Konsep Ketuhanan Dalam Islam (1)
Konsep Ketuhanan Dalam Islam
Setelah Anda membaca tulisan ini, Anda dapat memahami poin-poin berikut ini:
1. Filsafat Ketuhanan dalam Islam.
Siapakah Tuhan itu?
Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan.
Tuhan Menurut Agama-agama Wahyu.
Pembuktian Wujud Tuhan.
2. Keimanan dan Ketakwaan
Pengertian Iman
Wujud Iman
Proses Terbentuknya Iman
Tanda Orang Beriman
Korelasi Keimanan dan Ketakwaan
3. Implementasi Iman dan Takwa dalam Kehidupan Modern.
Problematika, Tantangan, dan Resiko dalam Kehidupan Modern.
Peran Iman dan Takwa dalam Menjawab Problema dan Tantangan Kehidupan
Modern.
Istilah-istilah Penting:
Ibadah Mahdhah: ibadah yang sudah ditentukan macam, cara, waktu, dan
bacaannya.
Spiritualistis Islam: Ciri/kerohanian Islam
Karakter Islam: Watak/sifat/tabiat Islam.
Pola pikir teologis: pola pikir berkenaan dengan ilmu ke-Tuhanan.
Bersifat azali: wujud yang terbentuk secara abadi tanpa adanya permulaan.
Sasaran Pembelajaran:
1. Menjelaskan perbedaan pandangan Max Muller, Andrew Lang, dan Agama
Wahyu tentang monoteisme.
2. Berpikir dan bersikap sesuai dengan aliran teologis yang dapat menunjang
perkembangan IPTEK dan peningkatan etos kerja.
3. Membuktikan adanya Tuhan melalui kajian ilmiah, sehingga dapat
memantapkan iman.
4. Bersikap dengan benar sesuai dengan prinsip dalam proses pembentukan iman
5. Bersifat dengan benar sesuai dengan prinsip dalam proses pembentukan iman.
6. Mengimplementasikan iman dengan ibadah dan amal saleh dalam kehidupan
sehari-hari.
7. Menerangkan peranan iman dan takwa dalam menghadapi tantangan
kehidupan modern, sehingga meyakini benar perlunya beriman dan bertakwa.
A. Pendahuluan
Aspek keimanan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai.
Aspek ini belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya.
Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan
diridan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu
diperhatikan dan diutamakandalam menyempurnakan cabang-cabang keimanan.
Sesungguhnya amalah lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan
mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai keutamaan
tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam
setiap gerak serta perilaku keseharian.
Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan
pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak pandai
membina jiwa generasi mendatang, “dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dalam
nalar, pikir dan akal budi mereka”, maka mereka tidak akan selamat dari pengaruh
negatif pendidikan modern. Mungkin mereka merasa ada yang kurang dalam sisi
spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila ini
terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang terbuka tidak
diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas Islam.
Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar,
pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam
berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka
mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya.
Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang
membangun kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola
pikir teologis yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi
akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat
diterima sebagai ajaran akidah yang benar dan lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tecermin dalam aturan muamalat dan
dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi. Selain itu Islam
adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian hati yang
dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari dorongan hawa nafsu,
egoisme, dan sikap ingin menang sendiri. Agama seseorang tidak sempurna, jika
kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan pengalaman ilmiah dan
ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat pentingnya mata bagi orang yang
sedang berjalan.
B. Filsafat Ketuhanan dalam Islam
Siapakah Tuhan itu?
Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk
menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya
dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23, yaitu:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya….?”
Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya
sendiri:
“Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu
selain aku.”
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa
mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun
benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam
Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda
(mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama': aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme
tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat,
berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang
dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau
kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya
atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya
tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal
kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan
menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya
(M.Imaduddin, 1989:56)
Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia.
Yang pasti, manusia tidak mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan
logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan
begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka
ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut
dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan
penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus
membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada
dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.
Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
1. Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah,
baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur
sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya
proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi
sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian
dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses
perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai
berikut:
Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan
yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut
ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang
berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada
benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah
(Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau
diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang
misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan
pengaruhnya.
Animisme
Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap
benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh
dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu,
roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak
senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak
terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh.
Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi
kebutuhan roh.
Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,
karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang
lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai
dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada
yangmembidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh
karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat
menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut
dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain.
Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan
Tingkat Nasional).
Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga
paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max
Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan
adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orangorang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen.
Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas
terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan
evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa
Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk
memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang
secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil
berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh
kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa
asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah
berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).
2. Pemikiran Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu
Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang
bersifat di antara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya
perbedaan metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan
kontekstual sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat
Islam yang lain memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual
sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Ketiga corak
pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam. Aliran
tersebut yaitu:
a. Mu’tazilah yang merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan
pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam.
Orang islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di
antara posisi mukmin dan kafir (manzilah bainal manzilatain).
Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu
sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari paham
Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya
mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam ortodoks. Mu’tazilah lahir sebagai
pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.
b. Qodariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir
atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas
perbuatannya.
c. Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku
manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
d. Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada di antara Qadariah dan
Jabariah
Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat
islam periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak
bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih
aliran mana saja diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya,
tidak menyebabkan ia keluar dari islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan
al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Di
antara aliran tersebut yang nampaknya lebih dapat menunjang perkembangan ilmu
pengetahuan dan meningkatkan etos kerja adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah.
Tuhan Menurut Agama-agama Wahyu
Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas pengamatan dan
pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan pernah benar. Sebab Tuhan
merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga informasi tentang Tuhan yang hanya berasal
dari manusia biarpun dinyatakan sebagai hasil renungan maupun pemikiran rasional,
tidak akan benar.
Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain tertera dalam:
1. QS 21 (Al-Anbiya): 92, “Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah
satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu
agama, tetapi mereka telah berpecah belah. Mereka akan kembali kepada
Allah dan Allah akan menghakimi mereka.
Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya tidak ada
perbedaan konsep tentang ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Melalui Rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang
dibawa para Rasul, Adam sebagai Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir.
Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran tentang ketuhanan di antara agama-agama
adalah karena perbuatan manusia. Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran
aslinya, merupakan manipulasi dan kebohongan manusia yang teramat besar.
2. QS 5 (Al-Maidah):72, “Al-Masih berkata: “Hai Bani Israil sembahlah Allah
Tuhaku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan)
Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya syurga, dan tempat mereka adalah
neraka.
3. QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, “Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah
Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula
diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah. Kata Allah adalah
nama isim jumid atau personal name. Merupakan suatu pendapat yang keliru, jika
nama Allah diterjemahkan dengan kata “Tuhan”, karena dianggap sebagai isim
musytaq.
Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain
dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19.
Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan
kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain
surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana
dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.
Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di atas, maka menurut informasi alQuran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan
“Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu
yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul
Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa,
yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi menjadi bagianbagian.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan
yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa
Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan
ucapannya.
Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-quran memberi petunjuk
bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain
Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan.
Pembuktian Wujud Tuhan
1. Metode Pembuktian Ilmiah
Tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam masalah metode
pembuktian. Metode ini mengenal hakikat melalui percobaan dan pengamatan, sedang
akidah agama berhubungan dengan alam di luar indera, yang tidak mungkin dilakukan
percobaan (agama didasarkan pada analogi dan induksi). Hal inilah yang
menyebabkan menurut metode ini agama batal, sebab agama tidak mempunyai
landasan ilmiah.
Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga tidak mempunyai landasan
ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun belum diuji secara
empiris. Di samping itu metode ini juga tidak menolak analogi antara sesuatu yang
tidak terlihat dengan sesuatu yang telah diamati secara empiris. Hal ini disebut dengan
“analogi ilmiah” dan dianggap sama dengan percobaan empiris.
Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak hanya karena percobaan
itu dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap
salah, hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada
pada tingkat yang sama.
Percobaan dan pengamatan bukanlah metode sains yang pasti, karena ilmu
pengetahuan tidak terbatas pada persoalan yang dapat diamati dengan hanya
penelitian secara empiris saja. Teori yang disimpulkan dari pengamatan merupakan
hal-hal yang tidak punya jalan untuk mengobservasi. Orang yang mempelajari ilmu
pengetahuan modern berpendapat bahwa kebanyakan pandangan pengetahuan
modern, hanya merupakan interpretasi terhadap pengamatan dan pandangan tersebut
belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu banyak sarjana percaya padanya hakikat
yang tidak dapat diindera secara langsung. Sarjana mana pun tidak mampu melangkah
lebih jauh tanpa berpegang pada kata-kata seperti: “Gaya” (force), “Energy”, “alam”
(nature), dan “hukum alam”. Padahal tidak ada seorang sarjana pun yang mengenal
apa itu: “Gaya, energi, alam, dan hukum alam”. Sarjana tersebut tidak mampu
memberikan penjelasan terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama seperti ahli
teologi yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan. Keduanya
percaya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab yang tidak diketahui.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “iman kepada yang ghaib” dan
ilmu pengetahuan adalah percaya kepada “pengamatan ilmiah”. Sebab, baik agama
maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya berlandaskan pada keimanan pada yang
ghaib. Hanya saja ruang lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup
“penentuan hakikat” terakhir dan asli, sedang ruang lingkup ilmu pengetahuan
terbatas pada pembahasan ciri-ciri luar saja. Kalau ilmu pengtahuan memasuki bidang
penentuan hakikat, yang sebenarnya adalah bidang agama, berarti ilmu pengetahuan
telah menempuh jalan iman kepada yang ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang
lain.
Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis yang menafsirkan pengamatan tidak
kurang nilainya dari hakikat yang diamati. Mereka tidak dapat mengatakan:
Kenyataan yang diamati adalah satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang berada di
luar kenyataan bukan ilmu, sebab tidak dapat diamati. Sebenarnya apa yang disebut
dengan iman kepada yang ghaib oleh orang mukmin, adalah iman kepada hakikat
yang tidak dapat diamati. Hal ini tidak berarti satu kepercayaan buta, tetapi justru
merupakan interpretasi yang terbaik terhadap kenyataan yang tidak dapat diamati oleh
para sarjana.
2. Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak
boleh tidak memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah
menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal
percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar
itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan
kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang
adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan: adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Belum
pernah diketahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala
sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana
akan percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya
tanpa pencipta?
3. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Sampai abad ke-19 pendapat yang mengatakan bahwa alam menciptakan dirinya
sendiri (alam bersifat azali) masih banyak pengikutnya. Tetapi setelah ditemukan
“hukum kedua termodinamika” (Second law of Thermodynamics), pernyataan ini
telah kehilangan landasan berpijak.
Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori
pembatasan perubahan energi panas membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin
bersifat azali. Hukum tersebut menerangkan bahwa energi panas selalu berpindah dari
keadaan panas beralih menjadi tidak panas. Sedang kebalikannya tidak mungkin,
yakni energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas menjadi
panas. Perubahan energi panas dikendalikan oleh keseimbangan antara “energi yang
ada” dengan “energi yang tidak ada”.
Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika di alam terus
berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal itu membuktikan secara pasti bahwa
alam bukan bersifat azali. Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah
kehilangan energinya, sesuai dengan hukum tersebut dan tidak akan ada lagi
kehidupan di alam ini. Oleh karena itu pasti ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan.
4. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dari bumi
sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi dan menyelesaikan setiap
edarannya selama dua puluh sembilan hari sekali. Demikian pula bumi yang terletak
93.000.000.000 mil dari matahari berputar pada porosnya dengan kecepatan seribu
mil per jam dan menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun
sekali. Di samping bumi terdapat gugus sembilan planet tata surya, termasuk bumi,
yang mengelilingi matahari dengan kecepatan luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada suatu tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama-sama
dengan planet-planet dan asteroid mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan
600.000 mil per jam. Di samping itu masih ada ribuan sistem selain “sistem tata
surya” kita dan setiap sistem mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri.
Galaxy-galaxy tersebut juga beredar pada garis edarnya. Galaxy dimana terletak
sistem matahari kita, beredar pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali
dalam 200.000.000 tahun cahaya.
Logika manusia dengan memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi yang
teliti, akan berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya,
bahkan akan menyimpulkan bahwa di balik semuanya itu ada kekuatan maha besar
yang membuat dan mengendalikan sistem yang luar biasa tersebut, kekuatan maha
besar tersebut adalah Tuhan.
Metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan keserasian
alam tersebut oleh Ibnu Rusyd diberi istilah “dalil ikhtira”. Di samping itu Ibnu Rusyd
juga menggunakan metode lain yaitu “dalil inayah”. Dalil ‘inayah adalah metode
pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi
kehidupan manusia (Zakiah Daradjat, 1996:78-80).
Pengertian Iman
Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja aminayu’manu-amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti percaya
menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang percaya kepada
Allah dan selainnya seperti yang ada dalam rukun iman, walaupun dalam sikap
kesehariannya tidak mencerminkan ketaatan dan kepatuhan (taqwa) kepada yang telah
dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu disebabkan karena adanya
keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati manusia adalah Allah dan
dengan membaca dua kalimah syahadat telah menjadi Islam.
Dalam surah al-Baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang yang beriman adalah orang
yang amat sangat cinta kepada Allah (asyaddu hubban lillah). Oleh karena itu
beriman kepada Allah berarti amat sangat rindu terhadap ajaran Allah, yaitu Al-Quran
menurut Sunnah Rasul. Hal itu karena apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak
orang yang beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan
segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan nyawa.
Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan
keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal
perbuatan (Al-Immaanu ‘aqdun bil qalbi waigraarun billisaani wa’amalun bil arkaan).
Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan
laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau
gaya hidup.
Istilah iman dalam al-Qur’an selalu dirangkaikan dengan kata lain yang memberikan
corak dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam surat an-Nisa':51 yang
dikaitkan dengan jibti (kebatinan/idealisme) dan thaghut (realita/naturalisme).
Sedangkan dalam surat al-Ankabut: 52 dikaitkan dengan kata bathil, yaitu
walladziina aamanuu bil baathili. Bhatil berarti tidak benar menurut Allah. Dalam
surat lain iman dirangkaikan dengan kata kaafir atau dengan kata Allah. Sementara
dalam al-Baqarah: 4, iman dirangkaikan dengan kata ajaran yang diturunkan Allah
(yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablika).
Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Qur’an, mengandung
arti positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan kata Allah atau
dengan ajarannya, dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan
selainnya, disebut iman bathil.
Wujud Iman
Akidah Islam dalam al-Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya,
melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berbuat. Oleh karena itu
lapangan iman sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang
muslim yang disebut amal saleh.
Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan
kepercayaan itu mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai
dengan keyakinan. Karena itu iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan,
melainkan menyatu secara utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam
perbuatannya.
Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama Islam. Ia merupakan
keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal. Seseorang
dipandang sebagai muslim atau bukan muslim tergantung pada akidahnya. Apabila ia
berakidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai sebagai
amaliah seorang muslim atau amal saleh. Apabila tidak beraqidah, maka segala
amalnya tidak memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang dilakukan bernilai
dalam pendengaran manusia.
Akidah Islam atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia terikat dengan segala
aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi seorang muslim berarti
meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam. Seluruh
hidupnya didasarkan pada ajaran Islam.
Proses Terbentuknya Iman
Spermatozoa dan ovum yang diproduksi dan dipertemukan atas dasar ketentuan yang
digariskan ajaran Allah, merupakan benih yang baik. Allah menginginkan agar
makanan yang dimakan berasal dari rezeki yang halalanthayyiban. Pandangan dan
sikap hidup seorang ibu yang sedang hamil mempengaruhi psikis yang dikandungnya.
Ibu yang mengandung tidak lepas dari pengaruh suami, maka secara tidak langsung
pandangan dan sikap hidup suami juga berpengaruh secara psikologis terhadap bayi
yang sedang dikandung. Oleh karena jika seseorang menginginkan anaknya kelak
menjadi mukmin yang muttaqin, maka isteri hendaknya berpandangan dan bersikap
sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang
berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang
intensif, besar kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya dengan benih
iman. Berbagai pengaruh terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian
seseorang, baik yang datang dari lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan,
maupun lingkungan termasuk benda-benda mati seperti cuaca, tanah, air, dan
lingkungan flora serta fauna.
Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung, baik yang
disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap iman seseorang.
Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa merupakan contoh dan teladan
bagi anak-anak. Tingkah laku yang baik maupun yang buruk akan ditiru anakanaknya. Jangan diharapkan anak berperilaku baik, apabila orang tuanya selalu
melakukan perbuatan yang tercela. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda, “Setiap anak,
lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan menjadikan anak tersebut menjadi
Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali dengan proses
perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau benci. Mengenal ajaran Allah
adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak
mengenal ajaran Allah, maka orang tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah.
Seseorang yang menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada Allah, maka ajaran
Allah harus diperkenalkan sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak itu dari
tingkat verbal sampai tingkat pemahaman. Bagaimana seorang anak menjadi mukmin,
jika kepada mereka tidak diperkenalkan al-Qur’an.
Di samping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu diperhatikan, karena
tanpa pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci berubah menjadi senang. Seorang
anak harus dibiasakan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan
menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya, agar kelak setelah dewasa menjadi senang dan
terampil dalam melaksanakan ajaran-ajaran Allah.
Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang mudah dilihat dan
diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang tampak saja. Di dalamnya
tercakup juga sikap-sikap mental yang tidak selalu mudah ditanggapi kecuali secara
fisik langsung (misalnya, melalui ucapan atau perbuatan yang diduga dapat
menggambarkan sikap mental tersebut), bahkan secara tidak langsung itu adakalanya
cukup sulit menarik kesimpulan yang teliti. Di dalam tulisan ini dipergunakan istilah
tingkah laku dalam arti luas dan dikaitkan dengan nilai-nilai hidup, yakni seperangkat
nilai yang diterima oleh manusia sebagai nilai yang penting dalam kehidupan, yaitu
iman. Yang dituju adalah tingkah laku yang merupakan perwujudan nilai-nilai hidup
tertentu, yang disebut tingkah laku terpola.
Dalam keadaan tertentu, sifat, arah, dan intensitas tingkah laku dapat dipengaruhi
melalui campur tangan secara langsung, yakni dalam bentuk intervensi terhadap
interaksi yang terjadi. Dalam hal ini dijelaskan beberap prinsip dengan
mengemukakan implikasi metodologinya, yaitu:
1. Prinsip pembinaan berkesinambungan
Proses pembentukan iman adalah suatu proses yang penting, terus menerus, dan tidak
berkesudahan. Belajar adalah suatu proses yang memungkinkan orang semakin lama
semakin mampu bersikap selektif. Implikasinya ialah diperlukan motivasi sejak kecil
dan berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu penting mengarahkan proses motivasi
agar membuat tingkah laku lebih terarah dan selektif menghadapi nilai-nilai hidup
yang patut diterima atau yang seharusnya ditolak.
2. Prinsip internalisasi dan individuasi
Suatu nilai hidup antara lain iman dapat lebih mantap terjelma dalam bentuk tingkah
laku tertentu, apabila anak didik diberi kesempatan untuk menghayatinya melalui
suatu peristiwa internalisasi (yakni usaha menerima nilai sebagai bagian dari sikap
mentalnya) dan individuasi (yakni menempatkan nilai serasi dengan sifat
kepribadiannya). Melalui pengalaman penghayatan pribadi, ia bergerak menuju satu
penjelmaan dan perwujudan nilai dalam diri manusia secara lebih wajar dan
“amaliah”, dibandingkan bilamana nilai itu langsung diperkenalkan dalam bentuk
“utuh”, yakni bilamana nilai tersebut langsung ditanamkan kepada anak didik sebagai
suatu produk akhir semata-mata. Prinsip ini menekankan pentingnya mempelajari
iman sebagai proses (internalisasi dan individuasi). Implikasi metodologinya ialah
bahwa pendekatan untuk membentuk tingkah laku yang mewujudkan nilai-nilai iman
tidak dapat hanya mengutamakan nilai-nilai itu dalam bentuk jadi, tetapi juga harus
mementingkan proses dan cara pengenalan nilai hidup tersebut. Dari sudut anak didik,
hal ini bahwa seyogianya anak didik mendapat kesempatan sebaik-baiknya
mengalami proses tersebut sebagai peristiwa pengalaman pribadi, agar melalui
pengalaman-pengalaman itu terjadi kristalisasi nilai iman.
3. Prinsip sosialisasi
Pada umumnya nilai-nilai hidup bru benar-benar mempunyai arti apabila telah
memperoleh dimensi sosial. Oleh karena itu suatu bentuk tingkah laku terpola baru
teruji secara tuntas bilamana sudah diterima secara sosial. Implikasi metodologinya
ialah bahwa usaha pembentukan tingkah laku mewujudkan nilai iman hendaknya
tidak diukur keberhasilannya terbatas pada tingkat individual (yaitu hanya dengan
memperhatikan kemampuan seseorang dalam kedudukannya sebagai individu), tetapi
perlu mengutamakan penilaian dalam kaitan kehidupan interaksi sosial (proses
sosialisasi) orang tersebut. Pada tingkat akhir harus terjadi proses sosialisasi tingkah
laku, sebagai kelengkapan proses individuasi, karena nilai iman yang diwujudkan ke
dalam tingkah laku selalu mempunyai dimensi sosial.
4. Prinsip konsistensi dan koherensi
Nilai iman lebih mudah tumbuh terakselerasi, apabila sejak semula ditangani secara
konsisten, yaitu secara tetap dan konsekuen, serta secara koheren, yaitu tanpa
mengandung pertentangan antara nilai yang satu dengan nilai lainnya. Implikasi
metodologinya adalah bahwa usaha yang dikembangkan untuk mempercepat
tumbuhnya tingkah laku yang mewujudkan nilai iman hendaknya selalu konsisten dan
koheren. Alasannya, caranya dan konsekuensinya dapat dihayati dalam sifat dan
bentuk yang jelas dan terpola serta tidak berubah-ubah tanpa arah. Pendekatan
demikian berarti bahwa setiap langkah yang terdahulu akan mendukung serta
memperkuat langkah-langkah berikutnya. Apabila pendekatan yang konsisten dan
koheren sudah tampat, maka dapat diharapkan bahwa proses pembentukan tingkah
laku dapat berlangsung lebih lancar dan lebih cepat, karena kerangka pola tingkah
laku sudah tercipta.
5. Prinsip integrasi
Hakikat kehidupan sebagai totalitas, senantiasa menghadapkan setiap orang pada
problematika kehidupan yang menuntut pendekatan yang luas dan menyeluruh. Jarang
sekali fenomena kehidupan yang berdiri sendiri. Begitu pula dengan setiap bentuk
nilai hidup yang berdimensi sosial. Oleh karena itu tingkah laku yang dihubungkan
dengan nilai iman tidak dapat dibentuk terpisah-pisah. Makin integral pendekatan
seseorang terhadap kehidupan, makin fungsional pula hubungan setiap bentuk tingkah
laku yang berhubungan dengan nilai iman yang dipelajari. Implikasi metodologinya
ialah agar nilai iman hendaknya dapat dipelajari seseorang tidak sebagai ilmu dan
keterampilan tingkah laku yang terpisah-pisah, tetapi melalui pendekatan yang
integratif, dalam kaitan problematik kehidupan yang nyata.
Tanda-tanda Orang Beriman
Al-Qur’an menjelaskan tanda-tanda orang yang beriman sebagai berikut:
1. Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu Allah
tidak lepas dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan ayat al-Qur’an, maka
bergejolak hatinya untuk segera melaksanakannya (al-Anfal: 2). Dia akan
memahami ayat yang tidak dia pahami.
2. Senantiasa tawakal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah,
diiringi dengan doa, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah
menurut Sunnah Rasul (Ali Imran: 120, al-Maidah: 12, al-Anfal: 2, at-Taubah:
52, Ibrahim: 11, Mujadalah: 10, dan at-Taghabun:13).
3. Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu menjaga pelaksanaannya (alAnfal: 3 dan al-Mu’minun: 2, 7). Bagaimanapun sibuknya, kalau sudah masuk
waktu shalat, dia segera shalat untuk membina kualitas imannya.
4. Menafkahkan rezki yang diterimanya (al-Anfal: 3 dan al-Mukminun:4). Hal
ini dilakukan sebagai suatu kesadaran bahwa harta yang dinafkahkan di jalan
Allah merupakan upaya pemerataan ekonomi, agar tidak terjadi ketimpangan
antara yang kaya dengan yang miskin.
5. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan (alMukminun: 3,5). Perkataan yang bermanfaat atau yang baik adalah yang
berstandar ilmu Allah, yaitu al-Qur’an menurut Sunnah Rasulullah.
6. Memelihara amanah dan menepati janji (al-Mukminun: 6). Seorang mu’min
tidak akan berkhianat dan dia akan selalu memegang amanah dan menepati
janji.
7. Berjihad di jalan Allah dan suka menolong (al-Anfal:74). Berjihad di jalan
Allah adalah bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Allah, baik
dengan harta benda yang dimiliki maupun dengan nyawa.
8. Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin (an-Nur: 62). Sikap
seperti itu merupakan salah satu sikap hidup seorang mukmin, orang yang
berpandangan dengan ajaran Allah menurut Sunnah Rasul.
Akidah Islam sebagai keyakinan membentuk perilaku bahkan mempengaruhi
kehidupan seorang muslim. Abu A’la Maudadi menyebutkan tanda orang beriman
sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Menjauhkan diri dari pandangan yang sempit dan picik.
Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri
Mempunyai sifat rendah hati dan khidmat
Senantiasa jujur dan adil
Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan
situasi
Mempunyai pendirian teguh, kesabaran, ketabahan, dan optimisme.
Mempunyai sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi
resiko, bahkan tidak takut kepada maut.
Mempunyai sikap hidup damai dan ridha.
Patuh, taat, dan disiplin menjalankan peraturan Ilahi.
Korelasi Keimanan dan Ketakwaan
Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi menjadi dua,
yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tauhid teoritis adalah tauhid yang membahas
tentang keesaan Zat, keesaan Sifat, dan keesaaan Perbuatan Tuhan. Pembahasan
keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan,
persepsi, dan pemikiran atau konsep tentang Tuhan. Konsekuensi logis tauhid teoritis
adalah pengakuan yang ikhlas bahwa Allah adalah satu-satunya Wujud Mutlak, yang
menjadi sumber semua wujud.
Adapun tauhid praktis yang disebut juga tauhid ibadah, berhubungan dengan amal
ibadah manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari tauhid teoritis. Kalimat Laa
ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah) lebih menekankan pengertian tauhid
praktis (tauhid ibadah). Tauhid ibadah adalah ketaatan hanya kepada Allah. Dengan
kata lain, tidak ada yang disembah selain Allah, atau yang berhak disembah hanyalah
Allah semata dan menjadikan-Nya tempat tumpuan hati dan tujuan segala gerak dan
langkah.
Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengertian beriman kepada
Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Mempercayai saja keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan
Tuhan, tanpa mengucapkan dengan lisan serta tanpa mengamalkan dengan perbuatan,
tidak dapat dikatakan seorang yang sudah bertauhid secara sempurna. Dalam
pandangan Islam, yang dimaksud dengan tauhid yang sempurna adalah tauhid yang
tercermin dalam ibadah dan dalam perbuatan praktis kehidupan manusia sehari-hari.
Dengan kata lain, harus ada kesatuan dan keharmonisan tauhid teoritis dan tauhid
praktis dalam diri dan dalam kehidupan sehari-hari secara murni dan konsekuen.
Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan amal, konsep dan
pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan demikian
bertauhid adalah mengesakan Tuhan dalam pengertian yakin dan percaya kepada
Allah melalui pikiran, membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan
mengamalkan dengan perbuatan. Oleh karena itu seseorang baru dinyatakan beriman
dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat tauhid dalam syahadat asyhadu
allaa ilaaha illa Alah, (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah), kemudian
diikuti dengan mengamalkan semua perintah Allah dan meninggalkan segala
larangan-Nya.
Problematika, Tantangan, dan Resiko dalam Kehidupan Modern
Di antara problematika dalam kehidupan modern adalah masalah sosial-budaya yang
sudah established, sehingga sulit sekali memperbaikinya.
Berbicara tentang masalah sosial budaya berarti berbicara tentang masalah alam
pikiran dan realitas hidup masyarakat. Alam pikiran bangsa Indonesia adalah
majemuk (pluralistik), sehingga pergaulan hidupnya selalu dipenuhi oleh konflik baik
sesama orang Islam maupun orang Islam dengan non-Islam.
Pada millenium ketiga, bangsa Indonesia dideskripsikan sebagai masyarakat yang
antara satu dengan lainnya saling bermusuhan. Hal itu digambarkan oleh Ali Imran:
103, sebagai kehidupan yang terlibat dalam wujud saling bermusuhan (idz kuntum
a’daa’an), yaitu suatu wujud kehidupan yang berada pada ancaman kehancuran.
Adopsi modernisme (werternisme), kendatipun tidak secara total, yang dilakukan
bangsa Indonesia selama ini, telah menempatkan bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang semi naturalis. Di sisi lain, diadopsinya idealisme juga telah menjadikan bangsa
Indonesia menjadi pengkhayal. Adanya tarik menarik antara kekuatan idealisme dan
naturalisme menjadikan bangsa Indonesia bersikap tidak menentu. Oleh karena itu,
kehidupannya selalu terombang-ambing oleh isme-isme tersebut.
Secara ekonomi bangsa Indonesia semakin tambah terpuruk. Hal ini karena
diadopsinya sistem kapitalisme dan melahirkan korupsi besar-besaran. Sedangkan di
bidang politik, selalu muncul konflik di antara partai dan semakin jauhnya anggota
parlemen dengan nilai-nilai qur’ani, karena pragmatis dan oportunis.
Di bidang sosial banyak muncul masalah. Berbagai tindakan kriminal sering terjadi
dan pelanggaran terhadap norma-norma bisa dilakukan oleh anggota masyarakat.
Lebih memprihatinkan lagi adalah tindakan penyalahgunaan NARKOBA oleh anakanak sekolah, mahasiswa, serta masyarakat. Di samping itu masih terdapat bermacammacam masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dalam kehidupan modern.
Persoalan itu muncul, karena wawasan ilmunya salah, sedang ilmu merupakan roh
yang menggerakkan dan mewarnai budaya. Hal itu menjadi tantangan yang amat berat
dan dapat menimbulkan tekanan kejiwaan, karena kalau masuk dalam kehidupan
seperti itu, maka akan melahirkan risiko yang besar.
Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari berbagai persoalan di atas, perlu diadakan
revolusi pandangan. Dalam kaitan ini, iman dan taqwa yang dapat berperan
menyelesaikan problema dan tantangan kehidupan modern tersebut.
Peran Iman dan Takwa dalam Menjawa Problema dan Tantangan Kehidupan
Modern
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut ini dikemukakan
beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan manusia.
1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda
Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kalau Allah
hendak memberikan pertolongan, maka tidak ada satu kekuatanpun yang dapat
mencegahnya. Sebaliknya, jika Allah hendak menimpakan bencana, maka tidak ada
satu kekuatanpun yang sanggup menahan dan mencegahnya. Kepercayaan dan
keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan manusia yang kebetulan
sedang memegang kekuasaan, menghilangkan kepercayaan pada kesaktian bendabenda kramat, mengikis kepercayaan pada khurat, takhyul, jampi-jampi dan
sebagainya. Pegangan orang yang beriman adalah firman Allah surat al-Fatihah ayat
1-7 .
2. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut
Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut. Banyak di antara
manusia yang tidak berani mengemukakan kebenaran, karena takut menghadapi
resiko. Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah.
Pegangan orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah dalam QS
4 (al-Nisa’):78:
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu kendatipun kamu di
dalam benteng yang tinggi lagi kokoh”
3. Iman menanamkan sikap “self help” dalam kehidupan .
Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
Banyak orang yang melepaskan pendiriannya, karena kepentingan penghidupannya.
Kadang-kadang manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan,
bermuka dua, menjilat, dan memperbudak diri, karena kepentingan materi. Pegangan
orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah dalam QS 11 (Hud):6:
“Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang dan tempat
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata. (lauh mahfud)“.
Setelah Anda membaca tulisan ini, Anda dapat memahami poin-poin berikut ini:
1. Filsafat Ketuhanan dalam Islam.
Siapakah Tuhan itu?
Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan.
Tuhan Menurut Agama-agama Wahyu.
Pembuktian Wujud Tuhan.
2. Keimanan dan Ketakwaan
Pengertian Iman
Wujud Iman
Proses Terbentuknya Iman
Tanda Orang Beriman
Korelasi Keimanan dan Ketakwaan
3. Implementasi Iman dan Takwa dalam Kehidupan Modern.
Problematika, Tantangan, dan Resiko dalam Kehidupan Modern.
Peran Iman dan Takwa dalam Menjawab Problema dan Tantangan Kehidupan
Modern.
Istilah-istilah Penting:
Ibadah Mahdhah: ibadah yang sudah ditentukan macam, cara, waktu, dan
bacaannya.
Spiritualistis Islam: Ciri/kerohanian Islam
Karakter Islam: Watak/sifat/tabiat Islam.
Pola pikir teologis: pola pikir berkenaan dengan ilmu ke-Tuhanan.
Bersifat azali: wujud yang terbentuk secara abadi tanpa adanya permulaan.
Sasaran Pembelajaran:
1. Menjelaskan perbedaan pandangan Max Muller, Andrew Lang, dan Agama
Wahyu tentang monoteisme.
2. Berpikir dan bersikap sesuai dengan aliran teologis yang dapat menunjang
perkembangan IPTEK dan peningkatan etos kerja.
3. Membuktikan adanya Tuhan melalui kajian ilmiah, sehingga dapat
memantapkan iman.
4. Bersikap dengan benar sesuai dengan prinsip dalam proses pembentukan iman
5. Bersifat dengan benar sesuai dengan prinsip dalam proses pembentukan iman.
6. Mengimplementasikan iman dengan ibadah dan amal saleh dalam kehidupan
sehari-hari.
7. Menerangkan peranan iman dan takwa dalam menghadapi tantangan
kehidupan modern, sehingga meyakini benar perlunya beriman dan bertakwa.
A. Pendahuluan
Aspek keimanan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai.
Aspek ini belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya.
Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan
diridan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu
diperhatikan dan diutamakandalam menyempurnakan cabang-cabang keimanan.
Sesungguhnya amalah lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan
mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai keutamaan
tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam
setiap gerak serta perilaku keseharian.
Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan
pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak pandai
membina jiwa generasi mendatang, “dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dalam
nalar, pikir dan akal budi mereka”, maka mereka tidak akan selamat dari pengaruh
negatif pendidikan modern. Mungkin mereka merasa ada yang kurang dalam sisi
spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila ini
terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang terbuka tidak
diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas Islam.
Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar,
pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam
berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka
mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya.
Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang
membangun kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola
pikir teologis yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi
akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat
diterima sebagai ajaran akidah yang benar dan lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tecermin dalam aturan muamalat dan
dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi. Selain itu Islam
adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian hati yang
dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari dorongan hawa nafsu,
egoisme, dan sikap ingin menang sendiri. Agama seseorang tidak sempurna, jika
kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan pengalaman ilmiah dan
ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat pentingnya mata bagi orang yang
sedang berjalan.
B. Filsafat Ketuhanan dalam Islam
Siapakah Tuhan itu?
Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk
menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya
dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23, yaitu:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya….?”
Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya
sendiri:
“Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu
selain aku.”
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa
mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun
benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam
Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda
(mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama': aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme
tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat,
berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang
dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau
kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya
atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya
tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal
kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan
menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya
(M.Imaduddin, 1989:56)
Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia.
Yang pasti, manusia tidak mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan
logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan
begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka
ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut
dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan
penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus
membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada
dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.
Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
1. Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah,
baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur
sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya
proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi
sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian
dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses
perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai
berikut:
Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan
yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut
ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang
berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada
benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah
(Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau
diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang
misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan
pengaruhnya.
Animisme
Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap
benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh
dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu,
roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak
senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak
terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh.
Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi
kebutuhan roh.
Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,
karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang
lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai
dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada
yangmembidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh
karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat
menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut
dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain.
Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan
Tingkat Nasional).
Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga
paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max
Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan
adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orangorang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen.
Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas
terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan
evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa
Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk
memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang
secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil
berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh
kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa
asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah
berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).
2. Pemikiran Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu
Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang
bersifat di antara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya
perbedaan metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan
kontekstual sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat
Islam yang lain memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual
sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Ketiga corak
pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam. Aliran
tersebut yaitu:
a. Mu’tazilah yang merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan
pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam.
Orang islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di
antara posisi mukmin dan kafir (manzilah bainal manzilatain).
Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu
sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari paham
Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya
mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam ortodoks. Mu’tazilah lahir sebagai
pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.
b. Qodariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir
atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas
perbuatannya.
c. Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku
manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
d. Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada di antara Qadariah dan
Jabariah
Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat
islam periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak
bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih
aliran mana saja diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya,
tidak menyebabkan ia keluar dari islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan
al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Di
antara aliran tersebut yang nampaknya lebih dapat menunjang perkembangan ilmu
pengetahuan dan meningkatkan etos kerja adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah.
Tuhan Menurut Agama-agama Wahyu
Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas pengamatan dan
pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan pernah benar. Sebab Tuhan
merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga informasi tentang Tuhan yang hanya berasal
dari manusia biarpun dinyatakan sebagai hasil renungan maupun pemikiran rasional,
tidak akan benar.
Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain tertera dalam:
1. QS 21 (Al-Anbiya): 92, “Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah
satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu
agama, tetapi mereka telah berpecah belah. Mereka akan kembali kepada
Allah dan Allah akan menghakimi mereka.
Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya tidak ada
perbedaan konsep tentang ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Melalui Rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang
dibawa para Rasul, Adam sebagai Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir.
Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran tentang ketuhanan di antara agama-agama
adalah karena perbuatan manusia. Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran
aslinya, merupakan manipulasi dan kebohongan manusia yang teramat besar.
2. QS 5 (Al-Maidah):72, “Al-Masih berkata: “Hai Bani Israil sembahlah Allah
Tuhaku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan)
Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya syurga, dan tempat mereka adalah
neraka.
3. QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, “Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah
Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula
diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah. Kata Allah adalah
nama isim jumid atau personal name. Merupakan suatu pendapat yang keliru, jika
nama Allah diterjemahkan dengan kata “Tuhan”, karena dianggap sebagai isim
musytaq.
Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain
dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19.
Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan
kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain
surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana
dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.
Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di atas, maka menurut informasi alQuran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan
“Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu
yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul
Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa,
yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi menjadi bagianbagian.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan
yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa
Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan
ucapannya.
Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-quran memberi petunjuk
bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain
Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan.
Pembuktian Wujud Tuhan
1. Metode Pembuktian Ilmiah
Tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam masalah metode
pembuktian. Metode ini mengenal hakikat melalui percobaan dan pengamatan, sedang
akidah agama berhubungan dengan alam di luar indera, yang tidak mungkin dilakukan
percobaan (agama didasarkan pada analogi dan induksi). Hal inilah yang
menyebabkan menurut metode ini agama batal, sebab agama tidak mempunyai
landasan ilmiah.
Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga tidak mempunyai landasan
ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun belum diuji secara
empiris. Di samping itu metode ini juga tidak menolak analogi antara sesuatu yang
tidak terlihat dengan sesuatu yang telah diamati secara empiris. Hal ini disebut dengan
“analogi ilmiah” dan dianggap sama dengan percobaan empiris.
Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak hanya karena percobaan
itu dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap
salah, hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada
pada tingkat yang sama.
Percobaan dan pengamatan bukanlah metode sains yang pasti, karena ilmu
pengetahuan tidak terbatas pada persoalan yang dapat diamati dengan hanya
penelitian secara empiris saja. Teori yang disimpulkan dari pengamatan merupakan
hal-hal yang tidak punya jalan untuk mengobservasi. Orang yang mempelajari ilmu
pengetahuan modern berpendapat bahwa kebanyakan pandangan pengetahuan
modern, hanya merupakan interpretasi terhadap pengamatan dan pandangan tersebut
belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu banyak sarjana percaya padanya hakikat
yang tidak dapat diindera secara langsung. Sarjana mana pun tidak mampu melangkah
lebih jauh tanpa berpegang pada kata-kata seperti: “Gaya” (force), “Energy”, “alam”
(nature), dan “hukum alam”. Padahal tidak ada seorang sarjana pun yang mengenal
apa itu: “Gaya, energi, alam, dan hukum alam”. Sarjana tersebut tidak mampu
memberikan penjelasan terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama seperti ahli
teologi yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan. Keduanya
percaya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab yang tidak diketahui.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “iman kepada yang ghaib” dan
ilmu pengetahuan adalah percaya kepada “pengamatan ilmiah”. Sebab, baik agama
maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya berlandaskan pada keimanan pada yang
ghaib. Hanya saja ruang lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup
“penentuan hakikat” terakhir dan asli, sedang ruang lingkup ilmu pengetahuan
terbatas pada pembahasan ciri-ciri luar saja. Kalau ilmu pengtahuan memasuki bidang
penentuan hakikat, yang sebenarnya adalah bidang agama, berarti ilmu pengetahuan
telah menempuh jalan iman kepada yang ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang
lain.
Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis yang menafsirkan pengamatan tidak
kurang nilainya dari hakikat yang diamati. Mereka tidak dapat mengatakan:
Kenyataan yang diamati adalah satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang berada di
luar kenyataan bukan ilmu, sebab tidak dapat diamati. Sebenarnya apa yang disebut
dengan iman kepada yang ghaib oleh orang mukmin, adalah iman kepada hakikat
yang tidak dapat diamati. Hal ini tidak berarti satu kepercayaan buta, tetapi justru
merupakan interpretasi yang terbaik terhadap kenyataan yang tidak dapat diamati oleh
para sarjana.
2. Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak
boleh tidak memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah
menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal
percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar
itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan
kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang
adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan: adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Belum
pernah diketahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala
sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana
akan percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya
tanpa pencipta?
3. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Sampai abad ke-19 pendapat yang mengatakan bahwa alam menciptakan dirinya
sendiri (alam bersifat azali) masih banyak pengikutnya. Tetapi setelah ditemukan
“hukum kedua termodinamika” (Second law of Thermodynamics), pernyataan ini
telah kehilangan landasan berpijak.
Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori
pembatasan perubahan energi panas membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin
bersifat azali. Hukum tersebut menerangkan bahwa energi panas selalu berpindah dari
keadaan panas beralih menjadi tidak panas. Sedang kebalikannya tidak mungkin,
yakni energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas menjadi
panas. Perubahan energi panas dikendalikan oleh keseimbangan antara “energi yang
ada” dengan “energi yang tidak ada”.
Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika di alam terus
berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal itu membuktikan secara pasti bahwa
alam bukan bersifat azali. Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah
kehilangan energinya, sesuai dengan hukum tersebut dan tidak akan ada lagi
kehidupan di alam ini. Oleh karena itu pasti ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan.
4. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dari bumi
sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi dan menyelesaikan setiap
edarannya selama dua puluh sembilan hari sekali. Demikian pula bumi yang terletak
93.000.000.000 mil dari matahari berputar pada porosnya dengan kecepatan seribu
mil per jam dan menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun
sekali. Di samping bumi terdapat gugus sembilan planet tata surya, termasuk bumi,
yang mengelilingi matahari dengan kecepatan luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada suatu tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama-sama
dengan planet-planet dan asteroid mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan
600.000 mil per jam. Di samping itu masih ada ribuan sistem selain “sistem tata
surya” kita dan setiap sistem mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri.
Galaxy-galaxy tersebut juga beredar pada garis edarnya. Galaxy dimana terletak
sistem matahari kita, beredar pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali
dalam 200.000.000 tahun cahaya.
Logika manusia dengan memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi yang
teliti, akan berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya,
bahkan akan menyimpulkan bahwa di balik semuanya itu ada kekuatan maha besar
yang membuat dan mengendalikan sistem yang luar biasa tersebut, kekuatan maha
besar tersebut adalah Tuhan.
Metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan keserasian
alam tersebut oleh Ibnu Rusyd diberi istilah “dalil ikhtira”. Di samping itu Ibnu Rusyd
juga menggunakan metode lain yaitu “dalil inayah”. Dalil ‘inayah adalah metode
pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi
kehidupan manusia (Zakiah Daradjat, 1996:78-80).
Pengertian Iman
Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja aminayu’manu-amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti percaya
menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang percaya kepada
Allah dan selainnya seperti yang ada dalam rukun iman, walaupun dalam sikap
kesehariannya tidak mencerminkan ketaatan dan kepatuhan (taqwa) kepada yang telah
dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu disebabkan karena adanya
keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati manusia adalah Allah dan
dengan membaca dua kalimah syahadat telah menjadi Islam.
Dalam surah al-Baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang yang beriman adalah orang
yang amat sangat cinta kepada Allah (asyaddu hubban lillah). Oleh karena itu
beriman kepada Allah berarti amat sangat rindu terhadap ajaran Allah, yaitu Al-Quran
menurut Sunnah Rasul. Hal itu karena apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak
orang yang beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan
segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan nyawa.
Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan
keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal
perbuatan (Al-Immaanu ‘aqdun bil qalbi waigraarun billisaani wa’amalun bil arkaan).
Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan
laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau
gaya hidup.
Istilah iman dalam al-Qur’an selalu dirangkaikan dengan kata lain yang memberikan
corak dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam surat an-Nisa':51 yang
dikaitkan dengan jibti (kebatinan/idealisme) dan thaghut (realita/naturalisme).
Sedangkan dalam surat al-Ankabut: 52 dikaitkan dengan kata bathil, yaitu
walladziina aamanuu bil baathili. Bhatil berarti tidak benar menurut Allah. Dalam
surat lain iman dirangkaikan dengan kata kaafir atau dengan kata Allah. Sementara
dalam al-Baqarah: 4, iman dirangkaikan dengan kata ajaran yang diturunkan Allah
(yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablika).
Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Qur’an, mengandung
arti positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan kata Allah atau
dengan ajarannya, dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan
selainnya, disebut iman bathil.
Wujud Iman
Akidah Islam dalam al-Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya,
melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berbuat. Oleh karena itu
lapangan iman sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang
muslim yang disebut amal saleh.
Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan
kepercayaan itu mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai
dengan keyakinan. Karena itu iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan,
melainkan menyatu secara utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam
perbuatannya.
Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama Islam. Ia merupakan
keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal. Seseorang
dipandang sebagai muslim atau bukan muslim tergantung pada akidahnya. Apabila ia
berakidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai sebagai
amaliah seorang muslim atau amal saleh. Apabila tidak beraqidah, maka segala
amalnya tidak memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang dilakukan bernilai
dalam pendengaran manusia.
Akidah Islam atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia terikat dengan segala
aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi seorang muslim berarti
meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam. Seluruh
hidupnya didasarkan pada ajaran Islam.
Proses Terbentuknya Iman
Spermatozoa dan ovum yang diproduksi dan dipertemukan atas dasar ketentuan yang
digariskan ajaran Allah, merupakan benih yang baik. Allah menginginkan agar
makanan yang dimakan berasal dari rezeki yang halalanthayyiban. Pandangan dan
sikap hidup seorang ibu yang sedang hamil mempengaruhi psikis yang dikandungnya.
Ibu yang mengandung tidak lepas dari pengaruh suami, maka secara tidak langsung
pandangan dan sikap hidup suami juga berpengaruh secara psikologis terhadap bayi
yang sedang dikandung. Oleh karena jika seseorang menginginkan anaknya kelak
menjadi mukmin yang muttaqin, maka isteri hendaknya berpandangan dan bersikap
sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang
berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang
intensif, besar kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya dengan benih
iman. Berbagai pengaruh terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian
seseorang, baik yang datang dari lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan,
maupun lingkungan termasuk benda-benda mati seperti cuaca, tanah, air, dan
lingkungan flora serta fauna.
Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung, baik yang
disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap iman seseorang.
Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa merupakan contoh dan teladan
bagi anak-anak. Tingkah laku yang baik maupun yang buruk akan ditiru anakanaknya. Jangan diharapkan anak berperilaku baik, apabila orang tuanya selalu
melakukan perbuatan yang tercela. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda, “Setiap anak,
lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan menjadikan anak tersebut menjadi
Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali dengan proses
perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau benci. Mengenal ajaran Allah
adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak
mengenal ajaran Allah, maka orang tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah.
Seseorang yang menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada Allah, maka ajaran
Allah harus diperkenalkan sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak itu dari
tingkat verbal sampai tingkat pemahaman. Bagaimana seorang anak menjadi mukmin,
jika kepada mereka tidak diperkenalkan al-Qur’an.
Di samping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu diperhatikan, karena
tanpa pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci berubah menjadi senang. Seorang
anak harus dibiasakan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan
menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya, agar kelak setelah dewasa menjadi senang dan
terampil dalam melaksanakan ajaran-ajaran Allah.
Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang mudah dilihat dan
diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang tampak saja. Di dalamnya
tercakup juga sikap-sikap mental yang tidak selalu mudah ditanggapi kecuali secara
fisik langsung (misalnya, melalui ucapan atau perbuatan yang diduga dapat
menggambarkan sikap mental tersebut), bahkan secara tidak langsung itu adakalanya
cukup sulit menarik kesimpulan yang teliti. Di dalam tulisan ini dipergunakan istilah
tingkah laku dalam arti luas dan dikaitkan dengan nilai-nilai hidup, yakni seperangkat
nilai yang diterima oleh manusia sebagai nilai yang penting dalam kehidupan, yaitu
iman. Yang dituju adalah tingkah laku yang merupakan perwujudan nilai-nilai hidup
tertentu, yang disebut tingkah laku terpola.
Dalam keadaan tertentu, sifat, arah, dan intensitas tingkah laku dapat dipengaruhi
melalui campur tangan secara langsung, yakni dalam bentuk intervensi terhadap
interaksi yang terjadi. Dalam hal ini dijelaskan beberap prinsip dengan
mengemukakan implikasi metodologinya, yaitu:
1. Prinsip pembinaan berkesinambungan
Proses pembentukan iman adalah suatu proses yang penting, terus menerus, dan tidak
berkesudahan. Belajar adalah suatu proses yang memungkinkan orang semakin lama
semakin mampu bersikap selektif. Implikasinya ialah diperlukan motivasi sejak kecil
dan berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu penting mengarahkan proses motivasi
agar membuat tingkah laku lebih terarah dan selektif menghadapi nilai-nilai hidup
yang patut diterima atau yang seharusnya ditolak.
2. Prinsip internalisasi dan individuasi
Suatu nilai hidup antara lain iman dapat lebih mantap terjelma dalam bentuk tingkah
laku tertentu, apabila anak didik diberi kesempatan untuk menghayatinya melalui
suatu peristiwa internalisasi (yakni usaha menerima nilai sebagai bagian dari sikap
mentalnya) dan individuasi (yakni menempatkan nilai serasi dengan sifat
kepribadiannya). Melalui pengalaman penghayatan pribadi, ia bergerak menuju satu
penjelmaan dan perwujudan nilai dalam diri manusia secara lebih wajar dan
“amaliah”, dibandingkan bilamana nilai itu langsung diperkenalkan dalam bentuk
“utuh”, yakni bilamana nilai tersebut langsung ditanamkan kepada anak didik sebagai
suatu produk akhir semata-mata. Prinsip ini menekankan pentingnya mempelajari
iman sebagai proses (internalisasi dan individuasi). Implikasi metodologinya ialah
bahwa pendekatan untuk membentuk tingkah laku yang mewujudkan nilai-nilai iman
tidak dapat hanya mengutamakan nilai-nilai itu dalam bentuk jadi, tetapi juga harus
mementingkan proses dan cara pengenalan nilai hidup tersebut. Dari sudut anak didik,
hal ini bahwa seyogianya anak didik mendapat kesempatan sebaik-baiknya
mengalami proses tersebut sebagai peristiwa pengalaman pribadi, agar melalui
pengalaman-pengalaman itu terjadi kristalisasi nilai iman.
3. Prinsip sosialisasi
Pada umumnya nilai-nilai hidup bru benar-benar mempunyai arti apabila telah
memperoleh dimensi sosial. Oleh karena itu suatu bentuk tingkah laku terpola baru
teruji secara tuntas bilamana sudah diterima secara sosial. Implikasi metodologinya
ialah bahwa usaha pembentukan tingkah laku mewujudkan nilai iman hendaknya
tidak diukur keberhasilannya terbatas pada tingkat individual (yaitu hanya dengan
memperhatikan kemampuan seseorang dalam kedudukannya sebagai individu), tetapi
perlu mengutamakan penilaian dalam kaitan kehidupan interaksi sosial (proses
sosialisasi) orang tersebut. Pada tingkat akhir harus terjadi proses sosialisasi tingkah
laku, sebagai kelengkapan proses individuasi, karena nilai iman yang diwujudkan ke
dalam tingkah laku selalu mempunyai dimensi sosial.
4. Prinsip konsistensi dan koherensi
Nilai iman lebih mudah tumbuh terakselerasi, apabila sejak semula ditangani secara
konsisten, yaitu secara tetap dan konsekuen, serta secara koheren, yaitu tanpa
mengandung pertentangan antara nilai yang satu dengan nilai lainnya. Implikasi
metodologinya adalah bahwa usaha yang dikembangkan untuk mempercepat
tumbuhnya tingkah laku yang mewujudkan nilai iman hendaknya selalu konsisten dan
koheren. Alasannya, caranya dan konsekuensinya dapat dihayati dalam sifat dan
bentuk yang jelas dan terpola serta tidak berubah-ubah tanpa arah. Pendekatan
demikian berarti bahwa setiap langkah yang terdahulu akan mendukung serta
memperkuat langkah-langkah berikutnya. Apabila pendekatan yang konsisten dan
koheren sudah tampat, maka dapat diharapkan bahwa proses pembentukan tingkah
laku dapat berlangsung lebih lancar dan lebih cepat, karena kerangka pola tingkah
laku sudah tercipta.
5. Prinsip integrasi
Hakikat kehidupan sebagai totalitas, senantiasa menghadapkan setiap orang pada
problematika kehidupan yang menuntut pendekatan yang luas dan menyeluruh. Jarang
sekali fenomena kehidupan yang berdiri sendiri. Begitu pula dengan setiap bentuk
nilai hidup yang berdimensi sosial. Oleh karena itu tingkah laku yang dihubungkan
dengan nilai iman tidak dapat dibentuk terpisah-pisah. Makin integral pendekatan
seseorang terhadap kehidupan, makin fungsional pula hubungan setiap bentuk tingkah
laku yang berhubungan dengan nilai iman yang dipelajari. Implikasi metodologinya
ialah agar nilai iman hendaknya dapat dipelajari seseorang tidak sebagai ilmu dan
keterampilan tingkah laku yang terpisah-pisah, tetapi melalui pendekatan yang
integratif, dalam kaitan problematik kehidupan yang nyata.
Tanda-tanda Orang Beriman
Al-Qur’an menjelaskan tanda-tanda orang yang beriman sebagai berikut:
1. Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu Allah
tidak lepas dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan ayat al-Qur’an, maka
bergejolak hatinya untuk segera melaksanakannya (al-Anfal: 2). Dia akan
memahami ayat yang tidak dia pahami.
2. Senantiasa tawakal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah,
diiringi dengan doa, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah
menurut Sunnah Rasul (Ali Imran: 120, al-Maidah: 12, al-Anfal: 2, at-Taubah:
52, Ibrahim: 11, Mujadalah: 10, dan at-Taghabun:13).
3. Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu menjaga pelaksanaannya (alAnfal: 3 dan al-Mu’minun: 2, 7). Bagaimanapun sibuknya, kalau sudah masuk
waktu shalat, dia segera shalat untuk membina kualitas imannya.
4. Menafkahkan rezki yang diterimanya (al-Anfal: 3 dan al-Mukminun:4). Hal
ini dilakukan sebagai suatu kesadaran bahwa harta yang dinafkahkan di jalan
Allah merupakan upaya pemerataan ekonomi, agar tidak terjadi ketimpangan
antara yang kaya dengan yang miskin.
5. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan (alMukminun: 3,5). Perkataan yang bermanfaat atau yang baik adalah yang
berstandar ilmu Allah, yaitu al-Qur’an menurut Sunnah Rasulullah.
6. Memelihara amanah dan menepati janji (al-Mukminun: 6). Seorang mu’min
tidak akan berkhianat dan dia akan selalu memegang amanah dan menepati
janji.
7. Berjihad di jalan Allah dan suka menolong (al-Anfal:74). Berjihad di jalan
Allah adalah bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Allah, baik
dengan harta benda yang dimiliki maupun dengan nyawa.
8. Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin (an-Nur: 62). Sikap
seperti itu merupakan salah satu sikap hidup seorang mukmin, orang yang
berpandangan dengan ajaran Allah menurut Sunnah Rasul.
Akidah Islam sebagai keyakinan membentuk perilaku bahkan mempengaruhi
kehidupan seorang muslim. Abu A’la Maudadi menyebutkan tanda orang beriman
sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Menjauhkan diri dari pandangan yang sempit dan picik.
Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri
Mempunyai sifat rendah hati dan khidmat
Senantiasa jujur dan adil
Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan
situasi
Mempunyai pendirian teguh, kesabaran, ketabahan, dan optimisme.
Mempunyai sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi
resiko, bahkan tidak takut kepada maut.
Mempunyai sikap hidup damai dan ridha.
Patuh, taat, dan disiplin menjalankan peraturan Ilahi.
Korelasi Keimanan dan Ketakwaan
Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi menjadi dua,
yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tauhid teoritis adalah tauhid yang membahas
tentang keesaan Zat, keesaan Sifat, dan keesaaan Perbuatan Tuhan. Pembahasan
keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan,
persepsi, dan pemikiran atau konsep tentang Tuhan. Konsekuensi logis tauhid teoritis
adalah pengakuan yang ikhlas bahwa Allah adalah satu-satunya Wujud Mutlak, yang
menjadi sumber semua wujud.
Adapun tauhid praktis yang disebut juga tauhid ibadah, berhubungan dengan amal
ibadah manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari tauhid teoritis. Kalimat Laa
ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah) lebih menekankan pengertian tauhid
praktis (tauhid ibadah). Tauhid ibadah adalah ketaatan hanya kepada Allah. Dengan
kata lain, tidak ada yang disembah selain Allah, atau yang berhak disembah hanyalah
Allah semata dan menjadikan-Nya tempat tumpuan hati dan tujuan segala gerak dan
langkah.
Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengertian beriman kepada
Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Mempercayai saja keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan
Tuhan, tanpa mengucapkan dengan lisan serta tanpa mengamalkan dengan perbuatan,
tidak dapat dikatakan seorang yang sudah bertauhid secara sempurna. Dalam
pandangan Islam, yang dimaksud dengan tauhid yang sempurna adalah tauhid yang
tercermin dalam ibadah dan dalam perbuatan praktis kehidupan manusia sehari-hari.
Dengan kata lain, harus ada kesatuan dan keharmonisan tauhid teoritis dan tauhid
praktis dalam diri dan dalam kehidupan sehari-hari secara murni dan konsekuen.
Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan amal, konsep dan
pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan demikian
bertauhid adalah mengesakan Tuhan dalam pengertian yakin dan percaya kepada
Allah melalui pikiran, membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan
mengamalkan dengan perbuatan. Oleh karena itu seseorang baru dinyatakan beriman
dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat tauhid dalam syahadat asyhadu
allaa ilaaha illa Alah, (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah), kemudian
diikuti dengan mengamalkan semua perintah Allah dan meninggalkan segala
larangan-Nya.
Problematika, Tantangan, dan Resiko dalam Kehidupan Modern
Di antara problematika dalam kehidupan modern adalah masalah sosial-budaya yang
sudah established, sehingga sulit sekali memperbaikinya.
Berbicara tentang masalah sosial budaya berarti berbicara tentang masalah alam
pikiran dan realitas hidup masyarakat. Alam pikiran bangsa Indonesia adalah
majemuk (pluralistik), sehingga pergaulan hidupnya selalu dipenuhi oleh konflik baik
sesama orang Islam maupun orang Islam dengan non-Islam.
Pada millenium ketiga, bangsa Indonesia dideskripsikan sebagai masyarakat yang
antara satu dengan lainnya saling bermusuhan. Hal itu digambarkan oleh Ali Imran:
103, sebagai kehidupan yang terlibat dalam wujud saling bermusuhan (idz kuntum
a’daa’an), yaitu suatu wujud kehidupan yang berada pada ancaman kehancuran.
Adopsi modernisme (werternisme), kendatipun tidak secara total, yang dilakukan
bangsa Indonesia selama ini, telah menempatkan bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang semi naturalis. Di sisi lain, diadopsinya idealisme juga telah menjadikan bangsa
Indonesia menjadi pengkhayal. Adanya tarik menarik antara kekuatan idealisme dan
naturalisme menjadikan bangsa Indonesia bersikap tidak menentu. Oleh karena itu,
kehidupannya selalu terombang-ambing oleh isme-isme tersebut.
Secara ekonomi bangsa Indonesia semakin tambah terpuruk. Hal ini karena
diadopsinya sistem kapitalisme dan melahirkan korupsi besar-besaran. Sedangkan di
bidang politik, selalu muncul konflik di antara partai dan semakin jauhnya anggota
parlemen dengan nilai-nilai qur’ani, karena pragmatis dan oportunis.
Di bidang sosial banyak muncul masalah. Berbagai tindakan kriminal sering terjadi
dan pelanggaran terhadap norma-norma bisa dilakukan oleh anggota masyarakat.
Lebih memprihatinkan lagi adalah tindakan penyalahgunaan NARKOBA oleh anakanak sekolah, mahasiswa, serta masyarakat. Di samping itu masih terdapat bermacammacam masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dalam kehidupan modern.
Persoalan itu muncul, karena wawasan ilmunya salah, sedang ilmu merupakan roh
yang menggerakkan dan mewarnai budaya. Hal itu menjadi tantangan yang amat berat
dan dapat menimbulkan tekanan kejiwaan, karena kalau masuk dalam kehidupan
seperti itu, maka akan melahirkan risiko yang besar.
Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari berbagai persoalan di atas, perlu diadakan
revolusi pandangan. Dalam kaitan ini, iman dan taqwa yang dapat berperan
menyelesaikan problema dan tantangan kehidupan modern tersebut.
Peran Iman dan Takwa dalam Menjawa Problema dan Tantangan Kehidupan
Modern
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut ini dikemukakan
beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan manusia.
1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda
Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kalau Allah
hendak memberikan pertolongan, maka tidak ada satu kekuatanpun yang dapat
mencegahnya. Sebaliknya, jika Allah hendak menimpakan bencana, maka tidak ada
satu kekuatanpun yang sanggup menahan dan mencegahnya. Kepercayaan dan
keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan manusia yang kebetulan
sedang memegang kekuasaan, menghilangkan kepercayaan pada kesaktian bendabenda kramat, mengikis kepercayaan pada khurat, takhyul, jampi-jampi dan
sebagainya. Pegangan orang yang beriman adalah firman Allah surat al-Fatihah ayat
1-7 .
2. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut
Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut. Banyak di antara
manusia yang tidak berani mengemukakan kebenaran, karena takut menghadapi
resiko. Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah.
Pegangan orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah dalam QS
4 (al-Nisa’):78:
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu kendatipun kamu di
dalam benteng yang tinggi lagi kokoh”
3. Iman menanamkan sikap “self help” dalam kehidupan .
Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
Banyak orang yang melepaskan pendiriannya, karena kepentingan penghidupannya.
Kadang-kadang manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan,
bermuka dua, menjilat, dan memperbudak diri, karena kepentingan materi. Pegangan
orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah dalam QS 11 (Hud):6:
“Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang dan tempat
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata. (lauh mahfud)“.