Plagiarisme Sebuah Kultur di Indonesia

Plagiarisme : Sebuah Kultur di Indonesia
Maria Cathalina Corina Susanto
071411131060
Ilmu Administrasi Negara Universitas Airlangga
ABSTRAK
Tentu saja kata plagiarisme atau plagiat tidak asing di telinga kita , terutama bagi kalangan
akademisi. Plagiarisme merupakan sebuah tindakan yang tidak terpuji terutama di dunia
akademik, hal ini dikarenakan plagiarisme dapat mencederai kode etik yang berlaku di dalam
dunia akademik. Plagiarisme terjadi di seluruh dunia, belakangan ini plagiarisme juga banyak
terjadi di Indonesia. Indonesia sempat mendapat julukan ‘negara plagiat’. Hal ini terjadi
karena banyaknya angka plagiator dan kultur Indonesia yang “menghalalkan” tindakan
plagiarisme. Praktik plagiat di Indonesia memang merajalela , namun masih banyak upaya
yang dapat dilakukan untuk menguranginya seperti sosialisasi sejak dini dari pengajar di
sekolahnya.
Kata kunci : Plagiarisme , Plagiator , Plagiat
Plagiarisme berasal dari bahasa latin Plagiari(us) atau Plagi(um) yang memiliki arti
penculik/menculik, pembajak atau merampok. Definisi plagiarisme sangat banyak, salah satu
contohnya menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) “Plagiat merupakan tindakan
mengambilkarangan (pendapat, dsb) orang lain lalu menyiarkannya sebagai karangan
(pendapat, dsb) sendiri. Misalnya menjiplak dan menerbitkan karya tulis orang lain atas nama
dirinya sendiri. Sementara plagiator adalah orang yang melakukan plagiat, atau disebut juga

penjiplak”. Definisi singkat menurut Sastroasmoro (2007) mengenai plagiarisme adalah
“tindakan menyerahkan (submitting) atau menyajikan (presenting) ide atau kata/kalimat
orang lain tanpa menyebut sumbernya”
Tentu saja kata plagiarisme atau plagiat tidak asing di telinga kita , terutama bagi
kalangan akademisi. Plagiarisme merupakan sebuah tindakan yang tidak terpuji terutama di
dunia akademik, hal ini dikarenakan plagiarisme dapat mencederai kode etik yang berlaku di
dalam dunia akademik. Tidak hanya mencederai kode etik saja , plagiarisme juga termasuk
tindakan pidana yang ketentuannya diatur oleh undang-undang hak cipta. Plagiarisme terjadi
di seluruh dunia, belakangan ini plagiarisme juga banyak terjadi di Indonesia. Seperti yang
kita ketahui , Indonesia mendapat julukan ‘negara plagiat’ hal ini terjadi karena banyaknya
angka plagiator yang tersebar di seluruh Indonesia. Tidak hanya orang dewasa dari kaum
akademisi saja , banyak juga anak – anak sekolah dasar yang melakukannya. Tanpa kita
sadari , siswa – siswi sekolah dasar terutama di era globalisasi ini sering sekali melakukan
kegiatan plagiarisme. Saat mengerjakan tugas , mereka cenderung melakukan copy-paste dari

situs internet tanpa menyertakan sumber informasi tersebut. Hal ini sering sekali dimaklumi
oleh guru dan orang tua mereka dengan alasan bahwa anak sekolah dasar masih terlalu kecil
dan belum mengerti tentang pencantuman sumber informasi. Tanpa kita sadari, fenomena
seperti ini akan menjadi cikal bakal terciptanya para “plagiator cilik”.
Sadar atau tidak , plagiarisme sudah menjadi sebuah kultur yang mengakar kuat di

Indonesia. Plagiarisme seolah menjadi hal umum yang sudah biasa terjadi di masyarakat.
Tanpa adanya tindakan tegas dan ganjaran berat bagi para pelakunya , plagiarisme sudah
menjadi sebuah kebiasaan terutama di civitas akademik. Tren plagiarisme di Indonesia yang
berhasil terkuak dan diangkat oleh media ini lebih banyak dilakukan oleh civitas akademika
pada level yang lebih tinggi. Kasus terbaru plagiarisme yang ada bahkan lebih membuat
kaget dunia akademik Indonesia dan Asia, adalah tindakan seorang rektor dari salah satu
universitas di Indonesia yang melakukan plagiarisme terhadap karya mahasiswa di
universitas tersebut. Felix Kasim, rektor Universitas Maranatha Bandung, terbukti melakukan
plagiarisme terhadap hasil karya Andini Dwikenia Anjani seorang almuni universitas tersebut
yang lulus pada tahun 2008 silam. Felix Kasim melakukan plagiarisme dengan mengutip
hasil penelitian tugas akhir milik Andini dan kemudian membuatnya menjadi makalah pada
sebuah acara simposium di Yogyakarta bulan Mei tahun 2011. Akibat perbuataannya ini,
Felix Kasim diberhentikan sebagai rektor Universitas Maranatha Bandung dan menjalani
kehidupan baru dengan status sebagai plagiator.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia ,
tinggat plagiarisme di Indonesia cenderung lebih tinggi. Berdasarkan kesaksian beberapa
mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studinya di kedua negara tetangga tersebut , dalam
pengerjaan tugas baik essay maupun makalah mereka tidak diperkenankan untuk
menggunakan sumber dari internet . Hal ini membuat mereka terpaksa menggunakan sumbersumber dari literatur fisik seperti buku atau artikel di koran . Hal ini berdampak baik bagi
usaha untuk menurunkan angka plagiarisme di kedua negara tersebut . Salah satu mahasiswa

Indonesia yang melanjutkan studi di National Technology University Singapura saja dipaksa
untuk membeli berbagai macam buku untuk mengerjakan sebuah essay . Tak main – main , di
negara-negara tersebut juga ada program / software untuk melacak atau menganalisis
keorisionalitas tugas atau essay. Di Indonesia sendiri masih belum ada penanganan tegas bagi
kasus plagiarisme . Mahasiswa di Indonesia cenderung mengutamakan kuantitas ( tebal
tidaknya sebuah makalah) dari pada kualitas sebuah tugas. Hal ini mengakibatkan banyak
dari mahasiswa mencari bahan tugas mereka melalui internet dan langsung “copy-paste”

tanpa mencantumkan referensinya.Ternyata , masih ada perbandingan yang jauh tentang
kondisi plagiarisme di Indonesia , Singapura dan Malaysia.
Tindakan-tindakan plagiarisme tentu terjadi karena adanya faktor pemicu. Ada banyak
faktor pemicu sebenarnya, mulai dari ketidaktahuan orang itu sendiri bahwa apa yang
dilakukannya ialah salah satu perbuatan plagiat. Hal Ini dikarenakan kurangnya sosialisasi
peraturan yang berhubungan dengan plagiarisme. Faktor lainnya ialah kurangnya percaya diri
seseorang dalam berkarya sehingga memutuskan untuk meniru hasil karya orang lain dengan
tanpa aturan. Selain itu , banyaknya tekanan pekerjaan dan tugas menjadi pemicu plagiarisme
dan membuat seorang individu dapat menghalalkan segala cara demi memenuhi kewajiban
dan tugasnya, apalagi di era persaingan ketat seperti saat ini. Faktor pemicu lainnya yang
tidak kalah penting adalah kultur bangsa Indonesia sendiri yang selalu melakukan sesuatu
dengan prinsip “cepat , tepat dan orientasi hasil”. Dengan kata lain , kultur ini membuat

indonesia menjadi malas dalam mengerjakan sesuatu sehingga memilih jalan pintas tercepat
dan termudah . Kultur tersebut juga membuat bangsa Indonesia sendiri tidak pernah
menghargai proses pembuatan suatu karya karena hanya berorientasi kepada hasil (output)
saja.
Sebenarnya Indonesia sudah memiliki hukum yang kuat terkait plagiarisme ini.
Peraturan ini dihimpun dalam beberapa Undang-undang, seperti UU No 19 Tahun 2002 Pasal
72 ayat 1, UU No. 20/2003, Pasal 25 ayat 2 yang berisi pencabutan gelar bila diketahui
melakukan plagiat dalam skripsi dan Pasar 70 yang berisi sanksi pidana penjara paling lama
dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak 200 juta rupiah. Dari penjelasan rinci di
dalam undang-undang saja , dapat dilihat bahwa kasus plagiarisme bukanlah sebuah kasus
kecil. Hanya saja di Indonesia , penegakan hukum masih belum disiplin. Apabila
dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura , Indonesia belum memiliki
pemberantasan plagiarisme.
Dewasa ini, plagiarisme semakin merajalela. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari
semakin bebas dan mudahnya seseorang mendapatkan informasi. Salah satu kelompok
masyarakat yang sangat harus dijauhkan dari plagiarisme ialah para anak-anak dan remaja
terutama pelajar dan mahasiswa. Jika dari muda mereka sudah membiasakan diri menjadi
plagiator , bagaimana bila dewasa kelak ? Oleh karena itu dibutuhkannya sosialisasi dan
bimbingan khusus terutama kepada pelajar remaja untuk menyadari pentingnya
mencantumkan referensi kutipan dalam sebuah karya. Para pelajar cenderung tidak diajarkan


mengenai bagaimana cara mengutip yang baik dan benar . Hal ini terkadang tejadi karena
para pelajar juga menganggap bahwa sebuah cara mengutip tidak terlalu penting untuk
diajarkan kepada siswa. Perlu disadari bahwa pengetahuan tentang cara memberi kutipan
sangatlah berguna demi menghindari praktek-praktek plagiarisme terutama di Indonesia.
Dengan mengajarkan sejak siswa sejak dini untuk belajar mencantumkan sumber kutipan
atau pernyataan milik orang lain , maka Indonesia sebenarnya sudah mulai turut serta dalam
pemberantasan plagiarisme.
Menurut saya , para plagiat seharusnya diberikan ganjaran yang cukup berat . Kita
ambil contoh saja seperti kasus di Jerman. Salah satu contoh kasus plagiarisme terjadi pada
Menteri Pendidikan Jerman, Annette Schavan yang mengundurkan diri dari jabatannya
dengan berat hati setelah universitasnya mencopot gelar doktor (PhD) menteri itu. Pihak
universitas menuding Schavan mencontek tanpa menyebut sumber-sumbernya di bagianbagian dari disertasinya berjudul Person and Consciencepada 33 tahun lalu. Penegakan
hukum ini harusnya bisa dicontoh Indonesia agar praktek plagiarisme semakin berkurang.
Seperti yang ketahui , masyarakat Indonesia memang perlu di disiplinkan . Apabila tidak ada
tindakan tegas dari para pembuat kebijakan dan aparaturnya , maka kondisi rakyat Indonesia
akan semakin mundur.
Pencegahan sangatlah penting dalam praktek plagiarisme ini. Contohnya di Australia,
banyak upaya terus dilakukan untuk meminimalkan plagiarisme dilakukan di perguruan
tinggi, mulai dari jenjang diploma hingga doktor. Informasi itu gencar dilakukan tiap kampus

lewat website mereka atau pelatihan kepada staf kampus.Seperti di website Center for the
Study of Higher Education Universitas Melbourne, pedoman untuk meminimalkan
plagiarisme di kalangan akademik Australia cukup lengkap. Pemahaman yang komprehensif
itu utamanya harus dimulai dari staf dan dosen. Untuk bisa membuat antiplagiarisme berjalan
dengan baik, kebijakan itu harus merupakan kolaborasi di setiap level kampus dan individu di
dalamnya. Pendidikan untuk mahasiswa tentang konvensi kepengarangan dan penghargaan
hak atas kekayaan intelektual terus disosialisasikan. Apa yang dilakukan di Australia ini
sangatlah efektif dan bisa diadaptasi di Indonesia. Melalui kegiatan-kegiatan penting selama
awal masa pendidikan seperti ospek kampus, nilai-nilai tentang buruknya tindakan plagiat
bisa ditanamkan. Dan yang terpenting ialah menyadarkan bahwa setiap individu mempunyai
kemampuan yang luar biasa jika disalurkan dengan cara yang sesuai. Jadi, untuk apa
mencontek hasil karya orang lain jika sebenarnya individu itu bisa menghasilkan yang lebih

baik jika usaha lebih keras. Bagaimana bisa dihargai orang lain jika kita tidak menghargai
orang lain dan diri sendiri ?