IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TANDA DAFTAR USAH

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TANDA DAFTAR USAHA PARIWISATA
(STUDI PADA USAHA HOTEL DI KOTA PADANG)

Nila Wahyuni
Magister Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang
Jl. Prof. Hamka, Air Tawar Padang; E-mail: nila.wahyuni20@gmail.com
Afriva Khaidir
Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang
Jl. Prof. Hamka, Air Tawar Padang; Email: af.khaidir@gmail.com
Aldri Frinaldi
Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang
Jl. Prof. Hamka, Air Tawar Padang; Email: alfrinaldi@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh berkembang pesatnya industri perhotelan di Kota
Padang saat ini tapi belum didukung oleh perizinan dan penegakan hukum hotel itu sendiri.
Keluhan dari kalangan pengusaha pariwisata adalah berkaitan dengan pengurusan izin usaha
kepariwisataan khususnya izin usaha hotel, karena dianggap berbelit dan butuh biaya yang
relatif besar. Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) berguna untuk menjamin kepastian
hukum dalam menjalankan usaha pariwisata bagi pengusaha, serta menerapkan sanksi bagi
usaha pariwisata yang tidak sesuai standar. Fokus dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis implementasi kebijakan TDUP studi pada usaha hotel di Kota Padang.

Penelitian ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Edwards III. Jenis penelitian
kualitatif dengan teknik purposive sampling sebagai penentu informan penelitian. Uji
keabsahan data menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi metode.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan TDUP studi pada usaha
hotel di Kota Padang belum berjalan dengan baik dan menghadapi banyak kendala dilihat
dari empat variabel. Pertama, komunikasi yang diciptakan dan terjalin selama pelaksanaan
belum maksimal, beberapa pegawai ada yang tidak mengetahui tentang kebijakan tersebut,
sosialisasi tentang TDUP masih minim dilakukan. Kedua, kurangnya sumber daya baik dari
segi kualitas maupun kuantitasnya. Ketiga, disposisi/sikap implementor yang tidak tegas
dalam menjalankan ketentuan, disiplin serta mental pegawai yang masih turun naik.
Keempat, OPD teknis utama tidak memiliki SOP dalam dalam pelaksanaannya, pengawasan
tidak rutin dilakukan terhadap usaha hotel, dan koordinasi antar OPD terkait yang sering
terputus.
Kata Kunci – implementasi kebijakan, pariwisata, hotel

1

A. Pendahuluan
Berdasarkan data dari website kemenpar.go.id, pada tahun 2010-2014 pariwisata menempati
urutan kelima dalam hal penerimaan devisa negara setelah minyak dan gas bumi, batu bara,

minyak kelapa sawit, dan karet olahan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2014
mencatat provinsi Sumatera Barat termasuk kedalam sepuluh provinsi yang paling sering
dikunjungi oleh turis di Indonesia. Sebagai ibukota, Kota Padang dinilai mempunyai letak
strategis yang menjadi pusat industri, perdagangan, jasa serta pendidikan. Potensi yang
dimiliki Kota Padang ditunjukkan dari sejumlah aspek-aspek yang dimiliki. Seiring
peningkatan jumlah wisatawan tiap tahunnya, pengeluaran wisatawan juga mengalami
peningkatan. Hal ini tentunya berkaitan secara tidak langsung dengan pendapatan asli daerah
(PAD) Kota Padang. Dapat dilihat pada tabel dibawah ini PAD kota Padang dilihat dari
sektor pariwisata.
Tabel 1. Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dari Sektor Pariwisata Tahun
2011-2015
PENERIMAAN DARI SEKTOR PARIWISATA
PAJAK
PAJAK
PAJAK
HOTEL
RESTORAN
HIBURAN
2011
150.151.686.567

7.910.983.109
10.596.291.531
1.248.138.741
2012
189.450.840.075 14.462.683.262 13.167.100.651
1.028.070.266
2013
238.889.759.534 17.667.533.678 15.444.114.983
2.072.063.492
2014
316.079.336.434 21.353.910.003 17.806.821.805
2.481.545.616
2015
232.870.240.318 20.459.528.061 20.510.457.805
2.397.075.799
Sumber: Badan Pendapatan Daerah Kota Padang
TAHUN

PAD


PERSENTASE
SEKTOR PARIWISATA
TERHADAP PAD
12,49 %
15,13 %
14,73 %
13,17 %
18,66 %

Terlihat dari tabel diatas bahwa penerimaan dari usaha hotel menjadi kontributor pajak
terbesar dari sektor pariwisata yang ada. Namun persentase sektor pariwisata terhadap PAD
ini dinilai cenderung masih rendah. Seharusnya sektor pariwisata di Kota Padang menjadi
sektor yang potensial untuk dikembangkan dengan adanya faktor-faktor pendukung yang
telah diuraikan sebelumnya.
Sugiama menyebutkan bahwa terdapat empat komponen penting sektor pariwisata, yaitu:
(1) daya tarik objek pariwisata; (2) aksesibilitas menuju objek wisata beserta seluruh sarana
dan prasarana; (3) akomodasi seperti penginapan; dan (4) lembaga dan organisasi
kepariwisataan yang aktif mendukung kegiatan pengelolaan objek pariwisata baik itu
pemerintah ataupun swasta. Seluruh komponen ini harus terintegrasi dengan kebijakan
pemerintah pusat dan daerah guna meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan.

Salah satu komponen penting sektor pariwisata menurut Sugiama yaitu akomodasi dan
dan diketahui berdasarkan data analisis sektor unggulan Kota Padang tahun 2000-2011
diketahui bahwa sektor pariwisata (perdagangan, hotel dan restoran) merupakan penyumbang
PDRB (Product Domestic Regional Bruto) nomor lima terbesar. Perhotelan memiliki peran
sebagai penggerak ekonomi daerah yang perlu dikembangkan dengan optimal.
Menurut data dari BPS, pada tahun 2014 Kota Padang memiliki 72 hotel yang terdiri dari
hotel bintang dan non bintang. Pada tahun 2015 terjadi pertambahan menjadi 102 hotel dan
pada tahun 2016 terdapat 88 hotel yang juga terdiri dari hotel bintang dan non bintang.
Sebagai upaya meningkatkan daya saing usaha pariwisata dalam menghadapi persaingan
global Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saat ini maka dibutuhkan suatu izin atau
sertifikasi yang menjamin dan membuktikan bahwa usaha pariwisata yang dilakukan
pengusaha tersebut telah tercantum di dalam daftar usaha pariwisata. Kemudian juga untuk
menjamin kepastian hukum dalam menjalankan usaha pariwisata bagi pengusaha serta
menerapkan sanksi bagi usaha pariwisata yang tidak melakukan sertifikasi usaha sesuai
standar maka dibuatlah kebijakan yang disebut dengan Tanda Daftar Usaha Pariwisata
2

(TDUP). Setelah diberikannya kewenangan otonomi dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka dibuatlah Peraturan Daerah untuk
memaksimalkan penerapan dan penegakkan hukum terkait TDUP tersebut yaitu Peraturan

Daerah Kota Padang Nomor 5 Tahun 2012 tentang Tanda Daftar Usaha Pariwisata.
Berkembang pesatnya industri perhotelan di Kota Padang saat ini belum didukung
dengan kepemilikan izin usaha hotel itu sendiri. Hal ini bisa dilihat pada jumlah TDUP yang
telah diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(DPMPTSP) Kota Padang dari tahun 2014 sampai 2016:
Tabel 2. Perbandingan Jumlah Total Usaha Hotel Dengan TDUP Yang Telah
Diterbitkan (2014-2016)
Jenis Usaha
Hotel

Bintang
Non
bintang

2104
Total TDUP
16
5
56


2

2015
Total TDUP
26
0
76

0

2016
Total TDUP
26
11
62

5

(Sumber: DPMPTSP Kota Padang)


Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah hotel dari tahun 2014
ke 2015 berjumlah 30 buah hotel namun peningkatan jumlah TDUP tidak ada. Dari tahun
2015 ke 2016 jumlah peningkatan TDUP hanya 11 buah untuk hotel berbintang dan 5 buah
untuk hotel non bintang dan ini tidak sebanding dengan jumlah hotel yang ada. Jumlah ini
jika dibandingkan dengan jumlah pertambahan usaha hotel yang ada di Kota Padang tentunya
masih sedikit. Padahal izin TDUP diperlukan untuk menjamin dan membuktikan bahwa
usaha hotel telah sesuai standar atau belum. Oleh sebab itu, penelitian ini mengajukan
permasalahan yaitu: Bagaimanakah implementasi kebijakan Tanda Daftar Usaha Pariwisata
(TDUP) studi pada usaha hotel di Kota Padang?
B. Tinjuan pustaka
Kebijakan Publik
Dye mengemukakan, “Public policy is whatever governments choose to do or not to do ”
(Subarsono, 2009). Kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan dan tidak dilakukan, kebijakan publik adalah apa yang dibuat dan dilakukan oleh
pemerintah, bukan swasta. Kebijakan sebagai sebuah ”rationale” sebuah manifestasi dari
pilihan yang penuh pertimbangan. Sebuah kebijakan adalah usaha untuk mendefinisikan dan
menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Sedangkan
Friedrich memberikan pengertian mengenai kebijakan publik yaitu serangkaian
tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan

kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan
agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud (Agustino, 2008:7).
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik
adalah serangkaian tindakan yang dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu untuk kepentingan seluruh
masyarakat. Kebijakan pemerintah merupakan pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk
seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat
melakukan sesuatu dengan sah untuk masyarakat dan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh
pemerintah tersebut merupakan pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.

3

Perizinan
Menurut Juniarso, izin adalah suatu keputusan adminisrasi negara yang memperkenankan
suatu perbuatan yang pada umumnya dilarang, tetapi diperkenankan dan bersifat konkrit
(Sinamo, 2014). Izin disini dimaksudkan sebagai hal bisa memberikan kontribusi positif
terhadap aktivitas ekonomi terutama dalam upaya menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan mendorong laju investasi. Suatu izin yang diberikan pemerintah memiliki maksud untuk
menciptakan kondisi yang aman dan tertib agar setiap kegiatan sesuai dengan peruntukannya.
Menurut Syafrudin bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan dimana hal

yang dilarang menjadi boleh (Sinamo, 2014). Penolakan atas permohonan izin memerlukan
perumusan limitatif, sehingga tidak merugikan pemohon.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa izin adalah perangkat hukum administrasi yang
digunakan pemerintah untuk mengendalikan warganya agar berjalan dengan teratur dan untuk
tujuan ini diperlukan perangkat administrasi. Salah satu perangkat administrasi adalah
organisasi dan agar organiasi ini berjalan dengan baik perlu dilakukan pembagian tugas.
Sendi utama dalam pembagian tugas adalah koordinasi dan pengawasan. Izin diterapkan oleh
pejabat negara, sehingga dilihat dari penempatannya maka izin adalah instrumen
pengendalian dan alat pemerintah untuk mencapai apa yang menjadi sasarannya.
Implementasi Kebijakan Publik Model George C. Edwards III
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya. Menurut Edwards III (dalam Winarsih, 2008) implementasi kebijakan adalah
tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi
kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak
tepat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu
mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan baik.
Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika
kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.
Salah satu model pendekatan top down yaitu implementasi kebijakan publik model
Edwards III yang disebut Direct and Indirect Impact on Implementation . Dalam pandangan

Edwards III (dalam Dwiyanto, 2009) menunjukan empat variabel yang berperan penting
dalam pencapaian keberhasilan implementasi kebijakan. Empat variabel tersebut adalah
sebagai berikut:
a) Komunikasi, yaitu menunjuk bahwa setiap kebijakan akan dilaksanakan dengan baik
jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana program (kebijakan) dengan para
kelompok sasaran (target group). Tujuan dan sasaran dari program atau kebijakan
dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas
kebijakan dan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi pengetahuan
kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan
kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan dalam ranah yang
sesungguhnya.
b) Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya
yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya financial. Sumber
daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas implementor yang
dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya financial adalah kecukupan
4

modal investasi atas sebuah program atau kebijakan. Keduanya harus diperhatikan
dalam implementasi program atau kebijakan pemerintah. Sebab tanpa kehandalan
implementor, kebijakan menjadi kurang energik dan berjalan lambat dan seadanya.
Sedangkan, sumber daya financial menjamin keberlangsungan program atau
kebijakan. Tanpa ada dukungan financial yang memadai, program tak dapat berjalan
efektif dan cepat dalam mencapai tujuan dan sasaran.
c) Disposisi/sikap, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada
implementor kebijakan atau program. Karakter yang penting dimiliki oleh
implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis. Kejujuran mengarahkan
implementor untuk tetap berada dalam arah program yang telah digariskan dalam
guideline program. Sikap yang demokratis yang akan meningkatkan kesan baik
implementor dan kebijakan dihadapan anggota kelompok sasaran. Sikap ini akan
menurunkan resistensi dari masyarakat dan menumbuhkan rasa percaya dan
kepedulian kelompok sasaran terhadap implementor dan program atau kebijakan.
d) Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting dalam
implementasi kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting
pertama adalah mekanisme dan struktur organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme
implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui standar operating procedur
(SOP) yang dicantumkan dalam guideline program atau kebijakan. SOP yang baik
mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit dan mudah
dipahami oleh siapapun karena akan menjadi acuan dalam bekerjanya implementor.
Sedangkan struktur organisasi pelaksanaan pun sejauh mungkin menghindari hal yang
berbelit, panjang dan kompleks. Struktur organisasi pelaksana harus dapat menjamin
adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam program secara cepat.
Keempat variabel di atas dalam model yang dibangun oleh Edwards III memiliki
keterkaitan satu dengan yang lain dalam mencapai tujuan dan sasaran program/kebijakan.
Semuanya saling bersinergi dalam mencapai tujuan dan satu variabel akan sangat
mempengaruhi variabel yang lain. Misalnya saja, implementor yang tidak jujur akan mudah
sekali melakukan mark up atau sasaran ke atas dan korupsi atas dana program/kebijakan dan
program tidak dapat optimal dalam mencapai tujuannya. Begitupun ketika watak dari
implementor kurang demokratis dan sangat mempengaruhi proses komunikasi dengan
kelompok sasaran.
Usaha Perhotelan
Pariwisata menjadi sebuah sektor yang potensial untuk dikembangkan dan berperan dalam
menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sektor pariwisata
mampu memberikan dampak positif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat seperti
dikemukakan oleh Muljadi (2012), yaitu memberikan sumbangan terhadap penerimaan
devisa, penciptaan lapangan kerja, memperluas kesempatan berusaha di sektor formal dan
informal, peningkatan pendapatan pemerintah pusat dan daerah melaluiberbagai pajak dan
retribusi, peningkatan pendapatan masyarakat, dan pemerataan pembangunan.
Kartajaya dan Sapta (2013) dalam bukunya Tourism Marketing memaparkan bahwa
pariwisata di Indonesia sedang dalam fase berkembang dan memiliki potensi pertumbuhan
yang masih terbuka lebar, mengingat masih banyak sumber daya di Indonesia yang belum
maksimal dimanfaatkan.
Usaha Hotel adalah usaha penyediaan akomodasi berupa kamar-kamar di dalam suatu
bangunan, yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan
dan/atau fasilitas lainnya secara harian dengan tujuan memperoleh keuntungan (Permenkraf

5

No. 53/2013). Usaha perhotelan merupakan bagian dari usaha pariwisata yang tidak dapat
dipisahkan. Akomodasi merupakan salah satu sarana pokok kepariwisataan.
Pada saat ini kebutuhan jasa perhotelan sangat banyak peminatnya sehingga pihak
pengusaha perhotelan memandang hotel bukan saja sebagai suatu tempat untuk menginap
tetapi lebih dari itu. Hotel dapat digunakan sebagai tempat transaksi bisnis, tempat jamuan
makan untuk tamu dan relasi-relasi bisnis, atau juga sebagai tempat diadakannya acara-acara
khusus. Pada intinya hotel bertujuan menyediakan tempat untuk sementara waktu dengan
memberikan pelayanan kepada konsumennya dengan harapan para tamu menjadi puas (Yoeti,
2004).
Untuk dapat memberikan informasi kepada para wisatawan/tamu yang akan menginap di
hotel melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengeluarkan suatu peraturan
tentang klasifikasi hotel yang didasarkan pada :
1. Produk
2. Pelayanan
3. Pengelolaan
Dengan peraturan tersebut maka terdapat klasifikasi hotel berbintang (hotel bintang satu
sampai bintang lima) dan hotel nonbintang.
Tanda Daftar Usaha Pariwisata
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perizinan adalah segala bentuk persetujuan
yang dikeluarkan pemerintah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Dan perizinan bidang kepariwisataan adalah Tanda Daftar Usaha
Pariwisata (TDUP). Tanda Daftar Usaha Pariwisata tersebut bertujuan untuk menjamin
kepastian hukum dalam menjalankan usaha pariwisata bagi pengusaha dan dalam upaya
menyediakan sumber informasi bagi semua pihak yang berkepentingan.
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP)
di Kota Padang dalam pasal 1 ayat 56 dijelaskan bahwa TDUP adalah dokumen resmi yang
membuktikan bahwa usaha pariwisata yang dilakukan pengusaha telah tercantum di dalam
Daftar Usaha Pariwisata. Pada pasal 5 dijelaskan bahwa Tanda daftar Usaha Pariwisata
menjadi dasar hukum penyelenggaraan usaha pariwisata.
Pasal 1 ayat 56 dijelaskan bahwa TDUP adalah dokumen resmi yang membuktikan bahwa
usaha pariwisata yang dilakukan pengusaha telah tercantum di dalam Daftar Usaha
Pariwisata. Pada pasal 5 dijelaskan bahwa Tanda daftar Usaha Pariwisata menjadi dasar
hukum penyelenggaraan usaha pariwisata.
Pada pasal 20 dijelaskan mengenai persyaratan izin TDUP usaha penyediaan akomodasi:
a.

fotokopi akta pendirian badan usaha yang mencantumkan usaha penyediaan
akomodasi sebagai maksud dan tujuannya serta perubahannya jika ada, untuk
pengusaha yang berbentuk badan usaha, atau fotokopi kartu tanda penduduk untuk
pengusaha perseorangan;
b.
fotokopi izin teknis dan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c.
keterangan tertulis pengusaha tentang perkiraan kapasitas penyediaan akomodasi
yang dinyatakan dalam jumlah kamar; dan
d.
keterangan tertulis pengusaha tentang fasilitas yang tersedia.
Pasal 20 huruf b dijelaskan menyertakan fotokopi izin teknis dan dokumen lingkungan
hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam persyaratan TDUP
usaha hotel. Izin teknis terdiri dari 2 jenis yaitu Izin Gangguan (IG) dan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB). Dokumen lingkungan hidup yang dimaksud terdiri dari 3 jenis, yaitu
6

1.
2.

AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan )
UKL dan UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan (Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup)
3.
SPPL (Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan)
Pasal 20 huruf (c) dan (d) dijelaskan keterangan tertulis pengusaha tentang perkiraan
kapasitas penyediaan akomodasi yang dinyatakan dalam jumlah kamar; dan keterangan
tertulis pengusaha tentang fasilitas yang tersedia sebagai salah satu persyaratan TDUP usaha
hotel. Semua persyaratan diatas ditulis oleh pemohon izin dalam sebuah formulir yang telah
disediakan oleh DPMPTSP Kota Padang.
Pada pasal 21 dijelaskan lagi yaitu;
1)

Pengusaha jenis Usaha Penyediaan Akomodasi sebagaimana dimaksud dalam pasal
8 ayat (1) huruf a dan ayat (3) huruf a berbentuk badan usaha Indonesia berbadan
hukum.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Fokus penelitian ini adalah untuk
menganalisis implementasi kebijakan TDUP studi pada usaha hotel di Kota Padang. Dalam
mengumpulkan data dilakukan observasi, wawancara mendalam dan studi dokumentasi.
Terdapat sumber data primer dan sumber data sekunder yang digunakan. Teknik penentuan
informan menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah informan sebanyak 12
orang. Informan terdiri dari pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud), Dinas
Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP), pengusaha hotel dan pakar/ahli. Untuk menguji keakuratan data yang
diperoleh, penulis menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi metode (Sugiyono, 2011).
Setelah data terkumpul, penulis melakukan teknik analisis data dengan menelaah seluruh
data, mereduksi data, penyusunan dan pemeriksaan keabsahan data, dan terakhir tahap
penafsiran data (Moleong, 2007).
D. Hasil Penelitian
Implementasi Kebijakan TDUP di Kota Padang ditinjau dari empat variabel yang
dikemukakan oleh Edwards III yaitu (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, (4)
struktur birokrasi. Berikut ini pembahasan dari masing-masing variabel tersebut:
Komunikasi
Yaitu menunjuk bahwa setiap kebijakan akan dilaksanakan dengan baik jika terjadi
komunikasi efektif antara pelaksana program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran
(target group). Tujuan dan sasaran dari program atau kebijakan dapat disosialisasikan secara
baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas kebijakan dan program. Pada pelaksaan
kebijakan TDUP di Kota Padang tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi
pengusaha dalam menjalankan usahanya agar usaha hotel tersebut sesuai standar dan
sertifikasi sehingga bisa meningkatkan usaha dalam persaingan global. Namun masih saja
ditemukan hotel yang tidak memiliki TDUP, dan juga menyalahgunakan izinnya. Alasan
tidak berjalannya kebijakan TDUP dengan baik karena kegiatan sosialisasi mengenai TDUP
tersebut jarang dilakukan. Hal itu disebabkan karena kurangnya anggaran untuk melakukan
kegiatan sosialisasi maupun pembinaan sehingga tujuan yang ingin dicapai yakni menjamin
kepastian hukum bagi pengusaha hotel masih belum terealisasi dengan baik, dan pengusaha
7

hotel juga belum benar-benar sadar hukum dengan pentingnya suatu legalitas izin usaha
pariwisata.
Sosialiasi tentang TDUP Di Kota Padang telah dilaksanakan, tetapi hanya dilaksanakan
sekali pada tahun 2015 oleh DPMTPSP di aula Rumah Sakit Siti Hawa Padang dan setelah
itu pada tahun selanjutnya belum pernah diadakan lagi. Kemudian Disparbud juga melakukan
sosialisasi sekali pada tahun 2016 dan untuk tahun 2017 tidak ada karena kegiatan tersebut
tidak didukung anggaran yang cukup oleh pemerintah daerah. Lemahnya sosialiasi dari dinas
terkait menyebabkan komunikasi yang tercipta antara pemerintah dengan pengusaha tidak
berjalan dengan baik.
Pemahaman pegawai mengenai kebijakan TDUP tersebut juga masih kurang, karena
masih ada beberapa petugas dari dinas terkait yang belum mengetahui SOP dan
persyaratannya. Komunikasi dan koordinasi antara Disparbud, DPMPTSP, dan Satpol PP
Kota Padang tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan pada kebijakan. Terlebih antara
Satpol PP dan Disparbud dalam segi komunikasi ini agak terputus. Masing-masing OPD
bekerja sendiri, padahal koordinasi dibutuhkan untuk mempermudah dan mengefektifkan
implementasi.
Komunikasi bisa berjalan baik jika antar implementor dan target dari kebijakan dapat
berjalan efektif dan pemahaman pegawai mengenai TDUP harusnya juga baik untuk
menghindari kekeliruan dalam pelaksanannya. Namun yang terjadi di lapangan tidak sesuai
dengan yang diharapkan baik oleh ketentuan kebijakan maupun ditinjau dari variabel
komunikasinya. Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan kebijakan
TDUP di Kota Padang ditinjau dari variabel komunikasi belum terlaksana dengan baik sesuai
dengan rencana dan tujuan yang diharapkan sehingga masih banyak ditemukan hotel yang
tidak memiliki TDUP dan melakukan pelanggaran.
Sumber daya
Yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, baik
sumber daya manusia maupun sumber daya financial. Sumber daya manusia adalah
kecukupan baik kualitas maupun kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh
kelompok sasaran. Sumber daya financial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah
program atau kebijakan. Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi program atau
kebijakan pemerintah.
Disparbud hanya memiliki 3 orang pejabat struktural dan 2 orang staf dalam
melaksanakan kebijakan tersebut. Jumlah ini tidak cukup untuk menjalankan kebijakan
tersebut mengingat pertumbuhan hotel di Kota Padang yang terus meningkat. Begitupun
sumber daya manusia pada DPMPTSP masih dalam level yang menengah. Karena masih
sedikit pegawai yang memiliki sertifikasi di bidang perizinan. Seharusnya dalam perizinan
harus dilayani oleh pegawai yang memiliki sertifikasi. Tidak adanya anggaran mengirim
utusan untuk melakukan pelatihan menyebabkan sampai saat ini hanya 11 orang saja dari 62
orang pegawai DPMPTPSP yang baru memiliki sertifikasi bidang perizinan.
Satpol PP Kota juga tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup dalam
melaksanakan kebijakan tersebut. Hanya terdapat 457 orang pegawai Satpol PP untuk
menegakkan peraturan daerah di Kota Padang yang memiliki jumlah penduduk 914.968 jiwa
saat ini. Ini masih jauh dari jumlah personil yang sesuai dengan Permendagri 60 tahun 2012
tentang Pedoman Penetapan Jumlah Polisi Pamong Praja.
Minimnya anggaran yang menyebabkan tidak terlaksananya kegiatan implementasi
kebijakan TDUP tersebut dengan baik. Padahal tiap tahun diajukan anggaran ke pemerintah
daerah namun sering kali tidak disetujui dan belum menjadi prioritas. Kurangnya sumber
daya manusia dan financial yang dimiliki baik dari segi kualitas maupun kuantitas
8

menyebabkan implementasi kebijakan TDUP tidak berjalan dengan baik. Hal ini
menyebabkan sosialisasi, survey lapangan, dan kegiatan pengawasan tidak berjalan dengan
baik. Sehingga masih ditemukan hotel yang beroperasi tanpa legalitas yang sah, dan beberapa
melanggar peraturan tersebut.
Disposisi/sikap
Yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada implementor kebijakan atau
program. Karakter yang penting dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen dan
demokratis. Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan
diantara hambatan yang ditemui dalam program atau kebijakan.
Sikap implementor dalam melaksanakan kebijakan ini masih belum sesuai dengan yang
diharapkan kebijakan. Dalam memeriksa kelengkapan persyaratan contohnya kadang-kadang
ada syarat yang belum lengkap tapi masih diberikan kelonggaran. Petugas tidak tegas
bersikap dalam menegakkan aturan tersebut. Disiplin dan mental mental dinilai masih
kurang. Setelah apel pagi biasanya mereka langsung mengurusi urusan masing-masing yang
lain. Teguran dari atasan dibiarkan saja tanpa memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan.
Petugas pelaksana di lapangan juga terkadang masih belum sesuai dengan yang
diharapkan dalam kebijakan. Ini disebabkan karena kualitas pendidikan petugas yang belum
mumpuni untuk melakukan tugas dan masih lemahnya pengetahuan petugas tentang
kebijakan tersebut.
Disiplin pegawai seperti grafik yang turun naik, kadang bagus kadang turun. Padahal
untuk menunjang disiplin dan kesejahteraan pegawai sudah ada TPP (Tunjangan Perbaikan
Penghasilan), SPPD dan lain lain. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kebijakan TDUP di
Kota Padang dari variabel disposisi belum terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana dan
tujuan yang diharapakan terutama pada sikap perilaku implementor dalam melaksanakan
kebijakan TDUP sehingga masih banyak hotel yang belum terdaftar memiliki izin usaha dan
melakukan pelanggaran.
Struktur birokrasi
Menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting dalam implementasi kebijakan. Aspek
struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting pertama adalah mekanisme dan struktur
organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan
melalui standar operating procedure (SOP) yang dicantumkan dalam guideline program atau
kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit
dan mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi acuan dalam bekerjanya
implementor. Sedangkan struktur organisasi pelaksanaan pun sejauh mungkin menghindari
hal yang berbelit, panjang dan kompleks.
Struktur organisasi pelaksana harus dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas
kejadian luar biasa dalam program secara cepat. Dapat disimpulkan bahwa mekanisme
implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui standard operating procedure
(SOP) yang dicantumkan dalam guideline program atau kebijakan. Sinergitas antar
stakeholder pelaksana kebijakan sangat diperlukan dalam menjalankan dan mendukung suatu
kebijakan pemerintah.
Implementasi kebijakan TDUP di Kota Padang dari segi struktur birokrasi belum
terlaksana dengan baik. Disparbud Kota Padang sebagai OPD teknis pelaksana tidak
memiliki SOP. Padahal SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak
agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan.

9

Dinas terkait lain juga mengalami keterbatasan jumlah personil dan pejabat struktural di
instansi masing-masing. Tentunya kekurangan secara struktural tersebut menghambat
pelakasanaan kebijakan secara optimal. Pengawasan sewaktu-waktu tidak rutin dilakukan
oleh Disparbud dan tidak adanya tim pengawas pendaftaran usaha pariwisata sesuai dengan
ketentuan di dalam kebijakan TDUP. Tidak ada koordinasi antara OPD teknis dengan Satpol
PP sebagai penegak peraturan daerah di Kota Padang. Selama ini karena koordinasi terputus
berdampak pada tidak terlaksananya kebijakan TDUP dengan baik. Sehingga sampai saat ini
masih ada hotel yang belum memiliki izin, dan melanggar ketentuan yang terdapat pada izin
tersebut namun tidak diberikan sanksi yang tegas.
E. Kesimpulan
Implementasi kebijakan TDUP studi pada usaha hotel di Kota Padang belum berjalan dengan
baik dan menghadapi banyak kendala dilihat dari empat variabel yaitu pertama komunikasi,
selama ini komunikasi yang diciptakan dan terjalin selama kebijakan TDUP dilaksanakan
masih belum maksimal, ada beberapa pegawai yang tidak mengetahui tentang TDUP dan
koordinasi antar OPD terkait yang sering terputus. Sosialisasi jarang sekali dilakukan
terhitung hanya satu kali semenjak kebijakan dibuat. Sehingga pengusaha hotel banyak yang
tidak mengetahui tentang TDUP. Kedua sumber daya, kurangnya sumber daya pada
pelaksanaan kebijakan tersebut baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Disparbud hanya
memiliki 3 orang pegawai struktural dalam melaksanakan kebijakan, dan dari 62 pegawai
pada DPMPTSP hanya 11 orang saja yang sudah memiliki sertifikasi bidang perizinan,
sementara Satpol PP juga mengalami kekurangan personil dalam menegakkan peraturan
TDUP tersebut. Kekurangan anggaran juga menjadi faktor penghambat tercapainya
implementasi dengan baik. Ketiga Disposisi, sikap implementor yang tidak tegas dalam
menjalankan ketentuan dengan memberikan kelonggaran kepada pengusaha yang tidak
melengkapi sebagian persyaratannya, dan sikap Satpol PP sebagai penegak peraturan daerah
yang belum sepenuhnya memahami dikarenakan kualifikasi pendidikan yang belum
mumpuni. Disiplin dan mental pegawai yang masih turun naik menjadi penyebab
implementasi kebijakan TDUP di Kota Padang tidak berjalan dengan baik. Keempat struktur
birokrasi, sebagai OPD teknis utama Disparbud tidak memiliki SOP dalam melaksanakan
kebijakan TDUP. Pengawasan tidak rutin dilaksanakan dan tidak adanya Tim Pengawas
Pendaftaran Usaha Pariwisata sesuai ketentuan. Koordinasi yang terputus-putus antar OPD
terkait yaitu Disparbud, DPMPTSP dan Satpol PP.
F. Rekomendasi
Dinas terkait mampu memiliki sistem dan database keseluruhan usaha pariwisata hotel di
kota Padang. Supaya kegiatan pengawasan dan pembinaan terhadap izin usaha hotel bisa
berjalan efektif dan efisien dan juga perlunya secara rutin untuk meng-up date data/informasi
tentang perizinan usaha hotel di Kota Padang yang disajikan baik dalam bentuk leaflet/brosur
maupun website Dinas terkait. Hal tersebut dilakukan agar pengusaha hotel di Kota Padang
memiliki pengetahuan tentang kebijakan TDUP tersebut dan semua usaha hotel sesuai
dengan standar dan memiliki izin.
Koordinasi yang bersinambungan antar OPD terkait dalam melaksanakan ketentuan
kebijakan. Dengan adanya koordinasi tersebut akan mengefektifkan serta mengefisienkan
pelaksanaan kegiatan implementasi. Membuat SK Tim Monitoring dan SK Tim Walikota
karena selama ini pegawai sering mangkir dari tugas karena banyaknya tugas lain yang
dikerjakan. Kemudian regulasi yang telah ada terkait implementasi TDUP di Kota Padang
sebaiknya segera diperharui atau direvisi mengingat perkembangan usaha hotel yang pesat
10

belakangan ini, tidak hanya usaha besar namun juga banyak usaha hotel nonbintang
membutuhkan standar dan pedoman yang lebih terstruktur dan mampu menjawab
permasalahan yang ada selama ini.
G. Rujukan
Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
A. J, Muljadi. 2012. Kepariwisataan dan Perjalanan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
A Yoeti, Oka. 2004. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Penerbit Angkasa.
Edwards III, G. Charles. 1980. Implementing Public Policy. New York: Congressional
Quarterly Press.
Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan publik (Berbasis Dynamic Policy Analysis).
Yogyakarta: Gava Media.
Moleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Roselakarya.
Nomensen, Sinamo. 2009. Hukum Administrasi Negara . Jakarta: Jala Permata Aksarsa.
Subarsono, A. G. 2009. Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori dan Aplikasi.Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Sugiama. 2011. Ecotourism: Pengembangan Pariwisata Berbasis Konservasi Alam.
Bandung: Guardaya Intimarta.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D . Bandung: Alfabeta.
Winarsih, Atik Septi dan Ratminto. 2012. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.

11