BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah 2.1.1. Pengertian Sampah - Analisis Kandungan Kadmium (Cd) dalam Udang Windu (Penaeus monodon) yang Berada di Tambak Sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Kelurahan Terjun Kota Medan Tahun 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sampah

  2.1.1. Pengertian Sampah

  KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mengartikan sampah sebagai benda yang dibuang karena tidak terpakai dan tidak dapat digunakan lagi.

  Selanjutnya, menurut Undang-Undang Pengelolaan Sampah Nomor 18 Tahun 2008 menyatakan, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau dari proses alam yang berbentuk padat. Menurut Amerian Public Health Association (APHA), sampah (waste) diartikan sebagai sesuatu yang tidak digunakan, tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya (Sumantri, 2010).

  Sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan (refuse) sebenarnya hanya sebagian dari benda atau hal-hal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau dibuang, sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kelangsungan hidup. Dalam ilmu kesehatan, keseluruhan dari benda atau hal-hal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau harus dibuang tersebut, disebut benda-benda sisa atau benda-benda bekas (waste). Kecuali sampah kotoran manusia (human waste), air limbah atau air bekas (sewage) serta sisa-sisa industri (industrial waste ) termasuk pula kedalamnya.

  2.1.2. Sumber-Sumber Sampah

  Menurut Kusnoputranto (2000), sumber-sumber sampah terdiri dari :

  1. Sampah domestik (domestic waste)

  7 Sampah padat yang berasal dari pemukiman masyarakat. Jenis sampah padat ini cukup beragam, namun umumnya berupa sampah dapur dan sampah lain hasil kegiatan rumah tangga seperti sampah-sampah hasil pengolahan makanan, sampah dari halaman misalnya dedaunan, kaleng dan kardus bekas serta kertas pembungkus, pakaian bekas, karpet tua, perabotan rumah tangga dan sejenisnya.

  2. Sampah komersial (commercial wastes) Sampah padat dari lingkungan perdagangan atau jasa komersial, baik warung, ataupun pasar. Sampah ini beragam sesuai dengan jenis barang yang diperdagangkan. Sampah di pusat perdagangan atau pasar biasanya terdiri dari : kardus-kardus yang besar, kotak-kotak pembungkus, kertas-kertas, karbon, pita mesin tik besar dan lainnya. Dalam hal ini termasuk sampah makanan dari kantin atau restoran.

  3. Sampah yang berasal dari jalan-jalan raya (street sweeping) Sampah yang berasal dari pembersihan jalan-jalan, biasanya terdiri dari kertas-kertas, kardus- kardus kecil tercampur dengan batu-batuan, debu, pasir, benda-benda yang jatuh dari truk/kendaraan, sobekan-sobekan ban atau onderdil-onderdil yang jatuh, juga daun-daunan, sampah-sampah yang dibuang dari mobil, kantong-kantong plastik dan lain-lain.

  4. Sampah-sampah Industri (Industrial wastes) Sampah-sampah yang berasal dari pembangunan industri dan dari proses- proses produksi yang terjadi dalam industri tersebut. Jenis sampah ini relatif sama untuk industri tertentu, namun jenis industri yang berbeda akan menghasilkan sampah yang berbeda juga. Jadi jenis sampah, jumlah dan komposisi sampah industri bergantung pada jenis industrinya, misalnya sampah industri, sampah pengepakan barang, sampah bahan makanan, logam, plastik, kayu, potongan tekstil dan lain-lain.

  5. Sampah-sampah yang berasal dari daerah pertanian dan perkebunan (agriculture wastes), sampah-sampah dari daerah ini dapat berupa sampah dari hasil perkebunan atau pertanian misalnya jerami, sisa sayur-mayur, batang jagung, pohon kacang-kacangan dan lain-lain yang umumnya jumlahnya cukup besar sewaktu musim panen. Umumnya sampah-sampah ini dibakar dan dikembalikan pada tanah pertanian ataupun dijadikan pupuk untuk pertanian.

  6. Sampah yang berasal dari daerah pertambangan Pertambangan dapat menghasilkan sejumlah sampah yang tergantung pada jenis usaha tambangnya. Pengumpulan sejumlah mineral yang diproses maupun yang tidak diproses, mengandung zat-zat kontaminan, yang apabila ada hujan dapat merembes dan membawa zat-zat yang toksik dan berbahaya ke suatu sumber air serta mencemari sumber air tersebut. Sampah-sampahnya berupa bahan-bahan tambang disamping sampah-sampah dari aktivitas manusia pengelolanya.

  7. Sampah-sampah yang berasal dari gedung-gedung atau perkantoran (Institutional wastes) Terdiri dari kertas-kertas, karbon-karbon, pita-pita mesin tik, klip dan lain- lain, umumnya bersifat rubbish, kering dan mudah terbakar.

  8. Sampah-sampah yang berasal dari daerah penghancuran gedung-gedung dan pembangunan/pemugaran.

  Terdiri dari puing-puing, pipa plastik/besi, paku, kayu-kayu, kaca, kaleng- kaleng, potongan-potongan besi dan lain-lain.

  9. Sampah yang berasal dari tempat-tempat umum Contohnya sampah dari tempat-tempat hiburan, tempat-tempat olah raga, tempat-tempat ibadah, dan lain-lain yang dapat berupa, kertas, sisa buah- buahan, plastik dan lain-lain.

  10. Sampah yang berasal dari daerah kehutanan Misalnya sampah hasil dari penebangan kayu ataupun kegiatan reboisasi hutan sebagian besar terdiri dari sampah daun dan ranting.

  11. Sampah yang berasal dari pusat-pusat pengolahan air buangan Dengan adanya sampah-sampah yang terangkut oleh air maka sampah-sampah ini dapat diangkat dari air kotor pada sistem penyaluran atau pengolahan air kotor, misalnya pada saringan besi. Sampah-sampah dapat berupa plastik, kertas, kayu dan lain-lain. Disamping itu dihasilkan juga lumpur dari proses pengolahan air buangan ini.

  12. Dari daerah peternakan dan perikanan Sampah–sampah dari sini dapat berupa kotoran ternak atau sisa-sisa makanannya ataupun bangkai-bangkai binatang. Dari perikanan misalnya bangkai-bangkai ikan, sisa-sisa ikan atau lumpur.

2.1.3. Jenis-jenis Sampah

  Sampah padat, yaitu sampah yang berasal dari sisa tanaman, hewan, kotoran ataupun benda-benda lain yang berbentuk padat. Sampah padat dapat dibagi menjadi berbagai jenis (Chandra, 2007), yakni :

  a. Berdasarkan zat kimia yang terkandung didalamnya sampah dibagi menjadi :

  1. Sampah anorganik adalah sampah yang umumnya tidak dapat membusuk, misalnya : logam/besi, pecahan gelas, plastik, dan sebagainya.

  2. Sampah organik adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk, misalnya : sisa-sisa makanan, daun-daunan, buah-buahan, dan sebagainya.

  b. Berdasarkan dapat dan tidaknya dibakar

  1. Sampah yang mudah terbakar, misalnya : kertas, karet, kayu, plastik, kain bekas, dan sebagainya.

  2. Sampah yang tidak dapat terbakar, misalnya : kaleng-kaleng bekas, besi/logam bekas, pecahan gelas, kaca, dan sebagainya.

  c. Berdasarkan dapat atau tidaknya membusuk

  1. Mudah membusuk, misalnya : sisa makanan, potongan daging, dan sebagainya.

  2. Tidak mudah membusuk, misalnya : plastik, karet, kaleng, dan sebagainya.

  d. Berdasarkan karakteristik sampah

  1. Garbage , yaitu jenis sampah yang terdiri dari sampah hasil pengolahan atau pembuatan makanan, yang umumnya mudah membusuk, dan berasal dari rumah tangga, restoran, hotel, dan sebagainya.

  2. Rubbish , yaitu sampah yang berasal dari perkantoran, perdagangan baik yang mudah terbakar, seperti kertas, karton, plastik, dan sebagainya, maupun yang tidah mudah terbakar, seperti kaleng bekas, klip, pecahan kaca, gelas, dan sebagainya.

  3. Ashes (abu), yaitu sisa pembakaran dari bahan-bahan yang mudah terbakar, termasuk abu rokok.

  4. Sampah jalanan (street sweeping), yaitu sampah yang berasal dari pembersihan jalan, yang terdiri dari campuran yang bermacam-macam sampah, daun-daunan, kertas, plastik, pecahan kaca, besi, debu, dan sebagainya.

  5. Sampah industri, yaitu sampah yang berasal dari industri atau pabrik-pabrik.

  6. Bangkai binatang (dead animal), yaitu bangkai binatang yang mati karena alam, ditabrak kendaraan, atau dibuang oleh orang.

  7. Bangkai kendaraan (Abandoned vehicle), adalah bangkai mobil, sepeda, sepeda motor, dan sebagainya.

  8. Sampah pembangunan (construction waste), yaitu sampah dari proses pembangunan gedung, rumah, dan sebagainya, yang berupa puing-puing, potongan-potongan kayu, besi beton, bambu, dan sebagainya (Mukono, 2006).

2.2. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah

2.2.1. Pengertian Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah

  Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan, pemindahan / pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. TPA merupakan tempat sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya.

  Di TPA, sampah masih mengalami proses penguraian secara alamiah dengan rangka waktu panjang. Beberapa jenis sampah dapat terurai secara cepat, sementara yang lain lebih lambat, bahkan ada beberapa jenis sampah yang tidak berubah sampai puluhan tahun, misalnya plastik. Hal ini memberikan gambaran bahwa setelah TPA selesai digunakan pun masih ada proses yang berlangsung dan menghasilkan beberapa zat yang dapat mengganggu lingkungan (Royadi, 2006).

2.2.2. Metode Pengolahan Sampah di TPA

  Pembuangan akhir sampah adalah rangkaian atau proses terakhir dalam sistem pengelolaan sampah pada suatu tempat yang telah dipersiapkan, aman, serta tidak mengganggu lingkungan. Menurut Sastrawijaya (2009) sistem pembuangan akhir sampah adalah sebagai berikut :

  1. Sistem Open Dumping (pembuangan terbuka) Sistem open dumping merupakan sistem yang tertua yang dikenal manusia dalam sistem pembuangan sampah. Sampah hanya dibuang/ditimbun tanpa ada perlakuan khusus, sehingga dapat menimbulkan gangguan pada lingkungan. Pembuangan sampah secara terbuka dapat menjadi sarang/tempat perkembangan vektor penyakit (lalat, tikus, kecoa), menyebarkan bau, mencemari udara, air permukaan dan air tanah, bahaya kebakaran dan menimbulkan asap tebal yang berkepanjangan.

  Keuntungan menggunakan sistem open dumping antara lain : a. Investasi awal paling murah dibandingkan dengan sistem yang lain

  b. Biaya operasi rendah

  c. Tidak memerlukan teknologi tinggi

  d. Mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan volume sampah

  e. Dapat menampung berbagai macam sampah tanpa harus disortir terlebih dahulu, kecuali sampah yang diklasifikasikan berbahaya atau beracun.

  Kerugian menggunakan sistem open dumping antara lain :

  a. Potensi pencemarannya terhadap lingkungan tinggi, sehingga lokasi harus berjauhan dari wilayah pemukiman kota b. Memerlukan lahan yang relatif luas

  2. Sistem Controlled landfill Controlled landfill adalah sistem open dumping yang telah diperbaiki atau

  ditingkatkan dan peralihan teknik open dumping dan sanitary landfill. Pada sistem ini penutupan sampah dengan lapisan tanah dilakukan setelah TPA penuh dengan timbunan sampah yang telah dipadatkan atau setelah mencapai tahap/periode tertentu. Penutupan dengan tanah ini tidak dilakukan setiap hari, tetapi dengan periode waktu yang lebih panjang dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan adanya pencemaran, tetapi dengan biaya yang relatif masih rendah (Royadi, 2006).

  3. Sistem sanitary landfill Sistem sanitary landfill dianggap cara yang lebih baik karena sampah padat yang datang langsung diproses dengan penimbunan tanah di atasnya pada hari itu juga sehingga tidak menimbulkan masalah pencemaran. Namun cara ini ternyata kurang efisien karena memerlukan areal yang luas, memerlukan alat-alat yang besar dan manajemen yang baik. Sanitary landfill juga diduga dapat menimbulkan masalah pencemaran di bawah tanah sehingga dapat terjadi penurunan kualitas lingkungan karena dapat mencemari sumber air tanah dan air permukaan (Suyono, 2014).

  Resiko yang tidak dapat dihindarkan dari pembuangan sampah di landfill adalah terbentuknya gas dan lindi yang dipengaruhi oleh dekomposisi dari mikroba dan iklim, sifat dari sampah dan iklim pengoperasian sampah di landfill.

  Perpindahan gas dan lindi dari landfill ke lingkungan sekitarnya menyebabkan dampak yang serius pada lingkungan, selain berdampak buruk terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan dampak-dampak yang lain, yaitu sebagai berikut :

  a. Kebakaran dan peledakan

  b. Kerusakan pada tanaman

  c. Bau yang tidak sedap

  d. Pencemaran air tanah, udara dan pencemaran global (Royadi, 2006)

2.2.3. Persyaratan Lokasi TPA

  Mengingat besarnya potensi dalam menimbulkan gangguan terhadap lingkungan maka pemilihan lokasi TPA harus dilakukan dengan seksama dan hati- hati. Hal ini ditunjukkan dengan sangat rincinya persyaratan lokasi TPA seperti tercantum dalam lampiran Keputusan Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Pemukiman Departemen Kesehatan No. 281 Tahun 1989 dijelaskan tentang persyaratan penentuan lokasi TPA sampah. Ketentuannya adalah sebagai berikut :

  A. Lokasi untuk penempatan TPA harus memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut:

  1. Jarak terhadap pemukiman minimal 3 km.

  2. Jarak terhadap sumber air baku untuk air minum (mata air, sumur, danau dan lain-lain) minimal 200 meter. Hal ini mengingat, bahwa hasil dekomposisi sampah dapat meresap melalui lapisan tanah dan menimbulkan pencemaran terhadap sumber air tersebut.

  3. Tidak terletak pada daerah banjir, hal ini mengingat kemungkinan terbawanya sampah TPA oleh air yang akan mengakibatkan pencemaran terhadap lingkungan.

  4. Tidak terletak pada lokasi yang permukaan air tanahnya tinggi, hal ini mengingat bahwa lokasi TPA pada tempat yang air tanahnya tinggi akan berakibat pencemaran air tanah baik kualitas maupun jumlahnya. Bila sampah langsung kontak dengan air tanah, pencemarannya akan meluas dan terjadi dalam waktu yang lama.

  5. Jarak tepi paling dekat terhadap jalan besar/umum, sedikitnya 200 meter, hal ini mengingat alasan estetika, tidak terlihat dari jalan umum. Ini bisa dilakukan dengan membangun pagar atau penanaman pepohonan dan sebagainya.

  6. Tidak merupakan sumber bau, kecelakaan serta memeperhatikan aspek estetika.

  7. Jarak dari bandara tidak kurang dari 5 km.

  B. Pengelolaan sampah di TPA harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

  1. Diupayakan agar lalat, nyamuk, tikus, kecoa tidak berkembangbiak dan tidak menimbulkan bau.

  2. Memiliki drainase yang baik dan lancar.

  3. Leachate harus diamankan sehingga tidak menimbulkan masalah pencemaran.

  4. TPA yang digunakan untuk membuang bahan beracun dan berbahaya, lokasinya harus diberi tanda khusus dan tercatat di Kantor Pemda.

  5. Dalam hal tertentu jika populasi lalat melebihi 20 ekor per blok garis atau tikus terlihat pada siang hari atau nyamuk Aedes, maka harus dilakukan pemberantasan dan perbaikan cara-cara pengelolaan sampah.

  C. TPA yang sudah tidak digunakan :

  1. Tidak boleh untuk pemukiman

  2. Tidak boleh mengambil air untuk keperluan seharí-hari Untuk mengantisipasi dampak negatif yang diakibatkan oleh metode pembuangan akhir sampah yang tidak memadai seperti yang selalu terjadi di berbagai kota di Indonesia, maka langkah terpenting adalah memilih lokasi yang sesuai dengan persyaratan. Sesuai dengan SNI No. 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA, bahwa lokasi yang memenuhi persyaratan sebagai tempat pembuangan akhir sampah adalah : a. Jarak dari perumahan terdekat 500 m

  b. Jarak dari badan air 100 m

  c. Jarak dari airport 1500 m (pesawat baling-baling) dan 3000 m (pesawat jet)

  d. Muka air tanah > 3 m

  • 6

  e. Jenis tanah lempung dengan konduktivitas hidrolik < 10

  cm / det

  f. Merupakan tanah tidak produktif g. Bebas banjir minimal periode 25 tahun

2.3. Logam berat

  Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan densitas lebih besar dari 5

  3

  g/cm , terletak disudut kanan bawah pada sistem periodik unsur, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92, dari periode 4 sampai 7 (Miettinen, 1977 dalam Ernawati, 2010). Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat dapat dibagi dalam dua jenis. Jenis pertama adalah logam berat esensial, di mana keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn, dan lain sebagainya. Jenis kedua adalah logam berat tidak esensial atau beracun, di mana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain (Darmono, 1995). Logam berat ini dapat mencemari lingkungan.

  Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam (Pb), krom (Cr), nikel (Ni), dan kobalt (Co) (Sutamihardja et al, 1982). Menurut Darmono (1995) daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah terhadap manusia yang

  2+ 2+ 2+ 2+ 2+

  mengkonsumsi hewan air adalah sebagai berikut Hg > Cd > Ag > Ni > Pb >

  2+ 2+ 2+ 2+ As > Cr > Sn > Zn .

  Adanya logam berat diperairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini terkait dengan sifat-sifat logam berat (Sutamihardja et al, 1982), yaitu :

  1. Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan).

  2. Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk udang, kerang dan ikan yang akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut.

  3. Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan massa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu.

2.4. Kadmium (Cd)

2.4.1. Pengertian Kadmium (Cd)

  Kadmium (Cd) adalah logam berwarna putih perak, lunak, mengkilat, tidak larut dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan kadmium oksida bila dipanaskan. Cd umumnya terdapat dalam kombinasi dengan klor (Cd klorida) atau

  2+ belerang (Cd sulfit). Kadmium bisa membentuk ion Cd yang bersifat tidak stabil.

  Kadmium merupakan unsur logam yang terletak dalam grup IIB pada tabel periodik dengan nomor atom 40, berat atom 112,4 g/mol, mencair pada suhu 321 C, dan mendidih pada suhu 767

  C. Kadmium bersifat lentur, tahan terhadap tekanan, serta dapat dimanfaatkan sebagai pencampur logam lain, seperti nikel (Ni), emas (Au), kuprum (Cu), dan besi (Fe) (Widowati et al, 2008).

  Karakteristik kadmium yang lainnya adalah bila dimasukkan ke dalam larutan

  2+ -

  yang mengandung ion OH , ion-ion Cd akan mengalami pengendapan. Endapan yang terbentuk biasanya dalam bentuk senyawa terhidratasi yang berwarna putih. Bila logam kadmium digabungkan dengan senyawa karbonat, posfat, arsenat dan oksalat- ferro sianat maka akan terbentuk senyawa berwarna kuning (Palar, 2008).

2.4.2. Sumber Pencemaran Kadmium (Cd)

  Kadmium (Cd) berada di lingkungan secara alami dan dapat terbentuk melalui proses alami seperti kebakaran hutan, emisi vulkanik gunung berapi, dan pelapukan tanah serta bebatuan. Hanya ada satu jenis mineral kadmium di alam yaitu

  greennockite (CdS) yang selalu ditemukan bersamaan dengan mineral spalerite

  (ZnS). Kadmium yang terdapat di dalam lingkungan pada kadar yang rendah berasal dari kegiatan penambangan seng (Zn), timah (Pb) dan kobalt (Co) serta kuprum (Cu).

  Sementara dalam kadar tinggi, berasal dari emisi industri, antara lain dari hasil sampingan penambangan, peleburan seng (Zn), dan timbal (Pb). Kadar Cd dari hasil sampingan peleburan dan refining bijih Zn rata-rata memiliki kadar Cd sebesar 0,2 – 0,3 %. Sumber lain adalah dari penggunaan sisa lumpur kotor sebagai pupuk tanaman yang kemudian terbawa oleh aliran angin dan air (Widowati, 2008).

  Sumber pencemaran dan paparan Cd berasal dari polusi udara, rokok, air sumur, makanan yang tumbuh di daerah pertanian yang tercemar Cd, keramik berglazur, fungisida, pupuk serta cat. Paparan dan toksisitas Cd berasal dari rokok, tembakau, pipa rokok yang mengandung Cd, perokok pasif, plastik berlapis Cd, serta air minum yang mengandung Cd (Widowati, 2008).

  2.4.3. Sifat-Sifat Kadmium (Cd)

  Menurut Palar (2008), sifat-sifat logam berat kadmium (Cd) yaitu :

  1. Sifat Fisik

  a. Logam berwarna putih keperakan

  b. Mengkilat

  c. Lunak/mudah ditempa dan ditarik

  d. Titik lebur rendah

  2. Sifat Kimia

  a. Cd tidak larut dalam basa

  • b. Larut dalam H SO encer dan HCL encer Cd + H SO CdSO

  2

  4

  2

  4

  4 H

  2

  c. Cd tidak menunjukkan sifat amfoter

  d. Bereaksi dengan halogen dan nonlogam seperti : S, Se, P

  e. Cd adalah logam yang cukup aktif

  f. Dalam udara terbuka, jika dipanaskan akan membentuk asap coklat CdO

  g. Memiliki ketahanan korosi yang tinggi

  h. CdI

  2 larut dalam alkohol

  2.4.4. Kegunaan Kadmium (Cd)

  Kadmium merupakan logam yang sangat penting dan banyak kegunaannya, khususnya untuk electroplating (pelapisan elektrik) serta galvanisasi karena kadmium memiliki keistimewaan nonkorosif. Kadmium banyak digunakan dalam pembuatan

  alloy , pigmen warna pada cat, keramik, plastik, stabilizer plastik, katoda untuk Ni-Cd

  pada baterai, bahan fotografi, pembuatan tabung TV, karet, sabun, kembang api, percetakan tekstil, dan pigmen untuk gelas dan email gigi (Widowati, 2008).

  Menurut Palar (2008), pemanfaatan kadmium dan persenyawaannya meliputi:

  a. Senyawa CdS dan CdSeS yang banyak digunakan sebagai zat warna

  b. Senyawa Cd sulfat (CdSO

  4 ) yang digunakan dalam industri baterai yang

  berfungsi sebagai pembuatan sel wseton karena memiliki potensial voltase stabil

  c. Senyawa Cd-bromida dan Cd-ionida yang digunakan untuk fotografi

  d. Senyawa dietil-Cd yang digunakan dalam proses pembuatan tetraetil-Pb

  e. Senyawa Cd-stearat untuk perindustrian polivinilkorida sebagai bahan yang berfungsi untuk stabilizer.

  Kadmium dalam konsentrasi rendah banyak digunakan dalam industri pada proses pengolahan roti, pengolahan ikan, pengolahan minuman serta industri tekstil.

2.4.5. Kadmium (Cd) dalam Lingkungan

  Logam kadmium dan bentuk-bentuk persenyawaannya dapat masuk ke lingkungan, terutama sekali merupakan efek samping dari aktivitas yang dilakukan manusia. Dapat dikatakan bahwa semua industri yang melibatkan kadmium dalam proses operasional industrinya menjadi sumber pencemaran Cd. Selain itu kadmium juga berasal dari pembakaran sampah rumah tangga dan pembakran bahan bakar fosil karena secara alami bahan bakar mengandung kadmium, penggunaan pupuk posfat (Palar, 2008).

  Dalam strata lingkungan, logam Cd dan persenyawaannya ditemukan dalam banyak lapisan. Secara sederhana dapat diketahui bahwa kandungan logam Cd akan dapat dijumpai di daerah-daerah penimbunan sampah dan aliran air hujan, selain dalam air buangan (Palar, 2008).

  Kadmium akan mengamlami biotransformasi dan bioakumulasi dalam organisme hidup (tumbuhan, hewan dan manusia). Dalam tubuh biota perairan jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan dengan adanya proses biomagnifikasi di badan perairan. Disamping itu, tingkatan biota dalam sistem rantai makanan turut menentukan jumlah Cd yang terakumulasi. Di mana pada biota yang lebih tinggi stratanya akan ditemukan akumulasi Cd yang lebih banyak, sedangkan pada biota top level merupakan tempat akumulasi paling besar. Bila jumlah Cd yang masuk tersebut telah melebihi nilai ambang mutu maka biota dari suatu level atau strata tersebut akan mengalami kematian dan bahkan kemusnahan (Palar, 2008).

2.4.6. Efek Toksisitas Kadmium (Cd) Pada Biota Air

  Kadmium (Cd) merupakan logam berat yang paling banyak ditemukan pada lingkungan, khususnya lingkungan perairan, serta memiliki efek toksik yang tinggi, bahkan pada konsentrasi yang rendah. Di perairan Cd akan mengendap karena senyawa sulfitnya sukar larut (Palar, 2008).

  Kadmium masuk ke dalam tubuh biota air dimulai dari pengambilan unsur- unsur tertentu dari badan air atau sedimen dan memekatkannya ke dalam tubuh hingga 100-1000 kali lebih besar dari konsentrasi lingkungan (Darmono, 1995). Pengambilan awal logam berat oleh biota air dapat melalui tiga proses utama, yaitu melalui pernafasan (permukaan insang), melalui permukan tubuh (kulit) dan melalui makanan, partikel serta air yang masuk sistem pencernaan (Connell & Miller, 1995).

  Insang merupakan jalan masuk air yang penting, karena permukaan insang lebih dari 90% seluruh luas badan. Masuknya logam berat Cd ke dalam insang dapat menyebabkan keracunan, karena bereaksinya kation logam tersebut dengan fraksi tertentu dari lendir insang. Kondisi ini menyebabkan proses metabolisme dari insang menjadi terganggu. Lendir yang berfungsi sebagai pelindung diproduksi lebih banyak sehingga terjadi penumpukan lendir. Hal ini akan memperlambat respirasi dan pengikatan oksigen pada insang dan pada akhirnya menyebabkan kematian (Chahaya, 2003).

  Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilaporkan oleh Rahmansyah, dkk (1998) dalam Yudiati (2009) bahwa udang windu yang tercemar kadmium sebesar 0,88 ppm secara fisiologis dapat menurunkan fungsi organ seperti insang, ginjal, otot dan syaraf sehingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya bahkan dapat menyebabkan kematian. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Wu et al (2009)

  dalam Yudiati (2009) dimana paparan akut pada konsentrasi Cd yang tinggi menyebabkan perubahan histologi insang L. Vannamei.

2.4.7. Efek Toksisitas Kadmium (Cd) Pada Manusia

  Kadmium masuk kedalam tubuh manusia terjadi melalui inhalasi, oral maupun kulit. Menurut darmono (2001), kadmium yang masuk melalui saluran pernapasan, misalnya menghisap debu dan asap kadmium terutama kadmium oksida (CdO) kebanyakan dapat menyebabkan kasus keracunan akut pada manusia. Berbeda halnya dengan cara kadmium yang masuk melalui oral akan menyebabkan keracunan kronis pada manusia.

  Logam yang masuk kedalam tubuh bersama makanan yang dikonsumsi, yang mana makanan telah terkontaminasi, absorpsi kadmium yaitu sekitar 5-8%. Absorpsi kadmium meningkat bila terjadi defisiensi kalsium (Ca), besi (Fe) dan rendah protein dalam makanan. Defisiensi kalsium akan merangsang sintesis ikatan Ca-protein sehingga akan meningkatkan absorpsi kadmium, sedangkan kecukupan seng dalam makanan dapat menurunkan absorpsi kadmium. Hal ini diduga karena seng merangsang produksi metalotionin (Widowati, 2008).

  Kadmium ditransformasikan dalam darah yang berikatan dengan sel darah merah yang memilki protein berat molekul rendah, yaitu metalotionin (MT) yang memilki berat molekul 6000, banyak mengandung sulfhidril, dan dapat mengikat 11% kadmium dan seng. Metalotionin (MT) memiliki daya ikat yang sama terhadap beberapa jenis logam berat sehingga kandungan logam berat bebas dalam jaringan berkurang. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas kadmium disebabkan oleh interaksi antara kadmium dan protein tersebut sehingga memunculkan hambatan terhadap aktivitas kerja enzim. Metalotionin merupakan protein yang sangat peka dan akurat sebagai indikator pencemaran. Hal itu didasarkan pada suatu fenomena alam dimana logam-logam bisa terikat di dalam jaringan tubuh organisme karena adanya protein (polipeptida) yang 26-33% mengandung sistein. Setelah Cd memasuki darah, Cd didistribusikan dengan cepat ke seluruh tubuh. Pengikat oksigen dalam jaringan bisa menyebabkan lebih tingginya kadar Cd dalam jaringan tersebut. Kadmium memilki afinitas yang kuat terhadap hati dan ginjal (Widowati, 2008).

  Kadmium memiliki afinitas yang kuat terhadap ginjal dan hati. Pada umumnya, sekitar 50-75% kadmium dalam tubuh terdapat pada kedua organ tersebut.

  Kadmium dalam tubuh akan dibuang melalui feces sekitar 3-4 minggu setelah terpapar kadmium dan melalui urin. Pada manusia, sebagian besar kadmium diekskresikan melalui urin, sedangkan pada hewan sebagian besar kadmium diekskresikan melalui feces (Widowati, 2008).

  Efek akan muncul saat daya racun yang dibawa kadmium tidak dapat lagi ditolerir tubuh karena adanya akumulasi kadmium dalam tubuh. Efek kronis dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok (Palar, 2008), yaitu:

  a. Efek Kadmium Terhadap Ginjal Ginjal merupakan organ utama dari sistem urinaria manusia. Pada organ ini terjadi peristiwa akumulasi dari bermacam-macam bahan termasuk logam kadmium. Kadmium dapat menimbulkan gangguan dan bahkan kerusakan pada sistem kerja ginjal terutama ekskresi protein. Kerusakan ini dapat dideteksi dari tingkat atau kandungan protein yang terdapat dalam urin. Petunjuk lain berupa adanya asam amino dan glukosa dalam urin, ketidaknormalan kandungan asam urat serta Ca dan Protein dalam urin.

  Dari hasil penelitian pada manusia menunjukkan bahwa pajanan kadmium selama lebih kurang sekitar 10 tahun dapat mengakibatkan kerusakan ginjal, tergantung intensitas pajanan. Tanda awal abnormalitas ginjal adalah

  2

  • ditemukannya proteinuria tubulus pada konsentrasi 2 µg/g kreatinin yaitu β microglobulin dan ά1-microglobulin yang merupakan biomarker kerusakan kerusakan ginjal akibat pajanan kadmium. Pada tingkat akhir kerusakan ginjal
adalah adanya glycosuria, sisa kalsium dan fosfat dan gangguan metabolisme kalsium dengan efek sekunder pada tulang yaitu osteoporosis dan osteomalasia (Roels et al, 1999; Jarup et al, 2000).

  b. Efek Kadmium Terhadap Paru-paru Keracunan yang disebabkan oleh kadmium lebih tinggi bila terinhalasi melalui saluran pernapasan daripada saluran pencernaan. Efek kronis kadmium akan muncul setelah 20 tahun terpapar kadmium. Dalam beberapa jam setelah menghisap debu dan asap Cd, terutama Kadmium Oksida (CdO), korban akan mengeluh gangguan saluran nafas, nausea, muntah, kepala pusing dan sakit pinggang. Kematian disebabkan karena terjadinya pembengkakan paru-paru (pulmonary emphysema).

  c. Efek Kadmium Terhadap Tulang Serangan yang paling hebat karena kadmium adalah kerapuhan tulang.

  Efek ini telah menggoncangkan dunia internasional sehingga setiap orang dilanda rasa takut terhadap pencemaran. Efek ini timbul akibat kekurangan kalsium dalam makanan yang tercemar kadmium, sehingga fungsi kalsium darah digantikan oleh logam kadmium yang ada. Pada akhirnya kerapuhan pada tulang- tulang penderita yang dinamakan itai-itai disease.

  d. Efek Kadmium Terhadap Darah dan Jantung Kadmium merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahaya karena elemen ini beresiko terhadap pembuluh darah. Apabila Cd masuk ke dalam tubuh maka sebagian besar akan terkumpul di dalam ginjal, hati dan sebagian yang dikeluarkan melalui saluran pencernaan. Kadmium dapat mempengaruhi otot polos pembuluh darah secara langsung maupun tidak langsung lewat ginjal, sebagai akibatnya terjadi kenaikan tekanan darah.

  Keracunan kronis terjadi bila memakan atau inhalasi dosis kecil dalam waktu yang lama. Gejala akan terjadi setelah selang waktu beberapa lama dan kronik. Kadmium pada keadaan ini menyebabkan nefrotoksisitas, yaitu gejala proteinuria, glikosuria, dan aminoasidiuria disertai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus ginjal serta dapat menyebabkan gangguan kardiovaskuler dan hipertensi.

  Hal tersebut terjadi karena tingginya afinitas jaringan ginjal terhadap Kadmium. Gejala hipertensi ini tidak selalu dijumpai pada kasus keracunan kadium. Efek kronis kadmium dapat pula menimbulkan anemia karena CdO.

  Penyakit ini karena adanya hubungan antara kandungan kadmium yang tinggi dalam darah dengan rendahnya hemoglobin.

  e. Efek Kadmium Terhadap Sistem Reproduksi Daya racun yang dimiliki oleh kadmium juga mempengaruhi sistem reproduksi dan organ-organnya. Pada konsentrasi tertentu kadmium dapat mematikan sel-sel sperma pada laki-laki. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa akibat terpapar uap logam kadmium dapat mengakibatkan impotensi. Impotensi yang terjadi dapat dibuktikan dengan rendahnya kadar testoteron dalam darah.

  Logam berat Kadmium bergabung bersama Timbal dan Merkuri sebagai the big three heavy metal yang memiliki tingkat bahaya tertinggi pada kesehatan manusia. Menurut badan dunia FAO/WHO, konsumsi per minggu yang ditoleransikan bagi manusia adalah 400-500 μ g per orang atau 7 μ g per kg berat badan.

2.4.8. Waktu Paruh Cd dalam Tubuh

  Kadmium memiliki banyak efek diantaranya kerusakan ginjal dan karsinogenik pada hewan yang menyebabkan tumor pada testis. Akumulasi logam kadmium dalam ginjal membentuk kompleks dengan protein. Waktu paruh dari kadmium dalam lingkungan adalah 10-30 tahun sedangkan waktu paruh kadmium dalam tubuh 7-30 tahun dan menembus ginjal terutama setelah terjadi kerusakan (Azmir, 2009).

2.5. Udang Windu

  Udang windu (Penaeus monodon, Fabricius.) merupakan udang komoditas asli daerah tropis yang telah berkembang sejak awal 1980-an, menjadi primadona komoditas perikanan di Indonesia dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional (Rozi, 2008).

  Klasifikasi Ilimiah Kerajaan : Animalia Filum : Arthropoda Subfilum : Crustaceae Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Subordo : Dendrobranchaiata Famili : Penaeidae Genus : Penaeus

  Spesies : Penaeus monodon Udang windu (Penaeus monodon) yang dikenal dengan sebutan black tiger

  shrimp adalah spesies udang laut yang dapat mencapai ukuran besar. Di alam bebas

  udang ini dapat mencapai ukuran 35 cm dan berat sekitar 260 gram, sedangkan apabila dibudidayakan di tambak, panjang tubuhnya mencapai 20 cm dan berat sekitar 140 gram. Udang windu memiliki kulit tubuh yang keras, berwarna hijau kebiru-biruan dan berloreng-loreng besar. Habitat udang windu adalah laut, dan udang ini dikenal sebagai penghuni dasar laut (Khordi, 2012). Udang windu dapat hidup pada salinitas 3-35 ppt. Bahkan, kini udang windu telah dipelihara di kolar air tawar. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ternyata udang windu dapat beradaptasi dengan air tawar (salinitas 0 ppt) secara bertahap (Harianto, 2002

  dalam Khordi, 2012).

  Udang windu adalah hewan nokturnal sehingga lebih aktif mencari makan di malam hari. Pada siang hari udang lebih suka beristirahat, baik dengan cara membenamkan diri di dalam lumpur maupun menempel pada suatu benda yang terbenam di dalam air. Bila media hidupnya (terutama saat dipelihara) dalam keadaan normal, yakni apabila keadaan lingkungannya cukup baik, udang jarang kali menampakkan diri pada siang hari. Bila di dalam suatu media pemeliharaan (tambak, KJA, atau kolam) udang tampak aktif bergerak pada siang siang hari, ada sesuatu yang tidak beres, mungkin makanannya kurang, salinitas meningkat, suhu naik atau turun, oksigen kurang, atau muncul senyawa-senyawa beracun, seperti H

  2 S, CO 2 , dan lain-lain (Khordi, 2012). Logam berat Cd masuk ke dalam tubuh krustasea berturut-turut paling banyak melalui insang, saluran pencernaan dan kulit, sehingga insang dari jenis binatang beruas ini paling banyak menderita oleh pengaruh toksisitas logam berat Cd (Darmono, 2001). Jenis krustasea yang hidup di dalam air terdiri atas banyak spesies, salah satunya adalah udang windu (Penaeus monodon). Jenis organisme ini pergerakannya relatif tidak secepat jenis ikan untuk menghindar dari pengaruh polusi logam berat Cd dalam air karena bergerak dan mencari makan di dasar air, sedangkan lokasi tersebut merupakan indikator yang baik untuk mengetahui terjadinya polusi lingkungan (Darmono, 2001).

2.6. Budidaya Udang Windu

  Kegiatan budidaya udang merupakan jenis usaha perikanan yang hampir semua proses produksinya dapat ditargetkan sesuai dengan keinginan, sejauh manusia dapat memenuhi persyaratan pokok dan pendukung kehidupan serta pertumbuhan udang yang optimal. Usaha ini pernah menunjukkan hasil yang memuaskan hingga Indonesia menjadi produsen udang papan atas di dunia yaitu pada tahun 1994 mampu mencapai angka produksi > 300.000 ton/tahun (produksi dari tambak intensif sekitar 60 %, tambak sederhana mencapai 20% dan tambak semi-intensif sekitar 10%). Sedangkan mulai tahun 1997 hingga sekarang produksi udang Indonesia mengalami penurun yang tidak sedikit, yaitu kira-kira produksi per tahun berkisar antara 160.000-200.000 ton (Anonim, 2003).

  Hal lain, dengan semakin memburuknya mutu lingkungan karena perkembangan masyarakat, membuat lingkungan tambak semakin terpuruk dari tahun ketahun. Daerah pertambakan merupakan daerah akhir pembuangan kegiatan di bagian atas (up land) yang syarat dengan polutan. Secara garis besar, polutan dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu: Pertanian, industri, dan pemukiman. Pada saluran kawasan pertambakan yang tidak terpelihara, tentu akan merupakan perangkap yang baik bagi polutan tersebut, sehingga gagal dalam usaha pemeliharaan udang semakin besar. Untuk itu perencanaan dan pemeliharaan saluran harus diperhitungkan dengan baik sehingga dapat mengurangi beban polutan tersebut (Mai, 2006).

  2.6.1. Pengertian Tambak

  Pengertian tambak atau kolam menurut Biggs et al, dalam Mai (2006), adalah

  2

  badan air yang berukuran 1 m hingga 2 ha yang bersifat permanen atau musiman yang terbentuk secara alami atau buatan manusia Istilah kolam biasanya digunakan untuk tambak yang terdapat di daratan dengan air tawar, sedangkan tambak untuk air payau atau air asin. Biggs et al, dalam Mai (2006), menyebutkan salah satu fungsi tambak bagi ekosistem perairan adalah terjadinya pengkayaan jenis biota air. Bertambahnya jenis biota tersebut berasal dari pengenalan biota-biota yang dibudidayakan.

  2.6.2. Persyaratan Tambak

  Secara umum tambak harus memenuhi syarat (Mai, 2006) sebagai berikut:

  a. Tanah tambak didominasi oleh tanah liat atau liat berpasir

  b. Tambak tidak bocor c. Dasar tambak bebas dari bekas vegetasi

  d. Ada bagian caren dan pletaran

  e. Kedalaman air mampu menampung sedikitnya 80 cm

  f. Ada penampungan air/tandon

2.6.3. Jenis-Jenis Tambak

  Jenis-jenis tambak yang ada di Indonesia meliputi: tambak intensif, tambak semi intensif, tambak ekstensif atau tradisional. Perbedaan dari ketiga jenis tambak tersebut terdapat pada teknik pengelolaan mulai dari padat penebaran, pola pemberiaan pakan, serta sistem pengelolaan air dan lingkungan (Widigdo, 2000).

  Hewan yang dibudidayakan dalam tambak adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang.

  Tambak intensif dibuat dengan ukuran antara 0,2 – 0,5 ha per petakan tambak, untuk memudahkan pengelolaan air dan pengawasannya. Budidaya secara intensif menerapkan padat penebaran tinggi dan pengelolaan optimal. Padat penebaran udang

  2

  windu antara 30 – 50 ekor/m . Pemberian pakan dilakukan 4 – 6 kali sehari. Hasil panen yang diharapkan adalah 4 – 8 ton/ha/musim untuk udang windu (Khordi, 2010).

  Tambak semi intensif biasanya tidak seluas tambak ekstensif yaitu sekitar 0,5- 1 ha. Sedangkan tambak ekstensif atau tradisional adalah tambak yang sistem pengelolaannya benar-benar bergantung pada kemurahan alam. Benih udang dimasukkan ke dalam tambak bersamaan dengan pengisian air tambak. Jadi benih tersebut benar-benar dijebak dan dibiarkan dalam waktu tertentu kemudian ditangkap/dipanen. Karena itu, tambak berisi puluhan atau bahkan ratusan spesies udang dan ikan laut. Padat penebaran pada tambak tradisional ditingkatkan hingga

  2

  mencapai 15 ekor/m dengan persiapan tambak yang baik, meliputi pengeringan, pembajakan, pemupukan dan pengapuran. Udang dapat diberi pakan tambahan secukupnya selama 3 – 4 hari sekali. Hasil panen dapat mencapai 800 – 900 kg/ha/musim (Khordi, 2010).

2.6.4. Lokasi Tambak

  Sukses tidaknya usaha budidaya udang di tambak dapat ditentukan pula dengan langkah awal yang sangat urgen, dalam hal ini penentuan lokasi untuk mendukung kebutuhan biologis udang yang dipelihara harus terpenuhi. Pemilihan lokasi untuk budidaya udang sangatlah mutlak dilakukan demi terpenuhinya persyaratan teknis baik dari segi lingkungan maupun dari segi fisik/lahan. Persyaratan lokasi/ lahan untuk tambak pembesaran udang secara umum tidak jauh berbeda dengan jenis udang lainnya (Mai, 2006). Pemilihan lokasi yang dikehendaki untuk kegiatan budidaya jenis udang windu tercantum pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 2.1. Persyaratan minimal parameter kualitas lokasi/lahan No. Komponen Kisaran Optimal Keterangan

  Jenis Tanah Liat berpasir (70:30) Jenis tanah masih ada 1.

  2. pH Tanah 6,5 – 8,0 toleransi, yaitu dapat

3. Bahan Organik 3 – 5 % digunakan untuk liat

  4. NH

3 0,05 – 0,25 ppm berdebu/berlumpur

Sumber : Mai, 2006

Tabel 2.2. Persyaratan minimal parameter kualitas air pasok No. Komponen Kisaran Optimal Keterangan

  1. Salinitas 15 – 30 ppt Bila bahan organik air 2. pH 7,5 – 8,7 di atas 55 ppm dapat

  3. Suhu 28 – 31,5 C diantisipasi dengan

  4. Alaklinitas 90 – 150 ppm pengendapan pada 5. Bahan Organik 45 – 55 ppm petak tandon air.

  6. PO 4 0,1 – 0,5 ppm

  NH 0,03 – 0,25 ppm 7.

3 Sumber : Mai, 2006

2.6.5. Kualitas Air Tambak

  Kualitas air sangat penting untuk dilihat sebagai sumber utama dalam usaha budidaya udang windu. Dalam hal penilaian air, yang terpenting adalah: a) mempunyai jumlah yang cukup; b) tidak keruh; c) pH sekitar 7,0; d) salinitas tidak pernah lebih dari 40 ppt; e) tidak berada pada daerah polluted area baik dari jenis logam dan organo-chlorin serta pestisida. Kualitas air yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan penurunan produksi dan akibatnya keuntungan yang diperoleh akan menurun dan bahkan dapat menyebabkan kerugian akibat matinya udang windu (Darmono, 1991).

  Kualitas air sangat penting untuk dilihat sebagai sumber utama dalam usaha budidaya udang windu. Dalam hal penilaian air, yang terpenting adalah: a) mempunyai jumlah yang cukup; b) tidak keruh; c) pH sekitar 7,0; d) salinitas tidak pernah lebih dari 40 ppt; e) tidak berada pada daerah polluted area baik dari jenis logam dan organo-chlorin serta pestisida. Kualitas air yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan penurunan produksi dan akibatnya keuntungan yang diperoleh akan menurun dan bahkan dapat menyebabkan kerugian akibat matinya udang windu (Darmono, 1991).

2.6. Kerangka Konsep

  • Kandungan Kadmium (Cd) dalam air
  • Karakteristik tambak

  Kandungan Kadmium (Cd) dalam Udang windu (Penaeus monodon)

  Memenuhi Syarat SNI 7387-2009

  ≤ 1,0 mg/kg Tidak Memenuhi Syarat

  SNI 7387-2009 > 1,0 mg/kg

Dokumen yang terkait

Analisis Kandungan Kadmium (Cd) dalam Udang Windu (Penaeus monodon) yang Berada di Tambak Sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Kelurahan Terjun Kota Medan Tahun 2014

6 114 95

Hubungan Antara Populasi Mikroorganisme Udara Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Terjun Medan

1 49 65

Pengukuran Tingkat Kepadatan Lalat Pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Kota Binjai Tahun 2000

2 65 79

Pengaruh Air Lindi Tempat Pembuangan Akhir Sampah terhadap Kualitas Air Tambak Ikan di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan

7 90 87

Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kualitas Udara Dalam Rumah Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan Tahun 2008

0 42 10

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kualitas Udara Dalam Rumah Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan Tahun 2008

1 32 98

Studi Perencanaan Ulang Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Desa Telekung Kecamatan Junrejo Kota Batu.

0 13 2

Analisis Kualitas Air Tanah Masyarakat Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang, Bekasi 2013

2 18 91

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Sampah 2.1.1. Definisi Sampah - Hubungan Alat Pelindung Diri Dan Personal Hygienedengan Kejadian Kecacingan Pada Pekerja Pengangkut Sampah Di Wilayah I Kota Medan Tahun 2014

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Studi Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah dengan Metode Sistem Informasi Geografis (GIS) di Kota Tebing Tinggi

2 3 38