Konteks Kekinian Arsitektur dalam Meliha

Konteks Kekinian Arsitektur
dalam Melihat Arsitektur Nusantara
Antariksa

Pendahuluan
Arsitektur kebangsaan adalah hasil tatanan budaya masyarakatmanusia yang mendiami wilayah Nusantara ini. Bentuk dan wujudnya
adalah hasil pemikiran dari kecerdik-pandaian mereka dalam melihat alamlingkungan geografisnya, dan berlanjut sampai sekarang. Tradisi dan
budaya yang terdapat di dalamnya tercipta akibat dari proses peradaban
yang sangat panjang. Hasil peradaban berhuni dan berarsitektur
memunculkan berbagai macam bentukan arsitektur, hal inilah yang
menarik untuk dilakukan kajian dan pengungkapkannya. Apa sebenarnya
yang mendasari dibalik bentukan-arsitektur tersebut? Apakah hal tersebut
terjadi akibat proses budaya antara manusia dengan alam-lingkungan
geografisnya? Hal itulah yang sebenarnya menjadi latar belakang mengapa
kita ingin mempelajari arsitektur hunian tradisional yang tersebar di
wilayah Nusantara ini.
Peradaban bangsa ini berjalan seiring dengan perkembangan budaya
masyarakat, dan arsitektur tentunya. Hal ini yang menjadikan bentuk fisikspasial serta tradisi yang beragam dalam kehidupan berarsitektur.
Perkembangan yang terjadi di wilayah Nusantara terjadi akibat bentukan
arsitektur etnis-estnis kepulauan menjadi langgam yang sekarang banyak
dibicarakan. Akulturasi dan adopsi terjadi setelah wilayah Nusantara ini

kedatangan Bangsa Belanda yang mencekeram dan menduduki serta
menjadikan koloninya. Perkembangan dan percampuaran arsitektur mulai
terjadi dengan istilah Indisch-nya, percampuran antara arsitektur
Nusantara yang tradisionalistik dengan arsitektur dari Belanda.
Perkembangan arsitektur di wilayah Timur seperti Cina, Korea, dan
Jepang juga mengalami pergesaran dan perpaduan antara Barat dan Timur.
Menjadikan perkembangan ini layak untuk dicermati dan dikaji, melihat
peradaban Timur bersentuhan dengan arsitektur Barat, dan berkembang
dalam budaya yang saling berdampingan. Hal inilah yang seharusnya
menjadi acuan pandangan bagaimana arsitektur Barat dan Timur dapat
menjadi icon baru dalam perkembangan arsitektur modern/kontemporer
saat ini di Cina. Korea, dan Jepang.
Dengan demikian apa yang akan kita lakukan untuk memperjelas
perkembangan peradaban dalam berarsitektur di Indonesia? Bagaimana
arsitektur yang mempunyai lokalitas dengan tradisionalismenya di wilayah
N usantara ini dapat bersinergi dengan perkembangan arsitektur modern?
Bagaimana cara menumbuh kembangkan lokal-tradisional dalam arsitektur
“kekinian” yang sekarang banyak dibicarakan?

Pemahaman mengenai Arsitektur Nusantara dan Tradisional

Pemahaman mengenai arsitektur tradisional telah banyak mengalami
perkembangan makna dan arti. Arsitektur sebagai produk kebudayaan
akan mencerminkan peradaban masyarakat setempat. Wujud fisik
kebudayaannya dikenal sebagai arsitektur tadisional (Arsitektur tradisional
kerap dipadankan dengan Vernakular Architecture, Indigenous, Tribal
[Oliver dalam Martana, 2006]). Kemudian berkembang menjadi arsitektur
rakyat (Arsitektur Rakyat, Anonymus, Primitive, Local atau Folk Architecture
[Papanek dalam Wiranto, 1999]), atau juga disebut sebagai Arsitektur Etnik
[Tjahjono,1991]. Istilah-istilah tersebut di atas saling terkait dan pada
penggambarannya
sulit
dipisahkan
satu
sama
lain.
Beberapa
persamaannya adalah karakter spesifik yang merujuk pada budaya
masyarakat, keterkaitan yang dalam dengan lingkungan alam setempat
(lokalitas), serta bersumber dari adat yang diturunkan antar generasi
dengan perubahan kecil. Menurut Oliver [1997] arsitektur vernakular

(dalam
bahasan
ini
akan
disebut
sebagai
arsitektur
tradisional) dibangun oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan khusus
dalam pandangan hidup masing-masing masyarakat. Kebutuhan khusus
dari nilai-nilai yang bersifat lokal ini menimbulkan keragaman bentuk antar
daerah. Kekhasan dari masing-masing daerah tergantung dari respon dan
pemanfaatan lingkungan lokalnya yang mencerminkan hubungan erat
manusia dan lingkungannya (man & environment). Jadi keragaman
arsitektur tradisional mencerminkan besarnya variasi budaya dalam
luasnya spektrum hubungan masyarakat dan tempatnya.
Kecerdasan dalam memahami masalah ini, muncul karena interpretasi
terhadap arsitektur yang berlebihan dari sekedar bernaung menjadi
pemahaman akan style, langgam, fungsi dan sebagainya. Demikian juga
dalam arsitektur, kearifan lokal merupakan pengkristalan dari solusi-solusi
pengelolaan lingkungan binaan sesuai dengan modal sosial yang dimiliki

suatu masyarakat dan –pada skala yang lebih luas- merupakan bagian dari
kebijakan pembangunan nasional. Pengkristalan
dari berbagai solusi
rancang-bangun arsitektural yang lahir secara spontan di masyarakat,
mengalami percepatan; solusi-solusi konstruksi dan arsitektural yang
tadinya bersifat sangat lokal, kemudian menjadi “tradisi baru”. Selain
sebagai modal sosial, sebetulnya malahan dapat dilihat sebagai “hak
budaya” suatu masyarakat [Pangarsa, 2004: 28-29]. Hal tersebut
membentuk kenyataan bahwa masyarakat punya tradisi turun-temurun
menjadi sebuah budaya dan secara nyata membentuk lingkungan binaan
dan karakteristik arsitekturnya yang lokal dibandingkan dengan
karakteristik arsitektural-geografinya.
Peran sosial budaya masyarakat tradisonal dalam membentuk
arsitektur melalui proses berbudaya telah menjaga-lestarikan maknamakna yang ada di balik arsitektur nusantara dan lingkungan tersebut.
Arsitektur nusantara mempunyai kandungan keilmuan manusia dan alam
yang didasari oleh prinsip-prinsip ke-Tuhanan. Prinsip-prinsip tersebut
tidak dapat kita jumpai bahkan temukan di Eropa mapun Amerika baik
dalam ranah keilmuan maupun kosep-konsepnya. Dalam arsitektur
nusantara media manusia dan lingkungannya menjadi salah satu pegangan
dalam mengembangkan arsitektur yang berkelanjutan. Perkembangan


dalam teknologi arsitektur nusantara pun berangkat dari arsitektur
tradisional dan konsep ini bukanlah keilmuan arsitektur Eropa maupun
Amerika. Sebenarnya arsitektur nusantara merupakan arsitektur yang
hidup secara bersama dengan alam lingkungannya. Merupakan hasil
komunikasi antara alam, manusia dan arsitektur. Komposisi komponenkomponen alam di tropis lembab melahirkan ungkapan yang melukiskan
kondisi iklim. Alam menyediakan contoh bagaimana seharusnya makhluk
hidup yang tidak hidup beradaptasi dengan lingkungannya, dan alam
menyediakan kebutuhan manusia tanpa harus menderita karenanya.
Manusia melalui berbagai kegiatan yang dilakukan menunjukkan pola-pola
kegiatan yang khas di daerah beriklim tropis lembab, dengan
memanfaatkan apa yang disediakan oleh alam tanpa memberikan gangguan
pada alam. Arsitektur, yang dihasilkan oleh manusia, adalah manifestasi
dari komunikasi alam dan manusia. Arsitektur disini memahami bahasa
alam manusia, mewujudkan tuntutan manusia akan kenyamanan dan
perlindungan di daerah tropis, dengan memberikan kenyamanan dan
perlindungan kepada manusia dengan tidak memberikan pengaruh buruk
terhadap lingkungan. Komunikasi antar alam–manusia–arsitektur di
Nusantara di masa lalu telah terekam menjadi satu bentuk pengetahuan
yang mampu menghasilkan arsitektur tradisional Nusantara.

Kolonialisme dan Arsitektur Nusantara
Ketidak-jelasan dalam memandang arsitektur tradisional yang
berkembang pada awal kolonialisme di Indonesia menjadi telaah atau titik
pandang tentang perkembangan arsitektur yang terjadi pada saat itu.
Dominansi perpaduan antar arsitektur yang mereka bawa dari negeri
Belanda berpadu dengan bentuk serta tatanan arsitektur yang terdapat di
alam di nusantara ini. Dalam perjalanannya, muncul pendapat yang
diberikan oleh arsitek Belanda Hendrik Petrus Berlage yang menyatakan
terdapat dua kelompok tentang pemakaian seni budaya lokal dalam
bangunan. Kelompok pertama merujuk kepada arus gerakan EKLEKTISME
EROPA ABAD ke-19 serta menghendaki seni bangunan Eropa juga
diberlakukan di daerah koloni. Kelompok kedua mereka lebih
mengharapkannya adanya kepekaan terhadap seni bangunan lokal
(Nusantara) yang mengarah pada munculnya arsitektur baru, yakni IndoEropa. Kelompok pertama diwakili oleh M.J. Hulswitt, dan Ed Cuypers,
jelas-jelas mengutamakan peradaban dari Barat dan berorientasi kepada
seni bangunan Belanda. Kelompok kedua diwakili oleh C.P. Wolff
Schoemaker, Henri Maclaine Pont dan H.T. Karsten. Penjelasannya adalah
bahwa pentingnya pemahaman seni budaya Nusantara, yang meliputi
faktor konstruksi bangunan, kesehatan dan ekonomi. Intinya, adalah seni
budaya lokal/Nusantara juga mempunyai karakteristik sendiri seperti

halnya pada seni bangsa Barat. Pada hakikatnya aspek lokalitas terdalam
yang dimiliki bangsa pribumi harus ditonjolkan dan bahwa bahwa gaya
Indo-Eropa hanya akan terjadi oleh adanya dialektika yang mendalam
antara kedua unsur lokal dan Ekletik-Eropa keduanya mencakup baik
unsur konstruksi maupun bentuk seninya.
Perkembangan semacam inilah yang menandai perkembangan
arsitektur di masa itu. Bagaimana sentuhan lokal-tradisional dalam

konteks kenusantaraan sudah menjadi bagian yang waktu itu dipikirkan
oleh para arsitek Belanda yang berkarya di masa pemerintahan kolonial
Belanda. Mereka memikirkan betapa menariknya bentukan-bentukan yang
ada di nusantara yang tropis ini menjadi bagian yang diolah oleh para
arsitek Belanda. Perkawinan dalam arsitektur melalui pendekatan lokalitas
bahan dan budaya menjadi hal yang sangat menarik untuk dijadikan
pemikiran-pemikiran oleh para arsitek saat ini. Pada waktu itu, wilayah
nusantara menjadi tempat karya para arsitek Belanda dipamerkan, dan
ungkapkan fisiknya sampai saat ini terlihat di beberapa kota-kota besar di
Indonesia.
Unsur lokalitas-tradisional sering mendominasi dalam pengambilan
keputusan perancangan arsitektural oleh para arsitek Belanda yang punya

kepekaan terhadap nusantara. Bentukan-bentukan itulah yang menjadi
dasar keterikatan perpaduan arsitektur Eropa dan tropisnya nusantara. Hal
inilah yang dapat merasakan kedamai-tentraman antara manusiamasyarakat-alam lingkungan hunian hidup nusantara. Disinilah nampak
peran besar arsitek pada waktu itu sebagai pelaku penumbuh-kembang
arsitektur Eropa dengan arsitektur lokal-tradisional menjadi sebuah
penanda bagi peradaban nusantara yang mempunyai nilai budaya tinggi
dan indah.
Masyarakat nusantara ini memiliki budaya yang ada di sekitar dan
diwariskan kepada mereka sendiri. Mereka memberi makna pada
lingkungan atau ruang hunian hidupnya dengan tujuan menentukan sikap
dan beraktifitas dalam kehidupannya. Dengan cara memahami dan
mengerti untuk dapat mengejawantahkan aktifitas di ruang lingkungan
hidupnya. Jadi, memahami dengan mencerna arsitektur nusantara dalam
hal ini tradisional-lokal adalah mempelajari akan suatu bingkai budaya
nusantara dalam sebuah peradaban kebangsaan.
Peradaban Arsitektur Timur (Cina-Korea-Jepang)
Pandangan keilmuan arsitektur sampai dengan abad ini masih
didominasi oleh teknologi dan bahan bangunan. Perkembangan peradaban
arsitektur di wilayah Timur dalam hal ini Cina, Korea dan Jepang sudah
jauh melewati peradaban mereka sendiri sebagai bangsa Timur. Perjalanan

mereka begitu cepat mengadaptasi dan menumbuhkan identitas baru
dalam mewujudkan jati diri arsitekturnya. Budaya mereka ditata
sedemikian rupa meskipun peradaban berjalan dengan pengaruh
globalisasi yang begitu cepat, namun tradisi dan budaya yang ia punyai
masih bertahan dengan baik.
Mungkin bagi para arsitek maupun pemerhati arsitektur perlu belajar
dan memahami, apa yang terjadi dibalik perkembangan arsitektur modern
mereka? Menariknya adalah sejarah arsitektur tradisional masa lalu
mereka yang sangat kuat dapat menerima perkembangan arsitektur
modern, dapat bersanding bersama-sama dalam masyarakat urban dengan
budaya modern-tradisionalistiknya. Bahwa sebagai Bangsa Timur mereka
telah menunjukkan pada dunia keterbukaan seperti apa yang terjadi di
negara Cina dan Jepang, yang kemudian disusul pula oleh Korea dalam
menerima seni arsitektur kini (arsitektur kontemporer). Bagaimana mereka
dapat menghadapi kekuatan besar dalam globalisasi arsitektur sementara

penghargaan terhadap kebudayaan lokalnya masing-masing tersebut
berjalan dengan baik. Disini arsitektur kontemporer mau diterima dengan
baik bahkan bersanding dengan budaya dan arsitektur tradisional yang
mereka punyai. Kemudian muncul pertanyaan apakah dengan penerimaan

tersebut mereka lupa dengan isu lokalitas teritori mereka sendiri?
Pertanyaan tersebut dengan sendirinya terjawab apabila kita menelaah
lebih dalam lagi alasan-alasan di balik berdiri megahnya karya-karya
arsitektur tersebut. Justru seperti inilah, sebuah peradaban yang bisa
membawa masa lalu dan menerima masa kini untuk menjelajah masa
depan melalui identitas barunya, sedangkan perjalanan budayanya tetap
bertahan sampai sekarang. Kehebatan perkembangan arsitektur di Cina,
Korea, dan Jepang semakin jelas bahwa identitas mereka saat ini dalam hal
material dan teknologi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat
yang berbeda dengan masa ratusan tahun yang mereka punyai di masa
lalu.
Arsitektur Jepang sebagai contoh, sejak era idustrialisasi hingga kini
malah lebih memperkokoh identitasnya, sebagai arsitektur yang akrab
dengan bahan-bahan metal (alumunium, baja, beton dan lain-lain) sebagai
identitas kontemporer mereka. Pada hal secara kasat mata kita tentu masih
ingat arsitektur kayu dan kertas mereka pada zaman arsitektur awal di
Jepang. Bukti sejarah masa lalu mereka dengan kuil-kuil kunonya yang
menggunakan bahan batu, kayu dan kertas menandakan bahwa peradaban
lalu mereka masih dipertahankan. Perjalanan dan perkembangan arsitektur
di Jepang inilah yang menjadikan tonggak bahwa identitas terus berubah

dan berkembang tetapi budaya mereka masih bertahan untuk dijalankan.
Pada wilayah budaya, arsitektur berkonsentrasi pada proses
pembudayaannya, sedangan para arsitek lebih berkonsentrasi pada
struktur-struktur bangunannya. Demikianlah budaya dalam arsitektur
yang diharapkan memberi pengetahuan tentang proses peradaban manusia
dan arsitektur di masa lalu. Dengan permasalahan yang berbeda, karena
batas global mereka dapat dilampaui oleh bahan dan teknologi serta ide dan
gagasan para arsitek yang sangat cemerlang. Arsitektur kayu dan kertas di
Jepang telah memberikan contoh peradaban masa lalu yang sampai saat ini
masih bertahan baik baik bentuk fisik maupun budaya yang terbentuk
pada tinggalan-tinggalan tersebut. Seperti kuil-kuil Kinkaku-ji, Ginkaku-ji,
Byodo-in (di Kyoto), Todai-ji, Horyu-ji, Yakushi-ji (di Kota Nara) dan lain
sebagainya. Arsitektur tradisional Jepang telah terhimpun dan
terinterpretasi dengan bentukan arsitektur dan budaya masa lalunya.
Dengan ciri khas kayu, kertas dan batu telah menginspirasi peradaban
masyarakat yang memadukan bahan dan teknologi waktu itu. Masyarakat
Jepang terkenal sangat efisien dalam segala hal termasuk juga pemakaian
material bagi arsitektur tempat mereka hidup. Tahun demi tahun mereka
meneliti cara terbaik menyediakan lingkungan binaan yang efisien bagi
semua aktifitas. Mengarah pada pemakaian material-material yang efisien
berdaya tahan sangat lama. Kemungkinan mengganti material dasar
arsitektur mereka dari kayu menjadi metal dan beton. Hal ini terbukti
dengan catatan sejarah panjang dari perkembangan arsitektur modern
Jepang menunjukkan selalu berawal dari perubahan dan pengembangan
bahan dan teknologi yang tinggi. Kecerdikan arsitek dalam memahami

ruang dan filosofinya menjadikan dasar bahwa semua selalu berawal dari
budaya dan tradisi yang mereka punyai. Hal ini akan menjawab mengapa
budaya masyarakat manusianya bertahan sedangkan peradaban arsitektur
berjalan sesuai dengan identitas yang mereka bawa dan kembangkan
kedepan melalui belahan ruang-waktu. Dengan tanpa melupakan inti-inti
filosofi Zen mereka yang mengharuskan keselarasan dengan alam bagi
tempat mukim mereka.
Babak baru dari dunia arsitektur berkembang dengan pesat hampir
keseluruh daratan Jepang, terutama di kota-kota besar. Sangat berbeda
dengan native arsitektur yang tumbuh dan berkembang di Jepang sendiri.
Pada periode Heisei (1989~sekarang) arsitektur post-modern mulai
berkembang di Jepang (sebenarnya post-modern di Jepang berkembang
awal tahun 1980-an) dan hal ini muncul akibat dari bubble economic.
Perkembangan desain dari arsitektur post-modern memberikan perubahan
dalam perjalanan arsitektur Jepang dalam memberikan segala macam
bentuk-bentuk arsitekturnya. Dengan sedemikian rupa penjelajahannya
memberikan ungkapan yang sukar untuk diduga ke mana arah ide dan
gagasannya. Bermunculan seperti cendawan di musim hujan bersanding
secara kontradiktif dengan ketradisionalan yang mereka punyai. Style-style
telah mengabaikan tradisi, budaya, bentuk, bahan dan ungkapannya.
Menjadi tempat berlombanya para arsitek Jepang dalam menemukan ide-de
dan gagasan baru dalam berkreasi untuk menciptakan bentuk-bentuk
barunya.
Perubahan radikal juga terjadi di Cina menjelang Olimpiade di Beijing
tahun 2008 yang lalu, dengan dibangunnya Bird Nest Stadium karya arsitek
Prancis Jacques Herzog dan Pierre de Meuron. Secara kontekstual kotak
merupakan simbol unsur bumi saling melengkapi dengan bangunan
stadion “Bird Nest” diseberangnya, yang berbentuk dasar lingkaran yang
merupakan simbol surga. Filosofi sarang burung (bird nest) sebagai sebuah
penanda kemakmuran diwujudkan dalam sebuah stadium yang secara
bentuk sangatlah berbeda dengan arsitektur tradisional Cina. Kemudian
bersebelahannya dibangun juga bangunan Watercube Stadium (stadion
renang) dengan arsiteknya PTW Architects (Australia), CSCEC International
Design and Arup (Cina). Penggalian bentuk-bentuk simbolis arsitektur Cina
kuno muncul seiring gagasan tim arsitek untuk menghadirkan konsep
gelembung sabun sebagai pendekatan bentuk dasar melambangkan air.
Bangunan ini mempunyai keunikannya dalam penyelesaian masalah
perancangan khususnya di bidang facade engineering. Pada proses
perancangan, secara utuh hal ini memberikan referensi bagaimana sebuah
konsep facade bangunan dikembangkan dari dasar teori yang begitu
abstrak menjelma menjadi bangunan nyata. Dengan memanfaatkan,
material, metode, bahkan sistem perancangan baru dengan perangkat
lunak yang khusus diciptakan untuk bangunan ini.
Komunikasi antara detail, bentuk, bahan, dan standar bangunan
dipandang sebagai tempat pengejawantahan dan sekaligus beroperasinya
suatu aktifitas manusia, dengan sebuah peradaban yang pada akhirnya
menciptakan bentuk arsitekturnya. Dengan perubahan tradisi berarsitektur
ini perjalanan masa tradisionalisme arsitektur yang mereka punyai dapat
berjalan dan menerima dengan baik arsitektur modern. Hal ini justru

membuktikan bahwa mereka bisa menerima perubahan dan perkembangan
arsitektur bahkan berdiri berdampingan secara fisik pada kultur dan
geografi yang berbeda.
Demikian juga perkembangan yang terjadi di Korea, begitu cepat
adaptasi dan perubahan yang terjadi dengan munculnya bentukanbentukan arsitektur modern. Peradaban arsitektur tradisional mereka
dengan budayanya masih juga berjalan dengan baik sampai saat ini.
Perpaduan bangunan lama dan baru menjadi bagian dari urban architecture
muncul di Korea seperti halnya apa yang terjadi di Jepang dan Cina melalui
sentuhan idealisme tinggi dari para arsiteknya. Tak berlebihan bila hal-hal
di atas tampak sebagai munculnya “arsitektur modern” baru di Timur,
dengan tujuan untuk menunjukkan peradaban arsitektur bangsa Korea
telah berkembang bersamaan dengan lingkungan tradisinya yang masih
kuat.
Arsitektur yang Bertradisi
Tugas kita bukan hanya meminjam material atau mengcopy konstruksi
dari sesuatu satu atau dua abad yang lalu, tetapi harus mengetahui
tentang diri kita tentang lingkungan untuk mengkreasikan sebuah
arsitektur yang berstradisi etnik nusantara. Bisa jadi hal ini tak pernah
disadari oleh para arsitek, tetapi hal ini justru membuktikan bahwa
pengetahuan lokalitas-tradisionalistik dalam arsitektur perlu untuk
dipahami. Dalam pandangan arsitek, fenomena merebaknya karakter etniknusantara semacam ini dalam arsitektur sedang menjadi pembicaraan di
kalangan mereka termasuk para akademisi. Kebijakan berarsitektur dalam
memandang budaya telah menghasilkan pandangan dalam memahami
nusantara yang di dalamnya terdapat masyarakat dengan tradisi dan
lokalitas arsitekturnya.
Pada akhirnya, keunikan arsitektur nusantara dalam arsitektur adalah
tentang bagaimana material lokal-teknologi dan formasi sosial dapat
ditransfer dalam bahasa arsitektur yang segar. Dengan demikian, bahasa
arsitektur merupakan tata nilai yang melekat pada tradisional lokalitasnya
termasuk fisik dan lingkungan budayanya. Adalah sebuah kekeliruan
ketika mencoba meminjam sejarah dari sebuah tradisi yang langsung
ditransfer dalam sebuah ruang kosong. Arsitekur merupakan simbol
keseluruhan kehidupan masyarakat yang hidup di masa lalu dan bertahan
secara fisik sampai saat ini. Tidak semudah membawa masa lalu dan
diletakkan pada peradaban saat ini, arsitektur dibentuk berdasarkan
waktu, yang berkaitan dengan budaya, politik, teknologi saat itu. Perjalanan
semacam ini merupakan bagian dari peradaban manusia dan masyarakat
yang terus berjalan menciptakan budaya yang di dalamnya terdapat
arsitektur. Permasalahannya, adalah bila elemen-elemen bangunan
tradisional-lokal yang terdapat di nusantara ini ditiru keseluruhannya oleh
para arsitek, dengan tidak menumbuhkembangankan bentuk arsitekturnya
jelas akan merusak tradisi berarsitektur. Kehadiran beberapa bangunan
dengan elemen-elemen eklektik dalam ruang-waktu berbeda akan
memberikan kebaharuan yang salah kaprah. Cerminan sebuah perubahan
yang tidak mengikuti perkembangan peradaban manusia-masyarakat yang

berkaitan dengan perkembangan arsitektur (bahan, teknologi dan lain
sebagainya).
Arsitektur nusantara dalam perkembangannya harus memanfaatkan
teknologi yang berkelanjutan. Membuat arsitektur nusantara menjadi
pintar adalah membuat arsitektur yang dapat berkelanjutan dalam
teknologi yang tepat guna, dan ini menjadi penting dalam membangun
sebuah tradisi. Seharusnya arsitektur menjadi sebuah pembaharuan dan
perubahan merupakan proses membangun arsitektur kedepan. Bahan dan
teknologi dapat mengadaptasi dari apa yang ada dalam arsitektur
nusantara untuk dapat ditumbuhkembangkan menjadi karya arsitektur
baru. Berkelanjutan dalam pemahaman konsep, ide, bahan serta teknologi
untuk dapat digunakan dalam rancangannya. Para arsitek harus cukup
memahami dan mempelajari arsitektur nusantara (lokal-tradisional) sebagai
bahan kajian dalam proses rancangannya, sehingga menciptakan arsitektur
baru dengan pendekatan bahan dan teknologi lamanya. Pengetahuan
rancangan dan konstruksi itu lambat-laun berproses menjadi bagian dari
perjalanan peradaban manusia yang terungkap dalam bentukan fisik
arsitekturnya.
Arsitektur Indonesia
Kini arsitek kontemporer Indonesia dihadapkan pada situasi
paradoksial. Perlu dilakukan identifikasi penggalian karakteristik lokaltradisional yang terdapat di balik fenomena arsitektur nusantara. Hal ini
sangat penting mengingat dari perjalanan waktu di tengah gelombang
globalisme, arsitektur lokal-tradisional belum mendapat tempat sebagai
salah satu konsep maupun pendekatan dalam membangun arsitektur yang
berkelanjutan.
Melakukan modernisasi sambil tetap memelihara inti dari identitas
budaya merupakan bagian perjalanan peradaban dari budaya berarsitektur.
Pembentukan penumbuhkembangkan tadi perlu dilihat prosesnya hingga
cakupan hasil akhir desain yang disajikan. Arah dari perkembangan ini
merupakan hasil olahan bagaimana mentransfer masa lalu menjadi bagian
yang urban modernistik ini. Cara ini perlu pula dikaji ulang, bagaimana
berlangsungnya proses berarsitektur itu dapat membawa peran serta sosialbudaya masyarakatnya dalam era modern ini.
Karya-karya kreatif kontemporer kini menjadi tonggak baru dalam
perkembangan arsitektur Indonesia. Arsitektur mestinya tidak hanya dilihat
sebagai produk aktifitas sosio-kultural masyarakatnya atau sebagai proses
komunikasi manusia-arsitektur-alam yang mereka punyai, tetapi sebagai
perwujudan dari potensi arsitek dalam menerjemahkan masa lalu dan
mengolahnya untuk masa kini. Dalam perjalanan, peradaban memegang
peranan penting karena membawa simbol-simbol kebudayaan, sedangkan
bahan dan teknologi akan menjadikan arsitektur sebagai sebuah karya
baru.
Memberikan semangat modernisasi baru yang lebih sensitif terhadap
isu lokalitas dan perubahan paradigma arsitektur di Indonesia. Gelombang
globalisme arsitektur Barat dan Timur yang datang ke Indonesia dengan
urban architecturenya tidak perlu kita cemaskan terlalu berlebihan.
Bagaimana benih dari lokal-tradisional tadi tidak hilang sehingga

perkembangan karakter arsitektur dan kota yang terdapat di Indonesia
dapat dimasukkan menjadi bagian dari proses modernisasi dalam
arsitektur. Namun, jika dipakai sebagai metode untuk menemu-kenali
lokal-tradisional dalam arsitektur modern, tampaknya masih memerlukan
pemahaman dan penajaman tentang konsep dan pendekatan desainnya.
Pemikiran dan isu baru yang menjadi tantangan para arsitek muda.
Para arsitek muda perlu menawarkan konsep pendekatan dan metode
desain dalam menerjemahkan unsur lokal-tradisional tadi dalam rancangan
arsitektur barunya. Tinjauan pemikiran arsitektur terhadap budaya
bertujuan agar implementasi metode desain dalam arsitektur dapat
teridentifikasi dengan baik. Kemanfaatannya adalah untuk mendukung
upaya penguatan arsitektur berkelanjutan (sustainable architecture) dalam
menjaga antara peradaban dan globalisasi dalam arsitektur. Pendekatan
pemikiran ini muncul bahwa arsitektur lokal-tradisonal dipandang sebagai
bagain dari manusia-masyarakat yang menempati ruang dan bangunannya.
Pada kenyataan, karya-karya arsitektur baru di Indonesia dapat
meluruskan atau mengarahkan bahan dan teknologi baik lokal-tradisional
maupun modern. Hal ini tergantung dari posisi karya tersebut berada pada
waktu dan ruang yang tepat. Bahkan, dapat terjadi kesamaan-kesamaan
bahan yang diwujudkan oleh beberapa arsitek bentukan bangunannya
berbeda meskipun satuan geografi-kulturalnya berbeda. Karya-karya besar
para arsitek muda telah bermunculan mengisi ruang-ruang kota di
Indonesia. Permasalahannya adalah apakah mereka juga mengangkat lokaltradisional nusantara untuk karya-karyanya, dan bagaimana mereka
meletakkan bahan, teknologi serta detail-detailnya dalam karya arsitektur
tersebut.
Pada ranah keilmuan arsitektur, muncul banyak pendapat berkaitan
dengan
lokal-tradisional
dalam
arsitektur
nusantara
terhadap
perkembangan desain-desain arsitektur modern di Indonesia. Arsitektur
modern lahir belakangan dan berkembang melalui peradaban manusiamasyarakat yang ada di dunia ini. Di Indonesia yang mempunyai wilayah
yang disebut nusantara ini terdapat banyak etnis-lokal-tradisional, mereka
punya tempat bermukim dengan kondisi kultur-geografinya yang berbedabeda dan kita sebut sebagai arsitektur tradisional. Ruanga inilah yang perlu
dibaca oleh para arsitek muda untuk mengambil pemikiran, ide, konsep,
gagasan yang menjadikan bentukan arsitektur tersebut selain bahan dan
teknologi yang melingkupinya. Paradigma, teori dan praksis keilmuan
arsitektur lokal-tradisional itu dijadikan sandaran dasar filosofi arsitektur
modern. Memang dalam pandangan globalisasi dapat menggunakan
teknologi baru untuk menciptakan sifat yang lebih multicultural, egalitarian,
demokratis dan globalisasi yang ekologi [Cvetkovich & Kellner, 1997].
Di bidang arsitektur perkotaan paradigma dan teritori tentang
perencanaan yang bermuatan karakteristik lokal muncul ke permukaan
informasi global. Cultural planning bio-regional/bio-diversity planning,
postmodern planning atau territorial architecture dan seterusnya merupakan
koreksi dan pengkayaan paradigma arsitektur dan perkotaan modern
dengan isu-isu ekologi, sosial dan budaya yang berasaskan pada
“pelokalan” fenomena arsitektur dan perkotaan (“localization”, yang
umumnya ditawarkan sebagai pensetimbang dari globalization). Makin

gencar pula upaya-upaya mencuatkan kearifan lokal sebagai paradigma
perencanaan atau pembangunan sehingga persoalan knowledge transfer
pun akhirnya dikaji dengan lebih intens. [Tinnaluck 2004a: 73 dan
Tinnaluck 2004b]. Demikianlah, maka perwujudan karya-karya arsitektur
yang tadinya bersifat lokal (regional) menjadi tawaran solusi di hadapan
arsitektur Barat yang menghegemoni tata nilai global [Pangarsa, 1993].
Banyak arsitek muda yang telah menghadirkan hasil karya-karyanya
dan tersebar di kota-kota Indonesia. Beberapa arsitek yang telah mengukir
karyanya antara lain: Adi Purnomo, Yu Sing, Budi Pradono, Yori Antar
Awal, Baskoro Tedjo, Ridwan Kamil, dan masih banyak lagi. Karya-karya
mereka telah banyak memunculkan kreasi lokal-tradisional dalam wajah
modern baik dalam ungkapan bentuk maupun bahan serta teknologinya.
Mereka telah memberikan warna baru bagi arsitektur Indonesia, dengan
cermat dan detail mempelajari masa lalau (lokal-tradisional) kemudian
mencoba mentrasformasikan dalam kekinian. Penyelesaian sentuhan
desain yang menggunakan bahan dan teknologi lokal berhasil diungkapkan
oleh beberapa arsitek muda kita. Bahan lokal tersebut telah diolah
menjadikan bagian desain arsitektur kontemporernya. Hal ini merupakan
cerminan ketrampilan dan kecerdasan dalam memahami arsitektur
nusantara (lokal-tradisional), sebagai bagian dari penyelesaian desainnya.
Namun perlu disimak, bahwa arsitektur nusantara (lokal-tradisional)
menarik untuk dipelajari secara mendalam. Di dalam arsitektur nusantara
terkandung ilmu dan teknologi serta bahan yang bisa bertahan sampai saat
ini. Sesuatu yang terdapat dibalik itu perlu dilakukan kajian oleh para
mahasiswa maupun akademisi agar apa yang yang terdapat dalam
bangunan lokal-tradisional tersebut terungkap. Temuan-temuan hasil
penelitian tersebut tentunya dapat disumbangkan untuk para praktisi
arsitektur, sehingga hasil-hasil temuannya dapat digunakan menjadi
bagian dari proses rancangannya. Hal ini menunjukkan bahwa
perkembangan arsitektur telah berjalan dengan semestinya. Peradaban dan
budaya berjalan berdampingan, arsitektur mengisi ruang dan waktu dari
perjalanan tersebut. Dibalik fenomena menumbuhkan lokal-tradisional
dalam arsitektur kontemporer terdapat fakta bahwa arsitektur itu menjadi
wujud dasar lingkungan melalui proses perjalanan budaya masyarakatnya.
Ide dasar dan konsep lokal-tradisional yang diambil arsitek menjadi bagian
yang perlu untuk dilestarikan dalam konteks kontemporer atau modern.
Melalui proses pembudayaan inilah solusi tersebut kemudian menjadi dasar
para arsitek bahwa lokal-tradisional dapat berkelanjutan untuk diterapkan
sebagai rancangan desainnya.
Karya-karya arsitektur perkotaan yang digali dari sumber-sumber lokal
jika ditampilkan dalam ‘wajah atau wacana ke-Indonesiaan’ niscaya
memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru bagi
bangsa secara keseluruhan.

Penutup
Melalui proses perjalanan budaya yang panjang, ternyata Indonesia
memiliki sumber matrial dengan apa yang dinamakan arsitektur nusantara
(lokal-tradisional). Proses budaya inipun masih berjalan hingga masa

kolonialisasi pemerintah Belanda di Indonesia, yang juga memberikan
sumbangan arsitekturnya dengan dua aliran pada waktu itu. Kedua aliran
tersebut juga memberikan pengalaman bagi para arsitek dan akademisi
sebagai pembelajaran cara berarsitektur. Pandangan tersebut kemudian
menjadi proses berkembangnya arsitektur di Indonesia, sementara
arsitektur nusantara (lokal-tradisional) bertahan dengan alam dan waktu
untuk mempertahankan dirinya. Saat inilah perjalanan arsitektur
kontemporer di Indonesia mulai melakukan pendekatan-pendekatan
dengan melihat arsitektur nusantara sebagai referensi untuk memecahkan
persoalan desain arsitektur barunya. Solusi lokal-tradisional dengan
melihat teknologi dan bahan dapat dipandang sebagai kearifan lokal yang
dapat dibawa masuk keranah kontemporer atau modern. Sebagai praksis
arsitektur seringkali cara membaca dan mengambil bagian dari arsitektur
nusantara masih cenderung untuk meniru atau cenderung eklektik dalam
penerapanya. Sebaiknya kita juga perlu belajar ke Timur untuk melihat
perkembangan arsitektur di Cina, Korea, dan Jepang bagaimana peradaban
dan tradisi arsitektur mereka yang lama masih bertahan, budaya tradisi
masyarakat masih berjalan, dan arsitektur kontemporer mereka tumbuh
seperti cendawan di kusim hujan bersanding dengan arsitektur tradisional
mereka. Bahkan ada bentuk-bentuk arsitekturnya yang sangat kontras
antara yang lama (tradisonal) dan yang modern (kontemporer).

Sumber Pustaka
Cvetkovich, A. & Kellner, D. [1997]. Artiulating The Global and The Local.
Globalization and Cultural Studies. Boulder Col: Westview.
Handinoto. [1996]. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di
Surabaya 1870-1940. Diterbitkan atas Kerja Sama Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra
Surabaya dan Penerbit Andi. Yogyakarta: Andi Offset
Martana, S.P. [2006]. Problematika Penerapan Metode Field Research Untuk
Penelitian Arsitektur Vernakular di Indonesia. Jurnal Dimensi Teknik
Arsitektur 34 (1): 59-66.
Oliver, P. [1997]. Encyclopedia of Vernacular Architecture of the World.
Oxford: Oxford Institute for Sustainable Development.
Pangarsa, G.W. [1993]. Hegemoni Kekuasaan Budaya dalam Arsitektur.
MAJALAH IAI. Jakarta: IAI.
Pangarsa, G.W. [2006]. Catatan Atas Inskripsi Sosial: Memahami Kearifan
Lokal di Balik Fenomena Arsitektural. Jurnal TEKNIK XIII (2): 107-114.
Papanek, V. [1995]. The Green Imperative. Ecology and Ethics in Design and
Architecture. London: Thames and Hudson.
Sumalyo, Y. [ 1995]. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Tinnaluck, Y. [2004a]. Modern science and native knowledge: collaboration
process that opens new perspective for PCST. Quark 32.
Tinnaluck, Y. [2004b]. High Communication – Low Technology, Matching
and transforming local knowledge & modern science through a dialectic
process for sustanable development. Internatioal Workshop for Culture
of Technology, and Innovation in Society. Bogota-Colombia.

Wiranto [1999]. Arsitektur Vernakular Indonesia Perannya Dalam
Pengembangan Jati Diri. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur 27 (2): 1521.

Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Semesta Arsitektur
Nusantara IV. Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.
Malang 17-18 November 2016.