Penetapan Kadar Ampicillin dalam Kaplet

PENETAPAN KADAR AMPISILLIN
DALAM SEDIAAN KAPLET

I.
TUJUAN
Menetapkan kadar ampisillin dalam sediaan kaplet dengan metode Iodometri.
II.

PENDAHULUAN
Antibiotik merupakan senyawa kimia khas yang dihasilkan oleh organisme hidup,

termasuk turunan senyawa dan struktur analognya yang dibuat secara sintetik, dan dalam
kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih
mikroorganisme. Antibiotik dapat dikelompokkan berdasarkan spectrum aktivitas, tempat
kerja, dan struktur kimianya (Siswandono, 2000).
Klasifikasi antibiotika dan kemoterapetika yang sering dianjurkan dan digunakan
adalah berdasarkan bagaimana kerja antibiotika tersebut terhadap kuman, yakni antibiotika
yang bersifat primer bakteriostatik dan antibiotika yang bersifat primer bakterisid. Yang
termasuk bakteriostatik di sini misalnya sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin,
trimetropim, linkomisin, klindamisin, asam paraaminosalisilat, dan lain-lain. Obat-obat
bakteriostatik bekerja dengan mencegah pertumbuhan kuman, tidak membunuhnya,

sehingga pembasmian kuman sangat tergantung pada daya tahan tubuh. Sedangkan
antibiotika yang bakterisid, yang secara aktif membasmi kuman meliputi misalnya penisilin,
sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar), kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid dan lain-lain.
Pembagian lain juga sering dikemukakan berdasarkan makanisme atau tempat kerja
antibiotika tersebut pada kuman, yakni :
1. Antibiotika yang bekerja menghambat sintesis dinding sel kuman, termasuk di sini
2.

adalah basitrasin, sefalosporin, sikloserin, penisilin, ristosetin dan lain-lain.
Antibiotika yang merubah permeabilitas membran sel atau mekanisme transport aktif sel.

3.

Yang termasuk di sini adalah amfoterisin, kolistin, imidazol, nistatin dan polimiksin.
Antibiotika yang bekerja dengan menghambat sintesis protein, yakni kloramfenikol,
eritromisin (makrolida), linkomisin, tetrasiklin dan aminogliosida.

4.

Antibiotika yang bekerja melalui penghambatan sintesis asam nukleat, yakni asam

nalidiksat, novobiosin, pirimetamin, rifampisin, sulfanomida dan trimetoprim.
Salah satu golongan antibiotik yang sering digunakan adalah golongan penisilin.

Golongan penisilin bersifat bakterisid dan bekerja dengan mengganggu sintesis dinding sel.
Antibiotika pinisilin mempunyai ciri khas secara kimiawi adanya nukleus asam aminopenisilinat, yang terdiri dari cincin tiazolidin dan cincin betalaktam. Spektrum kuman
terutama untuk kuman koki Gram positif. Beberapa golongan penisilin ini juga aktif terhadap

kuman Gram negatif. Golongan penisilin masih dapat terbagi menjadi beberapa kelompok,
yakni:


Penisilin yang rusak oleh enzim penisilinase, tetapi spektrum anti kuman terhadap Gram
positif paling kuat. Termasuk di sini adalah Penisilin G (benzil penisilin) dan derivatnya
yakni penisilin prokain dan penisilin benzatin, dan penisilin V (fenoksimetil penisilin).
Penisilin G dan penisilin prokain rusak oleh asam lambung sehingga tidak bisa diberikan
secara oral, sedangkan penisilin V dapat diberikan secara oral. Spektrum antimikroba di
mana penisilin golongan ini masih merupakan pilihan utama meliputi infeksi-infeksi
streptokokus beta hemolitikus grup A, pneumokokus, meningokokus, gonokokus,
Streptococcus


viridans,

Staphyloccocus, pyoneges

(yang

tidak

memproduksi

penisilinase), Bacillus anthracis, Clostridia, Corynebacterium diphteriae, Treponema
pallidum, Leptospirae dan Actinomycetes sp.


Penisilin yang tidak rusak oleh enzime penisilinase, termasuk di sini adalah kloksasilin,
flukloksasilin, dikloksasilin, oksasilin, nafsilin dan metisilin, sehingga hanya digunakan
untuk kuman-kuman yang memproduksi enzim penisilinase.




Penisilin dengan spektrum luas terhadap kuman Gram positif dan Gram negatif, tetapi
rusak oleh enzim penisilinase. Termasuk di sini adalah ampisilin dan amoksisilin.
Kombinasi obat ini dengan bahan-bahan penghambat enzim penisiline, seperti asam
klavulanat atau sulbaktam, dapat memperluas spektrum terhadap kuman-kuman
penghasil enzim penisilinase.



Penisilin antipseudomonas (antipseudomonal penisilin). Penisilin ini termasuk
karbenisilin, tikarsilin, meklosilin dan piperasilin diindikasikan khusus untuk kumankuman Pseudomonas aeruginosa.
Turunan penisilin merupakan pilihan pertama untuk infeksi bakteri yang peka terhadap

penisilin karena efek toksiknya terhadap organ tubuh relatif kecil bila dibandingkan dengan
antibiotik lain. Turunan penisilin yang banyak digunakan dalam klinik salah satunya adalah
ampisillin.
Ampisilin merupakan antibiotik dengan spektrum luas, merupakan turunan penisilin
yang tahan asam termasuk tahan asam lambung tetapi tidak tahan terhadap enzim
penisilinase. Absorbsi obat dalam saluran cerna kurang baik (± 30-40%), obat terikat oleh
protein plasma ± 20%, kadar darah maksimalnya dicapai dalam 2 jam setelah pemberian oral.
Ampisilin memiliki gugus phenoxyl yang terikat oleh gugus alkyl dari rantai alkylnya.

Kemampuan membunuh bakteri ialah karena penicillin ini menghambat perkembangan
dinding sel kuman dengan jalan menjadikan in aktif, dengan demikian tidak memungkinkan
terhubungnya kedua lapisan linier serabut peptidoglycan yang terdapat di kedua lapis dinding
sel sebelah dalam. Ampisilin tidak aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa yang merupakan
salah satu bakteri Gram negatif yang sulit dibasmi. Bakteri ini mempunyai kecenderungan
resisten terhadap antibiotik, termasuk terhadap golongan β-laktam (Brooks, 2004).

Semua
bangun

penisilin mempunyai rumus

O
HS

dasar
R

N
H


CH3 sebagai

berikut:

A

B
N

CH3

O

Penisilin

COOH'

mengandung cincin tazolidina


(A) dan cincin beta laktam (B). H’ dapat diganti dengan kation anorganik atau organic
membentuk suatu garam. Penggantian gugus R mempengaruhi terhadap kelarutannya dalam
pelarut organik, stabilitas terhadap asam dan resistensi terhadap penisilinase.
Salah satu metode penetapan Ampicilin secara kimia adalah metode iodometri.
Iodometri merupakan titrasi tidak langsung dan digunakan untuk menetapkan senyawasenyawa yang mempunyai potensial oksidasi lebih besar dari sistem iodium-iodida atau
senyawa-senyawa yang bersifat oksidator seperti CuSO4.5H2O. Pada iodometri, sampel
bersifat oksidator direduksi dengan kalium iodida berlebih dan akan menghasilkan iodium
yang selanjutnya dititrasi dengan larutan baku tiosulfat. Banyaknya volume tiosulfat yang
digunakan sebagai titran setara dengan iod yang dihasilkan dan setara dengan banyaknya
sampel.
Cincin β-laktam pada Ampicilin akan dipecah oleh alkali atau β-laktamase. Senyawa
yang terbentuk dapat ditetapkan kadarnya karena dapat mengikat iodium sedangkan
Ampicilin tidak dapat mengikat iodium. Metode ini merupakan metode titrasi tidak langsung
di mana kelebihan iodium akan dititrasi dengan baku natrium tiosulfat. Metode iodometri
agak spesifik, karena senyawa bukan penisilina yang ada tidak ikut tertetapkan dengan cara
melakukan blanko. Juga metode ini cukup peka karena jumlah iod yang bereaksi cukup besar.
Dengan mempelajari sifat kimia dan rumus bangun dari suatu antibiotik maka dapat
disusun penetapan secara kimiawi yang lebih baik. Metode yang paling baik adalah metode
yang dapat menetapkan suatu senyawa secara kuantitatif tanpa diganggu oleh hasil
peruraiannya atau senyawa lain yang mempunyai sifat kimia yang serupa.

III.

ALAT DAN BAHAN

Alat :
1. Buret
2. Labu takar 10 ml, 25 ml, 100 ml,
500 ml
3. Statis
4. Sendok
5. Labu bersumbat
6. Gelas Beker
7. Neraca analitik
8. Pipet tetes
9. Pipet volume
10. Pro pipet
IV.

CARA KERJA


Bahan :
1. Sampel sirup kering ampisilin
2. Aquades
3. NaOH
4. HCl pekat
5. Natrium tiosulfat
6. Asam asetat 12%
7. Na asetat 27%
8. Yodium
9. Indikator kanji
10. KI
11. Kalium bromat

Metode penetapan kadar secara iodometri
a. Sampel
± 50 mg sampel ditimbang seksama, dimasukkan labu takar
Ditambah aquades sampai 100 ml
Diambil 5 ml larutan, dimasukkan labu bersumbat
Ditambah 1 ml NaOH 1 N, dibiarkan selama 20 menit
Ditambah 5 ml larutan dapar pH 4,5 yang terdiri dari :

5 ml asam asetat 12%
5 ml Na asetat 27%
15 ml aquades
Ditambah 1 ml HCl 1 N dan 10 ml Yodium 0,01 N
Dibiarkan 20 menit terlindung dari cahaya
Dititrasi dengan baku Na2S2O3 0,01N dengan 1 ml indikator kanji 0,5%
b. Blanko
5,0 ml larutan sampel dimasukkan labu bersumbat kaca
Ditambah 5 ml dapar pH 4,5
Ditambah 10,0 ml yodium 0,01 N
Dibiarkan 20 menit terlindung dari cahaya
Dititrasi dengan baku Na2S2O3 0,01 N dengan 1 ml indikator kanji 5%
c. Analisis
Selisih volume larutan baku tiosulfat blanko dengan volume tiosulfat awal setara
dengan jumlah iodium yang bereaksi dengan ampisilin.
Tiap ml Na2S2O3 0,01 N setara dengan 3,714 mg ampisilin.
d. Pembakuan N Na 2 S 2 O3
Dimasukkan 25 ml kalium bromat 0,1 N ke dalam labu bersumbat kaca
Diencerkan dengan 50 ml aquadest
Ditambah 5 ml HCl pekat

Ditambah 2 gram KI
Ditutup selama 5 menit di tempat gelap
Dititrasi dengan

N Na 2 S 2 O3

sampai warna kuning pucat

Ditambah 3 ml indikator amilum
Dititrasi kembali hingga warna biru tepat hilang

V.

DATA DAN PERHITUNGAN

 Kesetaraan
V Na2S2O3 . N Na2S2O3 = mgrek Na-Ampisilin : BE Na-ampisilin
1 ml . 0,01 N = mgrek Na-ampsilin : (BM Na-ampisilin : valensi)
mgrek Na-ampisilin = 1 . 0,01 . (374,1 : 1)
mgrek Na-ampisilin = 3,741 mg
 Pembuatan larutan baku Na2S2O3
1. KBrO3 0,1 N
Ditimbang 0,2784 gram KBrO3 ad 25 ml
2. Na2S2O3 0,1 N
Ditimbang 12,4095 gram Na2S2O3. 5 H2O ad 500 ml aquades
3. Volume titrasi KBrO3:


32,5 ml



26,5 ml



26 ml



Rata-rata volume titrasi = 28,333 ml

4. V KBrO3 . N KBrO3 = V Na2S2O3 . N Na2S2O3
25 ml . 0,1 N = 28,33 ml . N Na2S2O3
N Na2S2O3
= 0,08 N
 Pembuatan Dapar Asetat


Asam asetat 12 % = 12 gram/100 ml H2O



Na-asetat 27 % = 27 gram/100 ml H2O



Volume aquadest = 15 ml

 Pembuatan HCl 1 N dari HCl 37% (BJ HCl= 1,190 kg/L)


HCl 37%

=

37 gram
.
100 ml

1,190 kg
L

=

37 gram 1,19 ×10 gram
×
3
100 ml
10 ml

=

44,03 gram
100 ml

3

44,03 gram
g
=440,3
0,1 L
L
Molaritas HCl
BM HCl = 36,5
37 =







440,3
n 36,5
mol
M= =
=12,06
V
1L
L
Normalitas HCl
Valensi = 1 oleh karena itu M = N
HCl 37%
12,06 N
Perhitungan volume HCl yang diperlukan

V HCl 37% . N HCl 37% = V HCl . N HCl
V HCl 37% . 12,06 N = 100 ml . 1 N
V HCl 37%

= 8,3 ml

Untuk membuat 25 ml HCL 1 N, dibutuhkan 2,073 ml HCl pekat ad 25 ml
aquades

 Pembuatan NaOH 0,1 N
10 gram
250 ml
1 gram
0,1 N =
25ml
Untuk membuat 25 ml NaOH 0,1 N, dibutuhkan 1 g NaOH ad 25 ml aquadest
1N=

 Pembuatan larutan I2 0,1 N
N =

gram 1000
.
BM 100

0,1 =

gram 1000
.
127 100

Bobot I2

= 1,27 gram

Bobot KI = 2 gram
 Pembuatan indikator kanji 0,5 %
0,5 % = 0,5gram/100 ml H2O
Kertas + sampel
Kertas + sisa
Bobot amylum

= 0,7508 gram
= 0,2483 gram –
= 0,5025 gram

Volume aquadest = 100 ml
 Keseragaman bobot
1.
2.
3.
4.
5.

661,2 mg
654,7 mg
656,2 mg
648,4 mg
626,9 mg

6. 652,3 mg
7. 651,4 mg
8. 625,3 mg
9. 653,1 mg
10. 637,7 mg



Rata-rata= 646,720




mg
SD = 12,440
CV = 1,923 %

 Penimbangan sampel
1. Sampel I
Bobot kertas

= 0,5800g

Bobot sampel

= 0,1280 g +

Bobot kertas+sampel

= 0,7080 g

Bobot kertas+sisa

= 0,5839 g -

Bobot sampel analisis

= 0,1241 g
= 124,1 mg

2. Sampel II
Bobot kertas

= 0,5770 g

Bobot sampel

= 0,1265 g +

Bobot kertas+sampel

= 0,7035 g

Bobot kertas+sisa

= 0,5878 g -

Bobot sampel analisis

= 0,1157 g
= 115,7 mg

3. Sampel III
Bobot kertas

= 0,5787g

Bobot sampel

= 0,1250 g +

Bobot kertas+sampel

= 0,7037 g

Bobot kertas+sisa

= 0,5798 g -

Bobot sampel analisis

= 0,1239 g
= 123,9 mg

 Analisis sampel
1. Data sampel
Obat generik
Organoleptis
Warna
Bau
Penampakan
Rasa

: sirup kering ampisilin 125 mg/5 ml
: putih
: seperti perasa strawberry
: serbuk kering
: manis agak pahit

 Volume titrasi




Blanko 1 = 9,5 ml
Blanko 2 = 9,6 ml
Blanko 3 = 9,6 ml

 Perhitungan kadar





Sampel 1 = 8,4 ml
Sampel 2 = 8,6 ml
Sampel 3 = 8,5 ml

Kadar =

( Volume Na 2 S 2 O3 blanko−Volume Na 2 S 2 O3 sampel ) . N Na 2 S 2 O3 . BE
. bobot rata−rata tablet
mg sampel

1. Kadar I

( 9,5 ml−8,4 ml ) . 0,08 .371,4
. 646,720 mg
124,1mg

=

= 170,321 mg

2. Kadar II

( 9,6 ml−8,6 ml ) . 0,08 .371,4
. 646,720 mg
115,7 mg

=

= 166,079 mg

( 9,6 ml−8,5 ml ) . 0,08. 371,4
. 646,720mg
123,9mg

3. Kadar III =

= 170,596 mg


Rata-rata kadar



SD





= 168,999 mg

= 2,532

SE=

SD
√N

CV

=

2,532
√3

= 1,462

= 0,015 %

¿=±t . SE

= ± 4,3 .1,462
= ± 6,287


Rentang kadar
Rata-rata – LE ≤ x ≤ rata-rata + LE
162,712 mg ≤ x ≤ 175,286 mg

VI. PEMBAHASAN
Praktikum ini bertujuan agar praktikan dapat menetapkan kadar ampisilin dalam
sediaan kaplet ampisilin dengan menggunakan metode iodometri. Hal ini berhubungan
dengan penetapan mutu obat. Salah satu parameter mutu obat adalah kadar atau konsentrasi
obat, yang mempengaruhi khasiat atau efek obat. Dalam praktikum ini, akan dianalisis
apakah sampel obat ampisilin masih bermutu, dalam hal kadarnya masih berada dalam
batasan yang diperbolehkan oleh United State Pharmacopeia (2005), yaitu tidak kurang dari
90% dan tidak lebih dari 120%, dihitung dari kadar yang tercantum dalam label claim
sediaan. Pada percobaan ini, kadar ampisilin pada sediaan kaplet yang tercantum dalam label
claim adalah 500 mg.

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah sediaan yang diuji (kaplet ampisilin)
masih layak dipakai dalam artian apakah sediaan tersebut masih memenuhi syarat-syarat
sediaan yang baik sehingga mampu memberikan aktifitas yang sama seperti saat sediaan
tersebut dibuat (sesuai dengan yang tertera pada etiket). Namun demikian dalam percobaan
kali ini tidak semua uji fisika-kimia dapat dilakukan karena keterbatasan alat dan waktu
praktikum, sehingga uji yang dilakukan lebih mengarah pada uji kuantitatif dari sediaan.
Sediaan kaplet merupakan salah satu jenis sediaan farmasi (dosage form) yang
memerlukan berbagai macam uji, meliputi uji kualitas dan kuantitas sebelum dipasarkan.
Ampisilin sebagai antibiotik yang bersifat tahan terhadap asam dan lebih luas spektrum
kerjanya (broad spectrum), efektif terhadap bakteri gram positif, bakteri gram negatif dan
chlamydias. Ampisilin mampu menghambat pertumbuhan mikroba dengan menghambat
biosintesis dinding sel mikroba dengan cara berlaku sebagai substrat palsu dan menghambat
transpeptidase sehingga tidak terjadi pembentukan ikatan silang lisin-alanin (peptidoglikan).
(Pratiwi, 2004)

Berikut pemerian dari sampel ampisilin :

Gambar 1. Struktur Ampicillin

Ampisilin berbentuk anhidrat atau trihidrat. Mengandung tidak kurang dari 900 µg dan tidak
lebih dari 1050 µg per mg C16H19N3O4S, dihitung terhadap zat anhidrat.
Pemerian : Serbuk hablur, putih; praktis tidak berbau.
Kelarutan : Sukar larut dalam air dan dalam metanol; tidak larut dalam benzena, dalam
karbon tetraklorida dan dalam kloroform.
Penetapan kadar :
Prosedur Lakukan seperti yang tertera pada Penetapan Kadar Antiibiotik secara
Iodometri , menggunakan Ampisilin BPFI.
(Anonim, 1995)
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menganalisis kandungan ampisilin dalam
kaplet ampisilin. Beberapa metode yang umum digunakan yaitu metode asidi-alkalimetri,
metode spektrofotometri dan metode iodometri.

1. Metode asidi – alkalimetri
Metode asidi-alkalimetri didasarkan atas reaksi asam-basa, dimana penisilin dirubah
menjadi asam penisilinoat dengan bantuan penisilinase. Setiap molekul penisilin akan
membentuk satu gugus karboksil yang dapat dititrasi dengan baku alkali. Sedangkan metode
spektrofotometri dapat dilakukan karena molekul ampisilin mampu mengabsorpsi sinar UV.
Hal ini disebabkan karena dalam molekul ampisilin terdapat gugus kromofor (ikatan rangkap
terkonjugasi) yang bertanggung jawab terhadap absorpsi sinar UV tersebut.
2. Metode Iodomeri
Merupakan metode titrasi reduksi-oksidasi yang dilakukan untuk zat-zat dengan
potensial oksidasi yang lebih besar dari sistem iodium-iodida. Iodium akan mengoksidasi zatzat tersebut, tetapi iodium sendiri akan mengalami reduksi menjadi iodida. Iodium yang
tersisa dititrasi kembali menggunakan larutan baku Na 2S2O3. Dari sini hanya dapat diketahui
iodium yang tersisa sehingga untuk mengetahui iodium yang bereaksi dengan analit (dalam
hal ini ampisilin) perlu dilakukan titrasi blanko. Oleh karena itu iodometri dinamakan juga
metode titrasi tidak langsung. Cincin ß laktam pada penisilin dipecah oleh alkali atau
penisilinase. Asam penisiloat yang terjadi dapat ditetapkan kadarnya karean asam ini dapat
mengikat iod sedangkan penisilin tidak dapat mengikat iod. Kemudian kelebihan iodium
dititrasi dengan baku Na-tiosulfat.
Pemilihan Metode Analisis :
Metode analisis ampicillin yang dipilih adalah titrasi iodometri, yang menurut sumber
Farmakope Indonesia Edisi IV adalah metode yang paling sesuai. Metode ini merupakan
metode yang sederhana dan mudah. Selain itu bahan-bahan yang dibutuhkan juga murah.
Pemilihan metode iodometri ini mengacu pada literature yaitu Farmakope Indonesia edisi IV.
Metode iodometri ini didasarkan pada reaksi reduksi-oksidasi, yaitu berdasarkan perpindahan
elektron yang terjadi pada reaksinya. Suatu reaksi dikatakan mengalami reaksi oksidasi
apabila memenuhi satu atau lebih kriteria, yaitu :
1. Mengalami kenaikan bilangan oksidasi.
2. Bertambahnya atom oksigen.
3. Berkurangnya jumlah atom hidrogen (dehidrogenasi).
Sedangkan suatu reaksi mengalami reduksi apabila terjadi penurunan bilangan oksidasi,
pengurangan atom oksigen, dan bertambahnya jumlah atom hidrogen.
Senyawa turunan penisilin (termasuk ampisilin) dapat dianalisis secara iodometri
karena turunannya D-penicillamine dapat bereaksi dengan iodium (I2), sedangkan penisilin
tidak dapat mengikat iod. Senyawa D-penicillamine ini terbentuk dari turunan penisilin yang
cincin β-laktamnya telah terbuka dan kemudian bereaksi dengan asam. Reaksinya adalah
sebagai berikut :

Dari reaksi di atas, terdapat tiga tahap yang diperlukan untuk menganalisis turunan penisilin
(termasuk ampicillin) secara iodometri, yaitu :
Tahap 1 : Turunan penisilin diubah menjadi bentuk asam penisiloat (suatu asam
dikarboksilat) dengan cara hidrolisis dalam larutan NaOH. Dalam reaksi
ini, terjadi pembukaan cincin β-laktam.
Tahap 2 :

Asam penisiloat dalam suasana asam akan menjadi D-penisilamin dan
asam benzilpenisilin.

Tahap 3 :

D-penisilamin dioksidasi secara kuantitatif oleh iodin dan menghasilkan
senyawa disulfida. Kemudian kelebihan iodine dititrasi kembali
menggunakan titran berupa larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3).

Berdasarkan reaksi tersebut, diketahui bahwa valensi ampisilin adalah sama dengan
satu. Pada reaksi dapat dilihat bahwa diperlukan dua mol D-penisilamin untuk bereaksi
dengan satu mol iodium (I2), dimana dua mol D-penisilamin ini diperoleh dari dua mol
ampisilin. Satu mol iodium setara dengan 2 elektron sesuai dengan reaksi :
I2 + 2e- → 2ISehingga urutannya menjadi sebagai berikut :
2 mol ampisilin ~ 2 mol asam penisiloat ~ 2 mol D-penisilamin ~ 1 mol I2 ~ 2 elektron
Valensi bisa ditentukan oleh berapa banyak jumlah grat (gram atom) I yang dapat diikat oleh
1 mol senyawa obat, atau berapa banyak jumlah ½ grat (gram atom) O yang diikat atau
dilepaskan oleh 1 mol senyawa obat, atau berapa banyak jumlah elektron yang diikat atau

dilepaskan oleh 1 mol senyawa obat. Dengan demikian, karena 2 mol ampisilin setara dengan
2 elektron, valensinya menjadi :

2
=1 .
2

Keaktifan senyawa turunan ampisilin terletak pada cincin β-laktamnya. Apabila cincin
tersebut masih utuh maka senyawa turunan penisilin berefek biologis. Namun bila cincin ini
rusak maka senyawa turunan penisilin tidak lagi berefek. Perusakan (pembukaan) cincin βlaktam ini dapat terjadi karena reaksi dengan basa atau dengan enzim penisilinase (Sudjadi,
1979).
Metode titrasi iodometri adalah metode yang baik digunakan untuk analisis kuantitatif
senyawa turunan penisilin, bahkan bila dibandingkan dengan metode spektrofotometri. Hal
ini disebabkan karena metode iodometri ini dapat mengukur hanya senyawa turunan penisilin
yang masih aktif (cincin β-laktamnya masih utuh) karena digunakan blangko, yang berupa
senyawa turunan penisilin (sampel yang dianalis) namun tanpa ditambahkan alkali atau
enzim penisilinase. Dengan ini dapat diketahui kadar dari sampel antibiotik turunan penisilin
utuh berapa, sedangkan pada spektrofotometri hal ini tidak dapat dilakukan.
Pada metode spektrofotometri sampel dianalisis berdasarkan keberadaan kromofornya.
Kromofor yang terdeteksi ini (data berupa absorbansi) sebanding dengan kadar dari sampel.
Padahal pada turunan senyawa penisilin, baik yang masih aktif maupun tidak, keduanya
mengandung kromofor yang sama, yaitu gugus R yang terdapat pada rantai samping struktur
turunan penisilin. Sedangkan cincin β-laktam tidak bertindak sebagai kromofor, sehingga
apabila terdapat cincin yang terbuka tidak terdeteksi menggunakan metode spektrofotometri.
Misalkan pada senyawa benzilpenisilin berikut :

basa atau
penisilinase

kromofor

kromofor

Sedangkan metode HPLC dan mikrobiologi dapat mendeteksi kadar senyawa turunan
penisilin utuh seperti halnya iodometri. Hal ini disebabkan karena pada HPLC terjadi
pemisahan antara senyawa utuh dan inaktif tersebut karena kepolaran keduanya berbeda.
Sedangkan pada metode mikrobiologis diuji aktivitas biologis

dari senyawa, sehingga

adanya senyawa yang tidak aktif dapat terdeteksi.
Pada metode ini digunakan metode titrasi iodometri, bukan HPLC yang jauh lebih
sensitif dibandingkan dengan titrasi. Hal ini disebabkan karena metode titrasi selain
sederhana, juga masih termasuk sensitif untuk mendeteksi kadar senyawa sampel ampisilin

yang diujikan. Batas deteksi dari metode titrasi adalah semimikro s.d mili, masih bisa
ditolerir karena kadar dari sampel yang ditetapkan adalah 500 mg (sesuai yang tercantum
dalam label kemasan), lebih besar dari batas deteksi titrasi yang berarti sampel dapat
terdeteksi kadarnya dengan metode titrasi ini. Kadar ampisilin yang terdapat dalam sediaan
adalah ±10% dari label claim (Anonim, 1995).
Kadar sebesar 500 mg ini masih dapat dideteksi menggunakan metode titrasi karena titrasi
dapat mendeteksi kadar hingga semimikro. Sehingga metode titrasi dikatakan metode yang
cukup sensitif untuk ampisilin.
Tidak semua senyawa turunan penisilin dapat dianalisis menggunakan spektrofotometri
UV. Apabila gugus R rantai samping turunan penisilin tidak mengandung gugus auksokrom,
kromofor berupa benzen yang terdapat pada rantai samping R masih belum cukup untuk
dapat dideteksi karena harga

ε (epsilon) yang dihasilkan terlalu kecil. Suatu senyawa dapat

dianalisis menggunakan spektrofotometri apabila memiliki nilai epsilon lebih dari 1000.
Ampisilin adalah salah satu senyawa turunan penisilin yang tidak dapat dianalisis
menggunakan metode spektrofotometri UV karena tidak memiliki auksokrom pada
strukturnya dan memiliki harga epsilon kurang dari 1000. Perhitungan harga epsilonnya
dinyatakan sebagai berikut :

ε=

A x BM
=¿
10

9,2 x 349,40
=¿
10

321,448

Dari perhitungan terbukti bahwa harga epsilon dari ampisilin kurang dari 1000 (hanya
321,448); sehingga ampisilin tidak dapat dianalisis menggunakan metode spektrofotometri.

(Clarke, 2006)
Metode titrasi iodometri merupakan titrasi tidak langsung, yang diterapkan terhadap
senyawa yang mempunyai potensial reduksi lebih tinggi dari iodium. Iodium yang berlebih
dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat (Na2S2O3). Banyaknya volume Na2S2O3 yang

digunakan sebagai titran setara dengan iodium yang dihasilkan dan setara dengan banyaknya
sampel.
Pada penetapan kadar sediaan sirup ampisilin langkah pertama yang dilakukan adalah
pembakuan larutan Na2S2O3. Larutan Na2S2O3 merupakan larutan baku sekunder atau larutan
yang akan digunakan untuk mentitrasi sample. Larutan ini perlu dibakukan karena
konsentasinya cepat berubah oleh pengaruh lingkungan karena senyawa yang digunakan
sebagai larutan baku sekunder umumnya tidak stabil, misalnya saja bersifat higroskopis,
sensitive terhadap cahaya atau mudah terdegradasi oleh udara. Pengaruh ketidakstabilan ini
tidak hanya bersifat kimia tetapi juga dapat bersifat fisik seperti misalnya saat penimbangan
sering tidak tepat karena senyawa ini memiliki berat molekul relative kecil dan mudah
menyerap uap air di udara.
Kalium bromat merupakan senyawa baku primer yang tidak perlu dibakukan lagi
terhadap senyawa lain. KBrO3 dapat digunakan sebagai baku primer karena memiliki sifatsifat sebagai berikut :
 Murni atau mudah dimurnikan
 Memiliki massa molekul relative yang besar
 Stabil dan tidak higroskopis
 kering, tidak terpengaruh oleh udara/lingkungan(zat tersebut stabil);
 mudah larut dalam air;
 mempunyai massa ekivalen yang tinggi.
Pembakuan menggunakan KBrO3 0,1 N yang dibuat dengan cara melarutkan 0,2783
gram serbuk KBrO3 ke dalam 100 ml aquadest, Sedangkan standardisasinya dilakukan
dengan memasukkan 25 ml KBrO3 ke dalam labu erlenmeyer bertutup, kemudian
ditambahkan 2 g KI dan 5 ml HCl encer. Pada pembakuan ini digunakan larutan baku kalium
iodida karena larutan ini cukup stabil dan lebih mudah larut daripada iodium, serta dapat
menghasilkan iodium bila ditambahkan asam. Larutan baku kalium iodida yang digunakan
harus selalu dibuat baru karena mudah teroksidasi oleh udara sehingga jumlah yang lepas
menjadi lebih banyak dan diperlukan titran yang lebih banyak pula. Akibatnya penetapan
kadar menjadi tidak akurat lagi. Oleh karena iodium mudah menguap dan iodida dalam
larutan asam mudah dioksidasi oleh udara, maka labu harus selalu ditutup dan titrasinya tidak
boleh terlalu lama. Penambahan KI diharuskan berlebih, apabila tidak maka Br2 masih bersisa
dan akan terjadi reaksi sampingan antara Br2 dan Na2S2O3 yang membuat titik akhir titrasi
tidak tercapai. Apabila penambahan KI berlebih, reaksinya adalah sebagai berikut :
KBrO3 + 6 KBr + 6 HCl → 3Br2 + 6 KCl + 3 H2O
Br2 + 2 KI → I2 + 2KBr
Na2S2O3 akan mereduksi iodium menjadi iodida. Reaksinya:

2Na2S2O3 + I2 2NaI + Na2S4O6
sehingga warna coklat akan semakin pudar. Titrasi dihentikan sementara ketika warna
larutan titrat menjadi kuning pucat. Kemudian ditambahkan larutan kanji sebagai indikator
sehingga larutan titrat berwarna biru. Titrasi dilanjutkan kembali hingga warna biru tepat
hilang (titik akhir titrasi).
Pembakuan Na2S2O3 ini direplikasi sebanyak 3 kali, agar parameter validasi metode
analisis dapat dihitung. Dengan replikasi dapat diketahui jenis kesalahan yang terjadi
berdasarkan harga koefisien variasi dan perolehan kembali. Dari hasil pembakuan, diperoleh
volume titran yang dibutuhkan pada masing-masing replikasi adalah 32,5 ml ; 26,5 ml dan
26,0 ml; sehingga volume titran rata-rata yang diperlukan adalah 28,33 ml. Sehingga
diperoleh normalitas Na2S2O3 sebesar 0,088 N berdasarkan perhitungan :
N Na2S2O3 =

25 × 0,1
28,33

= 0,088 N

Dengan demikian kesetaraannya menjadi : tiap ml larutan Na 2S2O3 0,088 N setara dengan
32,9208 mg ampisilin, berdasarkan perhitungan :
BE =

BM
374,1
=
valensi
1

= 374,1

Kesetaraan = BE × N = 374,1 × 0,088= 32,9208 mg
Larutan iodium bukan merupakan larutan titran dalam metode iodometri (konsentrasi
iodium tidak digunakan dalam perhitungan kuantitatif). Iodium hanya berfungsi untuk
membentuk I2 bebas yang nantinya akan dititrasi dengan larutan Na2S2O3.
Larutan indicator kanji yang digunakan dibuat dengan cara melarutkan 500 mg
amilum ke dalam 100 ml air dingin. Kemudian suspensi amilum tersebut dipanaskan hingga
semua amilum larut dan terbentuk larutan yang jernih, kemudian didinginkan dan baru
digunakan sebagai indikator. Keuntungan penggunaan kanji adalah harganya murah dan
mudah didapat. Sedangkan kerugiannya adalah tidak mudah larut dalam air, tidak stabil pada
suspensi dengan air (sehingga selalu dibuat baru), membentuk kompleks yang sukar larut
dalam air bila bereaksi dengan iodium sehingga tidak boleh ditambahkan pada awal titrasi
tapi harus ditunggu hingga warna titrat kuning pucat. Penambahan indicator pada awal titrasi
dapat menimbulkan titik akhir titrasi yang tiba-tiba atau titik akhir palsu. Indikator ini bersifat
reversible, artinya warna biru yang timbul akan hilang lagi apabila iodium direduksi oleh
Na2S2O3 atau reduktor lainnya.
Untuk menguji sampel, kaplet ampisilin yang sudah ditimbang keseragaman bobotnya
digerus dan diambil 125 mg serbuk ampisilin untuk dilarutkan dalam 100 ml aquadest.
Penimbangan serbuk ampisilin dilakukan dengan metode penimbangan kembali yaitu serbuk

ampisilin dan kertas timbang nya ditimbang dengan neraca analitik, lalu serbuk di pindah ke
dalam labu takar 100 ml, lalu kertas timbang nya ditimbang lagi dengan menggunakan neraca
analitik. Kemudian serbuk ampisilin dilarutkan dengan 100 ml aquadest dan di homogenkan
dengan menggunakan sonikator.
Untuk membuat larutan uji, diambil 5.0 ml larutan sampel dan dimasukkan ke dalam
labu tertutup (iodine flask). Kemudian ditambahkan 5.0 ml NaOH 0.1 N. Ampisilin tidak
dapat langsung ditetapkan dengan iodometri karena tidak bereaksi dengan iodium. Oleh
karena itu harus dihidrolisis terlebih dahulu dengan NaOH untuk memutus ikatan β-laktam.
Dibiarkan 15 menit agar reaksi hidrolisis terjadi sempurna dan dilakukan di dalam tempat
gelap. Asam ampisilinoat yang terjadi dapat ditetapkan kadarnya dengan iodometri karena
dapat direduksi oleh iod. Kemudian ditambah dapar pH 4,5 sebanyak 5,0 ml dan 1,0 ml HCl
1 N untuk menetralkan atau bahkan membuat suasana menjadi sedikit lebih asam.
Penambahan HCl ini harus dilakukan karena titrasi iodometri tidak boleh dilakukan pada pH
> 8. Dalam lingkungan alkalis iodium akan bereaksi dengan hidroksida membentuk iodida
dan hipoiodit. Selanjutnya terurai menjadi iodida dan iodat. Ion ini akan mengoksidasi
thiosulfat menjadi sulfat. Setelah itu ditambahkan 10 ml iodium 0.1 N, segera tutup labu agar
iodium tidak menguap dan biarkan selama 15 menit terlindung dari cahaya agar terjadi reaksi
antara asam ampisilinoat dengan iodium. Iodium akan mengoksidasi asam ampisilinoat
sedangkan iodium sendiri akan tereduksi menjadi iodida.
Larutan dapar asetat berfungsi untuk menjaga kestabilan pH larutan untuk mencegah
terhidrolisanya penisilin, paling tidak penisilin stabil selama 20 menit. Larutan HCl akan
bereaksi dengan senyawa asam ampisilinat hasil inaktivasi, menghasilkan senyawa Dpenisilamin dan asam benzilpenisilat. Senyawa D-penisilamin ini yang akan dapat bereaksi
(dioksidasi) dengan iodium, menghasilkan senyawa disulfida dan asam iodida dalam larutan.
Penempatan larutan di tempat gelap (terlindung dari cahaya) selama 20 menit dimaksudkan
untuk menghindari I2 teroksidasi oleh cahaya matahari. Waktu 20 menit diperuntukkan agar
reaksi berlangsung secara sempurna.
Larutan I2 ditambahkan secara berlebih (pada percobaan ditambahkan sebanyak 10 ml),
kemudian kelebihan I2 ini dititrasi kembali dengan Na2S2O3 0,088 N menggunakan indikator
kanji (amilum) untuk meningkatkan kepekaan titik akhir titrasi. Titrasi iodometri harus
dilakukan dengan cepat dan digojog kuat untuk untuk meminimalisasi terjadinya oksidasi
iodide oleh udara bebas. Penggojogan yang cepat menimbulkan gerakan molekul yang cepat
sehingga frekuensi molekul bertabrakan makin banyak dan reaksi berlangsung lebih cepat.
Penambahan indikator amilum adalah pada saat menjelang titik akhir titrasi (I 2 dalam
keadaan encer) yang ditandai oleh warna larutan yang menjadi kuning pucat. Penambahan
amilum akan membuat larutan menjadi berwarna biru karena terbentuk komplek kanji-

iodium, dan titik ekivalen ditandai dengan penambahan 1 tetes larutan Na 2S2O3 tepat
menghilangkan warna biru (larutan menjadi bening). Penyusun utama kanji adalah amilosa
dan amilopektin, amilosa dengan iodium membentuk warna biru sedangkan amilopektin
dengan iodium membentuk warna merah.
Untuk blangko pada percobaan ini, digunakan larutan yang dibuat dengan
mencampurkan 5,0 larutan sampel ampisilin, 5,0 ml dapar pH 4,5; 10,0 ml iodium 0,1 N
kemudian didiamkan selama 20 menit terlindung cahaya, lalu dititrasi dengan Na2S2O3
dengan indikator kanji. Pada larutan blangko tidak ditambahkan NaOH sehingga tidak terjadi
hidrolisa pada ampisilin.

Reaksi yang terjadi pada ampisilin lengkapnya adalah sebagai berikut :
H
C

O

NH2

C

S

H
N

CH3

N

O

OH

H
C

CH3

O
C

NH2

COOH

S

H
N
HN

O

OH

CH3
CH3
COOH

H
NH2

O

O

H3C
H3C

SH

OH

NH2

CH3
N
H

OH
O

I2
NH2

O

H3C
H3C

S

OH

S

HO

+ 2 HI

CH3
O
H3C
NH2

I2 + 2 Na2S2O3

2 NaI + Na2S4O6

Pada percobaan, diperoleh volume titran yang diperlukan untuk mencapai titik ekivalen
pada sampel adalah sebesar 8,6 ml; 8,4 ml; dan 8,5 ml. Sedangkan untuk volume titran yang

diperlukan untuk mencapai titik ekivalen pada blangko adalah sebesar 9,5 ml; 9,6 ml; dan 9,6
ml. Kemudian dicari kadar ampicillin dengan rumus:
Kadar =

( Volume Na 2 S 2 O3 blanko−Volume Na 2 S 2 O3 sampel ) . N Na 2 S 2 O3 . BE
. bobot rata−rata tablet
mg sampel
Dari perhitungan, diperoleh kadar ampicillin sebesar 168,999 mg dengan rentang
kadar 162,713 ≤ x ≤ 175,285. SD yang diperoleh sebesar 2,532, Sedangkan CV (koefisien
variasi) yang diperoleh sebesar 0,015 % (CV < 5 %). CV yang kecil menunjukkan kecilnya
kesalahan acak yang berarti hasil presisi. Percobaan dapat dikatakan presisi mengindikasikan
bahwa pada percobaan, nilai kesalahan acak kecil. Kesalahan acak adalah kesalahan yang
nilainya tidak dapat diramalkan dan tidak ada aturan yang mengaturnya serta nilanya
berfluktuasi. Kesalahan acak merupakan jenis kesalahan yang selalu terjadi dalam analisis.
Hasil kadar yang diperoleh (168,999 mg) lebih kecil daripada kadar yang tertera dalam
label 500 mg. Jadi dapat disimpulkan bahwa metode iodometri kurang selektif untuk
penentuan kadar ampicillin dalam sediaan kaplet.

VII. KESIMPULAN
1. Penetapan kadar kaplet ampisilin dapat dilakukan melalui metode titrasi iodometri.
2. Pemilihan metode iodometri ini mengacu pada literatur yaitu Farmakope Indonesia edisi
IV. Metode ini merupakan metode yang sederhana dan mudah. Selain itu bahan-bahan
yang dibutuhkan juga murah.
3. Kadar yang diperoleh dari penetapan secara iodometri adalah 168,999 mg.
4. Kadar yang tertera dalam etiket sediaan adalah 500 mg.
5. Hasil analisis tidak sesuai dengan kadar yang tertera dalam etiket, sehingga dapat
dikatakan bahwa metode iodometri kurang selektif untuk penentuan kadar ampicillin
dalam sediaan kaplet.
VIII.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 2005, United State Pharmacopeia, The USP Convention, Rockville
Bhattacharjee A, Anupurba S, Gaur A, Sen MR. Prevalence of Inducible AmpC -lactamaseProducing Pseudomonas aeruginosa in a Tertiary Care Hospital in Northern India.
Indian J Med Microbiol 2008; 26(1): 89-90
Brooks GF, Butel JS, Morse SA., 2004, Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical
Microbiology, 23rd Ed, Mc Graw Hill, Boston
Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman, 2010, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta

Jerome, I. et al., 1961, Pharmaceutical Analysis, Interscience Publishers, USA
Nash, R.A, 1988, Pharmaceutical Suspensions, Di dalam: Lieberman H.A., Rieger,M..M, dan
Banker, G.S. (eds.), Pharmaceutical Dosage Forms: Disperse Systems, Vol 1, Marcel
Dekker, Inc, New York
Ofner III, C.M., Schnaare, R.L., dan Schwartz, J.B, 1989, Pharmaceutical Suspensions, Di
dalam: Lieberman H.A., Rieger,M..M, dan Banker, G.S. (eds.), Pharmaceutical
Dosage Forms: Disperse Systems. Vol 2, Marcel Dekker, Inc, New York
Pratiwi, Silvia J., 2004, Buku Ajar Mikrobiologi Farmasi, Fakultas

Farmasi

UGM, Yogyakarta
Rohman, Abdul dkk., 2012, Analisis Makanan dan Lingkungan Secara Fisika-Kimia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Roth, Hermann J. dan Gottfried Blaschke, 1998, Analisis Farmasi, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta
Siswandono, 2000, Kimia Medisinal, Airlangga University Press, Surabaya
Sudjadi, 1979, Analisa Obat dan Makanan I, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta
Sumantri dan Abdul Rohman, 2010, Petunjuk Praktikum Kimia Analisis I, Bagian
Farmasi Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta

Kimia