BERSIHKAN BUDAYA UANG KOPI DENGAN PHILOS

BERSIHKAN BUDAYA “UANG KOPI”
DENGAN PHILOSOPY
Ni Nyoman Nila Arieswari

A. PENDAHULUAN
Manusia memang makhluk yang tidak pernah puas. Hal ini dapat kita lihat dari hasilhasil perbuatan yang kita lakukan. Contohnya saja, ketika kita mendapat nilai 80 dalam
ulangan Matematika, maka kita pasti akan berkata , “harusnya dapet 100 nih!!”. Padahal
teman-teman yang lain harus melakukan perbaikan guna memperbaiki nilainya. Contoh lain
yang bisa kita temukan yaitu ketidakpuasan manusia terhadap bentuk rambut yang dimiliki.
Orang yang sudah diberikan rambut panjang, lurus, mereka justru datang ke salon untuk
mengubah bentuk rambutnya menjadi curly1, pendek dan sebagainya. Sebaliknya, orang yang
memiliki rambut curly, pendek, mereka datang ke salon guna mengubah bentuk rambutnya
menjadi lurus dismoothing2 atau direbounding3. Pembahasan ini saya mulai dari pengalaman
saya, pada waktu saya mengantar kakak saya menabung disalah satu bank swasta di daerah
Denpasar. Pada waktu itu, saya sedang duduk diam diruang tunggu dan ada seorang wanita
karir yang sedang menelepon seseorang. Dari pembicaraan tersebut, saya menyimpulkan
bahwa wanita itu sedang menelepon temannya dan ia berkata, “uang kopinya ditambah dong!
masak cuma segini, cuma cukup beli teh nih!!”. Saya sempat bingung saat wanita itu
menyebut “uang kopi”. Saya berpikir, tidak mungkin wanita karir seperti itu membeli kopi dan
teh. Hal tersebut masih menjadi tanda tanya besar bagi saya sampai saya menginjak bangku
sekolah menengah atas.

Pengalaman yang saya alami ini membuat saya bertanya-tanya hingga akhirnya saya
dapat menemukan jawabannya. Namun, masih ada hal lain yang mengganjal dalam pikiran
saya, apa yang menyebabkan wanita karir tersebut meminta uang kopi yang lebih padahal ia
bekerja disuatu perusahaan besar? Uang kopi sendiri sama artinya dengan uang tambahan atau
1 Curly: gaya rambut berombak
2 Smoothing: metode penghalusan rambut
3 Rebounding: metode pelurusan rambut

uang tidak resmi yang diminta oleh aparat pemerintah atau kalangan swasta. Dari pengertian
tersebut, kita dapat mengetahui bahwa “uang kopi” termasuk tindak korupsi. Istilah uang kopi
biasa digunakan oleh para kuli bangunan untuk meminta komisi tambahan kepada mandor
mereka. Bukankah ini berarti, wanita karir tersebut = kuli bangunan? Menurut saya, hal ini
menjadi persis ketika seseorang petinggi menggunakan istilah orang awam guna melakukan
keburukan. Kita semua tahu bahwa orang yang berada diatas itu sangat diagung-agungkan,
tapi bagaimana bila tindakan mereka persis sama dengan orang yang berada dibawah? Apakah
masih layak untuk diagung-agungkan? Berangkat dari pernyataan ini, secara sadar atau tidak
sadar para petinggi mulai melupakan ilmu kebenaran. Ilmu kebenaran ini seharusnya dapat
dijadikan pedoman pengamalan dalam bertindak. Dan budaya “uang kopi” ini mulai menutupi
ilmu kebenaran sehingga para petinggi seakan dibutakan oleh hal tersebut. Berdasarkan uraian
diatas, saya mulai mengambil bahasan bersihkan “uang kopi” dengan philosophy dengan

pertanyaan dasar Bagaimana proses masuknya “uang kopi” ? Mengapa mereka melakukan
tindakan uang kopi tersebut? Bagaimana philosophy dapat membersihkan “uang kopi” ?
B. PEMBAHASAN
1. Dari Abad 14 sampai Masa Reformasi
Sekitar abad 14, seorang sejarahwan dan sosiolog muslim Ibnu Khaldun pernah
menulis tentang korupsi sebagai berikut: “Sebab utama korupsi adalah nafsu untuk hidup
mewah melalui jalan pintas. Korupsi yang dilakukan pada level atas akan menyebabkan
kesulitan-kesulitan ekonomi dan kesulitan ini pada gilirannya akan membangkitkan korupsi
lebih lanjut. Justru karena itu pemberantasan korupsi harus dimulai dari akarnya, yaitu pada
level atas dan penanggulangannya harus pula melibatkan seluruh komponen bangsa”
Masalah korupsi adalah masalah yang dihadapi oleh manusia, bukan masalah yang
dihadapi oleh makhluk lain4. Korupsi pada awalnya hanyalah sebuah budaya suap yang sering
ditujukan untuk mempermudah suatu urusan antar manusia. Belum ada formula atau konsepsi
formal untuk mendefinisikannya. Saat terjadi revolusi Prancis muncul prinsip-prinsip
pemisahan antara kepentingan dan kepemilikan harta pribadi dan kewenangan atas jabatan
yang diembannya, baik ia seorang pejabat negara maupun dalam jajaran pejabat suatu
perusahaan. Sejak saat itu, penyalahgunaan wewenang kekuasaan dan jabatan demi
4 http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/08/11/

kepentingan pribadi dicap sebagai perilaku korupsi. Disamping itu, korupsi juga di maksudkan

sebagai tindakan menyimpang dari tugas-tugas resmi atas jabatan atau kekuasaan yang
ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi berupa status sosial, popularitas, kekayaan,
atau untuk skala perorangan, kerabat maupun untuk kelompoknya sendiri. Secara etimologis,
korupsi (korruptie, Belanda) berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
penyuapan (riswah, Arab), penggelapan, kerakusan, amoralitas dan segala penimpangan dari
jalur kebenaran. KBBI mendefinisikan korupsi sebagai penyelewengan atau penggelapan uang
untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dalam konteks politik, korupsi berperan saat
seseorang

menyelewengkan

kewenangan

atas

jabatan

yang

dimilikinya,


seperti

penyalahgunaan anggaran sosial, pembangunan dan lain sebagainya5.
Tahap perkembangan korupsi yang telah berkembang dalam tubuh negara bisa
ditunjukkan mulai dari terbentuknya negara pasca kolonial (post-colonial state), periode
demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, Orde Baru, hingga setelah berakhirnya rezim
Soeharto. Pertama, kekuasaan negara Republik Indonesia wewenang dan pelaksanaan
kebijakan maupun programnya terselenggara berkat sokongan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Penyimpangan atas pendapatan dan anggaran rutin menjadi sumber
korupsi bagi para pejabat dan pegawainya. Kedua, nasionalisasi perusahaan asing tahun 1957
menjadi sumber keuangan bagi negara. Pengelolaan perusahaan-perusahaan ini telah menjadi
rebutan bagi para pejabat yang mengelola perusahaan tersebut, terutama dari kalangan perwira
Angkatan Darat (AD). Perusahaan negara yang penting pun mereka kuasai. Korupsi besarbesaran terjadi di tubuh Pertamina, Bulog, bank-bank pemerintah, Perhutani serta Telkom dan
PLN. Ketiga, para birokrat baik sipil dan militer telah terlibat kolusi dalam bisnis yang
mengandalkan patron politik (political patron) baik melalui pemberian lisensi, proyek dan
kredit maupun monopoli dan proteksi hingga privatisasi BUMN. Dimulai dari program
ekonomi Benteng, ekonomi Terpimpin, dan ekonomi Orde Baru hingga masa pemulihan
ekonomi saat ini, patronase bisnis (business patronage) tumbuh, berkembang, mencapai
puncaknya dan kini masih terus bertahan. Keempat, berbagai lembaga militer dan kepolisian

mengembangkan jaringan bisnisnya melalui operasi sejumlah yayasan kendati sebagian besar
pesanannya bersumber dari negara. Di samping menjadi mesin uang bagi pemupukan
kekayaan pribadi pada sejumlah perwira, kekayaan yayasan juga digunakan bagi berbagai
5 http://sosbud.kompasiana.com/2011/10/05/akar-budaya-korupsi-di-indonesia-398769.html

operasi militer dengan alasan minimnya anggaran militer. Kelima, perluasan korupsi telah
berkembang melalui praktik pembiaran bagi tumbuhnya orang kaya baru (OKB) dalam tubuh
birokrasi seiring meningkatnya jumlah APBN. Lapisan birokrat dan pegawai menjadi OKB
adalah konsumen penting bagi barang-barang mewah seperti produk otomotif dan elektronik
yang pasarnya dikuasai sejumlah konglomerat agen tunggal pemegang merek (ATPM).
Keenam, dunia peradilan dengan pasti telah mengikuti jejak perilaku birokrat dan para
pegawainya yang korup. Suap-menyuap, jual beli perkara dan pemerasan adalah potret
mengenai julukan prestasinya yang disebut sebagai mafia peradilan yang terus berlangsung
hingga kini. Aparat penegak hukum dan lembaga peradilan semakin kehilangan kepercayaan
masyarakat. Ketujuh, birokrasi tak hanya menghabiskan anggaran rutin dan membocorkan
dana pembangunan, tapi juga mengembangkan dirinya secara komersial dalam melayani
kebutuhan administrasi warga negara, terlebih lagi administrasi yang dibutuhkan para pelaku
ekonomi setelah tumbuhnya sektor industri manufaktur ringan. Perkembangan ini disebut
sebagai tahapan birokrasi pungutan (collect money bureaucracy). Kedelapan, berbagai
kelompok yang tumbuh dan menikmati sistem yang korup menemukan jalan untuk

mengembangkan dirinya ke dalam kegiatan bisnis ilegal seperti penebangan hutan secara liar,
pencurian kayu, penambangan pasir laut, perdagangan senjata api dan narkoba, serta proteksi
atas sejumlah pengelolaan bisnis hiburan dan perjudian. Kesembilan, setelah berkurangnya
pendapatan negara dari sektor migas sejak dasawarsa 1980-an dan hak pengusahaan hutan
(HPH) dikuasai segelintir orang serta kesenjangan pusat dan daerah telah menimbulkan
pergolakan daerah dan terorisme. Selain masalah Timor Timur, juga terjadi pergolakan
bersenjata (armed conflict) di Aceh dan Papua. Belakangan dilengkapi dengan konflik
komunal di Sambas, Sampit, Poso dan Maluku. Berbagai aksi teror bom juga telah
meningkatkan peredaran dan perdagangan bahan peledak dan senjata api. Kesepuluh,
pemilihan umum (pemilu) 1999 telah menjadi ajang berebut kursi kekuasaan politik. Partaipartai politik yang bertahan dan mampu meraih hasil secara formal sebagai kekuatan yang
besar dengan merebut kursi DPR dan DPRD telah menikmati hasil tersebut berkat sokongan
dana yang populer disebut politik uang (money politics) dengan membagi-bagikannya kepada
calon pemilih. Kesebelas, selain tumbuh sebagai bagian dari patronase politik dalam kegiatan
bisnis, para politisi (birokrat) di parlemen (DPR) - dengan menguatnya kedudukan mereka telah pula timbul dugaan diantara mereka dalam menikmati permainan politik dagang sapi

baik dalam menghadapi lawan dan membentuk koalisi maupun menyeleksi calon pejabat
tertentu, hakim agung dan anggota lembaga lainnya yang diajukan kepada parlemen. Selain
itu, politik ini juga berguna untuk melindungi orang-orang yang diduga terlibat korupsi dengan
mengorbankan satu-dua orang yang terlibat atau lawan politiknya. Keduabelas, sejak paruh
1997, ekonomi Indonesia dilanda krisis, sehingga terjadi peningkatan angka pengangguran dan

kemiskinan melalui penyaluran dana sosial. Program pemerintah dijalankan berupa
menyalurkan dana jaring pengaman sosial (JPS) serta dana kompensasi BBM. Seiring dengan
timbulnya pengungsi akibat konflik di berbagai daerah, pemerintah pun terpaksa menyediakan
bantuan bagi para pengungsi. Pengelolaan dana sosial ini juga telah membuka dugaan
terjadinya penyimpangan. Ketiga belas, reformasi tak hanya membuka jalan bagi terbentuknya
pemerintahan sipil dan lapisan politisi sipil, tapi juga timbulnya peluang bagi pengelolaan
otonomi daerah yang lebih besar. Selain ditunjukkan oleh peningkatan jumlah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam
(SDA) seperti Aceh, Riau, Papua dan Kaltim juga telah menjadi incaran bagi praktik
penyimpangan dalam pengeloaan anggaran dan SDA tersebut. Dengan deskripsi singkat
mengenai perkembangan korupsi di Indonesia, kiranya jelas bahwa berakhirnya rezim
Soeharto dan timbulnya reformasi ternyata telah memperluas peluang praktik dan kebiasaan
korupsi6.
Indeks korupsi Indonesia mengalami peningkatan dari 2,6% pada tahun 2008 menjadi
2,8% pada tahun 2009. Pada Maret 2010, berdasarkan hasil data survey dari “Political and
Economic Risk Consultancy” (PERC), Hongkong dan Transfarency Internasional, Jerman
menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara terkorup dari 16 negara yang ada di Asia
Pasifik. Selain itu, sebuah laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003:42) mengungkapkan bahwa
Indonesia memiliki reputasi yang buruk dari segi korupsi dan menjadi salah satu negara
terkorup di dunia7. Bahkan dari laporan Bank Dunia tersebut, menemukan bahwa korupsi di

Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak zaman VOC sebelum tahun 1800 dan
praktik itu berlanjut hingga masa-masa pasca kemerdekaan8.
6 http://www.antikorupsi.org/new/index.php?option=com_content&view=article&id=547:tahap-perkembangankorupsi&catid=42:rokstories&Itemid=106&lang=id

7 Bank Dunia, Memerangi Praktik Korupsi di Indonesia, (Jakarta, Depkeu, 2003). hal. 42.
8 Ibid, hal. 50.

2. Kebutuhan, Kecelakaan hingga Rencana
Seakan-akan sudah menjadi tradisi, korupsi kian merajalela dan sangat sulit untuk
dimusnahkan. Tiap saat selalu saja ada berita yang menyangkut tentang korupsi di Negara ini.
Dari pejabat, Selebritis dan bahkan orang biasa saja. Bingung apabila harus mengkaji
penyebab mengapa orang melakukan korupsi. Bila ekonomi dan kebutuhan hidup menjadi
faktor yang menyebabkan orang melakukan korupsi, ternyata pelaku korupsi sekarang ini
kebanyakan orang-orang punya kekayaan yang melimpah. Contoh saja para anggota DPR
yang terlibat korupsi, para selebritis yang terlibat korupsi, para pejabat Negara yang
melakukan korupsi, kesemuanya itu bukan karena ekonomi mereka lemah. Sehingga untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka, terpaksa mereka melakukan korupsi. Mereka semua itu
memiliki harta yang sangat cukup, sehingga kondisi ekonomi dan kebutuhan hidup tidak bisa
dijadikan alasan orang melakukan korupsi.
2.1 Corruption by Need atau Korupsi karena Kebutuhan.

Korupsi yang dilakukan atas dasar kebutuhan, biasanya dilakukan oleh pegawai
rendahan, uang yang dicuri biasanya tidak terlalu besar, karena dia melakukan semata-mata
terdesak oleh kebutuhan ekonomi, biasanya dalam bentuk pungli, mengubah kuitansi
pembelian atau tindakan lainnya yang pada intinya bukan untuk memperkaya tapi sematamata karena desakan ekonomi. Untuk pencegahan dan pengungkapan kasus seperti
ini biasanya tidak terlalu sulit karena tidak melibatkan sistem dan banyak orang tetapi lebih
sering dilakukan secara individu.
2.2 Corruption by Accident atau Korupsi karena Kecelakaan
Korupsi yang dilakukan biasanya oleh pemegang jabatan demi melindungi kepentingan
atasannya yang lebih tinggi atau dikorbankan oleh pimpinan yang lebih tinggi. Hal ini sering
dijumpai akibat prosedur dan mekanisme yang telah digariskan tidak dijalankan sebagaimana
mestinya, karena pimpinan memanfaatkan kekuasaan dan keengganan atau ketidak beranian
bawahan menolak keinginan pimpinan walaupun itu melanggar standar operasi dalam instansi
tersebut. Pada saat terjadi pemeriksaan oleh auditor, sang pemegang jabatan keuangan harus

mempertanggungjawabkan segala tindakannya berdasarkan peraturan yang ada, sedangkan
pimpinan yang menginstruksikan dirinya untuk melanggar biasanya dilakukan secara lisan
sehingga tidak memiliki kekuatan hukum, pada akhirnya sang pemegang jabatan keuangan
harus mempertanggungjawabkan kekeliruannya sendiri, padahal dirinya hanya menikmati
sebagian kecil uang hasil penyalahgunaan jabatan tersebut.
2.3 Corruption by Design atau Korupsi karena Rencana

Korupsi yang direncanakan dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang memegang
jabatan dan kekuasaan cukup tinggi serta memiliki kewenangan dalam mengambil kebijakan,
sehingga mampu merencanakan secara terintegrasi termasuk menyuap orang yang akan
menghalangi atau menghambat kegiatan pencurian ini. Korupsi jenis ini sangat sulit dibongkar
karena melibatkan orang dan dana yang cukup besar, dan seluruh kegiatan pencurian uang
negara ini sudah direncanakan jauh sebelum proyek itu dilaksanakan, siapa yang
melaksanakan dan bagaimana melaksanakan serta bagaimana menutupi persoalan ini jika
muncul gugatan atau pemeriksaan dari pihak yang berwenang9.

3. Philosophy sebagai Fundamen Pembersih Uang Kopi
Tindakan korupsi yang seyogyanya harus diberantas memerlukan konsep dasar dan
kebenaran sebagai acuannya. Konsep dasar serta kebenaran tersebut terkandung dalam ilmu
filsafat. Filsafat seharusnya dapat dijadikan pedoman resmi guna memberantas tindakan
korupsi karena filsafat bersifat rasional serta berjalan pada kebenaran. Selain mengamalkan
nilai-nilai rasional, pelaku korupsi juga harus memahami bahwa kehidupan yang menjaga
keseimbangan moralitas dan agama sangatlah penting. Moralitas dunia juga harus diiringi
dengan pemahaman dalam menjalani kehidupan ini dengan baik. Selalu melakukan hal-hal
yang terbaik dan positif sehingga membuat manusia mampu melunturkan titik hitam yang ada
dalam hatinya. Pada pencapaian ini seorang manusia akan terkontrol untuk selalu bertindak
baik, selalu berbuat yang terbaik untuk kepentingan umat dan negara serta lingkungannya.

9 http://onniesandi.blogspot.com/2012/06/jenis-dan-penyebab-korupsi-oleh-h-onnie.html#.USCtKmcqKDc

Bertindak sesuai dengan hati nurani juga sangatlah penting untuk menghindari diri dari hal-hal
yang mengarah keperilaku korupsi.
Masyarakat pun mempunyai peranan dalam pemberantasan kasus korupsi. Korupsi
yang terjadi di Indonesia merupakan kesalahan kolektif dari masyarakat yang memandang
koruptor orang yang hebat dan memberikan penghargaan yang tinggi kepada pelaku. Dalam
memberantas korupsi tentu saja masyarakat harus memberikan stigma yang negatif kepada
pelaku korupsi, bukan sebaliknya. Standar penilaian masyarakat kepada manusia yang
dianggap sukses bukanlah berdasarkan unsur materi semata, tetapi acuan moralitas yang telah
dijalani oleh manusia tersebut juga harus menjadi dasar kesuksesan. Sejalan dengan pemikiran
Immanuel Kant dalam foundation of metaphysic of moral menyatakan bertindaklah sesuai
kaidah dimana engkau dapat menjalaninya secara universal. Masyarakat harus mengontrol
perilakui ndividu yang tidak berbuat sesuai kaidah yang berlaku. Kaidah yang berlaku adalah
kaidah-kaidah yang mengarah kepada kebenaran yang hakiki. Masyarakat juga harus
menyadari bahwa dampak korupsi juga akan menyengsarakan mereka, yang akan berdampak
pada penurunan kualitas hidup masyarakat.
Pemerintah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam pemberantasan kasus korupsi.
Pemahaman korupsi bagi semua elemen bangsa sangatlah penting. Komitmen pemerintah
dalam pemberantasan korupsi haruslah diawali dengan pemahaman korupsi yang sama
sehingga tidak terjadi multitafsir dari tindakan warga yang melakukan tindakan korupsi.
Pemerintah harus memperjelas epistemologi10 penentuan suatu perbuatan sebagai perbuatan
korupsi. Penafsiran yang berbeda, akan menyebabkan pelaku yang tidak melakukan tindakan
korupsi dapat dituduh dan dijerat hukum melakukan tindakan korupsi. Sebaliknya, pelaku
yang melakukan tindakan korupsi dapat dibebaskan dari jerat hukum oleh pengadilan. Aparat
pemerintah sudah seharusnya tidak terlibat dalam praktik korupsi terutama aparat terkait.
Banyak kasus-kasus korupsi sulit diungkapkan karena tiga hal. Pertama, penyidik memiliki
hubungan dengan pelaku. Kedua, pelaku memiliki hubungan khusus dengan atasan penyidik
baik dari atasan langsung ataupun bukan atasan langsung dan ketiga, pelaku berasal dari partai

10 Epistemologi: cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan

yang sama dengan pemerintah atau penyidik berasal dari simpatisan partai yang sama dengan
pelaku.
Berdasarkan uraian diatas, sudah menjadi tanggung jawab semua orang dalam
memberantas tindakan korupsi. Mulai dari pimpinan negara hingga aparat penegak hukum
semestinya dapat membedakan tindakan korupsi atas dasar filsafat sebagai acuan rasional.
Sehingga ketika terjadi kasus korupsi, sudah seharusnya pemimpin mengembalikannya kepada
dasar filsafat. Sehingga kebenaran pun akan terkuak.

4. Philosophy sebagai Pendeteksi Kebenaran
Cara menemukan kebenaran terkait dengan sebuah pilihan hidup. Dalam setiap
berpikir filsafat, tentu berhadapan dengan sebuah kebenaran. Kebenaran merupakan tema
sentral dalam filsafat ilmu. Problematik mengenai kebenaran, seperti halnya problematik
tentang pengetahuan, merupakan masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan
berkembangnya dalam filsafat ilmu.
Kebenaran tidak datang dengan sendirinya, melainkan perlu dicari dengan cara yang
tepat. Kebenaran bersembunyi dibalik fakta, fenomena, realita dan data. Cara menemukan
kebenaran berbeda-beda, kebenaran dapat dilihat secara ilmiah dan non ilmiah. Menurut
Kasmadi11 adalah sebagai berikut: (1) Penemuan secara kebetulan, adalah penemuan yang
berlangsung secara tidak sengaja, (2) Penemuan coba dan ralat (trial and error), (3) Penemuan
melalui otoritas atau kewibawaan, (4) Penemuan secara spekulatif12, (5) Penemuan kebenaran
melalui cara berpikir, kritis dan rasional, (6) Penemuan kebenaran melalui penelitian ilmiah.
Dari enam cara menemukan kebenaran itu, dapat disimpulkan bahwa kebenaran sebenaranya
sangat beragam. Yang terpenting, cara menemukan kebenaran itu konsisten dan dapat
dipertanggungjawabkan. Hal inilah yang harus menjadi dasar pemerintah dalam menemukan

11 http://www.authorstream.com/Presentation/ndaru
12 Spekulatif: memikirkan dalam-dalam secara teori

kebenaran pada kasus korupsi. Berdasar atas filsafat dalam menemukan kebenaran, niscaya
suatu negara akan menjadi negara antikorupsi13.

C. KESIMPULAN
Sudah kita ketahui bahwa korupsi adalah tindakan penyelewengan atau penggelapan
untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tahap perkembangan korupsi yang telah
berkembang dalam tubuh negara bisa ditunjukkan mulai dari terbentuknya negara pasca
kolonial (post-colonial state), periode demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, Orde
Baru, hingga setelah berakhirnya rezim Soeharto. Seakan-akan sudah menjadi tradisi, korupsi
kian merajalela dan sangat sulit untuk dimusnahkan. Tiap saat selalu saja ada berita yang
menyangkut tentang korupsi di Negara ini. Dari pejabat, selebritis dan bahkan orang biasa
saja. Bingung apabila harus mengkaji penyebab mengapa orang melakukan korupsi. Bila
ekonomi dan kebutuhan hidup menjadi faktor yang menyebabkan orang melakukan korupsi,
ternyata pelaku korupsi sekarang ini kebanyakan orang-orang punya kekayaan yang
melimpah. Mulai dari faktor kebutuhan hingga rencana menjadi alasan tindakan korupsi.
Maka dari itu, pengamalan ilmu kebenaran (filsafat) dinilai penting dalam proses
pemberantasan korupsi. Sehingga seluruh komponen makhluk hidup di dunia ini dapat
menjalani hidupnya secara teratur, makmur dan sejahtera. Pemberantasan korupsi tidak hanya
mengandalkan peran pemerintah, namun peran keluarga dan masyarakat juga sangat penting.
Selain itu, penanganan kasus korupsi harus dapat menemukan kebenaran yang konsisten dan
dapat

dipertanggungjawabkan.

Bagaimanapun

penyelesaian

komprehensif14 dan membutuhkan waktu yang cukup lama.

13 Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta, Caps, 2012). hal. 208, 209.
14 Komprehensif: sifat mampu menangkap dengan baik

korupsi

harus

lebih

DAFTAR PUSTAKA

Dunia, Bank, 2003, Memerangi Praktik Korupsi di Indonesia, Cetakan ke-X, Depkeu, Jakarta.

Endraswara, Suwardi, 2012, Filsafat Ilmu, Cetakan ke-I, Caps, Yogyakarta.

Hamdani,

Yuris,

“Akar

Budaya

Korupsi

di

Indonesia”,

dalam

http://sosbud.kompasiana.com/2011/10/05/akar-budaya-korupsi-di-indonesia398769.html, diakses pada tanggal 17 Februari 2013.

ICW, “Tahap Perkembangan Korupsi”, dalam http://www.antikorupsi.org/new/index.php?
option=com_content&view=article&id=547:tahap-perkembangankorupsi&catid=42:rokstories&Itemid=106&lang=id, diakses pada tanggal 16 Februari
2013.

Kasmadi,

Hartono,

“Medan

Filsafat

Ilmu”,

dalam

http://www.authorstream.com/Presentation/ndaru, diakses pada tanggal 11 Februari
2013.

Sandi,

Oonie,

“Jenis

dan

Penyebab

Korupsi”,

http://onniesandi.blogspot.com/2012/06/jenis-dan-penyebab-korupsi-oleh-honnie.html#.USCtKmcqKDc, diakses pada tanggal 17 Februari 2013.

dalam

Zoelva, Hamdan, “Fenomena Korupsi di Indonesia dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu”, dalam
http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/08/11/, diakses pada tanggal 5 Februari 2013.