Hukum Merokok dalam Perspektif MTA Muham

MINI RISET
HUKUM MEROKOK

(Perspektif NU, MUhammadiyah, MTA, MUI)

Mini Riset ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Matakuliah
Perbandingan Madzhab dalam Ushul Fiqih
Dosen Pengampu
: Dr. Muh. Nashirudin, M.A,.M.Ag.
Disusun oleh:
Try Yogi Prastiyo
(132111003)
SitiArifatusshaliha
(132111015)
Muthiatus Sa’adah (132111028)
HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2015/2016

A. LATAR BELAKANG

Merokok pada hakikatnya adalah menghisap gabungan pengaruh
yang merugikan dari nikotin, karbon monoksida, tar, dan racun lainnya.
Kebiasaan merokok akan menyebabkan terjadinya 80-90% kematian
akibat kanker paru-paru diseluruh negara itu, 75% dari kematian akibat

[1]

bronchitis, 40% kematian akibat kandung kencing, dan 25% kematian
akibat jantung iskemik.1
Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak menjumpai dan bahkan
ikut menghirup asap rokok. Walaupun sudah secara jelas disebutkan
“madharat” atau sebab yang ditimbulkan dari rokok dan asapnya itu
sendiri, namun masih banyak yang mengkonsumsi rokok itu sendiri.
Maka, muncullah kajian-kajian dari kalangan para ulama untuk
menghukumi mengkonsumsi rokok tersebut. Ada sebagian kalangan ulama
yang tidak memperbolehkan dan bahkan mengharamkan rokok karena
melihat “madharat”yang ditimbulkan dari asap rokok tersebut.
Ada juga kalangan ulama yang justru memperbolehkan atau
menghalalkan karena pada realitanya malah membawa dampak positif
bagi kalangan tertentu. Dan itu merupakan candu yang ketergantungan,

bahkan juga ada yang mengatakan “kalau tidak rokok tidak bisa mikir”.
Maka dari sinilah timbul pro kontra tentang hukum mengkonsumsi rokok
itu sendiri.
B. POKOK MASAlAH
Berangkat dari latar belakang di atas, dapat diambil beberapa pokok
masalah yang akan dikaji lebih lanjut, yaitu :
a. Bagaimana hukum rokok dalam islam ?
b. Bagaimana hukum rokok menurut ulama NU ?
c. Bagaimana hukum rokok menurut ulama Muhammadiyah ?
d. Bagaimana hukum rokok menurut ulama MTA ?
e. Bagaimana hukum rokok menurut MUI ?
f. Apa sebab perbedaan pendapat dari beberapa kalangan ulama ?
C. KERANGKA TEORI
Muh. Nashirudin, dengan mengutip pendapat Mustafa Sa’id alKhin dalam bukunya Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyah fi
Ikhtilaf al-Fuqaha’ berusaha meneliti sebab-sebab terjadinya perbedaan
1

Ahsin W. Alhafidz, Fikih Kesehatan, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 225

[2]


ulama dalam bidang fiqih. Di antara sebab perbedaan yang bersifat umum,
antara lain:2
a. Perbedaan qiro’at (‫)اﺧﺘﻼ ف اﻟﻘﺮاءات‬
Merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan pemahaman
makna al Qur’an karena adanya perbedaan dalam pembacaan lafadz
tertentu. Contoh dalam permasalahan mengenai berwudhu, kaki harus
dibasuh atau cukup diusap. Yang tertera dalam surat al-Maidah ayat 6,
pada kata arjul dalam ayat dibaca nashab : wa arjulakum dalam satu
qira’at dan dibaca jar : wa arjulikum dalam qir’at yang lain.
b. Ragu pada keabsahan hadits( ‫)اﻟﺸﻚ ﻓﻲ ﺛﺒﻮ ت اﻟﺤﺪﯾﺚ‬
Perbedaan dalam pengambilan dalil hadits shahih yang yang
bersumber dari Jasyrah binti Dajajah dari ‘Aisyah, beliau berkata
bahwa Rasulullah saw bersabda “....maka sesungguhnya aku tidak
menghalalkan masjid bagi seorang wanita haid dan seorang yang
junub”. (HR. Abu Dawud, No 232)
Hadits tersebut di shahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Asy Syaukani
dan dihasankan oleh Ibnu Khatthan, al Zaila’iy dan Ibnu Sayyidun Nas
serta dilemahkan oleh Ibnu Ar Ruf’ah dan dia mengatakan perawi
hadits ini matruk.

c. Perbedaan memahami dan menafsirkan nash(‫)اﻻﺧﺘﻼف ﻓﻲ ﻓﮭﻢ اﻟﻨﺺ وﺗﻔﺴﯿﺮه‬
Meskipun suatu dalil telah sepakati dan dinyatakan shahih namun
potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja

terbuka lebar, yang

disebabkan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan
dan menginterpretasikan suatu dalil tertentu. Juga dalam melakukan
pemaduan dan pentarjihan antara dalil-dalil tersebut dengan dalil-dalil
lain yang terkait.
d. Makna ganda pada lafadz (‫)اﻻﺷﺘﺮاك ﻓﻲ اﻟﻠﻔﻆ‬
Hal ini terjadi pada suatu ayat yang terdapat dalam surat alBaqarah ayat 228, yaitu pada lafadz “quru’” yang bisa berarti suci dan
2

Lihat dalam https://sofianasma.wordpress.com /2010/12/18/ perbedaan-dalam-furu –
fiqhiyyah -sebagai-akibat-perbedaan-dalam-usul-al-fiqh/

[3]

bisa berarti haid. Bahkan sebelum ayat tersebut turun, kata quru’ telah

dikenal oleh bangsa arab yang memiliki arti masa suci atau masa kotor.
e. Pertentangan dalil (‫)ﺗﻌﺎرض اﻻدﻟﮫ‬
Khudari Beik memberikan pengertian tentang ta’arudh sebagai
dalil yang menunjukkan suatu hukum yang bertentangan dengan dalil
lain. Sedangkan Ali Hasbalah memberikan pengertian ta’arudh adalah
dua dalil yang sama tingkatnya menunjukkan suatu hukum yang
bertentangan dengan hukum yang dikandung dalil yang lain dalam
kasus yang sama.
f. Tidak adanya nash dalam sebuah masalah (‫)ﻋﺪم وﺟﻮد اﻟﻨﺺ ﻓﻲ اﻟﻤﺴﺎ ﻟﮫ‬
Tidak adanya dalil dari al-Qur’an atau Sunnah sering menjadi salah
satu penyebab perbedaan di antara ulama fikih. Hal ini karena setelah
Nabi SAW meninggal, masih banyak permasalahan hukum yang
belum terselesaikan. Masalah-masalah ini ada yang memiliki
kemiripan dengan masalah-masalah yang ada sebelumnya, dan ada
yang berbeda sama sekali. Masalah-masalah hukum terus bertambah
sementara ayat al-Qur’an dan hadis Nabi jelas sangat terbatas.
D. HUKUM MEROKOK DALAM ISLAM
Merokok pada hakikatnya adalah menghisap gabungan pengaruh yang
merugikan dari nikotin, karbon monoksida, tar, dan racun lainnya. Nikotin
menyebabkan jantung bekerja lebih berat dan membutuhkan lebih banyak

oksigen, tetapi karbon monoksida mengurangi pengambilan oksigen oleh
darah. Sedangkan tar lebih memperberat keadaan yang mengurangi
kemampuan penyimpanan udara oleh paru-paru.
Tidak ada satupun dalil-dalil yang berupa al-Qur’an maupun sunnah
yang langsung mengharamkan atau menghalalkan rokok. Maupun pendapat
dari madzhab-madzhab tertentu. Dalam hal ini merokok tidak dijelaskan
secara langsung seperti hukum minuman keras, baik bagi peminum maupun
penjual, yaitu jelas haram. Maka sehubungan dengan hal tersebut kita dapat
[4]

menyimak dalam surat al-Ma’idah ayat 90, yang artinya :”Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi (berkurban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan”.3
a. Merokok dalam pandangan ulama MTA
Menurut ulama MTA bahwa pada dasarnya rokok adalah sesuatu
yang tidak haram, jika dilihat dari bahan-bahanny sama sekali tidak ada
unsur yang mengharamkan. Namun yang dianggap haram adalah akibat
dari merokok tersebut. Maka secara otomatis apabila tidak ingin

merasakan akibat yang haram tersebut hindarilah rokok.
Dalam hal ini mereka tidak menggunakan dasar-dasar yang berupa
nash, namun melihat realita yang terjadi pada perokok, yaitu yang menurut
ahli medis dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit yang
mematikan.
Mereka berpendapat bahwa tidak ada satupun nash yang
menghalalkan ataupun mengharamkan rokok. Sedangkanyang mempunyai
otoritas untuk menentukan akan haram atau halalnya suatu makanan
hanyalah Allah swt dan Rasul-Nya. Dan menurut ulama MTA tersebut
bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama-ulama tentang hukum
rokok tersebut adalah hal yang tidak wajib untuk diikuti. Karena itu
hanyalah fatwa manusia biasa yang tidak luput dari salah dan lalai.4
b. Merokok dalam pandangan ulama NU
Menurut ulama NU dalam menetukan suatu hukum,tentu harus
melihat dari beberapasudut pandang dan juga melihat pada dalil-dalil
(Hadits, Ijma’, dan Qiyas). Karena dalam menentukan hukum islam,
bukan saja hanya melihat dari Al-quran. Namun juga harus merujuk

3


Ahsin W. Alhafidz, Fikih Kesehatan, hlm. 226
Wawancara langsung oleh Bapak Muslih, selaku tokoh sekaligus sesepuh di Majelis Tafsir
Al-Qur’an pada tanggal 30 Oktober 2015, di Kartasura, pukul 10.30
4

[5]

kepada Hadits, Ijma’, dan Qiyas sebagai pertimbangan yang perlu
diperhatikan.
Rokok menurut ulama NU hukumnya adalah “MAKRUH” dengan
pertimbangan dan dalil-dalil hukumnya sebagai berikut :
Pertama, dalam kaidah ushul fiqih, kita ketahui bahwa hukum asal
dari segala sesuatu itu adalah boleh (halal) sehingga tidak ada dalil yang
menunjukkan keharamannya.
Kedua, bahan baku rokok (tembakau, cengkeh, dan bahan-bahan
yang lain) pada asalnya bukan merupakan benda yang memabukkan dan
bukan merupakan benda yang membahayakan. Sedangkan nikotin itu
sendiri sebenarnya bukan berasal dari tembakau, namun zat yang
ditambahkan kedalam rokok.
Ketiga, rokok memang membawa bahaya bagi kesehatan menurut

pakar-pakar kesehetan. Namun, fatwa haram rokok akan membawa
dampak yang lebih besar, yakni ditutupnya pabrik rokok, yang kemudian
perlu dipertimbangkan nasib dari karyawan, petani tembakau, petani
cengkeh dan orang yang bekerja di kebun cengkeh, dan lain sebagainya.
Kemudian terkait dengan penjelasan-penjelasan para ulama fiqh
yang berdasarkan pada hadits nabi tentang larangan menjual barang yang
haram dan memanfaatkan hasil dari penjualannya.
Rasulullah saw bersabda

‫اِ ﱠن ﷲَ َﺣ ﱠﺮ َم َﻋﻠَﻴ ِﻬ ُﻢ اﻟ ﱡ‬
‫ﺸ ُﺤ ْﻮ م ﻓَـﺒَﺎ ﻋُﻮ َﻫﺎ َو اَ ُﻛﻠُﻮ ا اَﲦَﺎ ﻧَـ َﻬﺎ َو اِ ﱠن ﷲَ اِ َذ ا َﺣ ﱠﺮ َم َﻋﻠَﻰ ﻗَـ ْﻮ ٍم اَ ُﻛﻠُ ْﻮ‬
ٍ
ُ‫َﺷﻰء َﺣ ﱠﺮَم َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ َﲦَﻨَﻪ‬
“sesungguhnya Allah mengharamkan lemak (bangkai) kepada
mereka, namun kemudian mereka menjualnya dan memakan harga hasil
penjualannya. Dan sesungguhnya jika Allah mengharamkan suatu kaum
untuk memakan sesuatu, maka Allah juga mengharamkan kepada mereka
harga/hasil penjualannya.5
5


Abu Dawudd Sulaiman bin Asy‘asy as-Sijistaniy, Sunan abu Dawud, Kitab al-Ijarah, bab. Fiy
Tsaman al-Khamr wa al-Maytah, no hadits 3488, juz II (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet 1,
1996), hlm 487

[6]

Dalam hadits lain disebutkan:

ِ
ِ ِ
ِ
‫ﺻﻠﱠﻰ ا ُ َﻋﻠَ ِﻴﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ – ﻳَـ ُﻘﻮ ُل ﻋﺎ م‬
َ ‫َﻋ ْﻦ َﺟﺎ ﺑِ ِﺮ ﻳْ َﻦ َﻋ ْﺒﺪ ا اَ ﻧﱠﻪُ َﲰ َﻊ َر ُﺳﻮ َل ا‬
ِ
ِ
-‫ﺻﻨَﺎ ِم‬
ِ ‫اﻟ َﻔ‬
ْ َ‫ﺘﺢ َو ُﻫ َﻮ ِﲟَ ﱠﻜﺔَ – ا ﱠن ا َ َوَر ُﺳﻮ ﻟَﻪُ َﺣ ﱠﺮ َم ﺑَـ ْﻴ َﻊ اﳊَ ْﻤ ِﺮ َو اﳌَْﻴـﺘَﺔ َو اﳋِْﻨ ِﺰﻳ ِﺮ َواﻻ‬
‫اراﻳﺖ ﺷﺤﻮم اﳌﻴﺘﺔ ﻓﺎﻧﻪ ﻳﻄﻠﻰ ﺎ اﻟﺴﻔﻦ وﻳﺪﻫﻨﺎ ﺎ اﳉﻠﻮ د‬


‫رﺳﻮل ا‬

‫ﻓﻘﻴﻞ‬

‫ وﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﷺ – ﻋﻨﺪ ذﻟﻚ‬--‫ ﻻ ﻫﻮ ﺣﺮام‬--‫ ﻓﻘﺎ ﻟﻞ‬.‫وﻳﺴﺘﺼﺒﺢ ﺎ اﻟﻨﺎ س‬
‫– ﻗﺎ ﺗﻞ ﷲ اﻟﻴﺒﻮ د ان ﷲ ﻋﺰ و ﺟﻞ ﳌﺎ ﺣﺮم ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺷﺤﻮ ﻣﻬﺎ ﲨﻠﻮ ه ﰒ ﻋﻮﻩ ﻓﺎ‬
.‫ﻛﻠﻮاﲦﻨﻪ‬
“dari Jabir bin Abdillah, bahwa beliau mendengar Rasulullah saw
bersabda pada tahun penakhlukan Makkah di kota Makkah: sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi
dan patung. Ada yang bertanya: wahai Rasulullah bagaimana menurut
pendapat Engkau tentang lemak bangkai, karena dapat dimanfaatkan
untuk mengecat perahu dan meminyaki kulit serta menjadi bahan bakar
lampu? Maka beliau menjawab: tidak boleh! Dia terlarang. Kemudian
beliau saw bersabda: semoga Allah membinasakan orang Yahudi,
sungguh Allah ketika mengharamkan lemak bangkai, mereka cairkan
kemudian mereka jual lalu memakan hasil jual belinya tersebut.6
Rasulullah telah menjelaskan dalam sabdanya tentang hukum halal
dan haram yang sebenarnya telah dijelaskan oleh Allah. Sabda Nabi saw:
“sesungguhnya yang halal itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkaraperkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketauhi kebanyakan
orang. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah
menyelamatkan agamanya dan kehormatannya. Dan siapa yang
terjerumus dalam perkara yang diharamkan, sebagaimana penggembala
yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang), yang
dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya.
Imam At-Tirmidzi juga meriwayatkan: “dari Salman dia berkata:
Rasulullah saw ditanya mengenai minyak, keju dan keledai hutan, lalu
baginda saw bersabda: “halal ialah apa yang telah dihalalkan oleh Allah,
6

Abi Abdurrahman Ahmad bin Su’aib an Nasa’i, Kitab Sunan Al-Kubra, kitab al-Buyu’, bab
bay’ al Khindzir, No Hadits 6265, juz IV (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, Cet I, 1991), hlm 54.

[7]

dan haram ialah apa yang telah diharamkan oleh Allah di dalam kitabNya, dan apa yang didiamkan oleh-Nya, maka ia adalah dari apa perkara
yang dimaafkan untuk kamu”.
Selain hadits diatas, pertimbangan lain adalah dengan pendapatpendapat ulama tentang masalah ini. Dalam literatur klasik ternyata tidak
diketemukan pembahasan tentang rokok dan hukumnya. Pembahasan ini
baru

diketemukan

dalam

pembahasan-pembahasan

kontemporer.

Selanjutnya berdasarkan argumen bahwa tidak adanya nash yang jelas dan
tegas mengenai larangan merokok (baik Al-Quran maupun Hadits) serta
tidak adanya Ijma’ (kesepakatan) ulama terkait dengan hukum ini.
Sehingga rokok dihukumi MAKRUH bukan HARAM.7
c. Merokok dalam Pandangan ulama Muhammadiyah
Ulama Muhammadiyah menegaskan bahwa hukum rokok itu
haram. Dan merokok merupakan perbuatan yang khobaits’ berdasarkan
surat Al-A’raf ayat 157.8

ِ ‫و ُِﳛ ﱡﻞ َﳍُﻢ اﻟﻄﱠﻴِﺒ‬
ْ ‫ﺎت َو ُﳛَ ِّﺮُم َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ُﻢ‬
‫ﺚ‬
َ ِ‫اﳋَﺒَﺎﺋ‬
َّ ُ
َ
Artinya :”.......dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.....” (QS. Al a’raf : 157)
Khoba’its dalam hal ini diartikan oleh ulama Muhammadiyah
adalah sesuatu yang kotor atau menjijikkan. Dan rokok merupakan sesuatu
yang kotor atau menjijikkan karena sebab yang ditimbulkan, maka rokok
dianggap haram sesuai dengan ayat tersebut.
Adapun alasan dan dalil-dalil yang menjadi landasan Ulama
Muhammadiyah melarang perbuatan merokok :
1. Merokok merupakan perbuatan yang menjatuhkan diri atau bunuh diri
secara perlahan, karena berkenaan dengan dalil Al- Qur’an Q.S AlBaqarah ayat 195 dan Q.S an-Nisa ayat 29.

7

Wawancara langsung oleh Uztad Muhammad Azam (tokoh NU sekaligus Uztad di pondok
Pesantren Al-Fatah Kartasura) pada hari sabtu 10 Oktober 2015.
8
Wawancara langsung oleh Bp. Muhammad Julijianto, S.Ag, M.Ag (tokoh Muhammadiyah
sekaligus anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah Surakarta) pada hari kamis, 22 Oktober 2015.

[8]

2. Merokok juga merupakan perbuatan yang membahayakan bagi diri sendiri
dan orang lain karena mengandung zat adiktif sebagaimana yang telah
disepakati oleh para ahli medis dan para akedemisi dan oleh karena itu
merokok bertentangan dengan prinsip syariah dalam hadits Nabi saw
bahwa tidak ada perbuatan membahayakan diri sendiri dan membahayakan
orang lain.
3. Rokok diakui sebagai zat adiktif dan mengandung unsur racun yang
membahayakan walaupun tidak seketika melainkan beberapa waktu
kemudian sehingga merokok termasuk kategori yang melemahkan
sehingga bertentangan dengan hadits Nabi saw yang melarang setiap
perkara yang memabukkan dan melemahkan.
4. Merokok dalam pembelanjaannya juga dilarang karena termasuk
perbuatan pemborosan (Mubazir). Seperti yang termaktub dalam Q.S AlA’raf ayat 26- 27.
5. Merokok bertentangan dengan unsur-unsur tujuan syariah (Maqasid
Syariah) yaitu : (1) Perlindungan Agama, (2) Perlindungan Jiwa (3)
Perlindungan Akal (4) Perlindungan Keluarga (5) Perlindungan Harta.
Fatwa-fatwa yang dikemukakan terebut sesuai dengan prinsip AtTadrij (berangsur), At-Taisir (kemudahan), dan Adam al- haraj’ (tidak
mempersulit).
d. Merokok dalam Pandangan MUI
Majelis Ulama Indonesia menyatakan merokok hukumnya haram
bila di lakukan ditempat umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil.
Sedangkan selebihnya ada yang dihukumi makruh dan haram. Mereka
menghukumi makruh dan haram tergantung manfaat dan madharat yang
ditimbulkan dari akibat merokok.
Menurut ulama MUI, rokok memiliki hukum makruh karena ketika
apabila ditinggalkan maka akan mendapat pahala. Contoh seseorang yang
sedang merokok tidak dianjurkan merokok dalam suatu majelis ilmu dan
majelis pembacaan Al-Quran, hal ini disebabkan karena dianggap tidak

[9]

memiliki sopan santun dan bisa mengganggu pembacanya. Maka
sebaiknya yang seperti ini ditinggalkan.
Sedangkan hukum makruh bisa berubah menjadi haram apabila
madharat yang di peroleh atau ditimbulkan lebih besar. Seperti contoh
ketika seseorang membeli rokok dengan uang yang seharusnya dia
gunakan untuk menafkahi keluarganya sedangkan apabila uang tersebut ia
gunakan untuk membeli rokok maka keuangannya mengkhawatirkan.

KESIMPULAN
a. Sebab-sebab terjadinya perbedaan dikalangan ulama
Setelah kita lihat dari beberapa pendapat ulama-ulama tersebut
dapat kita ambil kesimpulan, bahwa para ulama dalam istinbath hukum
merokok mengalami beberapa perbedaan (ikhtilaf). Baik dari cara
memahami suatau nash maupun dalam penggunaan nash itu sendiri.
Maka yang menjadi sebab perbedaan pendapat dari beberapa ulama
di atas adalah yang pertama, tidak adanya nash yang sharih atau jelas
dalam sebuah masalah (‫)ﻋﺪم وﺟﻮد اﻟﻨﺺ ﻓﻲ اﻟﻤﺴﺎ ﻟﮫ‬. Merokok merupakan
problem baru yang muncul dan tidak ada satupun nash yang menghukumi
perbuatan tersebut. Namun, kalau dilihat secara kontekstual dari suatu ayat
dan dikaitkan dengan furu’ (cabang) atau ‘illat suatu peristiwa yang sudah
ada hukumnya, maka perbuatan merokok tersebut dapat dihukumi.
Sebagaimana ulama-ulama NU dan Muhammadiyah, yang menggunakan
dalil-dalil yang berupa al-Qur’an dan Sunnah. Walaupun tidak secara
tersurat menjelaskan hukum merokok namun mereka yakin ada hukum
tersirat yang dapat dijadikan dasar untuk menghukumi perbuatan tersebut.
Sebagaimana dalam suatu riwayat yang artinya, “ Wahai Mu’adz,
bagaimana cara kamu memutuskan jika datang kepadamu suatu persoalan?
Ia menjawa : saya akan putuskan atas dasar hukum yang ada dalam alQur’an. Beliau bertanya, jika kamu tidak menemukan hukum itu dalam alQur’an? Ia menjawab : akan saya putuskan atas dasar as-sunnah. Beliau
[10]

bertanya: jika kamu tidak menemukan dalam sunnah maupun kitab Allah?
Ia menjawab : saya akan berijtihad dengan pikiran dan saya tidak akan
lengah. Kemudian Rasulullah menepuk pundakknya dan bersabda: segala
puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah yang
diridhai oleh Rasulullah. (HR. Abu Dawud).9
Berbeda dengan ulama-ulama MTA yang cenderung lebih
tekstualis dalam menyikapi problem tersebut. Mereka berani menghukumi
apabila ada nash yang secara tertulis mengatur hukum dari perbuatan
tersebut. Sedangkan merokok merupakan problem baru yang muncul dan
itupun sama sekali tidak diatur dalam al-Qur’an maupun sunnah. Maka
mereka menganggap tidak ada dalil yang berupa nash yang menjadi dasar
untuk menghukumi perbuatan tersebut.
Yang kedua adalah perbedaan memahami dan menafsirkan
nash(‫ )اﻻﺧﺘﻼ ف ﻓﻲ ﻓﮭﻢ اﻟﻨﺺ و ﺗﻔﺴﯿﺮه‬terutama yang berkaitan dengan makna
“khaba’its”, apakah rokok termasuk di dalamnya atau tidak. Meskipun
suatu dalil telah sepakati dan dinyatakan shahih namun potensi perbedaan
dan perselisihan tetap saja terbuka lebar, yang disebabkan perselisihan
para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikan suatu
dalil tertentu. Juga dalam melakukan pemaduan dan pentarjihan antara
dalil-dalil tersebut dengan dalil-dalil lain yang terkait.
Sebagaimana yang terjadi antara pendapat ulama-ulama NU dan
Muhammadiyah serta fatwa MUI yang jika dilihat dari dalil-dalil yang
digunakan hampir sama. Namun karena perbedaan dalam memahami,
menafsirkan dan menginterpretasikan suatu dalil, terutama tentang makna
khaba’its, menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pengambilan suatu
hukum.

9

M. Usman, Filsafat Hukum Islam, (Buku Daras Jurusan Syariah, Surakarta, 2009), hlm. 19

[11]

DAFTAR PUSTAKA
Alhafidz, Ahsin W, Fikih Kesehatan, AMZAH, Jakarta, 2010
Abu Dawudd Sulaiman bin Asy-‘asy as-Sijistaniy, Sunan abu Dawud, Kitab al
Ijarah, bab. Fiy Tsaman al-Khamr wa al-Maytah, no hadits 3488, juz II
Beirut : daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996
Abi Abdurrahman Ahmad bin Su’aib an Nasa’i, Kitab Sunan Al-Kubra, kitab al
Buyu’, bab bay’ al Khindzir, No Hadits 6265, juz IV Beirut: Daar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1991
Mudzhar, M. Atho dkk, Fatwa MUI dalam perspektif hukum dan perundang
undangan, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, Jakarta, 2011.
Usman,M,Filsafat Hukum Islam, jurusan syariah, Surakarta, 2009

[12]