TERAPI BEHAVIOR DENGAN TEKNIK MODELLING UNTUK MENINGKATKAN KEMANDIRIAN REMAJA DI DESA NGAYUNG KECAMATAN MADURAN KABUPATEN LAMONGAN.

(1)

TERAPI BEHAVIOR DENGAN TEKNIK MODELLING UNTUK MENINGKATKAN KEMANDIRIAN REMAJA DI DESA NGAYUNG

KECAMATAN MADURAN KABUPATEN LAMONGAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar

Sarjana Sosial Islam (S. Sos.I)

Oleh: Ahmad Faizin NIM.B03212003

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

JURUSAN DAKWAH

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Ahmad Faizin (B03212003), 2016. “Terapi Behavior dengan Teknik Modelling Untuk Meningkatkan Kemandirian Remaja di Desa Ngayung Kecamatan Maduran Kabupaten Lamongan ”.

Fokus penelitian ini meliputi : 1) Bagaimana proses terapi behavior dengan teknik

modeling dalam meningkatkan kemandirian remaja di Desa Ngayung kecamatan

Maduran kabupaten Lamongan. 2) Bagaimana hasil akhir terapi behavior dengan

teknik modeling dalam meningkatkan kemandirian remaja di Desa Ngayung

kecamatan Maduran kabupaten Lamongan.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriftif komparatif. Sedangkan dalam pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Setelah data terkumpul Bimbingan dan Koseling Islam antara teori dan lapangan serta membandingkan ko, analisa dilakukan untuk mengetahui proses serta hasil dengan membandingkan ndisi klien sebelum dan sesudah mendapatkan konseling dalam menganalisa.

Analisa yang dilakukan yakni untuk mengetahui proses dan keberhasilan pelaksanaan dengan menggunakan metode dan teknik analisis data tersebut, maka

diperoleh suatu kesimpulan bahwa pelaksanaan terapi behavior dengan teknik

modeling dalam meningkatkan kemandirian remaja di Desa Ngayung kecamatan Maduran kabupaten Lamongan dilakukan oleh konselor dengan cara menerapkan

langkah-langkah sebagai berikut: pertama identifikasi masalah, kedua diagnosis,

ketiga prognosis, keempat terapi dan kelima evaluasi.

Terkait erat antara hasil bimbingan konseling Islam dengan menggunakan terapi behavior dengan teknik modeling dalam meningkatkan kemandirian remaja di Desa Ngayung kecamatan Maduran kabupaten Lamongan dapat dikatakan cukup berhasil. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya perubahan pada diri konseli dan dengan melihat skala penilaian dan wawancara dengan konseli, ibu konseli, tetangga konseli dan salah satu teman dekat konseli.

Hasil akhir dari proses konseling dalam penelitian ini dapat dikatakan cukup berhasil dengan prosentase 75%, yang mana hasil tersebut dapat dilihat dari adanya perubahan perilaku pada sikap dan perilaku konseli yang kurang baik menjadi lebih baik.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Maksud dan Tujuan ... 8

D. Manfaat penelitian ... 8

E. Definisi Konsep ... 9

F. Metode penelitian ... 10

G. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Terapi Behavior, Teknik Modelling ... 21

1. Terapi Behavior ... 21

2. Teknik Modelling ... 28

3. Kemandirian ... 37

B. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ... 46

BAB III : PENYAJIAN KATA A. Deskripsi Umum Objek Penelitian ... 49

1. Deskripsi Lokasi penelitian ... 49

a. Desa Ngayung ... 49

2. Deskripsi Konselor ... 50

3. Deskripsi Konseli ... 51

a. Kepribadian Konseli... 52

b. Keadaan Ekonomi Konseli ... 53

c. Lingkungan Sekitar Konseli ... 54

d. Latar Belakang Keluarga Konseli ... 54


(8)

B. Deskrispsi Hasil Penelitian ... 56

1. Deskripsi Proses Terapi Behavior dengan Teknik Modelling... 56

a. Identifikasi Masalah ... 57

b. Diagnosis ... 60

c. Prognosis ... 61

d. Treatment/Terapi ... 61

e. Evaluasi dan Follow Up ... 70

2. Hasil Akhir Proses Terapi Behavior dengan Teknik Modelling .... 72

BAB IV : ANALISA DATA A. Analisis Proses Terapi Behavior dengan Teknik Modelling ... 76

B. Analisa Data Tentang Hasil Akhir Pelaksanaan Proses Terapi Behavior dengan Teknik Modelling dalam Meningkatkan kemandirian Seorang Remaja ... 82

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 86

B. Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Analisis Proses Terapi ... 80 Tabel 1.2 Perbandingan Hasil Proses Terapi ... 83


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemandirian sebagai kata benda dari mandiri diartikan sebagai hal

atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Lebih

lanjut Hanna Widjaja memberikan penjelasan bahwa kemandirian menunjuk

pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri untuk menyelesaikan

persoalan-persoalan tanpa bantuan khusus dari orang lain, keengganan untuk

dikontrol orang lain, dapat melakukan sendiri kegiatan-kegiatan dan

menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapi.1

G. Stanley Hall menyebutkan ada empat tahap perkembangan: masa

balita (infancy), masa anak (childhood), masa pemuda (youth), dan remaja

(adolescence). Menurut Hall, remaja adalah masa usia 12 sampai 23 tahun.2

Manakala usia seseorang telah genap 12/13 tahun, maka ia telah mulai

menginjak suatu masa kehidupan yang disebut masa remaja awal. Masa ini

berakhir pada usia 17/18 tahun. Istilah yang biasa diberikan bagi si remaja awal adalah “Teenagers” (anak usia belasan tahun).

Dalam parohan akhir periode pubertas atau parohan awal masa remaja

awal, terdapat gejala-gejala yang disebut gejala-gejala “negative phase.” Itulah

sebabnya sehingga periode pubertas khususnya sering disebut sebagai

“negative phase.” Hurlock menguraikan cukup lengkap tentang gejala-gejala

1

https://ichwanpsikoundip05.wordpress.com/jurnal/, (diakses pada18/03/2016) 2

John W. Santrock, Adolescence Perkembangan Remaja, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 10.


(11)

2

negative phase ini yang pokok-pokoknya sebagai berikut: keinginan untuk

menyendiri (desire for isolation), berkurang kemauan untuk bekerja

(disinclination to work), kurang koordinasi fungsi tubuh (incoordinations),

kejenuhan (boredom), kegelisahan (restlessness), pertentangan sosial (social

antagonism), penantangan terhadap kewibawaan orang dewasa (resistance to

authority), kepekaan perasaan (heightened emotionality), kurang percaya diri

(lack of self-confidence), mulai timbul minat pada lawan seks (preoccupation

with sex), kepekaan perasaan susila (excessive modesty), dan kesukaan

berkhayal (day dreaming).

Disamping gejala-gejala negative phase di atas ada pula ciri khas

masa remaja awal, salah satu di antaranya yaitu hal status remaja awal sangat

sulit ditentukan. Status remaja awal tidak saja sulit ditentukan, bahkan

membingungkan. Perlakuan yang diberikan oleh orang dewasa terhadap

remaja awal-awal sering berganti-ganti. Ada keraguan orang dewasa untuk

memberi tanggung jawab kepada remaja dengan dalih “mereka masih kanak

-kanak.” Tetapi pada lain kesempatan, si remaja awal sering mendapat teguran

sebagai “orang yang sudah besar” jika remaja awal bertingkah laku yang kekanak-kanakan. Akibatnya, si remaja awal pun mendapat sumber

kebingungan dan menambah masalahnya.3

Situasi kehidupan seperti itu memiliki pengaruh kuat terhadap

dinamika kehidupan remaja, apalagi remaja secara psikologis. Tantangan

kompleksitas masa depan memberikan dua alternatif, yaitu pasrah kepada

3


(12)

3

nasib atau mempersiapkan diri sebaik mungkin. Tentu pilihan kedualah yang

menjadi alternatif terbaik. Usaha mempersiapkan remaja menghadapi masa

depan yang serba kompleks, salah satunya dengan kemandirian. Durkheim

berpendapat bahwa kemandirian tumbuh dan berkembang karena dua faktor

yang menjadi prasyarat bagi kemandirian, yaitu:

1. Disiplin, yaitu adanya aturan bertindak dan otoritas, dan

2. Komitmen terhadap kelompok.

Dalam pandangan konformistik, kemandirian merupakan konformitas

terhadap prinsip moral kelompok dan rujukan.4 Sebenarnya menjadi mandiri

adalah naluri setiap orang sejak masih bayi. Setiap bayi tentunya mulai belajar

menggerakkan anggota badannya dari merangkak, duduk, berdiri, berjalan,

menggapai suatu barang bila diperhatikan mereka pantang menyerah. Naluri

untuk menjadi mandiri ini menjadi terhambat oleh lingkungan yang tidak

mendukung proses kemandirian anak dan sikap orang tua yang salah

memperlakukan mereka.5

Steinberg membedakan karakteristik kemandirian atas tiga bentuk,

yaitu:

a. Kemandirian emosional (emotional autonomy), yaitu aspek

kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan

emosional antar individu, seperti hubungan emosional peserta didik

dengan guru atau orang tuanya.

4

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hlm. 110.

5

Supardi dan Aqila Smart, Ide-ide Kreatif Mendidik Anak bagi Orang Tua Sibuk, (Jogjakarta: Katahati, 2013) hlm 48.


(13)

4

b. Kemandirian tingkah laku (behavioral autonomy), yaitu suatu

kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan tanpa tergantung

pada orang lain dan melakukannya secara bertanggung jawab.

c. Kemandirian nilai (value autonomy), yaitu kemampuan memaknai

seperangkat prinsip tentang benar dan salah, tentang apa yang penting

dan apa yang tidak penting.6

Mencapai kemandirian merupakan salah satu tugas perkembangan

pada masa remaja. Pencapaian kemandirian tersebut sangat penting bagi

remaja, karena hal itu sebagai tanda kesiapannya untuk memasuki fase

berikutnya dengan berbagai tuntutan yang lebih beragam sebagai orang

dewasa. Kegagalan dalam pencapaian kemandirian dapat berdampak negative

pada diri remaja. Ketergantungan pada orang lain menyebabkan seorang

remaja selalu ragu-ragu dalam mengambil keputusan sendiri, tidak percaya

diri, mudah terpengaruh oleh orang lain hingga akhirnya menglami kesulitan

untuk menemukan identitas diri.7

Sebut saja nama remaja tersebut adalah Imam (nama samaran).

Usianya 13 tahun kelas satu SMP, dia adalah anak tunggal. Dalam

kesehariannya, Imam sering memperlihatkan sikap dan perilaku seperti ingin

diperhatikan secara berlebihan dan harus dituruti segala kemauannya, jika

tidak dituruti maka dia akan marah bahkan terkadang sampai menangis sampai

kemauannya dituruti. Dia sering membuat kerepotan orang tuanya, seperti

6

http://oktri83.blogspot.co.id/2013/03/hubungan-antara-kebutuhan-dasar_24.html, (diakses pada18/03/2016)

7 Lembaga Perawatan Psikologi, “Membentuk Kemandirian Anak (Remaja), Artikel

Psikologi Anak, (http://www.dispsiad.mil.id/index.php/en/psikologi-olahraga/290-membentuk-kemandirian-anak-remaja, diakses 27 April 2016 )


(14)

5

meminta diambilkan makan, minum, minta dipersiapkan seragam sekolah,

buku pelajaran, dan pakaiannya pun masih minta dicucikan walaupun

terkadang dia melakukan beberapa hal tersebut tanpa bantuan orang tua.

Menurut penuturan dari teman-temannya, Imam sering mencontek saat

mengerjakan tugas. Hal ini merupakan tanda-tanda kurangnya kemandirian

pada diri Imam. Sebenarnya di usianya yang sekarang ini, dia sudah harus

belajar mandiri dalam mengerjakan segala sesuatu seperti pekerjaan rumah

ataupun kebutuhan pribadinya tanpa harus meminta bantuan orang tua secara

berlebih.

Menurut William W. Wattenberg, diharapkan pada usia remaja awal,

individu dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan baru. Oleh karena

dalam masa ini remaja mempersiapkan diri memasuki masa dewasa, maka

mulai dalam masa remaja awal dan sepanjang masa remaja, seseorang

diharapkan berlatih dan mengembangkan berbagai keterampilan-keterampilan

baru yang sesuai dengan tuntutan hidup dan pergaulannya dalam masa dewasa

kelak. Keterampilan-keterampilan baru itu tidak saja menyangkut apa yang

dituntut dalam kerja dan jabatan kerja untuk memperoleh kebebasan

ekonomis, melainkan juga bersangkutan dengan keterampilan dalam

kehidupan keluarga yang ringan-ringan dan pergaulan sosial yang biasa. Bagi

remaja putri misalnya berlatih menerima tamu, bertamu yang layak, memasak,

mengatur meja makan, mencuci dan sebagainya. Bagi remaja pria misalnya

berlatih membersihkan lantai, membersihkan kebun dan halaman rumah dan


(15)

6

berlatih dan belajar berbagai keterampilan yang berhubungan dengan

pekerjaan atau jabatan kerja.8

Dalam hal ini, JB. Watson berpendapat bahwamanusia dapat memiliki

kecenderungan posistif atau negatif karena pada dasaranya kepribadian

manusia di bentuk oleh lingkungana di mana ia berada. Perilaku dihasilkan

dari pengalaman yang diperoleh individu dalam interaksinya dengan

lingkungan. Perilaku yang baik adalah hasil dari lingkungan baik, begitu juga

sebaliknya. Jadi manusia adalah produk dari lingkungan.9

Terapi behavior adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur

yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Behaviorisme adalah suatu

pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Dalil dasarnya adalah bahwa

tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan

cermat akan menyingkapkan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah

laku. Behaviorisme ditandai oleh sikap membatasi metode-metode dan

prosedur-prosedur pada data yang dapat diamati. Terapi behavior ditandai

oleh ; a) pemutusan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik,

b) kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment, c)

pemutusan-pemutusan prosedur treatment yang spesifik dan, d) penaksiran objektif atas

hasil-hasil terapi.10

Dalam terapi behavior peneliti menggunakan teknik modelling. Dalam

teknik ini, klien dapat mengamati seseorang yang dijadikan modelnya untuk

8

Andi Mappiare, Psikologi Remaja, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982) , hlm. 108. 9

Andi Mappiare, Psikologi Remaja, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982) , hlm. 195 10

Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung: Refika


(16)

7

berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model.

Dalam hal ini konselor dapat bertindak sebagai model yang akan ditiru oleh

klien.11

Dalam terapi behavior dengan teknik modelling peneliti berharap

Imam bisa lebih mandiri sebagai seorang remaja penerus bangsa, terutama

dalam hal hidup berkeluarga dan mempersiapkan diri untuk menghadapi fase

perkembangan setelah remaja. Agar tidak merugikan dirinya sendiri maupun

orang sekitarnya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses terapi behavior dengan teknik modelling dalam

meningkatkan kemandirian remaja di Desa Ngayung Kecamatan Maduran

Kabupaten Lamongan?

2. Bagaimana hasil proses terapi behavior dengan teknik modelling dalam

meningkatkan kemandirian remaja di Desa Ngayung Kecamatan Maduran

Kabupaten Lamongan?

C. Maksud dan Tujuan

Bertitik tolak dengan rumusan masalah di atas, maka maksud dan

tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui proses terapi behavior dengan teknik modelling

dalam meningkatkan kemandirian remaja di Desa Ngayung Kecamatan

Maduran Kabupaten Lamongan.

11

Namora Lumongga Lubis, Memahami dasar-dasar Konseling, (Jakarta: Kencana


(17)

8

2. Untuk mengetahui hasil akhir proses terapi behavior dengan teknik

modelling dalam meningkatkan kemandirian remaja di Desa Ngayung

Kecamatan Maduran Kabupaten Lamongan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini diharapkan berdaya guna

sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

a. Memberikan pengetahuan dan wawasan bagi peneliti lain dalam

bidang bimbingan dan konseling Islam tentang pengembangan terapi

behavior dengan teknik modelling dalam meningkatkan kemandirian

remaja.

b. Sebagai sumber informasi dan referensi bagi pembaca dan prodi

bimbingan dan konseling Islam mengenai terapi behavior dengan

teknik modelling dalam meningkatkan kemandirian remaja.

2. Secara Praktis

a. Peneliti diharapkan membantu memecahkan masalah yang berkaitan

dengan penggunaan terapi behavior dengan teknik modelling dalam

meningkatkan kemandirian remaja.


(18)

9

E. Definisi Konsep

Agar tidak terjadi kesalahpahaman makna serta dapat mudah

mempelajari isi, maksud dan tujuan dari penelitian skripsi ini. Adapun definisi

konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terapi Behavior

Gerald Corey menjelaskan bahwa terapi behavior adalah

pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berkaitan

dengan pengubahan tingkah laku. Pendekatan, teknik dan prosedur yang

dilakukan berakar pada berbagai teori tentang belajar. Terapi behavior

adalah salah satu teknik yang digunakan dalam menangani tingkah laku

yang ditimbulkan oleh dorongan dari dalam dan dorongan untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup, yang dilakukan melalui proses

belajar agar bisa bertindak dan bertingkah laku lebih efektif, lalu mampu

menanggapi situasi dan masalah dengan cara yang lebih efektif dan

efisien.12

Dalam terapi behavior peneliti menggunakan teknik modelling

Dalam teknik ini, klien dapat mengamati seseorang yang dijadikan

modelnya untuk berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh

tingkah laku sang model. Dalam hal ini konselor dapat bertindak sebagai

model yang akan ditiru oleh klien.13

12

Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung: Refika

Aditama, 2013), hlm. 193 13

Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-dasar Konseling, (Jakarta: Kencana


(19)

10

Peneliti menggunakan teknik modeling dalam terapi behavior ini

untuk mengubah tingkah laku adaptif dengan cara memperkuat tingkah

laku yang diharapkan dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan.

Dengan teknik modelling klien akan sering kali meniru sikap, nilai, dan

tingkah laku konselor. Untuk itulah seorang konselor peranannya begitu

penting dalam konseling sehingga tidak memunculkan perilaku yang tidak

semestinya ditiru. Agar klien menjadi seorang yang lebih baik dari

sebelumnya.

2. Kemandirian

Kata kemandirianberasal dari kata diri yang mendapat awalan ke

dan akhiran an yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata

benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar diri, pembahasan

mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai

perkembangan diri itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut

dengan istilah self karena diri itu merupakan inti dari kemandirian.14

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Untuk mendapatkan hasil valid dari penelitian ini, peneliti

menggunakan pendekatan kualitatif (edisi revisi) bahwa:

Menurut Botgar dan Tailor, penelitian kualitatif adalah prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

14

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), hlm 109.


(20)

11

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. 15 Peneliti

menggunakan penelitian kualitatif karena dalam penelitian ini, peneliti

bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam. Peneliti akan

mendapatkan informasi hasil data secara utuh, sebab sumber data yang

diharapkan berasal dari sumber yang berkaitan dengan sasaran penelitian.

Sehingga menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata atau teks

bukan berupa angka.

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus atau penelitian

kasus. Menurut Sudarwan, penelitian harus merupakan studi mendalam

mengenai unit sosial tertentu, yang hasil penelitian itu memberi gambaran

luas dan mendalam mengenai unit sosial tertentu.16 Alasan peneliti

menggunakan jenis penelitian studi kasus karena dalam penelitian ini

obyek yang diamati adalah suatu yang hanya melibatkan satu orang remaja

sehingga harus dilakukan penelitian secara intensif, menyeluruh dan

terperinci untuk menangani seorang remaja yang mengalami ketidak

mandirian sehingga dapat meningkatkan kemandirian remaja tersebut.

2. Sasaran dan Lokasi Penelitian

Adapun sasaran dalam penelitian ini yaitu seorang remaja

bernama Imam (nama samaran). Dia adalah seorang siswa di salah satu

SMP di Lamongan. Sasaran penelitian, yakni seorang remaja ini yang

15

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (edisi revisi), (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2005), hlm. 4 16

Danim Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002),


(21)

12

kemudian disebut dengan klien. Lokasi penelitian terletak di RT 03, RW

01 Desa Ngayung Kecamatan Maduran Kabupaten Lamongan.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini dibagi dalam bentuk kata-kata dan

tindakan serta sumber data yang tertulis.17

Sedangkan sumber data dalam

penelitian ini, disesuaikan dengan apa yang di konsepsikan oleh Lofland

dan Lofland, bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah

kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen

dan lain-lain.18 Berikut ini akan peneliti jelaskan mengenai jenis-jenis data

yang berbentuk kata-kata dan tindakan serta sumber data yang tertulis.

a. Kata-kata dan Tindakan

Kata-kata dan tindakan yang diamati atau diwawancarai

merupakan sumber utama. Sumber data utama dicatat melalui cacatan

tertulis atau melalui perekaman video / audio tapes, pengambilan foto

atau film. Dalam upaya mengumpulkan sumber data yang berupa

kata-kata dan tindakan dengan menggunakan alat (instrumen) penelitian

seperti tersebut di atas merupakan konsep yang ideal, tetapi dalam

konteks ini, ketika peneliti melakukan proses wawancara dalam upaya

menggali data atau informasi yang berkaitan dengan penelitian ini,

peneliti hanya menggunakan alat bantu yang berupa referensi sebagai

pisau bedah di lapangan dan buku tulis serta bolpoint untuk mencatat

17

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. 13 (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2002), hlm. 122. 18

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. 13 (Bandung: Remaja


(22)

13

informasi yang disampaikan oleh informan yakni keluarga, kerabat,

teman atau orang terdekat remaja di Desa Ngayung Kecamatan

Maduran Kabupaten Lamongan.

b. Sumber Tertulis

Sumber tertulis dapat dikatakan sebagai sumber kedua yang

berasal dari luar sumber kata-kata dan tindakan. Dilihat dari sumber

data, bahan tambahan yang berasal dari sumber tertulis dapat dibagi

atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen

pribadi dan dokumen resmi.19

Dalam konteks ini, upaya untuk menggali data informasi yang

berkaitan dengan permasalahan penelitian, peneliti mencari sumber

data tertulis untuk memperkuat hasil penelitian. Dalam hal ini peneliti

mendapatkan sumber data tertulis berupa buku yang berkaitan dengan

kajian terapi behavior dengan teknik modelling untuk meningkatkan

kemandirian remaja dan berbagai buku penunjang lainnya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pengadaan data primer

untuk keperluan penelitian. Pengumpulan data adalah langkah yang amat

penting dalam metode ilmiah, karena pada umumnya data yang

dikumpulkan digunakan untuk menguji hipotesa yang sudah dirumuskan.20

Dalam penelitian ini, pengumpulan data akan dilakukan langsung

oleh peneliti dalam situasi yang sesungguhnya. Teknik pengumpulan data

19

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. 13 (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2002), hlm. 113. 20


(23)

14

dalam penelitian ini yang digunakan adalah data dokumentasi, wawancara

mendalam yang berhubungan dengan data yang diperlukan dan observasi.

a. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan fakta dan data yang tersimpan dalam

berbagai macam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar

data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, laporan, peraturan,

catatan harian, biografi, simbol, dan data lain yang tersimpan. Dari

data dokumentasi peneliti dapat melihat kembali sumber data yang ada

seperti catatan pribadi, hasil wawancara dan lain sebagainya.21

b. Wawancara

Wawancara adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk

mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan

pertanyaan-pertanyaan pada para responden. Wawancara bermakna

berhadapan langsung antara interviewers dengan responden, dan

kegiatannya dilakukan secara lisan.22

Biasanya, pada teknik interview ini tidak terstruktur karena

wawancaranya mendalam. Pada saat wawancara tidak menyusun

pertanyaan dan jawaban tertulis, hanya membuat pedoman wawancara

sehingga informan merasa leluasa dan terbuka dalam memberikan

jawaban serta keterangan yang diinginkan peneliti. Adapun langkah

lebih konkritnya yaitu meliputi, peneliti mewawancarai anggota

21

Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati, Metode Penelitian (Bandung: Refika Aditama,

2014), hlm. 139. 22

Joko Subagyo, Metode Penelitian dalan Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,


(24)

15

keluarganya, mewawancarai saudara-saudaranya, serta orang-orang

yang sering berinteraksi dengan keluarga remaja.

c. Observasi

Pada dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat atau

mengamati perubahan sosial yang tumbuh dan berkembng yang

kemudian dapat dilakukan penilaian atas perubahan tersebut. 23

Langkah kongkritnya peneliti mengamati secara langsung kondisi

keluarga Imam serta lingkungan sekitar, mengamati gaya hidupnya,

kemudian diberikan treatment yang tepat.

5. Teknik Analisis Data

Definisi analisis data, banyak dikemukakan oleh para ahli

metodologi penelitian. Berikut ini adalah definisi analisis data yang

dikemukakan oleh para ahli metodologi penelitian tersebut, yang terdiri

dari:

a. Menurut Bogdan dan Taylor, analisis data adalah proses yang merinci

usaha formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide)

seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan

bantuan pada tema dan hipotesa itu.

b. Menurut Lexy J. Moleong, analisis data adalah proses

mengorganisasikan dari mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan

satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

23

Joko Subagyo, Metode Penelitian dalan Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,


(25)

16

Dari pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa, analisis

data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi,

penafsiran, dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial,

akademik dan ilmiah. Analisis data penelitian bersifat berkelanjutan dan

dikembangkan sepanjang program. Analisis data dilaksanakan mulai

penetapan masalah, pengumpulan data dan setelah data

terkumpulkan. Dengan menetapkan masalah penelitian, peneliti sudah

melakukan analisis terhadap permasalahan tersebut dalam berbagai

perspektif teori dan metode yang digunakan yakni metode alir. Analisis

dalam penelitian ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara

bersamaan. Tahap analisis data dalam penelitian kualitatif secara umum di

mulai sejak pengumpulan data 1) reduksi data,yang diartikan sebagai

proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,

pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari

catatan-catatan tertulis di lapangan; 2) penyajian data (display data) dilakukan

dengan menggunakan bentuk teks naratif dan 3) penarikan kesimpulan

serta verifikasi.24

Teknik analisis data dalam penelitian ini, dilakukan setelah

data-data diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dan observasi.

Kemudian data-data tersebut, di analisis secara saling berhubungan untuk

mendapatkan dugaan sementara, yang dipakai dasar untuk mengumpulkan

24

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 192.


(26)

17

data berikutnya, lalu dikonfirmasikan dengan informan secara terus

menerus secara triangulasi.

6. Teknik Keabsahan Data

Teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini, seperti

yang dirumuskan ada tiga macam yaitu, antara lain:

a. Perpanjangan Keikutsertaan

Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan

data. Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu

singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan peneliti pada

latar penelitian.25

Dalam konteks ini, dalam upaya menggali data atau

informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, peneliti

selalu ikut serta dengan informan utama dalam upaya menggali

informasi yang berkaitan dengan fokus penelitian. Misalnya peneliti

selalu bersama informan utama dalam melihat lokasi penelitian.

b. Ketekunan Pengamatan

Ketekunan pengamatan dilakukan dengan maksud menemukan

ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang relevan atau isu yang

sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut

secara rinci.26 Dalam konteks ini, sebelum mengambil pembahasan

penelitian, peneliti telah melakukan pengamatan terlebih dahulu secara

tekun dalam upaya menggali data atau informasi untuk di jadikan

25

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. 13 (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2002), hlm. 175. 26

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. 13 (Bandung: Remaja


(27)

18

obyek penelitian dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih

gelar S-1, yang pada akhirnya peneliti menemukan permasalahan yang

menarik untuk dibedah, yaitu mengenai cara meningkatkan

kemandirian remaja di Desa Nyayung Kecamatan Maduran Kabupaten

Lamongan.

c. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin (1978),

membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan

yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyedik dan teori.27

Validitas dan objektivitas merupakan persoalan fundamental

dalam kegiatan ilmiah. Agar data yang diperoleh peneliti memiliki

validitas dan objektivitas yang tinggi, diperlukan beberapa

persyaratan yang diperlukan. Berikut ini akan peneliti kemukakan

metode yang digunakan untuk meningkatkan validitas dan

objektivitas suatu penelitian, terutama dalam penelitian kualitatif.

Robert K. Yin (1996), mensyaratkan adanya validitas design

penelitian. Untuk itu, Paton (1984), menyarankan diterapkan teknik

triangulasi sebagai validitas design penelitian. Adapun teknik

triangulasi yang peneliti pakai dalam penelitian ini adalah triangulasi

data atau triangulasi sumber. Sebagaimana dikemukakan Yin,

27

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. 13 (Bandung: Remaja


(28)

19

triangulasi data dimaksudkan agar dalam pengumpulan data, peneliti

menggunakan multi sumber data.28

Dalam konteks ini, upaya yang dilakukan oleh peneliti dalam

pengecekan data yaitu dengan menggunakan sumber data dalam

pengecekan data yaitu dengan menggunakan sumber data dalam

penggaliannya, baik itu sumber data primer yang berupa hasil

wawancara maupun sumber data sekunder yang berupa buku, majalah

dan dokumen lainnya. Sedangkan metode atau cara yang digunakan

dalam analisis data adalah metode analisis kualitatif. Artinya analisis

kualitatif dilakukan dengan memanfaatkan data (kualitatif) dari hasil

observasi dan wawancara mendalam, dengan tujuan memberikan

eksplanasi dan pemahaman yang lebih luas atas hasil data yang

dikumpulkan. Dan kemudian peneliti melakukan langkah

membandingkan atau mengkorelasikan hasil penelitian dengan teori

yang telah ada. Hal itu dilakukan untuk mencari perbandingan atau

hubungan antara hasil penelitian dengan teori yang telah ada.

G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Dalam proposal ini, peneliti akan mencantumkan sistematika

pembahasan untuk mempermudah pembahasan dan penyusunan skripsi yang

terdiri dari 5 bab.

28

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 185.


(29)

20

BAB I, yakni pendahuluan, pada bab ini menjelaskan latar belakang

pengambilan judul, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

definisi konsep, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II, yakni tinjauan pustaka. Dalam bab ini peneliti menyajikan

tentang kajian teori yang di jelasakan dari beberapa referensi untuk menelaah

objek kajian yang dikaji, dalam skripsi ini akan membahas tentang pengerian

terapi Behavior dengan teknik modeling dan rendah diri.

BAB III, yakni penyajian data. Dalam bab ini menjelaskan tentang

lokasi penelitian yang di teliti, deskripsi umum objek penelitian, deskripsi

konselor, deskripsi klien, dan membahas deskripsi hasil penelitian.

BAB IV, yakni analisa data. Menjelaskan tentang analisis proses

pelaksanaan terapi behavior dengan teknik modelling dalam meningkatkan

kemandirian remaja di Desa Ngayung Maduran Lamongan dan analisis akhir

terapi behavior dengan teknik modelling dalam meningkatkan kemandirian

remaja di Desa Ngayung Maduran Lamongan.

BAB V, yakni penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan dari kajian


(30)

BAB II

TERAPI BEHAVIOR, TEKNIK MODELLING, DAN KEMANDIRIAN

A. Terapi Behavior Teknik Modelling dan Kemandirian

1. Terapi Behavior

a. Pengertian Terapi Behavior

Terapi Behavior adalah penerapan aneka ragam teknik dan

prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Terapi ini

menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada

pada pengubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif.

Pendekatan ini telah memberikan sumbangan-sumbangan yang berat,

baik pada bidang klinis maupun pendididkan.1

Behaviorisme menekankan studi ilmiah mengenai proses

perilaku yang teramati serta determinan-determinan lingkungan.

Dalam perilaku menurut B.F. Skinner, pikiran, kesadaran atau

ketidaksadaran, tidak dibutuhkan untuk menjelaskan perilaku dan

perkembangan.2 Rachman dan Wolpe mengemukakan bahwa terapi

behavioral dapat menangani masalah perilaku mulai dari kegagalan

individu untuk belajar merespon secara adaptif hingga menangani

gejala neurotic.3

1

Gerald Corey, Teory dan Praktek Konseling & Psikoterapi, (Bandung: PT. Refika

Aditama, 2013), hlm. 193. 2

John W. Santrock, Remaja, Edisi Kesebelas, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 56. 3


(31)

22

b. Konsep Dasar Tentang Manusia

Pendekatan behavioral didasarkan pada pandangan ilmiah

tentang tingkah laku manusia yang menekankan pada pentingnya

pendekatan sistematik dan terstruktur pada konseling. Pendekatan

behavioral berpandangan bahwa setiap tingkah laku dapat dipelajari.

Proses belajar tingkah laku adalah melalui kematangan dan belajar.

Selanjutnya tingkah laku lama dapat diganti dengan tingkah laku baru.

Manusia dipandang memiliiki potensi untuk berperilaku baik atau

buruk, tepat atau salah. Manusia mampu malakukan refleksi atas

tingkah lakunya sendiri, dapat mengatur serta mengontrol perilakunya

dan dapat belajar tingkah laku baru atau dapat mempengaruhi perilaku

orang lain.

Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah

laku manusia. Dalil dasarnya adalah bahwa tingkahlaku itu tertib dan

bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan cermat akan

menyingkapkan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku.

Behaviorisme ditandai oleh sikap membatasi metode-metode dan

prosedur-prosedur pada data yang dapat diamati.

Pendekatan behavioristik tidak menguraikan asumsi-asumsi

filosofis tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap orang

dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif

yang sama. Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh


(32)

23

dipelajari.Meskipun berkeyakinan bahwa segenap tingkah laku pada

dasarnya merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan lingkungan dan

faktor-faktor genetik, para behavioris memasukkan pembuatan putusan

sebagai salah satu bentuk tingkah laku.4

c. Tujuan Terapi Behavior

Tujuan umum terapi tingkah laku adalah menciptakan

kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap

tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang

maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa unlearned

(dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa

diperoleh.5 Sementara itu tujuan khusus terapi tingkah laku adalah

mengubah perilaku salah dalam penyesuaian dengan cara-cara

memperkuat perilaku yang diharapkan, dan meniadakan perilaku yang

tidak diharapkan serta membantu menemukan cara-cara berperilaku

yang tepat.6

George dan Cristiani mengatakan bahwa konselor harus cermat

dan jelas dalam menentukan tujuan konseling. Kecermatan dalam

penentuan tujuan akan membantu konselor menentukan teknik dan

prosedur perlakuan yang tepat sekaligus mempermudah pada saat

mengevaluasi tingkat keberhasilan konseling. Perumusan tujuan harus

dilakukan secara spesifik. Untuk merumuskan tujuan konseling,

4

Gerald Corey, Teory dan Praktek Konseling & Psikoterapi, (Bandung: PT. Refika

Aditama, 2013), hlm. 195. 5

Gerald Corey, Teory dan Praktek Konseling & Psikoterapi, (Bandung: PT. Refika

Aditama, 2013), hlm. 199. 6


(33)

24

Krumboltz dan Thorensen menetapkan tiga kriteria utama yang dapat

digunakan, yaitu:

1) Tujuan konseling harus disesuaikan dengan keinginan klien.

2) Konselor harus bersedia membantu klien mencapai tujuannya.

3) Konselor mampu memperkirakan sejauh mana klien dapat

mencapai tujuannya.7

d. Fungsi dan Peran Terapis

Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif

dalam pemberian treatment, yakni terapis menerapkan pengetahuan

ilmiah padapencarian pemecahan masalah-masalah manusia, para

klien. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru,

pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif

dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang

diharapkan, mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive.

Krasner mengajukan argumen bahwa peran seorang terapis,

terlepas dari aliansi teoretisnya, sesungguhnya adalah “mesin

perkuatan”. Apapun yang dilakukannya, terapis pada dasarnya terlibat dalam pemberian perkuatan-perkuatan sosial, baik yang positif

maupun yang negatif. Krasner menunjukkan bahwa peran terapis

adalah memanipulasi dan mengendalikan psikoterapi dengan

pengetahuan dan kecakapannya menggunakan teknik-teknik belajar

dalam suatu situasi perkuatan sosial.

7

Namora Lumongga Lubis, Memahami dasar-dasar Konseling, (Jakarta: Kencana 2011), hlm. 171.


(34)

25

Goodstein juga menyebut peran terapis sebagai pemberi perkuatan. Menurut Goodstein “peran konselor adalah menunjang perkembangan tingkah laku yang secara sosial layak dengan secara sistematis memperkuat jenis tingkah laku klien semacam itu”. Minat,

perhatian, dan persetujuan (ataupun ketidakberminatan dan

ketidaksetujuan) terapis adalah penguat-penguat yang hebat bagi

tingkah laku klien. Penguat-penguat tersebut bersifat interpersonal dan

melibatkan bahasa, baik verbal maupun nonverbal, serta acap kali

tanpa disertai kesadaran yang penuh dari terapis. Goodstein

menyatakan bahwa peran mengendalikan tingkah laku klien yang

dimainkan oleh terapis melalui perkuatan menjangkau situasi di luar

konseling serta dimasukkan kedalam tingkah laku klien dalam dunia

nyata: “Konselor mengganjar respons-respons tertentu yang dilaporkan

telah ditampilkan oleh klien dalam situasi-situasi kehidupan nyata dan

menghukum respon-respon yang lainnya.

Satu fungsi penting lainnya adalah peran terapis sebagai model

bagi klien. Bandura menunjukkan bahwa sebagian besar proses belajar

yang muncul melalui pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui

pengamatan terhadap tingkah laku orang lain. Terapis sebagai pribadi

menjadi model yang penting bagi klien. Karena klien sering


(35)

26

meniru sikap-sikap, nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan tingkah

laku terapis.8

e. Teknik Terapi Behavior

Lesmana membagi teknik terapi behavioristik dalam dua

bagian, yaitu teknik-teknik tingkah laku umum dan teknik-teknik

spesifik. Uraiannya adalah sebagai berikut.

1) Teknik-teknik Tingkah Laku Umum

a) Skedul penguatan adalah suatu teknik pemberian penguatan

pada klien ketika tingkah laku baru selesai dipelajari

dimunculkan oleh klien.

b) Shaping adalah teknik terapi yang dilakukan dengan

mempelajari tingkah laku baru secara bertahap. Konselor

dapat membagi-bagi tingkah laku tingkah laku yang ingin

dicapai dalam beberapa unit, kemudian mempelajarinya

dalam unit-unit kecil.

c) Ekstingsi adalah teknik terapi berupa penghapusan

penguatan agar tingkah laku maladaptif tidak berulang.

2) Teknik-teknik Spesifik

a) Desentisisasi sistematik adalah teknik yang paling sering

digunakan. Teknik ini diarahkah kepada klien untuk

menampilkan respons yang tidak konsisten dengan

kecemasan. Teknik ini cocok untuk menangani kasus fobia,

8

Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung: Refika


(36)

27

ketakutan secara umum, kecemasan neurotik, impotensi,

dan frigiditas seksual.

b) Pelatihan asertivitas. Teknik ini mengajarkan klien untuk

membedakan tingkah laku agresif, pasif, dan asertif.

Prosedur yang digunakan adalah permainan peran. Teknik

ini dapat membantu klien yang mengalami kesulitan untuk

menyatakan atau menegaskan diri di hadapan orang lain.

c) Time-Out merupakan teknik aversif yang sangat ringan.

Apabila tingkah laku yang tidak diharapkan muncul, maka

klien akan dipisahkan dari penguatan positif.

d) Implosion dan flooding. Teknik implosion mengarahkan

klien untuk membayangkan situasi stimulus yang

mengancam secara berulang-ulang.

Selain teknik-teknik yang telah dikemukakan di atas, Corey

menambahkan beberapa teknik yang juga diterapkan dalam terapi

behavoristik. Di antaranya, adalah:

1) Penguatan positif, adalah teknik yang digunakan melalui

pemberian ganjaran segera, setelah tingkah laku yang

diharapkan muncul.

2) Percontohan (modelling). Dalam teknik, klien dapat mengamati

seseorang yang dijadikan modelnya untuk berperilaku

kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang


(37)

28

3) Token Economy. Teknik ini dapat diberikan apabila

persetujuan dan penguatan lainnya tidak memberikan kemajuan

pada tingkah laku klien. Metode ini menekankan penguatan

yang dapat dilihat dan disentuh oleh klien (misalnya kepingan

logam) yang dapat ditukar oleh klien dengan objek atau hak

istimewa yang diinginkannya.9

2. Teknik Modelling

a. Pengertian Modelling

Modelling merupakan salah satu teknik dalam terapi

behavior yang menekankan pada prosedur belajar. Pada prinsipnya

terapi behavioral itu sendiri bertujuan untuk memperoleh perilaku

baru, mengeliminasi perilaku lama yang merusak diri dan memperkuat

serta mempertahankan perilaku yang diinginkan yang lebih sehat.

Terapi ini memiliki prinsip kerja yaitu:

Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan.

Agar konseli terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan

tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan

dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui

tingkah laku konseli, yakni mengurangi frekuensi berlangsungnya

tingkah laku yang tidak diinginkan, memberikan penguatan terhadap

suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan

tingkah laku yang tidak diinginkan, mengkondisikan pengubahan

9

Namora Lumongga Lubis, Memahami dasar-dasar Konseling, (Jakarta: Kencana 2011), hlm. 172-175


(38)

29

tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder,

atau contoh nyata langsung), modeling (peniruan melalui penokohan)

ini dikembangkan oleh Albert Bandura yang antara lain terkenal

dengan teori social-belajar (social-learning theory).10

Teknik modeling ini dapat digunakan untuk membentuk

tingkah laku baru pada konseli, dan dapat memperkuat tingkah laku

yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan pada

konseli tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio,

model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami

jenis tingkah laku yang hendak dicontoh.11

Kecakapan-kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan

mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada.

Reaksi-reaksi emosional yang yang terganggu yang dimiliki seseorang

bisa dihapus dengan cara orang itu mengamati orang lain yang

mendekati objek-objek atau situasi-situasi yang ditakuti tanpa

mengalami akibat-akibat yang menakutkan dengan tindakan yang

dilakukannya. Pengendalian diripun bisa dipelajari melalui pegamatan

atas model yang dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat

berarti dan orang-orang pada umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku

10

Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), hlm.

220. 11


(39)

30

model-model yang menempati status yang tinggi dan terhormat dimata

mereka sebagai pengamat.12

Modelling disini seperti salah satu metode Nabi Muhammad

SAW dalam menyebarkan agama islam yang sering kali diajarkan

lewat contoh perilaku (uswatun hasanah) seperti sebuah ayat:



                         Artinya: “

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab:21).13

b. Tujuan Modelling

Pada prinsipnya, terapi behavior itu sendiri bertujuan untuk

memeroleh perilaku baru, mengeliminasi perilaku lama yang merusak

diri dan memperkuat, serta mempertahankan perilaku yang diinginkan

yang lebih sehat. Tujuan konseling behavior dengan teknik modelling

adalah untuk merubah perilaku dengan mengamati model yang akan

ditiru agar konseli memperkuat perilaku yang sudah terbentuk.14

Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan dari modelling ini

adalah seorang anak diharapkan bisa mengubah perilaku yang

maladaptif dengan menirukan model nyata.

12

Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi, (Bandung: PT. Refika

Aditama, 2013), hlm. 222.

13 Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia ( Ayat Pojok ), ( Kudus : Menara

Kudus ), 2006, hal. 63. 14

Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi, (Bandung: PT. Refika


(40)

31

c. Macam-macam Modelling

1) Model yang nyata (live model) contohnya konselor sebagai model

oleh konselinya, atau anggota keluarga atau tokoh yang dikagumi.

2) Model simbolik (simbolic model) adalah tokoh yang dilihat melalui

film, video atau media lain.

3) Model ganda (multiple model) biasanya terjadi dalam konseling

kelompok. Seseorang anggota dari suatu kelompok mengubah

sikap dan mempelajari suatu sikap baru, setelah mengamati

bagaimana anggota lain dalam bersikap.15

d. Prinsip-prinsip Modelling

Menurut Gantika Komalasari mengemukakan bahwa

prinsip-prinsip modeling adalah sebagai berikut:

1. Belajar bisa memperoleh melalui pegalaman langsung maupun

tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain

berikut konsekuensinya.

2. Kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati

dan mencontoh tingkah laku model yang ada.

3. Reaksi-reaksi emosional yang terganggu bisa dihapus dengan

mengamati orang lain yang mendekati obyek atau situasi yang

ditakuti tanpa mengalami akibat menakutkan dengan tindakan

yang dilakukannya.

15

Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), hlm. 222.


(41)

32

4. Pengendalian diri dipelajari melalui pengamatan atas model

yang dikenai hukuman.

5. Status kehormatan sangat berarti.

6. Individu mengamati seorang model dan dikuatkan untuk

mencontohkan tingkah laku model.

7. Modeling dapat dilakukan dengan model symbol melalui film

dan alat visual lainnya.

8. Pada konseling kelompok terjadi model ganda karena peserta

bebas meniru perilaku pemimpin kelompok atau peserta lain.

Prosedur Modeling dapat menggunakan berbagai teknik dasar

modifikasi perilaku.16

e. Tahap Belajar Melalui Modelling

Menurut Woolfolk (dalam bukunya M. Nur Salim), ada empat

tahap belajar melalui pengamatan perilaku orang lain (modelling) yang

data dideskripsikan sebagai berikut:

1. Tahap Perhatian (attention processi)

Gredler berpendapat bahwa perilaku yang baru tidak

bisa diperoleh kecuali jika perilaku tersebut diperhatikan dan

dipersepsi secara cermat. Pada dasarnya proses perhatian

(atensi) ini dipengaruhi berbagai faktor, yaitu faktor ciri-ciri

dari perilaku yang diamati dan ciri-ciri dari pengamat. Ciri-ciri

perilaku yang memengaruhi atensi adalah kompleksitasnya

16

Gantika Komalasari, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta : PT. Indeks, 2011 ), hlm.


(42)

33

yang relevansinya. Sedangkan cirri pengamat yang

berpengaruh pada proses atensi adalah keterampilan

mengamati, motivasi, pengalaman sebelumnya dan kapasitas

sensori.

2. Tahap Retensi

Belajar melalui pengamatan terjadi berdasarkan

kontinuitas. Dua kejadian yang diperlukan terjadi berulang kali

adalah perhatian pada penampilan model dan penyajian

simbolik dari penampilan itu dalam memori jangka panjang.

Jadi untuk dapat meniru perilaku suatu model, seseorang harus

mengingat perilaku yang diamati.

Menurut Bandura, peranan kata-kata, nama, atau

bayangan yang kuat dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan yang

dimodelkan sangat penting dalam mempelajari dan mengingat

perilaku. Karena pada dasarnya, tahap ini terjadi pengkodean

perilaku secara simbolik menjadi kode-kode visual dan verbal

serta penyimpanan kode-kode tersebut dalam memori jangka

panjang.

3. Tahap Reproduksi

Pada tahap ini model dapat melihat apakah

komponen-komponen suatu urutan perilaku telah dikuasai oleh pengamat.

Agar seseorang dapat mereproduksi perilaku model dengan


(43)

34

balik terhadap aspek-aspek yang salah menghindarkan perilaku

keliru tersebut berkembang menjadi kebiasaan yang tidak

diinginkan.

4. Tahap Motivasi dan Penguatan

Penguatan memegang peran penting dalam

pembelajaran melalui pengamatan. Apabila seseorang

mengantisipasi akan memperoleh penguatan pada saat meniru

tindakan suatu model, maka ia akan lebih termotivasi untuk

menaruh perhatian, mengingat dan memproduksi perilaku

tersebut. Disamping itu, penguatan penting dalam

mempertahankan pembelajaran.17

Belajar melalui pengamatan menjadi efektif kalau

pembelajar memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat

melakukan tingkah laku modelnya. Observasi mungkin

memudahkan orang untuk menguasai tingkah laku tertentu,

tetapi kalau motivasi untuk itu tidaka ada, maka tidak bakal

terjadi proses belajar. Imitasi lebih kuat terjadi pada tinkah laku

model yang diganjar, daripada tingkah laku yang dihukum.

Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara

karakteristik pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya.

Ciri-ciri model seperti usia, status sosial, seks, keramahan dan

kemampuan penting untuk menentikan tingkat imitasi.

17

Muhammad Nur Salim, Strategi Konseling, (Surabaya: Unesa University Press, 2005),


(44)

35

f. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Percontohan (Modelling)

1) Ciri model seperti usia, status sosial, jenis kelamin, keramahan, dan

kemampuan penting dalam meningkatkan imitasi.

2) Anak lebih senang meniru model seusianya daripada model

dewasa.

3) Anak cenderung meniru model yang standart prestasinya dalam

jangkauannya.

4) Anak cenderung mengimitasi oramg tuanya yang hangat dan

terbuka.

g. Pengaruh Modelling

Pengaruh dari peniruan melalui penokohan (modelling),

menurut Bandura ada tiga hal, yakni:

1) Pengambilan respons atau keterampilan baru dan memperlihatkan

dalam perilakunya setelah memadukan apa yang diperoleh dari

pengamatannya dengan pola perilaku yang baru. Contohnya:

keterampilan baru dalam olahraga, dalam hubungan sosial, bahasa

atau pada anak dengan penyimpangan perilaku yang tadinya tidak

mau berbicara, kemudian mau lebih banyak berbicara.

2) Hilangnya respons takut setelah melihat tokoh (sebagai model)

melakukan sesuatu yang oleh si pengamat menimbulkan perasaan

takut, namun pada tokoh yang dilihatnya tidak berakibat apa-apa

atau akibatnya bahkan positif. Contoh: tokoh yang bermain-main


(45)

36

3) Pengambilan sesuatu respons dari respons-respons yang

diperhatikan oleh tokoh yang memberikan jalan untuk ditiru.

Melalui pengamatan terhadap tokoh, seseorang terdorong untuk

melakukan sesuatu yang mungkin sudah diketahui atau dipelajari

dan ternyata tidak ada hambatan. Contoh: remaja yang berbicara

mengenai sesuatu mode pakaian di televisi.18

h. Langkah-langkah Modelling

1) Menetapkan bentuk penokohan (live model, symbolic model,

multiple model).

2) Pada live model, pilih model yang bersahabat atau teman sebaya

yang memiliki kesamaan seperti: usia, status ekonomi, dan

penampilan fisik.

3) Bila mungkin gunakan lebih dari satu model.

4) Kompleksitas perilaku yang dimodelkan harus sesuai dengan

tingkat perilaku konseli.

5) Kombinasikan konseling dengan aturan, instruksi, behavior

rehearsal dan penguatan.

6) Pada saat konseli memperhatikan penampilan tokoh, berikan

penguatan alamiah.

7) Bila mungkin buat desain pelatihan untuk konseli menirukan

model secara tepat, sehingga akan mengarahkan konseli pada

18

Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), hlm.


(46)

37

penguatan alamiah. Bila ridak, maka buat perencanaan pemberian

penguatan utuk setiap peniruan tingkah laku yang tepat.

8) Bila perilaku bersifat kompleks, maka episode modeling dilakukan

mulai dari yang paling mudah ke yang lebih sukar.

9) Scenario modeling harus dibuat realistic.

10)Melakukan pemodelan dimana tokoh menunjukan perilaku yang

menimbulkan rasa takut bagi konseli.19

3. Kemandirian

a. Pengertian Kemandirian

Kata kemandirian berasal dari kata diri yang mendapat awalan

ke dan akhiran an yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau

kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar diri,

pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari

pembahasan mengenai perkembangan diri itu sendiri, yang dalam

konsep Carl Rogers disebut dengan istilah self (Brammer dan

Shostrom, 1982) karena diri itu merupakan inti dari kemandirian.

Dalam pandangan konformistik/sudut pandang yang berpusat

pada masyarakat, kemandirian merupakan konformitas terhadap prinsip moral kelompok rujukan. Oleh karena itu, “individu yang mandiri adalah individu yang berani mengambil keputusan dilandasi

oleh pemahaman akan segala konsekuensi dari tindakannya”. 20

19

Sudarsono, Kamus Konseling, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 107 20

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), hlm. 109-110.


(47)

38

Menurut Hurlock, kemandirian adalah kemampuan seseorang

untuk mengarahkan dirinya sendiri dan tidak bergantung pada orang

lain. Sedangkan menurut Fatimah Enung, Kemandirian adalah

kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari, sendiri

atau dengan sedikit bantuan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan

kapasitasnya.21

b. Macam-macam kemandirian

Abraham Maslow membedakan kemandirian menjadi dua,

yaitu:

1) Kemandirian aman (scure autonomy), dan

2) Kemandirian tidak aman (insecure autonomy).

Kemandirian aman adalah kekuatan untuk menumbuhkan cinta kasih

pada dunia, kehidupan dan orang lain, sadar akan tanggung jawab

bersama, dan tumbuh rasa percaya terhadap kehidupan. Kekuatan ini

digunakan untuk mencintai kehidupan dan membantu orang lain.

Sedangkan kemandirian tidak aman adalah kekuatan kepribadian yang

dinyatakan dalam perilaku menentang dunia. Maslow menyebut

kondisi seperti ini sebagai selfish autonomy atau kemandirian

mementingkan diri sendiri.22

21

Hidayati Sri dkk, “Model Bimbingan Kelompok Dalam Pelaksanaan Kegiatan

Kepramukaan Untuk Meningkatkan Kemandirian Siswa”, Jurnal Bimbingan Konseling, jilid 2, no.

1, (http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jubk, diakses pada 24 Mei 2016). 22

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), hlm. 109.


(48)

39

c. Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

Sebagai hasil dari proses belajar pencapaian karakter mandiri

dipengaruhi oleh banyak faktor, Ali dan Asrori mengemukakan bahwa

ada empat faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja, yaitu:

1) Gen atau keturunan orang tua

Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi

seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga.

Namun faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena ada

yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian

orang tuanya itu menurun kepada anaknya, melainkan sifat orang

tuanya muncul berdasarkan cara orang tua mendidik anaknya.

2) Pola asuh orang tua

Cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan

mempengaruhi perkembangan kemandirian anak remajanya. Orang

tua yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata ”jangan”

kepada anak tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan

menghambat perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, orang

tua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya

akan dapat mendorong kelancaran perkembangan anak. Demikian

juga, orang tua yang cenderung sering membanding-bandingkan

anak yang satu dengan lainnya juga akan berpengaruh kurang baik

terhadap perkembangan kemandirian anak.


(49)

40

Sistem pendidikan di sekolah adalah sistem pendidikan

yang ada di sekolah tempat anak dididik dalam lingkungan formal.

Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan

demokratisasi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi

tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian

siswa. Sebaliknya, proses pendidikan di sekolah yang lebih

menekankan pentingnya penghargaan terhadap anak dan

penciptaan kompetensi positif akan memperlancar perkembangan

kemandirian belajar.

4) Sistem kehidupan di masyarakat

Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan

pentingnya hierarki struktur social, merasa kurang aman atau

mencekam serta kurang menghargai manifestasi potensi remaja

dalam kegiatan produktif dapat menghambat kelancaran

perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya, lingkungan

masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam

bentuk berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hierarkis akan

merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian remaja.23

d. Ciri-ciri kemandirian

Gea mengatakan bahwa individu dikatakan mandiri apabila

memiliki lima ciri sebagai berikut:

1) percaya diri.

23

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), hlm. 118-119.


(50)

41

2) mampu bekerja sendiri.

3) menguasai keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan

kerjanya.

4) menghargai waktu, dan

5) tanggung jawab.24

Kelima ciri-ciri individu mandiri tersebut, dapat dijelaskan oleh

penulis sebagai berikut:

1) percaya diri, adalah meyakini pada kemampuan dan penilaian diri

sendiri dalam melakukan tugas dan memilih pendekatan yang

efektif.

2) mampu bekerja sendiri, adalah usaha sekuat tenaga yang dilakukan

secara mandiri untuk menghasilkan sesuatu yang membanggakan

atas kesungguhan dan keahlian yang dimilikinya.

3) menguasai keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kerjanya,

adalah mempunyai keterampilan sesuai dengan potensi yang sangat

diharapkan pada lingkungan kerjanya.

4) menghargai waktu, adalah kemampuan mengatur jadwal

sehari-hari yang diprioritaskan dalam kegiatan yang bermanfaat secara

efesien, dan

5) tanggung jawab, adalah segala sesuatu yang harus dijalankan atau

dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan sesuatu yang sudah

menjadi pilihannya atau dengan kata lain, tanggung jawab

24Lembaga Perawatan Psikologi, “Membentuk Kemandirian Anak (Remaja), Artikel Psikologi Anak, (http://www.dispsiad.mil.id/index.php/en/psikologi-olahraga/290-membentuk-kemandirian-anak-remaja, diakses 27 April 2016)


(51)

42

merupakan sebuah amanat atau tugas dari seseorang yang

dipercayakan untuk menjaganya.

Sejalan dengan pendapat di atas, Desmita mengemukakan orang yang

mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya

sendiri.

2) mampu mengambil keputusan dan inisistif untuk mengatasi

masalah yang dihadapi.

3) memiliki kepercayaan diri dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

4) bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.25

Sedangkan Familia berpendapat anak yang mandiri memiliki ciri khas sebagai berikut: “...mempunyai kecenderungan memecahkan masalah daripada berkutat dalam kekhawatiran bila terlibat masalah, tidak takut

mengambil resiko karena sudah mempertimbangkan baik buruknya,

percaya terhadap penilaian diri sendiri sehingga tidak sedikit-sedikit

bertanya atau meminta bantuan, mempunyai kontrol yang lebih baik

terhadap hidupnya”. Jas mengatakan orang yang memiliki karakter

kemandirian terlihat dalam sikap antara lain sebagai berikut:

1) Saat harus melakukan sesuatu tidak terlalu banyak meminta

pertimbangan orang lain.

2) Ketika harus mengambil resiko terhadap sesuatu tidak terlalu

banyak berfikir.

25

Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,


(52)

43

3) Tidak terlalu banyak ragu-ragu dan mengetahui resiko yang akan

dihadapi.

4) Mengetahui konsekuensi yang akan muncul dan mengetahui

manfaat dari pekerjaan yang akan diambilnya.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan

sebelumnya, maka ciri-ciri karakter mandiri dapat diuraikan sebagai

berikut:

1) Percaya diri.

2) Mampu bekerja sendiri.

3) Menguasai keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kerjanya.

4) Menghargai waktu.

5) Bertanggung jawab.

6) Memiliki hasrat bersaing untuk maju.

7) Mampu mengambil keputusan.

Dalam penelitian ini, ciri-ciri karakter mandiri yang akan digunakan

untuk mengembangkan kisi-kisi karakter mandiri siswa SMP hanya

enam aspek, yaitu:

1) Percaya diri.

2) Mampu bekerja sendiri.

3) Menghargai waktu.

4) Bertanggung jawab.


(53)

44

6) Mampu mengambil keputusan.26

e. Upaya mengembangkan Kemandirian

Sejalan dengan pendapat di atas Ali dan Asrori mengemukakan

ada sejumlah intervensi yang dapat dilakukan untuk pengembangan

kemandirian remaja, antara lain sebagai berikut:

1) Penciptaan partisipasi dan keterlibatan dalam keluarga, yang

diwujudkan dalam bentuk saling menghargai antaranggota

keluarga dan keterlibatan dalam memecahkan masalah remaja.

2) Penciptaan keterbukaan, yang diwujudkan dalam bentuk

toleransi terhadap perbedaan pendapat, memberikan alasan

terhadap keputusan yang diambil bagi remaja, keterbukaan

terhadap minat remaja, mengembangkan komitmen terhadap

tugas remaja, kehadiran dan keakraban hubungan dengan

remaja.

3) Penciptaan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan, yang

diwujudkan dalam bentuk mendorong rasa ingin tahu remaja,

adanya aturan tetapi tidak cenderung mengancam apabila

ditaati, adanya jaminan rasa aman dan kebebasan untuk

mengeksplorasi lingkungan.

26 Priskila Hesti Anomsari, “Upaya Meningkatkan Nilai Kemandirian Melalui Layanan

Bimbingan Kelompok Pada Siswa Kelas VIIIA SMP Negeri 3 Kembang Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara” (Skripsi, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, 2013), hlm. 15.


(54)

45

4) Penerimaan positif tanpa syarat, yang diwujudkan dalam

bentuk tidak membeda-bedakan remaja, menerima remaja apa

adanya, serta menghargai ekspresi potensi remaja.

5) Empati terhadap remaja, yang diwujudkan dalam bentuk

memahami pikiran dan perasaan remaja, melihat persoalan

remaja dengan berbagai sudut pandang, dan tidak mudah

mencela karya remaja.

6) Penciptaan kehangatan hubungan dengan remaja, yang

diwujudkan dalam bentuk interaksi secara akrab, membangun

suasana humor dan komunikasi ringan dengan remaja, dan

bersikap terbuka terhadap remaja. Melalui upaya

pengembangan kemandirian yang dilakukan oleh keluarga

maupun pendidik tersebut dapat memicu berkembangnya

kemandirian pada diri remaja sehingga remaja dapat mencapai

perkembangannya secara optimal.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa upaya

yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemandirian siswa

adalah: melakukan tindakan penciptaan kebebasan keterlibatan dan

partisipasi siswa dalam berbagai kegiatan, menciptakan hubungan

yang akrab, hangat dan harmonis dengan siswa, menciptakan


(55)

46

untuk mengeksplorasi lingkungan serta menciptakan empati kepada

siswa.27

B. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Adapun hasil penelitian terdahulu yang dijadikan relevansi antara lain:

1. Teknik Modeling Dalam Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan

Kemandirian Belajar Siswa Sma Negeri 3 Yogyakarta. Oleh Rochayatun

Dwi Astuti, Nim: 11220052, Prodi: Bimbingan Dan Konseling Islam

Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga 2015.

Persamaan dan perbedaan:

Dalam penelitian ini membahas tentang pelaksanaan teknik

modeling dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan kemandirian

belajar siswa. Yang dapat dijadikan relevansi yaitu kemandirian.

Sama-sama menggunakan model penelitian kualitatif. Perbedaan terletak pada

obyeknya, dalam penelitian itu obyeknya adalah siswa SMA Negeri 3

Yogyakarta, sedangkan obyek saya yaitu seorang remaja di Desa Ngayung

Maduran Lamongan, selain itu perbedaanya terletak pada layanan

bimbingan dan konseling. Dalam penelitian ini menggunakan layanan

bimbingan kelompok. Sedangkan penulis menggunakan konseling

individual.

27

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Bumi Aksara,


(56)

47

2. Jurnal Bimbingan konseling Model Bimbingan Kelompok Dalam

Pelaksanaan Kegiatan Kepramukaan Untuk Meningkatkan Kemandirian

Siswa 2 (1) (2013), Oleh: Hidayati Sri dkk.

Persamaan dan perbedaan:

Yang dapat dijadikan relevansi adalah dalam hal meningkatkan

kemandirian. Perbedaannya adalah penelitian ini menggunakan metode

research and development sedangkan penelitian yang dilakukan oleh

penulis menggunakan kualitatif deskriptif dan juga terletak obyeknya,

yaitu beberapa siswa sedangkan obyek penulis adalah seorang remaja.

Penulis menggunakan terapi behavior dengan teknik modeling, sedangkan

dalam jurnal penelitian ini menggunakan model bimbingan kelompok

dalam pelaksanaan kegiatan kepramukaan.

3. Tita Andriani, 2013. Program Bimbingan Dan Konseling Pribadi Sosial

Untuk Meningkatkan Kemandirian Prilaku Siswa, Universitas Pendidikan

Indonesia.

Persamaan dan perbedaan:

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yaitu

pendekatan yang memungkinkan dilakukan pencatatan dan penganalisaan

data hasil penelitian secara eksak dengan menggunakan

perhitungan-perhitungan statistik (analisis statistik). Sedangkan penulis menggunakan

pendekatan kualitatif. Relevansi yang ditemukan dalam penelitian ini

adalah kemandirian. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian


(57)

48

deskriptif. Bedanya, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan

keadaan kemandirian perilaku siswa kelas XI Jurusan Administrasi

Perkantoran SMK Pasundan 3 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013.

Sedangkan obyek peneliti adalah seorang remaja di Desa Ngayung

Maduran Lamongan, berupa studi kasus.


(58)

BAB III

TERAPI BEHAVIOR DENGAN TEKNIK MODELLING

A. Deskripsi Umum Objek Penelitian

1. Deskripsi lokasi penelitian

a. Desa Ngayung

Penelitian ini dilakukan konselor di suatu Desa. Desa tersebut

bernama Desa Ngayung. Desa Ngayung merupakan daerah yang

berada dilokasi Kabupaten Lamongan. Desa Ngayung dihuni ± 3039

penduduk. Luas wilayah Desa Ngayung 279 Ha. Desa Ngayung

berbatasan dengan beberapa Desa, diantaranya yaitu:

1) Sebelah utara dibatasi oleh Desa Gumantuk

2) Sebelah barat dibatasi oleh Desa Sekaran

3) Sebelah timur dibatasi oleh Desa Latukan

4) Sebelah selatan dibatasi oleh Desa Poro Deso

Jumlah RT 5 buah, RW 1 dan jumlah Perangkat Desa/Kel 11

orang. Desa Ngayung berada di wilayah sebelah barat Lamongan dari

dan 10 KM dari pusat Kecamatan Maduran, sehingga untuk mencapai

desa ini sangat mudah dan tidak terlalu sulit. Desa Ngayung

merupakan daerah pertanian, namun ada beberapa warga yang bekerja

sebagai wiraswasta, pedagang, kuli bangunan, bahkan sampai

merantau ke luar pulau akibat sempitnya lapangan pekerjaan dan

sedikitnya peluang usaha seiring bertambahnya jumlah penduduk di


(59)

50

Keadaan sosial budaya di Desa Ngayung ini, masih

menjunjung tinggi asas gotong royong. Hal ini dapat dilihat ketika ada

orang yang meninggal dunia, masyarakat desa akan nyelawat (ta’ziah),

dan ketika ada orang yang akan mendirikan rumah, maka tetangga

sekitar akan siap membantu meskipun tidak dimintai pertolongan, hal

ini terjadi atas kesadarannya sendiri. Selain sikap kegotong-royongan,

Sikap kerukunan juga tercermin dalam kehidupan bermasyarakat di

Desa Ngayung. Misalnya, antara tetangga yang satu dengan tetangga

yang lain sama-sama saling menghormati, menghargai pendapat dan

selalu menyelesaikan masalah bersama secara musyawarah.

2. Deskripsi Konselor

Konselor yang dimaksud adalah orang yang mempunyai keahlian

dalam memberikan bantuan atau layanan dalam mental spiritual terhadap

seseorang atau sekelompok orang (konseli) yang mengalami berbagai

bentuk problem atau masalah baik yang bersifat lahiriyah maupun

batiniyah.

Konselor bernama Ahmad Faizin merupakan anak pertama dari bapak

Suwono dan Ibu Khuzaimah dengan latar belakang dari keluarga yang

sederhana. Konselor dilahirkan di Lamongan, 29 November 1994, alamat

berada di Desa Ngayung Kecamatan Maduran. Pada tahun 2006, ia lulus

dari Sekolah Dasar di MI Ihya’uddin Ngayung, kemudian melanjutkan

sekolah menengah pertama di Mts Fathul Hidayah Pangean yang lulus di


(1)

85

konseling sering dilakukan konseli menjadi tidak pernah dilakukan konseli

sesudah pelaksanaan konseling dengan prosentase 75%.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam pemberian terapi behavior

dengan teknik modelling yang dilakukan oleh konselor dapat dikatakan cukup

berhasil dengan prosentase 75%. Hal ini sesuai dengan standar uji yang

tergolong dalam kategori 60% sampai dengan 75% yang dikategorikan cukup


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian, peneliti mendapatkan data-data yang

diperoleh dari penelitian, dan peneliti akan menyimpulkan data-data tersebut.

Dalam pembahasan Terapi Behavior Dengan Teknik Modelling Untuk

Meningkatkan Kemandirian Remaja Di Desa Ngayung Kecamatan Maduran

Kabupaten Lamongan.

Dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Proses pelaksanaan Terapi Behavior Dengan Teknik Modelling Untuk

Meningkatkan Kemandirian Remaja Di Desa Ngayung Kecamatan

Maduran Kabupaten Lamongan Melalui langkah-langkah yang ada dalam

konseling Peneliti menggunakan terapi behavior dengan teknik

modelling. Dalam pelaksanaan teknik tersebut bisa dibilang cukup lancar

terbukti konseli bisa mandiri menuruti saran dari konselor. Langkah

terakhir yaitu Follow Up sekaligus mengevaluasi tindakan klien dengan

melihat serta pengamati perubahan-perubahan yang ada pada diri klien.

2. Hasil akhir dalam pelaksanaan Terapi Behavior Dengan Teknik

Modelling Untuk Meningkatkan Kemandirian Remaja Di Desa Ngayung

Kecamatan Maduran Kabupaten Lamongan Dapat di kategorikan cukup

berhasil karena konseli tersebut semakin lama semakin banyak

berubahnya seperti sering memerintah dan meminta bantuan orang lain


(3)

87

dan mudah marah sekarang menjadi remaja yang humoris dan suka

bergaul seperti dulu. Walaupun masih ada beberapa tingkah laku yang

kadang-kadang dilakukan seperti suka meminta bantuan orang lain dan

suka memerintah ketika bersama teman-temannya. Namun syukurlah

klien sekarang berubah menjadi seorang yang aktif dan suka membantu

orang lain.

B. Saran

Dalam penelitian ini, peneliti menyadari masih banyak kekurangan

dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan peneliti

selanjutnya untuk lebih menyempurnakan hasil penelitian yang tentunya

menunjuk pada hasil yang sempurna dengan harapan agar penelitian yang

dihasilkan nantinya dapat lebih menjadi baik.

Adapun saran-saran dari peneliti adalah:

1. Bagi Pembaca

Peneliti ini diharapkan dapat dijadikan pegangan bagi semuanya,

khususnya pada mahasiswa jurusan bimbingan dan konseling Islam. Agar

lebih terbuka ketika mempunyai masalah, ceritakan masalahmu kepada

orang yang kamu percaya. Dan belajarlah mengambil hikmah disetiap

kejadian agar berubah menjadi remaja yang lebih baik lagi.

2. Bagi Keluarga

Diharapkan untuk keluarga konseli terus memantau dan tetap

mengontrol perkembangan klien serta memberikan motivasi dan supprot


(4)

88

Dan juga tetap kontrol agar dia selalu terbuka terhadap apa yang

dirasakanya.

3. Bagi Klien

Hendaknya klien harus tetap menjadi anak yang mandiri dan

bertanggung jawab seperti sekarang. Dan jangan menutup diri dari

masalah hidupmu. Terbukalah kepada orang yang benar-benar konseli

percaya. Dan konseli harus percaya setiap masalah pasti ada hikmah dan

tujuanya. Serta konseli harus semangat dalam meraih cita-citanya. Dan

lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.

4. Bagi Konselor

Dapat tetap memantau serta dapat memberikan motivasi agar

klien lebih semangat dalam menjalani kehidupanya yang sekarang.

Konselor diharapkan untuk memambah pengetauannya dan wawasan

tentang teori konseling agar dalam memberikan bantuan terhadap

seseorang remaja untuk meningkatkan kemandiriannya dapat dilakukan

dengan baik. Dan konselor jangan mengharapkan imbalan atas segala

waktu yang di luangkan untuk konseli.

5. Bagi Peneliti selanjutnya

Apabila dalam penelitian ini ada banyak kekeliruan mohon kritik

dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan penelitian


(5)

89

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori, 2012, Psikologi Remaja, Jakarta: Bumi Aksara.

Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia ( Ayat Pojok ), 2006, Kudus : Menara Kudus.

Arikunto, Suharsimi, 2013, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta.

Corey, Gerald, 2013, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung: Refika Aditama.

Desmita, 2010, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Gunarsa, Singgih D, 2000, Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: Gunung Mulia.

Indrawan, Rully dan Poppy Yaniawati, 2014 Metode Penelitian, Bandung: Refika Aditama.

Komalasari, Gantika, 2011, Teori dan Teknik Konseling, Jakarta : PT. Indeks. Latipun, 2015, Psikologi Konseling, Malang: UMM Press.

Lubis, Namora Lumongga, 2011, Memahami Dasar-dasar Konseling, Jakarta: Kencana.

Mappiare, Andi, 1982, Psikologi Remaja, Surabaya: Usaha Nasional.

Moleong, Lexy J, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. 13 Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nazir, Moh, 1999, Metode Penelitian, Cet. IV, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Salim, Muhammad Nur, 2005, Strategi Konseling, Surabaya: Unesa University Press. Subagyo, Joko, 2004, Metode Penelitian dalan Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka

Cipta.

Sudarsono, 1997, Kamus Konseling, Jakarta: Rineka Cipta.


(6)

90

Sukitman, Tri, 2015, Panduan Lengkap dan Aplikatif Bimbingan Konseling Berbasis

Pendidikan Karakter, Yogyakarta: Diva Press.

Suprayogo, Imam dan Tobroni, 2001, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Smart, Aqila dan Supardi, 2013, Ide-ide Kreatif Mendidik Anak bagi Orang Tua

Sibuk, Jogjakarta: Katahati.

Sutoyo, Anwar, 2009, Bimbingan dan Konseling Islam Teori dan Praktik, Semarang: Widya Karya.

W. Santrock, John, 2003, Adolescence Perkembangan Remaja, Jakarta: Erlangga. https://ichwanpsikoundip05.wordpress.com/jurnal/, diakses pada18/03/2016 http://oktri83.blogspot.co.id/2013/03/hubungan-antara-kebutuhan-dasar_24.html,

diakses pada18/03/2016.

Lembaga Perawatan Psikologi, “Membentuk Kemandirian Anak (Remaja), Artikel

Psikologi Anak,


Dokumen yang terkait

Terapi behavior dengan teknik modelling untuk menangani penyalahgunaan narkoba terhadap remaja di Dusun Wonosari Desa Jatirejo Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang.

1 4 132

BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN TEKNIK MODELLING UNTUK MENINGKATKAN KEPEDULIAN REMAJA KEPADA ORANG TUA DI DESA BARENGKRAJAN KRIAN SIDOARJO.

0 0 111

Bimbingan dan konseling Islam dengan terapi behavior untuk menangani kenakalan remaja seorang pelaku balap motor liar di Desa Keramat Kabupaten Nganjuk.

0 0 108

PROSES PEMBELAJARAN DALAM PEMBERDAYAAN IBU-IBU MUDA DI HOME INDUSTRY SUSU KEDELAI SOYA BRINTO DESA PARENGAN KECAMATAN MADURAN KABUPATEN LAMONGAN -

0 0 66

Perbedaan Efektifitas Terapi Applied Behavior Analysis Teknik Extinction Dengan Dan Tanpa Media Video Modelling Untuk Mengurangi Restricted Behavior Pada Anak Autism Spectrum Disorder

0 0 16

Perbedaan Efektifitas Terapi Applied Behavior Analysis Teknik Extinction Dengan Dan Tanpa Media Video Modelling Untuk Mengurangi Restricted Behavior Pada Anak Autism Spectrum Disorder

0 0 2

Perbedaan Efektifitas Terapi Applied Behavior Analysis Teknik Extinction Dengan Dan Tanpa Media Video Modelling Untuk Mengurangi Restricted Behavior Pada Anak Autism Spectrum Disorder

0 0 15

Perbedaan Efektifitas Terapi Applied Behavior Analysis Teknik Extinction Dengan Dan Tanpa Media Video Modelling Untuk Mengurangi Restricted Behavior Pada Anak Autism Spectrum Disorder

0 1 32

Perbedaan Efektifitas Terapi Applied Behavior Analysis Teknik Extinction Dengan Dan Tanpa Media Video Modelling Untuk Mengurangi Restricted Behavior Pada Anak Autism Spectrum Disorder

1 3 6

Perbedaan Efektifitas Terapi Applied Behavior Analysis Teknik Extinction Dengan Dan Tanpa Media Video Modelling Untuk Mengurangi Restricted Behavior Pada Anak Autism Spectrum Disorder

0 0 81