DEMOKRASI DAN MASYARAKAT SIPIL DI DUNIA (1)

Astri Mei Senja
L2011141006

Review of:

DEMOKRASI DAN MASYARAKAT SIPIL DI DUNIA KETIGA
For Politik’s Assigment
University of Tanjungpura, Master of Environmental Science. 2014

Konfrensi Stockholm pada 1972 adalah awal bagi timbulnya harapan akan pelestarian
lingkungan guna menopang keberlanjutan kehidupan di bumi pada masa yang akan datang.
Yang kemudian pada tahun 1980an disebut-sebut sebagai ‘Dekade Penemuan Lingkungan’
dan ini terbukti dimana perhatian dunia akan lingkungan alam semakin meningkat ditandai
dengan dibicarakannya masalah lingkungan alam dengan cara yang ilmiah melalui Konfrensi
Puncak (Earth Summit) di Rio di Janeiro, Brazil pada tahun 1992 yang diikuti oleh ratusan
negara guna membicarakan masalah masa depan lingkungan global. Adapun kesimpulan dari
Konfrensi Puncak ini adalah lahirnya sebuah dokumen yang dikenal dengan nama ‘Agenda
21’ dan ditandatangani oleh para wakil negara yang hadir pada konfrensi tersebut.
Agenda 21 merupakan kompromi antara pendukung pelestarian lingkungan yang
sebagian besar terdiri dari negara Barat, dan pendukung pertumbuhan yang sedikit banyak
tidak terkendali dengan perhatian minim terhadap lingkungan yang kebanyakan didukung

oleh pemerintah Dunia Ketiga. Namun tampaknya hasil dari Konfrensi Puncak ini kurang
memuaskan para pencinta lingkungan. Para pemerintah negara industri Barat dinilai hanya
menebarkan harapan palsu tanpa menyepakati sesuatu yang konkret agar asa-asas tersebut
membuahkan hasil. Negara barat dinilai tidak adil dimana mereka meletakkan dasar-dasar
mengenai lingkungan secara universal. Pembangunan industri negara Barat sendiri terjadia
melalui eksploitasi lingkungan lokal mereka dan juga lingkungan tanah jajahn mereka. Jika
negara Barat berkembang dengan mengeksploitasi lingkungan alam, lalu kenapa Dunia
Ketiga harus lain?. Praktek yang telah dilakukan Dunia Ketiga setelah bertahun-tahun malah
dirasakan telah menimbulkan degradasi lingkungan yang jauh lebih merusak dibandingkan
dengan penggundulan hutan yang kini bahkan dianggap sebagai ‘dosa’ besar dunia Ketiga
terhadap lingkungan.
Jika kita melihat dan memusatkan perlindungan lingkungan melalu kacamata dalam
negeri daripada dimensi global, maka dapat dilihat bahwa sering sekali terdapat perbedaan
besar mengenai persepsi terhadap lingkungan antara kelompok aksi lingkungan dengan
negara. Kebijakan yang ada pada negara di hampir semua sektor dirancang untuk
kepentingan para kaum elit, dimana biaya dan manfaat dari proyek pembangunan tersebut
hampir selalu mengalir kepada ‘si kaya’ di atas pengorbanan ‘si miskin’, mereka hampir
selalu dibebankan dengan biaya sosial-ekonomi dan rencana lingkungan yang akibatnya
kadang bahkan sampai kehilangan pekerjaan, bahkan tempat tinggal.


Kepentingan bisnis yang kotor bahkan mengatasnamakan isu lingkungan dan
seringkali bersifat politis, di satu sisi menyangkut negara dan sekutunya dan disisi lain
mereka yang memiliki sedikit kekuasaan. Memang, pengambilan sumber daya yang berharga
dijadikan alasan pemerintah Dunia Ketiga untuk memperoleh pendapatan, mereka selalu
menyatakan bahwa pengambilan SDA itu adalah ‘demi sebesar-besarnya kesejahteraan
rakyat’. Tap artinya mereka mereka juga mempunyai kepentingan yanng telah mapan untuk
menjaga atau memperoleh yuridiksi sumber yang berharga tersebut. Pemerintah dala
menerjemahkan sumber yang berharga tersebut adalah dengan melihat melalui tiga faktor;
harga pasaran dunia produk tersebut dan strategi apa ang dipakai untuk mengeksploitasinya, alokasi finansial dari keuntungan dari dipakai atau tidak dipakainya strategi
tersebut. Dua yang terakhir adalah yang paling rentan dapat menimbulkan konflik.
Awalnya diperkirakan hanya ada dua pendorong terbentuknya kelompok aksi
lingkungan, yaitu terjadinya kemerosotan makro ekonomi dan program penyesuaian
struktural, dan disisi lain, tuntutan bagi demokrasi. Namun bagi kelompok dunia ketiga,
terbentuknya aksi juga dalam rangka untuk mempertahankan mata pencaharian mereka
atau identitas. Kelompok aksi lingkungan ini umumnya didominasi dengan kaum muda dan
perempuan. Tujuan terbentuknya kelompok aksi lingkungan ini adalah untuk mengerahkan
penduduk setempat untuk ikut serta mempertahankan lingkungan dari kepentingan pihak
luar dari kepentingan bisnis yang kotor baik itu perusahaan bahkan negara sekalipun.
Penggundulan Hutan adalah salah satu katalisator dalam terbentuknya banyak kelompok
aksi di Dunia Ketiga.

Jutaan hektar hutan telah rusak sampai saat ini dan diperkirakan 75 tahun lagi tidak
akan tersisa hutan tropis dikarenakan hebatnya penggundulan hutan yang terjadi saat ini.
Namun dilemanya adalah, jika kelompok aksi lingkungan mulai berkampanye menentang
penggundulan hutan, maka mereka bukan saja hanya melawan negara, tetapi juga
kepentingan petani besar dan bisnis. Keberhasilan para kelompok aksi lingkungan dalam
mencapai tujuannya ini tergantung dari dua faktor utama yaitu bergabung dengan aliansi
regional atau nasional, dan aliansi tersebut berkampanye melalu saluran demokratis dan
saluran hukum. Dengan kata lain, efektifnya usaha para aksi Lingkungan tergantung dengan
keadaan politik yang ada.
Kita dapat mengambil kesimpulan dari gerakan Chipko dan kampanye
antibendungan Narmada, bahwa keberhasilan dalam menjaga lingkungan dari kerusakan
pihak-pihak tertentu tidak hanya membutuhkan organisasi rakyat yang tinggi dan mobilisasi
saja yang diperlukan untuk mencapai hasil melainkan juga didukung oleh pemerintah yang
responsif yang bersedia menanggapi dengan baik, dan mungkin juga membutuhkan sekutu
dari luar meskipun hal itu sendiri bukan jaminan sukses. Adapun dari kasus Malaysia dan
Indonesia hanya tercapai sebagian karena mereka telah berhasil membentuk koalisi lokal
yang kuat yang dapat menggunakan jalur hukum untuk menantang pemerintah. SAM dan

Walhi hendaknya dapat memaksa pemerintah untuk lebih bertanggung jawab terhadap
lingkungan sebagai akibat dari pengusaha dan media yang belum pernah ada sebelumnya.

Perjuangan orang Ogoni dan Tahiti merupakan contoh yang bagus dari apa yang
terjadi jika pimpinan minoritas atau etnis marjinal dan organisasi sosial merasa tidak puas
terhadap struktur pembagian kekuasaan dan alokasi SDA secara keseluruhan. Namun
melalui kegagalan kedua jenis kampanye untuk meraih tujuannya, dapat dilihat pentingnya
peran masyarakat sipil dalam menghadapi negara dan meraih perjuangannya. Adapun situasi
di Tahiti lebih rumit karena bagi mereka, Prancis adalah majikan yang dapat membayr
mereka jauh lebih mahal dibanding gaji setempat. Penduduk Tahiti mungkin malah
menyambut hangat pada pengertian otonomi yang lebih luas atau bahkan kemerdekaan dari
pemerintah kolonial, namun aspirasi demikian itu mungkin akan mengerut bagi banyak
orang karena risiko yang bakal terjadi terhadap pendapatan mereka jika Prancis angkat kaki.
Permasalannya adalah kampanye lingkungan hanya akan berhasil pada kondisi tertentu,
pertama ; pentingnya menggunakan jalur hukum dan demokratis untuk mengejar tujuan
lingkungan. Kedua; santa penting untuk membentuk koalisi kelompok-kelompok dan
organisasi yang luas, yang dapat menghadapi negara dan sekutu-sekutunya seperti misalnya
tuan tanah & perusahaan-perusahaan besar.