Tinjauan Yuridis Hak Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Pertama Dalam Pelelangan Boedel Kepailitan

(1)

TESIS

Oleh

FENNI CIPTANI SARAGIH

107011051/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FENNI CIPTANI SARAGIH

107011051/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nomor Pokok : 107011051 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Abduh, SH)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. Purnama T. Sianturi, SH, MHum) (Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH

Anggota : 1. Dr. Purnama T. Sianturi, SH, MHum 2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : FENNI CIPTANI SARAGIH

Nim : 107011051

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS HAK KREDITOR PEMEGANG

HAK TANGGUNGAN PERTAMA DALAM PELELANGAN BOEDEL KEPAILITAN

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :FENNI CIPTANI SARAGIH


(6)

i

dan lahir mulai sejak para pihak melakukan negosiasi hingga terjadi kesepakatan dagang. Kompleksitas persoalan hukum dari kegiatan jual beli menjadi bertambah manakala kegiatan ini kemudian meningkat menjadi kegiatan jual beli secara internasional. Dalam transaksi perdagangan internasional tidak lepas dari yang namanya perjanjian. Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup internasional bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem hukum nasional, paradigma, dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang bersifat memaksa untuk dipatuhi oleh para pihak di masing-masing negara. Dengan adanya unifikasi dan harmonisasi aturan dan praktik melalui berbagai upaya melalui UPICCs dan CISG bagi Indonesia dalam KUHPerdata yang diharapkan dapat mengurangi perbedaan-perbedaan yang selama ini menjadi kendala bagi Indonesia serta dapat menyamakan suatu persepsi atau titik pandang yang memudahkan para pihak memenuhi kebutuhan hukum dalam perjanjian jual beli internasional.

Pembahasan dalam penelitian ini yaitu, pertama, pengaturan hak dan kewajiban penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli internasional di tinjau dari ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, kedua, berlakunya suatu perjanjian jual beli internasional bagi para pihak sesuai dengan ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, ketiga ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya perjanjian jual beli menurut UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif analisis dan deskriptif komparatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan hak dan kewajiban dalam UPICCs difokuskan bukan hanya kepada penjual dan pembeli, namun juga kepada agen serta pihak ketiga, dan pengaturan hak dan kewajiban dalam CISG dan KUPerdata diatur secara tegas didalamnya. Dikatakan berlakunya perjanjian menurut UPICCs adalah apabila para pihak berada pada negara yang berbeda (ada unsur asing didalamnya) dan saling mengikatkan diri dengan kesepakatan, dimana kesepakatan tersebut harus diawali dengan suatu penawaran oleh salah satu pihak yang ditutup dengan penerimaan (acceptance) persetujuan mencapai sipenawar. Dalam KUHPerdata, Suatu Perjanjian dapat mengikat dan berlaku apabila terpenuhinya syarat sahnya perjanjian yaitu sepakat, kecakapan, suatu hal tertentu dan sebab yang halal serta didukung oleh subjek dan objek hukum yang dibenarkan oleh UU serta tidak bertentangan dengan UU. Tidak terpenuhinya suatu perjanjian yang membawa salah satu pihak mengalami kerugian ditinjau dari UPICCs, CISG dan KUHPerdata, dimana pihak yang tidak melaksanakan perjanjian tersebut wajib membayar ganti kerugian dan membayar kehilangan keuntungan. Oleh karena itu, dalam UPICCs


(7)

ii

KUHPerdata diperlukannya suatu aturan khusus yang menjelaskan hal-hal yang mendasari pemberlakuan ketentuan ganti rugi terhadap para pihak, baik dalam hal bentuk ganti rugi, persetase kerugian/kehilangan keuntungan sehingga keseimbangan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak atas prestasi terpenuhi.

Kata Kunci: Perjanjian, jual beli barang internasional, UPICCs, CISG, Kitab Undang-undang Hukum Perdata


(8)

iii

execution exercised by creditors individually can be evaded, unless Regulation gives the exception such as the creditors who are entitled to hold Hypothecation are prioritized. Hypothecation is extraordinary collateral which has special position owned by the holder of Hypothecation. If a debtor breaches a contract, the creditor who is entitled to hold Hypothecation has the authority to execute the object of hypothecation, based on the executorial power, called “parate executie” or sells, by his own authority, through public auction and takes his share as redemption of the debtor’s debt so that he becomes the preferred creditor.

The discussions in the research are as follows: first, the rights of creditors who are entitled to hold the first Hypothecation on the collateral according to Hypothecation Act; secondly, the implementation of the rights of creditors who are entitled to hold Hypothecation, based on Article 59 of Bankruptcy Law; thirdly, judicial problems in auction toward inventory of bankruptcy included in Hypothecation. The research used judicial normative approach, and its nature was a descriptive analysis.

The results of the research shows that the rights of creditors who are entitled to hold Hypothecation as it is stipulated in Article 55, paragraph (1) of Law No. 37/2004 which states that in the state of bankruptcy, the creditor who is entitled to hold Hypothecation has the authority to execute his own rights is if there were no bankruptcy. In this case, the position of creditor who is entitled to hold Hypothecation is a separate creditor; he is free from the impact of the bankruptcy so that he can carry out his right to execute even though the debtor goes bankrupt. Therefore, the object of Hypothecation cannot be united with bankruptcy property to be divided among the other creditors from the mortgagor. Even though bankruptcy does not principally impede the execution based on preferential collateral, for the sake of inventory of bankruptcy and as long as the curator can give logical protection to the creditor, based on Article 56, paragraph (1) of Law No. 37/2004, the right of creditor who is entitled to hold Hypothecation to execute can be postponed within 90 days commencing on the date when the decision of bankruptcy is made. Article 56 of Law No.37/2004 is the only alternative made by the creditor who is entitled to hold Hypothecation. Therefore, this Article is not at once binding the creditors who are entitled to hold Hypothecation because they can still carry out their right to execute even though the debtor goes bankrupt as it is stipulated in Article 21 of UUHT in conjunction with Article 55, paragraph (1) of Law No. 37/2004. If it is viewed from creditor who is entitled to hold Hypothecation, the alternative for declaring bankrupt to the debtor who gives collateral is not advantageous because they cannot exercise the execution on the collateral since their right to exercise the execution is postponed


(9)

iv

Hypothecation files the claim with the guarantee by stockholders or by the third party, the buyer of the auction will have problems because the certificate for the collateral is in the hand of the holder of Hypothecation, and the Hypothecation is not cancelled by the holder of the Hypothecation.

Keywords: Creditor that is entitled to hold the First Hypothecation, Auction, Inventory of Bankruptcy


(10)

v

melimpahkan berkat dan karuniaNya yang tidak terkira sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “TINJAUAN YURIDIS HAK KREDITOR

PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA DALAM PELELANGAN

BOEDEL KEPAILITAN”. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan dukungan dalam proses penyelesaian tesis ini, sebagai berikut:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), Sp.A (K), Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Di Medan, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan studi sampai dengan memperoleh gelar Magister di Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan.

2. Bapak Prof. DR. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. DR Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Serta para Guru Besar dan dosen-dosen yang telah membimbing dan memberi ilmu-ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi penulis.

5. Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH; Ibu DR. Purnama T. Sianturi, SH, M.Hum; Bapak DR. Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku Komisi Pembimbing, Bapak


(11)

vi

6. Seluruh Staf Sekretariat Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dan mengurus administrasi penulis selama masa perkuliahan.

7. Secara khusus Penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terkasih Orangtua Penulis: Ayahanda terkasih A. Saragih, yang telah mendukung Penulis untuk tetap semangat dalam menyelesaikan studi, yang selalu berdoa sepanjang waktu dan memberikan kasih sayang, serta memberikan dukungan baik moril dan materil.

8. Kepada saudara-saudari Penulis: abang dan kakak tercinta Jan Setia Saragih, Hendra Sargih, Ardes Saragih, Poltak Hasiholan Saragih, Jameslin Saragih, K’Ririn, K’Reni, K’Mitha yang selalu memotivasi dan mendoakan Penulis, maaf selalu buat repot ya untuk menyelesaikan studi dan untuk penyelesaian tesis ini. 9. Kepada teman dan sahabat yang ada di kostan Marakas 41 Rahel Hutahayan,

Siska Saragih, Dina Tambunan, terima kasih buat persahabatannya dan akan selalu aku ingat sampai kapanpun, dan buat buat teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang sangat mendukung saya ucapkan terima kasih banyak.


(12)

vii

11. Kepada para teman dan sahabat di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: Deswita Rajagukguk dan Evelin Angelita Manurung, Maria Sihombing yang sangat mendukung dan membantu Penulis selama masa perkuliahan dan proses penyelesaian tesis ini, serta rekan-rekan mahasiswa MKn USU angkatan Tahun 2010 yang tidak dapat Penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas perhatian, dukungan, dan sumbangsih lainnya selama masa perkuliahan kepada Penulis.

12. Kepada seseorang yang juga telah mendukung saya dan memberikan perhatian yang lebih, terima kasih dan semoga apa yang kita harapkan dapat tercapai.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat dan karunia-Nya kepada kita semua dan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis.

Harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan Ilmu Pengetahuan Hukum khususnya di bidang Hukum Lelang.

Medan, Januari 2013 Hormat Penulis,


(13)

viii

Nama : Fenni Ciptani Saragih

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal lahir : Sambosar Raya, 14 Mei 1986

Kewarganegaraan : Indonesia

Status Perkawinan : Belum Menikah

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jln. Marakas No. 41 Pasar 2 Padang

Bulan, Medan

Telepon, HP : 087867322608

II. DATA KELUARGA

Ayah : A. Saragih

Ibu : (Alm) L. Purba

Kakak : 1. Jan Setia Saragih

2. Hendra Jesastra Saragih 3. Ardes Pramos Saragih 4. Poltak Hasiholan Saragih 5. Jameslin Saragih

III. PENDIDIKAN

SD INPRES Sambosar Raya Tahun 1993 – 1999 SMP Methodist, Pematang Siantar Tahun 1999 – 2002 SMA Negeri 2, Pematang Siantar Tahun 2002 – 2005

(S-1) Fakultas Hukum Universitas Tahun Bengkulu 2005 – 2010


(14)

ix

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Konsepsi ... 20

G. Metode Penelitian ... 22

1. Spesifikasi Penelitian ... 22

2. Jenis Data dan Bahan Hukum ... 23

3. Teknik Pengumpulan Data ... 24

4. Analisis Data ... 25

BAB II HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA ATAS BARANG JAMINAN DALAM UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN ... 26

A. Hak Tanggungan ... 26

1. Pengertian Hak Tanggungan ... 26

2. Subjek dan Objek Hak Tanggungan ... 29


(15)

x

6. Eksekusi Hak Tanggungan ... 37

B. Lelang Hak Tanggungan ... 41

C. Kreditur Dalam Kepailitan ... 48

1. Pengertian dan Jenis-jenis Kreditur Dalam Kepailitan ... 48

2. Kedudukan kreditur separatis dalam hukum kepailitan .... 54

D. Hak Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Kepailitan .. 58

E. Hak Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Pertama Atas Barang Jaminan Dalam UUHT ... 66

BAB III PELAKSANAAN HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN PASAL 59 UNDANG-UNDANG KEPAILITAN ... 76

A. Pengertian Insolvensi ... 76

B. Pelaksanaan Hak Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Kepailitan ... 77

BAB IV PERMASALAHAN-PERMASALAHAN HUKUM YANG TIMBUL DALAM PELELANGAN TERHADAP BOEDEL PAILIT YANG TERMASUK DALAM HAK TANGGUNGAN ... 83

A. Penjelasan Pasal 59 ayat (2) lebih luas dari norma ... 83

B. Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan mendaftarkan tagihan dengan jaminan atas nama pemegang saham atau pihak ketiga ... 85

1. Harta Pailit ... 85

2. Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan mendaftarkan tagihan dengan jaminan atas nama pemegang saham atau pihak ketiga ... 88


(16)

xi

2. Pembeli lelang memperoleh masalah karena sertifikat jaminan ada pada pemegang Hak Tanggungan dan Hak

Tanggungan tidak diroya oleh pemegang HT ... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

A. Kesimpulan ... 99

B. Saran ... 100


(17)

i

dan lahir mulai sejak para pihak melakukan negosiasi hingga terjadi kesepakatan dagang. Kompleksitas persoalan hukum dari kegiatan jual beli menjadi bertambah manakala kegiatan ini kemudian meningkat menjadi kegiatan jual beli secara internasional. Dalam transaksi perdagangan internasional tidak lepas dari yang namanya perjanjian. Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup internasional bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem hukum nasional, paradigma, dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang bersifat memaksa untuk dipatuhi oleh para pihak di masing-masing negara. Dengan adanya unifikasi dan harmonisasi aturan dan praktik melalui berbagai upaya melalui UPICCs dan CISG bagi Indonesia dalam KUHPerdata yang diharapkan dapat mengurangi perbedaan-perbedaan yang selama ini menjadi kendala bagi Indonesia serta dapat menyamakan suatu persepsi atau titik pandang yang memudahkan para pihak memenuhi kebutuhan hukum dalam perjanjian jual beli internasional.

Pembahasan dalam penelitian ini yaitu, pertama, pengaturan hak dan kewajiban penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli internasional di tinjau dari ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, kedua, berlakunya suatu perjanjian jual beli internasional bagi para pihak sesuai dengan ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, ketiga ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya perjanjian jual beli menurut UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif analisis dan deskriptif komparatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan hak dan kewajiban dalam UPICCs difokuskan bukan hanya kepada penjual dan pembeli, namun juga kepada agen serta pihak ketiga, dan pengaturan hak dan kewajiban dalam CISG dan KUPerdata diatur secara tegas didalamnya. Dikatakan berlakunya perjanjian menurut UPICCs adalah apabila para pihak berada pada negara yang berbeda (ada unsur asing didalamnya) dan saling mengikatkan diri dengan kesepakatan, dimana kesepakatan tersebut harus diawali dengan suatu penawaran oleh salah satu pihak yang ditutup dengan penerimaan (acceptance) persetujuan mencapai sipenawar. Dalam KUHPerdata, Suatu Perjanjian dapat mengikat dan berlaku apabila terpenuhinya syarat sahnya perjanjian yaitu sepakat, kecakapan, suatu hal tertentu dan sebab yang halal serta didukung oleh subjek dan objek hukum yang dibenarkan oleh UU serta tidak bertentangan dengan UU. Tidak terpenuhinya suatu perjanjian yang membawa salah satu pihak mengalami kerugian ditinjau dari UPICCs, CISG dan KUHPerdata, dimana pihak yang tidak melaksanakan perjanjian tersebut wajib membayar ganti kerugian dan membayar kehilangan keuntungan. Oleh karena itu, dalam UPICCs


(18)

ii

KUHPerdata diperlukannya suatu aturan khusus yang menjelaskan hal-hal yang mendasari pemberlakuan ketentuan ganti rugi terhadap para pihak, baik dalam hal bentuk ganti rugi, persetase kerugian/kehilangan keuntungan sehingga keseimbangan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak atas prestasi terpenuhi.

Kata Kunci: Perjanjian, jual beli barang internasional, UPICCs, CISG, Kitab Undang-undang Hukum Perdata


(19)

iii

execution exercised by creditors individually can be evaded, unless Regulation gives the exception such as the creditors who are entitled to hold Hypothecation are prioritized. Hypothecation is extraordinary collateral which has special position owned by the holder of Hypothecation. If a debtor breaches a contract, the creditor who is entitled to hold Hypothecation has the authority to execute the object of hypothecation, based on the executorial power, called “parate executie” or sells, by his own authority, through public auction and takes his share as redemption of the debtor’s debt so that he becomes the preferred creditor.

The discussions in the research are as follows: first, the rights of creditors who are entitled to hold the first Hypothecation on the collateral according to Hypothecation Act; secondly, the implementation of the rights of creditors who are entitled to hold Hypothecation, based on Article 59 of Bankruptcy Law; thirdly, judicial problems in auction toward inventory of bankruptcy included in Hypothecation. The research used judicial normative approach, and its nature was a descriptive analysis.

The results of the research shows that the rights of creditors who are entitled to hold Hypothecation as it is stipulated in Article 55, paragraph (1) of Law No. 37/2004 which states that in the state of bankruptcy, the creditor who is entitled to hold Hypothecation has the authority to execute his own rights is if there were no bankruptcy. In this case, the position of creditor who is entitled to hold Hypothecation is a separate creditor; he is free from the impact of the bankruptcy so that he can carry out his right to execute even though the debtor goes bankrupt. Therefore, the object of Hypothecation cannot be united with bankruptcy property to be divided among the other creditors from the mortgagor. Even though bankruptcy does not principally impede the execution based on preferential collateral, for the sake of inventory of bankruptcy and as long as the curator can give logical protection to the creditor, based on Article 56, paragraph (1) of Law No. 37/2004, the right of creditor who is entitled to hold Hypothecation to execute can be postponed within 90 days commencing on the date when the decision of bankruptcy is made. Article 56 of Law No.37/2004 is the only alternative made by the creditor who is entitled to hold Hypothecation. Therefore, this Article is not at once binding the creditors who are entitled to hold Hypothecation because they can still carry out their right to execute even though the debtor goes bankrupt as it is stipulated in Article 21 of UUHT in conjunction with Article 55, paragraph (1) of Law No. 37/2004. If it is viewed from creditor who is entitled to hold Hypothecation, the alternative for declaring bankrupt to the debtor who gives collateral is not advantageous because they cannot exercise the execution on the collateral since their right to exercise the execution is postponed


(20)

iv

Hypothecation files the claim with the guarantee by stockholders or by the third party, the buyer of the auction will have problems because the certificate for the collateral is in the hand of the holder of Hypothecation, and the Hypothecation is not cancelled by the holder of the Hypothecation.

Keywords: Creditor that is entitled to hold the First Hypothecation, Auction, Inventory of Bankruptcy


(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengaruh gejolak moneter yang terjadi di beberapa negara di Asia termasuk di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para kreditor. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi. Untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut yang akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan melakukan revisi undang-undang kepailitan yang ada.

Sebelum Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 diberlakukan, masalah kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang di Indonesia diatur di dalamFaillisement Verordening Peraturan Kepailitan (Staatblad 1905 Nomor 217 junto staatblad Tahun 1906 Nomor 348)1. Pada masa-masa tersebut, hingga dilakukan revisi atas Undang-undang Kepailitan, urusan kepailitan merupakan suatu yang jarang muncul ke permukaan. Kekurang populeran masalah kepailitan ini,

1 Parwoto Wignjosumarto, Hukum Kepailitan Selayang Pandang (Himpunan Makalah),


(22)

karena banyak pihak yang kurang puas terhadap pelaksanaan kepailitan. Banyaknya urusan kepailitan yang tidak tuntas, lamanya waktu persidangan yang diperlukan, tidak adanya kepastian hukum yang jelas, merupakan beberapa dari sekian alasan yang ada. Secara psikologis mungkin hal ini dapat diterima, karena setiap pernyataan kepailitan berarti hilangnya hak-hak kreditor, atau bahkan hilangnya nilai piutang, karena harta kekayaan debitor yang dinyatakan pailit itu tidak mencukupi untuk menutupi semua kewajibannya kepada kreditor. Akibatnya dalam peristiwa kepailitan, tidak semua kreditor setuju dan bahkan akan berusaha keras untuk menentangnya.

Menurut Peter Mahmud,2 kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” yang berarti kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failliet” dan dalam hukum Anglo Amerika, undang-undangnya dikenal dengan Bankcruptcy Act.

Pengertian kepailitan menurut Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UUK) adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 ayat 1).

Putusan kepailitan bersifat serta merta dan konstitutif yaitu meniadakan keadaan dan menciptakan keadaan hukum baru. Dalam putusan hakim tentang kepailitan ada 3 hal yang esensial yaitu :3

1. pernyataan bahwa si debitur pailit;

2

Rahayu Kartini.Hukum Kepailitan, ( Malang : Bayu Media, 2008), hal. 4 3


(23)

2. pengangkatan seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan dan;

3. kurator.

Dengan dijatuhkannya putusan kepailitan, mempunyai pengaruh bagi debitur dan harta bendanya. Bagi debitur, sejak diucapkannya putusan kepailitan, ia kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya (persona standi in judicio) yang telah dimasukan ke dalam harta pailit. Hal ini dapat dilihat dari adanya kewenangan kurator untuk mengurus dan atau melakukan pemberesan harta pailit.

Dalam hal debitor atau kreditor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator kepada pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan (BHP) bertindak selaku kurator. Terpailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan, misalnya membuat perjanjian, apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberikan keuntungan bagi harta (boedel) si pailit. Sebaliknya, apabila dengan perjanjian atau perbuatan hukum itu justru akan merugikan boedel, maka kerugian itu tidak mengikat boedel.4Akibat kepailitan terhadap barang jaminan diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UUK disebutkan bahwa: “dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, Hak Tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi

4Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta : PT.


(24)

kepailitan”. Kreditur pemegang Hak Tanggungan kedudukannya sebagai kreditur separatis. Mereka dapat langsung melakukan eksekusi atas benda-benda yang menjadi jaminan bagi mereka ini.5

Namun, dalam Pasal 56 ayat (1) UUK dikatakan bahwa:

”Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, kreditor pemegang hak jaminan kebendaan tidak dapat langsung mengeksekusi haknya, tetapi harus ditangguhkan pelaksanaannya dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak putusan pailit ditetapkan.

Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa UUK tidak konsisten dalam mengatur kedudukan kreditor pemegang Hak Tanggungan, disatu sisi berdasarkan Pasal 55 ayat (1) kreditor tersebut dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, di sisi lain menurut Pasal 56 ayat (1) pelaksanaan hak atau eksekusi dari kreditor harus menunggu selama jangka waktu stay, yaitu paling lama 90 hari sejak debitor dinyatakan pailit.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT) menyebutkan bahwa :

5

Sudargo Gautama,Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 94


(25)

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.6

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUHT tersebut dapat diketahui, bahwa Hak Tanggungan dapat memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Kreditur tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut. Pengertian kedudukan yang diutamakan lebih jelasnya dapat dilihat di dalam angka 4 Penjelasan Umum UUHT, yang dimaksudkan dengan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain adalah jika debitor cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lainnya.

Hak eksekusi kreditor khususnya pemegang Hak Tanggungan terhadap harta kekayaan debitor yang telah dijadikan jaminan oleh debitor pailit atas kewajiban– kewajibannya, diatur di dalam Pasal 56 ayat (1) UUK menyatakan bahwa hak preferen dari kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk mengeksekusi hak atas tanah ditangguhkan pelaksanaannya untuk jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit diucapkan. Ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUK ini justru

6Boedi Harsono,Hukum Agraria (Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah), UU No. 4


(26)

mengingkari hak separatis kreditor pemegang Hak Tanggungan yang diakui oleh Pasal 55 ayat (1) UUK, karena menentukan bahwa yang dibebani dengan Hak Tanggungan merupakan harta pailit. Meskipun ditangguhkan eksekusinya, hak atas tanah tersebut tidak boleh dipindahtangankan oleh kurator. Harta pailit yang dapat digunakan atau dijual oleh kurator terbatas hanya pada barang persediaan (inventory) dan atau barang bergerak (current asset) meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan kebendaan. Pasal 21 UUHT menyebutkan bahwa apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehya menurut ketentuan undang–undang tersebut.

Pada penjelasannya lebih lanjut ditegaskan bahwa ketentuan Pasal 21 UUHT tersebut adalah untuk lebih memantapkan kedudukan diutamakan pemegang Hak Tanggungan dengan mengecualikan berlakunya akibat kepailitan pemberi Hak Tanggungan terhadap objek Hak Tanggungan. UUK tidak mengatur mengenai hubungan ketentuan Pasal 56 ayat 1 UUK dengan ketentuan Pasal 21 UUHT. Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada debitur. Apabila debitur cidera janji, maka hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh pemegang Hak Tanggungan tanpa persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.7

7

Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, (Bandung : Alumni, 1999), hal. 164


(27)

Agar dalam pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur (fair), maka UUHT mengharuskan dalam penjualan itu dilaksanakan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai Pasal 20 ayat (1) UUHT.8 Meskipun lelang merupakan alternatif, tetapi secara gramatikal tidak salah jika ditafsirkan bahwa penjualan secara lelang merupakan solusi utama. Hal ini merupakan cara yang tepat untuk diprogramkan dalam penyelesaian kepailitan, mengingat dalam upaya penyelesaian yang adil diperlukan sarana hukum yang dapat digunakan secara transparan, cepat dan efektif.9

Kebaikan penjualan secara lelang merupakan suatu cara penjualan barang yang dipilih dan dimanfaatkan dalam berbagai sistem hukum mengingat adanya kebaikan-kebaikan yang dapat diambil dari lelang tersebut yaitu :

a. adil karena lelang tersebut bersifat terbuka (umum) dan obyektif;

b. aman, lelang disaksikan, dipimpin, dilaksanakan oleh pejabat lelang dan cukup terlindungi oleh hukum karena sistem lelang mengharuskan pejabat lelang meneliti terlebih dahulu tentang keabsahan dokumen penjualan dan barang yang akan dijual (subyek dan obyek) lelang;

c. cepat, karena lelang didahului dengan pengumuman lelang sehingga peminat lelang dapat bekumpul pada saat hari lelang yang ditentukan dan pembayarannya secara tunai;

8Ibid

9Rudhy A. Lontoh, Denny Kailimang dan Benny Ponto,penyelesaian Utang-Piutang Melalui


(28)

d. mewujudkan harga yang wajar, karena sistem penawaran dalam lelang bersifat kompetitif dan transparan;

e. memberikan kepastian hukum, karena pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh pejabat lelang dapat dibuat berita acara pelaksanaan lelang yang disebut risalah lelang sebagai akta otentik.

Dalam Pasal 6 UUHT menyatakan bahwa: ”apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT tersebut, hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan, bahwa apabila debitor cidera janji pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya, mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor lain.10 Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan. Pemegang Hak Tanggungan pertama cukup mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Lelang Negara setempat untuk pelaksanaan pelelangan umum dalam rangka eksekusi objek Hak Tanggungan tersebut. Kewenangan pemegang Hak

10

Purnama Tioria Sianturi,Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, (Bandung; Mandar Maju, 2008), hal. 75


(29)

Tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang artinya kewenangan tersebut dipunyai demi hukum. Karena itu Kepala Kantor Lelang Negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.11

Pemegang Hak Tanggungan (yang dalam hukum kepailitan sering kali disebut dengan istilah kreditor separatis) adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan misalnya pemegang gadai, pemegang jaminan fidusia, Hak Tanggungan, hipotik, agunan kebendaan lainya.12 Hak jaminan kebendaan yang dimiliki oleh kreditor pemegang jaminan kebendaan tersebut memberikan kewenangan bagi kreditor tersebut untuk menjual secara lelang kebendaan yang dijaminkan kepadanya dan untuk selanjutnya memperoleh pelunasan secara mendahulu dari kreditor-kreditor lainnya dari hasil penjualan kebendaan yang dijaminkan kepadanya tersebut13. Akibat hukum kepailitan yang mempengaruhi kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama adalah pada masa penangguhan eksekusi, yang ditetapkan UUK selama 90 hari, jaminan debitur yang telah dibebani Hak Tanggungan untuk kepentingan kreditur berada dalam kondisi tidak boleh diganggu gugat. Hal ini dilakukan agar kurator bisa mengupayakan terjadi perdamaian. Sehingga, kreditur pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur terpisah yang secara umum memiliki hak istimewa terhadap jaminan yang telah dibebankan Hak Tanggungan tidak bisa melaksanakan kewenangannya selaku kreditur istimewa.

11Ibid, hal. 77 12

H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,(Bandung: PT. Alumni, 2006), hal. 127

13 Kartini Muljadi-Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan : Hak Tanggungan,


(30)

Adanya ketentuan penangguhan eksekusi tidak berarti kreditur pemegang Hak Tanggungan tidak bisa mengeksekusi jaminan yang telah dibebankan Hak Tanggungan dan sekaligus berstatus boedel pailit. Segala akibat hukum yang akan berpengaruh terhadap jaminan tersebut dan kreditur separatis akan ditentukan dalam acara proses penyelesaian kepailitan dari putusan pailit itu sendiri.

Pasal 59 ayat (1) UUK mengatur sebagai berikut :

”Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, Kreditor Pemegang Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”

Dalam penjelasan pasal tersebut diatur bahwa yang dimaksud dengan ”harus melaksanakan haknya” adalah bahwa kreditor sudah mulai melaksanakan haknya. Pasal 59 ayat (2) UUK mengatur sebagai berikut :

”Setelah lewat jangka waktu sebagaiman dimaksud pada ayat (1), kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak kreditor pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut”.

Pada dasarnya maksud dari Pasal 59 ayat (2) tersebut adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi kreditor konkuren pada khususnya dan proses kepailitan pada umumnya, karena dalam hal penjualan benda agunan oleh kreditor separatis, bisa saja terdapat sisa hasil penjualan (yang diperoleh dari hasil penjualan dikurangi dengan pembayaran utang debitor kepada kreditor separatis dimaksud)


(31)

yang merupakan hak kreditor konkuren. Oleh karena itu, Pasal 59 ayat (2) UUK memberikan adanya suatu jangka waktu tertentu yaitu 2 bulan setelah insolvensi, bagi kreditor separatis untuk melaksanakan penjualan benda agunan. Setelah lewat jangka waktu tersebut Pasal 59 ayat (2) UUK mengharuskan kurator untuk menuntut penyerahan benda agunan demi kepentingan kreditor separatis, tanpa memberikan pengecualian terhadap kreditor separatis yang belum menjual benda agunan namun sudah mulai melaksanakan haknya tersebut. Dengan demikian penjelasan Pasal 59 ayat (2) ini lebih luas dari norma yang ada pada pasal tersebut sehingga menimbulkan ketidak pastian hukum.

Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UUK telah bertentangan dengan kepastian hukum yang hendak dicapai dalam Pasal 59 ayat (2) UUK, karena penjelasan Pasal 59 ayat (1) memungkinkan kreditor separatis yang telah mulai melaksanakan haknya untuk tidak menyerahkan benda agunan kepada kurator meskipun lewat masa waktu 2 bulan setelah insolvensi.

Adanya Pasal 59 UUK mengakibatkan kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan terhadap objek Hak Tanggungan menjadi lemah, karena hak-hak kreditor pemegang Hak Tanggungan telah dikurangi atau dibatasi. Pembatasan-pembatasan tersebut berupa eksekusi oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan harus ditangguhkan selama 90 hari dan eksekusi yang dilaksanakan dibatasi hanya dalam tenggang waktu dua bulan. Selain dari itu, tidak jarang barang yang dijadikan objek jaminan ternyata nilainya di bawah nilai kewajiban dari debitor yang harus dibayarkan, sehingga dengan sendirinya pihak kreditor dirugikan. Ketentuan Pasal 59


(32)

ayat (1) dan (2) UUK ini sangat sulit dan bahkan hampir tidak mungkin bisa dilakukan penjualan benda yang menjadi agunan dalam jangka waktu 2 bulan.

Pasal 56 ayat (1) UUK mengemukakan bahwa penangguhan bertujuan antara lain untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit. Ini sama artinya dengan mengemukakan bahwa, harta debitor yang sebelum kepailitan telah dibebani dengan hak agunan merupakan harta pailit ketika debitor itu dinyatakan pailit. Pasal 56 ayat (1) UUK ini merupakan ketentuan merugikan bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan yang mempunyai kedudukan yang diutamakan. Dengan adanya Pasal 59 ayat (1) dan (2) UUK ini maka hak pemegang Hak Tanggungan yang ada pada Pasal 55 ayat (1) tersebut tidak dapat dijalankan secara langsung karena adanya penangguhan.

Sebagaimana yang telah dijabarkan di atas diketahui bahwa hak kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama dalam pelaksanaan lelang boedel kepailitan belum sepenuhnya diatur dalam Pasal 59 UUK dan tidak adanya kejelasan mengenai pengaturan waktu penangguhan dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku selanjutnya, mengenai kedudukan harta pailit setelah dinyatakan debitur pailit.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian dalam bentuk Tesis dengan judul ”Tinjauan Yuridis Hak Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Pertama Dalam Pelelangan Terhadap Boedel Kepailitan”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :


(33)

1. Bagaimanakah hak kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama atas barang jaminan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan?

2. Bagaimanakah pelaksanaan hak kreditor pemegang Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Kepailitan?

3. Bagaimana Permasalahan-permasalahan hukum yang timbul dalam pelelangan terhadap boedel pailit yang termasuk dalam Hak Tanggungan?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui hak kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama atas barang jaminan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan

2. Untuk mengetahui pelaksanaan hak kreditor pemegang Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Kepailitan

3. Untuk mengetahui permasalahan-permasalahan hukum yang timbul dalam pelelangan terhadap boedel pailit yang termasuk dalam Hak Tanggungan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta mendorong para pembacanya untuk dapat lebih mengerti dan memahami tentang pengetahuan perdata khususnya bidang hukum


(34)

lelang terhadap boedel kepailitan berupa jaminan Hak Tanggungan di Indonesia. Hasil penelitian ini juga dapat diharapkan dapat memberikan masukan penyempurnaan peraturan atau kebijakan tentang pelaksanaan lelang.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat terkait dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan kegiatan pelaksanaan lelang terhadap boedel kepailitan berupa jaminan Hak Tanggungan di Indonesia. Selain itu, juga dapat memberikan masukan bagi profesi notaris, akademisi, pengacara dan mahasiswa.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Magister Kenotariatan maupun Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul ”Tinjauan Yuridis Hak Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Pertama Dalam Pelelangan Boedel Kepailitan” belum pernah diteliti sebelumnya. Adapun penelitian yang berkaitan dengan hak pemegang Hak Tanggungan, yaitu:

Nama : BELINDA

NIM : 077011009

Judul Tesis : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan


(35)

1) Bagaimana ketentuan hukum pelaksanaan kepailitan kreditur terhadap debitur?

2) Bagaimana kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam keputusan kepailitan?

3) Bagaimana akibat hukum kepailitan debitur terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam eksekusi Hak Tanggungan?

Atas dasar sistem pendekatan yang berbeda dari saudari Belinda yang khusus tentang akibat hukum putusan pernyataan pailit sedangkan penelitian yang saya gunakan adalah pendekatan secara komprehensif dan dengan demikian keaslian penelitian ini dapat saya pertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berhubungan yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu.14Fungsi teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala fisik atau proses terjadi.15Suatu teori harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukan ketidakbenarannya.16 Sehingga kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang

14

J.J.H.Bruggink, “Refleksi Tentang Hukum”, dialihbahasakan oleh Arief Shidarta, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 2

15J.J.M. Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, edt M. Hisyam, (Jakarta : FE UI,

1996), hal 203


(36)

menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis,17 yang akan dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam penulisan tesis ini.

Dengan demikian teori yang digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini adalah teori kesetaraan dan kepastian hukum.

UUK lahir guna mengatur mengenai cara menentukan eksistensi suatu utang debitur kepada kreditur, berapa jumlahnya yang pasti termasuk mengupayakan perdamaian yang dapat ditempuh oleh debitur kepada para krediturnya.18 Selain itu, undang-undang kepailitan lahir :

1. Untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur

2. Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya

3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri.19

Dalam pelaksanaan putusan pailit yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Niaga, semua pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara kepailitan tersebut wajib menjalankan putusan yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Niaga yang telah

17M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80 18

Zainal Asikin,Op.Cit, hal. 13

19 Penjelasan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan


(37)

mempertimbangkan hak-hak dan kepentingan para pihak dengan berdasarkan pada teori kesetaraan.

Putusan pernyataan pailit membawa akibat hukum terhadap debitor. Pasal 21 UUK menentukan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.20 Selanjutnya, dalam Pasal 21 UUHT memberikan jaminan terhadap hak dari pemegang Hak Tanggungan apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit. Menurut pasal 21 UUHT itu, apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan UUHT. Dengan demikian, objek Hak Tanggungan tidak akan disatukan dengan harta kepailitan untuk dibagi kepada kreditor-kreditor lain dari pemberi Hak Tanggungan. Ketentuan Pasal 21 UUHT ini memberikan penegasan mengenai kedudukan yang preferen dari pemegang Hak Tanggungan terhadap objek Hak Tanggungan terhadap kreditor-kreditor lain.

Pada dasarnya, kedudukan para kreditor adalah sama (paritas creditorum). Oleh karena itu, mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passu prorata parte). Namun demikian, asas tersebut mengenal pengecualian yaitu golongan kreditor yang memegang hak agunan atas kebendaan dan golongan kreditor yang haknya didahulukan berdasarkan UUK dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan

20 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta : PT.


(38)

demikian, asas paritas creditorum berlaku bagi para kreditor konkuren saja.21 Sedangkan asas pari passu prorata parte menemukan relevansinya dalam kondisi harta debitur yang akan dibagi lebih kecil dibanding dengan jumlah utang-utang debitur.

Asas paritas creditoriumdianut di dalam sistem hukum perdata di Indonesia. Hal itu temuat dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Sedangkan, asas pari passu prorate parte termuat dalam Pasal 1132 KUH Perdata yang menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.22

Bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan, putusan pailit tersebut ada kalanya dianggap tidak memenuhi teori kesetaraan sebagaimana mestinya. Kreditur pemegang Hak Tanggungan selalu merasa dirugikan akibat adanya putusan pailit yang dianggap sudah memenuhi hak-hak dan kepentingan seluruh kreditor yang terkait. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pelaksanaan peradilan yang bisa mewujudkan

21

Fred BG. Tumbuan, “Pokok-pokok Undang-undang Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1/1998”, dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Editor, Rudy A. Lontoh, (Bandung : Alumni, 2001), hal. 128

22

M. Hadi Shubhan,Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan), (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 4-5


(39)

keseimbangan dan keadilan bagi para pihak. Para pihak yang terkait dalam perkara kepailitan harus memperhatikan asas-asas yang diadopsi oleh hukum kepailitan.

Kepastian hukum menunjukan kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Adapun kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat karena kepastian hukum dalam bentuk peraturan atau ketentuan umum mempunyai sifat sebagai berikut :23

1. adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat-alatnya;

2. sifat undang-undang mengikat dan berlaku bagi siapa saja.

Teori kesetaraan dan kepastian hukum penting dalam pelaksanaan lelang terhadap boedel kepailitan berupa jaminan Hak Tanggungan. Kedua teori ini digunakan untuk memberikan perlindungan hukum kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan. Hak preferen dari kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat melakukan eksekusi terhadap Hak Tanggungan setelah melewati masa penangguhan paling lama 90 (Sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan dan eksekusinya dilakukan paling lambat 2 bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi.

23

Sieinfokum, keadilan dan kepastian hukum diakses dari

http://yahyazein.blogspot.com/2008/07/keadilan dan kepastian hukum.html, terakhir diakses tanggal 14 Mei 2012


(40)

2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.24 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.25

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut defenisi operasional.26 Pentingnya defenisi adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penulisan tesis ini dirumuskan serangkaian defenisi sebagai berikut :

1. Lelang

Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang pengertian lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman lelang.27

2. Boedel Kepailitan

24

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin. Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hal.122

25Masri Singarimbun dan Sifian Effendi.Metode Penelitian Survei, (Jakarta : LP3ES,1989),

hal.34

26Simadi Suryabrata.Metodologi Penelitian, (Jakarta ; Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 3 27

S. Mantayborbir, Iman Jauhari dan Agus Hari Widodo,Hukum Piutang Dan Lelang Negara Di Indonesia, (Medan; Pustaka Bangsa, 2002), hal. 187


(41)

Boedel pailit adalah harta kekayaan seseorang atau badan yang telah dinyatakan pailit yang dikuasai oleh balai harta peninggalan.

3. Pailit

Menurut R. Soekardono menyebutkan kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga Balai Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan boedel dari orang yang pailit.28

Hal ini sesuai dengan pengertian pailit yang diatur dalam Pasal 1 angka (1) UUK yang menyebutkan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

4. Hak Tanggungan

Dalam UUHT pada Pasal 1 angka 1 dirumuskan yang dimaksud dengan pengertian Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggugan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

28


(42)

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 tersebut, terdapat unsur-unsur esensial yang merupakan sifat dan ciri-ciri dari Hak Tanggungan yaitu :29

a. lembaga hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu; b. pembebanannya pada hak atas tanah;

c. berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah;

d. memberikan kedudukan yang preferent kepada kreditornya.

G. Metode Penelitian

Penelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya.30

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian dalam proposal ini merupakan penelitian hukum. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya juga diadakan pelaksanaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian mengusahakan

29

Rachmadi Usman, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, (Jakarta : Djambatan, 1998), hal. 70

30 Joko P. Subagyo, Metode Peneltian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,


(43)

suatu pemecahan atau permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala-gejala yang bersangkutan.31

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.32

Sifat penelitian penulisan ini adalah deskriptif analitis. Bersifat deskriptif maksudnya penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang diteliti. Analitis dimasukan berdasarkan gambaran fakta yang diperoleh akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.33

2. Jenis Data dan Bahan Hukum

Data dalam peneltian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum primer yang terdiri dari :

1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

31

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,Penelitian Hukum Normatif- suatu tinjauan singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hal. 1

32

Ibrahim Johni,Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media Publishing, 2005), hal. 336

33 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke 20, (Bandung:


(44)

2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

3) Peraturan Lelang

4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

b. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari pendapat para ahli yang termuat dalam literatur, artikel, media cetak maupun media elektronik

c. Bahan Hukum tersier terdiri dari kamus hukum atau ensiklopedia yang berhubungan dengan materi penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research) dan studi dokumen untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pemikiran konseptual dan penelitian yang dilakukan oleh pihak lain yang relevan dengan penelitian ini dengan cara menelaah dan menginventarisasi pemikiran atau pendapat juga sejarah atau latar belakang pemikiran tentang pemegang Hak Tanggungan pertama dalam pelelangan boedel kepailitan.

Pemikiran dan gagasan serta konsepsi tersebut dapat diperoleh melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku, literatur dari para pakar yang relevan dengan objek penelitian ini, artikel yang termuat dalam bentuk jurnal, majalah ilmiah, ataupun yang termuat dalam data elektronik seperti pada website dan sebagainya maupun dalam bentuk dokumen atau putusan berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.


(45)

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.34

Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. “Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi”.35

Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan :36

(a) mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti;

(b) memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian; (c) mensistemasikan kaidah-kaidah hukum, azas atau doktrin;

(d) menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada;

(e) menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian hukum normatif maka analisis data yang dipergunakan adalah analisis kualitatif.

34 Lexy J. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002),

hal.101

35

Soerjono Soekanto,Op.Cit.,hal.251

36Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja


(46)

BAB II

HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA ATAS BARANG JAMINAN DALAM UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN

A. Hak Tanggungan

1. Pengertian Hak Tanggungan

Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, disebutkan bahwa: Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Dari pengertian Hak Tanggungan tersebut dapat disimpulkan bahwa, pada prinsipnya pemberian Hak Tanggungan selalu disertai dengan perjanjian utang piutang atau perjanjian lainnya yang menerbitkan kewajiban pembayaran utang tertentu. Dengan tujuan untuk menjamin pelunasan utang piutang inilah, maka penjaminan dengan Hak Tanggungan ini diberikan.

Kewajiban dari keberadaan suatu utang piutang yang menyertai suatu pemberian Hak Tanggungan merupakan suatu hal mutlak yang harus ada pada saat eksekusi Hak Tanggungan dimohonkan37. Ini secara tegas disyaratkan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT :

37

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani,Jaminan Fidusia, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 114


(47)

“utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan”.

Ketentuan tersebut secara tidak langsung telah menunjukan suatu kemajuan dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pihak kreditor. Berbeda dengan keadaan sebelumnya, UUHT hanya mensyaratkan adanya suatu jumlah tertentu yang dapat diketahui dengan pasti (berdasarkan perjanjian yang ada) pada saat eksekusi Hak Tanggungan dimohonkan pelaksanaannya.

Ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat di dalam defenisi tersebut. Unsur-unsur pokok itu ialah :38

(1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang; (2) Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA;

(3) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;

(4) Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu;

(5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, harus mengandung ciri-ciri:39

38

Sutan,Op.Cit, hal. 11 39


(48)

a. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya, yaitu dikenal dengan “droit de preference”. Apabila debitor cidera janji, maka debitor pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan hukum yang berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang Hak Tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah.

b. Hak Tanggungan selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun objek itu berada. Keistimewaan ini dikenal sebagai droit de suite. Biarpun objek Hak Tanggungan sudah di pindahkan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui penjualan umum jika debitor cidera janji.

c. Hak Tanggungan memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihaknya yang berkepentingan. Droit de preference dan droit de suite sebagai keistimewaan yang diberikan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan, jelas bisa merugikan kreditur-kreditur lain dan pembeli objek Hak Tanggungan yang bersangkutan, apabila adanya Hak Tanggungan yang membebani objek yang dijadikan jaminan bagi pelunasan piutang kreditur tersebut tidak diketahui oleh mereka. Untuk sahnya pembebanan Hak Tanggungan dipersyaratkan, bahwa wajib disebut secara jelas piutang mana


(49)

dan sampai sejumlah berapa yang dijaminkan serta benda-benda yang mana dijadikan jaminan.

d. Hak Tanggungan itu mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Jika debitor cidera janji maka kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak untuk melelang objek yang dijadikan jaminan sebagai pelunasan piutangnya. Kepastian pelaksanaan eksekusi tersebut yang menjadi ciri Hak Tanggungan, dengan disediakannya cara-cara yang lebih mudah daripada melalui acara gugatan seperti perkara perdata biasa.

2. Subjek dan Objek Hak Tanggungan a. Subjek Hak Tanggungan

Mengenai subjek Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT, dari ketentuan dua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi subjek hukum dalam Hak Tanggungan adalah subjek hukum yang terkait dengan perjanjian pemberi Hak Tanggungan. Di dalam suatu perjanjian Hak Tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut:40

a. Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek Hak Tanggungan (debitor).

b. Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima Hak Tanggungan sebagai jaminan dari piutang yang diberikannya.

Dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT memuat ketentuan mengenai subjek Hak Tanggungan, yaitu sebagai berikut :

40


(50)

a. Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan itu dilakukan. b. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang

berkedudukan sebagai pihak yang mendapatkan pelunasan atas piutang yang diberikan.

Penyebutan “orang perseorangan” atau “badan hukum” dalam Pasal 8 UUHT adalah berlebihan, karena dalam pemberian Hak Tanggungan objek yang dijaminkan pada pokoknya adalah tanah, dan menurut Undang-Undang Pokok Agraria yang bisa mempunyai hak atas tanah adalah baik orang perseorangan maupun badan hukum (vide Pasal 21, Pasal 30, Pasal 36 dan Pasal 45 UUPA). Untuk masing-masing hak atas tanah, sudah tentu pemberi Hak Tanggungan sebagai pemilik hak atas tanah harus memenuhi syarat pemilikan tanahnya, seperti ditentukan sendiri-sendiri dalam undang-undang.

Selanjutnya syarat, bahwa pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan hukum atas objek yang dijaminkan adalah kurang lengkap, karena yang namanya tindakan hukum bisa meliputi, baik tindakan pengurusan (beheersdaden) maupun tindakan pemilikan (beschikkingsdaden), padahal tindakan menjaminkan merupakan tindakan pemilikan (bukan pengurusan), yang tidak tercakup oleh tindakan pengurusan. Jadi, lebih baik disebutkan, bahwa syaratnya adalah pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai kewenangan tindakan pemilikan atas benda jaminan.


(51)

Kewenangan tindakan pemilikan itu baru disyaratkan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan (Pasal 8 ayat 2) UUHT. Jadi tidak tertutup kemungkinan bahwa orang yang menjanjikan Hak Tanggungan pada saat benda yang akan dijaminkan belum menjadi miliknya, asal nanti pada saat pendaftaran Hak Tanggungan, benda jaminan telah menjadi milik pemberi Hak Tanggungan. Ini merupakan upaya pembuat undang-undang untuk menampung kebutuhan praktek, dimana orang bisa menjaminkan persil, yang masih akan dibeli dengan uang kredit dari kreditur.41

b. Objek Hak Tanggungan

Untuk dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak jaminan hak atas tanah, suatu benda haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:42

1) dapat dinilai dengan uang, atau bernilai ekonomis;

Karena utang yang dijamin berupa uang, maka benda yang menjamin pelunasan utang tersebut haruslah dapat dinilai dengan uang.

2) mempunyai sifat dipindahtangankan;

Sifat ini harus melekat pada benda yang dijadikan agunan atau jaminan, karena apabila debitur cedera janji, benda yang dijadikan jaminan tersebut akan dijual untuk pelunasan utang.

3) benda yang mempunyai alas hak yang wajib didaftar, menurut ketentuan tentang pendaftaran tanah untuk memenuhi syarat publisitas;

4) penunjukan benda yang dapat dijaminkan, haruslah dengan penunjukan khusus dengan undang-undang.

Kebutuhan praktik menghendaki agar hak pakai dapat dibebani juga dengan hipotik (pada saat ini Hak Tanggungan). Kebutuhan itu ternyata telah diakomodir oleh UUHT ini. Akan tetapi, hanya hak pakai atas tanah negara saja yang dapat

41 J. Satrio,Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti,

2007), hal. 309 42


(52)

dibebani dengan Hak Tanggungan, sedangkan hak pakai atas tanah hak milik masih akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.43

Menurut Sutan Remy Sjahdeini :44

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang tidak hanya dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara saja, tetapi juga dari tanah milik orang lain, dengan membuat perjanjian antara pemilik tanah dengan pemegang hak pakai yang bersangkutan. Sedangkan, kedua jenis hak pakai itu pada hakikatnya tidak berbeda ruang lingkupnya yang menyangkut hak untuk penggunaannya atau hak untuk memungut hasilnya. Karena itu, wajar bila hak pakai atas tanah hak milik dapat pula dibebani dengan Hak Tanggungan seperti halnya hak pakai atas tanah negara. Namun, sudah barang tentu bahwa pelaksanaan Hak Tanggungan atas tanah hak pakai atas tanah hak milik itu baru dapat dilakukan apabila telah dikeluarkan ketentuan bahwa hak pakai atas tanah hak milik diwajibkan untuk didaftarkan.

Hak Pakai yang tidak dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan adalah hak pakai yang sifatnya tidak dapat dipindahtangankan seperti hak pakai atas nama pemerintah, hak pakai atas nama badan keagamaan dan sosial, hak pakai atas nama perwalian negara asing yang masing-masing tidak ditentukan waktunya (biasa disebut hak pakai publik), sementara hak pakai privat diatas tanah hak milik sekalipun ditentukan waktunya oleh UUHT di masa datang akan ditetapkan menjadi obyek Hak Tanggungan melalui Peraturan Pemerintah. Sedangkan hak milik tanah wakaf, keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya juga tidak bisa dijadikan obyek Hak Tanggungan.45

Dari uraian diatas, maka objek-objek Hak Tanggungan adalah:

43

Pasal 4 ayat (3) UUHT

44Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hal. 58-59

45 Tampil Anshari Siregar, Pendaftaran Tanah Kepastian hak, (Medan : Fakultas Hukum


(53)

a) Hak Milik. b) Hak Guna Usaha. c) Hak Guna Bangunan.

d) Hak Pakai atas tanah negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. e) Hak pakai atas hak milik (masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah).

3. Pendaftaran Hak Tanggungan

Pendaftaran objek Hak Tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUHT dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah Kota/Kabupaten setempat. Lembaga pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam UUPA jo PP No. 10 Tahun 1960 lebih tepat dinamakan sebagai stelsel campuran, yakni antara stelsel negatif dan stelsel positif.46 Artinya, pendaftaran tanah memberikan perlindungan kepada pemilik yang berhak (stelsel negatif) dan menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku pemilik yang berhak (stelsel positif). Berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUHT, tidaklah berlebihan apabila lembaga pendaftaran tanah menurut UUHT juga menganut stelsel campuran.47

Tanpa pendaftaran, Hak Tanggungan dianggap tidak pernah ada. Jika pendaftaran belum dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah, menurut Pasal 13 ayat (1) UUPA begitu juga halnya dengan hipotek menurut Pasal 1179 ayat (2) KUH Perdata, maka Hak Tanggungan itu belum ada.

46

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: PT. Citra Adityabakti, 1991), hal. 1

47Effendy Hasibuan,Dampak Pelaksanaan Eksekusi Hipotik dan Hak Tanggungan Terhadap


(54)

Adapun proses pembebanan Hak Tanggungan menurut UUHT adalah melalui 2 tahap :

(1) Tahap pemberian Hak Tanggungan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT. Sebelumnya telah dibuat perjanjian hutang piutang yang menjadi dasar dari Hak Tanggungan ini (Pasal 10 ayat 1 dan 2).

(2) Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan (Pasal 13 ayat 1), pendaftaran ini adalah penting karena membuktikan merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan (Pasal 13 ayat 5).48

Semua perikatan Hak Tanggungan yang sudah dalam proses pemasangan yang belum didaftarkan dianggap belum ada dan tidak dapat dimintakan eksekusi penjualan lelang berdasarkan Pasal 224 HIR.49 Pemberian Hak Tanggungan harus didaftarkan 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan akta pemberian Hak Tanggungan.

4. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Janji-Janji Dalam Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan

Lahirnya Hak Tanggungan didasarkan pada adanya perjanjian pokok, yaitu perjanjian utang piutang. Pemberian Hak Tanggungan didahului oleh janji debitur untuk memberikan hak tanggngan kepada kreditur sebagai jaminan pelunasan utang. Janji tersebut dituangkan dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang, kemudian dilakukan pemberian Hak Tanggungan melalui pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:

48Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto,Komentar Atas Peraturan-Peraturan

Undang-Undang Pokok Agraria 1996, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 60


(55)

1. nama dan identitas pemegang dan pemberi hak; 2. domisili para pihak yang tercantum dalam akta;

3. penunjukan secara jelas utang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan; 4. nilai tanggungan;

5. uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.

Di samping itu dalam akta pemberian Hak Tanggungan dapat pula dicantumkan adanya janji-janji, kecuali untuk memiliki objek Hak Tanggungan. Isi janji-janji tersebut adalah:

1. membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek hak tanggungan kecuali persetujuan tertulis pemegang hak;

2. membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau susunan objek hak, kecuali dengan persetujuan tertulis pemegang hak;

3. memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek hak berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri;

4. memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek hak jika diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;

5. pemegang Hak Tanggungan pertama berhak menjual atas kekuasaan sendiri; 6. pemegang hak tanggungan tidak akan melepaskan hak dan tanahnya;


(56)

7. janji pemegang Hak Tanggungan untuk memperoleh seluruh atau sebagian ganti rugi jika hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan dicabut atau dialihkan;

8. janji pemegang Hak Tanggungan untuk mengosongkan objek hak pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.

Setelah akta pemberian Hak Tanggungan ditandatangani oleh para pihak, PPAT dan saksi-saksi, maka akta tersebut harus didaftarkan ke kantor pertanahan paling lambat 7 hari setelah tanggal penandatanganan akta.

Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan yang sudah didaftarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan diterbitkan sertifikat Hak Tanggungan yang bentuk dan isinya juga ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) UUHT.

Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud ayat (1) memuat kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai grose akta hipotek dalam melaksanakan Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura50. Titel eksekutorial terdapat pada sertifikat Hak Tanggungan, dengan demikian akta pemberian Hak Tanggungan adalah pelengkap dari setifikat Hak Tanggungan.

5. Hapusnya Hak Tanggungan

50 Ny. Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberi


(57)

Menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT, Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:

a) hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;

b) dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;

c) pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;

d) hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Dasar yang disebutkan pertama tersebut di atas adalah sesuai dengan sifat Hak Tanggungan yang accessoir, adanya Hak Tanggungan bergantung kepada adanya piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu. Oleh karena itu, apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau karena sebab-sebab lainnya, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga.51 Yang dimaksud dengan “hutang” adalah hutang dalam perikatan pokok, sedang “hapus” di sini berarti tidak ada perikatan lagi, yang bisa terjadi tidak hanya karena pembayaran saja (pelunasan), tetapi meliputi semua sebab yang disebutkan dalam Pasal 1381 KUHPerdata. Kalau perikatan pokoknya hapus maka accessoirnya juga demi hukum hapus.52

6. Eksekusi Hak Tanggungan

Salah satu ciri dari Hak Tanggungan mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, apabila dikemudian hari debitor wanprestasi. Eksekusi adalah

51Lihat Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUHT 52J. Satrio,Op. Cit, hal. 333


(58)

pelaksanaan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankan secara sukarela.53 Eksekusi Hak Tanggungan yaitu apabila debitor cidera janji maka obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemegang Hak Tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya, dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor lain.

Pada dasarnya pelaksanaan putusan atau eksekusi merupakan suatu pelaksanaan terhadap suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap yang dilakukan dengan bantuan pengadilan. Eksekusi objek jaminan adalah pelaksanaan hak kreditur pemegang hak jaminan terhadap objek jaminan apabila terjadi perbuatan ingkar/wanprestasi oleh debitur dengan cara penjualan benda objek jaminan untuk melunasi piutangnya54. Hak untuk melaksanakan pemenuhan hak kreditur ini dilakukan dengan cara menjual benda objek jaminan yang hasilnya digunakan sebagai pelunasan piutang krediturnya.

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, putusan hakim mempunyai kekuatan

53

M. Yahya Harahap,Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hal. 20

54 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang

Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Horizontal; Suatu Konsep Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan, (Bandung; Citra Aditya, 1996), hal.320


(59)

eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dapat dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara55.

Eksekusi Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 20 UUHT yang telah menentukan bahwa jika debitor wanprestasi, maka:56

a. berdasarkan hak yang ada pada pemegang Hak Tanggungan pertama yaitu janji untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum atau atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan dapat dijual dibawah tangan;

b. berdasarkan irah-irah yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Ketentuan ayat ini merupakan perwujudan dari kemudahan yang disediakan oleh undang-undang ini bagi para kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam hal harus dilakukan eksekusi.57

Rumusan ini secara jelas menyatakan bahwa eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan janji yang diberikan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT jo. Pasal 6 UUHT, dan irah-irah eksekutorial yang disebut dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT dapat dilaksanakan melalui pelelangan umum; kecuali dalam hal-hal tertentu yang menguntungkan dan disetujui oleh kedua belah pihak, dimungkinkan untuk

55Sudikno Mertokusumo,Hukum Perdata di Indonesia, (Yogyakarta; Liberty, 1993), hal. 208 56

Habib Adjie,Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, (Bandung: Alumni, 2000), hal. 22

57S. Mantayborbir, Aneka Hukum Perjanjian Sekitar Pengurusan Piutang Negara, (Jakarta;


(1)

101

diluar kendali kreditur pemegang hak jaminan yang membuat berlarut-larut eksekusi hak jaminan itu.

3. Dengan adanya permasalahan-permasalahan hukum yang timbul dalam pelelangan, KP2LN diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum yang timbul dalam pelelangan terhadap boedel pailit yang termasuk dalam Hak Tanggungan dan lebih proaktif untuk melakukan pengawasan dan melakukan koordinasi dengan pihak pengadilan negeri dan instansi-instansi yang terkait dalam pengurusan harta pailit.


(2)

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Adjie, Habib, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, Bandung: Alumni, 2000.

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2002.

Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: PT. Citra Adityabakti, 1991.

Bruggink, J.J.H., “Refleksi Tentang Hukum”, dialihbahasakan oleh Arief Shidarta, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999.

Fuady, Munir, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Bandung: PT. Citra Adityabakti, 1998.

Gautama, Sudargo, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998.

---,dan Ellyda T. Soetiyarto, Komentar Atas Peraturan-Peraturan Undang-Undang Pokok Agraria 1996, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997.

Harahap, M. Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: PT. Gramedia, 1989.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria (Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah), UU No. 4 Tahun 1996 (LN 1996-42), Jakarta : Penerbit Djambatan, 2000. Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria Isi Dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, cetakan 7, Jakarta: Djambatan, 1997.

Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke 20, Bandung: Alumni, 1994.


(3)

Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Horizontal; Suatu Konsep Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan, Bandung; Citra Aditya, 1996.

Hasbullah, Ny. Frieda Husni, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberi Jaminan, Jilid 2, Jakarta; CV INDHILL CO, 2009.

Hasibuan, Effendy, Dampak Pelaksanaan Eksekusi Hipotik dan Hak Tanggungan Terhadap Pencairan Kredit Macet Pada Perbankan Di Jakarta, Jakarta: Laporan Penelitian, 1997.

Johni, Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Media Publishing, 2005.

Kartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Malang : Bayu Media, 2008.

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin.Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta : Bumi Aksara, 2000.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994.

Lontoh, Rudhy A, Denny Kailimang dan Benny Ponto,penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung : Alumni, 2001.

Mantayborbir, S., Aneka Hukum Perjanjian Sekitar Pengurusan Piutang Negara, Jakarta; Pustaka Bangsa Press, 2004.

---,Kompilasi Sistem Hukum Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2004.

---Iman Jauhari,dan Agus Hari Widodo, Hukum Piutang Dan Lelang Negara Di Indonesia, Medan; Pustaka Bangsa, 2002.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Perdata di Indonesia, Yogyakarta; Liberty, 1993. Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya,

2002.

Muljadi, Kartini, Actio Paulina dan Pokok-Pokok Tentang Pengadilan Niaga, Bandung : Alumni, 2001.


(4)

---, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan : Hak Tanggungan, Jakarta : Kencana, 2008.

---, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1999.

Nating, Imran, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.

Prodjohamidjojo, Martiman, Proses Kepailitan; Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, Bandung; CV. Mandar Maju, 1999. Rajagukguk, Erman, “Latar Belakang dan Ruang Lingkup UU No. 4 Tahun 1998

tentang Kepailitan”, dalam Rudy A. Lontoh (ed.), Penyelesaian Utang-Piutang, Bandung: Alumni, 2001.

Sastrawidjaja, H. Man S., Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,Bandung: PT. Alumni, 2006.

Satrio, J., Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 2007.

---, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004.

Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan), Jakarta : Kencana, 2008.

Sianturi, Purnama Tioria, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, Bandung; Mandar Maju, 2008.

Roy Simbel,Rahasia Pohon Duit dan Mesin Uang, 1999.

Singarimbun, Masri dan Sifian Effendi. Metode Penelitian Survei, Jakarta : LP3ES,1989.

Siregar, Tampil Anshari, Pendaftaran Tanah Kepastian hak, Medan : Fakultas Hukum USU, 2007.

Sjahdeini, Sutan Remy, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, Bandung : Alumni, 1999.


(5)

---, Hukum Kepailitan ; Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif- suatu tinjauan singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1985.

Subagyo, Joko P., Metode Peneltian Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Sunarmi,Hukum Kepailitan, Medan : USU Press, 2009.

---,Hukum Kepailitan, Edisi 2, Jakarta; PT. Sofmedia, 2010.

Suryabrata, Simadi, Metodologi Penelitian, Jakarta ; Raja Grafindo Persada, 1998. Sutedi, Adrian, Hukum Hak Tanggungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Suyuthi, Wildan, Sita Eksekusi, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Jakarta; PT. Tatanusa, 2004.

Tumbuan, Fred BG., “Pokok-pokok Undang-undang Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1/1998”, dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Editor, Rudy A. Lontoh, Bandung : Alumni, 2001.

Usman, Rachmadi, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Jakarta : Djambatan, 1998.

Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2007.

Wignjosumarto, Parwoto, Hukum Kepailitan Selayang Pandang (Himpunan Makalah), Jakarta; PT. Tatanusa, 2003.

Wuisman, J.J.M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, edt M. Hisyam, Jakarta : FE UI, 1996.


(6)

http://yahyazein.blogspot.com/2008/07/keadilan dan kepastian hukum.html, terakhir diakses tanggal 14 Mei 2012.

Catatan Shawir, Jenis-Jenis Kreditur Dalam Kepailitan, diakses dari http://shawir.blogspot.com/2011/jenis-jenis kreditor dalam kepailitan.html, terakhir diakses tanggal 12 Desember 2012.

Jurnal Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, http;//jurnal hukum.blog.com, diakses pada tanggal 12 Desember 2012.

Pencoretan Hak Tanggungan, http://legalakses.com, diakses tanggal 12 Desember 2012.

Kasus Perbankan, http;//Peroyaan Hak Tanggungan Atas Tanah Jaminan Kredit Oleh Bank.WordPress.com, diakses pada tanggal 12 Desember 2012

JURNAL

Setiawan, Hak Tanggungan Dan Masalah Eksekusinya, Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun XI No. 131, Agustus 1996.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Peraturan Lelang (vendu reglement, staadblad 1908-189 dan perubahan-perubahannya) dan instruksi lelang (staadblad 1908-190 dan perubahan-perubahannya).

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Hak Pekerja Atas Boedel Pailit Yang Sudah Dibebani Hak Tanggungan

0 52 147

Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Bagi Kreditor Pemegang Hak Tanggungan

1 41 80

Analisis Yuridis Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Akibat Hapusnya Hak Atas Tanah Yang Diagunkan Karena Hak Atas Tanah Yang Dibebani Hak Tanggungan.

6 135 78

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DIKAITKAN Tinjauan Yuridis Tentang Hak Kreditor Dalam Melaksanakan Eksekusi Selaku Pemegang Hak Tanggungan Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 19

0 0 13

PENDAHULUAN Tinjauan Yuridis Tentang Hak Kreditor Dalam Melaksanakan Eksekusi Selaku Pemegang Hak Tanggungan Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Dan Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penunda

0 2 14

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN Tinjauan Yuridis Tentang Hak Kreditor Dalam Melaksanakan Eksekusi Selaku Pemegang Hak Tanggungan Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 4 Tah

0 0 22

Tinjauan Yuridis Terhadap Eksekusi Harta Pailit Melalui Lelang Oleh Kurator Yang Berasal Dari Objek Jaminan Hak Tanggungan Akibat Tidak Selesainya Eksekusi Oleh Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Berdas.

0 1 2

ANALISIS YURIDIS TERHADAP AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT BAGI DEBITOR TERHADAP KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN

0 0 14

TINJAUAN YURIDIS HAK PEKERJA ATAS BOEDEL PAILIT YANG SUDAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN

0 0 16

PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA DALAM KEPAILITAN BERDASARKAN PELUNASAN UTANG KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DENGAN TENAGA KERJA TESIS

0 0 12