Jenis Jenis Hak atas tanah di Indonesia
Jenis-Jenis Hak Atas Tanah di Indonesia
18 01 2010
Pembentukan HTN (Hukum Tanah Nasional) yang diawali lahirnya UUPA berusaha
melakukan unifikasi hukum tanah adat dan barat menjadi hukum tanah yang bersifat
tunggal. Tanah disini dimaknai secara filosofis yang cenderung diartikan sebagai land dan
bukan soil. Sehingga tanah dipandang dari multi dimensional dan multi aspek.
Bahwa sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di Indonesia yakni
hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Dualisme hukum agraria ini baru berakhir
setelah berlakunya UUPA yakni sejak tanggal 24 September 1960 dan sejak itu untuk seluruh
wilayah Republik Indonesia hanya ada satu hukum agraria, yaitu hukum agraria berdasarkan
Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria atau UUPA.
Unifikasi hukum tanah dalam UUPA berupaya melembagakan hak-hak atas tanah yang baru.
Pembentukan HTN kemudian diikuti dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundangundangan baru. Hasilnya, hak-hak atas tanah yang baru dapat dibuat dalam hierarki yang
berjenjang.
Urutan vertikal mengenai hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional
(UUPA) menurut Boedi Harsono yang dikutip oleh Noor (2006) dalam susunan berjenjang
yaitu sebagai berikut :
1. Hak bangsa, sebagai yang disebut dalam Pasal 1 UUPA, merupakan hak penguasaan
atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah dalam wilayah negara, yang
merupakan tanah bersama. Hak bangsa ini dalam penjelasan Umum Angka II UUPA
dinyatakan sebagai hak ulayat yang dingkat pada tingkat yang paling atas, pada
tingkat nasional, meliputi semua tanah di seluruh wilayah negara.
2. Hak menguasai dari negara sebagaimana yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945, merupakan hak penguasaan atas tanah sebagai penugasan pelaksanaan hak
bangsa yang termasuk bidang hukum publik, meliputi semua tanah bersama bangsa
Indonesia.
Makna dikuasai oleh negara tidak terbatas pada pengaturan, pengurusan, dan pengawasan
terhadap pemanfaatan hak-hak perorangan. Akan tetapi negara mempunyai kewajiban untuk
turut ambil bagian secara aktif dalam mengusahakan tercapainya kesejahteraan rakyat. Dalam
hal dikuasai oleh negara dan untuk mencapai kesejahteraan rakyat menurut Bagir Manan
yang dikutip oleh Warman (2006), negara Indonesia merdeka adalah negara kesejahteraan
sebagaimana termaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Dasar pemikiran lahirnya konsep hak
penguasaan negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merupakan perpaduan antara teori
negara hukum kesejahteraan dan konsep penguasaan hak ulayat dalam persekutuan hukum
adat. Makna penguasaan negara adalah kewenangan negara untuk mengatur (regelen),
mengurus (bestuuren), dan mengawasi (tozichthouden) (Abrar, 1993). Substansi dari
penguasaan negara adalah dibalik hak, kekuasaan atau kewenangan yang diberikan kepada
negara terkandung kewajiban negara untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah sebagai
sumber daya ekonomi bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
1. Hak ulayat, dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada, hak
ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah bersama masyarakat hukum adat
tertentu.
2. Hak perorangan yang memberikan kewenangan untuk memakai, dalam arti
menguasai, menggunakan, dan atau mengambil manfaat tertentu dari suatu bidang
tanah tertentu, yang terdiri dari :
1. Hak atas tanah, berupa hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak
pakai, hak milik atas satuan rumah susun, hak sewa, hak membuka tanah, dan
hak memungut hasil hutan yang ketentuan pokoknya terdapat dalam UUPA,
serta hak lain dalam hukum adat setempat, yang merupakan hak penguasaan
atas tanah untuk dapat memberikan kewenangan kepada pemegang haknya,
agar dapat memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki dalam memenuhi
kebutuhan pribadi atau usahanya (Pasal 4, 9, 16, dan BAB II UUPA).
2. Hak atas tanah wakaf, yang merupakan penguasaan atas suatu bidang tanah
tertentu, bekas hak milik (wakaf) yang oleh pemiliknya dipisahkan dari harta
kekayaannya
dan
melembagalan
selama-lamanya
untuk
kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran agama islam (Pasal 49
UUPA jo Pasal 1 PP No. 28 tahun 1977).
3. Hak tanggungan, sebagai satu-satunya lembaga jaminan hak atas tanah dalam
hukum tanah nasional, merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi
kewenangan kepada kreditor tertentu untuk menjual lelang bidang tanah
tertentu yang dijadikan jaminan bagi pelunasan piutang tertentu dalam hal
debitor cidera janji dan mengambil pelunasan dari hasil penjualan tersebut,
dengan hak mendahului dari hak-hak kreditor (rechts prevelijk) yang lain
(Pasal 57 UUPA jo Pasal 1 UU No. 4 tahun 1996).
Menurut Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sistem penguasaan tanah di
Indonesia yang merupakan hak perorangan mengakui adanya berbagai hak atas tanah berikut:
1. Hak milik, hak milik digambarkan sebagai “hak yang paling penuh dan paling kuat
yang bisa dimiliki atas tanah dan yang dapat diwariskan turun temurun”. Suatu hak
milik dapat dipindahkan kepada pihak lain. Hanya warga negara Indonesia (individu)
yang bisa mendapatkan hak milik, sedangkan jika menyangkut korporasi maka
pemerintah akan menentukan korporasi mana yang berhak mendapatkan hak milik
atas tanah dan syarat syarat apa yang harus dipenuhi oleh korporasi untuk
mendapatkan hak ini.
Terjadinya dan cara mendapatkan hak milik bisa diakibatkan karena (Sarah, 1978) :
1. Peralihan, beralih atau dialihkan (warisan, jual beli, hibah).
2. Menurut hukum adat, karena penetapan pemerintah dan undang-undang (konversi).
Hak atas tanah menurut hukum adat yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip
dengan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA dengan nama apapun juga
yang akan ditegaskan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah mendengar kesaksian
dari masyarakat setempat, dikonversi menjadi hak milik.
1. Hak guna usaha, suatu hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikontrol secara langsung oleh negara untuk waktu tertentu, yang dapat diberikan
kepada perusahaan yang berusaha dibidang pertanian, perikanan atau peternakan.
Suatu hak guna usaha hanya dapat diberikan atas tanah seluas minimum 5 ha, dengan
catatan bahwa jika tanah yang bersangkutan lebih luas dari 25 hektar, investasi Sistem
Penguasaan Tanah dan Konflik yang cukup akan dilakukan dan pengelolaan usaha
secara baik akan diberlakukan. Hak guna usaha bisa dipindahkan ketangan pihak lain.
Jangka waktu pemberian hak guna usaha diberlakukan dengan ketat (maksimum 25
tahun). Hanya warga negara Indonesia dan badan usaha yang dibentuk berdasar
undang undang Indonesia dan berdomisili di Indonesia dapat memperoleh hak guna
usaha. Hak guna usaha dapat digunakan sebagai kolateral pinjaman dengan
menambahkan hak tanggungan (security title).
2. Hak guna bangunan, hak guna bangunan digambarkan sebagai hak untuk mendirikan
dan memiliki bangunan diatas tanah yang dimiliki oleh pihak lain untuk jangka waktu
maksimum 30 tahun. Suatu hak guna bangunan dapat dipindahkan kepada pihak lain.
Kepemilikan hak guna bangunan juga hanya bisa didapatkan oleh warga negara
Indonesia dan perusahaan yang didirikan dibawah hukum Indonesia yang berdomisili
di Indonesia.
3. Hak pakai, hak pakai adalah hak untuk memanfaatkan, dan/atau mengumpulkan hasil
dari tanah yang secara langsung dikontrol oleh negara atau tanah yang dimiliki oleh
individu lain yang memberi pemangku hak dengan wewenang dan kewajiban
sebagaimana dijabarkan didalam perjanjian pemberian hak. Suatu hak pakai dapat
diberikan untuk jangka waktu tertentu, atau selama tanah dipakai untuk suatu tujuan
tertentu, dengan gratis, atau untuk bayaran tertentu, atau dengan imbalan pelayanan
tertentu. Selain diberikan kepada warga negara Indonesia, hak pakai juga dapat
diberikan kepada warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Dalam kaitannya
dengan tanah yang langsung dikontrol oleh negara, suatu hak pakai hanya dapat
dipindahkan kepada pihak lain jika mendapatkan ijin dari pejabat yang berwenang.
4. Hak milik atas satuan bangunan bertingkat, adalah hak milik atas suatu bangunan
tertentu dari suatu bangunan bertingkat yang tujuan peruntukan utamanya digunakan
secara terpisah untuk keperluan tertentu dan masing-masing mempunyai sarana
penghubung ke jalan umum yang meliputi antara lain suatu bagian tertentu atas suatu
bidang tanah bersama. Hak milik atas satuan bangunan bertingkat terdiri dari hak
milik atas satuan rumah susun dan hak milik atas bangunan bertingkat lainnya.
5. Hak sewa, suatu badan usaha atau individu memiliki hak sewa atas tanah berhak
memanfaatkan tanah yang dimiliki oleh pihak lain untuk pemanfaatan bangunan
dengan membayar sejumlah uang sewa kepada pemiliknya. Pembayaran uang sewa
ini dapat dilakukan sekaligus atau secara bertahap, baik sebelum maupun setelah
pemanfaat lahan tersebut. Hak sewa atas tanah dapat dimiliki oleh warga negara
Indonesia, warga negara asing, badan usaha termasuk badan usaha asing. Hak sewa
tidak berlaku diatas tanah negara.
6. Hak untuk membuka tanah dan hak untuk memungut hasil hutan, hak membuka tanah
dan hak memungut hasil hutan hanya bisa didapatkan oleh warga negara Indonesia
dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Menggunakan suatu hak memungut hasil hutan
secara hukum tidaklah serta merta berarti mendapatkan hak milik (right of ownership)
atas tanah yang bersangkutan. Hak untuk membuka lahan dan memungut hasil hutan
merupakan hak atas tanah yang diatur didalam hukum adat.
7. Hak tanggungan, hak tanggungan tercantum dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1996
sehubungan dengan kepastian hak atas tanah dan objek yang berkaitan dengan tanah
(Security Title on Land and Land-Related Objects) dalam kasus hipotek.
Konsekuensi pengakuan terhadap hak-hak atas tanah, maka negara wajib memberikan
jaminan kepastian hak atas tanah, sehingga lebih mudah bagi seseorang mempertahankan
haknya terhadap gangguan pihak lain.
HAK-HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA DAN PP NO.40/1996
1. Hak Penguasaan Atas Tanah.
2. Hak-hak Atas Tanah yang bersifat tetap (pasal 16 UUPA)
- Hak Milik
- Hak Guna Usaha
- Hak Guna Bangunan
- Hak Pakai
- Hak Sewa
- Hak Membuka Tanah
- Hak Memungut Hasil Hutan
3. Hak-hak Atas Tanah yang bersifat sementara (pasal 53 UUPA)
- Hak Gadai
- Hak Usaha Bagi Hasil
- Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian
1. Hak Penguasaan Atas Tanah
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi
pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanh yang di hakinya. Sesuatu yang boleh,
wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi
kriteria atau tolo ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam
Hukum Tanah.
Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek
privat dan publik. Penguasaaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak,
yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak
untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau
mengambil mamfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain. Ada juga
penguasaan yuridis, yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang
dihaki secara fisik, pada kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain,
misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi
disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik
tanah akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara
yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara
fisik, misalnya kreditor (bank) pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan
tanah secara yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi secara fisik
penguasaan tetap ada pada pemilik tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah tersebut
diatas dipakai dalam aspek privat atau keperdataan sedang penguasaan yuridis yang beraspek
publik dapat dilihat pada penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 33
ayat (3) UUD 1945 dan pasal 2 UUPA.
Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Hak penguasaan atas tanah sebagai Lembaga Hukum.
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan antara tanah dan orang atau badan hukum
tertentu sebgai pemegang haknya.
2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan antara tanah tertentu sebagai obyek dan
orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya.
Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan Hukum Tanah Nasional, adalah:
1. Hak Bangsa Indonesia atas tanah.
Hak Bangsa Indonesia ats tanah ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan
meliputi semua tanah yang adadalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama,
bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah (lihat pasal 1
ayata (1)-(3) UUPA.
2. Hak Menguasai dari Negara atas tanah.
Hak menguasai dari negara atas tnah bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah, yang
hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenagan bangsa yang mengandung
unsur hukum publik. Tugas mengelola seluruh tnah bersama tidak mungkin dilaksanakan
sendiri oleh seluruh Bangsa Indonesia, mka dala penyelnggaraannya, Bangsa Indonesia
sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan
kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (lihat pasal 2
ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai dari negara atas tanah sebagaimana dimuat dalam pasal 2 ayat
(2) UUPA, adalah:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan
tanah (lihat pasal 10, 14, 15 UUPA).
b. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan tanah
(lihat pasal 7, 16, 17, 53 UUPA).
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum
dan perbuatan –perbuatan hukum yang mengenai tanah (lihat pasal 19 Jo PPNo. 24/1997)
Hak menguasai dari negara adalah pelimpahan wewenang publik oleh hak bangsa.
Konsekuensinya, kewenangan tersebut hanya bersifat publik semata. Tujuan hak menguasai
dari negara atas tanah, yatitu untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti
kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang berdeka, berdaulat, adil dan makmur (lihat pasal 2 ayat (3) UUPA).
3. Hak ulayat masyarakat Hukum adat.
Menurut pasal 1 Permen Aggraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang dimaksud dengan hak ulayat adalah
kewenangan menurut adat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil mamfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun
dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.
Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih ada apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:
a. Masih ada suatu kelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum tertentu
b. Masih adanya wilayah/tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut.
c. Masih adanya tatanam hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
4. Hak perseorangan atas tanah
Hak-hak perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang
haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama atau badan hukum) untuk
memakai, dalam arti menguasai, menggunakan , dan atau mengambil mamfaat dari bidang
tanah tertentu.
a. Hak –hak atas tanah.
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk
menggunakan tanah atau mengambil mamfaat dari tanah yang dihakinya (lihat pasal 16 dan
53 UUPA Jo. PP No 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah).
b. Wakaf tanah Hak Milik.
Wakaf tanah hak milik adalah hak penguasaan atas tanah bekas tanah hak milik, yang oleh
pemiliknya dipisahkan dari harta kekayaannya dan melembagakannya untuk selama-lamanya
guna kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam (lihat
pasal 49 ayat (3) UUPA Jo. PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Jo. Permendagri
No. 6/1977 tentang Tata cara Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik).
c. Hak Tanggungan.
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah termasuk atau
tidak termasuk benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Hak Tanggungan dapat dibebankan kepada Hak
Milik, HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah Negara (lihat pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA Jo.
UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan
dengan Tanah).
d. Hak Milik atas satuan rumah susun.
Hak Milik Atas Satuan Tumah susun yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada sekelompok
orang secara bersama dengan orang lain. Pada Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, bidang
tanah yang di atasnya berdiri rumah susun, hak atas tanahnya dimiliki atau dikuasai secara
bersama-sama oleh seluruh pemilik satuan rumah susun. Hak atas tanah yang dapat dimiliki
atau dikuasai oleh sekuruh satuan rumah susun dapat berupa Hak Milik, HGB atau Hak Pakai
atas tanah Negara (lihat pasal 4 ayat (1) UUPA Jo. UU No. 16/1985 tentang Rumah Susun)
3. Hak-hak Atas Tanah
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada
perseorangan baik warga negara Indonesia mapupun warga negara asing, sekelompok orang
secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum
publik.
Wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2,
yaitu:
1. Wewenang umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk
menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air danruang yang ada di atasnya
sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain.
2. Wewenang khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk
menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenangpada
tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan,
HGB untuk mendirikan bangunan, HGU untuk kepentingan pertanian, perkebunan, perikanan
dan peternakan.
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam pasal 16 Jo 53 UUPA, yang dikelompokkkan
menjadi 3 bidang, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap
Hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut
dengan undang-undang yang baru. Contoh: HM. HGU, HGB, HP, Hak Sewa untuk Bangunan
dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara
Hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapus dikarenakan
mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Contoh: Hak
Gadai,, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat primer
Yaitu hak atas tanah yang bersala dari tanah negara. Contoh: HM, HGU, HGB Atas Tanah
Negara, HP Atas Tanah Negara.
2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Contoh: HGB Atas Tanah Hak
Pengelolaan, HGB Atas Tanah Hak Milik, HP Atas Tanah Hak Pengelolaan, HP Atas Tanah
Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak
Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
A. Hak Milik
Ketentuan Umum mengenai Hak Milik diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a, 20 s/d 27, 50
ayat (1), 56 UUPA.
Pengertian Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah dengan memperhatikan fungsi sosial tanah. Turun temurun artinya Hak
Milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya
meninggal dunia, maka Hak Miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang
memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik. Terkuat artinya Hak Milik atas tanah lebih kuat
dibandingkan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah
dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya Hak Milik
atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada
hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain.
Subyek Hak Milik. Yang dapat mempunyai tanah Hak Milik menurut UUPA dan peraturan
pelaksanaanya, adalah:
1. Perseorangan.
WNI, baik pria maupun wanita, tidak berwarganegaraan rangkap (lihat Pasal 9, 20 (1) UUPA)
2. Badan-badan hukum tertentu.
Badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah, yaitu bank-bank yang
didirikan oleh negara, koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan sosial (lihat Pasal 21
(2) UUPA, PP No.38/1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang Dapat Mempunyai
Hak Atas Tanah, Permen Agraria/Kepala BPN No. 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan).
Terjadinya Hak Milik. Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara sebagai mana
disebutkan dala Pasal 22 UUPA, yaitu:
1. Hak Mik atas tanah yang terjadi Menurut Hukum Adat;
- Terjadi karena Pembukaan tanah (pembukaan hutan).
- Terjadi karena timbulnya Lidah Tanah.
2. Hak Mili Atas tanah tertajdi karena Penetapan Pemerintah;
- Pemberian hak baru (melalui permohonan)
- Peningkatan hak
3. Hak Milik atas tanah terjadi karena Undang-undang;
- Ketentuan Konversi Pasal I, II. VI
Sifat dan ciri-ciri Hak Milik.
1. Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997.
2. Dapat diwariskan.
3. Dapat dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang, penyertaan modal.
4. Turun temurun
5. Dapat dolepaskan untuk kepentingan sosial.
6. Dapat dijadikan induk hak lain.
7. Dapat dijadikan jamnina hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Hapusnya Hak Milik. Pasal 27 UUPA menetapkan faktor-faktor penyebab hapusnya Hak
Milik atas tanah dan tanahnya jatuh kepada negara, yaitu;
1. Karena Pencabutan Hak berdasarkan Pasal 18 UUPA.
2. Dilepaskan secara suka rela oleh pemiliknya.
3. Dicabut untuk kepentinga umum.
4. Tanahnya ditelantarkan.
5. Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai sunyek hak milik atas tanah.
6. Karena peralihan hak yang mengakibatkantanahnya berpindah kepada pihak lain yang
tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik atas tanah.
7. Tanahnya musnah, misalnya terjadi bencana alam.
B. Hak Guna Usaha
Ketentuan umum. Ketentuan Hak Guna Usaha (HGU) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf b, 28 s/d 34, 50 ayat (2) UUPA, Pasal 2 s/d 18 PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan
HP.
Pengertian HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara
dalam jangka waktu tertentu guna kegiatan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, atau
peternakan (lihat Pasal 28 ayat (1), PP No.40/1996).
Subyek HGU. Yang dapat mempunyai HGU menurut Pasal 30 UUPA Jo. Pasal 2 PP No.
40/1996, adalah:
1. Warga Negara Indonesia.
2. Badan Hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Asal dan terjadinya HGU. Asal HGU adalah tanah negara. Kalau asal tanah HGU berupa
tanah hak, maka tanah hak tersebut harus dilakukan pelepasan ata penyerahan hak ole4h
pemegang hak dengan pemberian ganti kerugian oleh calon pemegang hak HGU. Terjadinya
HGU dapat melalui penetapan pemerintah (pemberian hak) dan ketentuan Undang-undang
(ketentuan konversi hak erpacht).
Luas HGU. Luas tanah HGU adalah untuk perserorangan minimal 5 Ha dan maksimal 25 Ha.
Sedangkan untuk badan hukum luas minimal 5 Ha dan luas maksimal 25 Ha atau lebih
(menurut UUPA). Ketentuan luas maksimal tidak ditentukan dengan jelas tetapi PP No.
40/1996 menyebutkan luas maksimal ditetapkan oleh menteri dengan memperhatikan
pertimbangan pejabat yang berwenang. Dengan membandingkan kewenangan Surat
Keputusan Pemberian Hak seperti kewenangan Ka BPN Kota/kab maksimal 25 Ha, Kanwil
BPN maksimal 200 Ha, di atas 200 Ha kewenangan Menteri Agraria/Ka BPN.
Jangka waktu HGU.HGU mempunyai jangka waktu untuk pertama kalinya paling lama 35
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 UUPA).
Sedang menurut Pasal 8 PP No. 40/1996 mengatur jangka waktu HGU untuk pertama kalinya
35 tahun, diperpanjang paling lama 25 tahun dan dapat diperbaharui paling lama 35 tahun.
Permohonan perpanjangan dan pembaharuan diajukan palaing lambat 2 tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu HGU. Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan
perpanjangan waktu atau pembaharuan adalah;
1. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian
haknya.
2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Kewajiban pemegang HGU (lihat Pasal 12 ayat (1) PP No. 40/1996):
1. Membayar uang pemasukan kepada negara.
2. Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan.
3. Mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai kelayakan usaha berdasarkan
kriteria dari instansi teknis.
4. Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam
lingkungan HGU.
5. Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga
kelestarian kemampuan lingkungan hidup.
6. Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan HGU.
7. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGU kepada negara setelah hapus.
8. Menyerahkan sertifikat HGU yang telah hapus kepada kepala Kantor Pertanahan.
Hak pemegang HGU (lihat Pasal 14 PP No. 40.1996)
9. Menguasai dan mempergunakan tanah untuk usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan
atau peternakan.
10. Penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah.
11. Mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain.
12. Membebani dengan Hak Tanggungan
Sifat dan ciri-ciri HGU.
1. Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997.
2. Dapat diwariskan.
3. Dapat dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang, penyertaan modal.
4. Dapat dilepaskan untuk kepentingan sosial.
5. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
6. Haknya mempunyai jangka waktu tertentu.
7. Dapat berinduk pada hak atas tanah yang lain.
8. Peruntukkannya terbatas.
Hapusnya HGU (lihat Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP No. 40/1996);
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat yang tidak dipenuhi.
3. Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya.
4. Dicabut untuk kepentingan umum.
5. Ditelantarkan.
6. Tanahnya musnah.
7. Pemegang HGU tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HGU.
C. Hak Guna Bangunan
Ketentuan umum. Ketentuan menegnai Hak Guna Bangunan (HGB) disebutkan dalam Pasal
16 ayat (1) huruf c, 35 s/d 40, 50 ayat (2) UUPA dan Pasal 19 s/d 38 PP No. 40/1996).
Pengertian HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan yang bukan
miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu.
Subyek HGB. Yang dapat mempunyai HGB menurut Pasal 36 UUPA Jo. Pasal 19 PP No.
40/1996, adalah:
1. Warga Negara Indonesia.
2. Badan Hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Asal atau obyek tanah HGB. HGB berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara,
tanah Hak Pengelolaan atau tanah milik orang lain (lihat Pasal 39 UUPA dan Pasal 21 PP No.
40/1996).
Terjadinya HGB. HGB dapat terjadi karena;
1. Penetapan Pemerintah (tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan).
2. Perjanjian pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
3. Undang-undang, ketentuan tentang Konversi
Jangka waktu HGB. Jangka waktu HGB berbeda sesuai dengan asal tanahnya, sbb:
1. HGB atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali
paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan
dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
2. HGB atas tanah Hak Milik berjangka waktu paling lama 30 tahun, tidak ada perpanjangan
waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang HGB dapat
diperbarui dengan pemberian HGB baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib
didaftarkan pada kantor BPN setempat.
Kewajiban pemegang HGB (lihat Pasal 30 dan Pasal 31 PP No. 40/1996):
1. Membayar uang pemasukan kepada negara.
2. Menggunakan tanah sesuai peruntukkannya.
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup.
4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGB kepada negara, pemegang Hak
Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah HGB hapus.
5. Menyerahkan sertifikat HGB yang telah hapus kepada kepala Kantor Pertanahan.
6. Memberikan jaln keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang
tanah yang terkuryng oleh tanah HGB.
Hak pemegang HGB (lihat Pasal 32 PP No. 40.1996)
1. Menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu.
2. Mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya.
3. Mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain.
4. Membebani dengan Hak Tanggungan
Sifat dan ciri-ciri HGB.
1. Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997.
2. Dapat diwariskan.
3. Dapat dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang, penyertaan modal.
4. Dapat dilepaskan untuk kepentingan sosial.
5. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
6. Haknya mempunyai jangka waktu tertentu.
7. Dapat berinduk pada hak atas tanah yang lain.
8. Peruntukkannya terbatas.
Hapusnya HGB( lihat Pasal 40 UUPA dan Pasal 35 PP No. 40/1996);
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak
Milik sebelum jangka waktu berakhir, karena;
- Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atu dilanggarnya ketentuanketentuan dalam HGB.
- Tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian
pemberian hak antara pemegang HGB dengan pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang
Hak Milik.
- Putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.
3. Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya.
4. Dicabut untuk kepentingan umum.
5. Ditelantarkan.
6. Tanahnya musnah.
7. Pemegang HGB tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HGB.
D. Hak Pakai
Ketentuan umum. Hak Pakai (HP) diatur dalam Pasal 16 ayat 9!) huruf d, 41 s/d 43, 50 ayat
(2) UUPA dan Pasal 39 s/d 58 PP No. 40/1996.
Pengertian HP adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberian haknya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah (lihat Pasal
41 (1) UUPA).
Subyek HP (lihat Pasal 42 UUPA dan Pasal 39 PP No. 40/1996):
1. Warga Negara Indonesia.
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Daerah.
4. Badan-badan keagamaan dan sosial.
5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia (lihat PP No. 41/1996).
6. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
Asal atau obyek HP (lihat Pasal 41 (1) PP No. 40/1996):
1. Tanah Negara.
2. Tanah Hak Pengelolaan.
3. Tanah Hak Milik.
Terjadinya HP. HP dapat terjadi karena;
1. Penetapan Pemerintah (tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan).
2. Perjanjian pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
3. Undang-undang, ketentuan tentang Konversi.
Jangka waktu HP. Jangka waktu HP berbeda sesuai dengan asal tanahnya, (lihat Pasal 45 s/d
49 PP No. 40/1996) sbb:
1. HP atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali
paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan
dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Khusus HP yang dipunyai oleh
Departemen, Lembaga Non Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan keagamaan dan
sosial, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan internasional diberikan untuk jangka
waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
2. HP atas tanah Hak Milik berjangka waktu paling lama 25 tahun, tidak ada perpanjangan
waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang HP dapat diperbarui
dengan pemberian HP baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada
kantor BPN setempat.
Kewajiban pemegang HP (lihat Pasal 50 dan Pasal 51 PP No. 40/1996):
1. Membayar uang pemasukan kepada negara, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan
atau Hak Milik.
2. Menggunakan tanah sesuai peruntukkannya sesuai keputusan pemberian haknya,
perjanjian pengguanaan tanah Hak Pengelolaan atau Hak Milik..
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup.
4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HP kepada negara, pemegang Hak
Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah HP hapus.
5. Menyerahkan sertifikat HP yang telah hapus kepada kepala Kantor Pertanahan.
6. Memberikan jaln keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang
tanah yang terkuryng oleh tanah HP.
2.
Hak pemegang HP (lihat Pasal 52 PP No. 40.1996)
1. Menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau
usahanya.
2. Memindahkan hak tersebut kepada pihak lain.
3. Membebani dengan Hak Tanggungan.
4. Menguasai dan menggunakan tanah untuk janga waktu yang tidak ditentukan selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Sifat dan ciri-ciri HP.
1. Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997.
2. Dapat diwariskan.
3. Dapat dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang, penyertaan modal.
4. Dapat dilepaskan untuk kepentingan sosial.
5. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
6. Haknya mempunyai jangka waktu tertentu.
7. Dapat berinduk pada hak atas tanah yang lain.
8. Peruntukkannya terbatas.
Hapusnya HP( lihat Pasal 55 PP No. 40/1996);
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak
Milik sebelum jangka waktu berakhir, karena;
- Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atu dilanggarnya ketentuanketentuan dalam HP.
- Tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian
pemberian hak antara pemegang HP dengan pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak
Milik.
- Putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.
3. Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya.
4. Dicabut untuk kepentingan umum.
5. Ditelantarkan.
6. Tanahnya musnah.
7. Pemegang HP tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HP.
E. Hak Sewa Untuk Bangunan
Ketentuan umum. Ketentuan mengenai Hak Sewa Untuk Bangunan (HSUB) disebutkan
dalam Pasal 16 ayat (1), 44, 45, 52 ayat(2) UUPA.
Pengertian HSUB adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan di atas tanah Hak Milik orang lain dengan membayar sejumlah
uang sewa tertentu dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan
pemegang HSUB (lihat Pasal 44 (1) UUPA). HSUB merupakan hak pakai yang mempunyai
sifat-sifat khusus. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-banguna yang berhubung
dengan pertanian (Lihat Pasal 10 (1)).
Subyek HSUB (lihat Pasal 45 UUPA).
1. Warga Negara Indonesia.
2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Objek HSUB. Hak atas tanah yang dapat disewakan kepada pihak lain adalah Hak Milik dan
objek yang disewakan pemilik tanah kepada pemeganag HSUB adalah tanah bukan
bangunan.
Terjadinya HSUB karena perjanjian persewaan tanah yang tertulis antara pemilik tanah
dengan pemegang HSUB, yang tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengadung unsurunsur pemerasan.
Jangka waktu HSUB.. UUPA tidak mengatur secara tegas berapa lama jangka waktu HSUB,
jangka waktu HSUB diserahkan kepada kesepakatan anatar pemilik tanah dengan pemegang
HSUB.
Pembayaran uang sewa dalam HSUB. Ketentuan mengenai pembanyaran uang sewa dapat
dilakukan satu kali atau tiap-tiap waktu tertentu. Juga dapat dilakukan sebelum atau sesudah
tanahnya dipergunakan oleh pemegang HSUB. Tergantung kesepakatan antara pemilik tanah
dengan pemegang HSUB.
Peralihan HSUB. Pada dasarnya pemegang HSUB tidak diperbolehkan mengalihkan hak
sewanya kepada pihak lain tanpa seizin dari pemilik tanah. Pelanggaran terhadap larangan ini
dapat berakibat terputusnya hubungan sewa-menyewa antara pemili tanah dan pemegang
HSUB.
Sifat dan ciri-ciri HSUB;
1. Tujuan pengunaannya sementara, artinya jangka waktu terbatas.
2. Bersifat pribadi dan tidak boleh dialihkan.
3. Tidak dapat diwariskan.
4. Hubungan hak sewa tidak terputus dengan dialihkannya Hak Milik yang bersangkutan
kepada pihak lain.
5. Tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
6. Pemegang HSUB dapat melepas sendiri hak sewanya.
7. Tidak termasuk golongan hak-hak yang harus didaftarkan.
Hapusnya HSUB. Faktor-faktor penyebab hapusnya HSUB, adalah:
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena pemegang HSUB tidak memenuhi
syarat sebagai pemegang HSUB.
3. Dilepaskan oleh pemegang HSUB sebelum jangka waktu berakhir.
4. Hak Milik atas tanahnya dicabut untuk kepentingan umum.
5. Tanahnya musnah.
HAK MILIK ATAS TANAH
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam
fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian) di
berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang
dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai
tempat tinggal.
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya
disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undangundang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas
Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas
Tanah; dan lain-lain.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan
bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya,
melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang
disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu
“atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum.
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional membagi hak-hak
atas tanah dalam dua bentuk:2
1. hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau
dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan
dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak
Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
2. hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara
seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa atas tanah
pertanian.
Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-satunya hak primer
yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan hak-hak yang lainnya. Hal ini
dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang berbunyi:
“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas
tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”
Turun temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih
hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli
warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas
tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu
tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh
artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila
dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang
lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang
lain.3
Pernyataan di atas mengandung pengertian betapa penting dan berharganya menguasai hak
atas tanah dengan title “Hak Milik” yang secara hukum memiliki kedudukan terkuat dan
terpenuh sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya terhadap siapapun. Namun
demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada hak milik
menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat,
karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini dapat pula dibatasi. Pembatasan yang
paling nyata diatur dalam ketentuan UUPA antara lain terdapat dalam pasal-pasal sebagai
berikut:
- Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan
mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk
kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena
sesuai dengan asas fungsi social ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum
menghendakinya.
- Pasal 7: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah
yang melampaui batas tidak diperkenankan.
- Pasal 17 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang
dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh
dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
- Pasal 18 : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
- Pasal 21 ayat (1) : Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas, pertama asas “Nemo
plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorangpun dapat mengalihkan
atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai.
Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun
mengubah bagi dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan
objeknya.4
Kedua asas tersebut semakin mengukuhkan kekuatan sifat terkuat dan terpenuh hak milik atas
tanah. Kewenangan yang luas dari pemiliknya untuk mengadakan tindakan-tindakan di atas
tanah hak miliknya, kekuatan pemiliknya untuk selalu dapat mempertahankan hak miliknya
dari gangguan pihak lain, dan segala keistimewaan dari hak milik mempunyai nilai
keabsahan dan kehalalan yang dijamin kedua asas tersebut.
Adapun mengenai jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi hak milik atas tanah
terdapat penegasannya lebih lanjut yaitu melalui suatu mekanisme yang dinamakan
‘Pendaftaran Tanah” atau “Recht Kadaster.”
Pasal 1 angka (1) Ketentuan Umum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik
dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mngenai bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hakhak tertentu yang membebaninya. Berkaitan dengan hal ini terdapat 2 macam asas hukum,
yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris. 5
- Asas itikad baik, yaitu bahwa orang yang memperoleh sesuatu hak dengan itikad baik akan
tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini bertujuan untuk melindungi
orang yang beritikad baik.
- Asas nemo plus yuris, yaitu bahwa orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang
ada padanya. Asas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang selalu dapat menuntut
kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.
Dari kedua asas tersebut melahirkan 2 sistem pendaftaran tanah, yaitu:
- Sistem publikasi positif, yaitu bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran data
yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah meneliti kebenaran dan sahnya tiap
warkah yang diajukan untuk didaftarkan sebelum hal itu dimasukkan dalam daftar-daftar. Jadi
kelebihan pada sistem pendaftaran ini adalah adanya kepastian dari pemegang hak, oleh
karena itu ada dorongan bagi setiap orang untuk mendaftarkan haknya. Kekurangannya
adalah bahwa pendaftaran tersebut tidak lancar dan dapat saja terjadi pendaftaran atas nama
orang yang tidak berhak dapat menghapuskan hak orang yang berhak.
- Sistem publikasi negatif, yaitu bahwa daftar umum tidak mempunyai kekuatan hukum
sehingga terdaftarnya seseorang dalam daftar umum tidak merupakan bukti bahwa orang
tersebut yang berhak atas hak yang telah didaftarkan. Kelebihan dari system pendaftaran ini
yaitu kelancaran dalam prosesnya dan pemegang hak yang sebenarnya tidak dirugikan
sekalipun orang yang terdaftar bukan orang yang berhak. Tetapi kekurangannya adalah
bahwa orang yang terdaftarkan akan menanggung akibatnya bila hak yang diperolehnya
berasal dari orang yang tidak berhak sehingga orang menjadi enggan untuk mendaftarkan
haknya.
Kebijakan hukum tentang pembatasan kepemilikan hak atas tanah yang diterapkan dalam
pasal-pasal UUPA tersebut dalam tatanan teoritis idealis tampak mencerminkan cita-cita dari
pembentukan UUPA itu sendiri yang pada pokoknya bertujuan untuk:
1. meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat
untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat,
terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan;
3. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
bagi rakyar keseluruhan.
Dalam tatanan praktis, bukan hal mudah untuk mewujudkan cita-cita pembentukan UUPA
tersebut karena konflik kepentingan antara berbagai pihak senantiasa menjadi duri dalam
pencapaian tujuan tersebut sehingga pelaksanaan kebijakan yang mengatur masalah hak-hak
atas tanah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perselisihan yang terjadi baik secara
horizontal maupun vertikal banyak mewarnai ranah pertanahan Indonesia, khususnya
mengenai hak milik ini sehingga pada akhirnya banyak melahirkan sengketa hak milik.
Dalam praktek, pencabutan hak atas tanah milik yang tidak dilandasi amanat Pasal 18 UUPA
seringkali terjadi. Masyarakat dituntut untuk melepaskan haknya dengan alih-alih untuk
kepentingan umum dengan diperkuat oleh asas fungsi sosial hak atas tanah yang termuat
dalam pasal 6 UUPA, tetapi ganti kerugian yang diberikan tidak seimbang dengan nilai hak
yang dilepaskan sehingga banyak masyarakat yang pada akhirnya tidak dapat bermukim
kembali secara layak karena ganti kerugian yang diterima tidak mampu untuk menggantikan
kedudukannya seperti sedia kala. Bagi penduduk yang masih memiliki lahan luas, mungkin
hal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan, namun bagi sebagian besar penduduk yang hanya
memiliki sebidang lahan sempit, kenyataan pahit ini harus diterimanya dengan terpaksa.
Ironisnya, kenyataan ini malah akan semakin menyeret pada proses pemiskinan penduduk
yang entah disadari atau tidak oleh para pembuat kebijakan bahwa proses pemiskinan
tersebut ternyata malah lahir dari para pelaksana kebijakan itu sendiri.
Contoh kasus yang menunjukkan terjadinya proses pemiskinan penduduk terjadi di desa
Tegal Buleud kabupaten Sukabumi yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian di
bidang pertanian. Dari semua persoalan pertanian yang dihadapi petani di Tegalbuleud,
persoalan utama yang menjadi landasan terciptanya konflik dan pemiskinan besar-besaran
penduduk desa tersebut adalah sosok aparat pemerintah yang bersekutu dengan pemilik
modal dalam memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam di pedesaan yang terjadi di
Indonesia selama berkuasanya rejim Orde Baru yang merupakan pro
18 01 2010
Pembentukan HTN (Hukum Tanah Nasional) yang diawali lahirnya UUPA berusaha
melakukan unifikasi hukum tanah adat dan barat menjadi hukum tanah yang bersifat
tunggal. Tanah disini dimaknai secara filosofis yang cenderung diartikan sebagai land dan
bukan soil. Sehingga tanah dipandang dari multi dimensional dan multi aspek.
Bahwa sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di Indonesia yakni
hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Dualisme hukum agraria ini baru berakhir
setelah berlakunya UUPA yakni sejak tanggal 24 September 1960 dan sejak itu untuk seluruh
wilayah Republik Indonesia hanya ada satu hukum agraria, yaitu hukum agraria berdasarkan
Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria atau UUPA.
Unifikasi hukum tanah dalam UUPA berupaya melembagakan hak-hak atas tanah yang baru.
Pembentukan HTN kemudian diikuti dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundangundangan baru. Hasilnya, hak-hak atas tanah yang baru dapat dibuat dalam hierarki yang
berjenjang.
Urutan vertikal mengenai hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional
(UUPA) menurut Boedi Harsono yang dikutip oleh Noor (2006) dalam susunan berjenjang
yaitu sebagai berikut :
1. Hak bangsa, sebagai yang disebut dalam Pasal 1 UUPA, merupakan hak penguasaan
atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah dalam wilayah negara, yang
merupakan tanah bersama. Hak bangsa ini dalam penjelasan Umum Angka II UUPA
dinyatakan sebagai hak ulayat yang dingkat pada tingkat yang paling atas, pada
tingkat nasional, meliputi semua tanah di seluruh wilayah negara.
2. Hak menguasai dari negara sebagaimana yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945, merupakan hak penguasaan atas tanah sebagai penugasan pelaksanaan hak
bangsa yang termasuk bidang hukum publik, meliputi semua tanah bersama bangsa
Indonesia.
Makna dikuasai oleh negara tidak terbatas pada pengaturan, pengurusan, dan pengawasan
terhadap pemanfaatan hak-hak perorangan. Akan tetapi negara mempunyai kewajiban untuk
turut ambil bagian secara aktif dalam mengusahakan tercapainya kesejahteraan rakyat. Dalam
hal dikuasai oleh negara dan untuk mencapai kesejahteraan rakyat menurut Bagir Manan
yang dikutip oleh Warman (2006), negara Indonesia merdeka adalah negara kesejahteraan
sebagaimana termaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Dasar pemikiran lahirnya konsep hak
penguasaan negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merupakan perpaduan antara teori
negara hukum kesejahteraan dan konsep penguasaan hak ulayat dalam persekutuan hukum
adat. Makna penguasaan negara adalah kewenangan negara untuk mengatur (regelen),
mengurus (bestuuren), dan mengawasi (tozichthouden) (Abrar, 1993). Substansi dari
penguasaan negara adalah dibalik hak, kekuasaan atau kewenangan yang diberikan kepada
negara terkandung kewajiban negara untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah sebagai
sumber daya ekonomi bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
1. Hak ulayat, dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada, hak
ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah bersama masyarakat hukum adat
tertentu.
2. Hak perorangan yang memberikan kewenangan untuk memakai, dalam arti
menguasai, menggunakan, dan atau mengambil manfaat tertentu dari suatu bidang
tanah tertentu, yang terdiri dari :
1. Hak atas tanah, berupa hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak
pakai, hak milik atas satuan rumah susun, hak sewa, hak membuka tanah, dan
hak memungut hasil hutan yang ketentuan pokoknya terdapat dalam UUPA,
serta hak lain dalam hukum adat setempat, yang merupakan hak penguasaan
atas tanah untuk dapat memberikan kewenangan kepada pemegang haknya,
agar dapat memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki dalam memenuhi
kebutuhan pribadi atau usahanya (Pasal 4, 9, 16, dan BAB II UUPA).
2. Hak atas tanah wakaf, yang merupakan penguasaan atas suatu bidang tanah
tertentu, bekas hak milik (wakaf) yang oleh pemiliknya dipisahkan dari harta
kekayaannya
dan
melembagalan
selama-lamanya
untuk
kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran agama islam (Pasal 49
UUPA jo Pasal 1 PP No. 28 tahun 1977).
3. Hak tanggungan, sebagai satu-satunya lembaga jaminan hak atas tanah dalam
hukum tanah nasional, merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi
kewenangan kepada kreditor tertentu untuk menjual lelang bidang tanah
tertentu yang dijadikan jaminan bagi pelunasan piutang tertentu dalam hal
debitor cidera janji dan mengambil pelunasan dari hasil penjualan tersebut,
dengan hak mendahului dari hak-hak kreditor (rechts prevelijk) yang lain
(Pasal 57 UUPA jo Pasal 1 UU No. 4 tahun 1996).
Menurut Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sistem penguasaan tanah di
Indonesia yang merupakan hak perorangan mengakui adanya berbagai hak atas tanah berikut:
1. Hak milik, hak milik digambarkan sebagai “hak yang paling penuh dan paling kuat
yang bisa dimiliki atas tanah dan yang dapat diwariskan turun temurun”. Suatu hak
milik dapat dipindahkan kepada pihak lain. Hanya warga negara Indonesia (individu)
yang bisa mendapatkan hak milik, sedangkan jika menyangkut korporasi maka
pemerintah akan menentukan korporasi mana yang berhak mendapatkan hak milik
atas tanah dan syarat syarat apa yang harus dipenuhi oleh korporasi untuk
mendapatkan hak ini.
Terjadinya dan cara mendapatkan hak milik bisa diakibatkan karena (Sarah, 1978) :
1. Peralihan, beralih atau dialihkan (warisan, jual beli, hibah).
2. Menurut hukum adat, karena penetapan pemerintah dan undang-undang (konversi).
Hak atas tanah menurut hukum adat yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip
dengan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA dengan nama apapun juga
yang akan ditegaskan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah mendengar kesaksian
dari masyarakat setempat, dikonversi menjadi hak milik.
1. Hak guna usaha, suatu hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikontrol secara langsung oleh negara untuk waktu tertentu, yang dapat diberikan
kepada perusahaan yang berusaha dibidang pertanian, perikanan atau peternakan.
Suatu hak guna usaha hanya dapat diberikan atas tanah seluas minimum 5 ha, dengan
catatan bahwa jika tanah yang bersangkutan lebih luas dari 25 hektar, investasi Sistem
Penguasaan Tanah dan Konflik yang cukup akan dilakukan dan pengelolaan usaha
secara baik akan diberlakukan. Hak guna usaha bisa dipindahkan ketangan pihak lain.
Jangka waktu pemberian hak guna usaha diberlakukan dengan ketat (maksimum 25
tahun). Hanya warga negara Indonesia dan badan usaha yang dibentuk berdasar
undang undang Indonesia dan berdomisili di Indonesia dapat memperoleh hak guna
usaha. Hak guna usaha dapat digunakan sebagai kolateral pinjaman dengan
menambahkan hak tanggungan (security title).
2. Hak guna bangunan, hak guna bangunan digambarkan sebagai hak untuk mendirikan
dan memiliki bangunan diatas tanah yang dimiliki oleh pihak lain untuk jangka waktu
maksimum 30 tahun. Suatu hak guna bangunan dapat dipindahkan kepada pihak lain.
Kepemilikan hak guna bangunan juga hanya bisa didapatkan oleh warga negara
Indonesia dan perusahaan yang didirikan dibawah hukum Indonesia yang berdomisili
di Indonesia.
3. Hak pakai, hak pakai adalah hak untuk memanfaatkan, dan/atau mengumpulkan hasil
dari tanah yang secara langsung dikontrol oleh negara atau tanah yang dimiliki oleh
individu lain yang memberi pemangku hak dengan wewenang dan kewajiban
sebagaimana dijabarkan didalam perjanjian pemberian hak. Suatu hak pakai dapat
diberikan untuk jangka waktu tertentu, atau selama tanah dipakai untuk suatu tujuan
tertentu, dengan gratis, atau untuk bayaran tertentu, atau dengan imbalan pelayanan
tertentu. Selain diberikan kepada warga negara Indonesia, hak pakai juga dapat
diberikan kepada warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Dalam kaitannya
dengan tanah yang langsung dikontrol oleh negara, suatu hak pakai hanya dapat
dipindahkan kepada pihak lain jika mendapatkan ijin dari pejabat yang berwenang.
4. Hak milik atas satuan bangunan bertingkat, adalah hak milik atas suatu bangunan
tertentu dari suatu bangunan bertingkat yang tujuan peruntukan utamanya digunakan
secara terpisah untuk keperluan tertentu dan masing-masing mempunyai sarana
penghubung ke jalan umum yang meliputi antara lain suatu bagian tertentu atas suatu
bidang tanah bersama. Hak milik atas satuan bangunan bertingkat terdiri dari hak
milik atas satuan rumah susun dan hak milik atas bangunan bertingkat lainnya.
5. Hak sewa, suatu badan usaha atau individu memiliki hak sewa atas tanah berhak
memanfaatkan tanah yang dimiliki oleh pihak lain untuk pemanfaatan bangunan
dengan membayar sejumlah uang sewa kepada pemiliknya. Pembayaran uang sewa
ini dapat dilakukan sekaligus atau secara bertahap, baik sebelum maupun setelah
pemanfaat lahan tersebut. Hak sewa atas tanah dapat dimiliki oleh warga negara
Indonesia, warga negara asing, badan usaha termasuk badan usaha asing. Hak sewa
tidak berlaku diatas tanah negara.
6. Hak untuk membuka tanah dan hak untuk memungut hasil hutan, hak membuka tanah
dan hak memungut hasil hutan hanya bisa didapatkan oleh warga negara Indonesia
dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Menggunakan suatu hak memungut hasil hutan
secara hukum tidaklah serta merta berarti mendapatkan hak milik (right of ownership)
atas tanah yang bersangkutan. Hak untuk membuka lahan dan memungut hasil hutan
merupakan hak atas tanah yang diatur didalam hukum adat.
7. Hak tanggungan, hak tanggungan tercantum dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1996
sehubungan dengan kepastian hak atas tanah dan objek yang berkaitan dengan tanah
(Security Title on Land and Land-Related Objects) dalam kasus hipotek.
Konsekuensi pengakuan terhadap hak-hak atas tanah, maka negara wajib memberikan
jaminan kepastian hak atas tanah, sehingga lebih mudah bagi seseorang mempertahankan
haknya terhadap gangguan pihak lain.
HAK-HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA DAN PP NO.40/1996
1. Hak Penguasaan Atas Tanah.
2. Hak-hak Atas Tanah yang bersifat tetap (pasal 16 UUPA)
- Hak Milik
- Hak Guna Usaha
- Hak Guna Bangunan
- Hak Pakai
- Hak Sewa
- Hak Membuka Tanah
- Hak Memungut Hasil Hutan
3. Hak-hak Atas Tanah yang bersifat sementara (pasal 53 UUPA)
- Hak Gadai
- Hak Usaha Bagi Hasil
- Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian
1. Hak Penguasaan Atas Tanah
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi
pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanh yang di hakinya. Sesuatu yang boleh,
wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi
kriteria atau tolo ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam
Hukum Tanah.
Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek
privat dan publik. Penguasaaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak,
yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak
untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau
mengambil mamfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain. Ada juga
penguasaan yuridis, yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang
dihaki secara fisik, pada kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain,
misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi
disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik
tanah akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara
yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara
fisik, misalnya kreditor (bank) pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan
tanah secara yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi secara fisik
penguasaan tetap ada pada pemilik tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah tersebut
diatas dipakai dalam aspek privat atau keperdataan sedang penguasaan yuridis yang beraspek
publik dapat dilihat pada penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 33
ayat (3) UUD 1945 dan pasal 2 UUPA.
Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Hak penguasaan atas tanah sebagai Lembaga Hukum.
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan antara tanah dan orang atau badan hukum
tertentu sebgai pemegang haknya.
2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan antara tanah tertentu sebagai obyek dan
orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya.
Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan Hukum Tanah Nasional, adalah:
1. Hak Bangsa Indonesia atas tanah.
Hak Bangsa Indonesia ats tanah ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan
meliputi semua tanah yang adadalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama,
bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah (lihat pasal 1
ayata (1)-(3) UUPA.
2. Hak Menguasai dari Negara atas tanah.
Hak menguasai dari negara atas tnah bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah, yang
hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenagan bangsa yang mengandung
unsur hukum publik. Tugas mengelola seluruh tnah bersama tidak mungkin dilaksanakan
sendiri oleh seluruh Bangsa Indonesia, mka dala penyelnggaraannya, Bangsa Indonesia
sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan
kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (lihat pasal 2
ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai dari negara atas tanah sebagaimana dimuat dalam pasal 2 ayat
(2) UUPA, adalah:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan
tanah (lihat pasal 10, 14, 15 UUPA).
b. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan tanah
(lihat pasal 7, 16, 17, 53 UUPA).
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum
dan perbuatan –perbuatan hukum yang mengenai tanah (lihat pasal 19 Jo PPNo. 24/1997)
Hak menguasai dari negara adalah pelimpahan wewenang publik oleh hak bangsa.
Konsekuensinya, kewenangan tersebut hanya bersifat publik semata. Tujuan hak menguasai
dari negara atas tanah, yatitu untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti
kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang berdeka, berdaulat, adil dan makmur (lihat pasal 2 ayat (3) UUPA).
3. Hak ulayat masyarakat Hukum adat.
Menurut pasal 1 Permen Aggraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang dimaksud dengan hak ulayat adalah
kewenangan menurut adat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil mamfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun
dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.
Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih ada apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:
a. Masih ada suatu kelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum tertentu
b. Masih adanya wilayah/tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut.
c. Masih adanya tatanam hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
4. Hak perseorangan atas tanah
Hak-hak perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang
haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama atau badan hukum) untuk
memakai, dalam arti menguasai, menggunakan , dan atau mengambil mamfaat dari bidang
tanah tertentu.
a. Hak –hak atas tanah.
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk
menggunakan tanah atau mengambil mamfaat dari tanah yang dihakinya (lihat pasal 16 dan
53 UUPA Jo. PP No 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah).
b. Wakaf tanah Hak Milik.
Wakaf tanah hak milik adalah hak penguasaan atas tanah bekas tanah hak milik, yang oleh
pemiliknya dipisahkan dari harta kekayaannya dan melembagakannya untuk selama-lamanya
guna kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam (lihat
pasal 49 ayat (3) UUPA Jo. PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Jo. Permendagri
No. 6/1977 tentang Tata cara Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik).
c. Hak Tanggungan.
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah termasuk atau
tidak termasuk benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Hak Tanggungan dapat dibebankan kepada Hak
Milik, HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah Negara (lihat pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA Jo.
UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan
dengan Tanah).
d. Hak Milik atas satuan rumah susun.
Hak Milik Atas Satuan Tumah susun yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada sekelompok
orang secara bersama dengan orang lain. Pada Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, bidang
tanah yang di atasnya berdiri rumah susun, hak atas tanahnya dimiliki atau dikuasai secara
bersama-sama oleh seluruh pemilik satuan rumah susun. Hak atas tanah yang dapat dimiliki
atau dikuasai oleh sekuruh satuan rumah susun dapat berupa Hak Milik, HGB atau Hak Pakai
atas tanah Negara (lihat pasal 4 ayat (1) UUPA Jo. UU No. 16/1985 tentang Rumah Susun)
3. Hak-hak Atas Tanah
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada
perseorangan baik warga negara Indonesia mapupun warga negara asing, sekelompok orang
secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum
publik.
Wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2,
yaitu:
1. Wewenang umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk
menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air danruang yang ada di atasnya
sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain.
2. Wewenang khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk
menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenangpada
tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan,
HGB untuk mendirikan bangunan, HGU untuk kepentingan pertanian, perkebunan, perikanan
dan peternakan.
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam pasal 16 Jo 53 UUPA, yang dikelompokkkan
menjadi 3 bidang, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap
Hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut
dengan undang-undang yang baru. Contoh: HM. HGU, HGB, HP, Hak Sewa untuk Bangunan
dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara
Hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapus dikarenakan
mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Contoh: Hak
Gadai,, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat primer
Yaitu hak atas tanah yang bersala dari tanah negara. Contoh: HM, HGU, HGB Atas Tanah
Negara, HP Atas Tanah Negara.
2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Contoh: HGB Atas Tanah Hak
Pengelolaan, HGB Atas Tanah Hak Milik, HP Atas Tanah Hak Pengelolaan, HP Atas Tanah
Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak
Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
A. Hak Milik
Ketentuan Umum mengenai Hak Milik diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a, 20 s/d 27, 50
ayat (1), 56 UUPA.
Pengertian Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah dengan memperhatikan fungsi sosial tanah. Turun temurun artinya Hak
Milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya
meninggal dunia, maka Hak Miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang
memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik. Terkuat artinya Hak Milik atas tanah lebih kuat
dibandingkan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah
dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya Hak Milik
atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada
hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain.
Subyek Hak Milik. Yang dapat mempunyai tanah Hak Milik menurut UUPA dan peraturan
pelaksanaanya, adalah:
1. Perseorangan.
WNI, baik pria maupun wanita, tidak berwarganegaraan rangkap (lihat Pasal 9, 20 (1) UUPA)
2. Badan-badan hukum tertentu.
Badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah, yaitu bank-bank yang
didirikan oleh negara, koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan sosial (lihat Pasal 21
(2) UUPA, PP No.38/1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang Dapat Mempunyai
Hak Atas Tanah, Permen Agraria/Kepala BPN No. 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan).
Terjadinya Hak Milik. Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara sebagai mana
disebutkan dala Pasal 22 UUPA, yaitu:
1. Hak Mik atas tanah yang terjadi Menurut Hukum Adat;
- Terjadi karena Pembukaan tanah (pembukaan hutan).
- Terjadi karena timbulnya Lidah Tanah.
2. Hak Mili Atas tanah tertajdi karena Penetapan Pemerintah;
- Pemberian hak baru (melalui permohonan)
- Peningkatan hak
3. Hak Milik atas tanah terjadi karena Undang-undang;
- Ketentuan Konversi Pasal I, II. VI
Sifat dan ciri-ciri Hak Milik.
1. Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997.
2. Dapat diwariskan.
3. Dapat dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang, penyertaan modal.
4. Turun temurun
5. Dapat dolepaskan untuk kepentingan sosial.
6. Dapat dijadikan induk hak lain.
7. Dapat dijadikan jamnina hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Hapusnya Hak Milik. Pasal 27 UUPA menetapkan faktor-faktor penyebab hapusnya Hak
Milik atas tanah dan tanahnya jatuh kepada negara, yaitu;
1. Karena Pencabutan Hak berdasarkan Pasal 18 UUPA.
2. Dilepaskan secara suka rela oleh pemiliknya.
3. Dicabut untuk kepentinga umum.
4. Tanahnya ditelantarkan.
5. Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai sunyek hak milik atas tanah.
6. Karena peralihan hak yang mengakibatkantanahnya berpindah kepada pihak lain yang
tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik atas tanah.
7. Tanahnya musnah, misalnya terjadi bencana alam.
B. Hak Guna Usaha
Ketentuan umum. Ketentuan Hak Guna Usaha (HGU) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf b, 28 s/d 34, 50 ayat (2) UUPA, Pasal 2 s/d 18 PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan
HP.
Pengertian HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara
dalam jangka waktu tertentu guna kegiatan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, atau
peternakan (lihat Pasal 28 ayat (1), PP No.40/1996).
Subyek HGU. Yang dapat mempunyai HGU menurut Pasal 30 UUPA Jo. Pasal 2 PP No.
40/1996, adalah:
1. Warga Negara Indonesia.
2. Badan Hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Asal dan terjadinya HGU. Asal HGU adalah tanah negara. Kalau asal tanah HGU berupa
tanah hak, maka tanah hak tersebut harus dilakukan pelepasan ata penyerahan hak ole4h
pemegang hak dengan pemberian ganti kerugian oleh calon pemegang hak HGU. Terjadinya
HGU dapat melalui penetapan pemerintah (pemberian hak) dan ketentuan Undang-undang
(ketentuan konversi hak erpacht).
Luas HGU. Luas tanah HGU adalah untuk perserorangan minimal 5 Ha dan maksimal 25 Ha.
Sedangkan untuk badan hukum luas minimal 5 Ha dan luas maksimal 25 Ha atau lebih
(menurut UUPA). Ketentuan luas maksimal tidak ditentukan dengan jelas tetapi PP No.
40/1996 menyebutkan luas maksimal ditetapkan oleh menteri dengan memperhatikan
pertimbangan pejabat yang berwenang. Dengan membandingkan kewenangan Surat
Keputusan Pemberian Hak seperti kewenangan Ka BPN Kota/kab maksimal 25 Ha, Kanwil
BPN maksimal 200 Ha, di atas 200 Ha kewenangan Menteri Agraria/Ka BPN.
Jangka waktu HGU.HGU mempunyai jangka waktu untuk pertama kalinya paling lama 35
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 UUPA).
Sedang menurut Pasal 8 PP No. 40/1996 mengatur jangka waktu HGU untuk pertama kalinya
35 tahun, diperpanjang paling lama 25 tahun dan dapat diperbaharui paling lama 35 tahun.
Permohonan perpanjangan dan pembaharuan diajukan palaing lambat 2 tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu HGU. Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan
perpanjangan waktu atau pembaharuan adalah;
1. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian
haknya.
2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Kewajiban pemegang HGU (lihat Pasal 12 ayat (1) PP No. 40/1996):
1. Membayar uang pemasukan kepada negara.
2. Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan.
3. Mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai kelayakan usaha berdasarkan
kriteria dari instansi teknis.
4. Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam
lingkungan HGU.
5. Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga
kelestarian kemampuan lingkungan hidup.
6. Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan HGU.
7. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGU kepada negara setelah hapus.
8. Menyerahkan sertifikat HGU yang telah hapus kepada kepala Kantor Pertanahan.
Hak pemegang HGU (lihat Pasal 14 PP No. 40.1996)
9. Menguasai dan mempergunakan tanah untuk usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan
atau peternakan.
10. Penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah.
11. Mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain.
12. Membebani dengan Hak Tanggungan
Sifat dan ciri-ciri HGU.
1. Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997.
2. Dapat diwariskan.
3. Dapat dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang, penyertaan modal.
4. Dapat dilepaskan untuk kepentingan sosial.
5. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
6. Haknya mempunyai jangka waktu tertentu.
7. Dapat berinduk pada hak atas tanah yang lain.
8. Peruntukkannya terbatas.
Hapusnya HGU (lihat Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP No. 40/1996);
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat yang tidak dipenuhi.
3. Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya.
4. Dicabut untuk kepentingan umum.
5. Ditelantarkan.
6. Tanahnya musnah.
7. Pemegang HGU tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HGU.
C. Hak Guna Bangunan
Ketentuan umum. Ketentuan menegnai Hak Guna Bangunan (HGB) disebutkan dalam Pasal
16 ayat (1) huruf c, 35 s/d 40, 50 ayat (2) UUPA dan Pasal 19 s/d 38 PP No. 40/1996).
Pengertian HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan yang bukan
miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu.
Subyek HGB. Yang dapat mempunyai HGB menurut Pasal 36 UUPA Jo. Pasal 19 PP No.
40/1996, adalah:
1. Warga Negara Indonesia.
2. Badan Hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Asal atau obyek tanah HGB. HGB berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara,
tanah Hak Pengelolaan atau tanah milik orang lain (lihat Pasal 39 UUPA dan Pasal 21 PP No.
40/1996).
Terjadinya HGB. HGB dapat terjadi karena;
1. Penetapan Pemerintah (tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan).
2. Perjanjian pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
3. Undang-undang, ketentuan tentang Konversi
Jangka waktu HGB. Jangka waktu HGB berbeda sesuai dengan asal tanahnya, sbb:
1. HGB atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali
paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan
dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
2. HGB atas tanah Hak Milik berjangka waktu paling lama 30 tahun, tidak ada perpanjangan
waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang HGB dapat
diperbarui dengan pemberian HGB baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib
didaftarkan pada kantor BPN setempat.
Kewajiban pemegang HGB (lihat Pasal 30 dan Pasal 31 PP No. 40/1996):
1. Membayar uang pemasukan kepada negara.
2. Menggunakan tanah sesuai peruntukkannya.
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup.
4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGB kepada negara, pemegang Hak
Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah HGB hapus.
5. Menyerahkan sertifikat HGB yang telah hapus kepada kepala Kantor Pertanahan.
6. Memberikan jaln keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang
tanah yang terkuryng oleh tanah HGB.
Hak pemegang HGB (lihat Pasal 32 PP No. 40.1996)
1. Menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu.
2. Mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya.
3. Mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain.
4. Membebani dengan Hak Tanggungan
Sifat dan ciri-ciri HGB.
1. Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997.
2. Dapat diwariskan.
3. Dapat dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang, penyertaan modal.
4. Dapat dilepaskan untuk kepentingan sosial.
5. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
6. Haknya mempunyai jangka waktu tertentu.
7. Dapat berinduk pada hak atas tanah yang lain.
8. Peruntukkannya terbatas.
Hapusnya HGB( lihat Pasal 40 UUPA dan Pasal 35 PP No. 40/1996);
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak
Milik sebelum jangka waktu berakhir, karena;
- Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atu dilanggarnya ketentuanketentuan dalam HGB.
- Tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian
pemberian hak antara pemegang HGB dengan pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang
Hak Milik.
- Putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.
3. Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya.
4. Dicabut untuk kepentingan umum.
5. Ditelantarkan.
6. Tanahnya musnah.
7. Pemegang HGB tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HGB.
D. Hak Pakai
Ketentuan umum. Hak Pakai (HP) diatur dalam Pasal 16 ayat 9!) huruf d, 41 s/d 43, 50 ayat
(2) UUPA dan Pasal 39 s/d 58 PP No. 40/1996.
Pengertian HP adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberian haknya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah (lihat Pasal
41 (1) UUPA).
Subyek HP (lihat Pasal 42 UUPA dan Pasal 39 PP No. 40/1996):
1. Warga Negara Indonesia.
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Daerah.
4. Badan-badan keagamaan dan sosial.
5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia (lihat PP No. 41/1996).
6. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
Asal atau obyek HP (lihat Pasal 41 (1) PP No. 40/1996):
1. Tanah Negara.
2. Tanah Hak Pengelolaan.
3. Tanah Hak Milik.
Terjadinya HP. HP dapat terjadi karena;
1. Penetapan Pemerintah (tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan).
2. Perjanjian pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
3. Undang-undang, ketentuan tentang Konversi.
Jangka waktu HP. Jangka waktu HP berbeda sesuai dengan asal tanahnya, (lihat Pasal 45 s/d
49 PP No. 40/1996) sbb:
1. HP atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali
paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan
dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Khusus HP yang dipunyai oleh
Departemen, Lembaga Non Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan keagamaan dan
sosial, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan internasional diberikan untuk jangka
waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
2. HP atas tanah Hak Milik berjangka waktu paling lama 25 tahun, tidak ada perpanjangan
waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang HP dapat diperbarui
dengan pemberian HP baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada
kantor BPN setempat.
Kewajiban pemegang HP (lihat Pasal 50 dan Pasal 51 PP No. 40/1996):
1. Membayar uang pemasukan kepada negara, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan
atau Hak Milik.
2. Menggunakan tanah sesuai peruntukkannya sesuai keputusan pemberian haknya,
perjanjian pengguanaan tanah Hak Pengelolaan atau Hak Milik..
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup.
4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HP kepada negara, pemegang Hak
Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah HP hapus.
5. Menyerahkan sertifikat HP yang telah hapus kepada kepala Kantor Pertanahan.
6. Memberikan jaln keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang
tanah yang terkuryng oleh tanah HP.
2.
Hak pemegang HP (lihat Pasal 52 PP No. 40.1996)
1. Menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau
usahanya.
2. Memindahkan hak tersebut kepada pihak lain.
3. Membebani dengan Hak Tanggungan.
4. Menguasai dan menggunakan tanah untuk janga waktu yang tidak ditentukan selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Sifat dan ciri-ciri HP.
1. Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997.
2. Dapat diwariskan.
3. Dapat dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang, penyertaan modal.
4. Dapat dilepaskan untuk kepentingan sosial.
5. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
6. Haknya mempunyai jangka waktu tertentu.
7. Dapat berinduk pada hak atas tanah yang lain.
8. Peruntukkannya terbatas.
Hapusnya HP( lihat Pasal 55 PP No. 40/1996);
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak
Milik sebelum jangka waktu berakhir, karena;
- Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atu dilanggarnya ketentuanketentuan dalam HP.
- Tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian
pemberian hak antara pemegang HP dengan pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak
Milik.
- Putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.
3. Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya.
4. Dicabut untuk kepentingan umum.
5. Ditelantarkan.
6. Tanahnya musnah.
7. Pemegang HP tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HP.
E. Hak Sewa Untuk Bangunan
Ketentuan umum. Ketentuan mengenai Hak Sewa Untuk Bangunan (HSUB) disebutkan
dalam Pasal 16 ayat (1), 44, 45, 52 ayat(2) UUPA.
Pengertian HSUB adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan di atas tanah Hak Milik orang lain dengan membayar sejumlah
uang sewa tertentu dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan
pemegang HSUB (lihat Pasal 44 (1) UUPA). HSUB merupakan hak pakai yang mempunyai
sifat-sifat khusus. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-banguna yang berhubung
dengan pertanian (Lihat Pasal 10 (1)).
Subyek HSUB (lihat Pasal 45 UUPA).
1. Warga Negara Indonesia.
2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Objek HSUB. Hak atas tanah yang dapat disewakan kepada pihak lain adalah Hak Milik dan
objek yang disewakan pemilik tanah kepada pemeganag HSUB adalah tanah bukan
bangunan.
Terjadinya HSUB karena perjanjian persewaan tanah yang tertulis antara pemilik tanah
dengan pemegang HSUB, yang tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengadung unsurunsur pemerasan.
Jangka waktu HSUB.. UUPA tidak mengatur secara tegas berapa lama jangka waktu HSUB,
jangka waktu HSUB diserahkan kepada kesepakatan anatar pemilik tanah dengan pemegang
HSUB.
Pembayaran uang sewa dalam HSUB. Ketentuan mengenai pembanyaran uang sewa dapat
dilakukan satu kali atau tiap-tiap waktu tertentu. Juga dapat dilakukan sebelum atau sesudah
tanahnya dipergunakan oleh pemegang HSUB. Tergantung kesepakatan antara pemilik tanah
dengan pemegang HSUB.
Peralihan HSUB. Pada dasarnya pemegang HSUB tidak diperbolehkan mengalihkan hak
sewanya kepada pihak lain tanpa seizin dari pemilik tanah. Pelanggaran terhadap larangan ini
dapat berakibat terputusnya hubungan sewa-menyewa antara pemili tanah dan pemegang
HSUB.
Sifat dan ciri-ciri HSUB;
1. Tujuan pengunaannya sementara, artinya jangka waktu terbatas.
2. Bersifat pribadi dan tidak boleh dialihkan.
3. Tidak dapat diwariskan.
4. Hubungan hak sewa tidak terputus dengan dialihkannya Hak Milik yang bersangkutan
kepada pihak lain.
5. Tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
6. Pemegang HSUB dapat melepas sendiri hak sewanya.
7. Tidak termasuk golongan hak-hak yang harus didaftarkan.
Hapusnya HSUB. Faktor-faktor penyebab hapusnya HSUB, adalah:
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena pemegang HSUB tidak memenuhi
syarat sebagai pemegang HSUB.
3. Dilepaskan oleh pemegang HSUB sebelum jangka waktu berakhir.
4. Hak Milik atas tanahnya dicabut untuk kepentingan umum.
5. Tanahnya musnah.
HAK MILIK ATAS TANAH
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam
fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian) di
berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang
dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai
tempat tinggal.
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya
disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undangundang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas
Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas
Tanah; dan lain-lain.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan
bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya,
melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang
disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu
“atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum.
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional membagi hak-hak
atas tanah dalam dua bentuk:2
1. hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau
dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan
dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak
Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
2. hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara
seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa atas tanah
pertanian.
Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-satunya hak primer
yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan hak-hak yang lainnya. Hal ini
dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang berbunyi:
“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas
tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”
Turun temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih
hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli
warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas
tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu
tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh
artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila
dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang
lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang
lain.3
Pernyataan di atas mengandung pengertian betapa penting dan berharganya menguasai hak
atas tanah dengan title “Hak Milik” yang secara hukum memiliki kedudukan terkuat dan
terpenuh sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya terhadap siapapun. Namun
demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada hak milik
menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat,
karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini dapat pula dibatasi. Pembatasan yang
paling nyata diatur dalam ketentuan UUPA antara lain terdapat dalam pasal-pasal sebagai
berikut:
- Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan
mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk
kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena
sesuai dengan asas fungsi social ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum
menghendakinya.
- Pasal 7: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah
yang melampaui batas tidak diperkenankan.
- Pasal 17 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang
dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh
dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
- Pasal 18 : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
- Pasal 21 ayat (1) : Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas, pertama asas “Nemo
plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorangpun dapat mengalihkan
atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai.
Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun
mengubah bagi dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan
objeknya.4
Kedua asas tersebut semakin mengukuhkan kekuatan sifat terkuat dan terpenuh hak milik atas
tanah. Kewenangan yang luas dari pemiliknya untuk mengadakan tindakan-tindakan di atas
tanah hak miliknya, kekuatan pemiliknya untuk selalu dapat mempertahankan hak miliknya
dari gangguan pihak lain, dan segala keistimewaan dari hak milik mempunyai nilai
keabsahan dan kehalalan yang dijamin kedua asas tersebut.
Adapun mengenai jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi hak milik atas tanah
terdapat penegasannya lebih lanjut yaitu melalui suatu mekanisme yang dinamakan
‘Pendaftaran Tanah” atau “Recht Kadaster.”
Pasal 1 angka (1) Ketentuan Umum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik
dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mngenai bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hakhak tertentu yang membebaninya. Berkaitan dengan hal ini terdapat 2 macam asas hukum,
yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris. 5
- Asas itikad baik, yaitu bahwa orang yang memperoleh sesuatu hak dengan itikad baik akan
tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini bertujuan untuk melindungi
orang yang beritikad baik.
- Asas nemo plus yuris, yaitu bahwa orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang
ada padanya. Asas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang selalu dapat menuntut
kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.
Dari kedua asas tersebut melahirkan 2 sistem pendaftaran tanah, yaitu:
- Sistem publikasi positif, yaitu bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran data
yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah meneliti kebenaran dan sahnya tiap
warkah yang diajukan untuk didaftarkan sebelum hal itu dimasukkan dalam daftar-daftar. Jadi
kelebihan pada sistem pendaftaran ini adalah adanya kepastian dari pemegang hak, oleh
karena itu ada dorongan bagi setiap orang untuk mendaftarkan haknya. Kekurangannya
adalah bahwa pendaftaran tersebut tidak lancar dan dapat saja terjadi pendaftaran atas nama
orang yang tidak berhak dapat menghapuskan hak orang yang berhak.
- Sistem publikasi negatif, yaitu bahwa daftar umum tidak mempunyai kekuatan hukum
sehingga terdaftarnya seseorang dalam daftar umum tidak merupakan bukti bahwa orang
tersebut yang berhak atas hak yang telah didaftarkan. Kelebihan dari system pendaftaran ini
yaitu kelancaran dalam prosesnya dan pemegang hak yang sebenarnya tidak dirugikan
sekalipun orang yang terdaftar bukan orang yang berhak. Tetapi kekurangannya adalah
bahwa orang yang terdaftarkan akan menanggung akibatnya bila hak yang diperolehnya
berasal dari orang yang tidak berhak sehingga orang menjadi enggan untuk mendaftarkan
haknya.
Kebijakan hukum tentang pembatasan kepemilikan hak atas tanah yang diterapkan dalam
pasal-pasal UUPA tersebut dalam tatanan teoritis idealis tampak mencerminkan cita-cita dari
pembentukan UUPA itu sendiri yang pada pokoknya bertujuan untuk:
1. meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat
untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat,
terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan;
3. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
bagi rakyar keseluruhan.
Dalam tatanan praktis, bukan hal mudah untuk mewujudkan cita-cita pembentukan UUPA
tersebut karena konflik kepentingan antara berbagai pihak senantiasa menjadi duri dalam
pencapaian tujuan tersebut sehingga pelaksanaan kebijakan yang mengatur masalah hak-hak
atas tanah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perselisihan yang terjadi baik secara
horizontal maupun vertikal banyak mewarnai ranah pertanahan Indonesia, khususnya
mengenai hak milik ini sehingga pada akhirnya banyak melahirkan sengketa hak milik.
Dalam praktek, pencabutan hak atas tanah milik yang tidak dilandasi amanat Pasal 18 UUPA
seringkali terjadi. Masyarakat dituntut untuk melepaskan haknya dengan alih-alih untuk
kepentingan umum dengan diperkuat oleh asas fungsi sosial hak atas tanah yang termuat
dalam pasal 6 UUPA, tetapi ganti kerugian yang diberikan tidak seimbang dengan nilai hak
yang dilepaskan sehingga banyak masyarakat yang pada akhirnya tidak dapat bermukim
kembali secara layak karena ganti kerugian yang diterima tidak mampu untuk menggantikan
kedudukannya seperti sedia kala. Bagi penduduk yang masih memiliki lahan luas, mungkin
hal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan, namun bagi sebagian besar penduduk yang hanya
memiliki sebidang lahan sempit, kenyataan pahit ini harus diterimanya dengan terpaksa.
Ironisnya, kenyataan ini malah akan semakin menyeret pada proses pemiskinan penduduk
yang entah disadari atau tidak oleh para pembuat kebijakan bahwa proses pemiskinan
tersebut ternyata malah lahir dari para pelaksana kebijakan itu sendiri.
Contoh kasus yang menunjukkan terjadinya proses pemiskinan penduduk terjadi di desa
Tegal Buleud kabupaten Sukabumi yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian di
bidang pertanian. Dari semua persoalan pertanian yang dihadapi petani di Tegalbuleud,
persoalan utama yang menjadi landasan terciptanya konflik dan pemiskinan besar-besaran
penduduk desa tersebut adalah sosok aparat pemerintah yang bersekutu dengan pemilik
modal dalam memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam di pedesaan yang terjadi di
Indonesia selama berkuasanya rejim Orde Baru yang merupakan pro