Tinjauan Yuridis Alas Hak Di Bawah Tangan Sebagai Dasar Pendaftaran Hak Atas Tanah

(1)

TINJAUAN YURIDIS ALAS HAK DI BAWAH TANGAN

SEBAGAI DASAR PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH

T E S I S

Oleh

NONI SYAHPUTRI

077011082/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9

S

E

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA N


(2)

TINJAUAN YURIDIS ALAS HAK DI BAWAH TANGAN

SEBAGAI DASAR PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

NONI SYAHPUTRI

077011082/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9


(3)

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS ALAS HAK DI BAWAH TANGAN SEBAGAI DASAR PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH

Nama Mahasiswa : Noni Syahputri

Nomor Pokok : 077011082

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn) (Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 30 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn

2. Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum

3. Dr.T Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Alas hak atas tanah adalah merupakan persoalan yang sangat penting bagi masyarakat, di mana alas hak merupakan dasar bagi seseorang untuk dapat memiliki hak atas tanah. Keberadaan surat di bawah tangan, sebagai salah satu pembuktian hak dalam penerbitan sertifikat pada kantor pertanahan, dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pemegang hak. Akibatnya, meskipun sertifikat merupakan alat bukti yang kuat bagi pemegangnya, namun hal tersebut belum bisa memberikan jaminan adanya kepastian hukum bagi mereka.

Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan penelitian ini penelitian hukum normatif berdasarkan alas hak di bawah tangan. Penelitian hukum empiris atau disebut juga penelitian hukum sosiologis adalah penelitian hukum yang memperoleh data dari data primer.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, alas hak di bawah tangan dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertifikat dan memiliki kekuatan pembuktian. alas hak di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum namun tetap dapat digunakan sebagai dasar penerbitan Sertifikat Hak Milik sepanjang data yang diterangkan di dalamnya mengandung kebenaran. Banyaknya Kelurahan atau Desa yang tidak memiliki buku tanah desa menyebabkan munculnya surat-surat tanah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Akibatnya, meskipun sertifikat merupakan alat bukti yang kuat bagi pemegangnya namun belum bisa memberikan jaminan adanya kepastian hukum bagi mereka mengingat bahwa asas yang dianut oleh sistem pendaftaran tanah di Indonesia adalah asas negatif (bertendensi positif) yaitu sebuah sertifikat dapat dibatalkan jika ada pihak lain yang dapat membuktikan kepemilikannya atas tanah tersebut. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala alas hak di bawah tangan sebagai dasar penerbitan sertifikat, dalam mengantisipasi munculnya masalah dalam penggunaan alas hak di bawah tangan, sebagai dasar penerbitan sertifikat, maka dalam proses pembuatan surat tanah yang berdasarkan alas hak di bawah tangan, maka seluruh pihak yang terkait harus mengutamakan ketelitian dan kecermatan serta kehati-hatian agar tidak menyebabkan ketidakpastian bagi para pemilik sertifikat ataupun pemilik tanah yang sebenarnya.


(6)

ABSTRACT

Pallet land rights is a very important issue for society, in which the base is a basic right for someone to be able to have rights to land. The existence of the letter under his hand, as one proof of rights in the issuance of the certificate on the land office, may cause uncertainty for rights holders. As a result, even if the certificate is a strong evidence for the holder, but it has not been able to guarantee legal certainty for them.

The approach in this research is done using a normative juridical approach and juridical empirical. Normative juridical approach is used for the purpose of an approach to the problem by looking in terms of the applicable legislation. In this study based on the normative legal research under his right pad. Empirical legal research or law called sociological research is that legal research to obtain data from primary data.

Based on Governmental Regulation No. 24 of 1997 on Land Registration, under his right pad can be used as the basis for issuance of the certificate and have the strength of evidence. Alas rights under the hand has no legal force but can still be used as the basis for issuance of Certificate of Property along the data described in it was true. The number of District or the village that do not have the book led to the emergence of village land documents could not land accountable. As a result, even if the certificate is strong evidence for the holder but can not guarantee legal certainty for them to remember that the principles espoused by the system of land registration in Indonesia is the principle of negative (positive tendentious) of a certificate may be canceled if there are others who can proving ownership of land. Attempt was made in overcoming obstacles under his right pad as the basis for issuance of the certificate, in anticipation of a problem in using the right pads under his hand, as the basis for issuance of the certificate, then in the manufacturing process based on a accuracy and precision and caution so as not to cause uncertainty for the owner ot the certificate of the actual landowner.


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Kuasa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, maka tesis ini telah dapat diselesaikan dengan judul “Tinjauan Yuridis Alas Hak di Bawah Tangan Sebagai Dasar Pendaftaran Hak Atas Tanah”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penyusunan tesis ini telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih yang mendalam dan tulus saya ucapkan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn dan Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan kepada saya, dalam penulisan proposal penelitian tesis ini.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih secara khusus kepada Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum dan Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum selaku dosen yang selama ini telah membimbing dan membina penulis dan pada kesempatan ini dipercayakan menjadi dosen penguji sekaligus sebagai panitia penguji tesis.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(8)

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar diantaranya Bapak

Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH, Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS, Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, M.Kn, Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, dan lain-lain serta para karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara diantaranya Ibu Fatimah, SH, Mbak Sari, Mbak Lisa, Mbak Afni, Mas Adi, Mas Rizal dan lain-lain yang telah banyak membantu dalam penulisan ini dari awal hingga selesai. 5. Rekan-rekan serta teman-temanku tercinta di Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara di Program Magister Kenotariatan yang selalu memberikan semangat, memberikan dorongan, bantuan pikiran serta mengingatkan dikala lupa kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini dalam rangka untuk menyelesaikan studi.

Secara khusus, penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga, kepada yang tercinta Ayahanda Paimin dan Ibunda Salamah yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, ketulusan dan kasih sayang, serta memberikan doa restu, sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, serta kepada abanganda Ahmad Darmawan, ST atas pengertian dan pengorbanan yang diberikan selama ini.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat rahmat dari Allah SWT, agar selalu


(9)

dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.

Medan, Agustus 2009 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Noni Syahputri

Tempat Tanggal Lahir : Aek Nabara, 18 Desember 1981

Agama : Islam

Alamat : Dusun Sapta Marga Blok B, Kelurahan Bagan Sapta Permai, Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir-RIAU. II. ORANG TUA

Nama Ayah : Paimin

Nama Ibu : Salamah

III. PEKERJAAN Wiraswasta IV. PENDIDIKAN

1. SD : Negeri 066 Bagan Batu 2. SMP : MTs An Nur Bagan Batu 3. SMA : Negeri I Bagan Batu

4. S-1 : Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara 5. S-2 : Program Magister Kenotariatan SPs USU Medan


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Kerangka Konsepsi ... 20

G. Metode Penelitian ... 23

1. Spesifikasi Penelitian ... 23

2. Lokasi Penelitian... 24

3. Sumber Data ... 24

4. Alat Pengumpulan Data ... 25


(12)

BAB II PROSEDUR PENDAFTARAN TANAH BERDASARKAN

ALAS HAK DI BAWAH TANGAN... 27

A. Tinjauan Umum Sejarah Hukum Pertanahan di Indonesia ... 27

B. Pengertian Pendaftaran Tanah ... 35

C. Asas dan Sistem Pendaftaran Tanah ... 39

D. Tujuan dan Objek Pendaftaran Tanah... 44

E. Pendaftaran Tanah Berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997... 47

F. Tugas dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional ... 57

G. Kegiatan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali ... 59

H. Alat Bukti Tertulis dalam Proses Pendaftaran Tanah ... 62

I. Proses Pendaftaran Tanah Oleh Saksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah di Kantor Kabupaten/Kota ... 67

J. Pendaftaran Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah ... 76

K. Biaya Pendaftaran Tanah dalam Rangka Penerbitan Sertifikat 79 BAB III KENDALA ALAS HAK DI BAWAH TANGAN SEBAGAI DASAR PENDAFTARAN TANAH ... 81

A. Tujuan Umum Atas Sertifikat Tanah ... 81

B. Sertifikat Sebagai Alas Hak Atas Tanah ... 88

1. Pembuktian Hak Baru Atas Tanah ... 91

2. Pembuktian Hak Lama Atas Tanah ... 93

C. Kepastian Hukum Sertifikat Hak Milik Atas Tanah ... 97

D. Kendala Alas Hak di Bawah Tangan Sebagai Dasar Penerbitan Sertifikat... 106


(13)

BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM MENGATASI KENDALA ATAS HAK DI BAWAH TANGAN SEBAGAI

DASAR PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH ... 120

A. Upaya Pemerintah dalam Melakukan Program Pendaftaran Tanah... 120

B. Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali ... 121

C. Penerbitan Sertifikat ... 131

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 133

A. Kesimpulan ... 133

B. Saran ... 134


(14)

ABSTRAK

Alas hak atas tanah adalah merupakan persoalan yang sangat penting bagi masyarakat, di mana alas hak merupakan dasar bagi seseorang untuk dapat memiliki hak atas tanah. Keberadaan surat di bawah tangan, sebagai salah satu pembuktian hak dalam penerbitan sertifikat pada kantor pertanahan, dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pemegang hak. Akibatnya, meskipun sertifikat merupakan alat bukti yang kuat bagi pemegangnya, namun hal tersebut belum bisa memberikan jaminan adanya kepastian hukum bagi mereka.

Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan penelitian ini penelitian hukum normatif berdasarkan alas hak di bawah tangan. Penelitian hukum empiris atau disebut juga penelitian hukum sosiologis adalah penelitian hukum yang memperoleh data dari data primer.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, alas hak di bawah tangan dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertifikat dan memiliki kekuatan pembuktian. alas hak di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum namun tetap dapat digunakan sebagai dasar penerbitan Sertifikat Hak Milik sepanjang data yang diterangkan di dalamnya mengandung kebenaran. Banyaknya Kelurahan atau Desa yang tidak memiliki buku tanah desa menyebabkan munculnya surat-surat tanah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Akibatnya, meskipun sertifikat merupakan alat bukti yang kuat bagi pemegangnya namun belum bisa memberikan jaminan adanya kepastian hukum bagi mereka mengingat bahwa asas yang dianut oleh sistem pendaftaran tanah di Indonesia adalah asas negatif (bertendensi positif) yaitu sebuah sertifikat dapat dibatalkan jika ada pihak lain yang dapat membuktikan kepemilikannya atas tanah tersebut. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala alas hak di bawah tangan sebagai dasar penerbitan sertifikat, dalam mengantisipasi munculnya masalah dalam penggunaan alas hak di bawah tangan, sebagai dasar penerbitan sertifikat, maka dalam proses pembuatan surat tanah yang berdasarkan alas hak di bawah tangan, maka seluruh pihak yang terkait harus mengutamakan ketelitian dan kecermatan serta kehati-hatian agar tidak menyebabkan ketidakpastian bagi para pemilik sertifikat ataupun pemilik tanah yang sebenarnya.


(15)

ABSTRACT

Pallet land rights is a very important issue for society, in which the base is a basic right for someone to be able to have rights to land. The existence of the letter under his hand, as one proof of rights in the issuance of the certificate on the land office, may cause uncertainty for rights holders. As a result, even if the certificate is a strong evidence for the holder, but it has not been able to guarantee legal certainty for them.

The approach in this research is done using a normative juridical approach and juridical empirical. Normative juridical approach is used for the purpose of an approach to the problem by looking in terms of the applicable legislation. In this study based on the normative legal research under his right pad. Empirical legal research or law called sociological research is that legal research to obtain data from primary data.

Based on Governmental Regulation No. 24 of 1997 on Land Registration, under his right pad can be used as the basis for issuance of the certificate and have the strength of evidence. Alas rights under the hand has no legal force but can still be used as the basis for issuance of Certificate of Property along the data described in it was true. The number of District or the village that do not have the book led to the emergence of village land documents could not land accountable. As a result, even if the certificate is strong evidence for the holder but can not guarantee legal certainty for them to remember that the principles espoused by the system of land registration in Indonesia is the principle of negative (positive tendentious) of a certificate may be canceled if there are others who can proving ownership of land. Attempt was made in overcoming obstacles under his right pad as the basis for issuance of the certificate, in anticipation of a problem in using the right pads under his hand, as the basis for issuance of the certificate, then in the manufacturing process based on a accuracy and precision and caution so as not to cause uncertainty for the owner ot the certificate of the actual landowner.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhannya. Kendala yang dihadapi adalah pertumbuhan penduduk yang terus meningkat sedangkan ketersediaan tanah yang sangat terbatas.

Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang setiap tahun menunjukkan angka kelahiran yang terus meningkat, maka semakin kompleks pola hubungan yang terjalin antara manusia yang satu dengan lainnya, dan manusia dengan badan hukum. Dinamika dan kebutuhan manusia yang terus berkembang dari waktu ke waktu dan selalu mengalami perubahan serta berkembang dengan cukup pesat, membutuhkan fasilitas untuk mempertahankan kehidupannya, khususnya tanah dan rumah untuk tempat berlindung.

Sesuai dengan tujuan landreform di Indonesia maka pemusatan penguasaan tanah oleh sekolompok orang yang dapat merugikan rakyat tidak dibenarkan, hal ini telah diatur dengan penetapan batas maksimum penguasaan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam praktek masih dijumpai berbagai masalah terutama di dalam pembuktian penguasaan tanahnya, karena tanah-tanah tersebut tidak terdaftar di kantor Pertanahan. Banyak tanah-tanah yang tidak jelas kepemilikannya dan penggunaannya.1

1

Chadidjah Dalimunte, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya, (Medan: USU Press, 1998), halaman 133.


(17)

Demi menjamin kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah di Indonesia, pemerintah diwajibkan untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA, “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah”.

Perbuatan hukum pendaftaran tanah merupakan suatu peristiwa yang sangat penting, karena menyangkut dengan hak keperdataan seseorang atau badan hukum. Hak keperdataan adalah merupakan asasi seseorang manusia atau badan hukum yang harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh sesama manusia lainnya yang bertujuan untuk adanya kedamaian dalam ikatan kehidupan kemasyarakatan yang dengan adanya pendaftaran tanah tersebut, maka akan mendapat jaminan akan kepastian hukumnya.

Menurut Pitlo yang dikutip Abdurrahman, menyatakan:

Bahwa pada saat dilakukannya pendaftaran tanah, maka hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan tanah diumumkan kepada pihak ketiga atau masyarakat umum sejak saat itulah pihak-pihak ketiga dianggap mengetahui adanya hubungan hukum antara orang dengan tanahnya dimaksud, untuk mana ia menjadi terikat dan wajib menghormati hal tersebut sebagai suatu kewajiban yang timbul dari kepatuhan.2

Dalam kurun waktu hampir 45 (empat puluh lima) tahun sejak diterbitkannya UUPA pada tahun 1960 sampai saat ini, jumlah bidang-bidang tanah yang telah terdaftar di Indonesia baru mencapai sekitar 30% (tiga puluh persen) dari total

2

Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), halaman 23.


(18)

perkiraan bidang tanah yang ada sebanyak 78.000.000,- (tujuh puluh delapan juta) persil. 3

Atas dasar hak menguasai dari negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria atau selanjutnya disingkat dengan UUPA baik dengan pendekatan sistematis maupun sporadi k. Dalam Pasal 9 UUPA ditentukan bahwa untuk menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah harus didaftarkan. Pendaftaran tanah berfungsi untuk melindungi si pemilik tanah.

Di samping itu pendaftaran tanah juga berfungsi untuk mengetahui status sebidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya berapa luasnya, untuk apa dipergunakan dan sebagainya, dengan kata lain pendaftaran tanah bersifat land informationsystem dan geografis information system.

Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai hukum pertanahan merupakan salah satu faktor timbulnya persoalan-persoalan di bidang pertanahan. Selain itu pertumbuhan penduduk yang terus meningkat sementara ketersediaan tanah yang sangat terbatas, menjadi salah satu kendala dalam memenuhi kebutuhan akan tanah bagi masyarakat. Karena terbatasnya tanah yang tersedia akan berakibat terjadinya benturan-benturan dan permasalahan atas tanah. Sehingga alas hak atas tanah adalah merupakan persoalan yang sangat penting bagi masyarakat, di mana alas hak merupakan dasar bagi seseorang untuk dapat memiliki hak atas tanah.

3

Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah atau Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), halaman x.


(19)

Pendaftaran tanah atau dalam literatur sering disebut land record atau juga

cadastral merupakan bagian dari masalah keagrariaan atau agrarian. Masalah keagrariaan memang tidak hanya terdiri dari pendaftaran tanah, melainkan juga meliputi: pengaturan hak-hak atas tanah atau rights on land atau land ownership.

Penatagunaan tanah atau land use control, dan pengaturan penguasaan tanah atau

land tenure/and occupation.4

Berdasarkan keempat fungsi keagrariaan tersebut pendaftaran tanah memang yang paling menonjol, baik di negara-negara belum maju maupun di negara-negara sudah maju, karena ia merupakan institusi negara satu-satunya yang mempunyai otoritas untuk memberikan legalitas bagi setiap pemilikan/penguasaan tanah.

Dengan melakukan pendaftaran tanah maka masyarakat perorangan maupun badan hukum akan memperoleh sertifikat hak atas tanah. Sesuai ketentuan Pasal 32 ayat (1) UUPA, sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat dalam arti selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai yang benar.

Karenanya oleh pemerintah kebijaksanaan mengenai tanah ini telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Daerah Pokok-pokok Agraria atau dikenal dengan UUPA yang berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertanahan di Indonesia bertujuan:

a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

4

Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda, Teori dan Praktek Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2004), halaman 131.


(20)

b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.5

Seseorang yang mengaku memiliki hak atas sesuatu harus dapat membuktikan kepemilikannya tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1865 KUHPerdata yang menegaskan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

Berdasarkan isi pasal di atas maka segala peristiwa atau kejadian yang menimbulkan hak harus dibuktikan. Seseorang tidak dapat mengaku memiliki hak atas sesuatu tanpa memiliki bukti adanya kepemilikan tersebut. Dalam hal kepemilikan atas sebidang tanah, seseorang tidak dapat mengaku memiliki sebidang tanah tanpa memiliki bukti adanya kepemilikan atas sebidang tanah tersebut.

Di dalam hukum telah diatur bahwa dalam persoalan perdata, surat/bukti tulisan merupakan bukti yang pertama dan utama. Hal ini sesuai dengan pendapat R. Subekti menyebutkan bahwa pada asasnya di dalam persoalan perdata alat bukti yang berbentuk tulisan itu merupakan alat bukti yang diutamakan atau alat bukti yang Nomor satu jika dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya.6

Pasal 1867 KUHPerdata menyebutkan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan. Dari ketentuan pasal di atas diketahui bahwa baik tulisan otentik atau tulisan di bawah tangan oleh hukum keduanya diakui sebagai alat bukti tertulis bagi pemegang surat tersebut. Surat

5

Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), halaman 11. 6


(21)

sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta. Kemudian akta dapat dibedakan pula menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan.7 Akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.8 Sedangkan akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan oleh seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.9

Terlihat perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Sementara akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Sehingga kekuatan pembuktian pada akta otentik memiliki kepastian hukum yang lebih dibanding dengan akta di bawah tangan karena pejabatlah yang menerangkan kebenaran dari apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat, sedangkan untuk akta di bawah tangan maka pengakuan dari pihak yang bertanda tangan menjadi kekuatan pembuktian secara formal.

Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Dari ketentuan Pasal tersebut dimengerti akta otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap

7

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2002), halaman 149.

8

Lihat Pasal 1868 KUHPerdata. 9


(22)

sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.10

Akta di bawah tangan juga dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya hanya apabila tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa agar bukti kepemilikan atas tanah merupakan pembuktian yang sempurna harus dibuat dalam akta otentik dihadapan pejabat umum yang berwewenang untuk itu. Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyebutkan:

“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang.”

Sehubungan dengan pembuatan akta otentik yang berhubungan tanah maka dengan tugas dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menentukan bahwa Notaris berwenang pula

10


(23)

membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Sudah tentu suatu akta itu dapat diajukan sebagai bukti maka harus memenuhi ketentuan tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang termaktub dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Jika sebidang tanah telah disertifikatkan maka tidak mudah bagi orang lain atau pihak manapun untuk merebutnya, apalagi bila “usia” sertifikat itu telah melampaui lima tahun. Pemilik sertifikat tanah sebagai pemegang hak-hak milik atas tanah tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun setelah sertifikat tersebut “berusia” lima tahun. “Hanya pada usia sertifikat di bawah lima tahun sajalah pihak lain diberikan kesempatan untuk menggugat kepemilikan atau penguasaan hak atas tanah si pemegang sertifikat, kalau memang mempunyai bukti yang juga berkekuatan hukum sama derajatnya”. 11

Hakikat kepastian hukum sebenarnya terletak pada kekuatan sertifikat kepemilikan hak atas tanah sebagai bukti kepemilikan termasuk di pengadilan. Namun kepastian hukum dengan sistem negatif pada hakikatnya merupakan kepastian hukum yang relatif, dalam arti oleh peraturan Perundang-undangan dijamin kepastian hukum selama tidak dibuktikan sebaliknya.12

Selain itu, banyak juga kasus terjadi tumpang tindih sertifikat atas tanah, di mana pada satu bidang tanah terdapat beberapa sertifikat hak atas tanah tersebut yang juga menjadi persoalan.

Keberadaan surat di bawah tangan, sebagai salah satu pembuktian hak dalam penerbitan sertifikat pada kantor pertanahan, dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pemegang hak. Akibatnya, meskipun sertifikat merupakan alat bukti yang kuat bagi pemegangnya, namun hal tersebut belum bisa memberikan jaminan adanya kepastian hukum bagi mereka.

11

Suardi, Hukum Agraria, (Jakarta: IBLAM, 2005), halaman 140. 12


(24)

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Alas Hak di Bawah Tangan Sebagai Dasar Pendaftaran Hak Atas Tanah”. Untuk mengkaji dan menelitinya lebih mendalam, sehingga dengan demikian akan terjawab kesimpulan yang sesuai dengan latar belakang dan permasalahan dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah prosedur alas hak di bawah tangan, sebagai dasar pendaftaran hak atas tanah?

2. Apakah kendala-kendala alas hak di bawah tangan, sebagai dasar pendaftaran hak atas tanah?

3. Upaya apakah yang dilakukan dalam mengatasi kendala alas hak di bawah tangan, sebagai dasar pendaftaran hak atas tanah?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui prosedur alas hak di bawah tangan, sebagai dasar

pendaftaran hak atas tanah.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala alas hak di bawah tangan, sebagai dasar pendaftaran hak atas tanah.


(25)

3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala alas hak di bawah tangan, sebagai dasar pendaftaran hak atas tanah.

D. Manfaat Penelitian

Dari pembahasan permasalahan dalam kegiatan penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktek.

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta hukum agraria khususnya yang berhubungan dengan pendaftaran tanah.

Secara praktek, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan alas hak di bawah tangan dan terkait dengan sertifikat hak atas tanah, terutama:

1. Memberi informasi yang dibutuhkan oleh orang perseorangan atau badan hukum khususnya pemilik tanah yang memegang alas hak di bawah tangan atas tanah yang dimilikinya dan pemegang sertifikat yang diterbitkan berdasarkan alas hak di bawah tangan.

2. Memberi masukan kepada pemerintah dan pembuat Undang-Undang terhadap masalah-masalah yang mungkin timbul atas penerbitan sertifikat berdasarkan alas hak di bawah tangan.


(26)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang telah disediakan oleh pihak civitas akademika dan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Maka penelitian dengan judul Tinjauan Yuridis Alas Hak di Bawah Tangan Sebagai Dasar Pendaftaran Hak Atas Tanah, belum pernah ada yang meneliti. Dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

“Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan baik yang langsung untuk kehidupannya maupun untuk usahanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian tanah yaitu “permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali”.13

Pengertian tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria diatur dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa: “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta bahan-bahan hukum.

13


(27)

Dengan demikian yang dimaksud istilah tanah dalam Pasal 4 di atas adalah permukaan bumi. Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dijadikan hak oleh setiap orang atau badan hukum, oleh karena itu hak-hak yang timbul di atas permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk di dalamnya bangunan atau benda-benda yang terdapat di atasnya merupakan persoalan hukum. Persoalan hukum yang dimaksud adalah persoalan yang berkaitan dengan dianutnya asas-asas yang berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan tanaman dan bangunan yang terdapat di atasnya.14

“Menurut Boedi Harsono sebagaimana dikutip oleh Supriadi bahwa dalam hukum tanah negara-negara dipergunakan apa yang disebut asas accessie atau asas perlekatan, yaitu bahwa bangunan-bangunan dan benda-benda/tanaman yang terdapat di atasnya merupakan suatu kesatuan dengan tanah serta merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan”.15

Dengan demikian yang termasuk pengertian hak atas tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah yang dijadikan hak, kecuali kalau ada yang lain.

Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria, hak tertinggi atas tanah adalah hak bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan. Untuk melaksanakan hak tersebut, negara Republik Indonesia diberi wewenang untuk: b. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa;

14

Ibid. 15


(28)

d. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan perubahan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Hak negara tersebut di atas disebut hak menguasai, atas dasar hak tersebut negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia berwenang memberikan berbagai hak atas tanah kepada orang perseorangan atau badan hukum.16 Untuk mewujudkan kepastian hukum hak-hak atas tanah, maka perlu Diupayakan penyeragaman sesuai dengan hak-hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Hak-hak tanah yang belum sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria harus dikonversi menjadi hak-hak tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria.

Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional membagi hak-hak tanah dalam dua bentuk, yaitu:

1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer adalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seseorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahkan kepada orang lain atau ahli warisnya. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, oleh karena hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas selain itu juga hak itu dimiliki oleh orang lain. Hak atas tanah yang bersifat sekunder meliputi hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa atas tanah pertanian.17

Hak-hak atas tanah menurut ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria terdiri dari hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,

16

Supriadi, Op.Cit, halaman 29. 17


(29)

hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan melalui Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yaitu hak gadai, hak guna usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah pertanian. Hak-hak tersebut diusahakan hapus dalam waktu yang singkat.

“Dalam literatur pendaftaran tanah sering juga disebut dengan land record

atau cadastral”18 atau dalam bahasa Belandanya “cadastre”.19

Kadaster adalah suatu istilah teknis suatu record atau rekaman yang menunjukkan kepada luas, nilai dan kemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidang tanah. Sebenarnya kadaster ini mulanya berasal dari bahasa Latin “Capitasrum yang berarti register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi.20

Menurut Maria S.W. Sumardjono,

Pendaftaran tanah berarti mencatat hak-hak yang dipegang oleh perorangan atau kelompok ataupun suatu lembaga atas sebidang tanah oleh pejabat yang berwenang dan mengeluarkan surat bukti hak. Hak-hak ini bermacam-macam, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan sebagainya.21

Secara yuridis pendaftaran tanah telah dijamin di seluruh wilayah Republik Indonesia. Hal itu dapat diketahui dari Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa demi kepastian hukum tanah harus didaftarkan, dengan

18

Herman Hermit, Op.Cit, halaman 131. 19

Supriadi, Op.Cit, halaman 152. 20

Ibid. 21

Maria S.W. Sumardjono, Hukum Pertanahan dalam Berbagai Aspek, (Medan: Bina Media, 2000), halaman 36.


(30)

memperhatikan keadaan sosial ekonomis dan rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya pendaftaran.

Pendaftaran tanah dalam Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah diartikan sebagai berikut: Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukaan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Sesuai pengertian pendaftaran tanah tersebut di atas, dapat diketahui bahwa kegiatan pendaftaran tanah dilakukan dalam bentuk peta dan daftar. Selain itu juga salah satu rangkaian kegiatan pendaftaran tanah adalah pemeliharaan data fisik dan data yuridis yang juga dilakukan dalam bentuk peta dan daftar yang membuat data fisik dan data yuridis pada bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun.

Menurut A.P. Parlindungan, pendaftaran sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dipertegas sebagai berikut:

a. Pendaftaran awal yang mendaftarkan hak-hak atas tanah untuk pertama kali dan harus dipelihara atau ajudikasi;

b. Pendaftaran hak-hak karena adanya mutasi hak, ataupun adanya pengikatan jaminan hutang dengan tanah sebagai agunan dan pendirian hak baru atau Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai di atas Hak Milik;


(31)

c. Hak-hak yang timbul dari rumah susun dan bagian-bagian dari rumah susun;

d. Pendaftaran tersebut meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta memelihara data fisik dan data yuridis.22

Yang dimaksud data fisik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 butir 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah “keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftarkan, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya”. Dengan demikian yang menjadi objek pendaftaran tanah adalah bidang tanah dan satuan rumah susun, dan keterangan yang diperlukan terhadap objek tersebut adalah mengenai letak, batas, luas serta bangunan yang ada di atasnya.23

Mengenai data fisik ini, A.P. Parlindungan berpendapat bahwa: Yang dimaksud dengan data fisik adalah segala informasi mengenai letak, batas dan luas bidang tanah atau satuan rumah susun yang sudah terdaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya, tentunya termasuk juga bagian dari bangunan yang terdapat dibawah permukaan bumi yang berkaitan dengan bangunan tersebut. Dalam pendaftaran yang modern termasuk gambar fisik bangunan tersebut dan termasuk bangunan yang permanen, semi permanen dan sebagainya, demikian juga tanaman yang ada di atasnya. Inilah yang dikembangkan oleh pendaftaran Land Information System (LIS) dan Geographic Information System

(GIS).24

Sistem informasi terdiri dari Non Spatial Information System dan Spatial Information System (SIS). Sedangkan SIS terbagi dua menjadi Non Resource SIS dan

Resource SIS. Kemudian Resource SIS terbagi dua lagi, yaitu Geographical Information System (GIS) dan Land Information System (LIS). GIS lebih dikenal sebagai software tools perangkat lunak, antara lain seperti misalnya, ArcInfo, MapInfo, AutoCadMap, Grass, dan masih banyak lagi. Dengan tools yang sama maka GIS berkaitan dengan proses dan presentasi peta-peta skala kecil atau peta Land Use, Kehutanan, sedangkan LIS berkaitan dengan peta-peta skala besar, yaitu peta bidang-bidang tanah atau land parcels.

Sedangkan yang dimaksud dengan data yuridis sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah “keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta badan-badan lain

22

A.P. Parlindungan, Op.Cit, halaman 73. 23

Suardi, Op.Cit, halaman 142. 24


(32)

yang membebaninya”. A.P. Parlindungan menjelaskan bahwa: Data yuridis adalah haknya itu sendiri, atas bidang tanah dan satuan rumah susun, pemegang haknya, atau hak orang lain atas tanah tersebut atau Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Milik, Hak Pengelolaan, Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai di atas Hak Milik, Hak Tanggungan; dan tanah negara lainnya.

Undang-Undang Pokok Agraria tidak menyatakan secara tegas bahwa sistem pendaftaran yang mana yang dianut. Tetapi apabila didasarkan pada ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang terakhir adalah pemberian tanda bukti hak yang berlaku sebagai “Alat pembuktian yang kuat, jelas bahwa Undang-Undang Pokok Agraria menganut sistem negatif dalam hal pendaftaran tanah. Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria menganut sistem negatif dengan pertimbangan bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah menggunakan waktu relatif singkat. Menurut A.P. Parlindungan: Asas negatif tercermin dalam pernyataan sebagai alat pembuktian yang kuat, bukan sebagai satu-satunya alat pembuktian. Sehingga dapat dinyatakan dengan menganut azas negatif, sertifikat tersebut hanya atau dapat dipandang sebagai suatu bukti permulaan saja belum menjadi sertifikat itu sebagai suatu yang final sebagai bukti hak tanahnya.25

Dengan menelusuri beberapa Putusan Mahkamah Agung tentang kasus yang timbul berkaitan dengan tanah di Indonesia, ternyata sistem pendaftaran tanah di Indonesia mengarah pada pengakuan sistem stelsel/sistem negatif.26 Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa putusan pengadilan sebagai berikut:

1) Putusan MA tanggal 18 September 1975 Nomor 459 K/sip/1975 menentukan mengingat stelsel negatif tentang register/pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka pendaftaran nama seseorang di dalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain.

2) Putusan MA tanggal 2 Juli 1974 Nomor 480 K/Sip/1973 menentukan pengoperan hak atas tanah menurut Pasal 26 UUPA jo. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 harus dibuat dihadapan pejabat Pembuat Akta Tanah dan tidak dapat dilaksanakan seseorang di bawah tangan seperti halnya sekarang, cara yang harus ditempuh oleh penggugat. Kalau pihak tergugat tidak mau memenuhi perjanjian tersebut dengan sukarela, penggugat dapat memohon agar kedua akta di bawah tangan itu

25

A.P. Parlindungan, Op.Cit, halaman 14. 26


(33)

oleh pengadilan dinyatakan sah dan berharga, serta mohon agar tergugat dihukum untuk bersama-sama dengan penggugat menghadap kepada seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk membuat akta tanah mengenai kedua bidang persil tersebut.

3) Putusan MA Nomor 2339/K/Sip/1982 menentukan: Menurut Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 5 bagi tanah berlaku hukum adat, hal mana berarti rumah dapat diperjualbelikan terpisah dari tanah atau pemisahan horizontal.27

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria atau disingkat UUPA dan PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, Pemerintah berharap dapat melaksanakan penyelenggaraan pendaftaran tanah atas seluruh bidang tanah di Indonesia. Akan tetapi selama kurun waktu 30 tahun, yaitu sejak tahun 1960 hingga 1980, ternyata penyelenggaraannya tidak berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan. Salah satu kendala utama yang dihadapi ialah bahwa pendaftaran tanah memerlukan biaya yang tinggi, sementara pada sisi yang lain, budget yang tersedia amat tak memadai.

Guna mengatasi masalah ini, diperlukan cara terpadu yang melibatkan Pemerintah dan rakyat, khususnya masyarakat pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah. Upaya terpadu ini adalah penyelenggaraan operasi agraria, yang selanjutnya dikenal dengan istilah PRONA atau Proyek Operasi Nasional Agraria.

Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui kegiatan ini adalah "untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam bidang pertanahan sebagai usaha untuk berpartisipasi dalam menciptakan stabilitas politik serta ekonomi". Negara RI

27

Chaidir, Ali, Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Agraria, (Bandung: Bina Cipta, Jilid III, 1985), halaman 66-67.


(34)

adalah negara hukum atau rechtstaat, yang berarti bahwa segala tindakan, termasuk kebijakan Pemerintah sekalipun, harus mempunyai landasan hukum. Prona sebagai salah satu kebijakan Pemerintah dibidang agraria, juga wajib didasarkan pada aturan pelaksanaan, maka mulai Tahun 1981 diterbitkanlah Keputusan Menteri Dalam Negeri (KMDN) Nomor 189 Tahun 1981, Nomor 220 Tahun 1981, Nomor 226 Tahun 1982, dan Nomor 348 Tahun 1982 yang berlaku sebagai dasar hukum pelaksanaannya.

Menurut kamus hukum, ajudikasi adalah proses penyelesaian sengketa informasi publik antara para pihak yang diputus oleh komisi informasi. Akan tetapi pengertian yang digunakan oleh BPN RI bukan berarti demikian. Ajudikasi adalah salah satu metode pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh BPN dengan cara proaktif menerjunkan satu tim ajudikasi dengan target yang jelas mengenai waktu penyelesaiannya.

Tim yang dibentuk oleh BPN tersebut diberi nama Panitia Ajudikasi. Terdiri dari dua komponen pokok, yaitu tim yuridis dan tim teknis. Tim yuridis melaksanakan tugas dalam rangka pengumpulan surat-surat yang berkaitan dengan data kepemilikan. Sedangkan tim teknis melaksanakan tugas pengukuran.

Target waktu penyelesaian adalah 1 tahun anggaran, dengan target bidang yang telah ditetapkan oleh Kepala BPN. Satu Panitia Ajudikasi dapat meliputi beberapa desa. Sistem pendaftaran yang digunakan disebut sistem pendaftaran secara sistematis, artinya pengukuran yang dilaksanakan merupakan satu rangkaian sistem koordinat.


(35)

Ajudikasi merupakan salah satu implementasi dari peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan khususnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 serta peraturan dan ketentuan lainnya. "Berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka untuk melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan, sumber pembiayaannya berasal dari rupiah murni dan bantuan luar negeri atau Bank Dunia.

Mewujudkan hal tersebut merupakan beban kerja sangat berat, namun tekad yang kuat, motivasi yang tinggi serta optimisme dan tanggung jawab penuh, para panitia dan tim ajudikasi supaya bekerja lebih cermat, teliti dan akurat sebab ini berkaitan dengan sertifikat hak atas tanah yang merupakan tanda bukti hak yang berkekuatan hukum. Oleh karena itu Badan Pertanahan Nasional membentuk tim ajudikasi untuk mengumpulkan dan menetapkan kebenaran data fisik serta data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.

2. Kerangka Konsepsi

Konsep adalah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari asbtrak menjadi suatu yang konkrit, yang


(36)

disebut dengan operational definition28. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai29.

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi untuk dapat menjawab permasalahan penelitian.

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Hak atas tanah adalah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, selanjutnya disebut UUPA. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang

28

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), halaman 10.

29

Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, (Medan: PPs – USU, 2002), halaman 35.


(37)

didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.

Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.

Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal.

Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Titik dasar teknik adalah titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik kontrol atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas.


(38)

Peta dasar pendaftaran adalah peta yang memuat titik-titik dasar teknik dan unsur-unsur geografis, seperti sungai, jalan, bangunan dan batas fisik bidang-bidang tanah. Peta pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang atau bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah. Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat identitas bidang tanah dengan suatu sistim penomoran.

Surat ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian. Daftar nama adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat keterangan mengenai penguasaan tanah dengan sesuatu hak atas tanah, atau hak pengelolaan dan mengenai pemilikan hak milik atas satuan rumah susun oleh orang perseorangan atau badan hukum tertentu.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian yang telah disebutkan di muka, maka dapat dilihat bahwa sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan.30

Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan penelitian ini penelitian

30


(39)

hukum normatif berdasarkan alas hak dibawah tangan. Penelitian hukum empiris atau disebut juga penelitian hukum sosiologis adalah penelitian hukum yang memperoleh data dari data primer.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kota Medan, di mana di kota ini yang merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Utara yang sangat banyak memiliki problem pendaftaran hak atas tanah.

3. Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud di sini adalah data yang dikumpulkan melalui wawancara yang informannya yaitu: Staf Kantor Pertanahan Kota Medan, yaitu Kepala Seksi Urusan Perencanaan dan Keuangan serta 3 (tiga) orang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di Kota Medan.

Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan. Dalam penelitian ini bahan dasar penelitian hukum normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas tiga bagian, yaitu:

a. Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.


(40)

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari kalangan hukum yang dianggap relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (depth interview). Untuk menunjang hal tersebut, maka dilakukan pengumpulan data sekunder yakni dengan menelaah berbagai buku hukum atau karya ilmiah, majalah-majalah dan lain-lain yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan satu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.31

Analisis data terhadap data primer dan data sekunder dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan dievaluasi sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari

31

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), halaman 101.


(41)

seluruh jawaban kemudian diolah dengan menggunakan metode induktif dan deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.


(42)

BAB II

PROSEDUR PENDAFTARAN TANAH BERDASARKAN ALAS HAK DI BAWAH TANGAN

A. Tinjauan Umum Sejarah Hukum Pertanahan di Indonesia

Sejarah hukum pertanahan di Indonesia dapat dilihat berdasarkan dua tonggak sejarah yaitu, dengan disahkan Undang-Undang Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960 dan disahkan Agrarische Wet tahun 1870.32

Selanjutnya, dalam perkembangannya sejarah hukum agraria di Indonesia, dapat dibagi dalam dua periode, yaitu:

1. Masa sebelum kemerdekaan dan sebelum tahun 1945, yaitu: a. Masa sebelum Agrarische Wet tahun 1870.

b. Masa setelah Agrarische Wet tahun 1870 sampai Proklamasi Kemardekaan. 2. Masa kemerdekaan (sejak tahun 1945), yaitu:

a. Masa sebelum Undang-Undang Pokok Agraria pada tahun 1945 sampai tahun 1960.

b. Masa setelah Undang-Undang Pokok Agraria.

Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok Agraria tanggal 24 September 1960.

Indonesia yang pada masa Penjajahan Hindia Belanda, sejak tahun 1815, praktis Kondisi Hukum yang berlaku, khususnya hukum perdata sudah bersifat dualistis, di samping hukum adat yang merupakan hukum perdata bagi golongan

32


(43)

penduduk pribumi, maka bagi golongan penduduk jajahan Belanda berlaku hukum perdata yang mereka bawa dari negara asalnya. 33

Hukum perdata yang berasal dari Belanda tersebut dikenal dengan Burgerlijk

Wetboek (BW). Peraturan-peraturan mengenai pertanahan merupakan peraturan yang

terdapat pada buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Jadi pada masa sebelum kemerdekaan, di mana terdapat masa sebelum

Agrarische Wet, peraturan yang digunakan dituangkan pemerintah jajahan di Hindia Belanda dalam bentuk Wet yang dikenal dengan RR (Regerings-Reglement) tahun 1855 (S.1855-2). “Semula RR tersebut terdiri dari tiga (3) ayat, selanjutnya dengan tambahan lima (5) ayat oleh AW (Agrarische Wet), Pasal 62 RR kemudian menjadi Pasal 51 IS (Indische Staatsregeling)” 34

Adalah penting untuk mencari dasar hukum berlakunya hukum adat di zaman Hindia Belanda, tetapi yang selalu dihubungkan dengan pembicaraan tentang hukum adat ialah RR (Regerings Reglement) 1854, yaitu Pasal 75 (tujuh puluh lima) yang terjemahannya adalah sebagai berikut:

(1) Sepanjang mengenai golongan Eropa, pemberian keadilan dalam bidang keperdataan, begitu juga dalam bidang hukum pidana didasarkan kepada

verordening-verordening umum, yang sejauh mungkin bersamaan

bunyinya dengan Undang-Undang yang berlaku di Negeri Belanda. (2) Gubernur Jenderal berhak untuk mengatakan berlaku aturan-aturan yang

dipandang pantas, dari verordening-verordening tersebut bagi golongan Indonesia, ataupun bagi bagian-bagian dari golongan itu, kalau perlu aturan-aturan tersebut boleh diubah.

(3) Kecuali dalam hal pernyataan berlaku tersebut ataupun dalam hal orang Indonesia telah dengan sukarela tunduk kepada hukum perdata Eropa, oleh para Hakim untuk Indonesia dipergunakan 1. Undang-Undang Agama, 2 Golongan Indonesia, 3. Kebiasaan-kebiasaan Golongan Indonesia, sepanjang hal-hal 1, 2, 3 tidak bertentangan dengan asas-asas yang diakui umum tentang kepatuhan dan keadilan.

33

Ibid. 34


(44)

(4) Dalam memberikan keadilan kepada golongan Indonesia, para hakim mengambil asas-asas umum dari hukum perdata Eropa sebagai pedoman, manakala mereka harus memutus perkara, yang tidak diatur dalam Undang-Undang Agama, lembaga-lembaga dan Adat Kebiasaan Indonesia tersebut di atas”.35

Pada tahun 1870 diundangkan Agrarische Wet di Negeri Belanda, sedangkan tujuan diundangkannya Agrarische Wet adalah untuk memberi kemungkinan dan jaminan kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia, dengan pertama-tama membuka kemungkinan untuk memperoleh tanah dengan hak erpacht

yang berjangka waktu lama. 36

Jadi hukum pertanahan pada masa setelah diundangkannya Agrarische Wet

adalah hukum agraria yang berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, dalam rangka melaksanakan politik pertanahan kolonial, sementara tujuan kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia pertamakali adalah berdagang, terutama berdagang rempah, sesuai politik dagang, mereka melakukan segala macam cara untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan modal yang harus sekecil-kecilnya. 37

Tahun 1870, Agrarische Besluit Sebenarnya Agrarisch Besluit ini merupakan pelaksanaan dari Agrarische Wet dengan keputusan raja tanggal 20 juli 870-15 (S. 1870-118), telah ditetapkan peraturan yang dinamakan Keputusan Agraria (Agrarisch Besluit), Peraturan ini hanya berlaku di daerah-daerah Gubernemen di Jawa dan Madura, sedangkan mengenai hal-hal yang telah ditetapkan dalam peraturan ini akan diatur dengan ordonansi sesuai dengan Agrarische Wet dan dasar-dasar dari Keputusan Agraria.

35

Mahadi, Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak Regelings Reglement Tahun 1854, (Bandung: 1991), halaman 1.

36

JB. Daliyo, dkk, Op.Cit, halaman 18. 37


(45)

Pada tahun 1870, Menteri Jajahan De Waal mengajukan RUU yang kemudian diterima oleh parlemen. Berisi lima ayat yang kemudian ditambahkan pada 3 ayat dari Pasal 62 RR sehingga menjadi 8 ayat. Salah satunya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erfach, yaitu suatu hak yang zakelijk (hak benda) dan yang diinginkan oleh pengusaha-pengusaha selama 75 tahun. Pasal 62 RR dengan 8 ayatnya ini kemudian dijadikan Pasal 51 dari Indische Staatsregeling (IS). Inilah yang disebut sebagai Agrarische Wet 1870. Agrarische Wet ini merupakan pokok yang terpenting dari hukum agraria dan semua peraturan-peraturan yang diselenggarakan oleh pemerintah dahulu berdasarkan atas wet ini. Adapun isinya ialah memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan pertanian yang besar-besar untuk berkembang Indonesia, sedang hak-hak rakyat atas tanahnya juga harus diperhatikan juga.

Dasar-dasar dalam Agrarische Wet tersebut di atas diatur lebih lanjut dalam Keputusan Agraria, tercantum dalam S. 1870-118. Pasal 1 dari keputusan Agraria mengandung suatu dasar atau asas yang lazim disebut: Asas umum tanah Negara atau pernyataan umum tanah negara atau Algemeen Domenbeginsel atau Algemeen Domeinverklaring, yaitu suatu pernyataan umum bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai hak eigendom, adalah tanah milik (Domein) Negara. Tujuan dibuat dan ditetapkannya Agrarische Wet, adalah untuk membela kepentingan pemerintah kolonial. Meskipun demikian Gubernur Jenderal tetap menghormati hak-hak pribumi, terlebih pada ayat 7 disebutkan. Tanah yang dipunyai orang-orang pribumi dengan hak pakai pribadi yang turun temurun yang dimaksud adalah hak milik adat atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya yaitu yang mengenai kewajibannya terhadap negara dan desa yang bersangkutan, demikian juga mengenai kewenangannya untuk menjualnya kepada non-pribumi.38

38


(46)

Pada tahun 1945 bangsa Indonesia merdeka dari Penjajahan Kolonial Belanda, akan tetapi pada masa kemerdekaan, usaha untuk melakukan perombakan hukum agraria tidak mudah, dan memerlukan waktu. Untuk menghindari kekosongan hukum, maka hukum agraria yang berlaku adalah peraturan-peraturan yang sudah ada semasa Penjajahan Kolonial Belanda sementara masalah-masalah keagrariaan yang timbul telah mendorong pihak-pihaknya yang berwenang untuk melakukan pembaharuan hukum agraria.

Jadi sebelum lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, telah dilakukan terobosan oleh Pemerintah Indonesia dengan dikeluarkannya peraturan yang dimaksudkan untuk meniadakan beberapa lembaga feodal dan kolonial seperti:

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1948 Jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950.

2. Undang-Undang Nomor 6 Darurat Tahun 1951, mengubah peraturan persewaan tanah rakyat.

3. Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1952, pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah.

4. Undang-Undang Nomor 8 Darurat Tahun 1954, Jo Undang-Undang Nomor 1 Darurat 1956, mengatur tentang pemakaian tanah tanpa izin. 5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958, menghapuskan tanah partikelier. 6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, peraturan perjanjian bagi hasil. 39 Sebenarnya “pada tahun 1948 sudah mulai dilakukan usaha penyusunan dasar-dasar hukum agraria yang baru untuk menggantikan hukum agraria warisan pemerintah jajahan”.40

39

Ibid, halaman 35. 40


(47)

Akan tetapi pada tanggal 24 September 1960 barulah Undang-Undang Pokok Agraria disahkan oleh Presiden Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 2043, demikian hukum Agraria Indonesia dapat diperbaharui setelah lima belas tahun kemerdekaan.

Pentingnya pembaharuan hukum tanah yang dimotivasi oleh Undang-Undang Pokok Agraria selanjutnya dapat dilihat di dalam penjelasan umum sebagai berikut:

1. Karena Hukum Agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan sebagian lainnya yang dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini. 2. Karena sebagian akibat dari politik hukum pemerintah jajahan itu hukum

agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat disamping peraturan-peraturan dari dan didasarkan atas Hukum Barat, hal mana selain menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan-persatuan bangsa.

3. Karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajah tidak menjamin kepastian hukum.41

Setelah Undang-Undang Pokok Agraria mulai berlaku tanggal 24 September tahun 1960 dan dengan tegas mencabut peraturan-peraturan yang berlaku pada zaman penjajahan.

Demikianlah pada pokoknya tujuan Undang-Undang Pokok Agraria adalah sebagai berikut:

1. Meletakkan dasar-dasar penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan

41


(48)

keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.42

“Pembaharuan hukum tanah telah nyata dilakukan dengan diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria di mana perombakan hukum kolonial dan menggantikannya dengan hukum nasional adalah merupakan suatu pelaksanaan

landreform di Indonesia”. 43

“Selanjutnya hukum tanah yang telah diperbaharui, dikenal dengan hukum tanah nasional yang bersifat nasional baik dari segi formal maupun dari segi materilnya”.44

Dari segi formal, hukum tanah nasional dapat dilihat dalam peraturan perundangan, yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang Indonesia, dibuat di Indonesia dan disusun dalam bahasa Indonesia, Undang-Undang tersebut berlaku di Indonesia meliputi semua tanah yang ada di wilayah Negara Indonesia.

Sedangkan dari segi materilnya, hukum tanah nasional adalah berkenaan dengan tujuan, konsepsi, asas-asas, sistem dan isinya yaitu:

1. Harus didasarkan atas hukum adat tentang tanah. 2. Harus sederhana.

3. Harus menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.

42 Ibid. 43

Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit., halaman 41. 44


(49)

4. Harus tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

5. Harus memberi kemungkinan supaya bumi, air dan ruang angkasa dapat mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur.

6. Harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia.

7. Harus memenuhi pula keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria.

8. Harus mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial sebagai asas Kerohanian negara dan Cita-cita Bangsa, seperti yang tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.

9. Harus merupakan pelaksana dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dan manifesto politik Republik Indonesia sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960.

10.Harus melaksanakan pula ketentuan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, penggunaan itu bisa secara perseorangan maupun secara gotong royong.


(50)

B. Pengertian Pendaftaran Tanah

Indonesia telah mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah yang uniform

yang berlaku secara nasional, hal ini sebagai konsekwensi berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, yang kemudian disempurnakan kembali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, L.N. 1997 Nomor 59 tanggal 8 Juli 1997 dan baru berlaku aktif tanggal 8 Oktober 1997 (Pasal 66), yang merupakan perintah dari Pasal 9 UUPA yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang berbunyi:

Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur menurut peraturan pemerintah.

Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini menyebutkan: 1. Pengukuran, pemetaan dan pembukaan tanah.

2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi, serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

Dalam peraturan pemerintah telah diatur tentang biaya-biaya pendaftaran tanah, di dalam ayat (1) peraturan tersebut, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya pendaftaran tanah.


(51)

Pengertian bahasa pendaftaran tanah berasal dari bahasa Prancis, yaitu

Cadastre yang berarti suatu daftar yang menggambarkan semua persil tanah yang ada dalam suatu wilayah berdasarkan pemetaan dan pengukuran yang cermat, dengan kata lain suatu rekaman yang menunjukkan luas, nilai dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. 45

“Dalam Bahasa Belanda, pendaftaran berasal dari kata Kadaster suatu istilah teknis untuk rekod atau rekaman, menunjukkan kepada masyarakat luas, nilai dan kepemilikan atau lain-lain atas hak terhadap suatu bidang tanah”.46

Istilah Kadaster berasal dari istilah Latin, yaitu mengenai pendaftaran tanah. Sesungguhnya, Surveying Kadaster adalah kegiatan surveying yang berhubungan dengan penentuan dan pendefinisian kepemilikan dan batas tanah/lahan. Pada umumnya, masyarakat berpikir bahwa kegiatan surveying kadaster, relatif tidak penting hingga suatu saat baru menyadari bahwa lokasi tanahnya memberikan perspektif. Praktek pencarian batas, bukan sepenuhnya suatu proses legal dan bukan pula sepenuhnya sebagai proses ilmiah, akan tetapi diantara keduanya.

Seorang Surveyor Kadaster penentu batas, dalam mencari survey sebelumnya harus mengetahui deskripsi legal dan setiap konflik serta yang mempengaruhi tanah tersebut. Hal ini tidak hanya melibatkan ilmu pengetahuan, akan tetapi keterampilan dalam meneliti dan menyelidikinya. Selain itu, surveyor Kadaster harus seperti

45

Sesuai dengan pengertian umum dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang terbatas.

46


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Abdurahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1994.

_________, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Ali, Chaidir, Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Agraria, Bandung: Bina Cipta, Jilid III, 1985.

Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1994.

Badrulzaman, Mariam Darus, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Bandung: Alumni, 1999.

Bahri, Syamsul, Beberapa Aspek Hukum Adat yang Berpengaruh, Universitas Sumatera Utara.

Brotosoelarno, Soelarman, Aspek Teknis dan Yuridis Pendaftaran Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Seminar Nasional Kebijakan Baru Pendaftaran Tanah dan Pajak-pajak yang Terkait, Yogyakarta, 1994.

Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah atau Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005. Dalimunthe, Chadidjah, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan

Permasalahannya, Medan: USU Press, 1998.

________, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Pelaksanaannya, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2000.

Daliyo, JB, Hukum Agraria I, Jakarta: Prenhallindo, 2001.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.


(2)

Ediwarman, Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah dan Kaitannya dengan Victimilogy, Tesis Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan. Edrian, Masalah Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar (Studi Kasus Proyek Pelebaran Jalan Banda Aceh Lambaro), Tesis Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara.

Eliriza, Meutia, Pelaksanaan Pelepasan Hak Tanah Pada Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Kajian Pembangunan Pelabuhan Ulee di Desa Lheue Kecamatan Meurasa Kota Banda Aceh), Tesis Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Penerbit Andi Offset, 1989. Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Hamzah, Abinur, Aspek Yuridis Pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Setelah Keluarnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Tesis Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006.

Hans, Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, LP3ES, Jakarta: LP3ES, 1982.

Harsono, Boedi, Kelemahan Pendaftaran Tanah dengan Sistem Publikasi Negatif,

Makalah Seminar Nasional Keefektifan Lembaga Rechtsverwerking

Mengatasi Kelemahan Pendaftaran Tanah dengan Sistem Publikasi Negatif, Diselenggarakan Oleh Pusat Studi Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Trisaksi, 20 Maret 2002.

Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2006.

Hermi Herman, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda, Teori dan Praktek Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2004.

Ibrahim, Sofyan, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Dilihat dari Aspek, Yuridis, Sosiologi, Hukum, Volume 5 Nomor: 1, Februari 200-1-152.


(3)

Institue The Aceh, Hak Pemilikan Atas Tanah, http:///www.acehinstitute. org/ringkasan penelitian hak tanah alue naga.htm, 2006, diakses tanggal 10 April 2009.

Kalo, Syafruddin, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004.

Koenoe, Muhammad, Catatan-Catatan terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Jakarta: Airlangga University Press, 1979.

Leonardi, Lidiwati, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus Mengenai Ganti Rugi Pengadaan Tanah Proyek Kanal (Flood Way) Sei Deli- Sei Percut Medan), Tesis Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005.

Mahadi, Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak Regelings Reglement Tahun 1854, Bandung: 1991.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2002.

________, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1996.

Moleong, J. Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Nasucha, Chaizi, Politik Hukum Pertanahan dan Struktur Perpajakan Atas Tanah,

Jakarta: PT. Kesaint Blanc Indah Corp, Cet. Pertama, 1995.

Nasution, Bismar, Keterbukaan dalam Pasar Modal, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Pasca Sarjana, 2001.

Nazir, Moh, Metode Penelitian, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1983.

Nusantara Abdul Hakim G, Budiman Tanurejo, Dua Kado Hakim Agung Buat Kedung Ombo, Tinjauan Putusan-Putusan Mahkamah Agung Tentang Kasus Kedung Ombo, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 1997.


(4)

Parlindungan, A.P., Permohonan Kepastian Hukum Atas Hak Atas Tanah Menurut Peraturan yang Berkaitan, Makalah Seminar Fakultas Hukum USU, Tanggal 19 Oktober 1996.

________, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform, Bandung: Mandar Madju, 1994.

________, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Mandar Maju, 1991.

________, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah, Suatu Perbandingan, Bandung: Mandar Maju, 1983.

Perangin-angin, Effendi, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Jakarta: PT. Rajawali, 1991.

Rowton, Simpson S. Land and Registration, London: Cambridge, University Press. Salideho, Jhon, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 1993. ________, Manusia, Tanah, Hak dan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1994.

Sihombing, Oloan, Beberapa Masalah dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Tesis Program Pascasarjana Ilmu, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1995.

Sitepu, Karolina, Aspek Hukum Ganti Rugi dalam Pembebasan Tanah untuk Pembangunan di Kotamadya Tingkat II Medan, Tesis Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1995.

Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

________ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Soesangobeng Herman dan Lunnay Cris, Status Reformasi Pertanahan dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan Proyek Administrasi Pertanahan dengan Perspektif Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat, Seminar Nasional Pertanahan, Bandung.


(5)

Subekti R., Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987.

Sumardjono, Maria S.W, Hukum Pertanahan dalam Berbagai Aspek, Medan: Bina Media, 2000.

Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Thalib, Sajuti, Hukum Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Bina Aksara.

Waluyo, Bambang, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di atasnya.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penghasilan Pajak dengan Surat Paksa. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor

21 Tahun 1997 tentang Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Bea dan Material.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.


(6)

Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.