Kedudukan Organisasi Internasional dalam docx

KEDUDUKAN ORGANISASI DALAM POLITIK INTERNASIONAL KONTEMPORER
“Masih Relevan kah OI Bertindak Netral dalam Penyelesaian Konflik dan Distribusi Kemakmuran”

Istilah lembaga internasional telah digunakan selama beberapa dekade untuk merujuk
beberapa fenomena hubungan internasional pasca perang. Pada awalnya

Organisasi

Internasional dapat menyelesaikan konflik dalam politik internasional karena

organisasi

internasional sangat berperan dalam mencegah konflik, terutama untuk mempertahankan
perdamaian dan keamanan, baik itu dalam bidang politik maupun bidang lainnya. Seiring dengan
berkembangnya dunia politik, organisasi-organisasi formal pada akhirnya memunculkan
konsepsi tentang ‘rezim internasional’ pada tahun 1970an. Peristiwa ini memunculkan studi
rezim internasional yang didefinisikan sebagai aturan, norma, prinsip, dan prosedur yang fokus
pada harapan mengenai perilaku internasional (Krasner, 1983, lihat Haggart and Simmons,
1987). Selanjutnya rezim tergantikan oleh lembaga internasional yang dianggap sebagai
seperangkat peraturan yang dimaksudkan untuk mengatur perilaku internasional dengan cara
melarang, menuntut, atau mengizinkan jenis kegiatan tertentu agar antar negara dapat

bekerjasama dan bersaing satu sama lain.
Organisasi internasional selanjutnya dikembangkan melalui beberapa sudut pandang
pendekatan seperti realis (organisasi internasional merupakan suatu lembaga untuk
menegosiasikan kepentingan negara sebagai bentuk distribusi kekuasaan masing-masing negara,
manfaat kerjasama dapat dilihat melalui hasil militer, hukum internasional, serta perjanjian
internasional, oleh karenanya lembaga-lembaga internasional harus berakar pada interaksi
kekuasan dan kepentingan nasional dalam sistem internasional), fungsionalisme rasional
(menjelaskan lembaga-lembaga internasional dari segi berbagai bentuk kegagalan pasar seperti
untuk mengatasi masalah tindakan kolektif, biaya transaksi tinggi dan defisit atau ketimpangan
informasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada fungsionalis negara membangun institusi
untuk mencapai hasil yang diinginkan secara kolektif), dan konstruktivisme social
(menempatkan lembaga-lembaga internasional dalam konteks intersubjektif social yang
menekankan pada tatanan internasional yang tersususn atas sistem aturan dan norma dalam
konteks masyarakat internasional, oleh karnanya dalam tatanan dunia dengan subjek masyarakat

internasional yang menyepakati hukum internasional, negara melakukan keseimbangan
kekuasaan dan praktek-praktek diplomasi untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya,
peran lembaga internasional selanjutnya untuk menekankan bahwa mereka dapat mengubah
identitas dan kepentingan negara dari hasil interaksi dari waktu ke waktu melalui seperangkat
aturan (Arend, 1999: 142-47; Onuf, 1989: 127).

Menelaah Persoalan PBB
Dewasa ini organisasi internasional telah dijadikan sebagai alat oleh Negara-Negara
adikuasa untuk mengintervensi dan mengatur Negara-Negara kecil. Contohnya PBB. Pada
dasarnya PBB dibuat berdasarkan konstruksi idealis, namun PBB memberikan hak veto kepada 5
negara utama, yaitu AS, Inggris, Rusia, China dan Perancis, yang merupakan lima kekuatan
besar pemenang Perang Dunia II dan dianggap memiliki tugas penting sebagai pemelihara
perdamaian, dengan suara tunggalnya, dapat memveto sebuah pernyataan kebijakan atau aksi
yang dikemukakan oleh anggota lainnya. Namun faktanya, penggunaan hak veto seringkali
disalahgunakan oleh negara anggota tetap tersebut. Problematika hak veto selalu membayangi
legitimasi DK PBB. Dengan hak veto, anggota tetap setiap saat dapat mempengaruhi terjadinya
perubahan substansi secara besar-besaran dari suatu resolusi. Bahkan, hak veto mampu
mengancam terbitnya resolusi yang dianggap tidak menguntungkan negara maupun sekutunya.
Di sisi lain, di antara anggota tetap selalu saling mengancam untuk menggunakan hak veto-nya
dalam suatu forum konsultasi tertutup agar kepentingan mereka masing-masing dapat terpenuhi
tanpa sama sekali mempedulikan substansi permasalahan.
Kasus yang paling menonjol adalah konflik Palestina-Israel. Amerika Serikat telah
menggunakan hak vetonya lebih dari anggota tetap lainnya sejak tahun 1972, khususnya
terhadap resolusi yang ditujukan bagi Israel. Dalam konflik Arab-Israel, dari 175 resolusi Dewan
Keamanan PBB tentang Israel, 97 menentang Israel, 74 netral dan 4 mendukung Israel. Tentunya
ini tidak termasuk resolusi yang diveto Amerika Serikat. Sedangkan pada pemungutan suara

pada Majelis Umum, 55.642 suara menentang Israel, dan hanya 7.938 yang mendukung Israel.
Khusus konflik Palestina-Israel, dari 82 veto Amerika Serikat, nyaris setengahnya berhubungan
dengan dukungan Amerika Serikat terhadap Israel, yaitu sebanyak 41 veto. Akibat dari
pembelaan yang dilakukan Amerika Serikat itu, banyak kasus pembangkangan yang dilakukan
oleh Israel terutama implementasi resolusi 271, 298, 452, dan 673.

Namun faktanya, implementasi menjadi tidak efektif karena nuansa politis dari
kepentingan negara anggota tetap (terutama Amerika Serikat) yang begitu dominan
dibandingkan common interest bagi anggotanya. Akibatnya, penggunaan hak veto sering
melenceng dari garis yang telah ditetapkan. Semakin lama, PBB semakin tidak bernyali.
Berbagai keputusan yang dihasilkan selalu memihak ke arah Amerika Serikat. Sebut saja kasus
Invasi Amerika Serikat ke Irak dan Afghanistan. Kedua kasus tersebut memperlihatkan betapa
arogansi Amerika Serikat sudah tidak tertandingi lagi. Negara tersebut dengan bebas menyerang
kemanapun.
Melemahnya peran dan kekuatan PBB disebabkan oleh masih dominannya Amerika
Serikat dalam tubuh PBB. Hal ini bisa dilihat dari jumlah pekerjanya 2/3 merupakan warga
Amerika. Di samping itu, Amerika Serikat merupakan penyumbang terbesar (iuran) PBB. Sejak
awal terbentuknya PBB hingga kini, Amerika Serikat merupakan donatur utama. Oleh karena itu,
secara politis PBB amat sangat sulit terpisahkan dari kepentingan politik global Amerika Serikat.
Pada dasarnya OI memiliki kekuasaan tersendiri, namun pada era HI kontemporer saat ini

kekuasaan tersebut tak akan kuat tanpa adanya pasokan dana yang besar untuk merealisasikan
seluruh agenda pbb, aliran dana terbesar disumbangkan oleh AS. Gelar "peace keeping" yang
diberikan ke PBB pun kini dipertanyakan ketika PBB tak mampu lagi mengatasi penjagaan
perdamaian jika tanpa sepersetujuan AS, dalam kasus invasi Iran walau banyak negara anggota
termasuk Rusia selaku pemegang hak veto pun tidak menyetujuinya, pada kenyataannya invasi
tersebut tetap terjadi atas kesewenangan AS, PBB pun tak berkutik pada akhirnya. ini dapat
dikaji melalui pendekatan konstruktivis, negara-negara akan saling memperjuangkan
kepentingan negaranya masing-masing, ketika keputusan PBB dapat di 'sogok' lewat pasokan
dana iuran rutin, otomatis ia akan mengutamakan keputusan negara dengan pemasok dana
terbesar, kini negara-negara melakukan diplomasi untuk memperjuangkan kepentingan nasional
bahkan kepentingan politik global dengan media 'uang'. Lalu bagaimana kedudukan PBB yang
saat ini telah dikalahkan oleh AS? Pada akhirnya perjanjian yang dibuat juga tetap dilanggar oleh
AS. Kebanyakan organisasi internasional di era kontemporer saat ini dibentuk oleh negara
superpower dengan agenda tertentu yang merupakan kepentingan nasional atau bahkan
kepentingan politik global untuk menguasai dunia.
Referensi :

 Barkin, J. Samuel. 2006. “The United Nations and Its System” Dalam International
Organization:Theories and Institutions. Palgrave Macmillan.
 Suryokusumo, Sumaryo. 1987. “Organisasi Internasional”. Jakarta: Universitas.

 Jackson, Robert., dan Georg Sorensen. 2014. “Kekuasaan Organisasi Internasional”.
Dalam Pengantar Studi Hubungan Internaisonal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
 Simmons, Beth. A., dan Lisa L. Martin. 2001. “International Organization and
Institutions”. Dalam Handbook of International Relations, Walter Carlsnaes,
Thomas Risse, dan Beth A Simmons. London: SAGE Publications
Nama Kelompok:






Dwiky Larasaty
Oktavia Rizki P.
Alfa Hirosi A.
Lala Nabila
M. Wahyudi

1344010021
1344010016

1344010034
1344010056
13440100