ANALISIS MODEL PERKEMBANGAN WILAYAH DAN KONSISTENSI PERENCANAAN

  Endang Wahyuni:: Analisis Model Perkembangan Wilayah Dan Konsistensi Perencanaan Inter-Regional Context Dalam Tata Ruang Kota Bandar Lampung

ANALISIS MODEL PERKEMBANGAN WILAYAH DAN KONSISTENSI

PERENCANAAN

INTER-REGIONAL CONTEXT DALAM TATA RUANG KOTA

  

BANDAR LAMPUNG

Endang Wahyuni

Dosen Fakultas Teknik Universitas USBRJ

ABSTRAK

  Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsistensi mekanisme penataan spasial di Kota Bandar

Lampung dan dampaknya terhadap perkembangan daerah perkotaan. Penelitian ini menghasilkan adanya

inkonsistensi dalam penataan ruang yang mengakibatkan degradasi perkembangan wilayah. Padahal

perkembangan suatu wilayah itu ditandai dengan adanya ketersediaan infrastruktur dasar (seperti jalan, penyedia

telekomunikasi dan air domestik) dan kondisi fisik tanah yang bagus yang menjamin ketersediaan air tanah.

Perkembangan suatu wilayah tergantung dari perkembangan wilayah-wilayah sekitarnya, yang secara langsung

berbatasan, bahkan juga dengan wilayah yang ada di dalam perbatasan, sehingga kerjasama dan usaha untuk

mensinergikan perkembangan suatu wilayah dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) menjadi sangat

penting untuk tercapainya tujuan pembangunan.

  

Keywords: konsistensi penataan spasial, kerjasama antar wilayah, perkembangan

  wilayah

  PENDAHULUAN

  Pembangunan daerah seyogyanya dilakukan melalui penataan ruang secara lebih terpadu dan terarah, agar sumberdaya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Salah satu upaya untuk mencapainya adalah melalui keterpaduan dan keserasian pembangunan dalam matra ruang yang tertata secara baik. Penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan ruang yang berkualitas, berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan melalui upaya-upaya optimalisasi dan efisiensi dalam penggunaan ruang, kenyamanan bagi penghuninya, peningkatan produktivitas kota, sehingga mampu mendorong sektor perekonomian wilayah dengan tetap memperhatikan aspek kesinergian, keberlanjutan dan berwawasan lingkungan.

  Kota Bandar Lampung merupakan pusat pemerintahan Provinsi Lampung. Posisinya yang terletak diujung tenggara Pulau Sumatera dan merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera menjadikan Kota Bandar Lampung memiliki peran yang sangat strategis, baik dalam skala nasional (sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Kawasan Andalan Nasional), regional maupun provinsi (sebagai pusat pelayanan primer bagi kawasan-kawasan di sekitarnya). Oleh karena itu diharapkan kota ini dapat memberikan pelayanan yang optimal, baik bagi penghuninya maupun bagi kawasan-kawasan di sekitarnya. Walaupun Kota Bandar Lampung sudah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ditetapkan

  Endang Wahyuni:: Analisis Model Perkembangan Wilayah Dan Konsistensi Perencanaan Inter-Regional Context Dalam Tata Ruang Kota Bandar Lampung

  sejak tahun 1994 dan disusun kembali pada tahun 2003, pada kenyataannya RTRW tersebut kurang mampu memberikan kontribusi penyelesaian terhadap berbagai permasalahan kota, yaitu berupa kesemrawutan, kekumuhan, konversi kawasan lindung dan keterbatasan openspace.

  Berbagai permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam pemanfaatan ruang kota. Salah satu contoh adalah akibat kemacetan akan terjadi inefisiensi bagi pengguna jalan dari sisi waktu, biaya (kendaraan menjadi cepat rusak), psikologis, penurunan kualitas lingkungan akibat polusi bahan bakar dan sebagainya, yang pada akhirnya akan menimbulkan berbagai kerugian, baik kerugian finansial maupun non finansial. Jika permasalahan tersebut tidak segera dicarikan alternatif solusi terbaik, maka kota akan semakin tidak efisien, terjadi penurunan kualitas lingkungan serta bukan lagi menjadi hunian yang nyaman. Dalam jangka panjang inefisiensi akan menurunkan kinerja perkembangan wilayah. Penurunan kinerja yang terjadi secara terus menerus akan mengarah pada kehancuran dan kematian wilayah tersebut.

  Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa tujuan penataan ruang di Kota Bandar Lampung belum tercapai secara optimal. Kemungkinan permasalahan tersebut disebabkan karena terjadi inkonsistensi dalam penataan ruang, baik dalam aspek perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang. Kajian analisis dalam penelitian ini difokuskan pada konsistensi perencanaan, khususnya terkait dengan prosedur teknis penyusunan RTRW. Dampak inkonsistensi tercermin dalam berbagai permasalahan pemanfaatan ruang yang pada akhirnya akan menurunkan kinerja perkembangan wilayah. Perkembangan wilayah dalam hal ini diidentifikasikan dengan kondisi fisik ruang, ekonomi, sosial dan budaya yang dalam kenyataannya sangat dipengaruhi oleh faktor karakteristik fisik wilayah dan konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota. Infrastruktur dasar kota merupakan urat nadi kehidupan suatu wilayah dan keberadaannya sangat diperlukan untuk memacu dan mendorong perkembangan wilayah.

  Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

  1. Menganalisis konsistensi rencana tata ruang Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek keserasian tata ruang dengan wilayah sekitarnya (konsistensi perencanaan Inter- Regional Context ).

  2. Menganalisis implikasi konsistensi penataan ruang terhadap kinerja perkembangan wilayah serta faktor-faktor pendorong perkembangan wilayah.

METODE PENELITIAN

  Penelitian dilaksanakan Bulan Juni sampai September 2006 di Kota Bandar Lampung yang secara administratif terdiri dari 98 kelurahan.

  Penelitian ini menggunakan data skunder yang diperoleh dari berbagai instansi berwenang seperti data Potensi Desa Tahun 2005 (BPS

  Endang Wahyuni:: Analisis Model Perkembangan Wilayah Dan Konsistensi Perencanaan Inter-Regional Context Dalam Tata Ruang Kota Bandar Lampung

  3

  indeks komposit yang akan digunakan dalam analisis kedua, yaitu analisis Spatial Durbin Model. Metode ini merupakan bentuk pengembangan dari regresi sederhana yang mengakomodasikan fenomena interaksi spasial. Representasi faktor interaksi spasial pada Spatial Durbin

  Pusat), dokumen RTRW (Bappeda Kota Bandar Lampung) dan Peta Geologi dan Rawan Bencana (P3G) serta beberapa peta dari dinas teknis terkait. Untuk melihat konsistensi

  Model adalah dengan matriks

  kedekatan (ketetanggaan dan jarak sentroid) yang disebut dengan

  contiguity matrix . Kedua analisis ini menggunakan Software Statistica .

  Untuk mengetahui keterkaitan antara konsistensi, permasalahan tata ruang dan perkembangan wilayah dilakukan dengan menggunakan analisis logika verbal.

  , Kepmen Kimpraswil Nomor 327/Tahun 2002

  logika verbal. Untuk memodel kinerja perkembangan wilayah dilakukan dua analisis, yaitu Principal Component

  2

  ; PP Nomor 47 Tahun 1997

  1

  Penelitian dilaksanakan dengan pendekatan metode analisis kuantitatif, analisis diskriptif dan analisis Map GIS. Untuk melihat konsistensi penyusunan RTRW dengan pedoman (UU Nomor 24 Tahun 1992

  recana penggunaan lahan dalam RTRW Provinsi Lampung (Bappeda Provinsi Lampung) dan RTRW Kabupaten Lampung Selatan (Bappeda Kabupaten Lampung Selatan). Semua peta diolah dan disajikan dalam format yang sama dengan menggunakan perangkat lunak (software) ArcView GIS 3.3.

  Inter-Regional Context digunakan peta

  Analysis (PCA) untuk memperoleh

HASIL DAN PEMBAHASAN

  Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang 2) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) 3) Tentang Pedoman Penyusunan Tata Ruang Wilayah 4) Tentang Penataan Ruang Wilayah Provinsi Lampung

  1) yang dilanjutkan dengan analisis

  Untuk mengetahui apakah penyusunan RTRW sudah memperhatikan kesinergian dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional

  ) dilakukan dengan analisis tabel perbandingan. Dampak inkonsistensi dianalisis dengan menggunakan analisis logika verbal.

  4

  ; Perda Nomor 5 Tahun 2001

  Konsistensi Inter-Regional Context

  Dalam UU 24 Tahun 1992

  pasal 1 dan 7 serta Kepmen Kimpraswil 327/KPTS/M/2002 diamanatkan bahwa penyusunan RTRW didasarkan pada aspek administratif dan kawasan fungsional serta keserasian dengan wilayah sekitarnya. Dari hasil map overlay antara peta RTRW Kota Bandar Lampung dengan peta RTRW Kabupaten Lampung Selatan dengan kontrol RTRW Provinsi Lampung menunjukkan adanya wilayah yang ’tidak bertuan’ dan wilayah overlap di wilayah perbatasan. Dari berbagai sudut pandang, wilayah-wilayah tersebut berpotensi menimbulkan

  Context ) dilakukan analisis map overlay

  Endang Wahyuni:: Analisis Model Perkembangan Wilayah Dan Konsistensi Perencanaan Inter-Regional Context Dalam Tata Ruang Kota Bandar Lampung

  konflik pada masa yang akan datang. Wilayah overlap tersebut terdapat di Kelurahan-kelurahan Sumber Agung, Kemiling Permai, Rajabasa Raya dan Harapan Jaya. Selain wilayah overlap juga terdapat wilayah ’tidak bertuan’, yang terdapat di Kelurahan-kelurahan Rajabasa Jaya, Harapan Jaya, Sukarame dan Campang Raya.

  Dalam konteks ini terlihat bahwa proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung kurang memperhatikan kesinergian dengan wilayah sekitarnya. Hal ini disebabkan karena dalam proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung kurang memperhatikan RTRW pada hirarki yang lebih tinggi (Provinsi Lampung) dan RTRW Kabupaten Lampung Selatan. Dipihak lain sampai saat ini belum ada Rencana Tata Ruang Kawasan yang memiliki kekuatan hukum untuk mengatur kesinergian ruang Kota Bandar Lampung dengan wilayah sekitarnya. Kondisi ini menyebabkan beberapa wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah tetangga menjadi wilayah yang terpinggirkan dan kurang mendapat prioritas dalam pembangunan, sehingga mengalami kinerja pembangunan dengan kategori kurang, walaupun wilayah tersebut berpotensi untuk berkembang. Wilayah tersebut meliputi Kelurahan-kelurahan Sukamaju, Keteguhan, Pinang Jaya, Rajabasa Raya, Way Laga dan Srengsem. Akibat selanjutnya adalah terjadi kesenjangan pembangunan yang semakin lebar antara pusat kota dengan wilayah tersebut. Menurut Hukum Minimum Leibig, kinerja perkembangan yang buruk pada satu wilayah akan menjadi kendala dalam perkembangan wilayah secara keseluruhan. Dalam jangka panjang ketertinggalan satu wilayah akan mengancam eksistensi wilayah lain yang memiliki kinerja perkembangan baik. Untuk itu keberimbangan pembangunan sangat penting diperhatikan agar pencapaian kinerja pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat lebih optimal (Saefulhakim, 2006). Keberimbangan dapat dicapai melalui kerjasama, koodinasi dan memperhatikan kesinergian ruang kawasan sekitarnya (Inter-Regional Cooperation).

  Konsistensi Pemanfaatan Ruang

  Inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang dapat dilihat dari semakin meningkatnya permasalahan konversi lahan yang disebabkan karena adanya ‘penyimpangan legal’ dan lemahnya aspek pengendalian. Inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang ini menyebabkan perbedaan kategori kinerja perkembangan wilayah. Contoh inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang adalah konversi dari peruntukan lahan non industri menjadi industri yang terjadi di Kelurahan-kelurahan Campang Raya, Srengsem, Kupang Kota, Garuntang, Sukaraja, Rajabasa Raya dan Kedamaian. Keberadaan industri di kawasan permukiman menyebabkan berbagai permasalahan, seperti kasus pencemaran air di Sungai Dadap (Kelurahan Kedamaian) oleh PT Golden Sari beberapa waktu yang lalu.

  Endang Wahyuni:: Analisis Model Perkembangan Wilayah Dan Konsistensi Perencanaan Inter-Regional Context Dalam Tata Ruang Kota Bandar Lampung

  Contoh lain adalah kasus penambangan batu kapur di Gunung Kunyit oleh swasta dan masyarakat lokal serta pengerukan tanah di Gunung Camang yang dilakukan oleh swasta (Jaringan advokasi tambang, 2004). Selain menyebabkan kerusakan lingkungan, aktivitas tersebut mendapatkan protes keras dari berbagai elemen masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian, wilayah- wilayah yang mengalami inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang memiliki kategori perkembangan wilayah sedang dan kurang.

  Konsistensi Pengendalian Pemanfaatan Ruang

  Inkonsistensi dalam peman- faatan ruang menunjukkan lemahnya aspek pengendalian dalam penataan ruang di Kota Bandar Lampung. Menurut Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002 pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan mekanisme perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme pelaporan, mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi dan mekanisme pengenaan sanksi. Permasalahan dalam pengendalian antara lain disebabkan karena: pemberian ijin (IMB, SITU, ijin prinsip, ijin lokasi & IPB) tidak sesuai RTRW; kurangnya sosialisasi RTRW; sistem informasi spasial belum memadai (tidak jelas batas-batas koordinat setiap peruntukan lahan), didukung minimnya jumlah

  benchmark,

  sehingga sulit untuk mengetahui kesesuaian ketepatan lokasi di lapangan dengan peta; RTRW tidak dibreakdown kedalam rencana yang lebih detail; serta lemahnya koordinasi antar institusi maupun kinerja BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah). Tingkat konsistensi dalam pengendalian belum dapat diukur karena sampai saat ini belum disusun dokumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota Bandar Lampung.

  Model Perkembangan Wilayah

  Dengan menggunakan kriteria [Factor Loadings] > 0,65, hasil PCA dari 38 variabel perkembangan wilayah, 15 variabel prasarana dasar dan 17 variabel kondisi fisik wilayah dapat dirumuskan delapan indeks komposit sebagai berikut:

  1. Indeks perkembangan aktifitas ekonomi & transportasi wilayah (F1PW), dengan penciri utama variabel warung, restoran, bank, hotel dan stasiun. Semua variabel berkorelasi positif, artinya peningkatan jumlah unit pada satu variabel akan menyebabkan peningkatan jumlah unit pada variabel lainnya.

  2. Indeks perkembangan fisik ruang wilayah (F2PW), dengan penciri utama variabel kawasan terbangun.

  3. Indeks perkembangan aktifitas pendidikan wilayah (F3PW), dengan penciri utama variabel SLTP dan SLTA yang berkorelasi positif.

  4. Indeks perkembangan prasarana dasar wilayah (jalan lokal, PDAM

  Endang Wahyuni:: Analisis Model Perkembangan Wilayah Dan Konsistensi Perencanaan Inter-Regional Context Dalam Tata Ruang Kota Bandar Lampung

  & telepon) (F1PD), dengan penciri utama variabel rasio jalan kota terhadap luas wilayah, jumlah pelanggan PDAM pada kelompok pertama dan ketiga serta jumlah pelanggan telepon. Semua variabel berkorelasi positif.

  5. Indeks perkembangan jalan nasional wilayah (F2PD), dengan penciri utama rasio jalan nasional terhadap luas wilayah dan terhadap jumlah penduduk.

  6. Indeks keterjalan & kelangkaan air tanah (F1FW), dengan penciri utama kondisi hidrologi air tanah langka, formasi geologi alluvium dan formasi campang dengan kelerengan lebih dari 40%. Semua variabel penciri berkorelasi positif.

  7. Indeks kelandaian & persebaran air tanah produktivitas sedang (F2FW), dengan penciri utama hidrologi akuifer produktivitas sedang dan menyebar luas, formasi endapan gunung api muda serta kelerengan 2-20%.

  8. Indeks air tanah produktifitas rendah (F3FW), dengan penciri utama hidrologi akuifer produktivitas rendah, dengan formasi batuan granit tak terpisahkan dan formasi tarahan. Ketiga variable penciri tersebut berkorelasi positif.

  Model Perkembangan Aktifitas Ekonomi Wilayah Ln[F1PW] = -3,877 - 10,399 W2Ln[F1PW] + 5,526 W2Ln[F1PD] - 3,259 W2Ln[F3FW] + 1,678 W1Ln[F1PW] + 1,312 W2Ln[F2FW] + 0,536 W1Ln[F3FW] + 0,449 Ln[F1FW]

  Urutan penting faktor penentu perkembangan aktivitas ekonomi di suatu wilayah

  Variabel nyata dan elastis

  1. W2Ln[F1PW] adalah perkembangan aktifitas ekonomi dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 100% dan elastisitas 10,399%, artinya jika perkembangan aktifitas ekonomi dalam radius tertentu meningkat 1% akan menyebabkan peningkatan perkembangan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut sebesar 10,399%. Koefisien bernilai negatif, artinya jika perkembangan aktifitas ekonomi dalam radius tertentu lebih baik dari wilayah tersebut, maka aktifitas ekonomi akan bergeser ke wilayah dalam radius tertentu.

  2. W2Ln[F1PD] adalah ketersediaan prasarana dasar jalan, air bersih dan telepon dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 99,4% dengan elastisitas 5,526%. Koefisien bernilai positif, artinya peningkatan ketersediaan prasarana dasar akan menyebabkan peningkatan perkembangan aktifitas ekonomi di wilayah tersebut. Hal ini cukup logis karena kelengkapan prasarana dasar di wilayah sekitar akan mempengaruhi percepatan perkembangan suatu wilayah.

  3. W2Ln[F3FW] adalah ketersediaan air tanah produktifitas rendah

  Endang Wahyuni:: Analisis Model Perkembangan Wilayah Dan Konsistensi Perencanaan Inter-Regional Context Dalam Tata Ruang Kota Bandar Lampung

  dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 3,259% dan koefisien bernilai negatif.

  4. W1Ln[F1PW] adalah perkembangan aktifitas ekonomi di wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 1,678% dan koefisien positif. Hal ini dapat dimengerti karena perkembangan aktivitas ekonomi di suatu wilayah akan dapat ‘merangsang’ kawasan-kawasan disekitarnya untuk turut berkembang.

  5. W2Ln[F2FW] adalah kelandaian dan ketersediaan air tanah produktifitas sedang di wilayah dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 97,7%, elastisitas 1,312% dengan koefisien positif.

  Variabel nyata dan tidak elastis

  1. W1Ln[F3FW] adalah karakteristik kondisi air tanah produktifitas rendah pada wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 98,6% dan koefisien bernilai positif.

  2. Ln[F1FW] adalah kondisi fisik wilayah dengan karakteristik terjal dan kelangkaan air tanah dengan tingkat kepastian 97,7% dan koefisien positif.

  Variabel tidak nyata dan tidak elastis

  • Faktor-faktor lain yang menentukan perkembangan aktifitas ekonomi dalam suatu wilayah cukup banyak, tetapi 54% dapat diterangkan oleh model ini.

  Model Perkembangan Fisik Ruang Wilayah Ln[F2PW] = 8,915 - 7,012 W2Ln[F2PW] + 3,449 W2Ln[F1PD] - 1,671 W2Ln[F2FW] + 1,53 W1Ln[F2PW] - 0,858 W1Ln[F1PD] + 0,457 W1Ln[F1PW] + 0,365 Ln[F1PD] - 0,264 Ln[F3FW] - 0,253 Ln[F1FW] + 0,175 Ln[F2FW]

  Urutan penting faktor penentu perkembangan fisik ruang di suatu wilayah

  Variabel nyata dan elastis

  1. W2Ln[F2PW] adalah perkembangan fisik ruang terbangun dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 99,8%, elastisitas 7,012 dan koefisien bernilai negatif.

  2. W2Ln[F1PD] adalah perkembangan prasarana dasar (jalan, air bersih dan telepon) dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 93,6%, elastisitas 3,449% dan koefisien bernilai positif.

  3. W2Ln[F2FW] adalah kelandaian dan ketersediaan air tanah produktifitas sedang dan menyebar luas dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 99,1%, elastisitas 1,671 dan koefisien bernilai negatif.

  4. W1Ln[F2PW] adalah perkembangan fisik ruang terbangun di wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 1,53% dan koefisien bernilai positif.

  Endang Wahyuni:: Analisis Model Perkembangan Wilayah Dan Konsistensi Perencanaan Inter-Regional Context Dalam Tata Ruang Kota Bandar Lampung Variabel nyata dan tidak elastis

  1. W1Ln[F1PD] adalah perkembangan prasarana dasar (jalan, telepon dan air bersih) wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 94,2% dan koefisien bernilai negatif.

  2. W1Ln[F1PW] adalah perkembangan aktifitas ekonomi wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 97,3% dan koefisien bernilai positif.

  3. Ln[F1PD] adalah ketersediaan prasarana dasar wilayah (jalan, air bersih dan telepon) dengan tingkat kepastian 99,8% dan koefisien positif. Artinya ketersediaan prasarana dasar merupakan pemicu peningkatan ruang terbangun dalam suatu wilayah. Hal senada diungkapkan McGill bahwa pengujian proses manajemen kota harus dilihat sebagai provision infrastructur , karena keberadaan infrastruktur tidak hanya mendukung perkembangan wilayah, tetapi juga distribusi spasial dari perkembangan kota (McGill, 1998).

  4. Ln[F3FW] adalah kondisi fisik dengan karakter air tanah produktifitas rendah dengan tingkat kepastian 96,7% dan koefisien negatif. Artinya kawasan dengan karakteristik tersebut menjadi penghambat pelaksanaan fisik ruang terbangun.

  5. Ln[F1FW] adalah kawasan dengan karakter terjal dan kelangkaan air tanah dengan tingkat kepastian

  98,9% dan koefisien bernilai negatif.

  6. Ln[F2FW] adalah kondisi fisik wilayah dengan karakteristik landai dan persebaran air tanah produktifitas sedang dengan tingkat kepastian 95,1% dan koefisien positif. Hal ini cukup logis mengingat pembangunan fisik ruang akan lebih mudah dan murah serta memiliki resiko yang lebih kecil jika di bangun pada wilayah dengan topografi yang relatif landai dan ketersediaan airnya mudah.

  Variabel tidak nyata dan tidak elastis

  1. Faktor-faktor yang tidak disebutkan diatas mempunyai pengaruh yang tidak nyata terhadap perkembangan fisik ruang di suatu wilayah.

  2. Faktor-faktor lain yang menentukan perkembangan fisik ruang dalam suatu wilayah cukup banyak, tetapi 54% masih dapat diterangkan oleh model ini.

  Model Perkembangan Aktifitas Pendidikan Wilayah Ln[F3PW] = 22,291 - 8,34 W2Ln[F3PW] - 4,884 W2Ln[F1PD] - 2,802 W2Ln[F3FW] + 2,801 W2Ln[F1FW] + 1,343 W1Ln[F3PW] - 0,208 Ln[F2PD] + 0,142 Ln[F2FW]

  Urutan penting faktor penentu perkembangan aktivitas pendidikan di suatu wilayah

  Endang Wahyuni:: Analisis Model Perkembangan Wilayah Dan Konsistensi Perencanaan Inter-Regional Context Dalam Tata Ruang Kota Bandar Lampung Variabel nyata dan elastis

  1. W2Ln [F3PW] adalah perkembangan aktifitas pendidikan dalam satu radius dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 8,34% dan koefisien bernilai negatif.

  2. W2Ln[F1PD] adalah ketersediaan prasarana jalan, air bersih dan telepon dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 99,6%, elastisitas 4,884% dan koefisien negatif.

  3. W2Ln[F3FW] adalah kondisi wilayah dengan karakteristik air tanah produktifitas rendah di wilayah dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 2,802% dan koefisien bernilai negatif.

  4. W2Ln[F1FW] adalah kondisi wilayah dengan karakteristik terjal dan kelangkaan air tanah di wilayah dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 96,9%, elastisitas 2,801% dan koefisien bernilai positif.

  5. W1Ln[F3PW] adalah perkembangan aktivitas pendidikan di wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 1,343% dan koefisien bernilai positif.

  Variabel nyata dan tidak elastis

  1. Ln[F2PD] adalah keberadaan jalan nasional dengan tingkat kepastian 96,5% dan koefisien bernilai negatif, artinya bahwa keberadaan jalan nasional menjadi penghambat dalam perkembangan aktivitas pendidikan di suatu wilayah.

  2. Ln[F2FW] adalah kondisi wilayah dengan karakteristik landai dan persebaran air tanah produktifitas sedang dengan tingkat kepastian 98,2% dan koefisien positif.

  Variabel tidak nyata dan tidak elastis

  1. Faktor-faktor selain tersebut diatas tidak memiliki pengaruh nyata terhadap perkembangan pendidikan disuatu wilayah.

  2. Faktor-faktor lain yang menentukan perkembangan aktifitas pendidikan dalam suatu wilayah cukup banyak, tetapi 35% dapat diterangkan oleh model ini.

  Hasil analisis PCA perkembangan wilayah menunjukkan bahwa wilayah dengan kinerja perkembang baik adalah Kelurahan- kelurahan Gedung Meneng (pusat pendidikan), Pesawahan, Rawa Laut, Palapa dan Tanjung Karang (pusat kota). Wilayah dengan kinerja perkembangan rendah didominasi oleh wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lampung Selatan, yaitu Kelurahan- kelurahan Sukamaju, Keteguhan, Pinang Jaya, Rajabasa Raya, Way Laga dan Srengsem.

  Dari ketiga model empirik perkembangan wilayah menunjukkan bahwa faktor ketetanggaan (berbatasan langsung maupun dalam radius tertentu) sangat mempengaruhi kinerja perkembangan wilayah. Kondisi ini menunjukkan bahwa konsep kerjasama dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Cooperation) menjadi faktor yang sangat penting untuk diperhatikan (Inferensi

  generalism ) dalam setiap kegiatan

  Endang Wahyuni:: Analisis Model Perkembangan Wilayah Dan Konsistensi Perencanaan Inter-Regional Context Dalam Tata Ruang Kota Bandar Lampung

  pembangunan. Temuan tersebut juga tersebut diperlukan upaya mengindikasikan pentingnya Inter- kerjasama serta mensinergikan

  

Regional Cooperation dalam skala yang program-program pembangunan

  lebih luas, misalnya antar dengan wilayah sekitarnya (Inter- Kabupaten/Kota, khususnya Kota Regional Cooperation ). Bandar Lampung terkait dengan

  3. Terdapat beberapa syarat untuk perannya sebagai pusat pelayanan mendorong perkembangan primer bagi wilayah di sekitarnya wilayah, yaitu: serta PKN. Pentingnya kerjasama a) Ketersediaan prasarana dasar merupakan salah satu amanat UU (jalan kota/lokal, air bersih

  Nomor 32 Tahun 2004 yang bertujuan dan telepon), variabel untuk meningkatkan efisiensi dan significan, sehingga lebih efektifitas penyelenggaraan efisien. Hal ini berimplikasi Pemerintahan. Menurut ketentuan pada mekanisme anggaran, tersebut, kerjasama yang bersifat bahwa ketiga sektor tersebut lintas kabupaten/kota merupakan dapat digunakan sebagai alat kewenangan Pemerintah Provinsi untuk mempercepat atau dengan melibatkan seluruh kabupaten mengendalikan perkembangan yang bersangkutan. Untuk suatu wilayah. membuktikan pentingnya kerjasama

  b) Kondisi fisik wilayah dengan antar kabupaten maupun antar karakteristik landai dan air provinsi secara empirik diperlukan tanah produktivitas sedang penelitian lebih lanjut. akan mendukung percepatan perkembangan wilayah.

SIMPULANDAN SARAN

  c) Hal yang sangat diperlukan untuk mencapai optimalisasi

  Simpulan

  tujuan penataan ruang adalah

  1. Penataan ruang seharusnya kerjasama dengan wilayah konsisten dengan pedoman yang sekitarnya (Inter-Regional berlaku, hal ini berlaku umum, Cooperation ). bukan hanya di Bandar Lampung,

  Saran

  sebab inkonsistensi dalam

  1. Penataan ruang memiliki penataan ruang menyebabkan implikasi terhadap perkembangan inefisiensi yang mengarah pada wilayah, sehingga konsistensi degradasi/kelumpuhan suatu dalam penataan ruang menjadi wilayah. sangat penting untuk

  2. Wilayah yang berbatasan dengan diperhatikan.

  Kabupaten Lampung Selatan

  2. Pemerintah Provinsi Lampung termasuk dalam kategori kurang perlu segera menyusun dan perkembangan (relative menetapkan Rencana Tata Ruang tertinggal), walaupun berpotensi Kawasan, khususnya yang bersifat berkembang. Untuk memacu lintas kabupaten/kota. perkembangan wilayah-wilayah

  Endang Wahyuni:: Analisis Model Perkembangan Wilayah Dan Konsistensi Perencanaan Inter-Regional Context Dalam Tata Ruang Kota Bandar Lampung

  An Object-Oriented Approach to the Integrated Planning of Urban Development and Utility Services . Environ. and Urban

  Planning Models . JAG Vol 3 issue 3.

  Fakultas Pertanian IPB. Wegener, M. 2001. New Spatial

  Components Analysis (PCA) dan Factor Analysis (FA) : Bogor.

  Saefulhakim, S. 2005. Principal

  Strategis Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Dalam Perspektif Ekonomi Wilayah : Bogor. Fakultas Pertanian IPB.

  Saefulhakim, S. 2006. Arah dan Isyu

  Developing Countries . Cities Vol 13 No 6:pp.405-471.

  20 No 4/5:pp.303-312. McGill, R. 1998. Urban Management in

  Systems Vol.

  http://www.econ.utoledo.edu Marquez LO and Maheepala S. 1996.

  3. Pemerintah Kota Bandar Lampung perlu segera menyusun dokumen pendamping RTRW untuk melengkapi aspek-aspek yang belum diatur secara jelas serta dokumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota Bandar Lampung.

  Gajahmada University Press. LeSage, James P (1999). The Theory and Practice of Spatial Econometrics .

  Pendekatan Sistem dalam Tata Ruang dan Pembangunan Daerah untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional . Yogyakarta.

  Budiharjo, Eko. 1995.

  Perkotaan . Bandung. PT Alumni.

  WDL Publications. Budiharjo, Eko. 1997. Tata Ruang

  System: Management Perspective . Ottawa, Canada.

  Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Aronoff, S. 1989. Geografic Information

  Anonim. 2002. Pedoman Penyusunan Penataan Ruang . Jakarta.

  5. RTRW harus menjadi dokumen yang memiliki kekuatan untuk mengikat secara eksternal (pedoman bagi masyarakat dalam pemanfaatan ruang kota) dan internal. (pengendali bagi setiap kebijakan program pembangunan).

  4. RTRW perlu dibreakdown dalam rencana yang lebih rinci, yaitu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Rencana Teknik Ruang (RTR) dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBK) dengan tetap memperhatikan efisiensi dalam pemanfataan ruang.