PENGARUH PENAMBAHAN ZAT PENGATUR TUMBUH ASAM NAFTALENA ASETAT (NAA) DAN 6-BENZYLAMINO PURINE (BAP) TERHADAP KEBERHASILAN INDUKSI EMBRYOGENESIS SOMATIK PADA DAUN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner) - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Botani Kopi

  Kopi merupakan salah satu tumbuhan yang termasuk dalam family

  

Rubiaceae yang bernilai ekonomi tinggi. Kopi pertama kali ditemukan pada abad

IX di Ethiopia, dimana biji-bijian asli ditanam oleh orang Ethiopia dataran tinggi.

  Pada saat itu, banyak orang di Benua Afrika, terutama bangsa Ethiopia, yang mengkonsumsi biji kopi yang dicampurkan dengan lemak hewan dan anggur untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi tubuh. Akan tetapi, ketika bangsa Arab mulai meluaskan perdagangannya, biji kopi pun telah meluas sampai ke Afrika Utara dan biji kopi disana ditanam secara massal. Dari Afrika Utara itulah biji kopi mulai meluas dari Asia sampai pasaran Eropa dan ketenarannya sebagai minuman mulai menyebar. Kopi kemudian terus berkembang hingga saat ini menjadi salah satu minuman paling populer di dunia yang dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat (National Geographic, 2013).

  Di Indonesia, kopi yang pertama kali dibudidayakan pada tahun 1696 adalah kopi arabika. Namun, karena adanya serangan penyakit Hemileia vastatrik atau penyakit karat daun, maka pada tahun 1875 Indonesia membudidayakan kopi liberika. Kopi tersebut juga tidak tahan terhadap penyakit karat daun, sehingga pada tahun 1900 mulai dibudidayakan jenis kopi robusta yang tahan terhadap penyakit karat daun. Sampai saat ini, diperkirakan 95 % dari areal perkebunan kopi di Indonesia membudidayakan jenis kopi robusta (Muljana, 1986).

2.1.1. Morfologi Kopi

  Kopi adalah tanaman perdu yang memiliki tinggi antara 2 - 4 meter. Kopi memiliki sistem perakaran yang dangkal, lebih dari 90 % akar berada pada lapisan tanah dengan kedalaman kurang dari 30 cm (Gambar 2.1.A). Oleh karena itu tanaman kopi peka terhadap kandungan bahan organik maupun perubahan musim (Najiyati & Danarti, 1990).

  Batang tanaman kopi memiliki dua tipe percabangan, yaitu cabang yang tumbuh tegak (orthotrop) dan cabang yang tumbuh mendatar (plagiotrop;

  2.1.B.). Cabang plagiotrop berfungsi sebagai penghasil bunga,

  Gambar

  sedangkan cabang ortotrop tumbuhnya pesat dengan ruas yang relatif panjang sehingga banyak digunakan sebagai sumber stek (van Steenis et al., 2008).

  Kopi mempunyai daun berbentuk bulat telur dengan ujung yang agak meruncing sampai bulat (Gambar 2.1.C). Pada ortotrop, daun tersusun berselang- seling pada ruas-ruas berikutnya, sedangkan pada plagiotrop daun tersusun mendatar dan tidak berselang-seling (Najiyati & Danarti, 1990). Daun kopi rata- rata berukuran panjang 20 - 30 cm dan lebar sekitar 10 - 16 cm dengan urat daun tenggelam sehingga permukaan daun nampak berlekuk-lekuk (van Steenis et al., 2008).

  Tanaman kopi umumnya berbunga setelah berumur lebih kurang dua tahun. Tanaman kopi berbunga majemuk yang muncul dari ketiak daun pada cabang plagiotrop. Setiap bunga tersusun atas 3 - 5 kuntum bunga yang bertangkai pendek. Setiap buku dapat menghasilkan lebih dari 30 kuntum bunga. Bunga kopi akan mekar pada permulaan musim kemarau, berwarna putih dan harum dengan panjang tabung dapat mencapai 1,8 cm. Petala berjumlah 5

  • – 7 dengan ukuran panjang mencapai 1,3 cm dan lebar mencapai 0,4 cm (Gambar 2.1.D). Benang sari tertancap pada tabung mahkota berjumlah lima sampai tujuh tangkai yang berukuran pendek. Tangkai putik memanjang jauh di luar tabung mahkota dan bercabang dua. Bakal buah mengandung dua bakal biji (van Steenis et al, 2008).

  Setelah terjadi penyerbukan dan pembuahan, bakal buah kemudian berkembang menjadi buah. Buah tersebut akan terus tumbuh dan siap panen setelah sembilan bulan sampai satu tahun (Muljana, 1986). Tanaman kopi hanya menghasilkan buah satu kali dalam satu tahun dan dipanen pada bulan Maret sampai September (Gambar 2.1.E; Siahaan, 2008). Buah kopi bertipe drupa dan berbentuk bulat telur, terdiri atas 4 lapisan yaitu lapisan kulit luar (exocarp), daging buah (mesocarp), kulit tanduk (parchment), dan biji (endosperm; Gambar

  ). Kulit buah kopi sangat tipis dan mengandung klorofil serta zat

2.1.F

  • – zat warna lainnya sehingga sewaktu muda biji kopi berwarna hijau dan berubah menjadi merah jika telah tua (van Steenis et al., 2008).

  Setiap buah terdapat dua buah biji kopi. Biji kopi mengandung protein, minyak aromatis, dan asam- asam organik. Pada umumnya, biji kopi mengandung air (48%), zat bahan kering (50

  • –52%), karbohidrat (60%), minyak (13%), protein (13%), asam-asam non volatil (8%), abu (4%), trigonelin (1%) dan kafein (arabika 1,0%; robusta 2,0%) (Simanjuntak, 2011).

  A B C D F E

  akar tanaman kopi (A; Kuit et al., 2004), batang kopi (B), daun kopi Gambar 2.1.

  (C), bunga kopi (D), buah kopi (E), dan biji kopi (F; Cafedecolombia.com, 2013)

2.1.2. Varietas Kopi

  Ada sekitar 100 jenis kopi yang ditemukan di dunia, tetapi hanya dua jenis kopi yang dikenal memiliki nilai ekonomis dan diperdagangkan secara komersial, yaitu kopi arabika (Coffea arabica L.) dan kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex Froehner; Etienne, 2006). Dua jenis kopi yang lain yang dibudidayakan dalam skala lebih kecil adalah kopi liberika (Coffea liberica) dan kopi excelsa (Coffea ).

  dewevrei

  Kopi arabika (Gambar 2.2.A) merupakan kopi yang paling banyak diproduksi (60 % produksi kopi dunia) karena memiliki harga yang lebih baik.

  Kopi arabika umumnya tumbuh ideal di tempat pada ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan (Sofyana, 2011). Kopi arabika tidak tahan terhadap penyakit karat daun dan perubahan musim, namun biji kopi arabika memiliki rasa yang lebih manis dan aroma yang kurang kuat sehingga banyak digemari masyarakat di dunia (Anggara et al., 2011).

  Kopi robusta lebih tahan terhadap cuaca dan hama penyakit, serta mudah pemeliharaannya dibandingkan kopi arabika. Kopi robusta juga bisa hidup di bawah ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut dan mampu menghasilkan biji lebih banyak dibandingkan dengan kopi arabika sehingga banyak dibudidayakan di Indonesia (Sofyana, 2011). Biji kopi robusta memiliki kadar kafein lebih tinggi dibandingkan dengan kopi arabika dengan aroma kopi yang lebih kuat. Saat ini sekitar sepertiga produksi kopi dunia adalah kopi robusta (Gambar 2.2.B).

  A B

  Perbandingan antara kopi arabika (A) dan kopi robusta (B; Rogers, Gambar 2.2.

  2013)

2.1.3. Manfaat Kopi

  Kopi merupakan tanaman yang memiliki berbagai khasiat untuk kesehatan dan kecantikan. Kafein yang terdapat dalam biji kopi merupakan stimulan bagi sistem saraf pusat sehingga dapat meningkatkan kinerja otak. Kafein mampu melindungi kerusakan sel kulit akibat radiasi (Panggabean, 2011). Kopi juga mengandung chlorogenic acid yang merupakan senyawa polyphenol yang berfungsi sebagai antioksidan kuat. Adanya antioksidan dapat membantu tubuh dalam menangkal efek perusakan oleh senyawa radikal bebas dalam tubuh dan memperbaiki sel-sel yang rusak. Kopi juga dapat memberi efek relaksasi karena aromanya yang wangi dan menyegarkan (Johnston et al., 2003). Putri (2012) menambahkan bahwa serbuk biji kopi dapat digunakan sebagai sunblock untuk mencegah sengatan matahari dan mencegah kulit keriput (Gambar 2.3.A).

  Bagian dari tanaman kopi yang bermanfaat bagi manusia selain biji adalah daun kopi (Gambar 2.3.B). Daun kopi mengandung antioksidan yang tinggi serta memiliki kandungan kafein yang rendah sehingga banyak dimanfaatkan untuk minuman seperti pada daun teh (Setiono, 2013). Selain daun, batang tanaman kopi juga dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar atau bahan baku arang (Gambar

  

2.3.C ). Kulit buah kopi juga bermanfaat sebagai pupuk organik dan dapat juga

dijadikan sebagai pakan ternak (Gambar 2.3.D; Arnawa et al., 2010).

  B A C D

Gambar 2.3. masker dengan bubuk kopi (A; Kobylanski, 2010), minuman dari

  kopi (B; Brown, 2012), arang dari tanaman kopi (C), dan limbah kulit buah kopi (D; Arnawa et al., 2010)

2.2. Budidaya Kopi dan Permasalahannya

2.2.1. Produksi Kopi Dunia dan Indonesia

  Kopi merupakan salah satu komoditas pertanian yang paling banyak diperdagangkan di pasar dunia. Total produksi kopi di dunia mencapai 8 juta ton dengan nilai penjualan melebihi dari US$ 22,7 milyar selama tahun 2011 (ICO, 2010). Luas areal perkebunan kopi di dunia mencapai 10,2 juta hektar lahan yang mencakup lebih dari 80 negara dan diproduksi oleh petani kecil hingga mencapai 70% (Santos-Briones et al., 2006).

  Indonesia merupakan negara produsen kopi utama ketiga di dunia setelah Brazil dan Vietnam, sementara pada posisi keempat adalah negara Kolombia (Gambar 2.4). Keempat negara tersebut menghasilkan 63,48% produksi kopi dunia (ICO, 2013). Produksi kopi Indonesia dan Vietnam lebih didominasi kopi robusta, sementara kopi utama yang dihasilkan oleh Brazil dan Kolombia adalah kopi arabika.

  Gambar 2.4.

  Produksi kopi di negara-negara penghasil kopi terbesar di dunia pada tahun 2011 (FAO, 2013). Perkebunan kopi di Indonesia dikelola dalam tiga bentuk pengusahaan yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Dari seluruh luas areal perkebunan kopi Indonesia, 93,07 % luas areal perkebunan kopi dimiliki oleh perkebunan rakyat, sedangkan sisanya oleh perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta masing-masing sebesar 3,93 % dan 3,62 % (AEKI, 2013).

  Menurut data AEKI (2013), produksi kopi Indonesia saat ini telah mencapai lebih kurang 650.000 ton per tahun, dimana sektor perkebunan rakyat merupakan penghasil utama kopi Indonesia (96,2%), sisanya dari sektor perkebunan swasta lebih kurang sebesar 10.000 ton (1,5%) dan dari sektor perkebunan negara

  500000 1000000 1500000 2000000 2500000 3000000

  Brazil Vietnam Indonesia Colombia Negara P ro d u k si K o p i (T o n ) menyumbang rata-rata 15.000 ton (2,3%) per tahun. Dari total produksi kopi Indonesia, 550.000 ton (81,2%) berupa kopi robusta dan 125.000 ton (18,8%) berupa kopi arabika. Luas areal perkebunan kopi di Indonesia pada tahun 2011 hampir mencapai 1,3 juta hektar dan merupakan yang terluas kedua di dunia setelah Brazil dengan luas areal 2,1 juta hektar (Gambar 2.5).

Gambar 2.5. Luas Areal perkebunan kopi di negara-negara penghasil kopi

  terbesar di dunia tahun 2011

  Indonesia merupakan negara dengan luas area perkebunan kopi terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Namun, bila ditinjau dari produksi, Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brazil dan Vietnam. Keadaan ini terjadi karena produktivitas kopi Indonesia per hektarnya hanya mencapai sekitar 500 kg. Angka tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan negara penghasil kopi di dunia lainnya, seperti Sierra Leone dan Vietnam yang mampu menghasilkan kopi per hektarnya mencapai lebih dari 2 Ton/Ha (Gambar 1.1).

  500000 1000000 1500000 2000000 2500000

  Brazil Indonesia Colombia Mexico Viet Nam Negara L u a s A r e a ( H a )

2.2.2. Permasalahan Budidaya Kopi di Indonesia

  Rendahnya produktivitas kopi disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah gangguan penyakit karat daun (Hemileia vastatrix), yang merupakan penyakit paling merugikan usaha tani kopi di Indonesia (Mahfud, 2012). Faktor lain yang menyebabkan rendahnya produktivitas kopi di Indonesia adalah perkebunan kopi Indonesia sebagian besar adalah perkebunan rakyat yang penanamannya masih secara tradisional dengan pengelolaan budidaya dan penanganan pasca panen masih kurang memadai (Gisca, 2012).

  Kendala lain dari permasalahan kopi di Indonesia adalah kurangnya ketersediaan bibit kopi yang bermutu. Priyono (2010) mengungkapkan bahwa rendahnya produktivitas kopi di Indonesia salah satunya disebabkan oleh terbatasnya penggunaan bahan tanam hasil perbanyakan vegetatif dari material genetik unggul.

2.3. Pembibitan Kopi di Indonesia

  Pada umumnya petani kopi di Indonesia membudidayakan tanaman tersebut dengan menggunakan bibit yang diperoleh secara generatif melalui biji (Prastowo

  

et al ., 2010). Biji kopi yang diambil dari buah masak dari tanaman induk unggul

  dikecambahkan selama 30 - 40 hari. Kecambah kemudian ditanam pada medium kompos dan diletakkan dibawah naungan selama sekitar 8 bulan. Bibit yang diperoleh kemudian siap ditanam di lahan perkebunan (Gambar 2.6). Teknik tersebut banyak dilakukan oleh petani karena tekniknya mudah dan tidak membutuhkan biaya besar (Prastowo et al., 2010). Namun demikian, teknik pembibitan melalui biji memiliki kemungkinan tingginya tingkat heterogenitas tanaman yang dihasilkan. Hal tersebut karena tanaman kopi khususnya jenis robusta memiliki sifat menyerbuk silang (Santoso & Rahardjo, 2011).

  Pembibitan kopi secara generatif (Muljana, 1986) Gambar 2.6. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan menggunakan perbanyakan bibit secara vegetatif. Secara konvensional, perkembangbiakkan kopi melalui cara vegetatif dengan menggunakan teknik stek, okulasi dan sambung pucuk.

  Perkembangbiakkan melalui stek dilakukan dengan cara memilih cabang yang masih hijau dan lentur (Gambar 2.7.A). Cabang atau ranting kopi yang digunakan dalam stek adalah cabang atau ranting yang memiliki 2 - 4 daun dari pucuk. Stek yang sudah disiapkan kemudian ditanam di media tumbuh dan disungkup. Setelah stek umur ± 3 bulan dilakukan penyesuaian dengan membuka sungkup secara bertahap, dan pada umur ± 4 bulan setek dipindahkan ke pembibitan dengan menggunakan kantong plastik yang berisi media pasir : tanah : pupuk kandang perbandingan 1 : 2 : 1. Bibit stek siap tanam setelah berumur ± 7 bulan (Prastowo et al., 2010). Teknik stek akan menghasilkan tanaman yang sama dengan induknya, namun teknik stek tidak dapat menghasilkan bibit dalam jumlah besar karena keterbatasan jumlah batang atau ranting dari tanaman induk. Selain itu, teknik tersebut juga akan merusak tanaman induk serta bibit yang dihasilkan juga akan memiliki akar serabut sehingga tidak tahan terhadap perubahan musim (Prastowo et al., 2010).

  Teknik perkembangbiakkan vegetatif yang lain adalah teknik okulasi. Teknik tersebut dilakukan dengan cara menyiapkan batang bawah berupa bibit yang berasal dari perbanyakan biji serta menyiapkan mata tunas yang berasal dari pohon induk unggul (Gambar 2.7.B). Mata tunas ditempelkan pada batang bawah, setelah ditutup atau diselubungi plastik dilanjutkan dengan pemeliharaan selama sekitar 20 hari. Bibit siap ditanam di lahan setelah 15 bulan (Prastowo et al ., 2010).

  A B C Gambar 2.7 perkembangbiakkan kopi secara vegetatif, stek (A;

  smallhousebiggarden.html, 2012), okulasi (B; Arteaga, 2011), dan sambung pucuk (Prastowo et al., 2010; C) Teknik ini memiliki keunggulan berupa bibit yang dihasilkan memiliki akar tunggang dan memiliki sifat sama dengan tanaman induknya. Namun, jumlah mata tunas yang terbatas, waktu pembuatan bibit yang lama serta memiliki tingkat keberhasilan yang rendah maka teknik ini tidak mampu menghasilkan bibit dalam jumlah masal. Selain itu teknik ini juga merusak tanaman induknya (Santoso & Raharjo, 2011).

  Teknik vegetatif lain yang sering digunakan oleh petani untuk menghasilkan bibit adalah teknik sambung pucuk. Teknik ini mirip seperti okulasi namun tidak digunakan mata tunas melainkan digunakan cabang yang masih muda. Cabang muda dengan 1 - 3 pasang daun disambungkan ke bibit kopi yang digunakan sebagai bawang bawah (Gambar 2.7.C). Keberhasilan sambungan dapat diketahui setelah dua minggu dan bibit dapat ditanam ke lahan setelah 6 - 8 bulan.

  (Prastowo et al., 2010). Teknik perbanyakan tersebut mampu menghasilkan bibit dengan kualitas yang seragam dan sama dengan induknya (Prastowo et al., 2010).

  Namun, teknik tersebut tidak mampu menghasilkan bibit dalam jumlah yang masal serta merusak tanaman induk yang digunakan sebagai sumber batang atas (Oktavia et al., 2003).

  Alternatif lain yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai kendala perbanyakan bibit kopi secara konvensional tersebut adalah dengan menggunakan teknik kultur jaringan. Teknik kultur jaringan atau kultur in vitro adalah suatu teknik untuk menumbuhkan bagian tanaman tertentu pada medium yang mengandung nutrisi dan dilakukan secara aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan berregenerasi menjadi tanaman sempurna (Nugrahani et al., 2011). Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan ini mempunyai keunggulan seperti tingginya homogenitas tanaman, tingginya vigor tanaman, memiliki genetik yang sama dengan induknya (Nursyamsi, 2010).

  Secara umum, ada lima teknik dasar kultur jaringan, yaitu kultur meristem, proliferasi tunas aksilar, induksi pucuk adventif, organogenesis dan embryogenesis somatik (Zulkarnain, 2009). Kultur meristem adalah teknik kultur jaringan yang menggunakan potongan tunas yang sangat kecil, terdiri atas satu kubah meristem dan beberapa primordial daun. Teknik tersebut digunakan untuk mendapatkan tanaman bebas virus dari bahan induk yang terinfeksi (Zulkarnain, 2009).

  Teknik lainnya adalah proliferasi tunas aksilar merupakan teknik kultur jaringan yang menggunakan tunas

  • – tunas terminal dan lateral yang proliferasi tunas aksilarnya dipacu dan pertumbuhan tunas terminalnya ditekan. Teknik tersebut diterapkan secara luas pada spesies tanaman angiospermae (Zulkarnain, 2009).

  Induksi pucuk adventif termasuk inisiasi perkembangan pucuk adventif dari eksplan maupun dari kalus yang dihasilkan eksplan sebagai akibat adanya perlukaan dan perlakuan zat pengatur tumbuh. Perbanyakan melalui induksi pucuk adventif menghasilkan regenerasi yang jauh lebih besar daripada metode perbanyakan vegetatif secara konvensional (Zulkarnain, 2009).

  Organogenesis merupakan proses pembentukan organ yang berlangsung setelah periode pertumbuhan kalus. Teknik ini dapat menghasilkan tanaman dalam jumlah yang banyak, tetapi tanaman yang dikulturkan tidak selalu memperlihatkan ekspresi gen yang stabil (Zulkarnain, 2009). Salah satu teknik yang mulai dikembangkan untuk memperbanyak kopi secara in vitro adalah melalui teknik embryogenesis somatik (Oktavia et al., 2003).

2.4. Perkembangan Penelitian Embryogenesis Somatik Kopi

  Embryogenesis somatik adalah menumbuhkan embryo (calon tanaman) dari sel somatik secara aseptis (Nugrahani et al., 2011). Pada umumnya tahapan kegiatan dalam melaksanakan perbanyakan tanaman melalui teknik embryogenesis somatik adalah tahap induksi sel dan kalus embryogenik, tahap induksi embryo somatik, tahap perkecambahan, dan tahap aklimatisasi (Gambar ; Purnamaningsih, 2002).

  2.8 Gambar 2.8 Induksi kalus (A,B), induksi embryo globular (C), embryo tahap hati

  (D), embryo tahap torpedo (E), tahap embryo pra kotiledon (F), embryo tahap kotiledon (G), perkecambahan (H,I) dan tanaman kopi yang siap diaklimatisasi (J), tahap aklimatisasi (K; Afreent et al., 2002; Gatica et al., 2008) Pada tahap induksi kalus embryogenik dilakukan isolasi eksplan dan penanaman pada media tumbuh. Pada umumnya eksplan ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin dan sitokinin yang mempunyai daya aktivitas kuat atau dengan konsentrasi tinggi (Purnamaningsih, 2002). Kalus yang tumbuh dengan ciri-ciri tertentu seperti mudah dilepas-lepas (friabel) dan berwarna putih kekuningan merupakan kalus yang kemungkingan besar mampu membentuk embryo atau biasa disebut kalus embryogenik (Lizawati, 2012).

  Tahap induksi embryo adalah tahap perkembangan dari kalus mulai membentuk embryo somatik. Pembentukan embryo somatik dapat digambarkan melalui beberapa tahap, yaitu embryo globular (Gambar 2.8.C), embryo tahap hati (Gambar 2.8.D), embryo tahap torpedo (Gambar 2.8.E), tahap embryo pra kotiledon (Gambar 2.8.F), serta tahap kotiledon (Gambar 2.8.G). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap induksi embryo somatik ini merupakan tahapan yang paling sulit pada kultur jaringan. Pada tahap ini sering digunakan medium dengan konsentrasi sitokinin tinggi dengan auksin yang rendah atau tanpa penambahan auksin (Purnamaningsih, 2002).

  Tahap perkecambahan adalah fase di mana embrio somatik dikecambahkan pada medium tanam membentuk tunas dan akar (Gambar 2.8.H,I). Pada medium perkecambahan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan sangat rendah atau bahkan tidak diberikan sama sekali (Purnamaningsih, 2002).

  Tahap terakhir adalah tahap aklimatisasi dimana embryo yang telah dikecambahkan membentuk bibit dengan 2 - 3 daun kemudian dipindahkan dari kondisi in vitro ke lingkungan ex vitro di rumah kaca (Gambar 2.8.K). Tahapan ini merupakan tahapan penentu keberhasilan teknik embryogenesis somatik agar bisa diaplikasikan dalam skala masal untuk produksi bibit suatu tanaman. Pada tahap ini bibit disesuaikan secara perlahan dengan perubahan lingkungan dari lingkungan dengan suhu yang konstant dan kelembapan yang tinggi ke lingkungan dengan suhu yang tidak stabil dan kelembapan yang rendah (Purnamaningsih, 2002).

  Teknik embryogenesis somatik sudah banyak digunakan untuk perbanyakan pada berbagai jenis tanaman seperti kelapa sawit (Sumaryono et al., 2007), kakao (Winarsih et al., 2003), sagu (Kasi & Sumaryono, 2006), kacang tanah (Lestari, 2005), cendana (Sukmadjaja, 2005), dan pule pandak (Sugito, 2006).

  Penerapan teknik embryogenesis somatik pada tanaman kopi memiliki banyak keuntungan di antaranya adalah jumlah propagula yang dihasilkan tidak terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat serta tidak merusak tanaman induk. Di samping itu, untuk mendukung program pemuliaan tanaman kopi melalui rekayasa genetika, penggunaan embryo somatik dapat mempercepat keberhasilan dengan peluang transformasi yang lebih tinggi karena embryo somatik dapat berasal dari satu sel somatik (Purnamaningsih, 2002). Di samping keuntungan, terdapat beberapa kendala dalam penerapan embryogenesis somatik pada tanaman kopi diantaranya adalah tingkat regenerasi planlet dari eksplan yang dikulturkan masih relatif rendah (Oktavia et al., 2003) dan persentase keberhasilan berkisar antara 0 - 70% (Quiroz-Figueroa et al., 2002).

  Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan teknik embryogenesis somatik pada tanaman kopi, di antaranya adalah dengan menggunakan berbagai jenis ekplan (Oktavia et al., 2003) modifikasi medium dasar (Gatica et al., 2008), maupun penambahan air kelapa ke dalam medium tanam (Priyono & Danimihardja, 1991).

  Beberapa jenis eksplan telah dicobakan untuk meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik pada tanaman kopi. Eksplan biji matang juga pernah diujikan Coyne (1990) untuk menginduksi embrio dengan persentase keberhasilan yang masih rendah juga 14 % (Coyne, 1990). Eksplan integumen biji juga telah diujikan untuk menginduksi embryo somatik pada kopi, namun waktu yang dibutuhkan untuk munculnya embryo sangat lama, yaitu lebih dari 15 bulan dengan persentase keberhasilan yang relatif rendah pula (Sreenath et al., 1993). Penggunaan eksplan akar, epikotil dan hipokotil yang ditumbuhkan dari biji juga telah diujikan dan berhasil menginduksi embryo tingkat keberhasilan 50 % (Oktavia et al., 2003). Namun teknik ini belum bisa diaplikasikan untuk memilih bibit yang unggul karena eksplan tersebut diisolasi dari biji yang belum teruji keunggulannya.

  Eksplan alternatif yang berasal dari sel vegetatif adalah eksplan batang. Eksplan tersebut telah diujikan untuk digunakan dalam induksi embryo somatik kopi, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan induksi embryo dari eksplan batang masih relatif rendah yaitu berkisar antara 0

  • – 64 % (Priyono & Danimiharja, 1991).

  Salah satu eksplan yang paling banyak digunakan dan memiliki prospek yang cerah untuk diinduksi embryo somatik karena merupakan organ vegetatif adalah daun. Eksplan tersebut telah diujikan dengan hasil yang lebih baik dari jenis eksplan yang lain. Namun demikian, tingkat keberhasilan induksi embryo dari eksplan tersebut sangat tergantung kepada genotip tanaman kopi yang digunakan. Beberapa genotip berhasil diperbanyak melalui teknik embryogenesis somatik dengan tingkat keberhasilan tinggi (70 %), namun genotip-genoptip lain tidak berhasil diinduksi pembentukan embryo somatik (Arimarsetyowati, 2011; Murni, 2010; Riyadi, 2004; Priyono, 2004; Hatanaka et al., 1991; Oktavia et al.,2003; Neuenschwander & Baumann, 1992; Quiroz-Figueroa, 2002).

  Upaya peningkatan keberhasilan induksi embryo somatik kopi juga telah dilakukan dengan menggunakan beberapa media dasar seperti penggunaan garam makro dan mikro pada medium MS (Murashige & Skoog, 1962) yang dilengkapi dengan vitamin B5 (Gamborg et al., 1976) seperti yang telah dilaporkan oleh Arimarsetyowati (2011), Neuenschwander & Baumann (1991) maupun Oktavia et

  . (2003). Beberapa modifikasi juga telah dilakukan untuk menginduksi

  al

  pembentukan embryo somatik kopi seperti dengan menggunakan setengah konsentrasi media MS dan setengah konsentrasi vitamin B5 (Priyono, 2010), seperempat konsentrasi garam makro dan setengah konsentrasi garam mikro dari media MS yang dilengkapi medium B5 (Hatanaka et al., 1991), media MS dilengkapi dengan vitamin Morel (Gatica et al., 2007), setengah konsentrasi medium MS yang dilengkapi dengan triakontanol (TRIA, Gatica et al., 2008).

  Dari semua hasil penelitian tersebut, embryo somatik berhasil diinduksi dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi, tergantung dari genotip yang ditanam.

  Upaya lain untuk meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik kopi adalah dengan menggunakan medium cair (Gatica et al., 2008), dan medium semi padat (Gatica et al., 2008). Hasil dari semua penelitian tersebut menunjukkan tingkat keberhasilan induksi embryo somatik yang cukup tinggi, namun waktu yang dibutuhkan relatif lama yaitu lebih dari 3 bulan.

  Upaya lainnya juga telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan induksi embryogenesis somatik, yaitu dengan penambahan air kelapa ke dalam medium tanam (Priyono & Danimihardja, 1991). Hasil penelitian menunjukan persentase yang cukup tinggi dalam menginduksi embryo yaitu sekitar 80 %, dan juga embryo berhasil dikecambahkan, namun tingkat keberhasilan pada tahap aklimatisasi masih cukup rendah, yaitu hanya 18 %.

  Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan keberhasilan induksi embryo yang signifikan, namun tingkat regenerasi planlet dari eksplan yang dikulturkan masih relatif rendah (Oktavia et

  

al ., 2003) persentase keberhasilan berkisar antara 0 - 70% (Quiroz-Figueroa et al.,

2002).

  Beberapa faktor diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat keberhasilan embryogenesis somatik kopi, diantaranya adalah pemilihan jenis eksplan yang tepat sebagai sumber eksplan, genotif dan zat pengatur tumbuh (Oktavia et al., 2003). Salah satu cara yang diduga mampu meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik kopi adalah dengan menambahkan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang tepat ke dalam medium tanam (Oktavia et al., 2003; Zulkarnain & Lizawati, 2011).

2.5. Zat Pengatur Tumbuh

  Zat pengatur tumbuh (ZPT) didefinisikan sebagai senyawa organik bukan

  • 6

  nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (sekitar 10 M) baik disintesis pada bagian tertentu suatu tanaman (hormon) maupun senyawa sintetik yang dapat diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis (Wattimena, 1988).

  Terdapat lima kelompok ZPT yang banyak digunakan dalam kultur jaringan yaitu auksin, sitokinin, gibberellin, etilen, dan asam absisat. Setiap ZPT tersebut mempunyai ciri khas dan pengaruh yang berbeda terhadap proses fisiologis tanaman (Salisburry dan Ross, 1995). Auksin merupakan ZPT yang digunakan secara luas untuk merangsang pembelahan sel, pemanjangan sel, dan pembentukan akar adventif. Pada kultur jaringan, auksin sering digunakan untuk merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ (Gunawan, 1995). Beberapa macam auksin yang banyak digunakan dalam kultur jaringan diantaranya, indole-3-acetic acid (IAA), 2,4 - dichlorophenoxyacetic acid (2,4 -

  D), dan α-naftalenacetic acid (NAA; Zulkarnain, 2009).

  Sitokinin merupakan salah satu ZPT yang memiliki peran dalam memacu pembelahan sel (sitokinesis), mempercepat pematangan buah, merangsang pembungaan dan merangsang pembentukan buah, Sitokinin juga dilaporkan mampu menambah daya perkecambahan tunas, menunda penuaan pada tanaman, dan memacu pertumbuhan tunas aksiler (Salisbury & Ross, 1995). Pada kultur jaringan, sitokinin sering digunakan untuk merangsang pembentukan tunas ataupun merangsang pembentukan embryo somatik. Sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah kinetin, zeatin, 2iP (N6-2-isopentanyl

  adenin ) , BAP (6-benzylamino purine), dan TDZ (thidiazuron; Gunawan, 1995).

  Gibberellin berperan meningkatkan perkecambahan biji dan pemanjangan pucuk. Semua giberelin bersifat asam oleh karena itu dinamakan GA (asam giberelat). Pada kultur kutlur jaringan gibberellin sering digunakan untuk memacu pertumbuhan tunas, meningkatkan perkecambahan biji dan pemanjangan pucuk (Zulkarnain, 2009). Golongan gibberellin yang paling umum digunakan dalam kultur jaringan adalah GA , GA dan GA (Salisbury & Ross, 1995).

  3

  4

  7 Etilen merupakan ZPT yang berbentuk gas yang berfungsi dalam proses

  pematangan buah. Pada teknik kultur jaringan, etilen digunakan untuk meningkatkan pembentukan pucuk (Salisbury & Ross, 1995). Namun, etilen jarang digunakan dalam kultur jaringan karena tidak tahan panas sehingga tidak dapat diautoklaf (Zulkarnain, 2009). Asam absisat merupakan ZPT yang berfungsi untuk membantu proses pembentukan embryo secara normal dan pembentukan simpanan protein pada biji serta menghambat perkecambahan pada banyak jenis biji (Salisbury & Ross, 1995).

  Diantara kelima golongan ZPT tersebut, auksin dan sitokinin merupakan ZPT yang paling sering digunakan pada teknik embryogenesis somatik. Sitokinin dan auksin memiliki peran yang sangat penting dalam hal menginduksi tunas adventif. Nisbah keduanya akan menentukan apakah suatu kalus akan membentuk tunas adventif, akar, atau tunas adventif dan akar (Armini et al., 1991). Salah satu golongan auksin yang sering digunakan adalah asam naftalena asetat (NAA) sedangkan salah satu golongan sitokinin yang sering digunakan adalah 6-

  benzylamino Purine (BAP).

2.5.1. Asam Naftalena Asetat (NAA) NAA merupakan salah satu auksin yang berperan dalam pemanjangan sel.

  NAA memiliki berat molekul 186.21 dengan rumus molekul C H O (Gambar

  12

  10

  2

2.9 ; Salisbury dan Ross, 1995). NAA merupakan auksin sintetik yang sering

  digunakan dalam kultur jaringan karena memiliki sifat yang lebih tahan terhadap suhu tinggi dan tidak terdegradasi ketika diotoklaf serta lebih murah.

Gambar 2.9. Rumus bangun asam naftalena asetat Mekanisme kerja NAA dalam pemanjangan sel adalah NAA menyebabkan sel penerima mengeluarkan ion H ke dinding sel primer yang mengelilinginya.

  Ion tersebut akan menurunkan pH dinding sel sehingga mengaktifkan beberapa enzim hidrolisis polisakarida. Akibatnya dinding sel akan mengendur sehingga proses pemanjangan sel menjadi lebih mudah terjadi dan pertumbuhan yang cepat (Salisbury dan Ross, 1995).

  Penelitian tentang penambahan NAA ke dalam medium tanam telah banyak dilaporkan dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi seperti yang dilaporkan pada tanaman anggrek (Utami et al., 2007), lamtoro (Sapsuha, 2009), alfalfa (Hayati et al., 2010), gandarusa (Ikhwan, 2007), kemiri (Haloho, 2004), opium (Ovecka et al., 1996), dan jagung (Joshi et al., 2010).

  Pada tanaman kopi, penambahan NAA ke dalam medium tanam juga telah dilaporkan dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi. Quiroz-Figueroa et al.

  (2002) melaporkan bahwa penambahan NAA ke dalam medium tanam dengan konsentrasi 0.54 μM mampu menginduksi pembentuk embryo somatik tanaman kopi arabika dengan tingkat keberhasilan mencapai 70 %. Penambahan NAA dengan konsentrasi 0,1 mg/L ke dalam medium tanam juga berhasil menginduksi pembentukan embryo somatik kopi dari eksplan kotiledon dengan tingkat keberhasilan mencapai 37% (Arimarsetyowati, 2012). Coyne (1990) menggunakan biji matang sebagai sumber eksplan dan penambahan NAA dengan konsentrasi 2,5 µM menghasilkan embrio somatik pada C. canephora (27 - 53%),

  (39%) dan C. Arabica (0-14%).

  C. congensis

  2.5.2. 6-benzylamino purine (BAP)

  Salah satu sitokinin yang banyak digunakan dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan adalah 6-benzylamino purine (BAP). BAP merupakan generasi pertama sitokinin sintetik yang memiliki kandungan karbon, hidrogen dan oksigen dengan rumus kimia C H N dengan berat molekul 225,31 gr/mol

  12

  11

  5

  (Gambar 2.10; Salisbury & Ross, 1995). BAP banyak digunakan untuk merangsang pembelahan sel, multiplikasi tunas, dan menghambat penuaan. Selain itu BAP juga mampu meningkatkan plastisitas dinding sel sehingga sel mudah mengembang dengan adanya tekanan turgor (Salisbury dan Ross, 1995).

Gambar 2.10 . Rumus bangun 6-benzylamino purine

  Kemampuan BAP dalam meningkatkan pembelahan sel maupun multiplikasi tunas diduga karena BAP merupakan salah satu basa purin. Basa tersebut merupakan komponen struktural dari asam deoksiribonukleat (DNA) maupun asam ribinukleat (RNA). Dengan adanya BAP maka sintesis RNA dan DNA akan meningkat sehingga dapat merangsang sintesis protein dan pembelahan sel (George & Sherrington, 1984).

  BAP telah banyak digunakan untuk merangsang pembentukan embryo somatik berbagai tanaman seperti pada tumbuhan lily (Priyono, 2001), alfalfa (Hayati et al,. 2010), anturium (Marlina, 2009), dan kapas (Sudarmadji, 2003). Pada tanaman kopi, Priyono dan Danimihardja (1991) melaporkan keberhasilan induksi embryo somatik dengan tingkat keberhasilan tinggi (58,5-78,4 %) dengan menambahkan BAP dengan konsentrasi 1-5 mg/l ke dalam medium tanam. Priyono (2010) juga melaporkan keberhasilan induksi embryo somatik dengan tingkat keberhasilan tinggi (85 %) dengan menggunakan medium tanam yang ditambahkan BAP pada konsentrasi 30 mg/l. Gatica et al., (2008) juga melaporkan keberhasilan induksi embryogenesis somatik dengan menggunakan BAP yang ditambahkan ke dalam medium tanam.

  Semua penelitian tersebut menggunakan ekplan daun yang diisolasi dari tanaman kopi arabika. Pada penelitian ini dilaporkan uji pengaruh penambahan NAA dan BAP ke dalam medium tanam terhadap keberhasilan induksi kalus dan induksi embryo somatik tanaman kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex Froehner).

Dokumen yang terkait

PENGARUH KONSENTRASI ZAT PENGATUR TUMBUH DAN POSISI DAUN TERHADAP PERTUMBUHAN STEK TANAMAN ZAMIO (ZAMIOCULCAS)

0 5 2

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var. Robusta) TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI PROSTAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR JANTAN

2 10 22

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var. Robusta) TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI PANKREAS PADA TIKUS PUTIH (Ratus Novergicus) STRAIN WISTAR JANTAN

3 21 23

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var. Robusta) TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI OTAK PADA TIKUS PUTIH STRAIN WISTAR JANTAN (Rattus norvegicus)

0 18 19

PENGARUH SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var robusta) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR

5 35 22

INDUKSI TUNAS TANAMAN ANGGREK Dendrobium sp MENGGUNAKAN ZAT PENGATUR TUMBUH NAA DAN TDZ

1 6 16

PENGARUH LIMA JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN PUPUK NITROGEN, FOSFOR, DAN KALIUM PADA PERTUMBUHAN BIBIT KOPI ROBUSTA (Coffea canephora Pierre)

0 10 55

PENGARUH PEMANGKASAN TERHADAP KARAKTER AGRONOMI 9 GENOTIPE Artemisia cina POLIPLOID HASIL INDUKSI ZAT PENGATUR TUMBUH

0 0 8

KEBERHASILAN PERTUMBUHAN STEK JAMBU MADU (Syzygium equaeum) DENGAN PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH KIMIAWI DAN ZAT PENGATUR TUMBUH ALAMI BAWANG MERAH (Allium cepa L)

0 1 8

INDUKSI KALUS EKSPLAN DAUN SIRIH HITAM (Piper betle L.) DENGAN KOMBINASI KONSENTRASI ZAT PENGATUR TUMBUH INDOLE-3-ACETIC ACID (IAA) DAN BENZYL AMINO PURIN (BAP)

0 0 147