EVALUASI IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS. docx

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG
Salah satu aspek yang berfungsi dan berperan dalam menyiapkan sumber

daya manusia (SDM) yang berkualitas adalah pendidikan. Dengan kata lain,
pendidikan memiliki peran strategis untuk menciptakan SDM yang berkualitas.
Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas SDM, pemerintah bersama
swasta berupaya membangun pendidikan ke arah yang lebih berkualitas, antara
lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan evaluasi, perbaikan
sarana pendidikan, pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga
kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataanya upaya pemerintah tersebut belum
cukup berarti dalam meningkatkan kualitas (mutu) pendidikan ( Aminatul Zahron,
Total Quality Manajemen, hal 18).
Mutu pendidikan adalah gambaran atau karakteristik menyeluruh dari
barang atau jasa yang menentukan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan
yang ditentukan. Mutu pendidikan sebenarnya menjadi pusaran kegiatan
pendidikan, sehingga langkah, strategi, maupun program apapun mesti

diorientasikan pada pencapaian mutu pendidikan. Maka pemerintah Indonesia
telah melakukan banyak strategi untuk mengejar mutu pendidikan, sehingga kita
sulit menghitungnya, antara lain menetapkan desentralisasi pendidikan, mengubah
1

paradigma manajemen dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah,
memperbaiki

dan

menyempurnakan

kurikulum,

memperbaiki

sistem

pembelajaran, menaikkan anggaran pendidikan, meningkatkan kesejahteraan
pendidik, membangun fasilitas pendidikan, menetapkan standar nasional pendidik,

menggunakan sistem penjamin mutu, memperketat akreditasi dan masik banyak
lagi.
Adapun dalam konteks pendidikan, mutu pendidikan itu mencakup input,
proses, dan output pendidikan yang baik (http://www.mutu-kemendikbud.com).
Pengelolaan mutu pendidikan menuju arah yang baik, tentunya tidak terlepas dari
konsistensi lembaga pendidikan terhadap Standar Nasional Pendidikan.
Standar Nasional Pendidikan (SNP) adalah kriteria minimum tentang
sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia (pasal 1 Permen RI, No. 19 tahun 2005: hal. 12). Standar Nasional
pendidikan berfungsi sebagai sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang
bermutu. Standar nasional pendidikan berkaitan dengan penyelenggaraan 8
standar.
Lingkup SNP meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi
lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana,
standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan (pasal
2 Permen RI, No. 19 tahun 2005: hal. 15). Keberadaan faktor input, proses,
output, dan outcome dalam pendidikan tidak dapat terlepas dari penyelenggaraan
8 standar pendidikan ini.


2

Delapan (8) SNP menjadi patokan pengelolaan input, proses, output, dan
outcome pendidikan. Standar ini sekali lagi merupakan ketentuan minimum yang
wajib ditingkatkan pada setiap lembaga pendidikan. Namun pelaksanaan dan
penyebaran 8 SNP ini banyak mengalami kendala, terutama manajemen atau
pengelolaan yang belum ‘’matang’’, sehingga banyak terjadi ketimpangan.
Demikian halnya juga di SMAN 4 Kupang. Pada kegiatan pra-penelitian, peneliti
‘’melihat’’ ada faktor, baik input, proses, output yang belum dikelola sesuai SNP.
Tabel 1.1 Keterkaitan Faktor Input, Proses, Output, dan Outcome
Dengan Penyelenggaraan 8 SNP
No
1

Faktor
Input

2

Proses


3

Output

4

Outcome










Keterkaitan dengan 8 SNP
Standar isi

Standar pendidik dan tenaga
kependidikan
Standar sarana dan prasarana
Standar proses
Standar pengelolaan
Standar pembiayaan
Standar kompetensi lulusan
Standar penilaian pendidikan

-

Input adalah segala sesuatu yang harus tersedia (perangkat lunak maupun
keras) dan dibutuhkan untuk berlangsungnya sebuah proses. Input dapat berupa
kurikulum pendidikan, peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana.
Proses pendidikan adalah berubahnya sesuatu yang berpengaruh terhadap
berlangsungnya proses, menjadi sesuatu yang lain yang disebut output. Sedangkan
output merupakan kinerja atau prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses dan
perilaku sekolah (Dr. Syaiful Sagala: 146).


3

Outcome adalah (1) efek jangka panjang dari proses pendidikan misalnya
penerimaan di pendidikan lebih lanjut, prestasi dan pelatihan berikutnya,
kesempatan kerja, penghasilan serta prestise lebih lanjut (Lauren Kaluge,2000)
Sukses di pekerjaan, penghasilan seumur hidup, warga negara yang baik atau (2)
respon partisipan terhadap pelayanan yang diberikan dalam suatu program
(Margaret C, Martha Taylor dan Michael Hendricks,2002); atau (3) dampak,
manfaat, harapan perubahan dari sebuah kegiatan atau pelayanan suatu program
(NEA, 2000).
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional. Salah satunya adalah dengan penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) yang dalam praktiknya lebih dikenal sebagai Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Secara umum, MPMBS diartikan
sebagai model manajemen yang memberi otonomi yang lebih besar kepada
sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan
secara langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional (Nurkolis, 2003: hal. 9).
Pada sisi ini MBS merupakan cara untuk memotivasi kepala sekolah untuk
lebih bertanggung jawab terhadap kualitas peserta didik. Untuk itu sudah

seharusnya kepala sekolah mengembangkan program-program kependidikan
secara menyeluruh untuk melayani segala kebutuhan peserta didik di sekolah (A.
Malik Fadjar, 2002: hal. xv-xvi). Lebih lanjut dikemukakan, semua personel
sekolah harus berperan serta merumuskan program yang lebih operasional, karena
merekalah pihak yang paling mengetahui akan kebutuhan peserta didiknya. Di

4

Indonesia, pendekatan MBS di samping diposisikan sebagai alternatif, juga
sebagai kritik atas penyelenggaraan pendidikan yang selama ini tersentralisasi.
Dari beberapa hasil studi MBS Bank Dunia di beberapa negara (dalam
Nurkolis, 2003: hal. 251-256) diperoleh kesimpulan antara lain: (1) hasil studi di
India, Papua Nugini, dan Chicago menunjukkan bahwa MBS dengan partisipasi
masyarakatnya meningkatkan kehadiran siswa, dan (2) studi di Nikaragua
menunjukkan

bahwa

telah


terjadi

peningkatan

motivasi

guru

karena

keterlibatannya dalam pengambilan keputusan di MBS. Selain itu, kehadiran guru
dan siswa secara reguler meningkatkan perubahan positif terhadap pengalaman
belajar para siswa.
Menurut Fullan dan Watson dalam Nurkolis (2003: hal. 256), terdapat bukti
nyata bahwa keterlibatan orang tua dan masyarakat berpengaruh terhadap
pembelajaran siswa, namun pada sekolah-sekolah yang belum maju pengaruhnya
masih terbatas.
Pencapaian mutu pendidikan di SMAN 4 Kupang belum mencapai hasil
maksimal. Beberapa sisi menjalankan menagemen dengan baik, tetapi sebagian
juga belum mencapai SNP yang merupakan acuan dari setiap lembaga pendidikan

dalam pengelolaan pendidikannya. Ini menjadi kajian masalah yang menjadi
landasan peneliti melakukan penelitian. Kesesuain pengelolaan faktor input,
proses, output, outcome yang belum sepenuhnya menjalankan 8 SNP, dan
pengelolaan MBS di lmbaga pendidikan tersebut.
Faktor input yang pertama adalah peserta didik. Proses masuk beberapa
tahun terakhir ini tidak menggunakan test masuk. Tetapi nilai (rata-rata) UN di

5

jenjang SLTP dijadikan ‘’test’’ masuk. Nilai UN SLTP diyakini sebagai satusatunya alat pengukur kemampuan siswa. Penyebaran siswa di SMAN 4 Kupang,
tidak merata, dan melanggar SNP tentang jumlah siswa tiap rombongan belajar.
Contohnya, pada tahun 2013 jumlah siswa masuk adalah 420 orang.
Jumlah ini terlampau banyak, mengingat ada 11 penyebaran rombongan belajar,
dan tiap rombongan belajar mengisi ± 38 peserta didik. Jumlah ini tidak sesuai
dengan ketentuan SNP, yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP), bahwa jumlah maksimal peserta didik pada satu rombongan belajar
adalah 32, dan jumlah minimalnya adalah 20.
Pada input tentang pendidik, penyebaran pendidik di SMAN 4 Kupang diisi
oleh tenaga pendidik PNS dan tenaga honorer. Perekrutan tenaga PNS melalui
kebijakan SK tenaga diberikan pemerintah, dan dinamakan sebagai guru tetap.

Sedangkan untuk honorer wajib melampirkan surat lamaran, dan berbagai
ketentuan atau kesepakatan kerja antara yang bersangkutan dengan lembaga yang
menerimanya. PP no. 74 yang mengatur tentang guru menjelaskan bahwa Guru
wajib memiliki Kualifikasi Akademik, kompetensi, Sertifikat Pendidik, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
Kompetensi Guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan
profesi. Namun pada kenyataanya, menurut pengamatan peneliti, ada tenaga
pendidik yang belum menjalankan kompetensi dengan baik. Ada banyak item
pada

kompetensi

yang

menggambarkan

6


kemampuan

guru

yang

harus

diaplikasikan dalam lingkungan pendidikan dan masyarakat. Misalnya tentang
item jujur pada kompetensi kepribadian, sering dilanggar terutama pada kehadiran
(presensi) di sekolah. Setiap guru menerima tunjangan sepenuhnya, tetapi tidak
disertakan kinerja yang baik (jujur). Selanjutnya item berkomunikasi secara
tertulis pada kompetensi sosial, banyak guru yang tidak gemar menulis (surat
kabar atau penelitian). Item menguasai IT, ada sebagaian guru ‘’senior’’ yang
tidak mampu mengoperasikan IT dengan baik.
Input tentang sarana dan prasarana juga tidak luput dari permasalahan
(keterbatasan) yang dialami lembaga tersebut. Walaupun lembaganya ber-tipe
sekolah negeri, tetapi masih banyak keterbatasannya. PP no 19 tahun 2005
menjelaskan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi
perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar
lainnya. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan,
ruang kelas, ruang pimpinan, ruang pendidik, ruang TU, perpustakaan,
laboratorium, bengkel, produksi, kantin, tempat olahraga, tempat ibadah, tempat
bermain, dan rekreasi.
Namun hasil pengamatan peneliti, pada kenyataanya di SMAN 4 Kupang
banyak sarana dan prasarana yang tidak layak lagi digunakan. Ada ruang kelas
yang kekurangan meja dan kursi, lantainya berlubang, ventilasi udara, papan tulis,
pintu, jendela dalam keadaan rusak. Kekurangan dan keterlambatan suply bukubuku K 13. Kekurangan fasilitas olahraga; lapangan volly dan basket digandeng,
tidak adanya lapangan sepak bola dan masih banyak kekurangan lainnya.

7

Input tentang kurikulum juga masih mengalami berbagai kendala. Dalam
masa transisi KTSP ke K.13, SMAN 4 Kupang terpilih menjadi salah satu sekolah
contoh penyelenggaraan K.13. Banyak ‘’warga’’ sekolah yang belum sepenuhnya
memahami penerapan kurikululm ini. Mulai dari pendidik yang harus berhadapan
dengan perubahan keputusan hampir tiap triwulanya, siswa yang terasa ‘’panik’’
dengan penumpukan tugas, menyesuaikan sikap yang ‘’sempurna’’ berhadapan
dengan budaya Nusa Tenggara Timur, dan masih banyak lainya.
Pada faktor proses, berpatokan pada Standar Nasional Pendidikan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar

Nasional

diselenggarakan

Pendidikan.

secara

Pembelajaran

interaktif,

inspiratif,

pada

satuan

pendidikan

menyenangkan,

menantang,

memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satua
pendidikan

melakukan

perencanaan

pembelajaran,

pelaksanaan

proses

pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan.
Keberadaan faktor proses pada lembaga SMAN 4 Kupang, dijalankan sesuai
ketentuan SNP dan PP yang telah mengaturnya. Tetapi dalam perkembanganya
masih juga terdapat kendala dan keterbatasan. Proses pembelajaran menjadi
kurang menyenangkan, disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana,
keadaan alam dan iklim. Penyususnan perangkat pembelajaran (RPP) oleh

8

pendidik belum sesuai dengan kesepakatan waktu pengumpulanya. Pendidik dan
peserta didik tidak disiplin menyangkut alokasi waktu pembelajaran.
Pada faktor output (kelulusan) tetap mengacu pada Standar Kompetensi
Lulusan, yakni kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup
sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hasil atau target output yang diharapkan oleh
lembaga pendidikan SMAN 4 Kupang sesuai dengan SNP. Tetapi dalam kenyataanya
para peserta didik lebih mengutamakan nilai akhir, mencapai rata-rata nilai hasil UN,
menghindari batas minimum nilai UN tanpa jauh berpikir tentang kemampuan sikap
dan ketrampilanya. Sedikit saja peserta didik yang menekuni kegiatan ekstrakurikuler
yang dipersiapkan sekolah untuk menambah kualifikasi kemampuanya.
Standar Nasional Pendidikan yang mengatur outcome belum ada. Tetapi standar
pengelolaan pendidikan menjelaskan bahwa diharapkan lembaga pendidikan
menyertakan masyarakat sebagai bagian inti dari lembaga tersebut, terutama untuk
proses evaluasi dan monitoring. Keterlibatan masyarakat secara nyata belum ada di
SMAN 4 Kupang, hanya sebatas pada perwakilan unsur Komite.
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan salah satu cara ‘’ampuh’’ untuk dapat
menjawab persoalan di atas. Dengan adanya pengelolaan secara otonomi, maka
diyakini sekolah secara mandiri menjawab persoalan pribadinya. Peneliti akan
meneliti MBS di SMAN 4 Kupang, apakah sudah dikelola dengan baik.

Berangkat dari uraian dan permasalahan pada latar belakang di atas, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS FAKTOR
INPUT, PROSES, OUTPUT, DAN OUTCOME DALAM PENERAPAN
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DI SMAN 4 KUPANG”.
1.2.

PERUMUSAN MASALAH

9

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat
diteliti adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana keberadaan faktor input dalam penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah di SMAN 4 Kupang?
2. Bagaimana keberadaan faktor proses dalam penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah di SMAN 4 Kupang?
3. Bagaimana keberadaan faktor output dalam penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah di SMAN 4 Kupang?
4. Bagaimana keberadaan faktor outcome dalam penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah di SMAN 4 Kupang?
5. Bagaimana karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMAN 4
Kupang?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.

Mengetahui keberadaan faktor input dalam penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah di SMAN 4 Kupang.

2.

Mengetahui keberadaan faktor proses dalam penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah di SMAN 4 Kupang.

3.

Mengetahui keberadaan faktor output dalam penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah di SMAN 4 Kupang.

4.

Mengetahui keberadaan faktor outcome dalam penerapan Manajemen
Berbasis Sekolah di SMAN 4 Kupang.

10

5.

Mengetahui keberadaan faktor outcome dalam penerapan Manajemen
Berbasis Sekolah di SMAN 4 Kupang.

6.

Mengetahui karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMAN 4
Kupang.

1.4. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu teoretis dan
praktis, sebagaimana dirinci sebagai berikut ini.
1.

Secara teoretis, penelitian ini dapat memperkaya teori-teori manajemen
pendidikan dalam kaitannya dengan pentingnya keberadaan faktor input,
proses, output, dan outcome dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah.
Melalui penelitian yang dilakukan ini dapat diungkapkan keragaman model
implementasi manajemen berbasis sekolah sesuai dengan kultur sosial dan
kebutuhan sekolah yang dapat memperkaya keragaman pengimplementasian
manajemen berbasis sekolah. Dengan mengkaji pelaksanaan manajemen
berbasis sekolah, dapat dipahami secara utuh wujud pelaksanaan manajemen
berbasis sekolah di SMAN 4 Kupang.

2.

Secara praktis, penelitian yang dilakukan ini dapat memberikan manfaat
praktis bagi praktik pengelolaan pendidikan di sekolah dengan pendekatan
manajemen berbasis sekolah dilihat dari keberadaan faktor input, proses,
output, outcome.

11

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Telaah Pustaka
2.1.1. Pengertian Input Pendidikan
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena
dibutuhkan untuk berlangsungnya suatu proses. Sesuatu yang dimaksud berupa
sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi

12

berlangsunnya proses. Untuk ketercapaian pendidikan bermutu, fungsional,
produktif, efektif, dan akuntabel, maka diperlukan beberapa hal yang terkait
dengan input antara lain: peserta didik, ketenagaan, fasilitas, biaya, kurikulum,
perencanaan dan evaluasi, hubungan sekolah masyarakat dan iklim sekolah yang
memadai (Mulyasa, 2013).
Input sumber daya meliputi sumber daya manusia (kepala sekolah, guru,
karyawan, siswa) dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang,
bahan, dsb.). Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan
perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana, program, dsb. Input harapanharapan berupa visi, misi, tujuan, dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh
sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan
baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat
kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input
tersebut (http://www.inputpendidikan.com) .

2.1.1.1.

Input Sumber Daya Manusia

1. Kepala Sekolah
Kepala sekolah adalah guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala
sekolah (Sudarman 2002: hal. 145). Meskipun sebagai guru yang mendapat
tugas tambahan, kepala sekolah merupakan orang yang paling betanggung
jawab terhadap aplikasi prinsip-prinsip administrasi pendidikan yang inovatif
di sekolah.

13

Sebagai orang yang mendapat tugas tambahan berarti tugas pokok kepala
sekolah tersebut adalah guru, yaitu sebagai tenaga pengajar dan pendidik. Itu
berarti dalam suatu sekolah seorang kepala sekolah harus mempunyai tugas
sebagai seorang guru yang melaksanakan atau memberikan pelajaran atau
mengajar bidang studi tertentu atau memberikan bimbingan. Berati kepala
sekolah menduduki dua fungsi yaitu sebagai tenaga kependidikan dan tenaga
pendidik.
2. Guru
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru
Pasal 52 ayat (1) kewajiban guru mencakup kegiatan pokok, yaitu
merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan
tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan tugas pokok. Dalam penjelasan
Pasal 52 ayat (1) huruf (e), yang dimaksud dengan “tugas tambahan”, misalnya
menjadi pembina pramuka, pembimbing kegiatan karya ilmiah remaja, dan
guru piket.
Guru, sebagai seorang tenaga kependidikan yang professional, berbeda
pekerjaannya dari yang lain, karena ia merupakan suatu profesi, maka
dibutuhkan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya (Tabrani Rusyan, 1990: 5). Dengan demikian, guru adalah seseorang
yang professional dan memiliki ilmu pengetahuan, serta mengajarkan ilmunya

14

kepada orang lain, sehingga orang tersebut mempunyai peningkatan dalam
kualitas sumber daya manusianya.
3. Karyawan/ Tata Usaha Sekolah
Tata

usaha

sekolah

adalah

bagian

dari

unit

pelaksana

teknis

penyelenggaraan sistem administrasi dan informasi pendidikan di sekolah.
Informasi yang tata usaha sekolah kelola penting sebagai basis pelayanan dan
bahan pengambilan keputusan sekolah. Semakin lengkap dan akurat data
terhimpun maka pemberian pelayanan makin mudah dan pengambilan
keputusan makin tepat.
Menurut The Lian Gie (2000), tenaga tata usaha memiliki tiga peranan
pokok sebagai berikut.
1) Melayani pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan operatif untuk mencapai tujuan
dari suatu organisasi,
2) Menyediakan keterangan-keterangan bagi pucuk pimpinan organisasi itu
untuk membuat keputusan atau melakukan tindakan yang tepat.
3) Membantu

kelancaran

perkembangan

keseluruhan.

4.

Peserta Dididik/ Siswa.

15

organisasi

sebagai

suatu

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, murid berarti orang (anak yang
sedang berguru belajar, bersekolah). Sedangkan menurut Prof. Dr. Shafique Ali
Khan, murid (pelajar) adalah orang yang datang ke suatu lembaga untuk
memperoleh atau mempelajari beberapa tipe pendidikan. Seorang pelajar adalah
orang yang mempelajari ilmu pengetahuan berapa pun usianya, dari mana pun,
siapa pun, dalam bentuk apa pun, dengan biaya apa pun untuk meningkatkan
intelek dan moralnya dalam rangka mengembangkan dan membersihkan jiwanya
dan mengikuti jalan kebaikan.
Murid atau anak didik adalah salah satu komponen manusiawi yang
menempati posisi sentral dalam proses belajar-mengajar. Di dalam proses belajarmengajar, murid sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan
kemudian ingin mencapainya secara optimal. Murid akan menjadi faktor penentu,
sehingga dapat mempengaruhi segala sesuatu yang diperlukan untuk mencapai
tujuan belajarnya. Komponen–komponen pendidikan yang lain sangat bergantung
kepada kondisi siswa.
5.

Sarana Prasarana
Menurut E. Mulyasa (2003) sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan

yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses
belajar, mengajar, seperti bangunan, ruang kelas, meja kursi, serta alat-alat dan media
pengajaran. Beberapa hal yang perlu dikembangkan dalam menunjang proses belajar
mengajar adalah 1) perpustakaan, 2) sarana penunjang kegiatan kurikulum, dan 3)
prasarana dan sarana kegiatan ekstrakurikuler.

Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan,
ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha,
ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi,

16

ruang kantin, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat
berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Kepala sekolah bertanggung jawab
atas pengadaan sarana dan prasarana pendidikan yang diperlukan, mengingat
sarana dan prasarana itu sendiri mempunyai peranan yang sangat penting bagi
terlaksananya proses pembelajaran di sekolah serta menunjang tercapainya tujuan
pendidikan.
2.1.1.2. Input Perangkat Lunak
1. Struktur Organisasi Sekolah
Organisasi sekolah adalah sistem yang bergerak dan berperan dalam
merumuskan tujuan pendewasaan manusia sebagai makhluk sosial agar mampu
berinteraksi dengan lingkungan. Struktur organisasi sekolah terdiri atas kepala
sekolah, komite sekolah, wakil kepala sekolah, koordinator BK, guru, dan siswa.
Masing-masing memiliki tugas, wewenang dan peran. Organisasi sekolah itu
penting karena melalui struktur organisasi yang ada tersebut orang akan
mengetahui apa tugas dan wewenang kepala sekolah, apa tugas guru, apa tugas
karyawan sekolah (yang biasa dikenal sebagai pengawai tata usaha).
2. Peraturan Perundang-undangan .
Undang-undang dan peraturan pemerintah sangat berperan demi terwujudnya
sebuah tata kelola suatu negara. Di Indonesia banyak sekali UU dan PP yang telah
disepakati bersama oleh pemerintah sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Misalnya bidang Pendidikan, mulai dari UU tentang Sistem Pendidikan Nasional,
tentang guru, tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, serta pernakpernik peraturan tentang pendidikan lainnya.
3. Perencanaan Pendidikan

17

Menurut, Prof. Dr. Yusuf Enoch Perencanaan pendidikan adalah suatu proses
yang mempersiapkan seperangkat alternatif keputusan bagi kegiatan masa depan
yang diarahkan kepada pencapaian tujuan dengan usaha yang optimal dan
mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang ada di bidang ekonomi, sosial
budaya serta menyeluruh suatu negara.
Perencanaan pendidikan adalah suatu usaha melihat ke masa depan dalam hal
menemukan kebijakan, prioritas dan biaya pendidikan dengan mempertimbangkan
kenyataan-kenyataan yang ada dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik untuk
pengembangan potensi sistem pendidikan nasional.
Perencanaan

pendidikan

merupakan

suatu

proses

intelektual

yang

berkesinambungan dalam menganalisis, merumuskan, dan menimbang serta
memutuskan dengan keputusan yang diambil harus mempunyai konsistensi
internal yang berhubungan secara sistematis dengan keputusan-keputusan lain,
baik dalam bidang itu sendiri maupun dalam bidang lain.
2.1.1.3.

Input Harapan-harapan

1. Visi pendidikan
Bagi suatu organisasi visi memiliki peranan penting dalam menentukan
arah kebijakan dan karakteristik organisasi tersebut. Menurut Akdon (2006:
hal. 96), terdapaat beberapa kriteri dalam merumuskan visi, antara lain
berikut ini.
1) Visi bukanlah fakta, tetapi gambaran pandangan ideal masa depan yang
ingin diwujudkan.

18

2) Visi dapat memberikan arahan, mendorong anggota organisasi untuk
menunjukkan kinerja yang baik.
3) Visi dapat menimbulkan inspirasi dan siap menghadapi tantangan
4) Visi menjembatani masa kini dan masa yang akan datang.
5) Visi merupakan gambaran yang realistik dan kredibel dengan masa depan
yang menarik.
2. Misi Pendidikan
Misi adalah pernyataan mengenai hal-hal yang harus dicapai
organisasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan di masa datang. Ada
beberapa kriteria dalam pembuatan misi pada lembaga pendidikan, antara
lain berikut ini.
1) Penjelasan tentang produk atau pelayanan yang ditawarkan yang
sangat diperlukan oleh masyarakat.
2) Harus jelas memiliki sasaran publik yang akan dilayani.
3) Kualitas produk dan pelayanan yang ditawarkan memiliki daya saing
yang meyakinkan masyarakat.
4) Penjelasan aspirasi bisinis yang diinginkan pada masa mendatang juga
bermanfaat dan keuntungannya bagi masyarakat dengan produk dan
pelayanan yang tersedia.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan misi sekolah
antara lain berikut ini.
1) Pernyataan misi sekolah harus menunjukkan secara jelas mengenai
apa yang hendak dicapai oleh sekolah.

19

2) Rumusan

misi

sekolah

selalu

dalam

bentuk

kalimat

yang

menunjukkan “tindakan” dan bukan kalimat yang menunjukkan
“keadaan” sebagaimana pada rumusan visi.
3) Satu indikator visi dapat dirumuskan lebih dari satu rumusan misi.
Antara indikator visi dengan rumusan misi harus ada keterkaitan atau
terdapat benang merahnya secara jelas.
4) Misi sekolah menggambarkan tentang produk atau pelayanan yang
akan diberikan pada masyarakat (siswa).
5) Kualitas produk atau layanan yang ditawarkan harus memiliki daya
saing yang tinggi, namun disesuaikan dengan kondisi sekolah
3. Tujuan
Beberapa ahli memberikan pandanganya masing-masing tentang tujuan
pendidikan, antara lain berikut ini.
1) Socrates (469-399 SM), tujuan pendidikan ialah mengembangkan
daya pikir seseorang untuk mengerti pokok-pokok kesusilaan.
2) Plato (427-345 SM), tujuan pendidikan adalah menjadikan individu
bahagia dan berguna bagi Negara.

2.1.2. Pengertian Proses Pendidikan
Proses pendidikan yang berlangsung selalu melibatkan beberapa unsur
pendidikan antara lain; subjek yang dibimbing (peserta didik), orang yang
membimbing (pendidik), interaksi edukatif antara keduanya, tujuan pendidikan,

20

kurikulum/ materi pendidikan, alat dan bahan pendidikan serta lingkungan
pendidikan. Proses tersebut akan semakin ideal pelaksanaanya apabila proses
tersebut selalu memperhatikan beberapa unsur antara lain; kognitif, afektif dan
psikomotorik. Tanpa ketiganya proses pendidikan mustahil akan berjalan dengan
sempurna.
Proses pembelajaran (PBM) merupakan ujung tombak dari proses
pendidikan, yang mana suatu kegiatan dilakukan oleh guru, berkaitan dengan
materi ajar, berlangsung dan dikemas secara interaktif, menyenangkan,
menantang, memotivasi serta merangsang peserta didik untuk berpikir, aktif, dan
kreatif.
Suatu proses agar keberhasilanya sesuai harapan, maka harus diawali
dengan perencanaan (planning). Perencanaan yang baik akan mendorong
terselenggaranya proses yang ideal sehingga setiap pelaksanaan proses harus
mengetahui unsur-unsur perencanaan, misalnya bagi seorang guru yang akan
melaksanakan proses pembelajaran, guru tersebut harus menguasai unsur- unsur
perencanaan proses pembelajaran yang baik, seperti:
a) Kebutuhan peserta didik
b) Kompetensi dasar
c) Tujuan
d) Strategi dll.
Tentunya sebaliknya, perencanaan yang kurang optimal hanyalah akan
menghasilkan kegagalan, sebagaimana pepatah bijak mengatakan: “Gagal dalam
perencanaan sama dengan merencanakan kegagalan” (fail to plan is plan to fail).

21

Ada

beberapa

pendekatan

dalam

melaksanakan

proses

pendidikan

(http://www.prosespendidikan.com./kemendikbud):
1) Pendekatan Sistem Nilai Religi (Teori dan Filsafat).
Pendekatan untuk teori pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai agama
digunakan sebagai bagian dari sumber acuan (reference) dalam menentukan
tujuan metode dan strategi. Cara kerja pendekatan ini adalah dengan
menggunakan pendekatan keyakinan (belief), akal (thought) serta logika (logic).
Tahap pertama dalam pendekatan ini adalah harus terciptanya keyakinan terlebih
dahulu, kemudian keyakinan itu dipelajari, dipahami, diyakini dan diamalkan.
2) Pendekatan filosofi
Pendekatan

filosofi

adalah

suatu

pendekatan

untuk

memecahkan

permasalahan dalam pendidikan dengan menggunakan metode filsafat. Karena
metode filsafat awalnya dari sebuah pemikiran atau renungan manusia, hal ini
berakibat pada memungkinkannya ketidakmutlakan kebenaran.
3) Pendekatan Sains
Pendekatan sains adalah pengkajian pendidikan untuk menentukan dan
memecahkan permasalahan dengan menggunakan disiplin ilmu tertentu. Metode
ilmiah digunakan sebagai dasar kajian untuk mendapatkan hasil penelitian
berdasarkan data dengan kaidah-kaidah tertentu (dikaji secara sistematis).
Dari berbagai unsur di atas, ada unsur yang berjalan langsung dengan
pengalaman inderawi anak didik yang disebut dengan unsur empirik, seperti
adanya pengembangan diri, kreatifitas, dan aplikasi ilmu. yang sering kita
kelompokkan dalam penilaian afektif dan psikomotorik anak, setelah mereka

22

diberi ilmu secara kognitif (teori) saja. Menghadapi abad ke-21, UNESCO melalui
“The International Commission on Education for the Twenty first Century" yang
dipimpin oleh Jacques Delors merekomendasikan pendidikan berdasarkan empat
pilar proses pembelajaran yaitu :
1) Learning to know ( menguasai pengetahuan)
2) Learning to do (menguasai keterampilan)
3) Learning to be (mengembangkan diri)
4) Learning to live together (hidup bermasyarakat)
Learning to do bisa berjalan jika lembaga pendidikan memfasilitasi peserta
didik untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan
minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan,
namun tumbuh berkembangnya tergantung pada lingkungannya. Dewasa ini
keterampilan bisa digunakan untuk menopang kehidupan seseorang, bahkan
keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung
keberhasilan kehidupan seseorang.
Learning to be Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian
dari proses belajar menjadi diri sendiri. Learning to live together Dengan
kemampuan yang dimiliki, sebagai hasil dari proses pendidikan, dapat dijadikan
sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut
berada, sekaligus mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman
tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam
bersosialisasi di masyarakat.
2.1.3. Output (lulusan) Pendidikan

23

Dalam penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
disebutkan bahwa standar kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik yang
harus dipenuhinya atau dicapainya dari suatu satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah. Standar Kompetensi Lulusan adalah kriteria
mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Kompetensi lulusan SMA menurut PERMEN Mendikbud No. 53
tahun 2013, adalah sebagai berikut:
1) Sikap;

kualifikasi

kemampuanya

adalah

memiliki

perilaku

yang

mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri,
dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan
sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa
dalam pergaulan dunia.
2) Pengetahuan; kualifikasi kemampuanya adalah memiliki pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,
dan peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena dan kejadian.
3)

Keterampilan; kualifikasi kemempuanya adalah memiliki kemampuan pikir
dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sebagai
pengembangan dari yang dipelajari di sekolah secara mandiri.
Output sekolah pada umumnya merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah

adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/ perilaku sekolah. Kinerja

24

sekolah

dapat

diukur

dari

kualitasnya,

efektifitasnya,

produktivitasnya,

efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerja, dan moral kerjanya. Oleh
karena demikian dapat disimpulkan bahwa output sekolah yang diharapkan adalah
prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di
sekolah.
Output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi
akademik (academic achivement) dan ouput berupa prestasi non-akademik (nonacademic achivement). Output prestasi akademi misanya, NEM, lomba karya
ilmiah remaja, lomba mata pelajaran, cara-cara berfikir (kritis, kreatif/divergen,
nalar, rasional, induktif, dedukatif, dan ilmiah). Output non-akademik, misalnya
keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih
sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi,
kedipsiplinan, kerajinan, prestasi olah raga, kesenian, dan kepramukaan.
2.1.4. Outcome Pendidikan
Outcome pendidikan merupakan keuntungan atau manfaat (benefit) yang
dirasakan baik oleh siswa, yang menjadi keluaran (output) pendidikan, maupun
bagi stakeholders pendidikan secara luas. Pada fase berikutnya, outcome
pendidikan ini akan menghasilkan dampak (effect) bagi masyarakat. Dengan kata
lain, pendidikan yang bermutu akan menghasilkan outcome yang baik dan
tentunya akan memiliki dampak yang baik pula.
Keberadaan institusi seperti Dewan Sekolah/ Komite Sekolah yang di
dalamnya terdiri dari unsur-unsur pemerintah daerah, tokoh masyarakat,
pemerhati pendidikan dan perwakilan orang tua siswa sejatinya berperan dalam

25

memberikan masukan-masukan yang tidak saja berupa material dan kesejahteraan
guru, tetapi, yang paling penting, memikirkan dan mendorong bagaimana supaya
sekolah bisa mencapai tujuan yang ditetapkan agar hasil lulusan memiliki
outcome yang memadai. Oleh karenanya, dewan sekolah/ komite sekolah juga
perlu ikut merumuskan, memberi masukan dan mengevaluasi visi, misi, strategi
sekolah agar apa yang dihasilkan oleh sekolah relevan dengan apa yang
dibutuhkan masyarakat.
Manajemen pendidikan harus mampu mengarahkan berbagai kebijakan
dalam proses pendidikan, antara lain; proses pembelajaran sebagai alat pendorong
untuk terwujudnya peningkatan mutu pendidikan, kualitas layanan pendidikan
pada pengguna, pemberdayaan lembaga pendidikan yang pada akhirnya dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat. Atas dasar pemikiran di atas maka dewan
sekolah/ komite sekolah sebagai lembaga independen dapat menilai kompetensi
dan profesionalisme guru, yang pada akhirnya mampu memberdayakan peserta
didik sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. Outcome pendidikan mampu
memperkuat sistem nilai yang bermanfaat bagi masyarakat, sebagaimana para
ulama berkata bahwa sebaik-baiknya manusia yaitu dapat memberikan manfaat
bagi orang lain (http://www.outcome-pendidikan.com ).
2.1.5. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
2.1.5.1. Pengertian MBS
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah suatu perubahan formal
struktur penyelenggaraan pendidikan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang
mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta

26

bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana
penting yang dengannya pendidikan dapat didorong dan ditopang (Malen, dalam
Duhou, 2002: hal. 16).
Menurut Mulyasa (2002:11), MBS merupakan suatu konsep yang
menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah
dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi dan pemerataan pendidikan agar
dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin
kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
Dalam konsep Mulyasa tersebut, terkandung informasi bahwa MBS
penekanannya pada pemberian otonomi atau kewenangan yang luas kepada
sekolah dalam mengelola pendidikan.

Pendapat Mulyasa tersebut, sejalan

dengan konsep MBS yang dikemukakan dalam buku Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (2002: hal.3). Dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) sebagai bagian
dari Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yaitu model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar pada sekolah dan mendorong pengambilan
keputusan partisipasif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah
(guru, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa dan masyarakat) untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan nasional.
Definisi di atas menegaskan bahwa konsep MBS mengacu pada
manajemen sumber daya di tingkat sekolah dan bukan di suatu sistem atau tingkat
yang sentralistik. Melalui MBS, sekolah diberi pengawasan lebih besar atas arah
yang akan dicapai oleh organisasi sekolah tersebut. Dalam komponen kurikulum,

27

misalnya, sekolah diberikan otonomi atas kurikulum yang dikembangkan. Di sini
suatu kurikulum berbasis sekolah berarti bahwa masing-masing sekolah
memutuskan bahan-bahan ajar apa akan digunakan, dan juga model pelaksanaan
spesifik.
Dengan demikian, MBS merupakan bentuk alternatif sekolah dalam
program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai dengan otonomi luas di
tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tanpa mengabaikan kebijakan
pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola
sumber daya sesuai dengan prioritas kebutuhan agar sekolah lebih tanggap
terhadap kebutuhan setempat. Dalam hal ini, masyarakat juga dituntut untuk lebih
memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan pendidikan.
Sedangkan, kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula
dilakukan oleh sekolah. Dengan demikian, dalam MBS, sekolah dituntut memilki
accountability, baik di hadapan masyarakat maupun pemerintah.
Berdasarkan konsep-konsep MBS sebagaimana dikemukakan di atas,
dapat dikemukakan bahwa kebijakan manajemen berbasis sekolah merupakan
pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab yang meningkat ke sekolah yang
dapat memudahkan dan mendorong peningkatan efektivitas dan efisiensi
pendidikan publik. Hal ini berarti bahwa tugas manajemen sekolah ditentukan
sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah itu sendiri.
Oleh karena itu, anggota pengelola sekolah (pengawas, kepala sekolah,
guru, orang tua, siswa, dan seterusnya) memiliki otonomi dan tanggung jawab
lebih besar dalam mengelola kegiatan pendidikan di sekolah. Agar terjadi

28

sinkronisasi tujuan pendidikan secara nasional, dalam penerapan MBS ini, ada
beberapa faktor yang harus diperhatikan. Mulyasa (2002:27) mengungkapkan
bahwa BPPN dan Bank Dunia telah mengkaji beberapa faktor yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan MBS, sebagai berikut.
1.

Kewajiban Sekolah
Manajemen berbasis sekolah yang menawarkan keleluasaan pengelolan
sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah,
guru, dan pengelola sistem pendidikan profesional. Oleh kerena itu,
pelaksanaannya perlu disertai seperangkat kewajiban, monitoring dan
tuntutan pertanggung-jawaban (akuntabel) yang relatif tinggi, untuk
menjamin bahwa sekolah selain memiliki otonomi juga mempunyai
kewajiban melaksanakan kebijakan pemerintah dan memenuhi harapan
masyarakat sekolah.

2.

Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak
merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional
terutama yang berkaitan dengan program peningkatan melek huruf dan
angka (literacy and numeracy), efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan.
Sekolah tidak diperbolehkan untuk berjalan sendiri dengan mengabaikan
kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh pemerintah.

3.

Peranan Orangtua dan Masyarakat
Manajemen berbasis sekolah menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil
dan berkualitas untuk membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif

29

dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisiensikan sistem
dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. Untuk kepentingan
tersebut diperlukan partisipsai masyarakat dan hal ini merupakan salah satu
aspek yang penting. Melalui dewan sekolah (school council), orang tua dan
masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembuatan berbagai keputusan.
4.

Peranan Profesionalisme dan Manajerial
Manajemen berbasis sekolah menuntut perubahan-perubahan tingkah laku
kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi dalam mengoperasikan
sekolah. Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berpotensi meningkatkan
gesekan peranan yang bersifat profesional dan manajerial. Untuk memenuhi
persyaratan manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah, guru dan tenaga
administrasi harus memiliki pengetahuan yang dalam tentang peserta didik
dan prinsip-prinsip pendidikan untuk menjamin bahwa segala keputusan
penting yang dibuat sekolah didasarkan atas pertimbangan pendidikan.

5.

Pengembangan Profesi
Agar sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan manajemen
berbasis sekolah, perlu dikembangkan adanya pusat pengembangan profesi,
yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan bagi tenaga kependidikan
untuk manajemen berbasis sekolah.

2.1.5.2. Tahap-tahap Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah.
Dalam buku Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (2002:
hal.29) tahap-tahap yang harus dilakukan dalam pelaksanaan manajemen berbasis
sekolah adalah sebagai berikut:

30

1. Melakukan Sosialisasi
Sekolah merupakan sistem yang terdiri dari unsur-unsur. Semua unsur sekolah
harus memahami konsep manajemen berbasis sekolah. Langkah pertama yang
harus dilakukan oleh sekolah adalah mensosialisasikan konsep tersebut kepada
setiap unsur sekolah mulai guru, siswa, wakil kepala sekolah, guru BK, karyawan,
orangtua siswa, pengawas, pejabat dinas pendidikan kabupaten atau propinsi dan
sebagainya. Bentuk sosialisasi melalui berbagai mekanisme, misalnya seminar,
diskusi dan sebagainya.
2. Mengidentifikasi Tantangan Nyata Sekolah.
Sekolah melakukan analisis output sekolah yang hasilnya berupa
identifikasi tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah.
3. Merumuskan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Sekolah.
Sekolah yang melaksanakan manajemen berbasis sekolah harus memiliki
rencana pengembangan sekolah yang pada ummnya berupa perumusan visi, misi,
tujuan, dan strategi pelaksanaannya.

4. Mengidentifikasi Fungsi-fungsi yang Diperlukan untuk Mencapai Sasaran.
Fungsi-fungsi ini antara lain fungsi proses belajar mengajar beserta fungsifungsi pendukungnya yaitu fungsi pengembangan kurikulum, fungsi ketenagaan,
fungsi keuangan, fungsi layanan kesiswaan, fungsi pengembangan fasilitas, fungsi
perencanan dan evaluasi, dan fungsi hubungan sekolah dan masyarakat.
5. Melakukan Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat).

31

Artinya tingkat kesiapan harus memadai, minimal memenuhi ukuran
kesiapan yang diperlukan untuk memenuhi ukuran kesiapan yang dinyatakan
sebagai kekuatan (strength), peluang (opportunity), kelemahan (weakness) dan
ancaman (threat).
6. Alternatif Langkah Pemecahan Persoalan.
Memilih langkah pemecahan persoalan, yakni tindakan yang diperlukan
untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap.
7. Menyusun Rencana dan Program Peningkatan Mutu.
Sekolah bersama-sama dengan semua unsurnya membuat perencanaan
beserta program untuk merealisasikan rencana tersebut.
8. Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu.
Sekolah bersama warga sekolah hendaknya mengambil langkah proaktif
untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan.
9. Melakukan Evaluasi Pelaksanaan.
Sekolah perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan program.
10. Merumuskan Sasaran Mutu.
Hasil evaluasi berguna untuk dijadikan sebagai alat bagi perbaikan
kinerja program yang akan datang. Hasil evaluasi juga merupakan masukan
bagi sekolah dan orang tua peserta didik berguna untuk merumuskan sasaran
mutu baru untuk tahun yang akan datang.
Kesimpulan yang diperoleh dari uraian di atas adalah pelaksanaan
manajemen berbasis sekolah harus melalui tahap-tahap yang urut dan

32

berkesinambungan. Keberhasilan melalui tahap-tahap ini akan membantu
pencapaian keberhasilan program.
2.1.5.3.

Fungsi-fungsi yang Didesentralisasikan ke Sekolah dalam
Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah.

Dalam buku Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (2002: 22)
diungkapkan bahwa fungsi-fungsi yang dapat digarap oleh sekolah dalam
pelaksanan manajemen berbasis sekolah meliputi:
1.

Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
Sekolah diberi kewenangan untuk memilih strategi, metode dan teknik-

teknik pembelajaran dan pengajaran yang efektif, sesuai dengan karakteristik
siswa, guru dan kondisi nyata sumber daya di sekolah.
2.

Perencanaan dan Evaluasi
Sekolah diberi wewenang melakukan perencanaan sesuai dengan

kebutuhannya dan juga evaluasi internal tentang evaluasi program yang telah
dilaksanakan.

3.

Pengelolaan Kurikulum
Sekolah

memperdalam,

dapat

mengembangkan

memperkaya

dan

kurikulum

memodifikasi,

mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional.
4.

Pengelolaan Ketenagaan

33

dalam

tetapi

tidak

bentuk
boleh

Pengelolaan ketenagaan ini mulai dari perencanaan,

rekruitmen

hubungan kerja sampai evaluasi kerja kecuali yang menyangkut
pengupahan dan rekruitmen guru pegawai negeri.
5.

Pengelolaan Fasilitas
Sekolah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, dan

kesesuaian sehingga pengelolaan sekolah dilakukan oleh sekolah sendiri.
6.

Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan dilakukan oleh sekolah, hal ini didasari

kenyataan bahwa sekolah harus diberi kebebasan pengalokasian uang.
7.

Pelayanan Siswa
Pelayanan itu mulai dari penerimaan siswa baru, pembinaan, penempatan

untuk melanjutkan sekolah sampai pengurusan alumni.
8.

Hubungan Sekolah dan Masyarakat
Bentuknya

merupakan peningkatan keterlibatan,

kepedulian dan

dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial.
9.

Pengelolaan Iklim Sekolah
Lingkungan sekolah yang kondusif akan memberikan kenyamanan belajar

siswa dan sekolah yang mengetahui kondisi tersebut..
2.2.

Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang penerapan MBS antara lain dilakukan oleh Bank Dunia di

beberapa negara (dalam Nurkolis, 2003:251-256). Dalam penelitian Bank Dunia
itu, diperoleh kesimpulan antara lain (1) hasil studi di India, Papua Nugini, dan
Chicago

menunjukkan

bahwa

MBS

34

dengan

partisipasi

masyarakatnya

meningkatkan kehadiran siswa, dan (2) studi di Nikaragua menunjukkan bahwa
telah

terjadi

peningkatan

motivasi

guru

karena

keterlibatannya

dalam

pengambilan keputusan di MBS. Selain itu, kehadiran guru dan siswa secara
reguler meningkatkan perubahan positif terhadap pengalaman belajar para siswa.
Menurut Fullan dan Watson seperti dikutip Nurkolis (2003:256), terdapat
bukti yang nyata bahwa keterlibatan orang tua dan masyarakat berpengaruh
terhadap pembelajaran siswa, namun pada sekolah-sekolah yang belum maju
pengaruhnya masih terbatas.
Penelitian yang dilakukan oleh Subakir dan Sapari (dalam Nurkolis,
2003:248-249) mengenai pelaksanaan MBS di Jawa Timur. Temuan penelitian ini
ialah secara umum pelaksanaan uji coba MBS di Jawa Timur berhasil dan sesuai
dengan petunjuk yang telah ditetapkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Tamsir (2010) tentang Implementasi
Manajemen Berbasis Sekolah di SMK Negeri 2 Wonosari Gunungkidul. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa: (1) sekolah telah melakukan berbagai upaya
dalam rangka menyiapkan input-input yang diperlukan untuk kesiapan
pelaksanaan MBS di sekolah belum optimal, (2) transparansi manajemen telah
dilaksanakan dengan baik di bidang program dan kebijakan maupun di bidang
keuangan, namun secara teknis masih perlu disempurnakan. Sementara pada
aspek pertanggungjawaban ketercapaian program dan pengelolaan keuangan,
dalam rangka akuntabilitas telah dilakukan dengan baik dengan membuat laporan
tertulis kepada komite sekolah, wali murid, dan warga sekolah, (3) kerjasama
antara warga sekolah dan antara warga sekolah dengan masyarakat telah terjalin

35

dengan baik, (4) sekolah memiliki kemandiran yang ditunjukkan dengan
melakukan pengembangan struktur organisasi, mengembangkan uraian tugas
personil, pengembangan kurikulum dan melaksanakan inovasi pembelajaran
dengan memanfaatkan ICT dalam pembelajaran, (5) berkaitan dengan
ketercapaian sasaran sekolah telah berhasil meningkatkan prestasi baik di bidang
akademik maupun non akademik, (6) masih banyak kendala yang dialami antara
lain, sulit melakukan perubahan, kultur kerja keras belum sepenuhnya terbangun,
kualitas sumber daya manusia masih perlu ditingkatkan dan sebagian kurang
peduli terhadap perubahan. Berdasarkan hasil penelitian ini dan implikasinya
maka disarankan kepada sekolah agar melakukan sosialisasi visi, misi, dan
program lebih intensif, peningkatan peran warga sekolah, peningkatan kerjasama
internal dan eksternal.
Penelitian lain dilakukan oleh LPMP Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
tentang Pelaksanaan MPMBS di SMK Propinsi DIY (2005: 31) yang dikutip dari
Mujari (2007). Hasil penelitian ini merekomendasikan: 1) sosialisasi tentang
prestasi