4. BAB 2 tinjauan pustaka

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Retardasi Mental

  2.1.1 Pengertian Retardasi Mental

  Retardasi mental adalah keadaan taraf perkembangan kecerdasan dibawah normal sejak lahir atau masa kanak-kanak, biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan (Dalami, 2009: 69).

  Menurut Sebastian SC (2002) dalam Soetjiningsih (2012: 511), yang mengatakan bahwa retardasi mental adalah keterlambatan perkembangan yang dimulai pada masa anak, yang ditandai oleh intelegensi/kemampuan kognitif di bawah normal dan terdapat kendala pada perilaku adaptif sosial.

  Menurut Pedoman Penggolongsn Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke-III (PPDGJ III) retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh adanya hambatan keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial (FKUI, 2013: 446).

  Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa retardasi mental adalah keterlambatan perkembangan mental sejak lahir atau masa kanak- kanak sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial.

  2.1.2 Etiologi Retardasi Mental

  Faktor penyebab retardasi mental erat kaitannya dengan keadaan sosial, ekonomi dan kesehatan serta sumber yang tersedia untuk pendidikan, perkembangan dan kesempatan kerja dari suatu masyarakat. Oleh karena itu angka kejadian retardasi mental lebih tinggi pada Negara yang kurang mempunyai program imunisasi massa, gizi dan sanitasi yang buruk, lingkungan yang kurang aman dan pelayanan kesehatan yang kurang pada wanita hamil dan anak-anak

  2.1.3 Klasifikasi Retardasi Mental

  Menurut Melly Budhiman (1991) dalam Soetjiningsih (2012: 513), terdapat bermacam-macam klasifikasi retardasi mental, yaitu: a. Retardasi mental tipe klinik

  Pada tipe ini mudah dideteksi sejak dini, karena kelainan fisik maupun mentalnya cukup berat. Penyebabnya sering adalah kelainan organik. Kebanyakan anak ini perlu perawatan yang terus menerus dan kelainan ini dapat terjadi pada kelas sosial tinggi atau pun rendah. Orang tua anak penderita tipe ini cepat mencari pertolongan karena mereka melihat sendiri kelainan pada anaknya.

  b. Retardasi mental tipe sosiobudaya Biasanya kelainan ini baru diketahui setelah anak masuk sekolah dan ternyata tidak dapat mengikuti pelajaran. Penampilannya seperti anak normal, sehingga tipe ini disebut juga retardasi enam jam, karena begitu mereka keluar sekolah mereka dapat bermain seperti anak-anak normal lainnya. Tipe ini kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi rendah. Para orang tua anak tipe ini tidak melihat ada kelainan pada anaknya. Mereka mengetahui kalau anaknya retardasi mental dari gurunya atau dari psikolog, karena anaknya gagal naik kelas beberapa kali.

  2.1.4 Derajat Retardasi Mental

  Kriteria diagnostic, kode diagnostic dan derajat retardasi mental menurut DSM IV – TR adalah sebagai berikut:

  a. Retardasi Mental Ringan, IQ 50-55 sampai 70 Penyandang RM ringan biasanya agak terlambat dalam belajar bahasa tetapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan berbicara untuk keperluan sehari-hari, mengadakan percakapan dan dapat diwawancarai. Kebanyakan dari mereka juga dapat mandiri penuh dalam hal merawat diri sendiri (makan, mandi, berpakaian, BAB dan yang bersifat akademik. Banyak diantara mereka mempunyai masalah khusus dalam membaca dan menulis.

  b. Retardasi Mental Sedang, IQ 35-40 sampai 50-55 Penyandang RM kategori ini lambat dalam mengembangkan pemahaman dan penggunaan Bahasa, prestasi akhir yang dapat dicapai dalam bidang ini terbatas. Ketrampilan merawat diri dan ketrampilan motorik juga terlambat. Sebagian dari mereka memerlukan pengawasan seumur hidup. Kemajuan dalam pendidikan sekolah terbatas tetapi sebagian dari mereka ini dapat belajar ketrampilan dasar yang dibutuhkan untuk membaca, menulis dan berhitung. Program pendidikan khusus dapat memberi kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan potensi mereka yang terbatas dan memperoleh beberapa ketrampilan dasar.

  c. Retardasi Mental Berat, IQ 20-25 sampai 35-40 Kategori ini pada umumnya mirip dengan RM sedang dalam hal gambaran klinis, terdapatnya suatu etiologi organik dan kondisi yang menyertainya. Prestasi yang lebih rendah juga paling lazim pada kelompok ini. Kebanyakan penyandang RM kategori ini menderita hambatan motorik yang mencolok dan defisit lain yang menyertainya. Hal ini menunjukkan adanya kerusakan atau penyimpanan perkembangan yang bermakna secara klinis dari susunan saraf pusat.

  d. Retardasi Mental Sangat Berat, IQ di bawah 20 atau 25 Secara praktis penyandang yang bersangkutan sangat terbatas kemampuannya untuk memahami atau mematuhi permintaan atau instruksi. Sebagian besar dari mereka tidak dapat bergerak atau sangat terbatas dalam gerakannya, mungkin juga terdapat inkontinensia, dan hanya mampu mengadakan komunikasi non-verbal yang belum sempurna. Mereka tidak atau hanya mempunyai sedikit sekali kemampuan untuk mengurus sendiri kebutuhan dasar mereka sendiri,

2.1.5 Dampak Retardasi Mental pada Keluarga

  Orang yang paling banyak menanggung beban akibat retasrdasi mental adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Individu dengan retardasi mental memiliki keterbatasan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Mereka membutuhkan waktu lama untuk bekerja dan rentang waktu yang mereka gunakan untuk menyelesaikain tugas lebih lama dari pada orang lain pada umumnya.

  Biasanya penderita retardasi mental mempunyai keterbatasan intelegensi dan membutuhkan bantuan orang lain guna beradaptasi dengan lingkungan dengan meningkatkan perilaku yang kurang dan mengurangi perilaku yang berlebihan. Ketidaksesuian harapan orang tua dengan potensi yang dimiliki anak cenderung menimbulkan masalah di kemudian hari dalam proses perkembangan anak. Orang tua mencemaskan masa depan anak sebagai salah satu proyeksi kecemasan dirinya dituangkan pada anak. Akibatnya kecemasan orang tua mempengaruhi kecenderungan untuk melindungi anak secara berlebihan.

2.2 Konsep Koping

2.2.1 Pengertian Koping

  Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi stresfull. Koping tersebut merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik (Rasmun, 2004: 29).

  Koping adalah menstabilkan faktor yang dapat membantu individu mempertahankan adaptasi psikososial selama periode menegangkan. Koping meliputi upaya mengurangi atau menghilangkan stres terkait kondisi dan tekanan emosional (Mubarak, 2011: 45).

  Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi stresfull dan mempertahankan adaptasi psikososial selama periode menegangkan.

2.2.2 Jenis-Jenis Koping

  Menurut Rasmun (2004: 30), ada 2 jenis koping:

  1. Koping psikologis Pada umumnya gejala yang timbul akibat stres psikologis tergantung pada 2 faktor yaitu: a. Bagaimana persepsi atau penerimaan individu terhadap stressor, artinya seberapa berat ancaman dirasakan oleh individu tersebut terhadap stressor yang diterimanya.

  b. Keefektifan strategi koping yang digunakan oleh individu; artinya dalam menghadapi stressor, jika strategi yang digunakan efektif maka menghasilkan adaptasi yang baik dan menjadi suatu pola baru dalam kehidupan, tetapi jika sebaliknya dapat mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun psikologis

  2. Koping Psiko-sosial Reaksi psiko-sosial terhadap adanya stimulus stres yang diterima atau dihadapi oleh klien, menurut Stuart dan Sundeen (1991), mengemukakan bahwa terdapat 2 kategori koping yang biasa dilakukan untuk mengatasi stres dan kecemasan; a. Reaksi yang berorientasi pada tugas (task-oriented reaction) cara ini digunakan untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik dan memenuhi kebutuhan dasar. Diantaranya yaitu: menyerang, menarik diri dan kompromi.

  b. Reaksi yang berorientasi pada Ego Reaksi ini sering digunakan oleh individu dalam menghadapi stres, atau kecemasan, jika individu melakukannya dalam waktu sesaat maka akan dapat mengurangi kecemasan, tetapi jika digunakan dalam waktu yang lama akan dapat mengakibatkan gangguan orientasi realita, memburuknya hubungan interpersonal dan menurunnya produktifitas kerja. Diantaranya yaitu: kompensasi,

2.2.3 Metode Koping

  Menurut Rasmun (2004: 37), ada 2 metode koping yang digunakan oleh individu dalam mengatasi masalah psikologis, metode tersebut antara lain adalah:

  1. Metode koping jangka panjang Merupakan cara yang efektif dan realistis dalam menangani masalah psikologis untuk kurun waktu yang lama, contohnya yaitu: berbicara dengan orang lain mengenai masalah dan mencoba mencari tau lebih banyak tentang masalah tersebut, menghubungkan masalah yang sedang dihadapi dengan keagamaan, melakukan latihan fisik untuk mengurangi masalah dan mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu.

  2. Metode koping jangka pendek Digunakan untuk mengurangi stres/ketegangan psikologis dan cukup efektif untuk waktu sementara, tetapi tidak efektif jika digunakan dalam jangka panjang, contohnya yaitu: banyak tidur, melamun, menangis, mencoba melihat aspek humor dari situasi yang tidak menyenangkan, tidak ragu dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil dan beralih pada aktivitas lain agar dapat melupakan masalah.

  Menurut Lazarus dan Folkman (1984), dalam melakukan koping ada 2 strategi yang bisa dilakukan yaitu:

1. Problem Focused Coping

  a. Confrontative coping: yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap sumber tekanan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang tinggi, dan pengambilan resiko.

  b. Seeking Social Support: atau mencari dukungan sosial yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.

  c. Planful Problem Solving: yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan

2. Emotion Focused Coping

  a. Escape avoidance: yaitu usaha yang dilakukan individu untuk menghindari masalah dengan berkhayal atau membayangkan hasil yang terjadi dan ia berada pada situasi yang lebih baik dari yang dialami sekarang. Atau dapat pula dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok atau menggunakan obat-obatan.

  b. Seeking social emotional support: adalah upaya untuk mencoba memperoleh dukungan secara emosional maupun sosial dari orang lain.

  c. Self Control: adalah usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan.

  d. Distancing, yaitu mengeluarkan upaya kognitif untuk melepaskan diri dari masalah atau membuat sebuah harapan positif.

  e. Positive reapraisal: adalah usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan terfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius.

  f. Accepting responsibilty: usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah tersebut.

2.2.4 Pengukuran Koping

  Insrtrumen ini terdiri dari dua aspek yaitu penanggulangan masalah yang berpusat pada masalah (Problem Focused Coping) dan penanggulangan masalah yang berpusat pada emosi (Emoticon Focused Coping). Instrument ini disusun dalam skala reaksi dimana pada setiap item, subjek dihadapkan pada bentuk strategi koping dan subjek harus menentukan seberapa sering memunculkan reaksi

2.3 Konsep Pengetahuan

  2.3.1 Pengertian Pengetahuan

  Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Pengetahuan adalah segala apa yang diketahui berdasarkan pengalaman yang didapatkan oleh setiap manusia (Mubarak, 2011: 81).

  Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Fitriani, 2011).

  Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan pengetahuan adalah sesuatu yang diperoleh melalui mata dan telinga dan segala apa yang diketahui berdasarkan pengalaman yang diperoleh.

  2.3.2 Tingkatan Pengetahuan Menurut Mubarak (2011: 82), pengetahuan mempunyai enam tingkatan.

  Yaitu:

  1. Tahu (know)

  Diartikan sebagai kemampuan mengingat kembali dari yang telah dipelajari, termasuk hal spesifik dari seluruh rangsangan yang telah diterima.

  2. Memahami (comprehension)

  Diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikannya secara luas.

  3. Aplikasi (aplication)

  Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi nyata.

  4. Analisis (analysis)

  Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen yang masih saling terkait dan masih didalam

  5. Sintesis (synthesis)

  Diartikan sebagai kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian kedalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

  6. Evaluasi (evaluation)

  Diartikan berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek.

2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

  Faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah:

  1. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain agar dapat memahami sesuatu hal. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya pengetahuan yang dimilikinya akan semakin banyak. Sebaliknya, jika seseorang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, maka akan menghambat perkembangan sikap orang tersebut terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan.

  2. Pekerjaan Lingkungan pekerjaan dapat membuat seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

  3. Umur Dengan bertambahnya umur seseorang akan mengalami perubahan aspek fisik dan psikologis (mental).

  4. Minat Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu.

  5. Pengalaman Adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam

  6. Kebudayaan lingkungan sekitar Lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang.

  7. Informasi Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat mempercepat seseorang memperoleh pengetahuan yang baru (Mubarak, 2011: 83).

2.3.4 Pengukuran Pengetahuan

  Menurut Agus dan Budiman (2013), pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subjek penelitian atau responden. Kategori tingkat pengetahuan seseorang menjadi tiga tingkatan yaitu: a. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya 76%-100%

  b. Tingkat pengetahuan kategori Cukup jika nilainya 56-75%

  c. Tingkat pengetahuan kategori Kurang jika nilainya ≤55%

2.4 Konsep Dukungan Keluarga

  2.4.1 Pengertian Dukungan Keluarga

  Dukungan keluarga didefinisi dari dukungan sosial. Dukungan sosial adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan mencintainya (Harnilawati, 2013: 26).

  Menurut Friedman (1988) dalam Muhith (2016: 121), dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga dengan penderita yang sakit. Keluarga juga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan.

  2.4.2 Fungsi Keluarga

  Fungsi keluarga merupakan sesuatu tentang apa yang dilakukan oleh keluarga (Achjar, 2010). dan situasi yang dialami tiap anggota keluarga baik senang maupun sedih, dengan melihat bagaimana cara keluarga mengekspresikan kasih sayang.

  2. Fungsi sosialisasi

  Tercermin dalam melakukan pembinaan sosialisasi pada anak, membentuk nilai dan norma yang diyakini anak, memberikan batasan perilaku yang boleh dan tidak boleh pada anak dan meneruskan nilai- nilai budaya keluarga.

  3. Fungsi perawatan kesehatan

  Fungsi keluarga dalam melindungi keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga serta menjamin pemenuhan kebutuhan perkembangan fisik, mental dan spiritual, dengan cara memelihara dan merawat anggota keluarga serta mengenali setiap kondisi sakit tiap anggota keluarga.

  4. Fungsi ekonomi

  Untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan, papan dan kebutuhan lainnya melalui keefektifan sumber dana keluarga. Mencari sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penghasilan keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

  5. Fungsi biologis

  Bukan hanya ditujukan untuk meneruskan keturunan tetapi untuk memelihara dan membesarkan anak untuk kelanjutan generasi selanjutnya.

  6. Fungsi psikologis

  Terlihat bagaimana keluarga memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan perhatian diantara anggota keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga.

7. Fungsi pendidikan

  Diberikan dalam rangka memberikan pengetahuan, membentuk perilaku anak, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa, mendidik anak sesuai dengan tingkatan perkembangannya.

2.4.3 Jenis-Jenis Dukungan Keluarga

  Menurut Harnilawati (2013: 27), jenis dukungan keluarga ada empat, yaitu:

  1. Dukungan instrumental, yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit.

  2. Dukungan informasional, yaitu keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan disseminator (penyebar informasi).

  3. Dukungan penilaian, yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah umpan

  balik, membimbing dan menangani pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas keluarga.

  4. Dukungan emosional, yaitu keluarga sebagai sebuah tempat yang

  aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi.

2.4.4 Bentuk Dukungan Keluarga

  Menurut House (1994) dalam Harnilawati (2013: 27), setiap bentuk dukungan keluarga mempunyai ciri-ciri, antara lain:

  1. Informatif, yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat

  digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi. Meliputi pemberian nasehat, pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan.

  2. Perhatian emosional, setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi

  dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan simpatik dan empati, cinta, kepercayaan dan penghargaan. Dengan demikian seseorang yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar

  3. Bantuan instrumental, bantuan benuk ini bertujuan untuk

  mempermudah seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya.

  4. Bantuan penilaian, yaitu suatu bentuk penghargaan yang diberikan

  seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya. Penilaian ini bisa positif dan negatif yang mana pengaruhnya sangat berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan dukungan keluarga maka penilaian yang sangat membantu adalah penilaian yang positif.

  2.4.5 Sumber Dukungan Keluarga

  Studi-studi tentang dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sosial sebagai koping keluarga, baik dukungan-dukungan yang bersifat eksternal maupun internal terbukti sangat bermanfaat. Dukungan eksternal antara lain sahabat, pekerjaan, tetangga, sekolah, keluarga besar, kelompok sosial, kelompok rekreasi, tempat ibadah dan praktisi kesehatan. Dukungan internal antara lain dukungan dari suami atau istri, saudara kandung atau dukungan dari anak (Harnilawati, 2013: 26).

  2.4.6 Pengaruh Dukungan Keluarga dengan Kesehatan

  Efek dari dukungan keluarga terhadap kesehatan dan kesejahteraan berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan keluarga yang adekuat terbukti dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi. Disamping itu, pengaruh positif dari dukungan keluarga adalah pada penyesuaian terhadap kejadian dalam kehidupan yang penuh dengan stres (Harnilawati, 2013: 28).