai di Indonesia dalam hal pembuatan perjanjian.29
Dalam skripsi ini penulis mencoba mengkaji putusan Pengadilan Agama
Nomor 0201/Pdt.g/2014/PA.Sda tentang gugatan harta bersama yang tidak
dapat diterima oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo karena
pertimbangan hukum yang menyatakan alamat Tergugat kabur sehingga
menyebabkan gugatan obscuur libel. Dari pemaparan penulis tentang tinjauan
pustaka diatas, penulis memilih bahwa topik yang akan dibahas disini
berbeda dengan skripsi-skripsi yang terdahulu. Judul skripsi yang akan
dibahas penulis adalah “Analisis Yuridis Terhadap Gugatan Obscuur Libel
Dalam Putusan Nomor 0201/Pdt.G/2014/Pa.Sda Tentang Harta Bersama Di
Pengadilan Agama Sidoarjo”, belum ada yang membahas.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan dari rumusan
masalah diatas, sehingga dapat diketahui secara jelas dan terperinci tujuan
diadakannya penelitian ini. Adapun tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum yang digunakan oleh
Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda
tentang harta bersama di Pengadilan Agama Sidaorjo.

29

M. Riyan Fadli. Analisis Terhadap Putusan Nomor: 318/Pdt.G/2007/PA.Sda tentang Penolakan
Pembagian Harta Bersama, Prodi Ahwalus Syakhsiyah, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam,
UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014

16

2. Untuk mengetahui bagaimana kesesuaian pertimbangan hukum yang
digunakan

oleh Majelis

Hakim dalam memutus

perkara

Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum Acara Peradilan Agama.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat sekurangkurangnya dalam dua hal sebagai berikut:
1.

Kegunaan secara teoritis, yaitu memperkaya khazanah keilmuan, dapat
dijadikan sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya dan untuk
memperkaya literatur pengetahuan tentang gugatan obscuur libel.

2. Kegunaan secara praktis, sebagai acuan pembaca untuk lebih memahami
arti sebuah gugatan obscuur libel khususnya bagi masyarakat yang
berperkara.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya multi interpertasi terhadap pengertian yang
dimaksud penulis perlu menjelaskan dan memberikan definisi terhadap
istilah-istilah

yang menunjukkan ke arah pembahasan yang sesuai dengan

maksud dan tujuan pokok tersebut, yaitu:
1. Analisis Yuridis adalah suatu penguraian berdasarkan pandangan Hukum
Acara Peradilan Agama.
2. Obscuur Libel adalah

surat

gugatan

penggugat

tidak

jelas.

Sebab

kejelasan suatu surat gugatan merupakan syarat formil dari sebuah
gugatan. Dalam putusan ini yang dianggap obscuur libel mengenai alamat
Tergugat yang tidak jelas atau kabur. Namun dalam skripsi ini yang

17

dimaksud dengan obscuur libel adalah alamat Tergugat yang tidak jelas
(kabur)
3. Harta Bersama adalah harta yang diperoleh suami istri selama perkawinan
berlangsung.
4. Putusan

Pengadilan Agama Sidoarjo adalah produk hukum yang

dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Sidoarjo terhadap gugatan perkara
harta bersama Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda.
H. Metode Penelitian
Di dalam skripsi ini penulis membahas tentang analisis yuridis terhadap
gugatan obscuur libel dalam putusan nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang
harta bersama di Pengadilan Agama Sidoarjo. Agar tercipta penulisan skripsi
yang sistematis jelas dan benar, maka perlu dijelaskan tentang metode
penelitian sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Dengan adanya penelitian ini maka data yang diperlukan adalah isi
putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda
tentang harta bersama, yang meliputi:
a. Identitas dari para pihak.
b. Posita atau fundamentium petendi.
c. Petitum atau tuntutan.
d. Pertimbangan hukum.
e. Dasar hukum.
f. Amar putusan.

18

2. Sumber data
Yang menjadi sumber data dalam penelitian adalah dari mana data
dapat diperoleh.30 Maka berdasarkan data yang akan dihimpun di atas,
yang menjadi sumber data penelitian ini adalah:
a. Sumber primer adalah sumber yang diperoleh secara langsung dari
subyek penelitian. Dalam penelitian ini sumber primer adalah:
1) Putusan

Pengadilan

Agama

Sidoarjo

Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda.
b. Sumber sekunder yaitu data yang diambil dan diperoleh dari bahan
pustaka dengan mencari data informasi berupa benda-benda tertulis
seperti buku-buku, majalah, dokumen peraturan-peraturan dan catatan
harian lainnya. Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan
data sekunder berupa buku-buku yang terkait dengan pembahasan ini,
yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3) Kompilasi Hukum Islam
4) HIR dan RBg
5) Buku “Praktek Perkara Perdata” karya Mukti Arto.
6) Buku “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah

Syar’iyah” karya Mardani.
30

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2002), 129.

19

7) Buku “Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama”
karya Yahya Harahap.
8) Buku “Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek” karya
Retnowulan.
9) Buku “Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama” karya
Ahmad Mujahidin.
10)

“Hukum

Buku

Acara

Perdata

Tentang

Gugatan,

Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Putusan Pengadilan”
karya Yahya Harahap.
11) Sumber-sumber lain yang berkaitan dengan skripsi ini.
3. Teknik pengumpulan data
a. Dokumentasi
Dokumentasi yakni mengumpulkan data yang dilakukan
melalui data tertulis dengan menggunakan contetct analysis.31
Dalam hal ini dokumentasi dilakukan dengan telaah dan mengutip
isi putusan.
b. Wawancara (Interview)
Wawancara

adalah

suatu

bentuk

komunikasi

atau

percakapan antara dua prang atau lebih guna memperoleh
informasi, yakni dengan cara bertanya langsung kepada sebyek
atau informasi yang diinginkan guna mencapai tujuan dan
memperoleh

31

data

yang

dijadikan

sebagai

bahan

Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Surabaya, Hilal Pustaka, 2013), 208.

laporan

20

penelitian.32 Mengadakan tanya jawab kepada Majelis Hakim dan
Penitera di Pengadilan Agama Sidoarjo yang memutus perkara
Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda sebagai narasumber dan Hakim
lain Pengadilan Agama yang tidak memutus perkara tersebut
sebagai informan.
4. Teknik analisis data
Teknik analisis data yang digunakan

dalam penelitian

ini

menggunakan teknik deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif.
Teknik deskriptif analisis yaitu suatu metode yang menggambarkan
dan menafsirkan data yang telah terkumpul dengan pola pikir
deduktif, yaitu dengan menggunakan teori-teori

bersifat umum

tentang putusan harta bersama dalam hukum acara Peradilan Agama
kemudian digunakan untuk menganalisis isi putusan perihal putusan
harta bersama yang dalam amarnya menyatakan gugatan tidak dapat
diterima karena obscuur libel secara khusus untuk memeperoleh
kesimpulan.
I. Sistematika Pembahasan
Agar terbangun pemahaman yang jelas tentang kajian skripsi ini, penulis
menyusun sistematika pembahasannya menjadi V bab sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan meliputi Latar Belakang, Identifikasi
dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian,

32

S. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah), (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 113.

21

Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian dan
Sistematika Pembahasan.
Bab kedua adalah landasan teori alasan gugatan obscuur libel dalam
Hukum Acara Peradilan Agama yang memeparkan tentang harta bersama
(pengertian dan dasar hukum harta bersama. macam-macam harta bersama,
pembagian harta bersama). Kemudian tentang gugatan dan formulasinya
(pengertian gugatan, bentuk gugatan, macam-macam gugatan dalam putusan,
prinsip-prinsip gugatan. Serta memaparkan tentang alasan gugatan obscuur
libel (pengertian gugatan obscuur libel, macam-macam gugatan obscuur libel.
Bab ketiga adalah alasan gugatan obscuur libel dalam putusan Pengadilan
Agama Sidoarjo perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda merupakan bab
yang memeparkan data tentang profil Pengadilan Agama Sidoarjo (letak
geografis, wewenang Pengadilan Agama Sidoarjo, dan struktur organisasi
Pengadilan

Agama Sidoarjo).

Serta

mendeskripsikan

gugatan

Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda .
Bab keempat adalah analisis yuridis terhadap gugatan obscuur libel dalam
perkara

Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda

tentang

harta

bersama

di

Pengadilan Agama Sidoarjo merupakan bab yang menguraikan tentang
analisis yuridis terhadap pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama
Sidoarjo dalam memutus

perkara nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda

dan

analisis yuridis terhadap kesesuaian pertimbangan hukum yang digunakan
Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam memutus obscuur libel Perkara
Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda

dengan Hukum Acara Peradilan Agama.

22

Bab kelima adalah penutup yang berisi tentang kesimpulan dari kajian ini
dan saran-saran.

23

BAB II
GUGATAN OBSCUUR LIBEL DAN ALASANNYA DALAM HUKUM
ACARA PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
A. Harta Bersama
1. Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh
suami istri selama dalam ikatan perkawinan, Hal ini diatur dalam Pasal 35
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu sebagai
berikut:33
a. Harta bersma yang diperoleh selama perkawian menjadi harta
bersama.
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di
bawah

penguasaan

masing-masig

sepanjan

para

pihak

tidak

menentukan lain.
Dari pengetian Pasal 35 diatas, dapat dipahami bahwa segala harta
yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan di luar harta warisan,
hibah dan hadiah merupakan harta bersama. Karena itu, harta yang
diperoleh

suami

atau

istri

berdasarkan

usahanya

masing-masing

merupakan milik bersama suami istri. Lain halnya harta yang diperoleh
masing-masing suami dan istri sebelum akad nikah, yaitu harta asal atau

33

Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2012), 56.

23

24

harta bawaan. Harta asal itu, akan diwarisi oleh masing-masing
keluarganya

bila pasangan

suami istri

itu

meninggal

dan tidak

mempunyai anak.34
Menurut Pasal 37

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

penjelasan pasalnya, akibat hukum perceraian terhadap harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing, yang mencakup hukum agama,
hukum adat atau hukum lain. Ini berarti bahwa Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 menyerahkan kepada para pihak (mantan suami dan mantan
istri) yang bercerai untuk memilih hukum mana dan hukum apa yang akan
berlaku, dan jika tidak ada kesepakan maka Hakim di Pengadilan dapat
mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.35
Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberi pengertian harta bersama adalah
harta benda yang diperoleh suami dan istri selama berlangsungnya
perkawinan. Dalam Pasal 85 KHI disebutkan adanya harta bersama dalam
perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing suami istri, bahkan dalam Pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa
pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri dalam
perkawinan.36
Sedangkan menurut hukum Islam, harta suami istri tidak terpisah,
dalam arti masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan atau

34

Ibid.
Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 425.
36
Saekan, Erniati Efendi, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, (Surabaya: aeloka, 1997), 75.
35

25

membelanjakan harta sepenuhnya, tanpa boleh diganggu oleh pihak lain.
Harta benda yang menjadi hak sepenuhnya masing-masing pihak adalah
harta bawaan masing-masing sebelum terjadi perkawinan ataupun harta
yang diperoleh masing-masing pihak dalam masa perkawinan yang bukan
merupakan usaha bersama, misalnya menerima warisan, hibah, dan lain
sebagainya.37
Dalam kitab-kitab

fiqh tradisional,

harta bersama diartikan

sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka
diikat oleh tali perkawinan atau dengan perkaatan lain disebutkan bahwa
harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah
antara suami istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan
yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Dasar hukumnya adalah
Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 32 dimana dikemukakan bahwa bagi
semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua
wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula.38
Jadi ketika mereka (suami istri) telah terikat dalam perjanjian
perkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi bersatu, baik
harta maupun anak-anak seperti yang diatur dalam Al-Qur’an surat AnNisa’ ayat 21. Tidak perlu diiring dengan syirkah (perjanjian dalam
perkawinan). Sebab perkawinan dengan ijab qobul serta memenuhi

37

Ibid., 413.
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana Pernada Media,
2006), 109.
38

26

persyaratan lain-lainnya seperti wali, saksi, mahar sudah dapat dianggap
adanya syirkah antara suami istri.39
2. Macam-Macam Harta Bersama
Mengenai macam-macam harta dalam perkawinan, menurut pasal
35

Undang-Undang

Nomor

1 Tahun

1974

tentang

perkawinan

menyebutkan sebagai berikut:40
a. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di
bawah penguasaan

masing-masing

sepanjang

para pihak tidak

menentukan lain.
Sedangkan

dalam KHI pasal 85 sanpai dengan pasal 97

disebutkan, bahwa harta perkawinan dapat dibagi menjadi:41
a. Harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami sejak sebelum
perkawinan.
b. Harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawa istri sejak sebelum
perkawinan.
c. Harta bersama suami dan istri, yaitu harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama suami dan istri.
d. Harta dari hasil hadiah, hibah, waris dan shadaqah suami, yaitu harta
yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan.

39

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 232.
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum…, 11.
41
Suyuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, Universitas Indonesia, 1986), 83.
40

27

e. Harta dari hasil hadiah, hibah, waris dan shadaqah istri, yaitu harta
yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harta benda yang
menjadi hak sepenuhnya masing-masing pihak adalah harta bawaan
masing-masing sebelum terjadi perkawinan ataupun yang diperoleh
masing-masing pihak dalam masa perkawinan yang bukan merupakan
usaha bersama, misalnya menerima warisan, hibah, shadaqah dan lain
sebagainya. Sedangkan harta bersama adalah harta yang diperoleh
masing-masing suami istri dalam masa perkawinan melalui usaha mereka
berdua atau dari usaha salah satu dari mereka. Dalam hal ini, suami istri
dapat mempergunakan harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak.
3. Pembagian Harta Bersama
Menurut Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 37
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dikemukakan
bahwa harta bersama antara suami istri apabila terjadi putusnya
perkawinan, baik karena kematian atau perceraian, maka kepada suami
dan istri tersebut masing-masing mendapat setengah bagian dari harta
yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung.
Sehubungan dengan hal tersebut, pembagian harta bersama adalah
setengah untuk suami dan setengah untuk istri. Dalam kasus-kasus
tertentu, dapat dilenturkan mengingat realita dalam kehidupan keluarga
di beberapa

daerah

Indonesia

ini ada pihak suami

yang tidak

berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga. Dalam hal ini,

28

sebaiknya para praktisi hukum, lebih hati-hati dalam memeriksa kasuskasus tersebut, agar memenuhi rasa keadilan, kewajaran dan kepatutan.
Oleh karena itu, perlu adanya pertimbangan khusus tentang partisipasi
pihak suami dalam mewujudkan harta bersama keluarga, sehingga bagian
yang menetapkan setengah dari harta bersama untuk istri dan untuk suami
perlu dilenturkan

lagi, sehingga yang diharapkan oleh Pasal 229

Kompilasi Hukum Islam.42
Sedangkan cara mendapatkan harta bersama adalah sebagai
berikut:43
a. Pembagian harta bersama dapat diajukan bersamaan dengan saat
mengajukan gugat cerai dengan menyebutkan harta bersama dan
bukti-bukti bahwa harta tersebut diperoleh selama perkawinan dalam
“posita” (alasan pengajuan gugatan). Permintaan pembagian harta
disebutkan dalam “petitum” (tuntutan).
b. Pembagian harta bersama dapat diajukan setelah adanya putusan
perceraian, artinya mengajukan gugatan atas harta bersama. bagi yang
beragama Islam gugatan atas harta bersama diajukan ke Pengadilan
Agama di wilayah tempat tinggal istri. Untuk non-Islam gugatan
pembagian harta bersama diajukan ke Pengadilan Negeri tempat
tinggal “termohon”.

42
43

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum…, 129.
Muhammad Syaifuddin, IHukum PerceraianI…, 427.

29

B. Gugatan dan Formulasinya
1. Pengerian Gugatan
Untuk mengajukan tuntutan hak ke pengadilan, maka seseorang
harus membuat gugatan44. Yang dimaksud dengan gugatan adalah suatu
tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat melalui
pengadilan.45 Menurut pakar hukum positif, gugatan adalah tindakan
guna memperoleh

perlindungan

hakim untuk

menuntut

hak atau

memeriksa pihak lain memenuhi kewajibannya.46
Gugatan dapat disimpulkan sebagai suatu tuntutan hak dari setiap
orang atau pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan
kepentingannya dirugikan dan menimbulkan perselisihan, yang ditujukan
kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan kerugian itu melalui
pengadilan.47
Surat gugatan ialah surat yang diajukan oleh penggugat kepada
ketua pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di
dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan landasan
dasar pemeriksan perkara.48
Dalam perkara gugatan terdapat dua pihak yang saling berhadapan
(yaitu penggugat dan tergugat).49 Permohonan atau gugatan yang

44
Wahju Muljiono, Teori dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2012), 53.
45
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 31.
46
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), 48.
47
Sopar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan., 1.
48
Mukti Anto, Praktek Perkara Perdata, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), 39
49
Ibid.

30

prinsipnya harus dibuat tertulis oleh pemohon atau penggugat atau
kuasanya,50
Secara umum dan teoritis untuk membuat suatu surat gugatan
dikenal dua pola penyusunan, yaitu:51
a. Substantieringstheorie
Suatu teori yang membahas cara pembuatan surat gugatan
hendaknya harus diperinci secara detail mulai dari adanya hubungan
hukum sebagai dasar gugatan (rechtsfronden, legal grounds), dasar
dan sejarah gugatan, serta kejadian formal atau material dari gugatan.
Misalnya penggugat mendalilkan dalam surat gugatannya bahwa ia
sebagai pemilik dari sebidang tanah dengan luas dan batas-batas
tertentu

sebagaimana sertifikat

hak atas tanah. Maka menurut

substantieringstheorie, tidak cukup penggugat hanya menyebutkan
dalam gugatannya bahwa ia sebagai pemilik, tetapi juga harus
diuraikan terlebih dahulu secara mendetail dan terperinci dalam
gugatannya dengan menyebutkan data dan hubungan hukum.
b. Individualiseringstheorie
Suatu teori yang membahas agar dalam penyusunan surat
gugatan dibuat secara garis besarnya saja tentang dasar hubungan
hukum dalam gugatan

atau kejadian material.

Jadi, terhadap

ketentuan kaidah atau pasal tersebut dirumusakn secara umum

50

Sulaikin Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Yustisia,2012), 53.
51
Sopar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan., 16.

31

kemudian diindualisasikan pada gugatan dan terhadap hal lainnya,
seperti dasar pokok gugatan, sejarah gugatan, dan lainnya dapat
dijelaskan dalam sidang berikutnya, baik dalam tahap replik, duplik
maupun pembuktian. Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
perumusan kejadian material secara singkat telah memenuhi syarat
dan gugatan tidak obscuur libel.
2. Bentuk Gugatan
Tentang bentuk gugatan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal
118 ayat (1) HIR atau Pasal 142 ayat (1) RBg dan Pasal 120 HIR atau
Pasal 144 ayat (1) RBg. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut, gugatan
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:52
a. Bentuk tertulis
Pada prinsipnya semua gugatan atau permohonan harus dibuat
secara tertulis.53 Gugatan tertulis dia