BAB II Tinjauan Umum Tentang Hak Kebendaan A. Pengertian Hak Kebendaan. - Tinjauan Yuridis Mengenai Hak Kebendaan Pembeli Efek Beragun Aset Pada Pembiayaan Sekunder Perumahan

BAB II Tinjauan Umum Tentang Hak Kebendaan A. Pengertian Hak Kebendaan. Hukum mengenal adanya suatu dikotomi atau pembagian hak menjadi 2 yakni hak

  

  perseorangan (jus in personam) dan hak kebendaan (jus in rem) . Hak perseorangan secara sederhananya adalah suatu hak yang melekat pada seseorang. Hak seseorang sebenarnya merupakan kewajiban bagi pihak yang dan dalam hal ini hukum memainkan perannya agar

   menjamin bahwa kepentingan seseorang akan diperhatikan oleh pihak yang lainnya.

  Dalam hal ini ketika seseorang melakukan hubungan hukum dengan pihak lain maka

  

  timbullah suatu perikatan antara orang-orang tersebut, dan ketika perikatan itu berkaitan

  

  dengan untuk memenuhi suatu prestasi berupa melakukan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu maka disinilah muncul hak perseorangan tersebut, sedangkan mengenai perbuatan prestasi untuk memberikan sesuatu selain terhadapnya melekat suatu hak perseorangan melekat juga padanya suatu hak kebendaan. Jadi perkataan “perikatan” ada kalanya tertuju pada hubungan hukumnya, tetapi kadang kala tertuju pada pasiva dari hubungan hukumnya. Oleh karenanya suatu hubungan hukum dapat melahirkan suatu hak perseorangan dan suatu hak kebendaan.

   Jus in rem secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu hak atas suatu benda.

  Perbedaan yang paling mendasar dari kedua hak tersebut adalah bahwa hak perseorangan 19 adalah hak yang bersifat relatif, yakni hak yang hanya dapat dituntut kepada orang-orang

  Hans Kelsen,,1949, The General Theory of Law and State, Cambridge, Massachussetts, Harvard University Pers. 20 21 E.Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Op cit hal 2.

  Menurut Prof Subekti yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberikan hak kepada yang satu untuk menuntut sesuatu

dari yang lainnya,sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Prof Subekti S.H, 1982,

Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Hal 122

  

  tertetu saja yakni kepada subjek hukum yang kepada siapa seseorang melakukan suatu hubungan hukum dengannya, sehingga hak perseorangan tidak dapat dituntut kepada orang lain yang tidak memiliki hubungan hukum tertentu dengan orang yang memiliki hak tersebut, kecuali seseorang yang kepadanya melekat suatu kewajiban hukum (debitur) yang timbul karena hak dari seseorang tersebut telah menyerahkan kewajibannya kepada pihak lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu dengan pihak yang lain tersebut, atau karena debitur tersebut memiliki suatu hak tertentu terhadap pihak yang lain tersebut.

  Sebagai contoh dari hak perseorangan adalah ketika seseorang memiliki suatu utang dengan jumlah uang tertentu kepada pihak lain berdasarkan suatu perjanjian utang-piutang, dalam hal ini pihak kreditur memiliki suatu hak perseorangan kepada pihak debitur untuk melakukan sesuatu yakni melakukan pembayaran, dengan demikian pihak kreditur tidak dapat menuntut orang lain bagi pembayaran kepada pihak lain kecuali si debitur berdasarkan suatu hak tertentu terhadap pihak lain telah mengalihkan kewajibannya kepada pihak lain tersebut untuk melakukan pembayaran utangnya atau kecuali di dalam perjanjian utang-

   piutang itu melekat suatu perjanjian assesoir berupa perjanjian pertanggungan (bortocht).

  Berbeda dengan hak perseorangan yang bersifat relatif, hak kebendaan adalah hak-hak kekayaan yang mepunyai ciri-ciri: bersifat absolut (bisa ditujukan kepada semua orang pada umumnya) dan yang lahir lebih dulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan melekat

  

  terhadap suatu benda tertentu leh karenanya suatu hak kebendaan adalah suatu hak yang dapat dituntut terhadap setiap orang yang berkaitan dengan benda yang dihaki oleh seseorang, karena hak kebendaan itu sendiri adalah hak yang mengikuti kemanapun benda itu berada (droit de suite). 24 25 J. Satrio, 1999, Perikatan Pada Umumnya, Bandung, Alumni, hal 5 Menurut Ketentuan Pasal 1820 KUHPerdata menyebutkan bahwa “ Penanggungan ialah suatu

  Hak kebendaan yang mengikuti kemanapun benda tersebut berada memiliki sifat yang bertingkat dalam artian bahwa ada suatu hak kebendaan yang tingkatannya lebih tinggi dari hak kebendaan yang lainnya dan begitu pula sebaliknya bahwa ada suatu kebendaan yang tingkatnya lebih rendah dari hak kebendaan yang lainnya. Tinggi rendahnya tingkatan hak kebendaan tersebut akan berimplikasi mengenai luasnya cakupan hak terhadap suatu kebendaan tertentu. Misalnya ada suatu hak kebendaan yang hanya memberikan kepada orang yang memiliki hak kebendaan tersebut sekedar menguasainya atau menggunakan manfaat kebendaan tersebut, dan ada juga suatu hak kebendaan yang selain memberikan hak untuk menguasai benda tersebut dan menggunakan benda tersebut kepada si pemegang hak kebendaan tersebut memberikan juga hak untuk mengalihkan kepemilikan dari benda tersebut.

  Hak atas suatu kebendaan dalam hukum common law, dikaji dalam law of property. Secara etimologi, law of property dapatlah diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang

  

property. Berkaitan dengan pengertian dari property tersebut C.R. Noyes menyebutkan bahwa

  “the term of property may be defined to be the interest which can be acquired in external

  

object or things. The things themselves are not in a true sense, property, but they constitute

its foundation and material, and the idea of property springs out the connection or control, or

  

interest which, according to law, may acquired in them or over them” . Dari pendapat yang

  dikemukakan oleh Noyes tersebut maka dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan

  

property adalah suatu kepentingan yang dapat diberikan atas suatu objek atau benda. Benda-

  benda tersebut sendiri bukanlah dalam artian sesungguhnya tetapi benda-benda tersebut menentukan pondasi atau material dan ide dari property yang memunculkan hubungan atau kontrol atau kepentingan yang dapat diberikan oleh hukum atas benda-benda tersebut.

  Sedangkan C.B Macpherson menyebutkan bahwa Property bukanlah tentang benda itu

  

  sendiri melainkan tentang hak atas benda tersebut . Dari pendapat kedua sarjana tersebut maka dapatlah dipahami bahwa property bukanlah berbicara tentang suatu kebendaan tertentu melainkan berbicara tentang hak yang berada di atas benda tersebut, dan hak dalam hal ini juga dartikan sebagai suatu kepentingan. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa property adalah sesuatu yang sama dengan hak kebendaan yang dapat diartikan sebagai suatu suatu kepentingan seseorang, kelompok ataupun asosiasi yang oleh “hukum” atas suatu kebendaan tertentu yang dijamin keberadaannya, dan pelaksanaan dari pada kepentingan tersebut dapat dipaksakan kepada tiap-tiap orang lain dihadapan “hukum” yang memiliki hubungan hukum dengan orang tersebut.

B. Asas- Asas Hukum Benda

   Untuk dapat mengerti dan mengetahui apa-apa saja yang merupakan asas-asas dalam

  hukum kebendaan maka perlu dipahami terlebih dahulu yang dimaksud dengan asas itu sendiri. Secara sederhana yang dimaksud dengan asas adalah suatu meta-norma, atau suatu rumusan yang sebenarnya di dalamnya telah terkandung suatu muatan hukum berupa landasan berpikir bagi terbentuknya suatu norma, hanya saja sifatnya masih abstrak dan belum memuat subjek hukum apa yang kepadanya dibebankan objek muatan hukum tersebut.

  Suatu aturan atau norma pada hakikatnya mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip sebagai rohnya. Merupakan kejanggalan bahkan konyol apabila suatu norma tidak mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip dalam konteks operasionalnya. Suatu norma tanpa landasan filosofis serta pijakan asas, ibarat manusia yang

   buta dan lumpuh.

  Asas atau prinsip dalam bahasa Belanda disebut “beginsel”, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut sebagai “principle”. Asas dalam dalam bahasa Indonesia sebagaimana termuat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti dasar yang menjadi suatu tumpuan berpikir atau berpendapat, dasar cita-cita, atau hukum dasar. Sedangkan dalam bahasa Inggris sendiri sebagaimana dikutip dari Cambridge Dictionary, kata priciple berarti “a basic idea or

  

rule that explains or control how something happens or works”. Sedangkan asas atau prinsip

  dalam bahasa latin disebut sebagai “principium” yakni berasal dari kata “primus” yang berarti “pertama” , dan kata “capere” yang berarti “menangkap”, secara leksika berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau bertindak atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya.

  Kedudukan asas hukum dalam semua sistem hukum yang di dalamnya mengatur sistem norma hukum mempunyai peranan yang penting. Asas hukum merupakan landasan atau

  

  pondasi yang menopang kukuhnya suatu norma hukum. Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan asas hukum, beberapa ahli memberikan batasan atau pengertian sebagai berikut:

  1) Paul Scholten menguraikan asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan, per undang-undangan, dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat

   29 dipandang sebagai penjabarannya.

  

Agus Yudha Hernoko, 2009, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana

Prenada Group, Surabaya, hal 21.

  2) Van Eikema Homes menjelaskan bahwa asas hukum bukanlah norma hukum yang konkret, tetapi sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Jadi merupakan dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif, sehingga dalam pembentukan hukum praktis harus berorientasi pada asas-asas hukum.

  

  3) Bellefroid mengemukakan bahwa asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak berasal dari aturan- aturan yang lebih umum. Jadi asas hukum umum merupakan kristalisasi (pengendapan) hukum positif dalam suatu masyarakat

   Asas hukum berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah, tujuan, serta penilaian fundamental, mengandung nilai-nilai, dan tuntutan-tuntutan etis.

  Bahkan dalam satu mata

  rantai sistem , asas, norma, dan tujuan hukum berfungsi, sebagai pedoman dan ukuran atau kriteria bagi perilaku manusia.

35 Melalui asas hukum, norma hukum berubah sifatnya

  menjadi bagian tatanan etis yang sesuai dengan nilai kemasyarakatan. Pemahaman tentang keberadaan suatu norma hukum (mengapa suatu norma hukum diundangkan) dapat ditelusuri dari “ratio legis”-nya. Meskipun asas hukum bukan norma hukum, namun tidak ada norma hukum yang dipahami tanpa mengetahui asas hukum yang terdapat di dalamnya.

   Adapun di dalam hukum kebendaan dikenal beberapa asas sebagai berikut

   1.

  Asas Hukum Memaksa (dwingend recht) 2.

  Hak kebendaan dapat dipindahkan 3. Asas Individualitas (Individualiteit) 32 Agus Yudha Hernoko, Op cit, hal 22 33 Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, hal 34 34 Ibid ,hal 47

  4. Asas Totalitas (Totaliteit).

  5. Asas tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid).

  6. Asas Prioritas (Prioriteit) 7.

  Asas percampuran (vermenging).

  8. Asas publisitas (publiciteit) 9.

  Asas perlakuan yang berbeda antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak.

  10. Adanya sifat perjanjian dalam setiap pengadaan atau pembentukan hak.

  1. Asas Hukum Memaksa ( Dwingend Recht) Asas hukum memaksa dalam hukum kebendaan berarti bahwa hukum yang mengatur tentang benda adalah sesuatu yang bersifat memaksa dan bukan bersifat mengatur, oleh karenanya para pihak yang mempunyai hak tertentu atas suatu benda tidak dapat menyimpangi ketentuan- ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang. Para pihak tersebut juga tidak dapat mengadakan suatu hak yang baru selain yang telah ditetapkan di dalam undang-undang. Hal ini tentunya berbeda dengan hukum perjanjian yang berisfat terbuka (openbaar system) yang mana para pihak yang terlibat di dalam perjanjian dapat saja menyimpangi ketentuan yang ada diatur di dalam undang-undang sesuai dengan kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian itu, sedangkan dalam hukum kebendaan para pihak yang mempunyai hubungan hukum tersebut tidak dapat menyimpangi atau mengadakan suatu hak yang baru selain dari yang telah ditentukan di dalam undang- undang walaupun para pihak telah menyepakati mengenai hal itu. Berikut adalah beberapa sifat dari asas hukum memaksa (dwingend recht) pada kebendaan : a.

  Hak milik atas suatu kebendaan yang bersifat memaksa Sifat memaksa dari hak milik atas suatu kebendaan pertama-tama dapat dilihat

  Pasal 584 KUHPerdata Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu, dengan pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan dengan penunjukkan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap barang itu.

  Dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut dapatlah dipahami bahwa undang-undang telah memberikan batasan bahwa seseorang hanya akan mendapatkan hak milik atas suatu kebendaan tertentu melalui 5 perbuatan hukum sebagaimana yang disebut di dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut. Selain dari pada kelima perbuatan hukum tersebut maka seseorang tidak akan memperoleh hak milik atas suatu kebendaan tertentu.

  Dalam hal ini proses atau perbuatan hukum yang paling sering mengakibatkan seseorang memiliki hak milik atas suatu hak kebendaan tertentu adalah penyerahan.

  Penyerahan disini harus dilakukn oleh orang yang mempunyai kewenangan bebas untuk menyerahkan kebendaan tersebut (beschikkingsbevoegd). Sistem levering yang terdapat di dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut merupakan suatu sistem causal, yaitu suatu sistem yang menggantungkan sah atau tidaknya suatu penyerahan pada 2 syarat yaitu :

1) Sahnya titel yang menjadi dasar dilakukannya levering.

  2) Levering tersebut dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas (beschikkingsbevoegd) .

  Dengan titel dimaksudkan perjanjian obligatoir yang menjadi dasar levering itu harus sah menurut hukum, jadi apabila dasar titel itu tidak sah menurut hukum baik karena batal demi hukum (null and void) atau dibatalkan oleh hakim (voidable), maka

  

levering tersebut menjadi batal juga, yang berarti bahwa pemindahan hak milik hal milik itu ternyata tidak berhak melakukannya karena ia bukan pemilik maupun

  

  orang yang secara khusus dikuasakan olehnya. Hal tersebut dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 1471 KUHPerdata yang menyebutkan “Jual beli ats barang orang adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.” b. Hak Gadai bersifat memaksa.

  Sebenarnya di dalam ketentuan KUHPerdata tidak satupun ada Pasal yang menyebutkan secara eksplisit bahwa gadai adalah suatu hak kebendaan yang bersifat

  

  memaksa. Akan tetapi beberapa ketentuan di dalam KUHPerdata yang antara lain

  Pasal 1152, Pasal 1152 bis, Pasal 1153, dan Pasal 1154 KUHPerdata menandakan bahwa hak gadai adalah bersifat memaksa. Pasal 1152 ,1152, 1153, 1154 KUHPerdata menyebutkan :

  Pasal 1152 KUHPErdata Hak gadai atas barang bergerak yang berwujud dan atas piutang bawa timbul dengan cara menyerahkan gadai itu kepada kekuasaan kreditur atau orang yang memberikan gadai atau yang dikembalikan atas kehendak kreditur. Hak gadai hapus bila gadai itu lepas dari kekuasaan pemegang gadai. Namun bila barang itu hilang, atau diambil dari kekuasaannya, maka ia berhak untuk menuntutnya kembali menurut Pasal 1977 alinea kedua, dan bila gadai itu telah kembali,maka hak gadai itu dianggap tidak pernah hilang. Hal tidak adanya wewenang pemberi gadai untuk bertindak bebas atas barang itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditur, tanpa mengurangi hak orang yang telah kehilangan atau kecurigaan barang itu untuk menuntutnya kembali.

  Pasal 1152 bis KUHPerdata. Untuk melahirkan hak gadai atas surat tunjuk, selain penyerahan endosemennya, juga dipersyaratkan penyerahan suratnya. Pasal 1153 KUHPerdata Hak gadai atas barang bergerak yang tak berwujud kecuali surat tunjuk dan surat bawa lahir dengan pemberitahuan mengenai penggadaian itu kepada orang yang kepadanya hak gadai itu harus dilaksanakan. Orang ini dapat menuntut bukti tertulis mengenai pemberitahuan itu, dan mengenai izin dan pemberian gadainya.

  Pasal 1154 KUHPerdata Dalam hal debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban-kewajiban, kreditur tidak diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan itu menjadi miliknya. Segala persyaratan perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal. Dari perumusan Pasal-Pasal tersebut dapat diketahui bahwa tidak memungkinkan untuk dilakukan penyimpangan terhadap ketentuan mengenai gadai yang diatur dalam

  

Kitab undang-undang Hukum Perdata.

  2. Hak Kebendaan Dapat Dialihkan.

  Asas dalam hukum kebendaan ini menunjukkan bahwa sesuatu yang dapat dikatakan sebagai suatu benda adalah suatu hal yang dalam hal ini dapat dialihkan kepada orang lain.

  Jadi dalam hal ini yang terjadi adalah peralihan atas hak kebendaan dari seseorang kepada

  

  orang lain dengan segala akibat hukum yang ada. Peralihan hak atas kebendaan tersebut dilakukan melalui suatu perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten). Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian dengan mana suatu hak kebendaan dilahirkan,

  

  dipindahkan, dirubah atau dihapuskan. Dapat dikatakan pula bahwa perjanjian kebendaan adalah perjanjian yang bertujuan untuk langsung meletakkan atau memindahkan hak kebendaan. Sekalipun istilah “perjanjian kebendaan” sudah umum dipakai dalam literatur hukum perdata, namun demikian istilah itu tidak dikenal dalam

43 KUHPerdata. Perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten) memiliki ciri khusus,

  yakni bahwa walaupun terminologi perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten) menggunakan kata perjanjian akan tetapi perjanjian kebendaan tidak melahirkan suatu

40 Ibid, hal 183

  

  perikatan tertentu seperti perjanjian lain pada umumya, karena perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten) merupakan suatu penyelesaian bagi suatu perjanjian obligatoirnya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak akan ada suatu perjanjian kebendaan tanpa dilatarbelakangi oleh suatu perjanjian obligatoirnya (titelnya).

  Mengenai asas bahwa hak kebendaan dapat dialihkan di dalam KUHPerdata dapat dilihat pada ketentuan Pasal 584 KUHPerdata yang antara lain menyebutkan bahwa hak milik atas suatu benda dapat timbul karena adanya penyerahan (levering) berdasarkan titel yang sah dan dilakukan oleh orang yang berwenang bebas terhadap benda terserbut.

  Sahnya titel dan berwenangnya orang yang mengalihkan benda tersebut merupakan suatu syarat yang memaksa sebagai akibat dari dianutnya sistem kausal dalam sistem

  

  penyerahan (levering) di dalam KUHPerdata. Pemindahan hak milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 584 KUHPerdata itu di dalam KUHPerdata ada 3 macam, yakni

  

  

   penyerahan nyata (feitelijk levering) , cessie , dan lembaga balik nama.

3. Asas Individualitas (Individualiteit).

  Asas ini berarti bahwa apa yang dapat diberikan menjadi kebendaan adalah apa yang

  

  menurut hukum dapat ditentukan terpisah. Maksudnya adalah bahwa sesuatu yang dapat dikatakan sebagai benda atau diberikan sebagai benda adalah segala sesuatu yang dapat ditentukan sebagai suatu kesatuan atau sebagai suatu jumlah atau ukuran tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1333 misalnya yang menyebutkan “suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan

  44 45 Pitlo.A,1949, Het Zakenrecht naar Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, Harleem, Tjeenk Willink en zoon. 46 R. Subekti, 1995, Op.cit, hal 12-13 Pasal 612 KUHPerdata.

  jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

  Dari ketentuan dalam Pasal 1333 maka dapatlah dipahami bahwa ketika seseorang membuat suatu perjanjian mengenai suatu kebendaan (perjanjian obligatoir) tertentu kemudian ditindaklanjuti dengan perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten) maka sesuatu yang dapat dikatakan sebagai benda atau objek penyerahan (levering) adalah sesuatu yang jelas jenisnya apa, dapat diukur, dihitung, atau suatu hal yang dapat

  

  dijumlah. Hal ini juga sesuai dengan yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1460 ,

  

  

  1461 dan Pasal 1462 yang mengatur mengenai risiko pada perjanjian jual beli. Di dalam Pasal-Pasal jelas menunjukkan bahwa benda-benda yang dapat dijadikan objek jual beli adalah benda-benda yang dapat ditentukan, dihitung atau ditakar berdasarkan berat, jumlah atau ukuran, atau ditentukan menurut tumpukan.

4. Asas Totalitas.

  Asas totalitas (totaliteit) ini berarti bahwa kepemilikan suatu kebendaan berarti kepemilikan menyeluruh atas setiap bagian kebendaan tersebut. Dalam konteks ini misalnya seseorang tidak mungkin memiliki bagian dari suatu kebendaan, jika ia sendiri

  

  tidak memiliki titel hak milik atas kebendaan tersebut secara utuh. Maksudnya adalah bahwa sesuai dengan sifat individualitas dari suatu kebendaan tersebut, maka tiap-tiap benda yang menurut sifatnya atau menurut undang-undang tidak dapat dibagi maka 50 penyerahan kepemilikan atas benda tersebut harus dilakukan secara keseluruhan benda itu.

  Pasal 1460 KUHPerdata menyebutkan “Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya.” 51 Pasal 1461 KUHPerdata menyebutkan “Jika barang dijual bukan menurut tumpukan melainkan menurut berat, jumlah dan ukuran, maka barang itu tetap menjadi tanggungan penjual sampai ditimbang, dihitung, atau diukur.

  Di dalam asas totalitas ini tercakup suatu asas perlekatan (accessie) karena perlekatan terjadi dalam hal benda pokok (hoofdzaak) berkaitan erat dengan benda-benda pelengkapnya yaitu benda tambahan (bijzaak) dan benda pembantu (hulpzaak). Oleh karena itu seorang pemilik benda pokok dengan sendirinya adalah pemilik benda

   pelengkapnya.

  Contoh dari asa totalitas ini misalkan saja seseorang memiliki sebuah rumah maka

  

  otomatis dia adalah pemilik jendela, pintu, kunci, genteng rumah tersebut. Asas totalitas ini juga menentukan bahwa penjualan dan peralihan suatu kepemilikan suatu benda dari seseorang kepada orang diikuti oleh peralihan segala embel-embel yang melekat pada benda itu. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan jual-beli piutang misalnya, bahwa segala piutang yang dijual dan dialihkan kepada orang lain maka peralihan tersebut diikuti juga

   dengan peralihan dari segala-segala jaminan yang melekat pada piutang tersebut.

  5. Asas Tidak Dapat Dipisahkan (onsplitsbaarheid).

  Asas ini merupakan konsekuensi dari asas totalitas (totaliteit), dimana dikatakan bahwa seseorang tidak dimungkinkan melepaskan hanya sebagian hak miliknya atas suatu kebendaan yang utuh. Meskipun seorang pemilik diberikan kewenangan untuk membebani hak miliknya dengan hak kebendaan lainnya yang bersifat terbatas (jura in re aliena), namun pembebanan yang dilakukan itupun hanya dapat dibebankan terhadap keseluruhan kebendaan yang menjadi miliknya tersebut. Jadi jura in re aliena tidak mungkin dapat diberikan untuk sebagian benda melainkan harus untuk seluruh benda tersebut sebagai

   54 suatu kesatuan .

  Frieda Husni Hasbullah, 2005, Hukum Kebendaan Perdata,Hak-Hak yang Memberi Kenikmatan, Jakarta,Ind-Hill-Co, Hal 36 55 Ibid.

6. Asas Prioritas (Prioriteit).

  Asas ini berarti bahwa antara hak kebendaan yang satu dengan hak kebendaan yang lain di atas suatu kebendaan yang sama memiliki tingkatan atau kedudukan yang berjenjang-jenjang (hierarkis). Jika dilihat dari sisi penuh atau tidaknya suatu hak

  

  kebendaan maka hak yang memiliki kedudukan yang paling tinggi adalah hak milik baru

  

  

  diikuti oleh hak bezit , dan hak atas kebendaan milik orang lain (jura in re aliena) . Jika terjadi perselisihan mengenai hak-hak kebendaan tersebut maka hak yang kedudukan hierarkinya lebih tinggi lebih diprioritaskan dari pada hak yang kedudukan prioritasnya lebih rendah. Sedangkan apabila di antara hak-hak kebendaan yang kedudukan hierarkinya sama maka diberikan prioritas kepada hak yang muncul lebih awal, kecuali untuk hak

  

  bezit karena hak bezit hadir karena penguasaan atas suatu benda tertentu, dan akan lepas jika penguasaan itupun lepas.

7. Asas Percampuran (vermenging).

  Hal

  ini berarti bahwa adanya suatu percampuran yakni peleburan 2 hak apabila 2 hak itu dimiliki oleh orang yang sama dan atas kebendaan yang sama. Misalnya jika A menyewa

  58 Pasal 570 KUHPerdata menyebutkan “Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan”. 59 60 Pasal 529 KUHPerdata Pasal 674, 711,720,756, 1150 dan Pasal 1162 KUHPerdata. sebuah rumah milik si B, kemudian A membeli rumah tersebut, maka hak sewa tersebut

   menjadi lenyap.

  8. Asas Publisitas (Publiciteit).

  Asas publisitas berkaitan dengan pengumuman status kepemilikan suatu benda

  

  tidak bergerak kepada masyarakat. Hak milik, penyerahan dan pembebanan hak atas tanah misalnya wajib didaftarkan pada kantor Pendaftaran Tanah dan ditulis dalam Buku Tanah (register) agar diketahui oleh umum. Sedangkan untuk benda bergerak, tidak perlu

   didaftarkan artinya cukup melalui penguasaan dan penyerahan nyata.

  9. Asas Perlakuan yang Berbeda antara Benda Bergerak dengan Benda Tidak Bergerak.

  Pengaturan dan perlakuan dapat disimpulkan dari cara membedakan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak serta manfaat atau pentingnya pembedaan antara kedua

   benda tersebut. Cara atau kriteria pembedaannya ditentukan oleh undang-undang.

  Sedangkan apa manfaat pembedaannya dapat ditinjau dari sudut penyerahannya,

   penguasaannya kadaluwarsa dan pembebanannya.

  10. Adanya Sifat Perjanjian Dalam Setiap Pengadaan atau Pembentukan Hak Kebendaan.

  Asas ini berarti bahwa pada dasarnya dalam setiap hukum perjanjian terkandung pula asas kebendaan dan dalam setiap hak kebendaan melekat pula setiap hukum perjanjian di dalamnya. Sifat perjanjian ini menjadi makin penting adanya dalam

  63 64 Ibid.

  

Mengenai pengumuman ini sekarang diatur di dalam PP no 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. pemberian hak kebendaan yang terbatas (jura in re aliena), sebagaimana dimungkinkan

   oleh undang-undang.

C. Pembagiannya Benda Menurut KUHPerdata

  Di dalam KUHPerdata pembagian benda yang relevan bagi tulisan ini adalah sebagai berikut :

   1.

  Benda berwujud dan benda tak berwujud.

   2.

  Benda bergerak dan benda tidak bergerak.

1. Benda berwujud dan benda tak berwujud.

  Pembagian benda adalah sesuatu yang penting, karena dengan pembagian tersebut maka hukum akan memberikan perlakuan yang berbeda antara benda-benda yang dibedakan tersebut.

  KUHPerdata memberikan pengertian benda sebagai barang dan hak-hak yang dapat menjadi

  

  objek hak milik. Oleh karenanya dari definisi benda yang diberikan oleh KUHPerdata tersebut dapatlah dipahami bahwa ada perbedaan terminologi antara benda dan barang. Dimana dalam hal ini benda diberikan pengertian yang lebih luas dari pada pengertian barang, yakni selain meliputi barang itu sendiri meliputi juga hak-hak lain. Benda adalah segala sesuatu yang

  

  dapat dihaki oleh orang, disini benda berarti objek sebagai lawan dari subjek hukum. Ada juga benda diberikan makna yang sempit yakni segala sesuatu yang dapat terlihat saja. Ada lagi

   dipakai jika yang dimaksudkan adalah kekayaan seseorang.

  Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa ada pembagian mengenai benda menjadi benda yang berwujud dan benda tidak berwujud, akan tetapi jika kita melihat 68 69 Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaja, 2004, Op.cit, hal 180 70 Pasal 503 KUHPerdata.

Pasal 504 KUHPerdata.

  perumusan-perumusan yang terdapat di dalam KUHPerdata, sebenarnya benda yang tidak berwujud walau benda tersebut tidak memiliki wujud akan tetapi sebenarnya merupakan hak

  

  yang dilekatkan atas benda yang berwujud. Misalnya saja hak guna usaha , yang mana menurut terminologi KUHPerdata disebutkan sebagai hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah, sebagai pengakuan tentang pemilikannya baik berupa uang maupun berupa hasil atau pendapatan alas hak lahirnya hak guna usaha harus diumumkan dengan cara seperti yang

   ditentukan dalam Pasal 620.

  Akan tetapi setelah diundangkannya UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), maka makna hak guna usaha menjadi berubah, dalam terminologi UUPA yang dimaksud dengan hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh

   negara, dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan pertanian, perikanan dan pertenakan.

77 Dengan begitu maka hak guna bangunan sebagaimana yang diatur dalam UUPA termasuk ke

  dalam benda tak berwujud yang juga digolongkan sebagai benda tak bergerak. Dari pemaparan tersebut maka dapatlah dilihat bahwa kedua hak tersebut merupakan hak yakni benda tak berwujud yang hadir karena adanya hak untuk mengambil manfaat atau memanfaatkan suatu benda tertentu yang memilki wujud yakni tanah (benda tak bergerak).. Dengan demikian dapatlah dilihat bahwa sebenarnya benda tak berwujud ada dan dilekatkan pada suatu manfaat tertentu atas suatu benda tertentu yang memiliki wujud.

  Selain dari pada yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa benda tak berwujud itu sebenarnya adalah hak yang dilekatkan pada suatu benda tertentu yang memiliki wujud, maka sifat itu dapat juga dilihat dari penggolongan bagi perikatan dan tuntutan mengenai jumlah uang 74 Pasal 508 angka 4 KUHPerdata menggolongkan hak guna usaha sebagai hak (benda tak berwujud) yang tergolong benda tak bergerak.

  

  yang dapat ditagih atau mengenai barang bergerak sebagai suatu hak ( benda tak berwujud) yang digolongkan sebagai benda bergerak. Dari ketentuan KUHPerdata yang menggolongkan perikatan dan tuntutan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih atau mengenai barang bergerak tersebut dapatlah dilihat bahwa hak tersebut merupakan hak yakni benda tak beruwujud yang memberikan manfaat kepada seseorang atas sejumlah uang tertentu baik yang timbul karena

  

  

  perjanjian pinjam-meminjam/pinjam pakai habis atau karena perbuatan melawan hukum dan atas suatu benda bergerak tertentu. Oleh karenanya dari ketentuan tersebut maka dapatlah ditarik

  

  kesimpulan bahwa hak-hak yang terkandung di dalam apa yang disebut sebagai surat muatan

  

  dan konosemen/bill of lading adalah termasuk hak yakni benda tak berwujud yang tergolong sebagai benda bergerak karena di dalam kedua dokumen tersebut terkandung hak bagi orang- orang yang namanya tercantum di dokumen tersebut untuk menuntut pihak tertentu untuk menyerahkan suatu benda bergerak tertentu. Dengan demikian dari pemaparan tersebut semakin terlihatlah bahwa hak yakni benda tak berwujud merupakan hak yang melekat pada suatu benda tertentu yang memiliki wujud.

  Akibat dari pembedaan atau pembagian benda menjadi benda berwujud dan benda tak berwujud adalah mengenai penyerahannya. Di dalam KUHPerdata mengatur 3 cara penyerahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 612, 613, 616 dan Pasal 620 KUHPerdata. Untuk benda- benda berwujud yang tergolong sebagai benda tidak bergerak maka penyerahannya dilakukan dengan penyerahan nyata yakni adanya suatu peralihan secara fisik dari benda tersebut, atau

  78 Pasal 511 angka 3 KUHPerdata menggolongkan perikatan dan tuntutan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih atau mengenai barang bergerak sebagai hak (benda tak berwujud) yang tergolong sebagai benda bergerak. 79 80 Pasal 1754 jo 1765 KUHPerdata 81 Pasal 1365 KUHPerdata. 82 Pasal 90 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)

Pasal 506 KUHD menyebutkan “konosemen adalah surat yang diberi tanggal yang di dalamnya

  

  penyerahan kunci apabila benda-benda tersebut berada di dalam suatu gudang. Sedangkan untuk benda-benda tak berwujud yang tergolong sebagai benda bergerak yang merupakan piutang atas nama dan benda-benda lain yang tak bertubuh penyerahannya dilakukan dengan pembuatan suatu akta baik berupa akta otentik ataupun berupa akta di bawah tangan kemudian memberitahukan penyerahan tersebut kepada debitur (pihak yang berutang) yang

  

  bersangkutan, sedangkan untuk surat-surat piutang atas unjuk penyerahannya dilakukan dengan penyerahan surat tersebut, sedangkan untuk surat piutang atas nama penyerahannya

   dilakukan dengan penyerahan surat tersebut disertai dengan endosemennya.

  Pembedaan cara penyerahan itu dilakukan karena hakikat dari benda tak berwujud tersebut yang tentunya tidak memiliki wujud tertentu sementara penyerahannya tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama dengan benda tak bergerak. Dengan latar belakang seperti itu bisa dibayangkan, bahwa untuk adanya peralihan atas suatu benda yang tidak ada wujudnya, tentunya perlu suatu tanda, yang bisa nampak keluar, bahwa disana ada tindakan penyerahan, maka dalam Pasal 613 disyaratkan bahwa cessie itu dinyatakan melalui suatu akta, bisa otentik

   bisa di bawah tangan.

  2. Benda bergerak dan benda tidak bergerak.

  Pembagian benda selanjutnya yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah pembagian benda antara benda bergerak (roerend zaak) dan benda tidak bergerak (onroerend zaak). Dari 83 Pasal 612 KUHPerdata menyebutkan “ penyerahan benda-benda bergerak, kecuali yang tidak berwujud

  dilakukan dengan penyerahan yang nyata oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci bangunan tempat barang-barang itu berada. Penyerahan tidak diharuskan, bila benda-benda yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya. 84 85 Lembaga tersebut sering disebut sebagai cessie

  

Pasal 613 KUHPErdata menyebutkan “penyerahan piutang-piutang ats nama dan benda-benda lain tak bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas benda-benda itu kepada orang lain. Penyerahan itu tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya. Penyerahan surat- berbagai pembagian-pembagian benda sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata, maka pembagian benda yang paling penting adalah pembagian benda menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak ini karena menimbulkan berbagai akibat-akibat yang penting dalam

  

  hukum. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat James Schouler yang menyebutkan

  

“Mobility is leading essential quality of personal property, in all systems of jurisprudence, as

distinguished from real property. Things real, like lands, trees, and houses have fixed locality;

they are immovable so to speak. But things personal, such as money, jewelry, clothing,

household furniture, boats,and carriages are said to follow the person of the owner wherever he

goes; they need not be enjoyed in any particular place; and hence they are movable. This

fundamental division of property into immovables and movables is the primary and most obvious

one; and to each class we find that a separate set of legal principles has been universally

  

applied.” Pembagian benda ini ada sebagaimana diatur dalam Pasal 504 KUHPerdata yang

  menyebutkan “ Ada benda yang bergerak dan ada benda yang tak bergerak, menurut ketentuan- ketentuan yang diatur dalam kedua bagian berikut ini ”.

  a. Benda Tidak Bergerak (Onroerend Zaak) Suatu benda dikategorikan sebagai benda tak bergerak karena 2 hal yakni, karena sifatnya

  

  dan karena tujuan pemakaiannya. Suatu benda yang dikategorikan sebagai benda yang tak bergerak karena sifatnya maksudnya adalah bahwa karena memang benda tersebut bukanlah benda yang dapat dipindah-pindahkan. Adapun yang menjadi barang tak bergerak menurut

  

  sifatnya adalah sebagai berikut 1)

  Tanah pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya; 2) 87 Penggilingan, kecuali yang dibicarakan dalam Pasal 510.

  Subekti, 1982, Op.cit, hal 63.

  3) Pohon dan tanaman ladang yang dengan akarnya menancap dalam tanah, buah pohon yang belum dipetik, demikian pula barang-barang tambang seperti batu bara, sampah bara dan sebagainya selama barang-barang itu belum dipisahkan dan digali dari tanah;

  4) Kayu belukar dari hutan dan kayu dari pohon yang tinggi, selama belum ditebang

  ; 5)

  Pipa dan saluran yang digunakan untuk mengalirkan air dari tanah rumah atau pekarangan; dan pada umumnya segala sesuatu yang tertancap dalam pekarangan atau terpaku pada bangunan. Sedangkan yang dimaksud dengan benda tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya adalah segala apa yang meskipun tidak sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama

  

  . Adapun yang termasuk benda-benda tak begerak karena tujuan pemakaian antara lain sebagai berikut :

  

  1) Pada pabrik; barang hasil pabrik,pengilangan,penempaan besi dan barang tak bergerak semacam itu, apitan besi, ketel kukusan, tempat api, jambangan, tong dan perkakas- perkakas sebagainya yang termasuk bagian pabrik, sekalipun barang itu tidak terpaku;

  2) Pada rumah; Cermin, lukisan, dan perhiasan lainnya bila dilekatkan pada papan atau pasangan batu yang merupakan bagian dinding, pagar, atau plesteran suatu ruangan, sekalipun barang itu tidak terpaku;

  3) Dalam pertanahan; lungkang atau tumbuhan pupuk yang dipergunakan untuk merabuk tanah; kawanan burung merpati, sarang burung yang biasa dimakan, selama belum dikumpulkan, ikan yang ada di dalam kolam;

  4) Runtuhan bahan bangunan yang dirombak, bila dipergunakan untuk pembangunan kembali;

  5) Semua barang yang oleh pemiliknya dihubungkan dengan barang tak bergerak guna dipakai selamanya.

  Dari penjabaran di atas maka dapatlah dipahami bahwa benda-benda yang tadinya dianggap sebagai benda bergerak dapat berubah menjadi benda tidak bergerak begitu juga sebaliknya ada juga benda-benda yang tadinya tergolong sebagai benda tak tak bergerak dapat berubah menjadi benda bergerak. Proses untuk membuat suatu benda tidak bergerak menjadi benda bergerak disebut sebagai severance, sebagaimana yang yang diungkapkan oleh James Schouler “The act of complete severance is commonly what changes property from real to

  

personal, from immovable to movable” . Sedangkan suatu benda yang tadinya benda bergerak

  menjadi benda tidak bergerak, misalkan saja batu bata, semen, dan pasir, menurut sifatnya masing-masing adalah benda bergerak, akan tetapi ketika benda-benda tersebut kemudian dibuat menjadi suatu gedung maka benda-benda berubah menjadi benda tidak bergerak, hal tersebut dapat dilihat apabila kita menarik kesimpulan dari Pasal 507 angka 4 KUHPerdata yang menggolongkan runtuhan bahan bangunan yang dirombak, bila dipergunakan untuk pembangunan kembali; sebagai benda tidak bergerak b. Benda Bergerak (Roerend Zaak)

  Suatu benda dihitung termasuk golongan benda yang bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda yang bergerak karena sifatnya, adalah

  

  benda yang dapat berpindah sendiri atau dipindahkan atau benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, jadi misalnya barang perabot rumah tangga. Tergolong benda bergerak karena ditetapkan oleh undang-undang ialah misalnya

  

vruchtgebruik dari suatu benda tidak bergerak , liefrenten, penagihan mengenai sejumlah uang

  atau suatu benda yang bergerak, surat-surat sero dari suatu perseorang perdagangan, surat-surat

  

  obligasi negara dan sebagainya. Selanjutnya dalam auteurswet dan octrooiwet ditetapkan bahwa hak atas suatu pendapatan dalam ilmu pengetahuan (octrooirecht) adalah benda yang

   bergerak.

  c. Akibat Hukum dari Pembedaan antara Benda Tidak Bergerak dengan Benda Begerak.

  Adapun pembedaan benda menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak mengakibatkan beberapa akibat hukum mengenai pembedaan perlakuan bagi kedua jenis benda tersebut. Sedangkan apa manfaat pembedaannya dapat ditinjau dari sudut penyerahannya,

   penguasaannya kadaluwarsa dan pembebanannya, dan juga mengenai penyitaannya.

  Mengenai penyerahan misalnya, bagi benda tidak bergerak menurut KUHPerdata

  

  penyerahannya harus dilakukan melalui lembaga balik nama sedangkan untuk benda bergerak

  

  penyerahannya dilakukan secara penyerahan nyata (feitelijk levering) dan dilakukan oleh orang yang berwenang untuk itu atau oleh orang lain atas kepentingan orang yang berwenangan untuk menyerahkan benda bergerak tersebut. Apabila penyerahan itu dilakukan oleh yang tidak berwenangan maka tentu penyerahan itu menjadi batal demi hukum. Hal ini dapat dilihat

  

  misalnya dalam suatu perjanjian jual beli yang dilakukan oleh bukan orang atas nama orang

  

  yang memiliki benda tersebut maka jual-beli tersebut menjadi batal. Sebenarnya menurut ketentuan mengenai jual-beli tersebut yang batal adalah perjanjian obligatoir-nya bukan mengenai perjanjian kebendaannya (zakelijk oveerenkomsten), akan tetapi karena mengenai penyerahan KUHPerdata menganut sistem kausal, maka tentu apabila perjanjian obligatoir-nya 95 96 Pasal 511 KUHPerdata 97 Subekti, 1982, Op.cit, hal 62 98 Frieda Husni Hasbullah, Op.cit, hal 40 99 Pasal 616 jo 620 KUHPerdata 100

  Pasal 612 KUHPerdata Pasal 1457 KUHPerdata menyebutkan “jual-beli adalah suatu persetujuan dengann mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan” batal demi hukum atau dibatalkan maka perjanjian kebendaanya pun ikut batal. Penyerahan yang menggunakan sistem kausal maksudnya adalah yaitu suatu sistem yang menggantungkan sahnya

  

  penyerahan (levering) itu kepada 2 hal yaitu : 1)

  Sahnya titel yang menjadi dasar dilakukannya penyerahan (levering) 2)

  Penyerahan (levering) itu dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas (beschikkingsbevoegd) terhadap barang dilever itu.

  Hal mengenai bahwa KUHPerdata menganut sistem kausal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 584 KUHPerdata yang antara lain menyebutkan bahwa hak milik dapat diperoleh melalui suatu penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap barang itu.

  . Sedangkan mengenai pembebanannya menurut KUHPerdata bagi benda tidak bergerak

  hanya dapat dibebankan melalui Hipotek untuk hak-hak atas benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam KUHPerdata, sedangkan untuk hak-hak atas benda tidak bergerak

  

  berdasarkan Hukum Adat maka menggunakan lembaga credietverband (sejak diberlakukanya UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria maka kedua lembaga tersebut sejauh mengenai

  

  tanah menjadi tidak berlaku dan digantikan menjadi hak tanggungan ), sedangkan pembebanan

  

  bagi benda-benda bergerak dilakukan melalui lembaga gadai (namun sekarang untuk benda-