LAPORAN PKM YANG BENAR setelah di edit

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Masalah korosi merupakan suatu masalah yang tidak asing lagi dalam
kehidupan sehari-hari. Masalah korosi yang terjadi hampir pada semua logam
menjadi beban dalam kehidupan manusia, antara lain korosi menimbulkan
kerugian secara ekonomi, memboroskan sumber daya alam, tidak nyaman bagi
manusia, dan kadang-kadang dapat mendatangkan maut. Suatu kasus nyata, empat
orang tewas dan lima terluka parah di sebuah proyek pembangkit listrik di Inggris
ketika tali kerekan lift yang mereka tumpangi putus pada bagian yang terkena
korosi. Roda gigi penyelamat gagal beroperasi akibat korosi dan lift jatuh dari
ketinggian 30 meter lebih (Tretheawey, K.R., Chamberline, J., 1991).
Permasalahan korosi pada logam juga merupakan penyebab merosotnya
perekonomian dunia. Perkiraan jumlah kerugian yang disebabkan oleh
permasalahan korosi pada negara-negara industri seperti Amerika dan Inggris
mencapai 5% (William, D. Callister. Jr., 2003). Di Indonesia, tepatnya Laut Bali,
telah tenggelam sebuah kapal layar Rahmadani yang mengangkut 7000 karung
batu apung dan sejumlah barang lainnya dan 6 orang awak kapal, dimana

peristiwa tersebut mengakibatkan hilangnya Nahkoda Fabilloi. Terjadinya tragedi
tersebut disebabkan karena bagian dasar kapal yang bocor karena proses korosi
(Harian Nusa, Jumat 25 Juni 2004).
Oleh karena besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh peristiwa korosi ini,
maka dikembangkan berbagai cara dan metode untuk menanggulanginya. Ada
beberapa cara pencegahan korosi yang penggunaannya disesuaikan dengan jenis
peralatan, tempat, serta jenis lingkungannya. Pencegahan korosi dapat dilakukan
dengan berbagai cara, yaitu: perbaikan lingkungan yang korosif; netralisasi bahan
atau zat koroden; perlindungan permukaan dengan cara pelapisan dengan cat,
pelapisan anorganik, pelapisan dengan metal coating, lining overlay, cladding dan
pembalutan; prinsip penggunaan bahan yang tahan terhadap jenis karat tertentu;
perlindungan katodik dan perlindungan anodik; dan penggunaan zat pelambat
karat (Widharto, 1999).

2

Penelitian telah dilakukan mengenai penanggulangan korosi pada besi
beton dalam larutan NaCl 3,70% dengan metode perlindungan katodik
menggunakan elektroda korban Magnesium (Rahmanto, C.W., 2000).


Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa laju korosi rata-rata besi beton yang
dilindungi oleh elektrode Magnesium tanpa pembungkus adalah 7,3147 mmpt,
dan yang dilindungi oleh elektrode dengan pembungkus (pasir dan semen) adalah
4,0015 mmpt. Sedangkan laju korosi besi beton tanpa perlindungan (kontrol)
adalah 16,1053 mmpt. Penelitian tersebut tidak memperhitungkan kondisi
lingkungan seperti temperatur dan derajat keasamannya (pH). Sedangkan dalam
setiap perubahan kimia (reaksi kimia) sangat dipengaruhi oleh temperatur dan pH.
Ada suatu kecenderungan bahwa pada besi beton yang disimpan pada tempat yang
berbeda temperaturnya memiliki laju korosi yang berbeda, dimana pada tempat
yang temperaturnya tinggi lebih cepat terkorosi (Sri Widharto, 1999).
Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh
temperatur terhadap laju korosi besi beton yang dilindungi secara katodik
menggunakan elektrode korban Magnesium penting dilakukan. Dengan
menitikberatkan pada kepentingan aplikasi, pemilihan beberapa temperatur
penelitian dikaitkan dengan realitas penggunaan material besi dalam kehidupan
masyarakat, yaitu: pada temperatur lingkungan / biasa, daerah dataran rendah,
dataran beriklim panas, dan kemungkinan tertinggi temperatur lingkungan.
1.2 Identifikasi Masalah

Korosi merupakan reaksi kimia yang terjadi pada sejumlah logam ataupun
logam campuran pada kondisi yang tidak sesuai dan dapat menyebabkan
terjadinya penipisan, pengikisan, kerusakan ataupun lubang-lubang pada logam
tersebut (Treatheawey, K.R., Chamberline, J., 1991). Beberapa logam, mudah
mengalami korosi dengan kecenderungan yang berbeda-beda.

Faktor yang

mempengaruhi adanya korosi yaitu temperatur, kelembaban udara, tekanan,
pengaruh erosi dan kecepatan lainnya, radiasi, kondisi permukaan logam, kontak
dengan beberapa zat kimia, dan tegangan.
Metode perlindungan katodik dengan pengorbanan elektrode banyak
dilakukan karena secara praktis mudah dilakukan yang menggunakan prinsip karat
galvanis. Biasanya logam yang dikorbankan adalah logam Seng, Aluminium, dan

3

Magnesium. Di antara ketiga elektrode tersebut Magnesium memiliki potensial
reduksi yang paling rendah jika dibandingkan dengan besi beton.
Temperatur lingkungan korosif sangat berpengaruh terhadap laju korosi.

Penelitian mengenai perlindungan besi beton dengan elektrode korban magnesium
telah diteliti, namun belum memperhatikan temperatur lingkungan. Oleh karena
itu, penelitian mengenai pengaruh laju korosi perlu dilakukan dalam
mengefektifkan pencegahan korosi besi beton.
1.3 Perumusan Masalah
Permasalahan pada penelitian ini yaitu :
1. Berapakah laju korosi besi beton yang terlindungi dan yang tidak terlindungi
oleh elektrode korban Magnesium pada temperatur 25 0C, 300C, 350C, dan
400C di lingkungan yang korosif larutan NaCl 3,70%?
2. Bagaimana pengaruh temperatur terhadap laju korosi pada besi beton yang
terlindungi

secara

katodik

dengan

menggunakan


elektrode

korban

Magnesium?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menentukan laju korosi besi beton yang terlindungi dan yang tidak terlindungi
oleh elektrode korban Magnesium yang ditempatkan dalam medium korosif
larutan NaCl 3,70% pada temperatur 250C, 300C, 350C, dan 400C.
2. Mengkaji bagaimana pengaruh temperatur terhadap laju korosi besi beton
yang terlindungi secara perlindungan katodik dengan menggunakan elektrode
korban Magnesium.
1.5 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pihak antara lain
sebagai berikut:
1.

Bagi disiplin ilmu kimia, dapat memberikan kontribusi bagi ilmu kimia
tentang pengaruh temperatur terhadap laju korosi serta dapat dijadikan

referensi bagi penelitian selanjutnya.

4

2.

Bagi masyarakat, dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam mencegah
terjadinya korosi pada besi beton dengan memanfaatkan perlindungan
katodik elektrode korban Magnesium pada temperatur tertentu.

5

BAB II
METODE PENDEKATAN

2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Korosi
Korosi dalam masyarakat luas sering disebut sebagai karat, yaitu sesuatu
yang mengotori logam-logam tertentu seperti besi. Karat (rust) adalah sebutan
yang belakangan ini hanya dikhususkan bagi korosi pada besi, sedangkan korosi

adalah gejala destruktif yang mempengaruhi hampir semua logam. Korosi
merupakan reaksi kimia yang terjadi pada sejumlah logam ataupun logam
campuran pada kondisi yang tidak sesuai dan dapat menyebabkan terjadinya
penipisan, pengikisan, kerusakan ataupun lubang-lubang pada logam tersebut
(Treatheawey, K.R., Chamberline, J., 1991).
Korosi dapat disebabkan oleh suatu kejadian yang dapat bersifat kimia dan
elektrokimia. Korosi kimiawi terjadi akibat pengaruh zat kimia korosif seperti
larutan asam, larutan alkali, dan garam. Korosi elektrokimia berdasarkan atas
penguraian logam oleh arus Galvanis. Korosi dapat pula disebabkan oleh
kombinasi sejumlah faktor seperti temperatur, kelembaban udara, udara terbuka,
kikisan, tekanan, ataupun karena kontak dengan beberapa zat kimia.
Kerusakan akibat korosi dapat berupa takik-takik atau sumur-sumur kecil
yang merata di permukaan logam, terbentuknya karat (selaput tipis kerak),
terbentuknya kerak tebal berlapis-lapis, berupa penipisan yang merata, pelapukan
atau pelunakan logam, keropos dan retak (Sri Widharto, 1999).
2.1.2 Jenis-Jenis Korosi
Reaksi korosi dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, secara umum
berdasarkan peristiwanya dikenal dua macam korosi yaitu, korosi penggabungan
langsung logam atau ion logam dengan unsur-unsur bukan logam, dan korosi
penggabungan tak langsung atau reaksi pelarutan logam (biasanya di lingkungan

berair) lalu bergabung dengan unsur bukan logam membentuk produk korosi.
Reaksi langsung disebut juga korosi kering, seperti oksidasi langsung di udara,
reaksi dengan uap belerang, hidrogen sulfida, dan kandungan udara kering
lainnya. Reaksi penggantian (reaksi tak langsung) disebut juga korosi basah,

6

dimana sel korosinya terdiri atas anoda dan katoda yang saling berhubungan
dalam suatu elektrolit.
Beberapa jenis korosi berdasarkan proses terjadinya dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, korosi dapat digolongkan sebagai berikut:
1) Jenis korosi yang terjadi melelui proses elektrokimia antara lain: korosi
atmosfir, korosi galvanis (galvanic corrosion), korosi air laut, korosi tanah,
dan lain-lain.
2) Jenis korosi yang terjadi melalui proses kimia antara lain: korosi pelarutan
selektif (selective leaching corrosion), korosi merkuri, korosi asam, korosi
titik embun, grafitisasi, dan lain-lain.
3) Jenis korosi yang terjadi melalui proses kombinasi elektrokimia, kimia dan
fisik antara lain: korosi tegangan (stress corrsion), korosi erosi (erosion
corrosion), dan lain-lain.

4) Jenis korosi yang terjadi akibat mekanis antara lain: korosi gesekan, korosi
serangan tumbukan partikel, kavitasi, erosi atau abrasi, dan lain-lain.
5) Jenis korosi yang terjadi pada temperatur tinggi antara lain: korosi
oksidasi, korosi logam cair, dan lain-lain.
6) Jenis korosi yang disebabkan oleh faktor biologis yakni korosi yang
disebabkan oleh bakteri pereduksi sulfat, dan lain-lain.
7) Jenis korosi yang terjadi di batas kristal logam, yakni intergranuler
corrosion, interdentritic corrosion, cervice corrosion, pitting corrosion,
dan lain-lain.
8) Kerusakan logam lainnya yang diakibatkan oleh pencemaran zat kimia
sewaktu dioperasikan dalam kondisi lingkungan yang kaya dengan zat
pencemar tertentu, misalnya hidrogen, sulfur, dan lain-lain (Sri Widharto,
1999, William J. Callister Jr., 2003).
2.1.3 Korosi Galvanis (Galvanic Corrosion)
Korosi Galvanis merupakan proses pengkaratan elektrokimiawi yang
terjadi apabila dua macam logam yang berbeda potensialnya dihubungkan
langsung di dalam elektrolit yang sama. Korosi ini sering disebut juga korosi
logam tak sejenis, yang terdiri dari dua logam yang tidak sejenis saling
bersentuhan atau tergandeng membentuk sebuah sel korosi basah sederhana,


7

dimana sel korosi ini melibatkan reaksi-reaksi pada katoda dan anoda. Sel korosi
ini tidak terjadi apabila kedua logam yang berbeda tersebut tidak berhubungan
langsung walaupun keduanya berada pada elektrolit yang sama (Sri Widharto,
1999).
Setiap logam mempunyai potensial yang disebut potensial oksidasi atau
potensial reduksi. Logam yang lebih mulia memiliki potensial oksidasi yang lebih
negatif atau potensial reduksi yang lebih positif. Harga potensial ini dapat berubah
akibat pengaruh perubahan temperatur, perubahan konsentrasi zat-zat terlarut,
kondisi permukaan elektroda, kotoran atau sampah elektroda, dan lain-lain,
sehingga harga potensial oksidasi maupun harga potensial reduksi tidak selalu
menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Secara kuantitatif dalam penulisannya,
potensial oksidasi dan potensial reduksi memiliki besar yang sama namun berbeda
tanda, misalnya potensial reduksi aluminium adalah –1,66 Volt dan potensial
oksidasinya adalah +1,66 Volt (M. G., Fontana and R. W., Stachle., 1980, Sri
Widharto, 1999).
Perbedaan

potensial


yang

dimiliki

oleh

masing-masing

logam

menyebabkan ada logam yang bersifat lebih katodis dan ada yang bersifat lebih
anodis. Logam yang mempunyai harga potensial oksidasi negatif atau harga
potensial reduksinya positif umumnya lebih bersifat katodis, sedangkan logamlogam dengan harga potensial oksidasi positif atau potensial reduksinya negatif
cenderung bersifat anodis.
Pada korosi galvanis, elektron mengalir dari logam yang kurang mulia
(anodik) menuju logam yang lebih mulia (katodik). Akibatnya logam yang kurang
mulia berubah menjadi ion-ion positif karena melepaskan elektron. Ion-ion ini
mungkin tetap tinggal dalam larutan atau bereaksi membentuk hasil korosi yang
tidak larut. Karena peristiwa tersebut, permukaan anoda kehilangan logam
sehingga terbentuk sumur-sumur korosi atau jika merata disebut serangan korosi
permukaan atau uniform attack corrosion (Sri Widharto, 1999).
Salah satu contoh peristiwa korosi galvanis adalah korosi pada mangkuk
seng baterai. Baterai terdiri dari elektroda yang terbuat dari karbon dan mangkuk
yang terbuat dari seng. Kedua elektroda tersebut dipisahkan oleh elektrolit yang

8

terdiri dari larutan amonium klorida (NH4Cl) seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.1. Bila kedua elektroda dihubungkan melalui sebuah bola lampu, maka
terjadi arus mengalir dari katoda (karbon) menuju anoda (seng) sehingga bola
lampu menyala. Pada mangkuk seng terjadi reaksi oksidasi:
Zn2+

Anoda : Zn

+

2e-

(oksidasi)

Sedangkan pada elektroda karbon terjadi reaksi reduksi:
Katoda: 2H+ + 2e-

H2(g)

(reduksi)

Akibat oksidasi tersebut, logam seng diubah menjadi ion yan terhidrasi
Zn2+.nH2O, sehingga seng kehilangan berat dengan kata lain berkarat (Mars G.
Fountana, 1987, Sri Widharto, 1999).
Peristiwa korosi galvanis tanpa disengaja telah banyak menimbulkan
kerusakan pada berbagai benda dan peralatan yang terbuat dari perpaduan logamlogam tak sejenis yang berhubungan atau tergandeng satu sama lain. Perpaduan
logam-logam tak sejenis kadang-kadang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu,
misalnya untuk mencegah terjadinya korosi pada suatu logam dengan sistem
perlindungan katodik. Pada sistem ini logam yang lebih anodis sengaja
dikorbankan dengan cara menghubungkannya pada logam yang akan dilindungi
(Treatheawey, K.R., and Chamberline, J., 1991).
+
ClNH4+
H+
OH

NH4+
Cl-

Bola lampu

Karbon
(katoda)

aliran
arus

H+
OH
ClNH4+

-

OH
H+

NH4+
Cl-

Gambar 2.1. Susunan Baterai.

Seng
(anoda)

9

2.1.4 Proses Korosi Pada Besi
Fakta menunjukkan bahwa hampir semua logam, khususnya besi tidak
pernah bebas dari pengotor (impurities). Pengotornya dapat berupa oksida dari
logam tersebut akibat bereaksi dengan zat asam yang terdapat dalam udara,
perbedaan struktur molekuler dari material logam itu sendiri, serta perbedaan
tegangan di dalam bagian-bagian logam besi tersebut. Secara alami hal tersebut
menimbulkan perbedaan potensial antara bagian-bagian logam. Perbedaan beda
potensial ini menyebabkan sebagian logam ini bersifat katodis, yaitu pengotor,
oksida, dan struktur molekuler yang katodis, sedangkan sebagian lagi bersifat
anodis, yaitu bagian logam besi yang murni (Sri Widharto, 1999).
Proses korosi pada besi secara alami, pada umumnya terjadi akibat proses
elektrokimia. Pada bagian permukaan besi yang bersifat anodis akan terjadi reaksi
oksidasi:
Fe(s)

Fe2+(aq) + 2e-

Elektron yang terbentuk kemudian bergerak melalui logam menuju bagian lain
dari permukaan besi yang bersifat katodis, dan terjadi reaksi reduksi:
O2 (g) +

4H+ (aq) + 4e-

2H2O(l)

Pada konsentrasi ion H+ yang rendah (pH tinggi), maka reduksi oksigen akan
berkurang, sehingga pada pH lebih besar dari 9 besi kurang terkorosi. Ion Fe2+
yang terbentuk pada anoda kemudian teroksidasi lebih lanjut menjadi Fe 3+. Ion
Fe3+ yang terjadi membentuk hidrat (III) besi oksida yang dikenal sebagai karat.
4Fe2+(aq) + O2 (g) + 4H2O(l) + 2xH2O(l)

2Fe2O3.xH2O(s) + 8H+(aq)

Proses korosi pada besi ditunjukkan pada Gambar 2.2 . Daerah yang bersifat
katodis umumnya memiliki persediaan oksigen lebih besar, sehingga karat sering
terkomposit di daerah tersebut (William D.C. Jr., 2003).

10

udara
Karat
Fe2O3.xH2O

O2 (g)

Tetesan air

Fe2+
Besi

(katoda)
O2 (g) + 4H+ (aq) + 4e-

2H2O(l)

O2(g) + 2H2O((l) + 4e-

4OH-(aq)

e(anoda)
Fe(s) Fe2+(aq) + 2e-

Gambar 2.2 Proses korosi pada besi.
2.1.5 Hubungan Temperatur Terhadap Korosi Besi
Korosi dapat digambarkan sebagai sel galvanis yang mempunyai
“hubungan pendek”, dimana beberapa daerah permukaan logam bertindak sebagai
katoda dan yang lainnya anoda, dan “rangkaian listrik” dilengkapi oleh aliran
elektron menuju besi itu sendiri. Sel elektrokimia terbentuk pada bagian logam
dimana terdapat pengotor atau di daerah yang terkena tekanan. Reaksi anoda
adalah:
Fe(s)

Fe2+(aq) +

2e-

Reaksi katoda dapat bervariasi. Dengan tidak adanya oksigen (hanya sejumlah air,
misal air danau) reaksi korosi yang terjadi:
Fe(s)
2H2O(l) + 2eFe(s) + 2H2O(l)

Fe2+(aq) +

2e-

2OH-(aq) + H2(g)
Fe2+(aq) + 2OH-(aq) + H2(g)

Namun reaksi ini umumnya lambat dan tidak menimbulkan korosi yang serius.
Korosi yang jauh lebih ekstensif berlangsung jika besi kontak langsung dengan
oksigen dan air. Dalam hal ini reaksi katoda adalah:

11

O2(g) + 4H3O+(aq) + 4e-

6H2O(l)

Ion Fe2+ yang terbentuk secara simultan pada anoda bermigrasi ke katoda, dimana
mereka selanjutnya dioksidasi oleh O2 (oksigen gas) menjadi besi dengan derajat
oksidasi +3 untuk membentuk karat (Fe2O3.xH2O), bentuk hidrasi besi (III)
oksida.
2Fe2+(aq) + O2(g) + (8 + x)H2O(l)

Fe2O3.xH2O(s) + 6H3O+(aq)

Reaksi pengkaratan besi di atas memiliki potensial standar sel (E 0sel) sebesar
+0,459 volt. Hal ini berarti bahwa apabila besi kontak dengan air yang
mengandung oksigen, maka proses korosi pada besi terjadi secara spontan. Data
lain yang mendukung bahwa proses korosi tersebut berlangsung secara spontan
adalah tinjauan secara termodinamika. Dalam hal ini peninjauan dilakukan pada
besaran seperti G (perubahan energi bebas), H (perubahan entalphi), dan S
(entropi). Dimana hubungan antar besaran tersebut:
G0 = - nFE0sel ………………………………………….(pers. 1)
dimana,
G0 = H0f - TS0 …………………………………..(pers. 2)
keterangan:
G0 = energi bebas Gibbs
H0f = entalphi reaksi
S0 = entropi reaksi
T

= temperatur

E0sel = potensial sel standar
F
n

= bilangan faraday (96500)
= jumlah elektron yang terlibat

Untuk reaksi korosi pada besi tersebut, harga masing-masing besaran H0f dan
S0 adalah -824,2 kJ mol-1 dan 87,40 J K-1mol-1. Sehingga G0nya diperoleh
dengan persamaan 2 di atas yang berharga negatif dengan T sebagai variabel.

12

Harga G0 pada temperatur positif (besar) adalah negatif (-) yang menandakan
bahwa reaksi korosi tersebut berlangsung spontan. Dari persamaan G0 = H0f TS0, dapat diketahui bahwa temperatur sangat berpengaruh (berbanding lurus
dengan G0 ) terhadap terjadinya reaksi korosi pada besi. Sehingga semakin
tinggi temperaturnya, harga G0 semakin berharga negatif. Semakin negatif harga
G0 maka semakin mudah reaksi korosi tersebut berlangsung (Oxtoby, David W.,
et al, 2001).
2.1.6 Pengukuran Laju Korosi
Secara umum laju korosi dinyatakan sebagai laju kehilangan berat
persatuan waktu. Penentuan laju korosi tergantung pada teknik pengukuran yang
dilakukan. Laju korosi dapat ditentukan dengan metode kehilangan berat, dimana
berat logam yang hilang akibat korosi dikonversi mejadi laju dalam satuan
millimeter per tahun (mmpt) (ASTM, 1981).
Untuk logam silinder, laju korosinya dapat ditentukan dengan rumus
sebagai berikut:
Vkorosi 

1000 x d / 2 x (W0  Wt )
…………………………..(pers. 3)
T x W0  W0 x Wt

dimana :
Vkorosi = laju korosi dalam millimeter per tahun, (mmpt)
d

= diameter awal logam, (milimeter)

T

= waktu, (tahun)

W0

= berat awal logam, (gram)

Wt

= berat logam setelah korosi, (gram) (ASTM, 1981).

Untuk logam dalam bentuk lempengan tipis, laju reaksinya dapat
ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
Vkorosi 

H (Wo  Wt )
x 1, 825 x 102 ………………..(pers. 4)
Wo .T

13

dimana:
V korosi = laju korosi dalam mimimeter per tahun (mmpt)
H

= tebal awal logam, ( milimeter )

Wo

= berat awal logam, ( gram )

Wt

= berat akhir logam, ( gram )

T

= waktu, ( tahun ) (ASTM, 1981).

2.1.7 Perlindungan Katodik
Salah satu cara untuk mencegah terjadinya serangan korosi pada
konstruksi logam yang berada dalam lingkungan korosif adalah dengan cara
memberikan perlindungan katodik. Adapun cara kerja sistem perlindungan ini
mempergunakan prinsip sel korosi itu sendiri, yaitu sistem elektrokimia dimana
elektron mengalir dari anoda menuju katoda melalui suatu penghantar (elektrolit).
Sistem perlindungan katodik mencegah atau mengurangi serangan korosi dengan
cara membuat logam yang akan dilindungi tersebut bersifat katodik. Korosi terjadi
apabila arus searah (aliran elektron) meninggalkan logam, namun sebaliknya
aliran elektron yang memasuki logam dari daerah sekitarnya tidak menimbulkan
korosi, tapi dapat mencegah atau mengurangi terjadinya korosi. Fenomena ini
yang digunakan untuk suatu sistem perlindungan katodik (Sri Widharto, 1999).
Sistem perlindungan katodik terjadi melalui pengaliran elektron menuju
struktur logam yang akan dilindungi. Terdapat dua metode dalam perlindungan
katodik yaitu metode arus dipaksakan (impressed current) dan metode anoda yang
dikorbankan ( sacrificial anoda ) (Sri Widharto, 1999).
Sistem perlindungan katodik dengan metode anoda dikorbankan
mempergunakan prinsip korosi galvanis, dimana dua logam yang berbeda
potensial dihubungkan satu dengan lainnya seperti yang ditunjukkan oleh Gambar
2.3. Pada gambar tersebut Magnesium bersifat lebih anodik dari pada pipa baja,
sehingga kalau keduanya dihubungkan maka akan terjadi aliran elektron dari
Lapisan tanah
Kabel tembaga
Arus
Pipa
baja

Mg
Anoda

Pembungkus

14

Magnesium ( anoda ) menuju pipa baja ( katoda ). Magnesium akan melepaskan
elektron membentuk ion positif, yang dapat bereaksi dengan penghantar
(elektrolit) dalam lingkungan yang korosif membentuk produk korosi. Akibatnya
Magnesium kehilangan massa atau terkorosi dan secara tidak langsung dapat
mencegah atau mengurangi korosi pada pipa baja (Mas G, Fountana,1987).

Gambar 2.3 Perlindungan katodik pada pipa baja di dalam tanah dengan anoda
korban Magnesium (Callister. Jr. William D., 2003: hal. 590).
Pengetahuan tentang deret galvanik atau potensial oksidasi berbagai logam
dapat dimanfaatkan untuk memilih suatu bahan atau logam yang dapat bertindak
sebagai anoda apabila dihubungkan dengan logam yang akan dilindungi. Logamlogam yang potensialnya lebih aktif dibandingkan logam yang akan dilindungi,
menurut teori, dapat digunakan sebagai anoda korban. Logam-logam seperti
Magnesium, aluminium, seng cukup baik sebagai anoda korban sehingga banyak
digunakan

(Tretheawey,

1991).

Pemilihan

anoda

korban

untuk

sistem

perlindungan katodik didasarkan pada pertimbangan teknis dan ekonomis.
Magnesium cukup baik digunakan sebagai anoda korban. Walaupun efisiensinya
rendah yaitu sekitar 50 %, akan tetapi logam ini memiliki potensial lebih negatif
yang dapat menghasilkan keluaran arus cukup besar (Mas G. Fountana, 1987).
Dalam perlindungan katodik, objek dihubungkan dengan logam yang
mempunyai potensial elektroda lebih negatif (seperti Magnesium, -2,36 V).
Magnesium bertindak sebagai elektroda korban, yang memberikan elektronnya
pada besi, dan dalam proses itu teroksidasi menjadi Mg2+. Penggantian balok
Magnesium berkali-kali, jauh lebih murah dari pada kapal, bangunan, atau pipa
saluran, sebagai pengorbanan. Sedangkan metode lainnya yaitu perlindungan
arus terpasang (Gambar 2.4), sel luar menyediakan elektron, sehingga
menghilangkan kebutuhan besi untuk mentransfer elektronnya sendiri (M.G.
Fontana and R.W Staehle, 1980).

e-

15

Gambar 2.4 Perlindungan elektroda arus terpasang, elektron diberikan dari sel
luar, sehingga obyek itu sendiri tidak teroksidasi (M. G., Fontana
and R. W., Stachle., 1980: 482).
2.2 Metode Eksprimen
2.2.1 Jenis dan Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental laboratoris murni
yaitu dengan melakukan percobaan di laboratorium mengikuti prosedur kerja
yang telah ada.
Sebagai logam yang akan dilindungi (katoda) digunakan besi beton,
mengingat besi adalah logam yang banyak digunakan dibandingkan dengan
logam-logam lainnya dan rentan terhadap peristiwa korosi. Sebagai elektroda
korban (anoda) digunakan logam Magnesium yang akan melindungi besi beton
dari peristiwa korosi.

Ada dua metode perlindungan yang dilakukan dalam

penelitian ini yaitu dengan elektrode korban Magnesium yang dibungkus, dan
tanpa pembungkus.
Pertimbangan temperatur yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan
pada

kondisi lingkungan antara lain temperatur 250C (temperatur rata-rata

lingkungan/biasa dalam referensi), 300C (daerah dataran rendah), 350 (daerah
beriklim panas panas), dan 400C (kemungkinan tertinggi temperatur lingkungan).
Laju pengurangan berat besi beton akibat korosi diukur setelah
perendaman selama satu minggu pada kondisi larutan NaCl 3,70 % dan pada
temperatur yang telah ditentukan.
2.2.2 Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah sistem perlindungan katodik besi beton
dengan elektroda korban Magnesium pada temperatur 25 0C, 300C, 350C, dan
400C. Objek penelitian ini berupa data kuantitatif tentang perubahan berat

16

elektroda besi beton yang terlindungi dan yang tidak terlindungi oleh elektroda
korban Magnesium secara katodik pada temperatur 250C, 300C, 350C, dan 400C.
Perubahan berat tersebut selanjutnya dikonversi menjadi data dalam bentuk laju
korosi besi beton.
2.2.3 Jenis dan Penyajian Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif
dan kuantitatif dari berat besi beton (gram) yang menurun selama percobaan yang
diukur dengan neraca analitik. Data yang diperoleh selama penelitian dicatat
dalam daftar seperti tabel berikut.
Tabel 2.1.

Temperatur
(0C)
25
30
35
40

Tabel penyajian data berat masing-masing besi beton baik yang
terlindungi dan yang tidak terlindungi oleh elektroda korban
Magnesium.
No. besi beton

Berat awal
(gram)

Berat akhir
(gram)

Perubahan
berat (gram)

1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3

Keterangan :
1: Perlidungan besi beton dengan elektrode Magnesium yang terbungkus
(pasir dan semen)
2: Perlidungan besi beton dengan elektrode Magnesium tanpa pembungkus
3: Besi beton tanpa perlindungan

17

BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilakukan pada bulan Pebruari – Juni dan tempat
pelaksanaannya di Laboratorium Jurusan Pendidikan Kimia, FPMIPA, IKIP
Negeri Singaraja. Detail kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini dilamirkan
pada Lampiran 1.

18

3.2 Rancangan Kegiatan
Besi Beton

12 batang dengan panjang yang
sama (5 cm)

Dilindungi dengan
elektrode Magnesium
yang terbungkus

Dilindungi dengan
elektrode Magnesium
tanpa pembungkus

Tanpa Perlindungan

(pasir dan semen)

Diletakkan pada
ruang
bertemperatur
250 C selama
satu minggu

Diletakkan pada
ruang
bertemperatur
300 C selama
satu minggu

Diletakkan pada
ruang
bertemperatur
350 C selama
satu minggu

Diletakkan pada
ruang
bertemperatur
400 C selama
satu minggu

Dibersihkan dengan alkhohol, diamplas, dikeringkan

Ditimbang

Konversi ke dalam rumusan laju korosi

Gambar 3.1 Rancangan Kegiatan Penelitian.
3.3 Tahapan Pelaksanaan
3.3.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan dilakukan dengan mempersiapkan segala alat dan bahan
yang diperlukan selama penelitian, diantaranya penyiapan logam Magnesium,
penyiapan pembuatan larutan NaCl 3,70%, Elektrode Magnesium yang dibungkus
dan tanpa pembungkus, serta penyiapan sample besi.

19

1) Alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Gelas beaker (250 mL)

Lap dan tisu

Labu ukur (1000 mL)

Jangka sorong

Corong gelas

Besi beton komersial

Amplas halus

Magnesium (elektroda korban)

Kabel tembaga

Larutan NaCl 3,70%

Neraca analitik

Akuades

Oven/pemanas dan inkubator

Etanol (70%)

2). Pembuatan larutan NaCl 3,7 %
Larutan NaCl 3,7 % dibuat dengan cara melarutkan 111 gram NaCl
yang telah dihaluskan ke dalam 3 liter aquades di dalam labu ukur kemudian
menyimpan larutan tersebut dalam tempat yang telah disediakan.
3). Penyiapkan sampel besi
Penyiapan sampel besi ini meliputi kegiatan memotong-motong
besi beton komersial yang berdiameter 6 milimeter sepanjang 5 cm sebanyak
12 buah, kemudian mengamplas besi tersebut. Sampel besi ini dibersihkan
dari pengotor dengan etanol 70 %, dan ditimbang beratnya sebagai berat awal
(W0).
4). Penyiapan Eletroda Korban
Penelitian ini menggunakan dua metode dalam perlindungan besi
beton dengan elektrode korban Magnesium yaitu elektrode terbungkus beton
dan tanpa pembungkus. Logam Magnesium yang telah dibersihkan disiapkan
sebanyak delapan lempeng. Masing-masing lempeng dibuat dengan tebal,
panjang, dan lebar yang sama. Pada elektrode yang terbungkus, logam
Magnesium yang telah dililitkan kawat tembaga (20 cm) dimasukkan dalam
campuran semen dan pasir ( perbandingan 2:3 ) dengan ukuran 5 cm x 3,5 cm
x 1,5 cm, sedangkan pada elektrode tanpa pembungkus tidak dilakukan hal
seperti itu, tetapi hanya dililitkan dengan kawat tembaga. Masing-masing
elektrode yang telah siap ini dihubungkan dengan besi beton (kelompok
perlakuan).
3.3.2 Prosedur Eksperimen

20

Prosedur pelaksanaan eksperimen dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Sebanyak 8 batang besi beton yang telah dipersiapkan dihubungkan dengan
elektroda korban Magnesium yang telah dipersiapkan sebagai kelompok
perlakuan dan 4 batang besi beton lainnya tidak dihubungkan dengan elektroda
Magnesium sebagai kelompok kontrol.
b. Sampel perlakuan besi beton dari perlindungan elektrode magnesium yang
terbungkus ditempatkan dalam wadah (gelas beaker) yang berbeda. Kemudian
masing-masing diisi 100 ml larutan NaCl 3,70% hingga seluruh bagian besi
beton dan elektroda korban magnesium tercelup di dalamnya, seperti Gambar
3.2. (a). Sedangkan perlindungan besi beton dengan elektrode magnesium yang
tidak dibungkus dan tanpa dilindungi, dirancang seperti Gambar 3.2. (b),(c).
c. Sebanyak 3 wadah, yaitu dua dari kelompok perlakuan dan satu dari kelompok
kontrol ditempatkan pada lingkungan dengan temperatur 250C. Perlakuan
dengan cara yang sama, masing-masing 3 wadah yang lain ditempatkan dengan
lingkungan temperatur 300C, 350C, dan 400C. (Sampel dengan lingkungan
temperatur 250C dan 300C ditempatkan pada inkubator, temperatur
350C dan
Lidi
Kawat

400C tembaga
ditempatkan pada oven).

Benang

d. Setelah satu minggu, sampel elektroda besi beton diangkat dari larutan. Sampel
Larutan
tersebut dicuci dengan akuades dan
dalam keadaan basah digosok dengan kain
NaCl

halus, dibilas dengan etanol dan 3,70%
dilap dengan tisu sehingga benar-benar kering.
Magnesium

e. terbungkus
Elektroda besi beton yang telah bersih dan kering ditimbang sampai diperoleh
betonyang tetap. Berat yang diperoleh dicatat sebagai berat akhir (W ).
berat
t
Besi
beton

Besi
beton

Magnesium

Kawat
tembaga

Larutan
NaCl
3,70%

Besi
beton

Larutan
NaCl
3,70%

21

(a)

(c)

(b)
Gambar 3.2 Sistem perlindungan besi beton dengan elektrode korban
Magnesium (a) terbungkus, (b) tanpa pembungkus, dan (c)
tanpa perlindungan.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Data yang diperoleh dari kegiatan ini adalah data kuantitatif berat besi
beton

sebelum

dan

sesudah

terkorosi.

Peristiwa

yang

terjadi

selama

berlangsungnya korosi adalah adanya perubahan warna dari larutan korosif tidak
berwarna menjadi warna kuning, intensitas warna larutan korosif berbeda-beda
pada tiap sampel. Kecepatan perubahan warna ini tergantung temperatur larutan

22

korosif. Pada besi beton dengan perlindungan magnesium tanpa pembungkus dan
tanpa terlindungi mengalami kecepatan perubahan warna dan intesitas warna
larutan yang relatif sama. Sedangkan pada besi beton dengan perlindungan
magnesium yang terbungkus perubahan warna larutan berlangsung lama. Secara
umum perubahan warna larutan drastis terjadi pada suhu tinggi.
Laju korosi besi beton dalam satuan mmpt dengan perlindungan elektode
korban Magnesium dan tanpa perlindungan dapat dihitung dari perubahan berat
besi beton. Data berat besi dan perhitungan laju korosi selengkapnya dilampirkan
pada Lampiran 2. Berdasarkan hasil perhitungan pada Lampiran 2 dapat dibuat
rekapitulasi laju korosi seperti disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Hasil data pengukuran laju korosi besi beton pada masing-masing
temperatur
No. Perubahan
Laju Korosi
Temperatur Besi
berat
(mmpt)
Beton
(gram)
1
0.003
0,790
25
2
0.015
3,776
3
0.014
3,400
1
0.017
2,785
30
2
0.023
6,119
3
0.028
7,133
1
0.011
2,811
35
2
0.027
6,691
3
0.028
7,105
1
0.029
7,564
40
2
0.032
8,209
3
0.033
8,240
Keterangan :
1
: Perlidungan besi beton dengan elektrode magnesium yang
terbungkus (pasir dan semen)
2
: Perlidungan besi beton dengan elektrode magnesium tanpa
pembungkus
3
: Besi beton tanpa perlindungan
Karakteristik laju korosi besi beton baik yang dilindungi dan yang tidak
dilindungi pada temperatur yang berbeda-beda akan sangat jelas teramati
diperoleh dengan cara mengalurkan grafik hubungan laju korosi terhadap
temperatur, seperti disajikan pada Gambar 4.1.

23

25

30

35

40

0

Suhu C

Keterangan
Perlindungan besi beton dengan elektrodde magnesium yang terbungkus (pasir dan
semen)
Perlindungan besi beton dengan elektrode magnesium tanpa pembungkus
Besi beton tanpa perlindungan

Gambar 4.1. Grafik hubungan temperatur terhadap laju korosi besi beton
4.2 Pembahasan
Pada lingkungan korosif besi sangat mudah mengalami korosi. Hasil
pengamatan terhadap terjadinya laju korosi yaitu terdapatnya perubahan warna
larutan yang berwarna kuning (FeCl3). Secara umum pengaruh peningkatan
temperatur sebanding dengan meningkatnya laju korosi. Pengaruh temperatur
lingkungan terhadap laju korosi mempunyai karakteristik berbeda-beda antara
besi beton tidak terlindungi dan yang dilindungi dengan elektrode yang dibungkus
maupun yang tidak dibungkus beton. Hal ini juga didukung oleh warna larutan
yang berbeda-beda pada setiap sampel di masing-masing suhu.
25

30

35

40

24

Data dan grafik mengenai perlindungan besi beton dengan elektrode
Magnesium terbungkus beton menunjukkan dari temperatur 250C ke 300C terjadi
peningkatan laju korosi besi beton yang cukup drastis (0,790 ke 2,875 mmpt), dan
pada temperatur 300C ke 350C peningkatan lajunya tidak terlalu signifikan (2,785
ke 2,811 mmpt). Peningkatan laju korosi ini terjadi pada temperatur tinggi yang
sangat signifikan dari temperatur 350C ke 400C (2,811 ke 7,564 mmpt). Data ini
menjelaskan bahwa metode ini efektif digunakan pada temperatur rendah (300C 350C), dan tidak efektif pada tempertaur tinggi (400C).
Pada perlindungan besi beton dengan elektrode Magnesium tanpa
pembungkus

beton menunjukkan grafik yang cenderung linear hampir sama

dengan kontrol. Hal ini berarti perlindungan besi beton dengan elektrode
Magnesium tanpa pembungkus tidak efektif pada temperatur yang berbeda-beda.
Mudah teroksidasinya logam Magnesium (sebagai elektrode korban) oleh
faktor lingkungan (pH atau oksigen) sepertinya menurunkan kemampuannya
melindungi besi. Pada elektrode korban tanpa pembungkus, Magnesium
teroksidasi di udara pada keseluruhan rentang temperatur sehingga efek
perlindungannya

tidak

signifikan

pada

keseluruhan

rentang

temperatur

dibandingkan dengan kontrol. Hal ini dapat dilihat dari besarnya laju dari
karakteristik pengaruh temperatur terhadap korosinya.
Data lain yang juga memperkuat argumentasi di atas adalah data laju
korosi besi yang dilindungi dengan Magnesium terbungkus beton. Metode ini
sangat efektif untuk perlindungan pada temperatur rendah, sedangkan pada
temperatur tinggi menjadi kurang efektif. Hasil ini disebabkan karena pada
temperatur rendah komponen korosif yang ada di lingkungan sulit menembus
beton pelindung Magnesium, sehingga Magnesium sedikit teroksidasi oleh
lingkungan. Pada temperatur yang lebih tinggi, kecepatan difusi komponen
korosif meningkat dalam menembus beton pelindung Magnesium, sehingga
Magnesium banyak yang teroksidasi. Hal inilah yang menyebabkan pada
temperatur tinggi Magnesium terbungkus beton menjadi kurang efektif dalam
melindungi besi.

25

Pengembangan rekayasa mengenai pelindung elektrode magnesium yang
dapat melindungi elektrode dari oksidasi oleh lingkungan, penting dilaksanakan
untuk mengoptimalkan metode perlindungan katodik dengan magnesium.

26

BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan data dan hasil penelitian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
Pada lingkungan yang korosif (larutan NaCl 3,7%)
1) Laju korosi besi beton yang terlindungi elektrode magnesium yang
terbungkus, tanpa pembungkus, dan tanpa perlindungan elektrode pada
temperatur 250 C masing-masing 0,790 mmpt; 3,776 mmpt; 3,400 mmpt,
pada temperatur 300 C masing-masing 2,785 mmpt; 6,119 mmpt; 7,133
mmpt, pada temperatur 350 C masing-masing 2,811 mmpt; 6,691 mmpt ;
7,105 mmpt, dan pada temperatur 400 C masing-masing 7,564 mmpt;
8,209 mmpt; 8,240 mmpt.
2) Pengaruh temperatur terhadap laju korosi pada besi beton yang terlindungi
secara katodik dengan menggunakan elektrode korban Magnesium adalah
peningkatan temperatur berbanding lurus dengan laju korosi (semakin
tinggi suhu, laju korosi semakin tinggi).
3) Metode perlindungan dengan elektrode korban Magnesium yang
terbungkus beton efektif digunakan pada temperatur yang rendah (250 C –
350C), dan pada temperatur tinggi tidak efektif digunakan. Pada metode
perlindungan dengan elektrode korban Magnesium tanpa terbungkus beton
kurang efektif digunakan untuk melindungi besi.
5.2 Saran
Penerapan

metode perlindungan besi beton dari korosi dengan

menggunakan elektrode korban Magnesium akan memberikan hasil yang lebih
baik jika elektrode korban Magnesium dibungkus dengan semen dan pasir.
Rekayasa pelindung Magnesium yang dapat melindungi Magnesium dari oksidasi
oleh lingkungan adalah suatu usaha yang sangat potensial dalam mengembangkan
metode perlindungan besi beton dari korosi yang menggunakan perlindungan
katodik.

27

DAFTAR PUSTAKA
American Society for Testing and Materials (ASTM). 1981, Annual Book of
ASTM Standards, Part 10 Metal, Fracture, and Corrosion Testing.
USA: ASTM
Ashworth V, Booker C J L (eds). 1986. Cathodic protection theory and practice.
Chichester: Institution of Corrosion Science and Technology/Ellis
Horwood
Callister, Jr.,William D. 2003. Materials Science and Engineering an
Introduction., Sixth Edition. New York: John Wiley & Son, Inc.
Crooker T W, Leis B N (eds). 1983. Corrosion fatigue: mechanics, metallurgy,
electrochemistry and engineering. ASTM-STP 610
Dean S W Jr, Rhea E C (eds). 1980. Atmospheric corrosion of metals. ASTMSTP 767
Evans U R. 1960. The corrosion and oxidation of metals. Edward Arnold
Gunawan, J. 1999. Kimia SMA Tengah Tahun Pertama. Jakarta: PT. Grasindo
Guttmann V, Merz M. 1981. Corrossion and mechanical stress at high
temperature. Applied science
Hauffe K. 1965. Oxidation of metals. New York: Plenum Press
Hiskia, Achmad. 1990. Penuntun Belajar Kimia Dasar Elektrokimia. Bandung:
Jurusan Kimia FPMIPA ITB Bandung
Logan H L. 1966. The stress-corrosion of metals. New York: John Willy
Mars G. Fountana. 1987. Corrosion Engineering Third Edition, New York: Mc.
Graw-Hill Book Company
Mars G. Fountana and R.W. Staehle, (ed).1980. Advances in Corrosions Science
and Tehnology. New York : Plenum
Morgan J H. 1959. Cathodic protection (Vol. 2). Newnes-Butterworths. Ch. 11
Oxtoby, David W., et al. 2001. Principles of Modern Chemistry, Fourth Edition.
New York: Harcourt. Inc.
Pludek V R. 1997. Design and corrosion control. MacMillan Press
Rahmanto Catur Wibowo. 2000. Penanggulangan Korosi Pada Besi Beton Dalam
Larutan NaCl Menggunakan Logam Magnesiun Sebagai Elektroda
Korban, Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan Kimia, F MIPA
Universitas Udayana
Scully J C (ed.) 1971. The theory of stress-corrosion cracking in alloys. Brussels:
NATO
Shreir L L (ed.). 1979. Corrosion (Vol. 2). Newnes-Butterworths, section 10

28

Sudria, I.B.N. 2002. Kimia Anorganik II. Singaraja: Jurusan Pendidikan Kimia
FPMIPA IKIP Negeri Singaraja
Widharto, Sri.1999. Karat dan Pencegahannya, Cetakan Pertama. Jakarta : PT.
Pradnya Paramita.
Tretheawey, K.R., Chamberline, J. 1991. Korosi Untuk Mahasiswa dan
Rekayasawan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Yahalom J, Aladjem A (eds). 1980. Stress-corrosion cracking. Tel Aviv: Freund
Publishing House