Hukum Persaingan Usaha : Integrasi Pasar Tradisional dan Pasar Modern - Test Repository

HUKUM PERSAINGAN USAHA

  Integrasi Pasar Tradisional dan Pasar Modern

Penulis :

  

Mohamad Tohari, S.H., M.H

Editor :

  

Farkhani, S.H., M.H

  

ISBN :

978-602-52161-2-1

  

Diterbitkan oleh:

Penerbit Taujih

Jl. Merak 51 Gonilan Kartosuro 57162 Email : penerbit.taujih@gmail.com Cetakan I, Juli 2018

Dicetak oleh :

Percetakan IVORIE, Solo isi di luar tanggungjawab percetakan.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini dengan judul: “HUKUM PERSAINGAN USAHA: Studi Tentang Integrasi Pasar Tradisional dan Pasar Modern”. Buku ini didasarkan dari hasil pengembangan kajian Hibah Penelitian Disertasi Doktor (PPD), tahun 2018 dengan dibiayai oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Buku ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan kajian sosiologi hukum khususnya persaingan yang terjadi antara pasar tradisional dengan pasar modern dalam perspektif hukum persaingan usaha.

  Eksistensi pasar menjadi sangat penting untuk diperbincangkan, mengingat pasar merupakan tempat bertemunya pembeli dan penjual dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, proses bertemunya pembeli dan penjual ini menjadi indikator tingkat perekonomian masyarakat. Semakin besar volume transaksi yang terjadi di pasar menunjukkan perekonomian yang stabil dan lebih jauh lagi kegiatan ekonomi yang terjadi di pasar merupakan cerminan tingkat kesejahteraan masyarakat

  Keberadaan pasar modern mempunyai dampak bagi keberadaan pasar tradisional yang eksistensinya mengalami penurunan, hal itu dapat dimaklumi karena adanya perbedaan yang mencolok antara pasar tradisional dan pasar modern terutama dari segi kualitas produk dan kenyamanan yang diberikan. Kondisi ini semakin terasa, setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 96/2000 (yang telah beberapa kali diperbaharui dan terakhir diperbaharui dengan Keputusan presiden 44 Tahun 2016) tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu di Bidang Penanaman Modal. Keberadaan Keppres ini mengundang masuk retailer asing untuk membuka usahanya di Indonesia. Pada Keppres tersebut, untuk sektor perdagangan, bisnis perdagangan eceran skala besar (mall, supermarket, department store, pusat pertokoan/perbelanjaan) dan perdagangan besar (distributor/wholesaler, perdagangan ekspor dan impor) dikeluarkan dari negative list bagi penanaman modal asing (PMA).

  Pada dasarnya tidak sulit untuk menafsirkan fenomena merosotnya kinerja dan pangsa pasar tradisional yang terjadi dalam satu dekade terakhir. Institue for Defelopment of Economics and Finance (INDEF) tahun 2007 mencatat, telah terjadi penurunan omset, perputaran barang, marjin harga, bahkan penurunan jumlah kios aktif di pasar tradisional. Bagi orang yang berpikiran positif kemungkinan besar akan bersikap, bahwa “pasar tradisional telah kehilangan daya saing”, karena infrastruktur dan sistem perpasaran jauh tertinggal di tengah serbuan peritel pasar modern. Namun dari mana memulai langkah, ketika banyak pihak melihatnya dari sisi buruk dampak keberadaan ritel pasar modern, dan karena itu perijinannya harus dibatasi.

  Bagi orang yang berpikiran positif tentunya akan menyatakan “tidaklah arif menyusun suatu kebijakan berdasarkan argumen ada atau tidak adanya dampak dari suatu situasi”, untuk itu, suatu pendekatan sederhana sesungguhnya sangat mudah dipahami, bahwa penguatan/pengembangan pasar tradisional harus berangkat dari tuntutan ekspektasi konsumen.

  Integrasi atau perpaduan antara pasar tradisional dan pasar modern bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan. Untuk mewujudkan integrasi tersebut dibutuhkan kebijakan dalam ranah hukum dari pemerintah dan perubahan kultur pelaku pasar tradisional, ketegasan sikap dari pemerintah, dan kemauan dari pengusaha pasar modern untuk merangkul pelaku pasar tradisional. Fenomena maraknya pembangunan pasar modern dan semakin tersingkirnya pasar tradisional menjadi salah satu keprihatinan bersama, perlu dicari solusi dimana pasar modern dapat berkembang tanpa harus mematikan eksistensi pasar tradisional.

  Tidak lupa saya sampaikan terima kasih yang setinggi- tingginya kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dana hibah Penelitian Disertasi Doktor (PDD) yang menjadi dorongan untuk menerbitkan buku ini sebagai bagian capaian luaran wajib, dan ucapan terima kasih saya tujukan kepada Kementrian Ristek-Dikti. Dalam kesempatan ini dengan sepenuh hati yang tulus, penulis menucapkan terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

  Bapak Dr. H. Sofyan Anif, M.Si selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dididik dan menimba ilmu pada Program Doktor Ilmu Hukum UMS.

  Bapak Prof. Dr. Bambang Sumardjoko selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Bapak Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, SH, M.Hum sebagai

  Promotor penulis yang berkenan untuk memberikan bimbingan penuh kesabaran dengan segala kepakarannya dan memberikan motivasi untuk segera menyelesaikan disertasi ini sesuai dengan timeline.

  Bapak Prof. Dr. Absori, SH, M.Hum. selaku Ketua Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta sekaligus Co-Promotor 1 penulis yang berkenan untuk memberikan bimbingan yang penuh kesabaran dengan segala kepakarannya dan memberikan motivasi untuk segera menyelesaikan disertasi ini.

  Bapak Dr. Nurhadiantomo selaku Co-Promotor 2 yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing dan memotivasi serta mengarahkan penulisan disertasi ini.

  Akhirnya penulis berharap semoga buku ini dapat memperkaya bahan bacaan tentang seluk beluk kebijakan, pengelolaan pasar tradisional dan pasar modern dalam perspektif hukum persaingan usaha, sehingga dapat memberikan sumbangan referensi baik untuk keperluan studi dan kajian akademik, serta untuk keperluan praktisi pemerintahan yang menggeluti bidang ini. Untuk kalangan akademik, buku ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan bagi kuliah dan penelitian yang mengambil tema pasar tradisional dan pasar modern, pengembangan potensi modal sosial dan sumber daya pedagang pasar tradisional. Untuk keperluan praktis, buku ini dapat menjadi tambahan bacaan bagi perencana, dan pengambil kebijakan, baik dari kalangan pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap pasar tradisional.

  Akhirnya dengan kerendahan hati, tak ada gading yang tak retak, saran, kritik , dan tegur sapa, penulis terima dan sambut dengan gembira guna penyempurnaan buku ini pada edisi berikutnya.

  Ungaran, Agustus 2018 P e n u l i s

  

DAFTAR ISI

  KATA PENGANTAR .............................................................................. 3 DAFTAR ISI ........................................................................................... 4

  BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 10 A. Latar Belakang ................................................................... 10 B. Rumusan Masalah ............................................................. C. Tujuan Penelitian............................................................... D. Manfaat Penelitian ........................................................... E. Alur Kerangka Pemikiran ................................................ BAB II PENGANTAR HUKUM PERSAINGAN USAHA................ 21 A. Mengenal Hukum Persaingan Usaha………. ............. 21 B. Sejarah Hukum Persaingan Usaha ……….…. ........... 36 C. Pemikiran Terbentuknya UU No.5 Tahun 1999. ...... 45 D. Perbandingan Hukum Persaingan Usaha di Beberapa Negara .............................................................. 51

  BAB III TATA KELOLA PASAR DAN KEBUTUHAN TERHADAP HUKUM ......................................................................... 78 A. Analisis Ekonomi Terhadap Hukum ............................ 78 B. Peran Negara dalam Mekanisme Pasar ..................... 82 C. Hukum Ekonomi ................................................................ 94 D. Sistem dan Konsep Ekonomi Pasar .......................... 96 BAB IV PERJANJIAN YANG DILARANG ......................................... 105 A. Perjanjian yang Bersifat Oligopoli ........................... 109 B. Perjanjian Penetapan Harga ........................................ 113 C. Perjanjian Pembagian Wilayah Pemasaran atau Alokasi Pasar ...................................................................... 121 D. Perjanjian Pemboikotan ................................................ 123 E. Perjanjian Kartel ............................................................... 124 F. Perjanjian Trust ................................................................. 126 G. Perjanjian Oligoposi ....................................................... 127 H. Perjanjian Integrase Vertical ....................................... 129 I. Perjanjian Tertutup ........................................................... 130 J Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri ......................... 137 BAB V KEGIATAN YANG DILARANG .............................................. 140 A. Kegiatan yang Bersifat Monopoli ............................... 142 B. Kegiatan yang Bersifat Monopsoni ............................ 143 C. Kegiatan yang Bersifat Penguasaan Pasar .............. 144 D. Kegiatan Jual Rugi ........................................................... 145

  E. Kegiatan Penetapan Biaya Produksi Secara Curang .................................................................... 146

  F. Kegiatan Persekongkolan ............................................... 147

  BAB VI PRAKTEK PERSAINGAN USAHA PASAR TRADISIONAL DAN PASAR MODERN .......................................... 150 A. Pasar dan Realitas Budaya ........................................... 150 B. Pasar Modern: Ancaman Terhadap Eksistensi Pasar Tradisional .............................................................. 155 C. Potret Persaingan Usaha Pasar Tradisional dan Pasar Modern D. Penganturan Pasar Tradisional dan Pasar Modern ................................................................................ 159 BAB VII KONSEP HUKUM PERSAINAGAN USAHA INTEGRASI PASAR TRADISIONAL DAN PASAR MODERN ........................... 172 A. Tipologi Hukum Persaingan Usaha yang Mengatur Pasar Tradisional dan Pasar Modern ..... 172 B. Konsep Integrasi Pasar Tradisional dan Pasar Modern ............................................................. 188

  BAB VIII PENUTUP ............................................................................. A. Simpulan .............................................................................. B. Saran/Rekomendasi .......................................................... DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 203 BIOGRAFI PENULIS ........................................................................... 212

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam

  hidupnya, dan kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan- kebtuhan tersebut merupakan syarat agar manusia itu bisa bertahan hidup di dunia ini. Semakin baik kebutuhan- kebutuhan itu bisa dipenuhi, semakin sejahtera pula hidupnya, 1 demikian pula sebaliknya. Untuk memenuhi kebutuhannya, salah satu cara yang digunakan oleh manusia adalah dengan melakukan kegiatan usaha diantaranya melalui kegiatan jual beli yang secara umum dilakukan di pasar. Pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan baik, yaitu untuk membawa pertumbuhan ekonomi bagi suatu negara, dalam kegiatan jual beli, keberadaan pasar merupakan salah satu hal yang paling penting karena merupakan tempat untuk melakukan kegiatan tersebut selain menjadi salah satu indikator paling nyata kegiatan ekonomi masyarakat di suatu wilayah.

  Eksistensi pasar menjadi sangat penting untuk diperbincang- kan, mengingat pasar merupakan tempat bertemunya pembeli dan penjual dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, proses bertemunya pembeli dan penjual ini menjadi indikator tingkat perekonomian masyarakat. Semakin besar volume transaksi yang terjadi di pasar menunjukkan perekonomian yang stabil dan lebih jauh lagi kegiatan ekonomi yang terjadi di 1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Alumni, 1986, hlm, 24.

  2 pasar merupakan cerminan tingkat kesejahteraan masyarakat.

  Dalam perkembangannya, pasar yang berkembang dalam masyarakat ada dua yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah Daerah, sedangkan pasar modern/pusat perbelanjaan adalah suatu area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal maupun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan 3 barang. Pasar modern juga dapat diartikan sebagai pasar yang dikelola dengan manajemen modern, umumnya terdapat di kawasan perkotaan, sebagai penyedia barang dan jasa dengan mutu dan pelayanan yang baik kepada konsumen (umumnya anggota masyarakat kelas menengah ke atas).

  Persaingan dalam pasar modern telah melanda negara- negara maju sejak beberapa dekade, khususnya di Amerika Serikat (AS) dan Eropa Barat. Menjelang dekade akhir millennium, persaingan semakin meluas hingga ke negara- negara berkembang, dimana deregulasi sektor usaha ritel yang bertujuan untuk meningkatkan investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) telah berdampak pada pengembangan jaringan ritel modern seperti supermarket dan minimarket.

  Di Indonesia, pasar modern dalam kategori supermarket lokal telah ada sejak 1970-an, meskipun masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Pemberlakukan liberalisasi sektor ritel pada 1998 menjadi awal masuknya ritel asing ke pasar dalam negeri. Akibatnya, persaingan dunia perdaganganpun semakin sengit. Meningkatnya persaingan telah mendorong kemunculan pasar modern dalam kategori supermarket di kota-kota yang

  2 Afif Noor, “Perlindungan Terhadap Pasar Tradisional di Tengah Ekspansi Pasar

Ritel Modern”, Jurnal Economica UIN Walisonggo Semarang, Volume IV, Edisi 2, Nopember 2013, hlm, 110 3 Ibid. lebih kecil dalam rangka untuk mencari pelanggan baru dan terjadinya perang harga. Akibatnya, persaingan bukan hanya antar sesama pasar modern, pasar tradisional pun menjadi korban persaingan ini. Sebab, supermarket tidak hanya mengincar pasar kelas menengah ke atas, tetapi juga kelas bawah.

  Keberadaan pasar modern mempunyai dampak bagi keberadaan pasar tradisional yang eksistensinya mengalami penurunan, hal itu dapat dimaklumi karena adanya perbedaan yang mencolok antara pasar tradisional dan pasar modern terutama dari segi kualitas produk dan kenyamanan yang diberikan. Kondisi ini semakin terasa, setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 96/2000 (yang telah beberapa kali diperbaharui dan terakhir diperbaharui dengan Keputusan presiden 44 Tahun 2016) tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu di Bidang Penanaman Modal. Keberadaan Keppres ini mengundang masuk retailer asing untuk membuka 4 usahanya di Indonesia. Pada Keppres tersebut, untuk sektor perdagangan, bisnis perdagangan eceran skala besar (mall, supermarket, department store, pusat pertokoan/perbelanjaan) dan perdagangan besar (distributor/wholesaler, perdagangan ekspor dan impor) dikeluarkan dari negative list bagi 5 penanaman modal asing (PMA).

  Munculnya pasar-pasar modern memang menguntungkan bagi konsumen, tapi merupakan suatu acaman bagi keberadaan 6 pasar-pasar tradisional. Hasil survai AC Nielsen tahun 2005 menyatakan jumlah pasar tradisional di Indonesia sekitar 13.450 unit dengan jumlah pedagang sebanyak 12.626.000

  4 Ahmad Erni Yunita, 2008, “Refleksi Kompetisi Hypermarket dan Pasar Tradisional, Jurnal Bisinis & Ekonomi Politik, Institue for Defelopment of

Economics and Finance (INDEF)”, Volume 9 Nomor 2, April 2008, hlm, 1.

  5 Edy Priyono & Erlinda Ekaputri, “Analisis Cost-Benefit Kehadiran Pengecer Besar, Jurnal Bisinis & Ekonomi Politik, Institue for Defelopment of Economics and Finance (INDEF)”, Volume 9 Nomor 2, April 2008, hlm, 10.

  6 Herman Malono, Selamatkan Pasar Tradisional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hlm, 79. orang. Hal ini menunjukkan di setiap pasar tradisional rata- rata menampung 939 pedagang. Data itu belum mencakup pedagang kaki lima (PKL) yang memadati areal pasar, lokasi parkir, dan ruas jalan. Sementara itu menurut Herman Malano pertumbuhan pasar modern mencapai mencapai 31,4%, sedangkan pasar tradisional pertumbuhannya minus 8,1%. Pada diskusi Forum Wartawan Perdagangan (Forward) bertajuk “Mencari Bentuk Ideal Sinergi Pemerintah dan Swasta dalam Pembangunan Pasar Tradisional”, di Kantor Kemendag, Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi sebagaimana yang dikutip oleh Tri Widodo & Bertha Kusuma 7 Wardani mengatakan pertumbuhan itu, menurut mantan wakil menteri perdagangan, pasar tradisional di Indonesia hingga kini (tahun 2012) berjumlah 10 ribu. Sedangkan, pasar modern sudah melebihi total pasar tradisioanal, yakni 14 ribu.

  Untuk Jawa Tengah, berdasarkan hasil penelitian yang 8 dilakukan oleh Afif Noor didapatkan data bahwa jumlah pasar tradisional pada tahun 2004 mencapai 1.496 pasar, sedangkan pasar modern berjumlah 232. Bila dibandingkan dengan data pada tahun 2008, jumlah pasar tradisional hanya 1.443 pasar, sedangkan untuk pasar moden mencapai 399. Berangkat dari data tersebut menunjukan, pasar tradisional mengalami pertumbuhan negatif, karena jika diprosentase pada tahun 2004 pasar tradisional 86,5 %, sedangkan pasar modern 13,5%.

  Pada tahun 2008, pasar tradisional mengalami penurun menjadi 78,3% sedangkan pasar modern tumbuh menjadi 21,7%, ini berarti pasar tradisional mengalami penurunan sebesar 8,2%. Persoalan ini tentu juga dialami di negara berkembang lainnya. Kendati persaingan antar supermarket (pasar modern) secara teoritis menguntungkan konsumen, tetapi hal ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan roda perekonomian.

  7 Tri Widodo & Bertha Kusuma Wardani, “Strategi Equilibrium Pasar Tradisional

Mensiasati Kepungan Pasar Modern”, Jurnal, Among Makarti STIE AMA

Salatiga, Volume 5, Nomor 10, Desember 2012.

8 Afif Noor, Op.Cit., hlm,108-109.

  Pesatnya pertumbuhan pasar modern tidak hanya berpengaruh secara kwantitas terhadap keberadaan pasar tradisional, tetapi juga sangat berpengaruh terhadap pendapatan para pedagang di pasar tradisional, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh AC. Nielsen, kontribusi penjuaalan pasar tradisional mengalami penurunan, bila pada tahun 2002, dominasi penjualan di segmen pasar tradisional mencapai 75%, maka pada tahun 2007 turun menjadi hanya 70%. Khusus di Pasar Legi Kota Surakarta berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maritfa Nika Andriani dan 9 Muhammad Mukti Ali disebutkan bahwa pendapatan pedagang di pasar tradisional mengalami penurunan mencapai 50%.

  Hal tersebut juga dipengaruhi karena semakin berkurangnya jumlah pembeli/konsumen yang telah beralih untuk berbelanja di pasar modern, sehingga berdampak pada menurunya omzet penjualan dan pendapat pedagang. Untuk kota Surakarta saat ini jumlah pasar tradisional sebanyak 44 pasar, sedangkan pasar modern sudah mencapai 88 yang terdiri dari 18 pasar dalam kategori trade Center, Hypermarket, Mall/ Plaza, dan Supermarket dan 70 pasar dalam kategori minimarket.

  Kapitalisme Barat yang relatif modern, muda dan agresif

  • – terutama dibangun di kota-kota besar – menghadapi tradisi- tradisi prakapitalis yang tua dan arif berakar di desa-desa, dijumpai pada kekerabatan suku, adat setempat dan agama. Aspek ekonomi dari pemilahan sosial serta perbenturan antara dua prinsip hidup ini menciptakan perekonomian dualistis. Dualistis pada konsep ini berarti dua sisi, bersifat heterogen. Dimana dualistis ini berkuasa, keselarasan sosial serta kesatuan ekonomi tidak ada, tidak ada kedamaian internal sejati. Keseimbangan ekonomi terguncang tanpa berhenti.

  Di dalam perekonomian mikro peran pasar tradisional penting sebagai pusat perputaran uang, karena setiap hari

9 Maritfa Nika Andriani dan Muhammad Mukti Ali, “Kajian Eksistensi pasar Tradisional Kota Surakarta”, Jurnal PMK, Volume 2, Nomor 2, 2013, hlm, 261.

  banyak sekali transaksi di dalam pasar. Pasar tradisional di setiap wilayah berbeda, ini diakibatkan oleh bentuk komoditi, nilai transaksi, kondisi sosial, budaya dan potensi alam di wilayah sekitarnya. Sebagai contoh pasar di wilayah Papua berbeda dengan pasar di wilayah Jawa. Beberapa pasar di Papua sampai saat ini masih menggunakan barter dan lokasi pasar masih terpencar-pencar, pasar di Jawa pada abad VIII sudah memiliki pola Macapat, dan sudah mengenal mata uang sehingga peluang untuk menggunakan barter kecil.

  Munculnya dikotomi antara pasar modern dan pasar 10 tradisional di Indonesia oleh J.H. Boeke dilihat ada dua bentuk sistem ekonomi yang sama-sama kuat dan berdampingan satu sama lain. Dua sistem ekonomi tersebut bukan sistem ekonomi transisi dimana sifat yang satu menjadi makin lemah dan satunya makin kuat, akan tetapi keduanya berdampingan dengan sifat-siat yang berbeda.

  Dua sistem ekonomi yang berbeda dan berdampingan sama kuat itulah yang oleh J.H. Boeke disebut sebagai sistem ekonomi dualistik atau dualistische economic (Bahasa Belanda). Dua bentuk sistem ekonomi yang ada di Indonesia tersebut yang satu adalah sistem ekonomi yang dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia asli yang masih (karena dipengaruhi jalan pikiran Werner Sombart) prae-kapitalistik, dan yang lain adalah sistem ekonomi yang diimpor atau dibawa dari Barat yang telah berbentuk kapitalisme, sosialisme atau komunisme. Jadi dualisme itu lebih bersifat kemasyarakatan atau sosial dualism atau dualistic society (Bahasa Inggris lebih sering digunakan dual society). Sistem ekonomi pra-kapitalistik dapat kita jumpai banyak beraktifitas di pasar-pasar tradisional, sedangkan sistem ekonomi kapitalistik yang berasal dari luar banyak kita temukan aktifitasnya di pasar-pasar modern.

  10 J. H. Boeke, Prakapitalisme di Asia (Terjemahan), Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hlm. 11-12.

  Keberadaan pasar, merupakan salah satu indikator paling nyata dalam kegiatan ekonomi masyarakat suatu wilayah. Pemerintah harus memperhatikan keberadaan pasar tradisional sebagai salah satu sarana publik yang mendukung kegiatan ekonomi masyarakat. Perkembangan jaman dan perubahan gaya hidup yang dipromosikan begitu hebat oleh berbagai media telah membuat eksistensi pasar tradisional menjadi terancam. Namun demikian, pasar tradisional ternyata masih mampu untuk bertahan dan bersaing di tengah serbuan pasar 11 modern dalam berbagai bentuk.

  Oleh karena itu pengaturan terhadap persaingan usaha merupakan hal yang esensial agar tidak terjadi proses saling sikut-menyikut dan penumpukan kekayaan pada kalangan tertentu. Di sinilah peran pemerintah sebagai penyelenggara negara menjadi penting untuk memberikan titik keseimbangan antara perkembangan suatu usaha dengan pemerataan pendapatan dari warganya. Pemerintah harus membuat aturan yang di satu sisi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan di sisi lain dapat mengajak semua pihak untuk turut serta dalam kegiatan usaha berdasarkan perannya masing-masing. 12 Menurut Johny Ibrahim dalam aktifitas bisnis dapat dipastikan selalu terjadi persaingan diantara pelaku usaha. Pelaku usaha akan cenderung berusaha untuk menciptakan, memberi nilai tambah, serta memasarkan produk berupa barang atau jasanya sebaik mungkin agar diminati oleh masyarakat. Persaingan usaha pada hakikatnya dapat berimplikasi postif untuk dapat saling mengembangkan kemampuan bagi para pelaku usaha, namun juga dapat berdampak negatif jika dijalankan dengan perilaku negatif dan dengan sistem ekonomi yang tidak kompetitif.

  11 Indrakh, Pasar Tradisional di Tengah Kepungan Pasar Modern,http://indrakh. wordpress. com. diakses pada tanggal 3 Juni 2016.

  12 Johny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha (Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia), Malang, Bayu Media, 2006, hlm.102.

  Bagi negara berkembang seperti Indonesia, implementasi hukum persaingan usaha bukanlah pekerjaan yang mudah. Terlebih masih adanya anggapan dikalangan negara berkembang yang mengatakan bahwa implementasi hukum persaingan usaha yang berlebihan dapat mengganggu aktifitas bisnis pelaku usaha, dan kurang menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan nasional, ditambah biaya yang dibutuhkan dalam proses investigasi dugaan praktek anti 13 persaingan juga tidaklah murah. 14 Kemudian Maria Vagliasindi dalam kajiannya menyimpulkan bahwa implementasi efektif dari hukum persaingan merupakan tugas yang sulit, serta memerlukan tingkat pengetahuan dan keahlian yang tinggi. Kondisi struktur awal yang terjadi dalam ekonomi transisi dari proteksi ke liberalisasi, khususnya pada negara berkembang membuat implementasi hukum persaingan menjadi tugas yang lebih menantang daripada implementasi hukum persaingan pada negara maju. Hambatan masuk yang timbul dari konsentrasi pasar yang tinggi; kontrol dan kepemilikan pemerintah; hambatan administratif, semuanya tinggi di ekonomi transisi. 15 Dan tidak hanya itu, menurut Luis Tineo implementasi hukum persaingan usaha juga tidak akan terlepas dari tekanan secara politik maupun sosial.

  13 Won-Joon Kim, “Korea’s Experiences in Adoption & Enforcement of Competition

Law and Implication for Developing Countries,” makalah disampaikan pada

2nd ASEAN CONFERENCE ON COMPETITION LAW & POLICY yang

diselenggarakan oleh KPPU, Sekretariat ASEAN dan ASEAN Consultative

Forum for Competition, di Bali pada tanggal 14-16 June 2006.

14 Maria Vagliasindi, “Competition Across Transition Economies: an Enterprise-

  

level Analsis of The Main Policy and Structural Determinants. ” Working

paper No.68, European Bank. Londan, 2001. dikutif dari Ine Minara S.

  

Ruky, “Implementasi Kebijakan Persaingan Melalui Hukum Persaingan dan

Liberalisasi Perdagangan”, Desertasi Doktor, Program Pascasarjana Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia, 2004, hlm, 6.

  15 Luis Tineo, “Indonesia: Promoting Effecinet Markets Trhrough the Effective

Implementation of the New Competition Law,” (makalah disampaikan pada

International Conference Competition Policy & Economic Growth: Issues &

Options, Jakarta-Surabaya, 22-23 May & 25 May 2000), hal.5.

  Pasar modern dengan wajah industri ritel adalah salah satu industri yang sekarang ini sedang mengalami tingkat persaingan yang begitu tinggi, hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya pusat-pusat ritel yang bermunculan layaknya “jamur di musim hujan”. Kondisi seperti ini sudah barang tentu disambut gembira oleh masyarakat/konsumen, konsumen diberikan banyak pilihan dalam berbelanja belum lagi manfaat yang di dapatkan oleh konsumen dari perang harga yang dilakukan di antara sesama peritel, bahkan sekarang tempat berbelanja sudah dapat dianggap oleh sebagian konsumen sebagai salah satu tempat berekreasi, dikarena fasilitas-faslitas yang disediakan oleh pusat-pusat perbelanjaan yang layaknya seperti pusat hiburan. Pasar modern dengan wajah industri ritel Industri ritel adalah salah satu bentuk industri yang dapat dikatakan mendekati apa yang disebutkan di dalam teori ilmu organisasi industri sebagai perwujudan dari pasar yang bersaing. Dimana di dalam industri ini banyak sekali terdapat penjual dan pembeli. Dan masing-masing penjual dan pembeli tidak ada yang dapat mempengaruhi kondisi pasar, produk yang terstandarisasi, mudah untuk masuk dan keluar, serta cukup tersedia banyak informasi lengkap dan jelas.

  Implementasi hukum persaingan usaha sesungguhnya memiliki karakteristik yang berbeda dengan implementasi hukum pada bidang hukum yang lain, dimana biasanya efektifitas implementasi dari suatu produk hukum dapat dilihat dari adanya korelasi secara langsung dengan terjadinya perubahan sikap dari pihak-pihak yang diatur oleh produk hukum tersebut. seperti misalnya efektifitas implementasi dari peraturan lalu lintas dapat terlihat dari perilaku pengemudi di jalan raya yang lebih tertib, atau efektifitas implementasi hukum anti korupsi dapat tercermin dari berkurangnya angka 16 korupsi yang terjadi di dalam masyarakat.

  16 Ditha Wiradiputra, “Mengkaji Efektifitas Implementasi Hukum Persaingan Usaha Terhadap Industri Ritel”, Makalah ini merupakan masukan tertulis

  Pada hukum pesaingan usaha, efektifitas dari implementasinya tidak dapat dilihat dengan mudah dilapangan, seperti halnya yang terjadi pada bidang hukum yang lain. Pada hukum persaingan usaha, sebagian besar pengaturannya dirumuskan secara rule of reason, sehingga perbuatan atau perilaku yang diatur tersebut bukanlah perbuatan atau perilaku yang mutlak atau secara otomatis dilarang, pelaku usaha dapat melakukan perbuatan atau perilaku sebagaimana yang diatur di dalam pasal-pasal rule of reason tersebut, asalkan dari perbuatan atau perilaku itu tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dan konsekuensinya, sebanyak apapun putusan yang dihasilkan oleh aparatur penegak hukum seperti KPPU, Pengadilan negeri atau Mahkamah Agung kecil kemungkinannya dapat mempengaruhi pelaku usaha lain untuk tidak melakukan perbuatan atau perilaku yang sama.

  Pada dasarnya tidak sulit untuk menafsirkan fenomena merosotnya kinerja dan pangsa pasar tradisional yang terjadi dalam satu dekade terakhir. Institue for Defelopment of Economics 17

  

and Finance (INDEF) tahun 2007 mencatat, telah terjadi

  penurunan omset, perputaran barang, marjin harga, bahkan penurunan jumlah kios aktif di pasar tradisional. Bagi orang yang berpikiran positif kemungkinan besar akan bersikap, bahwa “pasar tradisional telah kehilangan daya saing”, karena infrastruktur dan sistem perpasaran jauh tertinggal di tengah serbuan peritel pasar modern. Namun dari mana memulai langkah, ketika banyak pihak melihatnya dari sisi buruk dampak keberadaan ritel pasar modern, dan karena itu perijinannya harus dibatasi.

  

terhadap kajian implementasi UU No.5 Tahun 1999 di bidang Industri Ritel

Tahun 2007 yang diselenggarakan KPPU.

  17 Umar Hidayat, “Preferensi Konsumen: Strategi Pengembangan Pasar

Tradisional”, Jurnal Bisinis & Ekonomi Politik, Institue for Defelopment of

Economics and Finance (INDEF), Volume 9 Nomor 2, April 2008, hlm, 36.

  Bagi orang yang berpikiran positif tentunya akan menyatakan “tidaklah arif menyusun suatu kebijakan berdasarkan argumen ada atau tidak adanya dampak dari suatu situasi”, untuk itu, suatu pendekatan sederhana sesungguhnya sangat mudah dipahami, bahwa penguatan/pengembangan pasar tradisional harus berangkat dari tuntutan ekspektasi konsumen,

  Integrasi atau perpaduan antara pasar tradisional dan pasar modern bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan. Untuk mewujudkan integrasi tersebut dibutuhkan kebijakan dalam ranah hukum dari pemerintah dan perubahan kultur pelaku pasar tradisional, ketegasan sikap dari pemerintah, dan kemauan dari pengusaha pasar modern untuk merangkul pelaku pasar tradisional. Fenomena maraknya pembangunan pasar modern dan semakin tersingkirnya pasar tradisional menjadi salah satu keprihatinan bersama, perlu dicari solusi dimana pasar modern dapat berkembang tanpa harus mematikan eksistensi pasar tradisional.

BAB II PENGANTAR HUKUM PERSAINGAN USAHA A. Mengenal Hukum Persaingan Usaha Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan

  usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha, adapun istilah-istilah yang digunakan untuk bidang hukum ini, selain istilah hukum persaingan usaha (competition law), yaitu hukum antimonopoli 18

  (antimonopoly law), hukum antitrust (antitrust law), dan di Amerika Serikat pada tahun 1890, atas inisiatif senator Jhon Sherman dari Partai Republik, Konggres Amerika Serikat mengesahkan sebuah undang-undang yang berjudul “Act to

  

Protect Trade and Commerce Against Unlawful Restrainst and

19 Monopolies”, undang-undang tersebut lebih dikenal sebagai Sherman Act sesuai dengan penggagasnya.

  Persaingan usaha mencakup mengenai segala tindakan pelaku usaha dalam pasar, oleh karena itu hukum persaingan usaha (competition law) ialah hukum yang mengatur pasar (law

  

regulating the markets or the set of laws and regulations governing

  18 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia (Dalam Teori

dan Praktik serta Penerapan Hukumnya) , Jakarta, Kencana Prenadamedia

Group, 2014, Cetakan ke-2, hlm. 1. Lihat pula Hermansyah, Pokok-Pokok

Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia , Jakarta, Kencana Prenada Media

Group, 2008, hlm. 1.

  19 Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha (Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia , Malang, Bayumedia Publishing, 2006, hlm.3.

  20 market behavior).

  Berdasarkan pemahaman di atas pengertian persaingan usaha sangat luas dan mencakup segala tindakan pelaku usaha dalam pasar, termasuk diantaranya tindakan persaingan tidak sehat.

  Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha. Untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentu pengertian hukum persaingan usaha yang demikian itu tidaklah mencukupi. Oleh karenanya, perlu dikemukakan beberapa pengertian hukum persaingan usaha dari para ahli hukum persaingan usaha. 21 Menurut Arie Siswanto, dalam bukunya yang berjudul

  “Hukum Persaingan Usaha”, yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha (competition law) adalah instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Selanjutnya dalam Kamus Lengkap Ekonomi yang ditulis oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes sebagaimana 22 dikutip oleh Hermansyah, yang dimaksud dengan competition

  

laws (hukum persaingan) adalah bagian dari perundang-

  undangan yang mengatur tentang monopoli, penggabungan dan pengambilalihan, perjanjian perdagangan yang membatasi dan praktik anti persaingan. 23 Menurut Boner dan Krueger yang di kutip oleh Thee Kian

  Wie menyatakan bahwa kebijakan persaingan mencakup semua kebijakan pemerintah untuk mempertahankan dan melindungi persaingan diantara pembeli dan penjual di pasar bebas yang relatif tidak dikendalaikan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan konsumen dengan mendorong

  20 Dedie S. Martadisastra, “Persaingan Usaha Ritel Modern dan Dampaknya Terhadap Pedagang Kecil Tradisional” Jurnal Persaingan Usaha KPPU, Edisi 4 Tahun 2010, hlm, 71.

  21 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2001, hlm. 15.

  22 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Cetakan ke-1, Kencana Prenada Media group, Jakarta, 2008, hlm, 2.

  23 Boner & Krueger dalam Thee Kian Wie, Pembangunan, Kebebasan, dan

“Mukjizat” Orde Baru: Esai-Esai , Cetakan 1, Kompas, Jakarta, 2004, hlm. 176. alokasi sumber-sumber masyarakat secara efisien, yang didasarkan atas prinsip fundamental bahwa dalam kondisi kompetitif perusahaan memberi konsumen harga dan mutu 24 yang baik.

  Persaingan antar pelaku usaha di dunia bisnis dan ekonomi adalah sebuah keharusan. Persaingan usaha dapat diamati dari dua sisi, yaitu sisi pelaku usaha atau produsen 25 dan sisi konsumen. Dari sisi produsen, persaingan usaha berbicara mengenai bagaimana perusahaan menentukan strategi bersaing, apakah dilakukan secara sehat atau saling mematikan.

  Persaingan dalam dunia usaha merupakan hal yang biasa terjadi, bahkan dapat dikatakan persaingan dalam dunia usaha itu (meminjam istilah yang di gunakan oleh Satjipto Rahardjo) merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak bagi terselenggaranya ekonomi pasar. Walaupun harus diakui bahwa ada kalanya persaingan usaha itu sehat (fair competition), 26 dan dapat juga tidak sehat (unfair competition). Pesatnya perkembangan dunia usaha adakalanya tidak diimbangi dengan penciptaan rambu-rambu pengawasan. Dunia usaha yang berkembang terlalu pesat sehingga meninggalkan rambu-rambu yang ada, jelas tidak akan menguntungkan pada 27 akhirnya. Hukum dituntut untuk merespon segala seluk beluk kehidupan dunia usaha yang melingkupinya sebagai suatu fenomena atau kenyataan sosial. Itu berarti, peran hukum menjadi semakin penting dalam menghadapai problema- problema dunia usaha yang timbul seperti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

  24 Thee Kian Wie, Pembangunan, Kebebasan, dan “Mukjizat” Orde Baru: Esai- Esai , Cetakan 1, Kompas, Jakarta, 2004, hlm. 177.

  25 Sukarmi, “Peran UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat dalam meningkatkan persaingan usaha di Era AFTA”, Jurnal Persaingan

Usaha KPPU , Edisi 4 Tahun 2010, hlm, 2.

  26 Hermansyah, Op. Cit., hlm. 8-9

  27 Osgar S. Matompo, Hakekat Hukum Sistem Persaingan Usaha Yang Sehat, Kempetitif dan Berkeadilan , Yogyakarta, Genta Publishing, 2015, hlm, 1-2.

28 Profesor Organsky berpendapat bahwa bangsa-bangsa

  modern sekarang ini menjalani tiga tahap pembangunan, yaitu politik unifikasi, politik industrialisasi ,dan politik kesejahteraan sosial. Tahap pertama masalah utama adalah integrasi politik dalam rangka menciptakan persatuan nasional. Tahap kedua adalah perjuangan untuk modernisasi politik dan ekonomi. Pada tahap ini fungsi utama pemerintah adalah mendorong terjadinya akumulasi modal. Sedangkan pada tahap ketiga, pekerjaan utama pemerintah adalah melindungi rakyat dari penderitaan yang timbul sebagai akibat dari kehidupan industrialisasi. 29 Organsky menjelaskan tahap-tahap perkembangan politik, yakni, tahap politik unifikasi primitif, politik industrialisasi, politik kesejahteraan nasional dan Politik Berkelimpahan. Bangsa-bangsa yang tumbuh lebih dahulu di negara-negara Eropa dan Amerika Utara pada umumnya mengalami tahap pertumbuhan ini selangkah demi selangkah. Sehingga dapat dikatakan bahwa Teori Organsky tentang tahap- tahap pembangunan politik terjadi dihampir semua negara. Di Eropa barat dan Amerika Utara kentara sekali bahwa tahap perkembangan negara di mulai dari tahap unifikasi primitif, 30 Organsky menyebutkan perkembangan yang terjadi di Eropa

  Barat mulai terjadi pada abad ke 16, juga dibelahan dunia lain, asal mula negara ditandai dengan munculnya koloni-koloni Eropa. Tentunya dengan berbagai keunikan yang berbeda-beda dari suatu negara. 31 Organsky juga menyebutkan tahap selanjutnya setelah tahap Unifikasi Primitif yaitu negara masuk pada tahap Politik

  28 Organsky dalam Erma Rajagukuguk, “Perubahan Hukum Indonesia: Persatuan

Bangsa, Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan sosial “, Jakarta: LDF dan

Fak.Hukum UI, 2004, hlm, 6-7.

  29 Organsky dalam Rita Yani Iyan, “Peran Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi”,

jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan, Tahun II Nomor 5, Maret 2012, hlm, 169-

170.

  30 Ibid.

  31 Ibid.

  Industrialisasi, dimana negara mulai membangun dan berupaya memperkuat perekonomian dengan industrialisasi, pola pembangunan lewat industrialisasi merupakan pilihan yang ideal yang harus ditempuh, terutama oleh negara-negara maju seperti negara-negara di Eropa Barat. Perkembangan ini ditandai oleh proses industrialisasi di Inggris. Abad ke 18 merupakan titik kemajuan proses industrialisasi di Inggris dimana ditemukan berbagai inovasi terutama inovasi teknologi yang mendorong ditemukan mesin-mesin industri pabrik. Pilihan melakukan industrialisasi merupakan yang terbaik karena keunggulan komparatif negara-negara barat terletak pada produk-produk industri dan teknologi. Politik industrialisasi secara implisit masih terjadi di Indonesia, dimana proses industrialisasi dan pembangunan infrastruktur pendukung industri terus dilakukan, terlebih Krisis yang melanda Indonesia tahun 1998 membuat Indonesia bertahan lebih lama di fase ini. Tahap selanjutnya menurut Organsky adalah politik kesejahteraan nasional, politik kesejahteraan nasional merupakan politik bangsa-bangsa industri sepenuhnya, tahap ini menurut Organsky adalah tahap dimana telah terjadi saling tergantungan antara rakyat dengan pemerintah yang selanjutnya menjadi lengkap.

  Kekuasaan negara tergantung pada kemampuan rakyat biasa untuk bekerja dan berjuang, dan rakyat bersama-sama dengan penguasa-penguasa industri, tergantung kepada pemerintah nasional untuk melindungi mereka terhadap kemiskinan akibat depresi dan kehancuran dari perang. Fungsi primer pemerintah pada tahap industrialisasi adalah melindungi pengusaha yang memiliki modal untuk mempercepat laju industri, sedangkan dalam tahap ketiga merupakan tugas pemerintah untuk melindungi rakyat terhadap kesulitan-kesulitan kehidupan industri, untuk menjaga supaya ekonomi berjalan lancar, memberikan taraf kehidupan yang lebih tinggi yang lama mereka dambakan. Sebagian negara-negara maju dan negara berkembang sedang menjalan fase seperti ini, dimana fokus pemerintahan adalah mensejahterakan rakyatnya dengan berbagai macam fasilitas publik, pendidikan dan kesehatan. 32 Berbeda dengan negara-negara modern lainnya di dunia seperti Inggris, 33 Amerika 34 dan Jepang, 35 Indonesia tampaknya ingin mencapai tiga tahap tersebut dalam waktu bersamaan.

  Indikasinya terlihat, sejak reformasi bergulir pada tahun 1998 tidak kurang 242 undang-undang, 11 Perpu, 608 Peraturan Pemerintah, 1003 Keputusan Presiden dan 82 Instruksi Presiden lahir baik yang mengatur dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial, yang tujuan-tujuannya adalah merekat negara kesatuan Republik Indonesia, mengatasi krisis ekonomi dan mengembangkan kesejahteraan sekaligus. 36 Salah satu produk undang-undang yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah UU No

  5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini menarik untuk dianalisis tidak saja karena semangat yang diembannya sungguh jauh berbeda dengan semangat pembangunan ekonomi yang dianut oleh orde baru, namun lebih jauh dari itu

32 Rita Yani Iyan, “Peran Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi”, jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan, Tahun II Nomor 5, Maret 2012, hlm, 169-170.

  33 Inggris masuk pada tahap pertama pada zaman Henry II (1154-1189) ditandai antara lain lahirnya common law dan terbentuknya Inggris Raya. Inggris menunggu hingga 500 tahun sampai terjadinya revolusi industri untuk masuk pada tahap kedua. Baru pada paruh abad ke dua puluh Inggris masuk pada tahap ketiga.

  34 Amerika masuk pada tahap pertama mulai lahirnya konstitusi Amerika tahun 1776. setelah 60 tahun merdeka Amerika masuk pada tahap kedua, era industrialisasi. Rostow menyebut negara ini mulau take of di tahun 1840. barulah pada tahun 1930 Amerika Serikat masuk pada tahap ketiga

  “welfare state”.

  35 Jepang memasuki tahap pertama ketika keluarga Tokugawa di bawah berapa Shogun mempersatukan Jepang dari tahun 1603 sampai 1867. Barulah dengan restorasi Meiji tahun 1868, Jepang memasuki tahap kedua, industrialisasi. Setelah perang dunia II, Jepang bangkit dan memasuki tahap ‘welfare state”.

  36 Azhari Akmal Tarigan, “Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Perspektif Hukum Ekonomi dan Hukum Islam”, Jurnal Mercatoria, Vol. 9 No.1, Juli 2016, hlm, 55-56. undang-undang ini diharapkan dapat mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi yang lebih demokratis. Dengan kata lain, melalui undang-undang ini, seluruh rakyat diberi kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi ekonominya.

  Undang-undang Persaingan Usaha atau yang lebih dikenal sebagai undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat (UU No. 5 Tahun 1999) adalah sebuah undang-undang yang didasarkan pada praktik pasar bebas atau liberalism. Pasar bebas atau liberalisme adalah sebuah praktik perdagangan yang mengagungkan kebebasan persaingan dalam sebuh sistem ekonomi pasar. Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang begitu takjub akan keberhasilan sistem ekonomi pasar yang lebih mengedepankan persaingan ini. Sehingga regulasi yang dikembangkan dan dihasilkannya lebih mengarah pada praktik liberalisme.

  Perkembangan produk legislasi yang mengarah pada pasar bebas terus berlanjut sehingga berakibat banyaknya produk asing yang bebas masuk pasar Indonesia. Masuknya produk asing dalam jumlah besar telah mematikan industri lokal yang tidak mampu bersaing baik dari segi mutu maupun harga, serta masuknya pedagang dengan modal besar telah berhasil menggeser peran pedagang kecil di kampung-kampung dan di pasar-pasar tradisional menjadi tidak mampu berdagang lagi karena pelanggannya telah pindah ke tempat yang 37 menawarkan kenyamanan dan kemewahan dalam berbelanja.

  Pelaksanaan persaingan yang demikian ini yakni tanpa memikirkan yang lemah baik dari segi modal maupun kreativitas usaha yang menjadi ciri sebagian besar rakyat Indonesia kiranya telah menjadi kelemahan bawaan dari UU persaingan usaha sebagaimana tertera dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:

37 Osgar S. Matompo, Op. Cit, hlm, 1-2.

  Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;