Faktor yang Mempengaruhi Belanja Daerah
Faktor yang Mempengaruhi Belanja Daerah
Pengaruh PAD Terhadap Belanja Daerah
Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa pendapatan daerah akan mempengaruhi belanja
pemerintah daerah dikenal dengan nama tax spend hipotesis ( Aziz et al, 2000; Doi, 1998;
Von Furnsternberg et al, 1986 dalam Syukriy Abdullah dan Abdul Halim, 2003 ). Dalam hal
ini pengeluaran pemerintah daerah akan disesuaikan dengan perubahan dalam penerimaan
pemerintah daerah atau perubahan pendapatan terjadi sebelum perubahan pengeluaran
( Bambang Prakoso, 2004 ).
Melihat beberapa hasil penelitian diatas telah menunjukan bahwa Pendapatan Asli Daerah
(PAD) merupakan sumber pendapatan penting bagi sebuah daerah dalam memenuhi
belanjanya dan Pendapatan Asli Daerah ini sekaligus dapat menujukan tingkat kemandirian
suatu daerah.
Semakin banyak Pendaptan Asli Daerah yang didapat semakin memungkinkan daerah
tersebut untuk memenuhi kebutuhan belanjanya sendiri tanpa harus tergantung pada
pemerintah pusat, yang berarti ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah tersebut telah
mampu untuk mandiri, dan begitu juga sebaliknya (Rahmawati, 2010).
Berdasarkan penelitian yang ada sebelumnya Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif
terhadap belanja daerah. Jadi meningkatnya Pendapatan Asli Daerah yang didapat semakin
tinggi daerah tersebut untuk memenuhi kebutuhan belanjanya.
Pengaruh Dana Perimbangan Terhadap Belanja Daerah
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, dana perimbangan tersebut
dibentuk untuk mendukung pendanaan program otonomi.
Dalam literatur ekonomi dan keuangan daerah, hubungan Pendapatan dan Belanja Daerah
didiskusikan secara luas sejak akhir dekade 1950-an dan berbagai hipotesis tentang
hubungan diuji secara empiris menyatakan bahwa pendapatan mempengaruhi belanja.
Sementara studi tentang pengaruh grants dari Pemerintah Pusat terhadap keputusan
pengeluaran atau Belanja Pemerintah Daerah sudah berjalan lebih dari 30 tahun (Bambang
Prakosa, 2004). Holtz-Eakin, et al (1985) dalam Bambang Prakosa (2004) menyatakan
bahwa terdapat keterkaitan Sangat erat antara transfer dari Pemerintah Pusat dengan Belanja
Pemerintah Daerah.
Berdasarkan penelitian sebelumnya dana perimbangan memiliki pengaruh terhadap belanja
daerah, dimana pengaruh tersebut memiliki pengaruh yang positif.
Berikut beberapa hasil penelitian tentang pengaruh PAD dan
Dana Perimbangan Terhadap Belanja Daerah:
Penelitian Nur Indah Rahmawati
Judul penelitian Nur Indah Rahmawati adalah Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana
Alokasi Umum Terhadap Alokasi Belanja Daerah Di Jawa Tengah.
Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 35 daerah di Jawa Tengah yang bersumber dari
Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari tahun 2007 hingga
2009. Metode pengambilan sampel menggunakan metode sensus dengan mengambil seluruh
populasi. Alat yang digunakan penelitian adalah regresi linier berganda.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa DAU dan PAD mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap alokasi belanja daerah. Jika dilihat lebih lanjut, tingkat ketergantungan
alokasi belanja daerah lebih dominan terhadap PAD daripada DAU.
Penelitian Ronald hariyanto Tahun 2005
Judul penelitian Ronald Hariyanto (2005) adalah Analisis Pengeluaran Pemerintah Daerah Di
Propinsi Jawa Tengah periode 2000-2002.
Hasil Penelitian yaitu :
1. Variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD) (X1), mempunyai koefisien positif sebesar
0.14, yang berarti setiap ada kenaikan jumlah PAD pada masing-masing daerah di
Kota dan Kabupaten se Jawa Tengah sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan tingkat
pengeluaran pemerintah pada masing-masing daerah sebesar 1,4%, dengan asumsi
variabel yang lain tetap (Cateris Paribus).
2. Variabel Dana Perimbangan (X2), mempunyai koefisien positif sebesar 0.9, yang
berarti setiap ada kenaikan jumlah Dana Perimbangan pada masing-masing daerah di
Kota dan Kabupaten se Jawa Tengah sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan tingkat
pengeluaran pemerintah pada masing-masing daerah sebesar 0,9%, dengan asumsi
variabel yang lain tetap (Cateris Paribus).
3. Variabel Jumlah Penduduk (X3), mempunyai koefisien positif sebesar 2.50, yang
berarti setiap ada kenaikan jumlah penduduk pada masing-masing daerah di Kota dan
Kabupaten se Jawa Tengah sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan tingkat
pengeluaran pemerintah pada masing-masing daerah sebesar 2,5%, dengan asumsi
variabel yang lain tetap (Cateris Paribus).
Penelitian Kesit Bambang Prakosa Tahun 2004
Judul penelitian Kesit Bambang adalah Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Prediksi Belanja Daerah, Studi Empirik Di Wilayah
Propinsi Jawa Tengah dan DIY.
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa DAU dan PAD berpengaruh signifikan terhadap
belanja daerah baik dengan maupun tanpa lag. Ketika tidak menggunakan lag, pengaruh PAD
terhadap belanja daerah lebih kuat daripada DAU, tetapi dengan digunakan lag, pengaruh
DAU terhadap belanja daerah justru lebih kuat daripada PAD.
Secara empiris penelitian ini membuktikan bahwa besarnya belanja daerah dipengaruhi oleh
jumlah DAU yang diterima dari pemerintah pusat. Dari hasil penelitaian tersebut,
menunjukan bahwa DAU dan PAD berpengaruh signifikan terhadap belanja daerah. Dalam
model prediksi BJD, daya prediksi DAU terhadap BJD tetap lebih tinggi dibanding daya
prediksi PAD. Hal ini menunjukan telah terjadi flypaper effect.
Penelitian Widiyanto Tahun 2004
Judul penelitian Widiyanto adalah Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Pemerintah Daerah Pada Pemerintah Kabupaten/kota
Di Propinsi DIY dan Jawa Tengah.
Hasil penelitiannya yaitu menunjukan hubungan yang erat antara perubahan DAU dan PAD
terhadap perubahan belanja daerah baik pada saat dilakukan regresi sederhana (dengan atau
tanpa lag) maupun dengan regresi berganda hampir sama pengujian menunjukan hubungan
yang signifikan positif, yang bermakna bahwa apabila terjadi peningkatan pada DAU dan
PAD maka akan diikuti peningkatan pada belanja daerah.
Pada saat hasil dari masing-masing pengujian itu dibandingkan satu sama lain, terlihat bahwa
nilai t-statistik, f-statistik, R,R², dan Adjusted-R² pada masing-masing variabel, DAU
memiliki nilai yang lebih besar daripada PAD, hal ini menunjukan bahwa pengaruh prubahan
besarnya DAU yang diterima oleh pemerintah kab/kota di propinsi DIY dan Jawa Tengah
terhadap besarnya belanja daerah.
Penelitian Purbayu Budi Santosa Tahun 2005
Judul penelitian Purbayu Budi Santosa adalah Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah Di
Kabupaten Kediri
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa PAD sebagai salah satu penerimaan daerah
mencerminkan tingkat kemandirian daerah.
Semakin besar PAD maka menunjukkan bahwa daerah itu mampu melaksanakan
desentralisasi fiskal dan ketergantungan terhadap pemerintah pusat berkurang. PAD diartikan
sebagai penerimaan dari somber-sumber dalam wilayahnya sendiri, yang dipungut
berdasarkan Undang-undang yang berlaku. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi PAD. Faktor-faktor tersebut meliputi :
pengeluaran pembangunan, penduduk dan PDRB. Data yang diamati dalam penelitian ini
adalah datu runtut waktu periode 1989-2002. Model estimasi yang digunakan adalah regresi
berganda yang ditransformasikan ke bentuk logaritma.
Hasil regresi menunjukkan bahwa ternyata variabel Pengeluaran Pembangunan mempunyai
koefisien regresi sebesar 0,398. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi kenalkan Pengeluaran
Pembangunan sebesar 1 persen maka akan meningkatkan PAD sebesar 0,398 person (faktor
lain dianggap konstan). Variabel Penduduk mempunyai koefisien regresi sebesar 8,049. Hal
ini berarti bahwa setiap terJadi kenaikan variabel Penduduk sebesar 1 person maka akan
meningkatkan PAD sebesar 8,049 person (faktor lain dianggap konstan). Variabel PDRB
mempunyai koefisien regresi sebesar 0,573. Hal ini berarti bahwa setiap terJadi kenalkan
PDRB sebesar 1 person make akan meningkatkan PAD sebesar 0,573 person (faktor lain
dianggap konstan).
Sumber:
Argi, (2011). Analisis Belanja Daerah Dan Faktorfaktor Yang Mempengaruhinya Di
Kabupaten Dan Kota Provinsi Jawa Tengah Periode 2004-2009. Skripsi S1, Fakultas
Ekonomika Universitas Diponegoro Tahun 2011+
--- --- --- --Untuk mendapatkan Versi Lengkap dari Penelitian ini, silahkan kunjungi Halaman File
Penelitian Ekonomi.
Definisi dan Klasifikasi Belanja Daerah
Pengeluaran pemerintah daerah berperan untuk
mempertemukan permintaan masyarakat dengan penyediaan
sarana dan prasarana yang tidak dipenuhi oleh swasta.
Sedangkan pengeluaran pemerintah itu sendiri tidak begitu
saja dilaksanakan oleh suatu pemerintah daerah, tapi harus
direncanakan terlebih dahulu.
Pada ketentuan UU No.33 Tahun 2004 telah diatur beberapa aspek yang berkaitan dengan
perimbangan keungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah satu yang
diatur dalam ketentuan ini yaitu permasalahan belanja daerah. Menurut UU No.33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah, belanja daerah dimaksudkan sebagai semua kewajiban daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan.
Download UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah Antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
Rinciannya bisa dibagi dalam dua bentuk yaitu berdasar sifat dan berdasar fungsinya.
Berdasar sifat ekonominya belanja daerah terdiri atas belanja pegawai dan belanja barang,
subsidi, hibah dan bantuan sosial.
Sedangkan berdasar fungsinya belanja daerah terdiri dari belanja untuk pembangunan
perumahan dan fasilitas umum, peningkatan kesehatan, pariwisata, budaya, agama,
pendidikan serta perlindungan sosial.
Pada hakekatnya pengeluaran pemerintah daerah menyangkut dua hal (anggaran line item),
yaitu sebagai berikut :
1.
Pengeluaran rutin, seperti pembiayaan untuk pemeliharaan atau
penyelenggaraan pemerintah sehari-hari. Misalnya untuk belanja pengawai, belanja
barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja lain-lain, Angsuran
pinjaman/hutang dan bunga, bantuan keuangan, pengeluaran tidak termasuk bagian
lain, dan pengeluaran tidak tersangka.
2.
Pengeluaran pembangunan, yaitu pembiayaan untuk pembangunan
daerah sebagai kegiatan pemerintahan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
seperti pembangunan dalam sektor pertanian, industri, perhubungan, pariwisata dan
sektor-sektor yang lain.
Adanya perubahan tentang struktur pengeluaran pemerintah daerah (Kepmendagri Nomor 29
Tahun 2002) diterangkan sebagai berikut :
1.
Belanja aparatur daerah adalah belanja administrasi umum, belanja
operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/yang dialokasikan pada atau digunakan
untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung
dinikmati oleh masyarakat (publik).
2.
Belanja pelayanan publik adalah belanja administrasi umum, belanja
operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/yang dialokasikan pada atau digunakan
untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung
dinikmati oleh masyarakat (publik).
Kemudian perubahan tentang struktur pengeluaran pemerintah daerah (Permendagri Nomor
13 Tahun 2006) dapat diterangkan sebagai berikut:
1.
Belanja tak langsung adalah bagian belanja yang dianggarkan tidak terkait
langsung dengan pelaksanaan program seperti belanja pegawai berupa gaji dan
tunjangan yang telah ditetapkan undang-undang, belanja bunga, belanja hibah, belanja
bantuan sosial, belanja bagi hasil kepada provinsi/kabupaten/kota dan pemerintah
desa, belanja bantuan keuangan dan belanja tak tersangka.
2.
Belanja langsung adalah bagian belanja yang dianggarkan terkait langsung
dengan pelaksanaan program seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta
belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah dan telah
dianggarkan oleh pemerintah daerah.
Sumber:
Argi, (2011). Analisis Belanja Daerah Dan Faktorfaktor Yang Mempengaruhinya Di
Kabupaten Dan Kota Provinsi Jawa Tengah Periode 2004-2009. Skripsi S1, Fakultas
Ekonomika Universitas Diponegoro Tahun 2011
--- --- --- --Untuk mendapatkan Versi Lengkap dari Penelitian ini, silahkan kunjungi Halaman File
Penelitian Ekonomi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah
Penerapan Otonomi Daerah
Kewenangan otonomi daerah adalah keseluruhan kewenangan penyelenggaraaan pemerintahan,
sepertiperencanaan, perizinan, dan pelaksanaan, kecuali kewenangan di bidang-bidang pertahnan
keamanan, peradilan, politik luar negeri, moneter/fiskal dan agama serta kewenangan lainnya yang di
atur oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi. Penyelenggaraan otonomi di tingkat provinsi
meliputi kewenangan-kewenangan lintas kabupaten dan kota dan kewenangan-kewenangan yang
tidak atau belum dilaksanakan daerah otonom kabupaten dan kota, serta kewenangan bidang
pemerintahan lainnya (Safitri, 2009). Ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah
(1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan
kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan mengguanakan keuangannya
sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) Ketergantungan kepada bantuan pusat
harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang
didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Landiyanto,2005).
Dana Perimbangan Keuangan
Halim Abdul & Mujib Ibnu (2009) menjelaskan, Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 mengatur
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yaitu berupa system
keuangan daerah yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab antar
tingkat pemerintahan sesuai dengan pengaturan UU tentang Pemerintahan Daerah. UU Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah meliputi ruang lingkup pengaturan dari :
1. Prinsip-prinsip pembiayaan fungsi pemerintahan di Daerah.
2. Sumber-sumber pembiayaan fungsi dan tugas tanggung jawab Daerah yang meliputi.
a. Pendapata Asli Daerah
b. Dana Perimbangan
c. Pinjaman
d. Pembiayaan pelaksanaan asa dekonsentrasi bagi provinsi
3. Pengelolaan dan Pertangungjawaban kauangan daerah
4. Sistem informasi keuangan daerah.
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah Pasal 27 Jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 26%
(dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang di tetapkan dalam APBN. DAU
untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah
kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 28, yang
dimaksud Kebutuhan fiskal daerah adalah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk
melaksanakan fungsi layanan dasar umum, sedangan yang di maksud Kapasitas Fiskal Daerah adalah
merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil.
A. Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang di bagihasilkan kepada
daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Pengaturan DBH dalam Undang-undang ini
merupakan penyelarasan dengan Undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali di ubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.
Dalam Undang-undang ini di muat pengaturan mengenai Bagi Hasil Penerimaan Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sector
pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2003
tentang Panas Bumi, Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk bagian dan DAK, dialihkan
menjadi DBH.
B. Dana Alokasi Umum (DAU)
DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk
mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah, DAU suatu daerah ditentukan atas besar
kecilnya celah fiscal (fiscal gab) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal
need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Dalam Undang-Undang ini di tegaskan kembali mengenai
formula celah fiscal dan penambahan variable DAU. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya
besar tetapi kebutuhan fiscal kecil akan memperoleh aloksi DAU relative kecil. Sebaliknya, Daerah
yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiscal besar akan memperoleh alokasi DAU relative
besar. Secara implicit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kepasitas
fiscal.
C. Dana Alokasi Khusus (DAK)
DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus didaerah tertentu yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Prasarana pelayanan dasar
masyrakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan
Daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sumber Pendapatan Asli Daerah berasal dari : Pajak Daerah, Retribusi daerah, Hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Sedangkan Dana
Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus
(Safitri,2009).
A. Pajak Daerah
Prakosa (2003) Menjelaskan bahwa Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh oran
gpribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan pembanguna daerah. Berdasarkan UU No 34 Tahun 2000,
Pajak Daerah Kota / Kabupaten terdiri dari :
1. Pajak Hotel;
2. Pajak Restoran;
3. Pajak Hiburan;
4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
7. Pajak Parkir.
B. Retribusi Daerah
Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu
yang khusus di sediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan, sehingga bisa disimpulkan bahwa retribusi daerah adalah retribusi yang dipungut
daerah karena adanya suatu balas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah pemungut retribusi.
(Prakosa,2005). Retribusi daerah terdiri atas 3 golongan, yaitu:
1. Retribusi Jasa Umum, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah
daerah (pemda) untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang
pribadi atau badan;
2. Retribusi Jasa Usaha, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemda dengan menganut
prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta
3. Retribusi Perizinan Tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentupemda dalam rangka pemberian
izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan,
pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam,
barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan.
Produk Domestik Bruto (PDB)
Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu indicator makro ekonomi yang pada umumnya
digunakan untuk mengukur kineja ekonomi di suatu negara. Sedangkan untuk tingkat wilayah,
Propinsi maupun Kabupaten/Kota, digunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Secara teori
dapat dijelaskan bahwa PDRB merupakan bagian dari PDB, sehingga dengan demikian perubahan
yang terjadi di tingkat regional akan berpengaruh terhadap PDB atau sebaliknya. Total nilai barang
dan jasa yang diproduksi di wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu (satu tahun) dihitung
sebagai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (Haryanto,2004).
Belanja Daerah
Berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, Belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang
terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang
tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar
pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja
penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk
peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak
serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat
diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Permendagri No. 13
Tahun 2006 Pasal 31 ayat (1) terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. Yang
termasuk urusan wajib adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan
b. Kesehatan
c. Pekerjaan umum
d. Perumahan rakyat
e. Penataan ruang
f. Perencanaan pembangunan
g. Perhubungan
h. Lingkungan hidup
i. Pertanahan
j. Kependudukan dan catatan sipil
k. Pemberdayaan perempuan
l. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera
m. Sosial
n. Tenaga kerja
o. Koperasi dan usaha kecil dan menengah
p. Penanaman modal
q. Kebudayaan
r. Pemuda dan olah raga
s. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri
t. Pemerintahan umum
u. Kepegawaian
v. Pemberdayaan masyarakat dan desa
w. Statistik
x. Arsip
y. Komunikasi dan informatika
Sedangkan yang termasuk dengan urusan pilihan adalah sebagai berikut :
a. Pertanian
b. Kehutanan
c. Pariwisata
d. Kelautan dan perikanan
e. Perdagangan
f. Perindustrian
g. Transmigrasi.
Belanja menurut urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang
dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan
ketentuan perundang-undangan dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan yang dikiasifikasikan
menurut urusan wajib dan urusan pilihan. Untuk Klasifikasi belanja menurut fungsi yang digunakan
untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari :
a. Pelayanan umum
b. Ketertiban dan ketentraman
c. Ekonomi
d. Lingkungan hidup
e. Perumahan dan fasilitas umum
f. Kesehatan
g. Pariwisata dan budaya
h. Pendidikan
i. Perlindungan sosial
Belanja menurut kelompok belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) Permendagri No.
13 Tahun 2006 terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak
langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan
program.
Belanja Tidak Langsung, meliputi:
a. Belanja Pegawai
Belanja pegawai merupakan belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan
lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan
b. Belanja Bunga
Belanja bunga digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang yang dihitung atas
kewajiban pokok utang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek,
jangka menengah dan jangka panjang.
c. Belanja Subsidi
Belanja subsidi digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya produksi kepada
perusahaan/lembaga tertentu agar harga jual produksi/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh
masyarakat banyak.
d. Belanja Hibah
Belanja hibah digunakan untukmenganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang
dan/atau jasa kepadapemerintah atau pemerintah daerah lainnya, dan kelompok masyarakat/
peroranganyang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya.
e. Bantuan Sosial
Bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau
barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
f. Belanja Bagi Hasil
Belanja bagi hasil digunakan untuk menganggarkan dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan
provinsi kepada kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota kepada pemerintah desa atau
pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah Iainnya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
g. Bantuan Keuangan
Bantuan keuangan digunakan untuk menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau
khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah
Iainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah daerah
Iainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan.
h. Belanja tidak terduga
Belanja tidak terduga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf h merupakan belanja untuk
kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana
alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan
penerimaan daerah tahuntahun sebelumnya yang telah ditutup.
Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan.
Belanja Langsung, meliputi:
a. Belanja Pegawai
Belanja pegawai untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan
pemerintahan daerah,
b. Belanja Modal
Belanja modal untukpengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau
pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan
untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin,
gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.
c. Belanja Barang dan Jasa
Belanja barang dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b digunakan untuk
pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (duabelas) bulan
dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah.
Santosa dan Rahayu (2005) membuktikan bahwa, Pendapatan Asli Daerah di pengaruhi oleh
Pengeluaran Pemerintah, PDRB dan Jumlah Penduduk. Pengeluaran Pemerintah, PDRB dan Jumlah
Penduduk merupakan hubungan fungsional.
a. Hubungan PAD dan Pengeluaran Pemerintah
Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan program yang memerlukan keterlibatan segenap
unsure satu lapisan masyarakat. Peran pemerintah dalam pembangunan adalah sebagai katalisator
dan fasilitator tentu membutuhkan berbagai sarana dan fasilitas pendukung, termasuk anggaran
belanja dalam rangka terlaksananya pembangunan yang berkesinambungan. Pengeluaran tersebut
sebagian digunakan untuk administrasi pembangunan dan segaian lain untuk kegiatan pembangunan
di berbagai jenis infrastruktur yang penting. Perbelanjaan-perbelanjaan tersebut akan meningkatkan
pengeluaran agregat dan mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi.
b. Hubungan PAD dan Jumlah Penduduk
Adam Smith (dikutip oleh Santosa dan Rahayu, 2005) Menjelaskan bahwa, dengan didukung bukti
empiris, pertumbuhan penduduk tinggi akan dapat menaikkan output melalui penambahan tingkat
dan ekspansi pasar baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Santosa dan Rahayu (2005)
mengatakan, penambahan penduduk tinggi yang diiringi dengan perubahan teknologi akan
mendorong tabungan dan juga penggunaan skala ekonomi di dalam produksi. Penambahan
penduduk merupakan satu hal yang dibutuhkan dan bukan suatu masalah, melainkan sebagai unsur
panting yang dapat memacu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Besarnya pendapatan dapat
mempengaruhi penduduk. Jika jtunlah penduduk meningkat mica pendapatan yang dapat ditarik jugs
meningkat.
c. Hubungan PAD dan PDRB
Santosa dan Rahayu (2005) Mengatakan Hubungan antara PAD dengan PDRB merupakan hubungan
fungsional, karena PDRB merupakan fungsi dari PAD. Dengan meningkatnya PDRB maka akan
menambah penerimaan pemerintah daerah untuk membiayai program-program pembangunan.
Selanjutnya akan mendorong peningkatan pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat yang
diharapkan akan dapat meningkatkan produktivitasnya.
Hubungan PDRB terhadap Belanja Daerah
Pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan produk domestik regional bruto adalah semua
penerimaan daerah dalam bentuk peningkatan aktiva atau penurunan utang dari berbagai sumber
dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Secara tradisional, pertumbuhan ekonomi
ditujukan untuk peningkatan yang berkelanjutan Produk Domestik Regional Daerah / PDRB (Kuncoro,
2004).
desentralisasi
memberikan dampak yang sangat berarti bagi pertumbuhan
ekonomi daerah yang membuktikan adanya hubungan yang
positif dan signifikan antara desentralisasi fiskal dengan
pertumbuhan ekonomi. Hasil ini mendukung sintesa yang menyatakan bahwa
Hasil penelitian yang dilakukan (Lin dan Liu, 2000) menunjukkan
pemberian otonomi yang lebih besar akan memberikan dampak yang lebih besar bagi pertumbuhan
ekonomi (Oates,1995). Hal inilah yang mendorong daerah untuk mengalokasikan secara lebih efisien
berbagai potensi lokal untuk kepentingan pelayanan publik.
Secara teori, semakin besar Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), maka akan semakin besar pula pendapatan yang
diterima oleh kabupaten / kota. Dengan semakin besar
pendapatan yang diperoleh daerah, maka pengalokasian
belanja oleh pemerintah pusat akan lebih besar untuk
meningkatkan berbagai potensi lokal di daerah tersebut
untuk kepentingan pelayanan publik. (Lin dan Liu, 2000; Mardiasmo, 2002;
Wong,2004).
Sumber:
Prakoso, (2011). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Daerah. Skripsi S1, Program Sarjana Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Tahun 2011
Pengertian Belanja Daerah
Berdasarkan Undang-undang No. 32 tahun 2004 dan aturan
pelaksanaannya, struktur APBD terdiri dari pendapatan,
belanja, transfer dan pembiayaan yang masing-masing secara
tegas harus dicantumkan bersamaan dengan jumlah
anggarannya dan realisasi anggaran periode sebelumnya.
Belanja Daerah dikelompokkan menjadi dalam dua jenis yaitu Belanja tidak langsung dan
belanja langsung. Belanja tidak langsung meliputi belanja pegawai, belanja bunga, belanja
subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil kepada propinsi/kabupaten
dan pemerintah desa, belanja bantuan keuangan kepada propinsi/kabupaten dan pemerintah
desa, belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung meliputi belanja pegawai, belanja
barang dan jasa, belanja modal (Badan Pusat Statistik,2010).
Dalam Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 disebutkan bahwa belanja modal adalah
pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian / pengadaan aset tetap dan aset lainnya
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan,
jaringan, buku perpustakaan dan hewan.
Sedangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 belanja
modal
didefinisikan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan,
seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan
jaringan, dan asset tetap lainnya (Subiyanto dan Halim, 2008).
Belanja menurut basis kas diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari rekening kas umum
negara/daerah atau entitas pelaporan. Khusus pengeluaran melalui bendahara pengeluaran
pengakuannya terjadi pada saat pertanggungjawaban atas pengeluaran tersebut disahkan oleh
unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan (Kawedar dkk., 2008).
Download:
UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Full Penjelasan);
UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Pembagian Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah;
PP Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Sumber:
Prakoso, (2011). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Daerah. Skripsi S1, Program
Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Tahun 2011
--- --- --- --Untuk mendapatkan Versi Lengkap dari Penelitian ini, silahkan kunjungi Halaman File
Penelitian Ekonomi.
Hubungan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah
Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah
yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Dengan ditambahnya
infrastruktur dan perbaikan infrastruktur yang ada oleh pemerintah daerah, diharapkan akan
memacu pertumbuhan perekonomian di daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah akan
merangsang meningkatnya pendapatan penduduk di daerah yang bersangkutan, seiring
dengan meningkatnya pendapatan asli daerah. Semakin besar dana Pendapatan Asli Daerah
berarti semakin besar belanja daerah yang dilakukan pemerintah daerah untuk pembangunan
di daerahnya masing-masing.
Adapun jenis pajak kabupaten/kota menurut undang-undang nomor 34 tahun 2000, tentang
perubahan Undang-Undang nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah
pasal 2 ayat (2) terdiri dari: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak
penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C dan pajak
parkir.
Pajak daerah sebagai salah satu komponen Pendapatan Asli Daerah memiliki prospek yang
sangat baik untuk dikembangkan. Oleh sebab itu pajak daerah harus dikelola secara
professional dan transparan dalam rangka optimalisasi dan usaha meningkatkan
kontribusinya terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah melalui intensifikasi
pemungutannya dan ektensifikasi subyek dan obyek pajak daerah.kontribusi pajak daerah
terhadap Pendapatan Asli Daerah sangat besar.
Semakin besar Pendapatan Asli Daerah maka belanja daerah
juga semakin besar, jika Pendapatan Asli Daerah rendah
maka belanja daerah juga akan rendah (Halim,Abdul 2001).
Download:
UU Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah
Sumber:
Prakoso, (2011). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Daerah. Skripsi S1, Program
Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Tahun 2011
Konsepsi Pengeluaran Pemerintah (Belanja Pelayanan Publik)
Mangkoesoebroto (1997) menegaskan bahwa pengeluaran
pemerintah mencerminkan pilihan kebijakan pemerintah.
Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk
membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah
mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah
untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
Teori pengeluaran pemerintah dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu teori makro
pengeluaran peemerintah yang menjelaskan pola waktu pengeluaran pemerintah dengan
variabel agregat, seperti produk domestik bruto, tingkat inflasi dan teori mikro pengeluaran
pemerintah yang menjelaskan dasar mikro ekonomi proses keputusan yang meningkatkan
pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 1997). Ada tiga model teori makro mengenai
perkembangan pengeluaran pemerintah, yaitu model pembangunan tentang perkembangan
pengeluaran pemerintah, hukum Wagner mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah,
hukum Wagner mengenai perkembangan aktivitas pemerintah dan teori Peacock & Wiseman
sebagai berikut:
1. Model Pembangunan Perkembangan Pengeluaran
Pemerintah
Model perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi
dibedakan menjadi tahap awal, menengah dan lanjut. Pada tahap awal pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi, investor sektor publik menyediakan infrastruktur sosial seperti :
jalan, belanja bidang kesehatan dan belanja bidang pendidikan, yang mendorong ekonomi ke
tahap menengah. Dalam tahap menengah, investasi publik diikuti dengan pertumbuhan
investasi swasta. Kegagalan pasar terjadi di semua tahap, sehingga keterlibatan pemerintah
terus meningkat untuk mengatasi kegagalan tersebut.
Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam
persentasei terhadap Gross National Product (GNP) atau Produk Domestik Bruto (PDB)
semakin besar dan prosentase pemerintah semakin kecil. Menurut Rostow, pada tahap lebih
lanjut, aktivitas pemerintah beralih dari pengeluaran infrastruktur untuk penyediaan prasarana
ke pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program pendidikan, program kesejahteraan hari
tua, pelayanan kesehatan masyarakat dan sebagainya. Pendapat Magrave dan Rostow
menjelaskan perubahan pengeluaran pemerintah dan variasi pelayanan publik dalam siklus
pembangunan.
2. Hukum Wagner
Hukum Wagner menjelaskan mengenai bagian Produk Domestik Regional Bruto yang
diambil sektor publik. Hukum ini terkait dengan pertumbuhan ukuran relatif sektor publik,
yaitu jika pendapatan perkapita dalam ekonomi bertambah, maka ukuran sektor publik juga
bertambah. Pernyataan Wagner tersebut bersifat empiris berdasarkan hasil pengamatan
pertumbuhan sektor publik di sejumlah negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang pada abad
ke-19, yang menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi rasio pengeluaran publik
terhadap PDB adalah faktor politik dan ekonomi. Menurut Wagner, ketika ekonomi menjadi
industri, hubungan antar pasar dan agen dalam pasar semakin kompleks yang memerukan
peraturan perdagangan dan sistem kehakiman untuk mengaturnya. Eksternalitas akibat
urbanisasi membutuhkan intervensi dan peraturan sektor publik.
Dalam pertumbuhan pengeluaran publik untuk pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat, dijelaskan Wagner berdasarkan elastisitas pendapatan permintaan, bahwa dalam
suatu perekonomian, apabila pendapatan riil per kapita naik, maka pengeluaran publik
meningkat terhadap layanan tersebut dan akan meningkatkan rasio pengeluaran pemerintah
terhadap Produk Domestik Bruto. Model Wagner tidak mengandung teori pilihan publik,
tetapi menggunakan teori negara organik yaitu negara dianggap individu dan pembuat
keputusan secara independen dari anggota masyarakat.
3. Teori Peacock dan Wiseman
Studi Peacock dan Wiseman merupakan analisis “pola waktu” pengeluaran publik. Dasar
analisisnya adalah teori politik penentuan pengeluaran publik, yaitu pemerintah senang
mengeluarkan banyak uang, rakyat tidak suka bayar pajak, dan pemerintah harus
memperhatikan keinginan rakyat.
Peacock dan Wiseman mengemukakan teori yang didasarkan pada pandangan masyarakat
bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran, sedangkan
masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar tersebut. Masyarakat mempunyai
suatu toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya
pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai aktivitas pemerintah. Jadi
masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas
pemerintah, sehingga mereka mempunyai suatu tingkat kesediaan masyarakat untuk
membayar pajak. Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah bahwa perkembangan ekonomi
menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat, walaupun tarif pajak tidak
berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga
semakin meningkat. Oleh karena itu dalam keadaan normal, meningkatnya PDB
menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dalam pengeluaran
pemerintah.
Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka
pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Oleh sebab itu,
penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkatkan
penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak, sehingga dana swasta untuk
investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan tersebut disebut efek pengalihan
(displacement effect) yaitu bahwa adanya suatu gangguan sosial akan menyebabkan aktivitas
swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Selain itu, banyaknya aktivitas pemerintah yang
baru kelihatan setelah terjadinya perang disebut dengan efek inspeksi (inspection effect). Di
samping itu, adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan
ke tangan pemerintah yang sebelumnya dilaksanakan oleh swasta (concentration effect).
Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan bertambahnya aktivitas pemerintah sehingga
setelah perang selesai tingkat pajak tidak turun kembali pada tingkat sebelum terjadinya
perang.
Hipotesis yang dikemukakan oleh Peacock dan Wiseman mendapat kritikan dari Bird yang
menyatakan bahwa selama terjadinya gangguan sosial memang terjadi pengalihan aktivitas
pemerintah dari pengeluaran sebelum gangguan ke aktivitas yang berhubungan dengan
gangguan tersebut. Hal ini menyebabkan kenaikan pengeluaran pemerintah dalam
persentasenya terhadap PDB. Akan tetapi, setelah terjadinya gangguan persentase
pengeluaran pemerintah terhadap PDB perlahan-ahan akan menurun kembali pada tingkat
sebelum terjadinya gangguan. Jadi menurut Bird, efek pengalihan hanya gejala dalam jangka
pendek dan tidak terjadi dalam jangka panjang.
Ketiga model teori makro pengeluaran pemerintah tersebut tidak dapat menjelaskan proses
pengeluaran pemerintah secara rinci sebagaimana teori mikro pengeluaran pemerintah yang
bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menimbulkan permintaan akan barang
pemerintah (barang yang disediakan oleh pemerintah) dan menganalisis pengaruh faktorfaktor tersebut atas tersedianya barang pemerintah. Interaksi antara permintaan dan
penawaran untuk barang pemerintah menentukan jumlah barang pemerintah yang akan
disediakan melalui anggaran belanja, dan ini akan menimbulkan permintaan akan barang lain.
Jadi, perkembangan pengeluaran pemerintah dapat dijelaskan dengan beberapa faktor yaitu :
perubahan permintaan akan barang publik, perubahan dari aktivitas pemerintah dalam
menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang
digunakan dalam proses produksi, perubahan kualitas barang publik dan perubahan harga
faktor-faktor produksi.
Soeparmoko (1987) mengklasifikasikan pengeluaran
pemerintah menjadi lima jenis yaitu :
1. Pengeluaran yang self liquiditing sebagian atau seluruhnya, artinya pengeluaran
pemerintah mendapatkan pembayaran kembali dari masyarakat yang menerima jasa
atau barang bersangkutan, misalnya pengeluaran untuk jasa perusahaan.
2. Pengeluaran yang produktif, artinya mewujudkan keuntungan-keuntungan ekonomis
bagi masyarakat, yang berpengaruh positif terhadap penerimaan pemerintah, misalnya
pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan.
3. Pengeluaran yang tidak self liquiditing maupun yang tidak reproduktif, yaitu
pengeluaran yang langsung menambah kegembiraan dan kesejahteraan masyarakat,
misalnya obyek pariwisata.
4. Pengeluaran yang secara tidak langsung tidak produktif dan merupakan pemborosan
misalnya untuk pembiayaan pertahanan/perang meskipun saat pengeluaran terjadi
penghasilan perorangannya akan naik.
5. Pengeluaran yang merupakan penghematan di masa yang akan datang, misalnya
pengeluaran untuk anak yatim piatu. Jika hal ini tidak dijalankan sekarang, maka
kebutuhan pemeliharaan tersebut akan menjadi lebih besar di masa yang akan datang.
Sumber:
Prakoso, (2011). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Daerah. Skripsi S1, Program
Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Tahun 2011
--- --- --- --Untuk mendapatkan Versi Lengkap dari Penelitian ini, silahkan kunjungi Halaman File
Penelitian Ekonomi.
No comments :
Email This BlogThis! Share to Twitter Share to Facebook
Labels: Belanja Daerah , Hukum Wagner , Pelayanan Publik , Pengeluaran Pemerintah , Teori
Peacock dan Wiseman , Tinjauan Teori
Older Posts Home
Subscribe to: Posts ( Atom )
Pengaruh PAD Terhadap Belanja Daerah
Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa pendapatan daerah akan mempengaruhi belanja
pemerintah daerah dikenal dengan nama tax spend hipotesis ( Aziz et al, 2000; Doi, 1998;
Von Furnsternberg et al, 1986 dalam Syukriy Abdullah dan Abdul Halim, 2003 ). Dalam hal
ini pengeluaran pemerintah daerah akan disesuaikan dengan perubahan dalam penerimaan
pemerintah daerah atau perubahan pendapatan terjadi sebelum perubahan pengeluaran
( Bambang Prakoso, 2004 ).
Melihat beberapa hasil penelitian diatas telah menunjukan bahwa Pendapatan Asli Daerah
(PAD) merupakan sumber pendapatan penting bagi sebuah daerah dalam memenuhi
belanjanya dan Pendapatan Asli Daerah ini sekaligus dapat menujukan tingkat kemandirian
suatu daerah.
Semakin banyak Pendaptan Asli Daerah yang didapat semakin memungkinkan daerah
tersebut untuk memenuhi kebutuhan belanjanya sendiri tanpa harus tergantung pada
pemerintah pusat, yang berarti ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah tersebut telah
mampu untuk mandiri, dan begitu juga sebaliknya (Rahmawati, 2010).
Berdasarkan penelitian yang ada sebelumnya Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif
terhadap belanja daerah. Jadi meningkatnya Pendapatan Asli Daerah yang didapat semakin
tinggi daerah tersebut untuk memenuhi kebutuhan belanjanya.
Pengaruh Dana Perimbangan Terhadap Belanja Daerah
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, dana perimbangan tersebut
dibentuk untuk mendukung pendanaan program otonomi.
Dalam literatur ekonomi dan keuangan daerah, hubungan Pendapatan dan Belanja Daerah
didiskusikan secara luas sejak akhir dekade 1950-an dan berbagai hipotesis tentang
hubungan diuji secara empiris menyatakan bahwa pendapatan mempengaruhi belanja.
Sementara studi tentang pengaruh grants dari Pemerintah Pusat terhadap keputusan
pengeluaran atau Belanja Pemerintah Daerah sudah berjalan lebih dari 30 tahun (Bambang
Prakosa, 2004). Holtz-Eakin, et al (1985) dalam Bambang Prakosa (2004) menyatakan
bahwa terdapat keterkaitan Sangat erat antara transfer dari Pemerintah Pusat dengan Belanja
Pemerintah Daerah.
Berdasarkan penelitian sebelumnya dana perimbangan memiliki pengaruh terhadap belanja
daerah, dimana pengaruh tersebut memiliki pengaruh yang positif.
Berikut beberapa hasil penelitian tentang pengaruh PAD dan
Dana Perimbangan Terhadap Belanja Daerah:
Penelitian Nur Indah Rahmawati
Judul penelitian Nur Indah Rahmawati adalah Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana
Alokasi Umum Terhadap Alokasi Belanja Daerah Di Jawa Tengah.
Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 35 daerah di Jawa Tengah yang bersumber dari
Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari tahun 2007 hingga
2009. Metode pengambilan sampel menggunakan metode sensus dengan mengambil seluruh
populasi. Alat yang digunakan penelitian adalah regresi linier berganda.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa DAU dan PAD mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap alokasi belanja daerah. Jika dilihat lebih lanjut, tingkat ketergantungan
alokasi belanja daerah lebih dominan terhadap PAD daripada DAU.
Penelitian Ronald hariyanto Tahun 2005
Judul penelitian Ronald Hariyanto (2005) adalah Analisis Pengeluaran Pemerintah Daerah Di
Propinsi Jawa Tengah periode 2000-2002.
Hasil Penelitian yaitu :
1. Variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD) (X1), mempunyai koefisien positif sebesar
0.14, yang berarti setiap ada kenaikan jumlah PAD pada masing-masing daerah di
Kota dan Kabupaten se Jawa Tengah sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan tingkat
pengeluaran pemerintah pada masing-masing daerah sebesar 1,4%, dengan asumsi
variabel yang lain tetap (Cateris Paribus).
2. Variabel Dana Perimbangan (X2), mempunyai koefisien positif sebesar 0.9, yang
berarti setiap ada kenaikan jumlah Dana Perimbangan pada masing-masing daerah di
Kota dan Kabupaten se Jawa Tengah sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan tingkat
pengeluaran pemerintah pada masing-masing daerah sebesar 0,9%, dengan asumsi
variabel yang lain tetap (Cateris Paribus).
3. Variabel Jumlah Penduduk (X3), mempunyai koefisien positif sebesar 2.50, yang
berarti setiap ada kenaikan jumlah penduduk pada masing-masing daerah di Kota dan
Kabupaten se Jawa Tengah sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan tingkat
pengeluaran pemerintah pada masing-masing daerah sebesar 2,5%, dengan asumsi
variabel yang lain tetap (Cateris Paribus).
Penelitian Kesit Bambang Prakosa Tahun 2004
Judul penelitian Kesit Bambang adalah Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Prediksi Belanja Daerah, Studi Empirik Di Wilayah
Propinsi Jawa Tengah dan DIY.
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa DAU dan PAD berpengaruh signifikan terhadap
belanja daerah baik dengan maupun tanpa lag. Ketika tidak menggunakan lag, pengaruh PAD
terhadap belanja daerah lebih kuat daripada DAU, tetapi dengan digunakan lag, pengaruh
DAU terhadap belanja daerah justru lebih kuat daripada PAD.
Secara empiris penelitian ini membuktikan bahwa besarnya belanja daerah dipengaruhi oleh
jumlah DAU yang diterima dari pemerintah pusat. Dari hasil penelitaian tersebut,
menunjukan bahwa DAU dan PAD berpengaruh signifikan terhadap belanja daerah. Dalam
model prediksi BJD, daya prediksi DAU terhadap BJD tetap lebih tinggi dibanding daya
prediksi PAD. Hal ini menunjukan telah terjadi flypaper effect.
Penelitian Widiyanto Tahun 2004
Judul penelitian Widiyanto adalah Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Pemerintah Daerah Pada Pemerintah Kabupaten/kota
Di Propinsi DIY dan Jawa Tengah.
Hasil penelitiannya yaitu menunjukan hubungan yang erat antara perubahan DAU dan PAD
terhadap perubahan belanja daerah baik pada saat dilakukan regresi sederhana (dengan atau
tanpa lag) maupun dengan regresi berganda hampir sama pengujian menunjukan hubungan
yang signifikan positif, yang bermakna bahwa apabila terjadi peningkatan pada DAU dan
PAD maka akan diikuti peningkatan pada belanja daerah.
Pada saat hasil dari masing-masing pengujian itu dibandingkan satu sama lain, terlihat bahwa
nilai t-statistik, f-statistik, R,R², dan Adjusted-R² pada masing-masing variabel, DAU
memiliki nilai yang lebih besar daripada PAD, hal ini menunjukan bahwa pengaruh prubahan
besarnya DAU yang diterima oleh pemerintah kab/kota di propinsi DIY dan Jawa Tengah
terhadap besarnya belanja daerah.
Penelitian Purbayu Budi Santosa Tahun 2005
Judul penelitian Purbayu Budi Santosa adalah Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah Di
Kabupaten Kediri
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa PAD sebagai salah satu penerimaan daerah
mencerminkan tingkat kemandirian daerah.
Semakin besar PAD maka menunjukkan bahwa daerah itu mampu melaksanakan
desentralisasi fiskal dan ketergantungan terhadap pemerintah pusat berkurang. PAD diartikan
sebagai penerimaan dari somber-sumber dalam wilayahnya sendiri, yang dipungut
berdasarkan Undang-undang yang berlaku. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi PAD. Faktor-faktor tersebut meliputi :
pengeluaran pembangunan, penduduk dan PDRB. Data yang diamati dalam penelitian ini
adalah datu runtut waktu periode 1989-2002. Model estimasi yang digunakan adalah regresi
berganda yang ditransformasikan ke bentuk logaritma.
Hasil regresi menunjukkan bahwa ternyata variabel Pengeluaran Pembangunan mempunyai
koefisien regresi sebesar 0,398. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi kenalkan Pengeluaran
Pembangunan sebesar 1 persen maka akan meningkatkan PAD sebesar 0,398 person (faktor
lain dianggap konstan). Variabel Penduduk mempunyai koefisien regresi sebesar 8,049. Hal
ini berarti bahwa setiap terJadi kenaikan variabel Penduduk sebesar 1 person maka akan
meningkatkan PAD sebesar 8,049 person (faktor lain dianggap konstan). Variabel PDRB
mempunyai koefisien regresi sebesar 0,573. Hal ini berarti bahwa setiap terJadi kenalkan
PDRB sebesar 1 person make akan meningkatkan PAD sebesar 0,573 person (faktor lain
dianggap konstan).
Sumber:
Argi, (2011). Analisis Belanja Daerah Dan Faktorfaktor Yang Mempengaruhinya Di
Kabupaten Dan Kota Provinsi Jawa Tengah Periode 2004-2009. Skripsi S1, Fakultas
Ekonomika Universitas Diponegoro Tahun 2011+
--- --- --- --Untuk mendapatkan Versi Lengkap dari Penelitian ini, silahkan kunjungi Halaman File
Penelitian Ekonomi.
Definisi dan Klasifikasi Belanja Daerah
Pengeluaran pemerintah daerah berperan untuk
mempertemukan permintaan masyarakat dengan penyediaan
sarana dan prasarana yang tidak dipenuhi oleh swasta.
Sedangkan pengeluaran pemerintah itu sendiri tidak begitu
saja dilaksanakan oleh suatu pemerintah daerah, tapi harus
direncanakan terlebih dahulu.
Pada ketentuan UU No.33 Tahun 2004 telah diatur beberapa aspek yang berkaitan dengan
perimbangan keungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah satu yang
diatur dalam ketentuan ini yaitu permasalahan belanja daerah. Menurut UU No.33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah, belanja daerah dimaksudkan sebagai semua kewajiban daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan.
Download UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah Antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
Rinciannya bisa dibagi dalam dua bentuk yaitu berdasar sifat dan berdasar fungsinya.
Berdasar sifat ekonominya belanja daerah terdiri atas belanja pegawai dan belanja barang,
subsidi, hibah dan bantuan sosial.
Sedangkan berdasar fungsinya belanja daerah terdiri dari belanja untuk pembangunan
perumahan dan fasilitas umum, peningkatan kesehatan, pariwisata, budaya, agama,
pendidikan serta perlindungan sosial.
Pada hakekatnya pengeluaran pemerintah daerah menyangkut dua hal (anggaran line item),
yaitu sebagai berikut :
1.
Pengeluaran rutin, seperti pembiayaan untuk pemeliharaan atau
penyelenggaraan pemerintah sehari-hari. Misalnya untuk belanja pengawai, belanja
barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja lain-lain, Angsuran
pinjaman/hutang dan bunga, bantuan keuangan, pengeluaran tidak termasuk bagian
lain, dan pengeluaran tidak tersangka.
2.
Pengeluaran pembangunan, yaitu pembiayaan untuk pembangunan
daerah sebagai kegiatan pemerintahan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
seperti pembangunan dalam sektor pertanian, industri, perhubungan, pariwisata dan
sektor-sektor yang lain.
Adanya perubahan tentang struktur pengeluaran pemerintah daerah (Kepmendagri Nomor 29
Tahun 2002) diterangkan sebagai berikut :
1.
Belanja aparatur daerah adalah belanja administrasi umum, belanja
operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/yang dialokasikan pada atau digunakan
untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung
dinikmati oleh masyarakat (publik).
2.
Belanja pelayanan publik adalah belanja administrasi umum, belanja
operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/yang dialokasikan pada atau digunakan
untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung
dinikmati oleh masyarakat (publik).
Kemudian perubahan tentang struktur pengeluaran pemerintah daerah (Permendagri Nomor
13 Tahun 2006) dapat diterangkan sebagai berikut:
1.
Belanja tak langsung adalah bagian belanja yang dianggarkan tidak terkait
langsung dengan pelaksanaan program seperti belanja pegawai berupa gaji dan
tunjangan yang telah ditetapkan undang-undang, belanja bunga, belanja hibah, belanja
bantuan sosial, belanja bagi hasil kepada provinsi/kabupaten/kota dan pemerintah
desa, belanja bantuan keuangan dan belanja tak tersangka.
2.
Belanja langsung adalah bagian belanja yang dianggarkan terkait langsung
dengan pelaksanaan program seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta
belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah dan telah
dianggarkan oleh pemerintah daerah.
Sumber:
Argi, (2011). Analisis Belanja Daerah Dan Faktorfaktor Yang Mempengaruhinya Di
Kabupaten Dan Kota Provinsi Jawa Tengah Periode 2004-2009. Skripsi S1, Fakultas
Ekonomika Universitas Diponegoro Tahun 2011
--- --- --- --Untuk mendapatkan Versi Lengkap dari Penelitian ini, silahkan kunjungi Halaman File
Penelitian Ekonomi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah
Penerapan Otonomi Daerah
Kewenangan otonomi daerah adalah keseluruhan kewenangan penyelenggaraaan pemerintahan,
sepertiperencanaan, perizinan, dan pelaksanaan, kecuali kewenangan di bidang-bidang pertahnan
keamanan, peradilan, politik luar negeri, moneter/fiskal dan agama serta kewenangan lainnya yang di
atur oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi. Penyelenggaraan otonomi di tingkat provinsi
meliputi kewenangan-kewenangan lintas kabupaten dan kota dan kewenangan-kewenangan yang
tidak atau belum dilaksanakan daerah otonom kabupaten dan kota, serta kewenangan bidang
pemerintahan lainnya (Safitri, 2009). Ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah
(1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan
kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan mengguanakan keuangannya
sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) Ketergantungan kepada bantuan pusat
harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang
didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Landiyanto,2005).
Dana Perimbangan Keuangan
Halim Abdul & Mujib Ibnu (2009) menjelaskan, Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 mengatur
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yaitu berupa system
keuangan daerah yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab antar
tingkat pemerintahan sesuai dengan pengaturan UU tentang Pemerintahan Daerah. UU Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah meliputi ruang lingkup pengaturan dari :
1. Prinsip-prinsip pembiayaan fungsi pemerintahan di Daerah.
2. Sumber-sumber pembiayaan fungsi dan tugas tanggung jawab Daerah yang meliputi.
a. Pendapata Asli Daerah
b. Dana Perimbangan
c. Pinjaman
d. Pembiayaan pelaksanaan asa dekonsentrasi bagi provinsi
3. Pengelolaan dan Pertangungjawaban kauangan daerah
4. Sistem informasi keuangan daerah.
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah Pasal 27 Jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 26%
(dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang di tetapkan dalam APBN. DAU
untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah
kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 28, yang
dimaksud Kebutuhan fiskal daerah adalah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk
melaksanakan fungsi layanan dasar umum, sedangan yang di maksud Kapasitas Fiskal Daerah adalah
merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil.
A. Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang di bagihasilkan kepada
daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Pengaturan DBH dalam Undang-undang ini
merupakan penyelarasan dengan Undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali di ubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.
Dalam Undang-undang ini di muat pengaturan mengenai Bagi Hasil Penerimaan Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sector
pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2003
tentang Panas Bumi, Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk bagian dan DAK, dialihkan
menjadi DBH.
B. Dana Alokasi Umum (DAU)
DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk
mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah, DAU suatu daerah ditentukan atas besar
kecilnya celah fiscal (fiscal gab) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal
need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Dalam Undang-Undang ini di tegaskan kembali mengenai
formula celah fiscal dan penambahan variable DAU. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya
besar tetapi kebutuhan fiscal kecil akan memperoleh aloksi DAU relative kecil. Sebaliknya, Daerah
yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiscal besar akan memperoleh alokasi DAU relative
besar. Secara implicit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kepasitas
fiscal.
C. Dana Alokasi Khusus (DAK)
DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus didaerah tertentu yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Prasarana pelayanan dasar
masyrakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan
Daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sumber Pendapatan Asli Daerah berasal dari : Pajak Daerah, Retribusi daerah, Hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Sedangkan Dana
Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus
(Safitri,2009).
A. Pajak Daerah
Prakosa (2003) Menjelaskan bahwa Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh oran
gpribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan pembanguna daerah. Berdasarkan UU No 34 Tahun 2000,
Pajak Daerah Kota / Kabupaten terdiri dari :
1. Pajak Hotel;
2. Pajak Restoran;
3. Pajak Hiburan;
4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
7. Pajak Parkir.
B. Retribusi Daerah
Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu
yang khusus di sediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan, sehingga bisa disimpulkan bahwa retribusi daerah adalah retribusi yang dipungut
daerah karena adanya suatu balas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah pemungut retribusi.
(Prakosa,2005). Retribusi daerah terdiri atas 3 golongan, yaitu:
1. Retribusi Jasa Umum, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah
daerah (pemda) untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang
pribadi atau badan;
2. Retribusi Jasa Usaha, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemda dengan menganut
prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta
3. Retribusi Perizinan Tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentupemda dalam rangka pemberian
izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan,
pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam,
barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan.
Produk Domestik Bruto (PDB)
Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu indicator makro ekonomi yang pada umumnya
digunakan untuk mengukur kineja ekonomi di suatu negara. Sedangkan untuk tingkat wilayah,
Propinsi maupun Kabupaten/Kota, digunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Secara teori
dapat dijelaskan bahwa PDRB merupakan bagian dari PDB, sehingga dengan demikian perubahan
yang terjadi di tingkat regional akan berpengaruh terhadap PDB atau sebaliknya. Total nilai barang
dan jasa yang diproduksi di wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu (satu tahun) dihitung
sebagai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (Haryanto,2004).
Belanja Daerah
Berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, Belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang
terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang
tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar
pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja
penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk
peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak
serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat
diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Permendagri No. 13
Tahun 2006 Pasal 31 ayat (1) terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. Yang
termasuk urusan wajib adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan
b. Kesehatan
c. Pekerjaan umum
d. Perumahan rakyat
e. Penataan ruang
f. Perencanaan pembangunan
g. Perhubungan
h. Lingkungan hidup
i. Pertanahan
j. Kependudukan dan catatan sipil
k. Pemberdayaan perempuan
l. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera
m. Sosial
n. Tenaga kerja
o. Koperasi dan usaha kecil dan menengah
p. Penanaman modal
q. Kebudayaan
r. Pemuda dan olah raga
s. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri
t. Pemerintahan umum
u. Kepegawaian
v. Pemberdayaan masyarakat dan desa
w. Statistik
x. Arsip
y. Komunikasi dan informatika
Sedangkan yang termasuk dengan urusan pilihan adalah sebagai berikut :
a. Pertanian
b. Kehutanan
c. Pariwisata
d. Kelautan dan perikanan
e. Perdagangan
f. Perindustrian
g. Transmigrasi.
Belanja menurut urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang
dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan
ketentuan perundang-undangan dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan yang dikiasifikasikan
menurut urusan wajib dan urusan pilihan. Untuk Klasifikasi belanja menurut fungsi yang digunakan
untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari :
a. Pelayanan umum
b. Ketertiban dan ketentraman
c. Ekonomi
d. Lingkungan hidup
e. Perumahan dan fasilitas umum
f. Kesehatan
g. Pariwisata dan budaya
h. Pendidikan
i. Perlindungan sosial
Belanja menurut kelompok belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) Permendagri No.
13 Tahun 2006 terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak
langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan
program.
Belanja Tidak Langsung, meliputi:
a. Belanja Pegawai
Belanja pegawai merupakan belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan
lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan
b. Belanja Bunga
Belanja bunga digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang yang dihitung atas
kewajiban pokok utang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek,
jangka menengah dan jangka panjang.
c. Belanja Subsidi
Belanja subsidi digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya produksi kepada
perusahaan/lembaga tertentu agar harga jual produksi/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh
masyarakat banyak.
d. Belanja Hibah
Belanja hibah digunakan untukmenganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang
dan/atau jasa kepadapemerintah atau pemerintah daerah lainnya, dan kelompok masyarakat/
peroranganyang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya.
e. Bantuan Sosial
Bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau
barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
f. Belanja Bagi Hasil
Belanja bagi hasil digunakan untuk menganggarkan dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan
provinsi kepada kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota kepada pemerintah desa atau
pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah Iainnya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
g. Bantuan Keuangan
Bantuan keuangan digunakan untuk menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau
khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah
Iainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah daerah
Iainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan.
h. Belanja tidak terduga
Belanja tidak terduga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf h merupakan belanja untuk
kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana
alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan
penerimaan daerah tahuntahun sebelumnya yang telah ditutup.
Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan.
Belanja Langsung, meliputi:
a. Belanja Pegawai
Belanja pegawai untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan
pemerintahan daerah,
b. Belanja Modal
Belanja modal untukpengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau
pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan
untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin,
gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.
c. Belanja Barang dan Jasa
Belanja barang dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b digunakan untuk
pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (duabelas) bulan
dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah.
Santosa dan Rahayu (2005) membuktikan bahwa, Pendapatan Asli Daerah di pengaruhi oleh
Pengeluaran Pemerintah, PDRB dan Jumlah Penduduk. Pengeluaran Pemerintah, PDRB dan Jumlah
Penduduk merupakan hubungan fungsional.
a. Hubungan PAD dan Pengeluaran Pemerintah
Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan program yang memerlukan keterlibatan segenap
unsure satu lapisan masyarakat. Peran pemerintah dalam pembangunan adalah sebagai katalisator
dan fasilitator tentu membutuhkan berbagai sarana dan fasilitas pendukung, termasuk anggaran
belanja dalam rangka terlaksananya pembangunan yang berkesinambungan. Pengeluaran tersebut
sebagian digunakan untuk administrasi pembangunan dan segaian lain untuk kegiatan pembangunan
di berbagai jenis infrastruktur yang penting. Perbelanjaan-perbelanjaan tersebut akan meningkatkan
pengeluaran agregat dan mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi.
b. Hubungan PAD dan Jumlah Penduduk
Adam Smith (dikutip oleh Santosa dan Rahayu, 2005) Menjelaskan bahwa, dengan didukung bukti
empiris, pertumbuhan penduduk tinggi akan dapat menaikkan output melalui penambahan tingkat
dan ekspansi pasar baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Santosa dan Rahayu (2005)
mengatakan, penambahan penduduk tinggi yang diiringi dengan perubahan teknologi akan
mendorong tabungan dan juga penggunaan skala ekonomi di dalam produksi. Penambahan
penduduk merupakan satu hal yang dibutuhkan dan bukan suatu masalah, melainkan sebagai unsur
panting yang dapat memacu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Besarnya pendapatan dapat
mempengaruhi penduduk. Jika jtunlah penduduk meningkat mica pendapatan yang dapat ditarik jugs
meningkat.
c. Hubungan PAD dan PDRB
Santosa dan Rahayu (2005) Mengatakan Hubungan antara PAD dengan PDRB merupakan hubungan
fungsional, karena PDRB merupakan fungsi dari PAD. Dengan meningkatnya PDRB maka akan
menambah penerimaan pemerintah daerah untuk membiayai program-program pembangunan.
Selanjutnya akan mendorong peningkatan pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat yang
diharapkan akan dapat meningkatkan produktivitasnya.
Hubungan PDRB terhadap Belanja Daerah
Pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan produk domestik regional bruto adalah semua
penerimaan daerah dalam bentuk peningkatan aktiva atau penurunan utang dari berbagai sumber
dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Secara tradisional, pertumbuhan ekonomi
ditujukan untuk peningkatan yang berkelanjutan Produk Domestik Regional Daerah / PDRB (Kuncoro,
2004).
desentralisasi
memberikan dampak yang sangat berarti bagi pertumbuhan
ekonomi daerah yang membuktikan adanya hubungan yang
positif dan signifikan antara desentralisasi fiskal dengan
pertumbuhan ekonomi. Hasil ini mendukung sintesa yang menyatakan bahwa
Hasil penelitian yang dilakukan (Lin dan Liu, 2000) menunjukkan
pemberian otonomi yang lebih besar akan memberikan dampak yang lebih besar bagi pertumbuhan
ekonomi (Oates,1995). Hal inilah yang mendorong daerah untuk mengalokasikan secara lebih efisien
berbagai potensi lokal untuk kepentingan pelayanan publik.
Secara teori, semakin besar Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), maka akan semakin besar pula pendapatan yang
diterima oleh kabupaten / kota. Dengan semakin besar
pendapatan yang diperoleh daerah, maka pengalokasian
belanja oleh pemerintah pusat akan lebih besar untuk
meningkatkan berbagai potensi lokal di daerah tersebut
untuk kepentingan pelayanan publik. (Lin dan Liu, 2000; Mardiasmo, 2002;
Wong,2004).
Sumber:
Prakoso, (2011). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Daerah. Skripsi S1, Program Sarjana Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Tahun 2011
Pengertian Belanja Daerah
Berdasarkan Undang-undang No. 32 tahun 2004 dan aturan
pelaksanaannya, struktur APBD terdiri dari pendapatan,
belanja, transfer dan pembiayaan yang masing-masing secara
tegas harus dicantumkan bersamaan dengan jumlah
anggarannya dan realisasi anggaran periode sebelumnya.
Belanja Daerah dikelompokkan menjadi dalam dua jenis yaitu Belanja tidak langsung dan
belanja langsung. Belanja tidak langsung meliputi belanja pegawai, belanja bunga, belanja
subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil kepada propinsi/kabupaten
dan pemerintah desa, belanja bantuan keuangan kepada propinsi/kabupaten dan pemerintah
desa, belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung meliputi belanja pegawai, belanja
barang dan jasa, belanja modal (Badan Pusat Statistik,2010).
Dalam Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 disebutkan bahwa belanja modal adalah
pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian / pengadaan aset tetap dan aset lainnya
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan,
jaringan, buku perpustakaan dan hewan.
Sedangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 belanja
modal
didefinisikan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan,
seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan
jaringan, dan asset tetap lainnya (Subiyanto dan Halim, 2008).
Belanja menurut basis kas diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari rekening kas umum
negara/daerah atau entitas pelaporan. Khusus pengeluaran melalui bendahara pengeluaran
pengakuannya terjadi pada saat pertanggungjawaban atas pengeluaran tersebut disahkan oleh
unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan (Kawedar dkk., 2008).
Download:
UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Full Penjelasan);
UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Pembagian Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah;
PP Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Sumber:
Prakoso, (2011). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Daerah. Skripsi S1, Program
Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Tahun 2011
--- --- --- --Untuk mendapatkan Versi Lengkap dari Penelitian ini, silahkan kunjungi Halaman File
Penelitian Ekonomi.
Hubungan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah
Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah
yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Dengan ditambahnya
infrastruktur dan perbaikan infrastruktur yang ada oleh pemerintah daerah, diharapkan akan
memacu pertumbuhan perekonomian di daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah akan
merangsang meningkatnya pendapatan penduduk di daerah yang bersangkutan, seiring
dengan meningkatnya pendapatan asli daerah. Semakin besar dana Pendapatan Asli Daerah
berarti semakin besar belanja daerah yang dilakukan pemerintah daerah untuk pembangunan
di daerahnya masing-masing.
Adapun jenis pajak kabupaten/kota menurut undang-undang nomor 34 tahun 2000, tentang
perubahan Undang-Undang nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah
pasal 2 ayat (2) terdiri dari: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak
penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C dan pajak
parkir.
Pajak daerah sebagai salah satu komponen Pendapatan Asli Daerah memiliki prospek yang
sangat baik untuk dikembangkan. Oleh sebab itu pajak daerah harus dikelola secara
professional dan transparan dalam rangka optimalisasi dan usaha meningkatkan
kontribusinya terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah melalui intensifikasi
pemungutannya dan ektensifikasi subyek dan obyek pajak daerah.kontribusi pajak daerah
terhadap Pendapatan Asli Daerah sangat besar.
Semakin besar Pendapatan Asli Daerah maka belanja daerah
juga semakin besar, jika Pendapatan Asli Daerah rendah
maka belanja daerah juga akan rendah (Halim,Abdul 2001).
Download:
UU Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah
Sumber:
Prakoso, (2011). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Daerah. Skripsi S1, Program
Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Tahun 2011
Konsepsi Pengeluaran Pemerintah (Belanja Pelayanan Publik)
Mangkoesoebroto (1997) menegaskan bahwa pengeluaran
pemerintah mencerminkan pilihan kebijakan pemerintah.
Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk
membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah
mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah
untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
Teori pengeluaran pemerintah dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu teori makro
pengeluaran peemerintah yang menjelaskan pola waktu pengeluaran pemerintah dengan
variabel agregat, seperti produk domestik bruto, tingkat inflasi dan teori mikro pengeluaran
pemerintah yang menjelaskan dasar mikro ekonomi proses keputusan yang meningkatkan
pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 1997). Ada tiga model teori makro mengenai
perkembangan pengeluaran pemerintah, yaitu model pembangunan tentang perkembangan
pengeluaran pemerintah, hukum Wagner mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah,
hukum Wagner mengenai perkembangan aktivitas pemerintah dan teori Peacock & Wiseman
sebagai berikut:
1. Model Pembangunan Perkembangan Pengeluaran
Pemerintah
Model perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi
dibedakan menjadi tahap awal, menengah dan lanjut. Pada tahap awal pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi, investor sektor publik menyediakan infrastruktur sosial seperti :
jalan, belanja bidang kesehatan dan belanja bidang pendidikan, yang mendorong ekonomi ke
tahap menengah. Dalam tahap menengah, investasi publik diikuti dengan pertumbuhan
investasi swasta. Kegagalan pasar terjadi di semua tahap, sehingga keterlibatan pemerintah
terus meningkat untuk mengatasi kegagalan tersebut.
Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam
persentasei terhadap Gross National Product (GNP) atau Produk Domestik Bruto (PDB)
semakin besar dan prosentase pemerintah semakin kecil. Menurut Rostow, pada tahap lebih
lanjut, aktivitas pemerintah beralih dari pengeluaran infrastruktur untuk penyediaan prasarana
ke pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program pendidikan, program kesejahteraan hari
tua, pelayanan kesehatan masyarakat dan sebagainya. Pendapat Magrave dan Rostow
menjelaskan perubahan pengeluaran pemerintah dan variasi pelayanan publik dalam siklus
pembangunan.
2. Hukum Wagner
Hukum Wagner menjelaskan mengenai bagian Produk Domestik Regional Bruto yang
diambil sektor publik. Hukum ini terkait dengan pertumbuhan ukuran relatif sektor publik,
yaitu jika pendapatan perkapita dalam ekonomi bertambah, maka ukuran sektor publik juga
bertambah. Pernyataan Wagner tersebut bersifat empiris berdasarkan hasil pengamatan
pertumbuhan sektor publik di sejumlah negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang pada abad
ke-19, yang menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi rasio pengeluaran publik
terhadap PDB adalah faktor politik dan ekonomi. Menurut Wagner, ketika ekonomi menjadi
industri, hubungan antar pasar dan agen dalam pasar semakin kompleks yang memerukan
peraturan perdagangan dan sistem kehakiman untuk mengaturnya. Eksternalitas akibat
urbanisasi membutuhkan intervensi dan peraturan sektor publik.
Dalam pertumbuhan pengeluaran publik untuk pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat, dijelaskan Wagner berdasarkan elastisitas pendapatan permintaan, bahwa dalam
suatu perekonomian, apabila pendapatan riil per kapita naik, maka pengeluaran publik
meningkat terhadap layanan tersebut dan akan meningkatkan rasio pengeluaran pemerintah
terhadap Produk Domestik Bruto. Model Wagner tidak mengandung teori pilihan publik,
tetapi menggunakan teori negara organik yaitu negara dianggap individu dan pembuat
keputusan secara independen dari anggota masyarakat.
3. Teori Peacock dan Wiseman
Studi Peacock dan Wiseman merupakan analisis “pola waktu” pengeluaran publik. Dasar
analisisnya adalah teori politik penentuan pengeluaran publik, yaitu pemerintah senang
mengeluarkan banyak uang, rakyat tidak suka bayar pajak, dan pemerintah harus
memperhatikan keinginan rakyat.
Peacock dan Wiseman mengemukakan teori yang didasarkan pada pandangan masyarakat
bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran, sedangkan
masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar tersebut. Masyarakat mempunyai
suatu toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya
pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai aktivitas pemerintah. Jadi
masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas
pemerintah, sehingga mereka mempunyai suatu tingkat kesediaan masyarakat untuk
membayar pajak. Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah bahwa perkembangan ekonomi
menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat, walaupun tarif pajak tidak
berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga
semakin meningkat. Oleh karena itu dalam keadaan normal, meningkatnya PDB
menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dalam pengeluaran
pemerintah.
Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka
pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Oleh sebab itu,
penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkatkan
penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak, sehingga dana swasta untuk
investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan tersebut disebut efek pengalihan
(displacement effect) yaitu bahwa adanya suatu gangguan sosial akan menyebabkan aktivitas
swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Selain itu, banyaknya aktivitas pemerintah yang
baru kelihatan setelah terjadinya perang disebut dengan efek inspeksi (inspection effect). Di
samping itu, adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan
ke tangan pemerintah yang sebelumnya dilaksanakan oleh swasta (concentration effect).
Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan bertambahnya aktivitas pemerintah sehingga
setelah perang selesai tingkat pajak tidak turun kembali pada tingkat sebelum terjadinya
perang.
Hipotesis yang dikemukakan oleh Peacock dan Wiseman mendapat kritikan dari Bird yang
menyatakan bahwa selama terjadinya gangguan sosial memang terjadi pengalihan aktivitas
pemerintah dari pengeluaran sebelum gangguan ke aktivitas yang berhubungan dengan
gangguan tersebut. Hal ini menyebabkan kenaikan pengeluaran pemerintah dalam
persentasenya terhadap PDB. Akan tetapi, setelah terjadinya gangguan persentase
pengeluaran pemerintah terhadap PDB perlahan-ahan akan menurun kembali pada tingkat
sebelum terjadinya gangguan. Jadi menurut Bird, efek pengalihan hanya gejala dalam jangka
pendek dan tidak terjadi dalam jangka panjang.
Ketiga model teori makro pengeluaran pemerintah tersebut tidak dapat menjelaskan proses
pengeluaran pemerintah secara rinci sebagaimana teori mikro pengeluaran pemerintah yang
bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menimbulkan permintaan akan barang
pemerintah (barang yang disediakan oleh pemerintah) dan menganalisis pengaruh faktorfaktor tersebut atas tersedianya barang pemerintah. Interaksi antara permintaan dan
penawaran untuk barang pemerintah menentukan jumlah barang pemerintah yang akan
disediakan melalui anggaran belanja, dan ini akan menimbulkan permintaan akan barang lain.
Jadi, perkembangan pengeluaran pemerintah dapat dijelaskan dengan beberapa faktor yaitu :
perubahan permintaan akan barang publik, perubahan dari aktivitas pemerintah dalam
menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang
digunakan dalam proses produksi, perubahan kualitas barang publik dan perubahan harga
faktor-faktor produksi.
Soeparmoko (1987) mengklasifikasikan pengeluaran
pemerintah menjadi lima jenis yaitu :
1. Pengeluaran yang self liquiditing sebagian atau seluruhnya, artinya pengeluaran
pemerintah mendapatkan pembayaran kembali dari masyarakat yang menerima jasa
atau barang bersangkutan, misalnya pengeluaran untuk jasa perusahaan.
2. Pengeluaran yang produktif, artinya mewujudkan keuntungan-keuntungan ekonomis
bagi masyarakat, yang berpengaruh positif terhadap penerimaan pemerintah, misalnya
pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan.
3. Pengeluaran yang tidak self liquiditing maupun yang tidak reproduktif, yaitu
pengeluaran yang langsung menambah kegembiraan dan kesejahteraan masyarakat,
misalnya obyek pariwisata.
4. Pengeluaran yang secara tidak langsung tidak produktif dan merupakan pemborosan
misalnya untuk pembiayaan pertahanan/perang meskipun saat pengeluaran terjadi
penghasilan perorangannya akan naik.
5. Pengeluaran yang merupakan penghematan di masa yang akan datang, misalnya
pengeluaran untuk anak yatim piatu. Jika hal ini tidak dijalankan sekarang, maka
kebutuhan pemeliharaan tersebut akan menjadi lebih besar di masa yang akan datang.
Sumber:
Prakoso, (2011). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Daerah. Skripsi S1, Program
Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Tahun 2011
--- --- --- --Untuk mendapatkan Versi Lengkap dari Penelitian ini, silahkan kunjungi Halaman File
Penelitian Ekonomi.
No comments :
Email This BlogThis! Share to Twitter Share to Facebook
Labels: Belanja Daerah , Hukum Wagner , Pelayanan Publik , Pengeluaran Pemerintah , Teori
Peacock dan Wiseman , Tinjauan Teori
Older Posts Home
Subscribe to: Posts ( Atom )