Pengaruh Patronase Kepala Daerah dengan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Laju Deforestasi di Kabupaten Langkat Tahun

Research Design MPIP
Nama
:
NPM
:
Metode :

Eka Prasetya
1506703356
Kuantitatif

Program Pasca Sarjana Ilmu Politik
FISIP Universitas Indonesia

Pengaruh Patronase Kepala Daerah dengan Pengusaha Perkebunan Kelapa
Sawit Terhadap Laju Deforestasi di Kabupaten Langkat Tahun 2009-2014
I.

Latar Belakang Masalah
Indonesia menempati peringkat ketiga (setelah Brazil dan Republik Kongo)
dalam kekayaan hutan hujan tropis.1 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah

luas daratan kawasan hutan di Indonesia mencapai 124 juta ha, diantaranya terdapat
hampir 30 juta ha hutan lindung dan 27 juta ha Suaka Alam dan Pelestarian Alam. 2
Mengingat Indonesia menyumbang 10 persen kekayaan biodiversitas hutan hujan dari
seluruh dunia, pemerintah pada tahun 2009 berjanji akan mengurangi emisi gas rumah
kaca sebesar 26 persen secara mandiri dan sebesar 41 persen dengan dukungan
internasional pada tahun 2030.3
Akan tetapi, komitmen tersebut dihadang oleh kenyataan tingginya laju
deforestasi di Indonesia yang mencapai 680 ribu ha per tahunnya atau ekuivalen
dengan ukuran 300 lapangan sepak bola setiap jamnya. Bahkan, antara tahun 20002005, berdasarkan laporan organisasi pemerhati lingkungan Greenpeace, Indonesia
kehilangan areal tutupan hutan sekitar 1,8 juta ha per tahun yang menempatkan
Indonesia sebagai negara dengan laju deforestasi tercepat di dunia berdasarkan catatan
rekor dunia Guinnes.4

Adapun penyebab deforestasi beragam, seperti: sistem

perladangan berpindah oleh petani rakyat;5 pengusaha (perkebunan, hutan tanaman
industri dan industri perkayuan); kebijakan transmigrasi dari pemerintah; serta
1 William D. Sunderlin dan Aju Pradnja Resosudarmo, Laju dan Penyebab Deforestasi di
Indonesia: Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya, CIFOR, Occasional Paper No. 9
(I) Maret 1997. hal. 1

2 Badan Pusat Statistik, Luas Kawasan Hutan Indonesia, berdasarkan survei tahun 2014
(www.bps.go.id )
3 Pada tahun 2015 target penurunan emisi gas rumah kaca oleh pemerintah secara
mandiri ditingkatkan menjadi 29 persen oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
karena
berbagai
pertimbangan.
(http://kabar24.bisnis.com/read/20150831/15/467419/indonesia-naikkan-targetpengurangan-emisi-gas-rumah-kaca) , diakses pada 27 Mei 2016, pukul 14.13 WIB
4 Namun menurut pemerintah, angka laju deforestasi antara 2000-2006 adalah 1,08 juta
ha (http://www.dw.com/id/hutan-indonesia-di-guinness-world-records/a-3697037), diakses
pada 27 Mei 2016, pukul 14.14 WIB
5 Terutama ditunjukkan oleh studi-studi yang dilakukan oleh World Bank dan FAO pada
awal dekade 1990-an

1

konsekuensi logis akibat perkembangan ekonomi (perluasan infrastruktur, instalasi
umum, dan dampak perkembangan kawasan hunian).
Salah satu penyebab deforestasi di Indonesia ialah adanya alih fungsi kawasan

hutan seiring dengan terbitnya izin konsesi pengelolaan sumber daya alam bagi
perusahaan perkebunan. Adapun salah satu jenis usaha perkebunan tersebut ialah
kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit berdasarkan data BPS merupakan jenis
tanaman perkebunan dengan penggunaan lahan paling luas di Indonesia, yakni
mencapai 6,4 juta ha pada awal tahun 2014,6 dan diperkirakan telah mencapai 8 juta
ha pada akhir 2015. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat dari
semula hanya 992 ribu ha pada 1995 melonjak menjadi 2,9 juta ha pada 2000,
kemudian 3,4 juta ha pada 2005, dan 5,1 juta ha pada 2010. 7 Belum pernah terjadi
lonjakan yang sedemikian signifikan seperti ini dalam perkembangan luas lahan
perkebunan di Indonesia untuk jenis tanaman apapun dalam sejarah.
Ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia menggeser dominasi
perkebunan karet yang sempat menempati posisi teratas sebagai komoditas
perkebunan paling besar pada era 1980-an. Berdasarkan data, tidak terdapat laju
perluasan lahan yang cukup berarti pada perkebunan karet, dimana pada 1995 luasnya
471 ribu ha, kemudian tahun 2014 meningkat menjadi hanya 543 ribu ha. Luas
perkebunan kelapa sawit juga tidak sebanding dengan tanaman perkebunan lainnya
seperti cokelat (82 ribu ha), kopi (47 ribu ha), teh (65 ribu ha), dan tebu (209 ribu
ha).8 Berdasarkan hal tersebut, tidaklah mengherankan apabila sejak tahun 2014 yang
lalu, Indonesia menjadi negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia, diatas
Malaysia, Thailand, dan Kolombia.9

Berdasarkan jumlah produksinya daerah-daerah penghasil minyak kelapa sawit
terbesar secara berturut-turut ialah Riau (6,3 juta ton), Sumatera Utara (3,9 juta ton),
Kalimantan Tengah (2,9 juta ton), Sumatera Selatan (2,4 juta ton), Kalimantan Barat
(1,8 juta ton), serta Jambi (1,7 juta ton).10 Berdasarkan persebarannya, pulau Sumatera
merupakan pulau dengan luas perkebunan kelapa sawit terbesar, diikuti oleh pulau
Kalimantan. Adapun pengelola perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia
6 Badan Pusat Statistik, Luas Tanaman Perkebunan Besar Menurut Jenis Tanaman di
Indonesia, berdasarkan survei tahun 1995 – 2014
7 Ibid
8 Ibid
9
http://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166,
diakses pada 28 Mei 2016, pukul 01.25 WIB
10 Badan Pusat Statistik, Produksi Perkebunan Menurut Provinsi dan Jenis Tanaman, data
yang ditampilkan hanya pada tahun survei terakhir (2013)

2

biasanya merupakan perusahaan besar, baik BUMN maupun swasta. Beberapa yang
terbesar diantaranya ialah Perkebunan Nusantara (PTPN) IV, Sinar Mas (melalui anak

perusahaannya, PT. Golden Agri Resource) milik Eka Tjipta Widjaja, Wilmar
Internasional Group milik Matua Sitorus yang berkantor di Singapura, Astra Agro
Lestari Tbk, Indofood Agri milik Anthony Salim, serta Asian Agri milik Sukanto
Tanoto.
Perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit pada dasarnya hanya dapat
menjalankan kegiatan usahanya dengan memanfaatkan lahan apabila telah
memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP) dari pemerintah.11 Izin Usaha Perkebunan
sejatinya merupakan instrumen pemerintah dalam pengendalian pemanfaatan lahan
(termasuk kawasan hutan), dimana pemerintah diharapkan dapat secara hati-hati
melakukan penilaian terkait kepantasan dan akuntabilitas perusahaan perkebunan
sebelum mereka dapat melakukan kegiatan usahanya. Akan tetapi, pemberian IUP di
Indonesia sangatlah terkait erat dengan praktik patronase diantara pengusaha
perkebunan dengan kepala daerah setempat.
Praktik patron-klien antara kepala daerah dengan para pengusaha kelapa sawit
terjadi dikarenakan bertemunya kepentingan pengusaha yang menginginkan
kemudahan dalam memperoleh izin konversi lahan demi ekspansi bisnisnya, dengan
kepentingan kepala daerah yang membutuhkan sumber pendanaan bagi kontestasi
politik sebagai calon petahana.12 Dalam hal ini, kepala daerah sebagai patron
‘memperjual-belikan’ otoritas yang dimilikinya dalam memberikan izin konversi
lahan kepada pengusaha, serta memperoleh dukungan pendanaan sebagai imbalannya.

Praktik ini disinyalir menjadi penyebab maraknya ‘obral’ izin perkebunan maupun
pertambangan menjelang maupun setelah pemilukada yang berdampak pada
meningkatnya deforestasi di suatu daerah.
Praktik patronase antara kepala daerah dengan pengusaha pada tingkat lokal
dimungkinkan oleh karena adanya desentralisasi yang telah berlangsung sejak era
11 Permentan No. 98 tahun 2013 memuat 3 jenis izin dalam bidang perkebunan, yakni:
Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) untuk perusahaan perkebunan yang
melakukan usaha budidaya perkebunan, Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P)
untuk perusahaan perkebunan yang melakukan usaha industri pengolahan hasil
perkebunan, serta Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk perusahaan perkebunan yang
melakukan usaha budidaya perkebunan dan terintegrasi dengan usaha industri
pengolahan hasil perkebunan.
12 Sejumlah penelitian yang menunjukkan adanya pola patronase politik-bisnis ini antara
lain: Indonesia Corruption Watch (2011), McCarthy (2004), Ross (2004), Valsecchi (2012),
Aspinal (2011), Mietzner (2011), Varkkey (2012), Schulte Nordholt dan van Klinken
(2007), dll.

3

reformasi. Otonomi daerah yang pada esensinya ialah memberikan kesempatan

kepada kepala daerah untuk mengurus sendiri urusan daerahnya melalui otonomi
seluas-luasnya ternyata kerap diselewengkan untuk kepentingan politik dan ekonomi
elit lokal. Di bawah rezim otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam tidak lagi
menjadi monopoli pemerintah pusat. Pemerintah daerah menjadi pengelola sumber
daya alam di daerahnya melalui instrumen perizinan termasuk dalam menerbitkan
IUP. Berdasarkan Permentan nomor 98 tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan, peran Bupati dan Gubernur sangatlah besar dalam proses pemberian izin
konversi lahan untuk kegiatan usaha perkebunan.
Kabupaten Langkat, merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang
menjadi basis perkebunan kelapa sawit. Hingga tahun 2011 luas wilayah
perkebunannya mencapai seperlima dari total wilayah daerahnya. Ekspansi
perkebunan kelapa sawit selama satu dekade terakhir demikian cepat, sedangkan daya
dukung lahan sangatlah terbatas. Tercatat, luas tanaman kelapa sawit di Kabupaten
Langkat mencapai 141 ribu ha, yang terdiri atas 38 ribu ha perkebunan milik swasta
nasional, 52 ribu ha milik PTPN II, 7,3 ribu ha milik PTPN IV, serta 41 ribu ha milik
rakyat.13 Sedangkan luas wilayah Kabupaten Langkat secara keseluruhan hanyalah
627 ribu ha.14 PTPN II merupakan perusahaan dengan Hak Guna Usaha (HGU)
tertinggi, sedangkan perusahaan swasta nasional dengan HGU tertinggi ialah PT
London Sumatera Indonesia Tbk dengan luas 9 ribu ha.
Kabupaten Langkat merupakan daerah yang terdeliniasi seperlima dari total

keseluruhan areal Taman Nasional Gunung Leuser15 yang merupakan kawasan
pelestarian alam, serta memiliki kawasan hutan bakau (mangrove) setidaknya di
sembilan kecamatan yang berada di pesisir pantai timur. Kedua kawasan hutan
tersebut saat ini terancam rusak oleh ekspansi berbagai jenis kegiatan perekonomian,
13 Data berdasarkan survei yang dilakukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Langkat
tahun
2011
dikutip
dari
https://tengkudirkhansyah.wordpress.com/2011/10/24/diprediksi-luas-tanaman-sawit-dilangkat-terus-bertambah/ diakses pada 27 Mei 2016, pukul 15.20 WIB
14
Luas
Kabupaten
Langkat
ini
diperoleh
dari
wikipedia
(https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Langkat) diakses pada 27 Mei 2016, pukul 15.30

WIB. Dimana disebutkan angka 6.272 km2 atau ekuivalen dengan 627.200 ha. Penelitian
ini akan secara konsisten menggunakan hektare (ha) sebagai satuan metrik dalam
menyebutkan luas wilayah
15 Selain Kabupaten Langkat, terdapat dua kabupaten lainnya di Provinsi Sumatera
Utara yang terdeliniasi Taman Nasional Gunung Leuser yakni, Kabupaten Dairi, dan
Kabupaten Karo. Sedangkan untuk wilayah administrasi Provinsi Aceh, terdapat
Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Gayo, Lues, dan
Aceh Tamiang (https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Gunung_Leuser), diakses
pada 27 Mei 2016, pukul 16.12 WIB

4

termasuk usaha perkebunan kelapa sawit. Misalnya, pada Desember 2015 yang lalu,
seluas 432 ha kawasan hutan bakau di kawasan hutan Konservasi Karang Gading dan
Langkat Timur, Kecamatan Secanggang yang sedianya dikelola oleh Badan
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Utara beralih fungsi menjadi
perkebunan kelapa sawit.16 Beberapa kasus alih fungsi lahan hutan bakau menjadi
perkebunan kelapa sawit yang serupa dalam beberapa tahun belakangan juga ditemui
di Pangkalan Susu (500 ha), Gebang (700 ha), Besitang (440 ha), dan Tanjung Pura
(520 ha).17 Hingga tahun 2013, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Pusat

Statistik Kabupaten Langkat, luas areal tutupan hutan di Kabupaten Langkat
mencapai 327 ribu ha,18 tetapi kemudian berkurang menjadi 283 ribu ha pada tahun
2014. Berkurangnya luas tutupan hutan pada tahun 2014 yang merupakan tahun
kontestasi politik lokal di Kabupaten Langkat patut mendapat sorotan tersendiri.
Bupati Kabupaten Langkat, Ngosesa Sitepu yang menjabat pada periode 20092014 kembali terpilih dalam pemilu kepala daerah tahun 2014 untuk masa jabatan
2014-2019. Politisi Partai Golkar ini didukung oleh setidaknya 100 perusahaan yang
ada di Kabupaten Langkat karena dinilai memberikan jaminan-jaminan keamanan dan
kejelasan hukum kepada pengusaha yang menanamkan investasi di daerahnya.19
Salah satu perusahaan yang mendukungnya ialah PT London Sumatera Tbk yang
ditandai dengan kehadiran direkturnya, Djufri Basruny dalam acara yang diadakan
pada 11 Juni 2012 di Ballroom Rindu Alam Hotel Bukit Lawang, Kecamatan
Bahorok.20 Ngosesa juga dikenal cukup dekat dengan pengusaha lokal asal Medan
yang juga Komisaris PT Anugerah Langkat Makmur, H. Anif (Anif Shah) yang
belakangan ikut memberikan modal untuk penggarapan areal perkebunan kelapa sawit
seluas 1,245 ha oleh Koperasi Unit Desa Rahmat Tani di Kecamatan Besitang.21

16
http://www.antaranews.com/berita/532771/432-hektare-mangrove-bksda-jadiperkebunan-sawit, diakses pada 18 April 2016, pukul 22.20 WIB
17 http://news.okezone.com/read/2015/04/06/340/1129662/hutan-bakau-di-langkatrusak-parah, diakses pada 18 April 2016, pukul 22.30 WIB
18 Kawasan tutupan hutan ini antara lain terdiri atas: kawasan mangrove di pesisir timur,

hutan lindung, Taman Nasional Gunung Leuser, Hutan Produksi Terbatas, serta Hutan
Produksi. Badan Pusat Statistik, Luas Kawasan Hutan di Kabupaten Langkat Dirinci
Menurut Fungsi Hutan (Ha), berdasarkan suvei 2012-2014
19 http://www.langkatonline.com/berita.php?id=370, diakses pada 18 April, pukul 23.40
WIB
20 Ibid
21 http://utamanews.com/view/Pemilukada/931/H--Anif-Minta-Ngogesa-LanjutkanKepemimpinan.html diakses pada 27 Mei 2016, pukul 15.58 WIB

5

Berdasarkan data, dalam rentang tahun antara 2008 hingga 2014 tercatat
peningkatan hasil produksi tandan buah segar dari 535 ribu ton menjadi 710 ribu
ton.22 Beriringan dengan hal tersebut, terdapat penyusutan kawasan pelestarian alam,
Taman Nasional Gunung Leuser yang pada tahun 2012/2013 luasnya 216 ribu ha,
kemudian pada tahun 2014 (tahun diadakannya pemilukada) menjadi 204 ribu ha. 23
Penyusutan terutama terjadi di Kecamatan Bahorok, yang pada tahun 2012/2013
seluas 80 ribu ha kemudian pada tahun 2014 menyusut menjadi 75 ribu ha. 24 Seperti
diketahui, Kecamatan Bahorok merupakan salah satu daerah terdeliniasi wilayah
konservasi Taman Nasional Gunung Leuser yang paling besar di Kabupaten Langkat.
Jika mengikuti logika, peningkatan jumlah produksi kelapa sawit bersifat
eksponensial terhadap luas kawasan perkebunan, maka penyusutan hutan di wilayah
pelestarian alam Taman Nasional Gunung Leuser Kecamatan Bahorok patut diduga
sebagai akibat dari ekspansi perluasan lahan perkebunan kelapa sawit tersebut.
Adapun waktu penyusutan kawasan tutupan hutan yang bersamaan dengan tahun
diadakannya kontestasi politik lokal, patut diduga memiliki hubungan dengan
pemberian izin usaha perkebunan bagi perusahaan tertentu yang memiliki relasi
patron-klien dengan bupati petahana. Praktik ini disinyalir merupakan bagian dari
‘obral izin’ konsesi sumber daya alam menjelang pemilukada dengan maksud meraih
dukungan finansial dari para pengusaha lokal untuk biaya kampanye politik,
meskipun hal ini harus dibuktikan lebih lanjut.
II.

Perumusan Masalah
Konversi kawasan hutan menjadi non-hutan merupakan persoalan ekologis
yang sangat berkaitan erat dengan kebijakan politik. Selama era desentralisasi,
kewenangan kepala daerah kian menentukan dalam proses perizinan konversi lahan,
salah satunya ialah usaha perkebunan kelapa sawit. Wilayah perkebunan kelapa sawit
di Kabupaten Langkat hingga tahun 2011 mencapai seperlima dari total luas wilayah
daerahnya. Berdasarkan data, laju deforestasi untuk kepentingan ekspansi perkebunan
terus meningkat dari tahun ke tahun di wilayah tersebut, sehingga dikhawatirkan akan
menimbulkan kerusakan ekologis terutama apabila perambahan terjadi di kawasan

22 Badan Pusat Statistik, Planted, Production and Productivity of Oil Crops According to
the District, berdasarkan survei 2008-2014
23 Log Cit, Badan Pusat Statistik, Luas Kawasan Hutan di Kabupaten Langkat Dirinci
Menurut Fungsi Hutan (Ha), berdasarkan suvei 2012-2014
24 Ibid

6

hutan bakau yang berada di pesisir pantai timur serta kawasan Taman Nasional
Gunung Leuser, yang merupakan habitat bagi kekayaan biodiversitas hutan tropis
dunia.
Praktik patronase oleh kepala daerah sebagai kandidat yang membutuhkan
pendanaan dalam kontestasi politik dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit yang
membutuhkan kemudahan dalam memperoleh izin perluasan konversi lahan menjadi
permasalahan yang hendak ditemukan hubungan kausalitasnya di dalam penelitian ini.
Diduga terdapat upaya dari kepala daerah dalam menggunakan kekuasaan mereka
(‘rent seizing’) untuk menata ulang birokrasi sedemikian rupa, sehingga ia
memperoleh kewenangan/akses secara langsung atas aset negara. Kewenangan ini
kemudian dapat ‘diperjual-belikan’ kepada pengusaha yang memiliki kepentingan
untuk memperoleh izin perluasan peralihan lahan.
Dengan demikian, pengaruh hubungan patronase antara bupati dan pengusaha
perkebunan kelapa sawit diduga menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya
laju deforestasi di Kabupaten Langkat. Tujuan esensial adanya sistem perizinan yang
menitikberatkan kepada upaya pengendalian/pengarahan, pencegahan bahaya
lingkungan, serta melindungi objek-objek tertentu dengan demikian tidak tercapai
sehingga menyebabkan kerugian ekologis yang tak ternilai harganya. Persoalan
deforestasi menjadi krusial mengingat Indonesia merupakan ‘paru-paru dunia,’ yang
hutannya memiliki pengaruh signifikan dalam menyuplai oksigen bagi ekosistem
dunia.
III.

Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang dijabarkan, penelitian ini hendak
menjawab pertanyaan: bagaimana pengaruh patronase kepala daerah dengan
pengusaha perkebunan sawit terhadap laju deforestasi di Kabupaten Langkat pada
tahun 2009-2014?

IV.

Hipotesis/Argumen
Robin Burgess, et.al (2011) melakukan penelitian dengan metode kuantitatif
dengan mengambil sejumlah daerah di Indonesia sebagai contoh kasus untuk
mengkonfirmasi adanya kaitan antara kontestasi politik lokal di daerah dengan
peningkatan laju deforestasi (political logging cycle), dimana terjadi peningkatan
illegal logging setahun sebelum diselenggarakannya pilkada.
7

Burgess, dkk.

mempertimbangkan perubahan yuridiksi dan kelembagaan birokrasi sejak era
desentralisasi di Indonesia, yang memberikan kewenangan kepada pejabat lokal untuk
menerbitkan izin peralihan lahan sebagai dasar argumentasinya.25
Hasil temuan dalam penelitian Burgess mengkonfirmasi dugaan adanya
praktik patronase, dimana kepentingan kepala daerah untuk mencari sumber
pendanaan bagi kontestasi politik di daerahnya kemudian bertemu dengan
kepentingan sejumlah pengusaha sehingga menimbulkan hubungan patron-klien.
Dengan demikian dapat dijadikan landasan teoretik bagi penelitian ini, untuk
menemukan pola hubungan patronase diantara kepala daerah dengan pengusaha
perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Langkat.
Selain itu, peneltian Burgess menggunakan argumen besarnya kewenangan
kepala daerah, dalam menentukan proses perizinan peralihan lahan sebagai dasar
asumsinya. Adapun

metode

kuantitatif

yang dipergunakan

Burgess

dalam

penelitiannya dapat menjadi model bagi penelitian ini untuk mengkonfirmasi
hubungan sebab akibat yang ditimbulkan oleh praktik patronase politk-bisnis di
Kabupaten Langkat terhadap laju deforestasi di wilayah tersebut.
Helena Varkkey (2012) melalui penelitian kualitatif-nya menemukan
hubungan antara pembakaran hutan gambut di Sumatera dengan praktik patronase
yang dipandang umum dalam budaya Asia Tenggara, diantara pengusaha perkebunan
sawit asal Malaysia dan Singapura dengan elit politik lokal di Indonesia. 26 Penelitian
ini menjelaskan mengapa para pengusaha Malaysia dan Singapura yang mengontrol
lebih dari dua-pertiga sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia merasa tidak
memiliki kekhawatiran apapun akan konsekuensi hukum yang dapat diterimanya
melalui praktik pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan dan lahan gambut
meskipun asap yang ditimbulkan karenanya berdampak juga terhadap negara asalnya.
Dalam penelitiannya, Varkkey mewawancarai 138 individu yang terkait erat dengan
sektor perkebunan minyak kelapa sawit di Indonesia termasuk pejabat pemerintah,
jurnalis, perwakilan NGO, mantan staf perkebunan, dan akademisi di Indonesia,
Malaysia, dan Singapura dalam proses pengumpulan data.
Berdasarkan penelitian Varkkey diperoleh fakta yang mendukung tema dalam
penelitian ini, dimana jaringan patronase yang dibentuk oleh elit politik lokal ternyata
25 Burgess, Robin. et. al. 2011. The Political Economy of Deforestation in The Tropics.
26 Helena Varkkey. 2012. Patronage Politics as Driver of Economic Regionalisation: The
Indonesia Oil Palm Sector and Transboundary Haze. Asia Pacific Viewpoint 53 (3): 313328

8

tidak hanya meliputi pengusaha dalam negeri melainkan juga pengusaha asing.
Dengan demikian hubungan patron-klien yang terjadi benar-benar pada tahap yang
sangat pragmatis sehingga kepentingan nasional menyangkut struktur sosial-ekonomi,
alih-alih kerusakan ekologi berupa meningkatnya laju deforestasi yang disebabkan
karena ekspansi kawasan perkebunan, sudah tidak lagi menjadi dasar pertimbangan
oleh elit politik lokal di Indonesia. Selama hubungan patron-klien tersebut
menguntungkan kedua belah pihak, maka elit politik akan terus menyediakan
perlindungan bagi pengusaha perkebunan yang hendak melakukan ekspansi,
meskipun melalui kegiatan pembakaran yang dapat menimbulkan kerusakan dan
kerugian materil maupun imateril yang tidak sedikit.
Marcus Mietzner (2011) melakukan penelitian dengan metode kualitatif
dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara, pemberitaan
media, dan dokumen resmi pemerintah, untuk menjelaskan praktik pengumpulan dana
secara ilegal yang dilakukan oleh para kandidat yang bertarung dalam kontestasi
politik lokal di Indonesia pasca Soeharto.27
Hasil temuan Mietzner membuktikan adanya ‘skema cerdik’ yang dilakukan
oleh kandidat beserta tim pemenangan kampanyenya dalam mengumpulkan
pendanaan dengan memanfaatkan celah yang ada dalam peraturan hukum yang
berlaku. Proses tersebut sendiri menyatukan politisi, pengusaha, dan para pemburu
rente dalam sebuah hubungan patronase. Meskipun secara kelembagaan hukum dan
peradilan di Indonesia telah banyak berubah sejak era reformasi, akan tetapi praktik
korupsi, terutama menyangkut patronase elit politik lokal masih sangat tinggi
dikarenakan kontestasi politik berbiaya mahal.
Penelitian Mietzner meskipun tidak secara langsung mengaitkan hubungan
diantara patronase dengan laju deforestasi, akan tetapi memiliki temuan yang
mendukung argumen yang menjadi dasar asumsi dalam penelitian ini. Adanya pola
relasi patron-klien yang menghubungkan elit politik lokal dengan pegusaha
dibuktikan, dimana kontestasi politik berbiaya mahal menjadi justifikasi untuk
melakukan pengumpulan dana secara ilegal.
Berdasarkan beberapa tinjauan literatur terhadap beberapa penelitian yang
telah disebut di atas, penelitian ini menggunakan argumen, besarnya pengaruh kepala
daerah dalam menenetapkan perizinan usaha perkebunan kelapa sawit pada rezim
27 Mietzner, Marcus. 2011. Funding Pilkada: Illegal Campaign Financing in Indonesia’s
Local Election dalam Edward Aspinall and Gerry van Klinken (peny.), The State and
Illegality in Indonesia. Leiden: KITLV Press

9

otonomi daerah saat ini, sehingga menimbulkan praktik patronase antara kepala
daerah dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit. Penelitian ini juga hendak
menguji hubungan kausalitas sebab-akibat relasi patronase tersebut dengan laju
deforestasi yang terjadi seiring dengan meningkatnya pemberian izin konversi lahan
di daerah tersebut.
V.

Teori dan Definisi Konsep
a.

Teori Patronase
Patronase (patronage) merupakan konsep yang menjelaskan adanya hubungan

antara patron dan klien melalui suatu pertukaran yang saling menguntungkan. Secara
harfiah, patron berasal dari bahasa latin yaitu “patronas” atau yang kita kenal dengan
arti bangsawan, sedangkan klien berasal dari kata “cliens” yang berarti pengikut.
Dalam bahasa Spanyol, istilah “patron” secara etimologis berarti seseorang yang
memiliki kekuasaan, status, wewenang dan pengaruh besar. Sedangkan “klien” berarti
bawahan atau orang yang diperintah.28
Terdapat banyak ahli ilmu sosial yang membahas praktik hubungan patronase
dan klientalisme, pada umumnya tidak terdapat perdebatan dalam mendefenisikannya.
Setidaknya ada tiga ciri-ciri dari hubungan patronase yang disepakati, yakni: adanya
ketimpangan dalam pertukaran (posisi patron lebih kuat dari klien); bersikap tatap
muka (saling mengenal, percaya); serta luwes dan meluas.29 Patronase secara
sederhana dapat diartikan sebagai sebuah aliansi dari dua kelompok komunitas atau
individu yang bersifat asimetris. Perbedaan ‘derajat’ antara patron dan klien dapat
berupa status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam
kedudukan yang lebih rendah (subordinat) dan patron menempati kedudukan lebih
tinggi. Dalam patronase, terdapat hubungan timbal-balik yang bersifat saling
menguntungkan. Patron biasanya mengumpulkan kekuasaan dan pengaruhnya melalui
dukungan umum dan bantuan yang diberikan oleh klien, setelah itu patron pun
memberikan perlindungan atau keuntungan-keuntungan tertentu berdasarkan otoritas
atau kekuasaan yang dimilikinya kepada klien sebagai imbalannya.
Praktik patronase pada umumnya terjadi dalam kerangka sistem birokrasipolitik yang masih patrimonial seperti di Indonesia. Meskipun demikian, praktik
patronase juga terjadi di negara-negara dengan sistem birokrasi-politik yang rasional
28 James C. Scott (1972), Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia,
American Political Science Review, 66 hal.92
29 Ibid

10

seperti di Amerika Serikat (AS). Di AS, Presiden, Gubernur, dan Walikota memiliki
dan menerapkan hak untuk menunjuk pendukung-pendukung setianya dalam
pemilihan umum untuk menduduki berbagai posisi politik dan pemerintahan sebagai
balas jasa. Hubungan patronase ini disebut spoils system, yang memungkinkan
pendukung-pendukung petahana memiliki posisi yang lebih besar dalam menentukan
arah politik dan kebijakan. Perbedaannya, praktik patronase demikian termasuk legal
karena diatur dengan tertib dan diawasi secara ketat. Orang-orang yang dikenal lebih
dekat akan jauh lebih loyal sehingga praktik patronase demikian bersifat fungsional
bagi berjalannya sistem politik, apalagi jika yang dipilih merupakan orang-orang yang
memang kompeten di bidangnya.30
Namun, pada kebanyakan kasus, patronase politik bersifat non-demokratis
karena distribusi sumber-sumber daya publik yang diberikan oleh pejabat politik
kepada

pendukung-pendukungnya

tidak

mempedulikan

berbagai

prosedur

administratif, aturan hukum serta kriteria kompetensi. Loyalitas lebih diutamakan
ketimbang kompetensi klien, sehingga mengabaikan hak-hak dan kebutuhan warga.
Patronase seringkali menimbulkan korupsi oleh karena individu-individu yang
berhutang pada patron dipaksa untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang ilegal
dengan meraup sumber-sumber daya publik demi akumulasi kekuasaan politikekonomi.
Dalam konteks politik lokal (pemilukada) di Indonesia, kita dapat merujuk
Aspinall dan Sukmajati (2015) yang membagi praktik patronase menjadi dua, yakni
prapemilihan dan pascapemilihan. Bentuk patronase prapemilihan antara lain berupa
pembagian uang, sembako, bantuan pendirian tempat ibadah, ataupun pemberian
bantuan sosial lainnya. Sementara itu bentuk patronase pascapemilihan, antara lain
pemberian proyek-proyek pemerintah kepada para tim sukses ataupun jabatan-jabatan
strategis lain yang dilakukan setelah pemilihan. Imbalan yang dapat diberikan juga
dapat berupa perizinan untuk kegiatan usaha, termasuk di dalamnya ialah perizinan
konversi lahan untuk usaha perkebunan.31
Pada penelitian ini, kepala daerah/bupati Kabupaten Langkat, Ngosesa Sitepu
diposisikan sebagai patron yang memiliki otoritas kekuasaan yang mampu
‘mengendalikan’ (‘rent seizing’) proses birokratis sedemikian rupa, sehingga ia
30 Deky Lioman dan Ida Oetari P, Reformasi Kepegawaian Negeri di Amerika Serikat,
paper di download dari www.academica.edu pada 28 Mei 2016, pukul 19.00 WIB
31 Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia (Patronase dan
Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014, Yogyakarta: Polgov, 2015.

11

memperoleh kewenangan/akses secara langsung atas aset negara dan kemudian
memberikannya dalam bentuk pemberian izin konversi lahan kepada klien yang dalam
hal ini merupakan pengusaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Langkat yang
memiliki kepentingan untuk melakukan ekspansi perluasan lahan bisnisnya.
Sedangkan sebagai imbalannya, para pengusaha tersebut memberikan dukungan bagi
bupati untuk mempertahankan kekuasaannya melalui pendanaan dalam kontestasi
pemilukada.
b.

Defenisi Konsep Deforestasi
Estimasi mengenai luas areal deforestasi di Indonesia sangatlah berbeda-beda.

Hal ini disebabkan oleh penggunaan defenisi deforestasi yang kurang jelas dan tidak
konsisten. Dalam makalah yang diterbitkan oleh Center for International Forestry
Research (CIFOR) misalnya, beberapa kesulitan utama dalam penggunaan istilah
‘deforestasi’ seperti misalnya, apakah ‘deforestasi’ hanya berarti hilangnya tutupan
hutan secara permanen, atau baik permanen maupun sementara? Apakah ‘deforestasi’
berarti hilangnya tutupan hutan untuk segala macam penggunaan, atau apakah artinya
hilangnya tutupan hutan yang tidak dapat menghasilkan karya? Serta, apakah
‘deforestasi’ berarti hilangnya tutupan hutan saja, atau apakah juga berarti hilangnya
berbagai ciri-ciri kelengkapan hutan, misalnya kelebatannya, strukturnya dan
komposisi spesiesnya?32
Dengan memakai defenisi ‘deforestasi’ sebagai hilangnya tutupan hutan secara
permanen maupun sementara misalnya, maka dengan demikian praktik perladangan
berpindah yang sebenarnya akan kembali menjadi hutan sekunder juga dipandang
sebagai deforestasi. Dua diantara penelitian utama yang secara tersirat menggunakan
defenisi ini ialah penelitian yang dilakukan oleh FAO (1990) serta World Bank
(1990), sehingga hasil penelitian menganggap peran petani rakyat yang kerap
menggunakan praktik perladangan berpindah sebagai penyebab utama deforestasi.
Perbedaan defenisi konsep ‘deforestasi’ menyangkut hilangnya tutupan hutan
saja, atau berarti pula hilangnya berbagai ciri-ciri kelengkapan hutan juga memiliki
implikasi yang memunculkan kekisruhan. Bila menyangkut tutupan hutan saja, luas
kawasan yang hilang lebih kecil dari pada bila yang dimaksud menyangkut hilangnya
berbagai ciri-ciri kelengkapan hutan. Degradasi hutan merupakan masalah penting
dalam penilaian perbandingan efek lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan
32 Log Cit, William D. Sunderlin dan Aju Pradnja Resosudarmo (1997). hal. 7-8

12

pertanian rakyat dan kegiatan pembalakan. Pada sistem perladangan berpindah,
misalnya, lahan yang ditanami sering dikatakan sebagai lahan yang telah mengalami
‘deforestasi,’ namun lahan ini kelak dapat kembali menjadi tutupan hutan. Hutanhutan yang ditebang dalam kegiatan pembalakan secara besar-besaran sering tidak
dianggap telah mengalami ‘deforestasi,’ hanya karena masih banyak pohon yang
tegak setelah tebang pilih, tetapi dalam beberapa kasus mungkin banyak sekali fungsi
lingkungan yang telah hilang dari hutan tersebut.33
Pemakaiaan defenisi konsep seputar ‘deforestasi’ sangatlah erat kaitannya
dengan pandangan peneliti yang mewakili kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan
demikian haruslah ada upaya untuk mempertegas defenisi konsep ‘deforestasi’
sebagai prasyarat dalam meningkatkan kualitas penelitian mengenai perubahan
tutupan hutan. Dalam makalahnya, CIFOR menganjurkan pemakaian metodologi
yang dikembangkan oleh FAO (1996) untuk menganalisa perubahan tutupan hutan.
Metodologi ini mencakup definisi yang tepat mengenai “hutan” dan “deforestasi”
yang apabila diterapkan secara sistematis menurut mereka dapat mencegah kekisruhan
dan interpretasi selektif atas data tutupan hutan.
Defenisi ‘hutan’ dan ‘deforestasi’ yang dipakai oleh FAO (1996) ialah sebagai
berikut: ‘hutan’ dijabarkan sebagai hutan alam (baik hutan yang luas atau yang
terfragmentasi/terpotong-potong); ‘non-hutan’ merujuk pada lahan-lahan lain yang
berhutan, termasuk semak belukar dan lahan dalam masa bera pendek; serta vegetasi
berkayu buatan manusia mencakup perkebunan tanaman keras.34 Studi ini memakai
tiga tingkatan defenisi ‘hutan’ dan ‘perubahan tutupan hutan,’ sesuai dengan berbagai
tujuan peneliti. ‘Hutan’ dijabarkan sebagai: ‘hutan tertutup’; ’hutan tertutup + terbuka
+ 2/3 terpotong-potong/terfragmentasi’; atau ‘hutan tertutup + terbuka + terpotongpotong/terfragmentasi + lahan dalam masa bera yang panjang.35’
Adapun ‘perubahan tutuan hutan’ (deforestasi) didefenisikan sebagai berikut:36


Deforestasi kotor (gross deforestation) dihitung sebagai “jumlah seluruh areal
transisi dari kategori-kategori hutan alam (utuh dan terpotong-potong) ke
semua kategori-kategori lain.”

33 Op cit, William D. Sunderlin dan Aju Pradnja Resosudarmo (1997). hal. 8
34 FAO, Forest Resource Assessment 1990: Survey of Tropical Forest Cover and Study of
Change Processes. hal. 20
35 Ibid. hal. 20
36 Ibid. hal. 22

13



Deforestasi neto dihitung sebagai “luas areal deforestasi kotor dikurangi
seluruh areal transisi dari kategori-kategori lain ke kategori-kategori hutan
alam.”



Degradasi neto hutan alam dihitung dari areal transisi dalam kategori-kategori
hutan alam, dengan menjumlahkan semua perubahan yang berhubungan
dengan degradasi dikurangi semua perubahan yang berhubungan dengan
perbaikan kondisi hutan (amelioration).37
Adapun untuk penyebab perubahan tutupan hutan harus diklasifikasi dalam

tiga tingkatan penjelasan, yakni: pelaku; penyebab langsung; dan penyebab yang
mendasari perubahan tutupan hutan.38 Pelaku merujuk kepada orang-orang atau
organisasi, misalnya petani rakyat, perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI)
yang mempunyai peran fisik dan atau peranan membuat keputusan langsung dalam
perubahan tutupan hutan. Penyebab langsung perubahan tutupan hutan adalah
parameter-parameter keputusan yang mempunyai pengaruh langsung pada perilaku
para pelaku.
Contoh dari parameter-parameter yang dimaksud adalah: harga-harga relatif;
akses relatif ke sumberdaya dan pasar; ketersediaan teknologi; peraturan-peraturan
mengenai penggunaan sumber daya; dan tradisi kebudayaan. Penyebab yang
mendasari perubahan tutupan hutan mencakup kekuatan-kekuatan nasional, regional,
atau internasional yang dapat mengatur pengaruh parameter-parameter keputusan.
Contoh dari kekuatan-kekuatan demikian adalah struktur sosial, hubungan kekuasaan,
pola akumulasi modal, ketentuan-ketentuan perdagangan, dan perubahan-perubahan
demografis dan teknologi.39
Akan tetapi untuk alasan praktis, penelitian ini tidak akan menggunakan
seluruh parameter untuk menjelaskan perilaku para pelaku penyebab perubahan
tutupan hutan (deforestasi), melainkan terfokus pada penggunaan salah satu parameter
saja, yakni hubungan kekuasaan. Pola relasi patron-klien antara kepala daerah dengan
pengusaha perkebunan kelapa sawit akan diuji sebagai variabel
terhadap laju perubahan tutupan hutan

x

(dependent)

(deforestasi) sebagai variabel

y

37 Degradasi didefenisikan sebagai “turunnya kelebatan atau meningkatnya gangguan
dalam kelas-kelas hutan” dan perbaikan kondisi hutan (amelioration) didefenisikan
sebagai “peningkatan kelebatan atau turunnya gangguan dalam kelas-kelas hutan.” FAO
1996: hal. 21
38 Log cit, William D. Sunderlin dan Aju Pradnja Resosudarmo (1997), hal. 17
39 Op cit (1997), hal. 8

14

(independent) di Kabupaten Langkat pada era kepemimpinan Ngosesa Sitepu dalam
rentang antara tahun 2009-2014.
VI.

Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, yang berarti memiliki
implikasi berupa penggunaan model-model pengukuran terhadap variabel-variabel
yang membentuk sebuah fenomena sosial untuk diuji berdasarkan asumsi/argumen
penelitian dengan cara yang sah berdasarkan kriteria yang ilmiah. Dalam hal ini
subjek penelitian ialah kawasan tutupan hutan di Kabupaten Langkat, dengan laju
deforestasi sebagai variabel bebas ( y ) sedangkan variabel yang mempengaruhinya
ialah praktik patronase antara kepala daerah dengan pengusaha perkebunan kelapa
sawit ( x ).
Dalam penelitian ini perlu dirumuskan sebuah skala kuantifikasi yang dapat
menjadi instrumen pengukuran agar dapat menjelaskan secara sah berdasarkan
kriteria ilmiah, hubungan antara variabel

x

(patronase kepala daerah dengan

pengusaha kelapa sawit) terhadap variabel

y

(deforestasi di daerah). Untuk itu

dipakai formulasi sebagai berikut:
x . c= y
x=xa . xb

Maka,
y

=

xa . xb .c

Dimana,
x adalah hubungan patronase KD-Pengusaha PKS
xa adalah adanya PKS yang memperoleh izin IUP/perluasan HGU (2009-2014)

xb adalah adanya dukungan Pengusaha PKS kepada KD dalam kontestasi politik
c

adalah izin IUP/perluasan HGU PKS berada di kawasan tutupan hutan

y

adalah laju deforestasi yang disebabkan oleh praktik patronase KD-Pengusaha

PKS
Dalam penelitian ini, hubungan patronase antara kepala daerah dengan
pengusaha kelapa sawit ( x ) dipandang sah apabila memenuhi dua kriteria, yakni
adanya pemberian izin usaha perkebunan baru atau perluasan hak guna usaha oleh
kepala daerah kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit ( xa ), serta sebagai
imbalannya, terdapat dukungan pengusaha perkebunan kepada sawit terhadap
15

kampanye calon kepala daerah petahana dalam pemilukada yang dilaksanakan pada
tahun 2014 ( xb ). Sedangkan untuk mencapai kesimpulan adanya deforestasi ( y
), maka perlu dikonfirmasi apakah perluasan izin konversi lahan perkebunan kelapa
sawit yang diberikan dalam pola relasi patron-klien tersebut berada di kawasan
tutupan hutan ( c ) dengan merujuk pada defenisi konsep tutupan hutan yang telah
dijabarkan pada bagian sebelumnya.
Seluruh variabel yang hendak diuji akan memiliki jawaban ya atau tidak, yang
kemudian dikonversikan dalam bentuk angka (ya=1, tidak=0) untuk memudahkan
proses kuantifikasi. Jika nilai

y =1, maka temuan penelitian sesuai dengan

argumen/hipotesis, sebaliknya jika nilai

y =0, maka temuan penelitian tidak sesuai

dengan argumen/hipotesis. Dengan demikian, untuk membuktikan adanya deforestasi
di Kabupaten Langkat yang disebabkan oleh praktik patronase kepala daerah–
pengusaha perkebunan kelapa sawit dalam rentang 2009-2014, seluruh variabel
dependent harus bernilai 1 (terbukti).
Dalam penelitian ini, seluruh perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di
Kabupaten Langkat merupakan populasi yang hendak diteliti. Penelitian ini sedapat
mungkin akan menguji keseluruhan perusahaan yang berada di Kabupaten Langkat
dengan menggunakan model kuantifikasi yang telah ditetapkan di atas. Dengan
demikian penelitian ini tidak menggunakan penarikan sampel yang hanya mengambil
sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit saja. Hal ini dilakukan untuk
menghindari kekhawatiran bias hasil temuan di lapangan dengan kenyataan yang
sesungguhnya. Adapun data-data hasil temuan dalam penelitian ini akan disajikan
dalam model tabulasi seperti contoh berikut:
x
Perusahaan PKS
PT. A
PT. B
PT. C
PT. D
dst...

xa

xb

1
0
1
0

1
1
1
0

c

y

0
1
1
1

0
0
1
0

Tabel 1.0: Contoh model tabulasi hasil temuan penelitian, ya=1, tidak=0
Untuk menilai besar atau kecilnya signifikansi pengaruh antara praktik
patronase kepala daerah dengan pemilik/pengusaha perkebunan kelapa sawit terhadap

16

laju deforestasi di Kabupaten Langkat, maka dipergunakanlah formulasi sebagai
berikut:

∑ y ×100=k
T

Dimana,

∑y

adalah agregat laju deforestasi yang disebabkan oleh praktik patronase KD-

Pengusaha PKS
T

adalah total keseluruhan perusahaan PKS yang beroperasi di Kabupaten Langkat

k

adalah besarnya signifikansi pengaruh antara praktik patronase KD-Pengusaha

PKS terhadap laju deforestasi (dalam persen)
Dengan ketentuan bobot kriteria, sebagai berikut:
0-35%
=
36-70%
=
71-100% =
Untuk itu

Tidak Signifikan
Signifikan
Sangat Signifikan
diperlukan beberapa data yang penting untuk dikumpulkan dalam

penelitian ini, antara lain ialah: daftar seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit
yang beroperasi di Kabupaten Langkat; informasi mengenai pemilik/pengusaha
swasta seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kabupaten
Langkat; informasi mengenai adanya dukungan pemilik/pengusaha perkebunan kelapa
sawit yang beroperasi di Kabupaten Langkat dengan Bupati Ngosesa Sitepu dalam
pemilukada 2014; serta seluruh penerbitan izin konversi lahan,40

berdasarkan

perusahaan perkebunan dalam rentang antara tahun 2009-2014 beserta status lahan
yang diberikan izin (termasuk kawasan hutan atau non-hutan).
Untuk memperoleh daftar seluruh perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di
daerah serta daftar penerbitan izin konversi lahan perkebunan kelapa sawit di
Kabupaten Langkat dalam rentang antara 2009-2014, peneliti akan memintanya dari
instansi yang memiliki otoritas terkait, seperti Dinas Perkebunan dan Kehutanan
Kabupaten Langkat. Adapun untuk memperoleh informasi seputar pemilik/pengusaha
swasta yang memiliki perkebunan kelapa sawit tersebut, status lahan yang digunakan
(termasuk kawasan hutan/non-hutan), serta informasi seputar dukungan yang
diberikan kepada calon bupati petahana yang diberikan oleh pemilik/pengusaha
kelapa sawit, maka peneliti akan menempuh dua cara, yakni: dengan melakukan studi
kepustakaan berupa informasi-informasi yang ada di media (baik cetak, maupun
40 Baik IUP-B, IUP-P, maupun IUP. Baca: Permentan Nomor 98 tahun 2013 tentang
Pedoman Usaha Perkebunan (catatan kaki no.11)

17

daring); serta dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci (baik
dengan tokoh masyarakat setempat, peneliti yang telah melakukan studi terkait,
jurnalis yang memiliki informasi terkait, pihak pemerintah daerah, maupun dengan
pihak perkebunan kelapa sawit sendiri).
VII.

Sistematika Penulisan
a. Pada Bab I Pendahuluan akan diuraikan tentang latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis/argumen, kerangka teori, serta
sistematika penulisan.
b. Pada Bab II akan diuraikan tentang gambaran umum seputar kabupaten langkat
terutama menyangkut pembagian penguasaan geospasial oleh perusahaanperusahaan perkebunan kelapa sawit, kaitan antara pengusaha-pengusaha
perkebunan kelapa sawit (terutama yang swasta) dengan bupati, serta penjabaran
seputar kondisi perubahan tutupan hutan yang ada di Kabupaten Langkat selama
era kepemimpinan Ngosesa Sitepu periode pertama (2009-2014).
c. Pada Bab III akan dijelaskan analisis berdasarkan pengujian hasil temuan dan
data-data dengan kerangka teori untuk mencari hubungan antara praktik patronase
kepala daerah dengan pengusaha kelapa sawit terhadap laju deforestasi di
Kabupaten Langkat.
d. Pada Bab IV Kesimpulan akan berisi kesimpulan hasil-hasil temuan serta
implikasi teoritis yang terjadi berdasarkan temuan penelitian.

VIII.

Daftar Pustaka
Aspinall, Edward dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia (Patronase
dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014, Yogyakarta: Polgov, 2015
Aspinall, Edward dan Gerry van Klinken (eds.). 2011. The State and Illegality
in Indonesia. Leiden: KITLV Press
Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, Luas Kawasan Hutan di Kabupaten
Langkat Dirinci Menurut Fungsi Hutan (Ha), berdasarkan survei 2012-2014,
(langkatkab.bps.go.id)
Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, Planted, Production and
Productivity of Oil Crops According to the District, berdasarkan survei 2008-2014
(langkatkab.bps.go.id)

18

Badan Pusat Statistik, Luas Tanaman Perkebunan Besar Menurut Jenis
Tanaman di Indonesia, berdasarkan survei tahun 1995 – 2014, (www.bps.go.id)
Badan Pusat Statistik, Produksi Perkebunan Menurut Provinsi dan Jenis
Tanaman, berdasarkan survei tahun 2013 (www.bps.go.id)
Badan Pusat Statistik. 2014. Luas Kawasan Hutan Indonesia, (www.bps.go.id)
Burgess, Robin. et. al. 2011. The Political Economy of Deforestation in The
Tropics
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, Luas Tanaman Kelapa
Sawit, data berdasarkan survei tahun 2011, (dishutbun.langkatkab.go.id)
FAO. 1990. Situation and Outlook of the Forestry Sector in Indonesia. Volume
1: issues, findings and opportunities. Ministry of Forestry, Government of Indonesia;
Food and Agriculture Organization of the United Nations, Jakarta.
FAO. 1996. Forest Resources Assessment 1990: Survey of Tropical Forest
Cover and Study of Change Processes. FAO Forestry Paper 130. Food and Agriculture
Organization of the United Nations, Rome.
James C. Scott, Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia,
American Political Science Review, 66 (Maret 1972)
Lioman, Deky dan Ida Oetari P, Reformasi Kepegawaian Negeri di Amerika
Serikat, (www.academica.edu)
McCarthy, John. 2004. Changing to Gray: Decentralization and the
Emergence of Volatile Socio-legal Configurations in Central Kalimantan, Indonesia.
Working Paper 101. Asia Research Centre, Murdoch University.
Mietzner, Marcus. 2011. Funding Pilkada: Illegal Campaign Financing in
Indonesia's Local Elections. In Indonesia. Leiden: KITLV Press
Neuman, W. Lawrence. 2013. Metodologi Penelitian Sosial; Pendekatan
Kualitatif dan Kuantitatif, Edisi 7, Jakarta: PT Indeks
Nordholt, Henk Schulte and Gerry van Klinken (eds.), 2007. Renegotiating
Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press
Ross, Michael L. 2004. Timber Booms and Institutional Breakdown in
Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press.
Sjafrina, Almas, dkk. 2011. Menguras Bumi, Merebut Kursi: Patronase
Politik-Bisnis Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Kutai Barat dan Ketapang. Indonesia
Corruption Watch Policy Paper
19

Sunderlin, William D. dan Aju Pradnja Resosudarmo. Laju dan Penyebab
Deforestasi di Indonesia: Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya, CIFOR,
Occasional Paper No. 9 (I) Maret 1997
Valescchi, M. 2012. Local Elections and Corruption during Democratization:
Evidence from Indonesia
Varkkey, H. 2012. Patronage politics as a driver of economic regionalism:
The Indonesian oil sector and transboundary haze
World Bank. 1990. Indonesia: Sustainable Development of Forests, Land, and
Water. The World Bank, Washington, DC
Media/Blog Daring:
id.wikipedia.org
kabar24.bisnis.com
utamanews.com
www.antaranews.com
www.dw.com
www.indonesia-investments.com
www.langkatonline.com
www.medanbisnisdaily.com
tengkudirkhansyah.wordpress.com

20