Isi hukum jinayat dalam islam

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahim.
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat llahirabbi, karena
atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah “
Pendidikan Agama dan Etika” ini dengan tepat waktu. Mudah – mudahan dengan
terselesaikannya makalah ini, dapat membantu penulis dalam memenuhi tugas
mata kuliah “ Pendidikan Agama dan Etika”
Atas terselesaikannya makalah ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih,
kepada:
1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat, ridho serta karunia-Nya
kepada penulis.
2. Orang tua penulis, yang telah membantu penulis baik secara moril dan
materil serta spiritual.
3. Bapak Ujang Rohman,

S.Ag., M.Ag.

selaku dosen mata kuliah

Pendidikan Agama dan Etika.

4. Rekan–rekan penulis baik di dalam maupun di luar kampus UNJANI.
Adapun pembahasan dari makalah ini, yaitu penulis mencoba mengangkat
judul “Ibadah Aspek Ritual Umat Islam”.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu, penulis mengharapan adanya koreksi, kritik, dan saran ke arah perbaikan.
Akhirnya, penulis berharap semoga malakah ini menjadi berguna dan
bermanfaat serta dapat menjadi refrensi pembelajaran khususnya yang berkaitan
dengan aspek ibadah umat Islam.
Cimahi, 25 November 2016

Penulis

1

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
BAB I...................................................................................................... 1
LATAR BELAKANG................................................................................... 1
A.


Sejarah Munculnya Hukum Pidana Dalam Islam........................................1

B.

Jinayat Di Era Sekarang.......................................................................3

BAB II..................................................................................................... 4
PEMBAHASAN......................................................................................... 4
A.

Pengertian Jinayat.............................................................................. 4

B.

Fungsi Dan Tujuan Diterapkannya Hukum................................................7

C.

Macam-Macam Dan Bentuk-Bentuk Jinayat..............................................8

a.

Diyat (Denda)................................................................................ 8

b.

Kifarat......................................................................................... 8

c.

Hudud.......................................................................................... 9

d.

Ta’zir........................................................................................... 9
Qishash........................................................................................... 9

D.
a.


Qishash........................................................................................ 9

b.

Hikmah hukum Qishash..................................................................10

E.

Pengertian Qiyas.............................................................................. 10

F.

Rukun dan Syarat Qiyas.....................................................................11

G.

Macam-Macam Qiyas.......................................................................13

BAB III.................................................................................................. 15
PENUTUP............................................................................................... 15

KESIMPULAN........................................................................................ 15
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 16

2

BAB I
LATAR BELAKANG
A. Sejarah Munculnya Hukum Pidana Dalam Islam
Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana langsung merujuk
kepada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw.
juga bertindak sebagai hakim yang memutuskan perkara yang timbul dalam
masyarakat. Dalam perkara pidana, Nabi Saw. memutuskan bentuk hukuman
terhadap pelaku perbuatan pidana sesuai dengan wahyu Allah. Setelah Nabi Saw.
wafat, tugas kepemimpinan masyarakat dan keagamaan dilanjutkan oleh “alKulafa’ar-Rasyidun” sebagai pemimpin umat Islam, yang memegang kekuasaan
sentral. Masalah pidana tetap dipegang oleh khalifah sendiri.
Dalam memutuskan suatu perkara pidana, khalifah langsung merujuk
kepada al-Qur’an dan sunah Nabi Saw. Apabila terdapat perkara yang tidak
dijelaskan oleh kedua sumber tersebut, khalifah mengadakan konsultasi dengan
sahabat lain. Keputusan ini pun diambil berdasarkan ijtihad. Pada masa ini belum
ada kitab undang-undang hukum pidana yang tertulis selain al-Qur’an .

Pada era Bani Umayyah (661-750) peradilan dipegang oleh khalifah.
Untuk menjalankan tugasnya, khalifah dibantu oleh ulama mujtahid. Berdasarkan
pertimbangan ulama, khalifah menentukan putusan peradilan yang terjadi dalam
masyarakat. Khalifah yang pertama kali menyediakan waktunya untuk hal ini
adalah Abdul Malik bin Marwan (26 H - 86 H/647 M -705 M). Kemudian
dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (63 H – 102 H/682 M - 720 M).
Pada masa ini, belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang bersifat
khusus. Pedoman yang dipakai adalah al-Qur’an, sunah Nabi Saw., dan ijtihad
ulama. Pengaruh pemikiran asing juga belum memasuki pemikiran pidana Islam
Perubahan terjadi pada abad ke-19 ketika pemikiran Barat modern mulai
memasuki dunia Islam.
Negara yang pertama kali memasukkan unsur-unsur Barat dalam undangundang hukum pidananya adalah Kerajaan Turki Usmani. Undang-undang hukum

1

pidana yang mula-mula dikodifikasi adalah pada masa pemerintahan Sultan
Mahmud II (1785-1839) pada tahun 1839 di bawah semangat Piagam Gulhane.
Dalam undang-undang ini ditentukan bahwa setiap perkara yang besar,
putusannya harus mendapat persetujuan Sultan.
Undang-undang ini kemudian diperbarui pada tahun 1851 dan

disempurnakan pada tahun 1858. Undang-undang hukum pidana ini disusun
berdasarkan pengaruh hukum pidana Perancis dan Italia. Undang-undang hukum
pidana ini tidak memuat ketentuan hukum pidana Islam, seperti kisas terhadap
pembunuhan, potong tangan terhadap pencurian, dan hukuman rajam atas tindak
pidana zina.
Perumusan undang-undang hukum pidana diikuti oleh Libanon. Diawali
dengan pembentukan sebuah komisi yang bertugas membuat rancangan undangundang hukum pidana pada tahun 1944. Dalam penyusunannya, Libanon banyak
mengadopsi undang-undang hukum pidana Barat seperti Perancis, Jerman dan
Swiss.
Undang-undang hukum pidana Libanon menjiwai undang-undang hukum
pidana Suriah. Perumusannya diawali dengan pembuatan komisi untuk membuat
rancangan undang-undang hukum pidana Suriah pada tahun 1949. Pada tanggal
22 Juni 1949 berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 148 rancangan tersebut
disahkan menjadi undang-undang hukum pidana dan dinyatakan efektif berlaku
pada bulan September 1949.
Kodifikasi hukum pidana di negara-negara Islam lainnya berbeda-beda
sesuai dengan kebijakan pemerintahnya. Arab Saudi dan negara-negara di wilayah
Teluk lainnya memberlakukan syariat Islam dalam undang-undang hukum
pidananya. Diikuti oleh Sudan, memberlakukan hukum pidana Islam pada bulan
September 1983. Sementara Pakistan, mulai tahun 1988 juga mengadakan

Islamisasi hukum pidana, Pakistan memberlakukan hukuman potong tangan, dera,
dan ketentuan hukum pidana Islam lainnya. Di Indonesia, perumusan undangundang hukum pidana Islam belum dilakukan hingga kini, hanya di Aceh yang
mulai memberlakukan hukum islam.( http://blitarq-doel.blogspot.co.id)

2

B. Jinayat Di Era Sekarang
Allah menciptakan hukum untuk mengatur hak dan kewajiban manusia
guna menghendaki terjadinya kedamaian dengan sesama makhluk, Hukum Pidana
Islam adalah hukum yang mengatur tindak pidana, akan tetapi hukum pidana
Islam dipandang sebagai hukum yang tidak berkembang dan telah mati karena
menyajikan qisash dan hudud yang dianggap sebagai hukuman sadis dan tidak
manusiawi. Padahal semua umat Islam meyakini bahwa hukum Islam adalah
hukum yang universal,rahmatan lil alamin.
Di sisi lain, tidak semua negara Islam memberlakukan hukum itu. Para
ulama harus terbuka matanya. Meskipun, hukum Jinayat dalam fiqih,
kenyataanya, tidak semua negara Islam atau negara yang basis konstitusinya
syariah, seperti Mesir, Yordania, Syiria, Tunisia, Maroko, tidak mengadopsi
hukum rajam, tidak ada hukum cambuk, karena mereka mengadopsi syariah
bukan dalam bentuk hukumnya tapi dalam bentuk esensinya, nilai-nilai universal

yang lebih mengutamakan keadilan, bukan dalam bentuk formal hukumnya. Jadi,
kalau Indonesia mengadopsi hukum rajam, itu aneh karena Indonesia bukan
negara Islam. Yang agama Islam saja tidak mengadposinya.
‫ تفأ تتتوا‬,‫غننتياتء‬
‫ت‬
‫غتلامما لنأ أتناسس أفتقتراتء تقتطتع أ أأذتن أ‬
‫عغن نعغمتراتن بغنن أحتصي غسن رضي الله عنه ) أ ت نتن أ‬
‫غتلاسم لنأ أتناسس أ ت غ‬
‫َتو ت‬
‫ نبنإغستناسد تصنحيسح‬,‫ توالثنتتلاث تأة‬,‫جتعغل ل تأهغم تشي غمئا ( ترتواأه أ تغحتمأد‬
‫تالن نتنب نتي صلى الله عليه وسلم تفل تغم ي ت غ‬
“Dari Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang budak kecil
milik sebuah keluarga fakir memotong telinga seorang budak kecil milik keluarga
kaya. Lalu mereka menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, namun beliau
tidak memberikan tindakan apa-apa pada mereka. Riwayat Ahmad dan Imam Tiga
dengan sanad shahih.”( http://blitarq-doel.blogspot.co.id)

3

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Jinayat
Jinayah menurut fuqaha' ialah perbuatan atau perilaku yang jahat yang
dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau
tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja. Penta`rifan tersebut adalah
khusus

pada

kesalahan-kesalahan

bersabit

dengan

perlakuan

seseorang

membunuh atau menghilangkan anggota tubuh badan seseorang yang lain atau

mencederakan atau melukakannya yang wajib dikenakan hukuman qisas atau
diyat.
Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran dan
sebagainya adalah termasuk dalam jinayah yang umum yang tertakluk di
bawahnya semua kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud, qisas, diyat
atau ta`zir.
Faedah dan manafaat daripada Pengajaran Jinayat:
1. Menjaga keselamatan nyawa daripada berlaku berbunuhan sesama sendiri
dan sebagainya
2. Menjaga keamanan maruah di dalam masyarakat daripada segala fitrah
tuduh-menuduh.
3. Menjaga keamanan maruah di dalam harta benda dan nyawa daripada
kecurian, ragut dan lain-lain.
4. Berhubung dengan keamanan negara dan menyelenggarakan keselamatan
diri.

4

5. Perkara yang berhubung di antara orang-orang Islam dengan orang-orang
kafir di dalam negara Islam Pembunuhan.

Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau
jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana. Jinahah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara
etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan
perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai
beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa
jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai
jiwa, harta benda, atau lainnya.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu
kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada
perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha', perkataan Jinayat berarti perbuatan
perbuatan yang dilarang oleh syara'. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha'
menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang
menurut syara'.
Pada umumnya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan
perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan
dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha' yang membatasi istilah Jinayat kepada
perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak
temasuk perbuatan yang diancam dengan ta'zir. Istilah lain yang sepadan dengan
istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara' yang diancam Allah
dengan hukuman had atau ta'zir.
Sebagian fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang
berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain
sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama dengan hukum pidana.
Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum
pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' yang
melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap

5

ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau
harta.
Jarimah Qishosh Diyat. Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman
qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah
ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak
perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang
menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa
kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat,
hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam
kategori jarimah qishosh diyat antara lain pembunuhan sengaja, pembunuhan semi
sengaja, pembunuhan, penganiayaan sengaja dan penganiayaan Yaitu perbuatan
yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat
merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah
dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda
dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata.
Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti
hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila
dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh
diyat antara lain pembunuhan, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan keliru ,
penganiayaan sengaja dan penganiayaan salah.
Diantara jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman
bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja karena hukuman baginya adalah
dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan orang lain tanpa alasan
syar'i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah
kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. "Dan barang siapa
membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, ia
kekal di dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan
azab yang besar baginya." (an nisa': 93). Rosulullah SAW juga bersabda, "
Sesuatu yang pertama diadili di antara manusia di hari kiamat adalah masalah
darah".
Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan
sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia

6

hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta Abdl
Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman
pengganti dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli dengan syarat
adanya pemberian maaf dari keluarganya.
Jarimah Ta'zir. Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa
demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi
pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup,
lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan
jarimah ta'zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga
kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan
(bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip
syar'i (nas).
Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi
terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi
pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup,
lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan
jarimah ta'zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga
kepentingan

umum

dan

melindungi

setiap

anggota

masyarakat

dari

kemadhorotan(bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta'zir harus sesuai
dengan prinsip syar'i (nas). (http://boxriborn.blogspot.com/2013/08)

B. Fungsi Dan Tujuan Diterapkannya Hukum
Tujuan diterapkannya hukum adalah mencapai kebahagiaan di dunia dan
akhirat (mengambil segala yang bermaslahat serta menolak segala yang merusak
dalam rangka menuju keridhaan Allah sesuai dengan prinsip tauhid)
Ditinjau dari segi prioritas kepentingannya bagi kehidupan manusia,
tujuan diterapkannya hukum terbagi menjadi lima, yaitu:
1. memelihara agama
2. memelihara jiwa
3. memelihara akal
4. memelihara keturunan dan kehormatan

7

5. memelihara harta
Sedangkan fungsi diterapkannya hukum adalah mencapai tujuan yang akan dituju.
(http://boxriborn.blogspot.com/2013/08)

C. Macam-Macam Dan Bentuk-Bentuk Jinayat

a. Diyat (Denda)

Pengertian : denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan
padanya hukum bunuh.
Diyat ada dua macam, yaitu:
a. Diyat Mughaladzah (denda berat), yaitu seratus ekor unta, dengan
perincian: 30 ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 30 ekor unta
betina, umur empat masuk lima tahun, 40 ekor unta betina yang sudah
bunting.
b. Diyat Mukhaffafah (denda ringan), yaitu seratus ekor unta, tetapi dibagi
lima, yaitu 20 ekor unta betina umur tiga tahun, 20 ekor unta jantan umur
dua masuk tiga tahun, 20 ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun,
20 ekor unta betina umur empat masuk lima tahun. Denda ini wajib
dibayar oleh keluarga yang membunuh dalam masa tiga tahun, tiap-tiap
akhir tahun dibayar sepertiganya.
Hikmah dari Diyat ada tiga, yaitu:
a. mencegah kejahatan terhadap jiwa dan raga.
b. obat pelipur lara korban.
c. timbulnya ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
(http://boxriborn.blogspot.com/2013/08)

b. Kifarat

Pengertian : tebusan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah
ditentukan oleh syari’at Islam karena telah melakukan kesalahan atau
pelanggaran yang diharamkan Allah.
Macam-macam kifarat ada dua, yaitu:
8

a. Kifarat karena pembunuhan, yaitu dengan memerdekakan hamba sahaya /
berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
b. Kifarat karena melanggar sumpah, yaitu dengan memberi makan 10 orang
miskin atau memberi pakaian, memerdekakan 1 budak atau berpuasa 3
hari.( http://boxriborn.blogspot.com/2013/08)

c. Hudud

Pengertian : sanksi bagi orang yang melanggar hukum dengan dera /
dipukul (jilid) atau dengan dilempari batu hingga mati (rajam)
Perbuatan yang dapat dikanakan hudud ada 4, yaitu:
a. Zina
b. Qadzaf (menuduh orang berbiat zina)
c. Minuman keras
d. Mencuri
(http://boxriborn.blogspot.com/2013/08)

d. Ta’zir

Pengertian : apabila seorang melakukan kejahatan yang tidak atau belum
memenuhi syarat untuk dihukum atau tidak/belum memenuhi syarat
membayar diyat. (hukuman yang tidak ditetapkan hukumnya dalam quran dan
hadits yang bentuknya sebagai hukuman ringan).
( http://boxriborn.blogspot.com/2013/08)

D. Qishash

a. Qishash

Pengertian : hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan
maupun perusakan anggota badan sesorang, yang dilakukan dengan sengaja.
Dasar hukum : Al Baqarah : 178, An Nisa’ : 93 dan beberapa hadits
(178 :‫)البقرة‬...‫يا يهاالذينءامنوا كتب عليكم القصاص في قتل‬

9

Syarat-syarat Qishash :
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal sehat.
b. Pembunuh bukan orang tua dari orang yang dibunuh.
c. Jenis pembunuhan adalah pembunuhan yang disengaja.
d. Orang yang dibunuh terpelihara darahnya.
e. Orang yang dibunuh sama derajatnya
f. Qishash dilakukan dalam hal yang sama
(http://boxriborn.blogspot.com/2013/08)

b.

Hikmah hukum Qishash

1. Memberikan pelajaran bagi manusia untuk tidak melakukan kejahatan
terhadap manusia.
2. Manusia akan merasa takut berbuat jahat pada orang lain.
3. Qishash dapat melindungi jiwa dan raga manusia.
4. Timbulnya ketertiban, keamanan dan kedamaian dalam masyarakat.
(http://boxriborn.blogspot.com/2013/08)

E. Pengertian Qiyas
1. Secara bahasa
Qiyas berasal dari bahasa arab yaitu ‫ قياس‬yang artinya hal mengukur,
membandingkan, aturan. Ada juga yang mengartikan qiyas dengan mengukur
sesuatu atas sesuatu yang lain dan kemudian menyamakan antara keduanya. Ada
kalangan ulama yang mengartikan qiyas sebagai mengukur dan menyamakan.
2. Secara istilah
Pengertian qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah menerangkan hukum
sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan hadits dengan cara
membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Definisi lain dari qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah menyamakan sesuatu yang

10

tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya
persamaan illat hukum.
Menurut istilah ushul fiqh, sebagaimana dikemukakan Wahbah al-Zuhaili,
qiyas adalah menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada
ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada
illat antara keduanya. Ibnu Subki mengemukakan dalam kitab Jam’u al-Jawami,
qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang
diketahui karena kesamaan dalam illat hukumnya menurut mujtahid yang
menghubungkannya.
Selain pengertian di atas, banyak lagi pengertian qiyas lainnya diantaranya
menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya
disebabkan ada hal yang sama diantara keduanya dalam penetapan hukum atau
peniadaan hukum.
Berdasarkan pengertian-pengertian qiyas yang disebutkan di atas, maka
dapat disimpulkan pengertian qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dalam al-Qur’an dan sunnah dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua
kejadian atau peristiwa itu.( http://boxriborn.blogspot.com/2013/08)

F. Rukun dan Syarat Qiyas
Berdasarkan defenisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu
peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya
karena illat serupa, maka rukun qiyas ada empat macam, yaitu:
1. al-Ashl.
Ashl adalah masalah yang telah ditetapkan hukumnya dalam al-Qur’an
ataupun Sunnah. Ia disebut pula dengan maqis ‘alaih (tempat mengqiyaskan)
dan maha al-hukm ijal-musyabbah bihm yaitu wadah yang padanya terdapat
hukum untuk disamakan dengan wadah yang lain.

11

Adapun syarat-syarat ashl adalah:


Hukum ashl adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung
kemungkinan dinasakhkan



Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’



Ashl itu bukan merupakan furu’ dari ashl lainnya



Dalil yang menetapkan illat pada ashl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat
umum



Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas



Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas.

2. Furu’
Fara’ yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Fara’
disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau
mahmul (yang dibandingkan).
Adapun syarat-syarat furu’ adalah:


Tidak bersifat khusus, dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada furu’



Hukum al-ashl tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas



Tudak ada nash yang menjelaskan hukum furu’ yang ditentukan hukumnya



Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan daripada furu’

3. Hukum ashl
Hukum ashl yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya hukum sesuatu.
Dengan persamaan inilah baru dapat diqiyaskan masalah kedua (furu’)

12

kepada masalah yang pertama (ashl) karena adanya suatu sebab yang dapat
dikompromikan antara asal dengan furu’.
Adapun syarat-syarat hukum al-Ashl adalah:
a. Illatnya sama pada illat yang ada pada ashl, baik pada zatnya maupun pada
jenis.
b. Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
c. Hukum furu’ tidak mendahului hukum ashl.
d. Tidak ada nash atau ijam’ yang menjelaskan hukum furu’ itu.

4. Illat
Illat secara bahasa berarti sesuatu yang bisa merubah keadaan, misalnya
penyakit disebut illat karena sifatnya merubah kondisi seseorang yang terkena
penyakit. Menurut istilah, sebagaimana dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf,
illat adalah suatu sifat pada ashl yang mempunyai landasan adanya hukum .
Adapun cara untuk mengetahui illat adalah melalui dalil-dalil al-Qur’an
atau Sunnah, baik yang tegas maupun yang tidak tegas, mengetahui illat
melalui ijma’, dan melalui jalan ijtihad.
Adapun syarat-syarat illat adalah:
a. Illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak.
b. Illat harus kuat.
c. Harus ada korelasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat
yang menjadi illat.
d. Sifat-sifat yang menjadi illat yang kemudian melahirkan qiyas harus
berjangkauan luas, tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu.
e. Tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil.
( http://boxriborn.blogspot.com/2013/08)

G. Macam-Macam Qiyas
a. Dari segi kekuatan illat:
 Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat
dari pemberlakuan hukum pada ashl karena kekuatan illat pada furu’.

13

 Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama
keadaannya dengan berlakunya hukum pada ashl karena kekuatan
illatnya sama.
 Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashl meskipun qiyas
tersebut memenuhi persyaratan.
b. Dari segi kejelasan illatnya:
 Qiyas jali, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan
dengan penetapan hukum ashl
 Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash.
c. Dari segi keserasian illat dengan hukum:


Qiyas muatssir, yaitu qiyas yang illat penghubung antara ashl
dengan furu’ ditetapkan dengan nash yang sharih atau ijma’



Qiyas mulaim, qiyas yang illat hukum ashl dalam hubungannya
dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.

d. Dari segi dijelaskan atau tidaknya illat dalam qiyas itu adalah:


Qiyas ma’na, yaitu qiyas yang meskipun illatnya tidak
dijelaskan dalam qiyas namun antara ashl dengan furu’ tidak dapat
dibedakan, sehingga furu’ itu seolah-olah ashl itu sendiri



Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat
tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashl.



Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong
bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan bagi
illat yang memberi petunjuk akan adanya illa.
(http://boxriborn.blogspot.com/2013/08)

14

BAB III

PENUTUP
KESIMPULAN
Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang



karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal atau
harta benda.
Jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman


dibagi menjadi
a.

Jarimah hudud,yang meliputi : Perzinaan, Qadzaf (menuduh berbuat
zina), Meminum minuman keras, Pencurian , Perampokan.

b.

Jarimah

qishas/diyat,

yang

meliputi

:

pembunuhan

sengaja

pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena kesalahan. Peluka an
sengaja, pelukaan semi sengaja.
c.


Jarimah ta’zir.
Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana

langsung merujuk kepada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Di samping itu,
Nabi Muhammad Saw. juga bertindak sebagai hakim yang memutuskan
perkara yang timbul dalam masyarakat.


Penerapan hokum pidana dalam islam di era sekarang
masih dalam kontroversi di kalangan para ahli. Sebagian mereka berpendapat

15

bahwa hokum pidana dalam islam harus tetap ditegakkan sebagaimana yang
ada dalam teks alqur’an dan al hadits. Namun, disisi lain hokum pidana
dalam islam harus dikaji ulang sehingga relevan di era sekarang ini dan lebih
manusiawi.

TINJAUAN PUSTAKA

http://boxriborn.blogspot.com/2013/08/pengertian-dan-macam-macamjinayah_5383.html#ixzz4R1idixSn ( Dikutip pada tanggal 25 November 2016,
jam 20.12 WIB)
http://blitarq-doel.blogspot.co.id/2012/09/hukum-pidana-dalam-islamjinayat.html( Dikutip pada tanggal 25 November 2016 jam, 21.41 WIB)

16