PTK MTK Kelas 5 SD Semester

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kebutuhan pokok setiap manusia, dan memiliki peranan yang besar
dalam mensukseskan pembangunan bangsa. Oleh karena itu, pemerintah beserta unsur-unsur
yang berkompoten di dalamnya harus benar-benar memperbaiki perkembangan serta kemajuan
pendidikan di Indonesia.

Dalam upaya pengembangan pendidikan tersebut pemerintah

mengeluarkan Kurikulum Nasional 2006 yang mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Pengembangan kurikulum ini

merupakan salah satu upaya untuk

memperbaiki sistem pendidikan nasional dalam konteks untuk mewujudkan masyarakat yang
mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang masih dan akan terus
berlangsung. Implikasinya, sejalan dengan adanya usaha penyempurnaan kurikulum tersebut,
paradigma pembelajaran matematika pun perlu diperbaiki supaya lebih bermakna dan sesuai
dengan tuntutan kurikulum.
1

Matematika adalah salah satu dasar penguasaan ilmu dan teknologi, baik aspek terapannya
maupun aspek penalarannya. Salah satu ciri utama matematika adalah penggunaan simbolsimbol. Untuk menyatakan sesuatu misalnya menyatakan suatu fakta, konsep operasi ataupun
prinsip/aturan. Dengan simbol-simbol yang terkandung didalamnya itu sehingga mampulah
matematika bertindak sebagai bahan keilmuan. Penguasaan matematika harus lebih mengarah
pada pemahaman matematika yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ada dua hal
yang mendukung arah penguasaan matematika untuk anak didik sekarang ini, yaitu: (1)
Matematika diperlukan sebagai alat bantu untuk memahami terjadinya peristiwa-peristiwa alam
dan sosial, (2) Matematika telah memiliki semua kegiatan manusia, baik untuk keperluan seharihari maupun keperluan profesional ( Abdullah,2008).
Jenning dan Dunne (abdullah,2008) mengatakan bahwa, pada umumnya siswa mengalami
kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real. Hal lain yang
menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang
bermakna. Guru dalam pembelajaran di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah
dimiliki oleh siswa-siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan
mengkonstruksikan sendiri ide-ide matematika, sehingga anak cepat lupa dan tidak dapat
mengaplikasikan matematika.
Sebagai tenaga pengajar/pendidik yang secara langsung terlibat dalam proses belajar
mengajar, maka guru memegang peranan penting dalam menentukan peningkatan kualitas
pembelajaran dan prestasi belajar yang akan dicapai siswanya. Salah satu kemampuan yang

diharapkan dikuasai oleh pendidik dalam hal ini adalah bagaimana mengajarkan matematika

dengan baik agar tujuan pengajaran dapat dicapai semaksimal mungkin. Dalam hal ini
penguasaan materi dan cara pemilihan pendekatan atau teknik pembelajaran yang sesuai dengan
menentukan tercapainya tujuan pengajaran. Demikian juga halnya dengan proses pembelajaran.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran, perlu disusun suatu strategi agar tujuan itu tercapai dengan
optimal. Tanpa suatu strategi yang cocok, model yang tepat dan jitu, tidak mungkin tujuan dapat
tercapai (Abdullah,2008).
Karena pentingnya peranan matematika dan peranan guru, berbagai usaha telah dilakukan
kearah peningkatan hasil belajar dalam proses belajar matematika. Salah satunya adalah dengan
menggunakan berbagai macam model pembelajaran matematika. Namun sampai saat ini masih
banyak keluhan dari berbagai pihak tentang rendahnya kualitas pendidikan pada umumnya dan
pendidikan matematika pada khususnya.
Berbagai model pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru pada umumnya untuk
membantu siswa agar mampu memahami dan mengerti apa yang dipelajarinya. Sebagai upaya
meningkatkan hasil belajar siswa, salah satu model pembelajaran yang menjadi alternatif adalah
dengan menggunakan atau menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pengajaran dimana siswa
belajar dalam kelompok kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Dalam
menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling kerjasama dan membantu untuk
memahami suatu bahan pembelajaran.
Terdapat beberapa penelitian yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe

STAD yang hasilnya menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat
baik diterapkan di kelas.
Dari hasil yang di dapatkan pada tahun pelajaran 2009/2010 bahwa nilai matematika
peserta didik kelas V SD masih dibawa KKM yang telah ditentukan, ini dapat dilihat dari nilai
rata-rata kelas tes awal yaitu 59,60. Karena metode dan teknik yang digunakan cenderung
mototon kepada murid, dimana guru aktif menyampaikan informasi dan murid pasif menerima.
Kesempatan bagi murid untuk melakukan refleksi melalui interaksi antara murid dengan murid,
dan murid dengan guru kurang dikembangkan. Dengan pembelajaran tersebut murid tidak
mendapat kesempatan untuk mengembangkan ide-ide kreatif dan menemukan berbagai alternatif
pemecahan masalah, tetapi mereka menjadi sangat tergantung pada guru, tidak terbiasa melihat
alternatif lain yang mungkin dapat dipakai menyelesaikan masalah secara efektif dan efisien.

Diduga salah satu faktor yang menyebabkan kondisi tersebut adalah kurang tepatnya model
pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Beranjak dari latar belakang diatas, maka penulis mengadakan penelitian untuk melihat
sejauh mana hasil belajar siswa melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Dengan
menggunakan model pembelajaran ini, diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada
pelajaran matematika khususnya pada materi penjumlahan pecahan.
B. Permasalahan
1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan sebuah masalah sebagai
berikut :”Apakah model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar
matematika pada materi penjumlahan pecahan siswa kelas V SD Kecamatan Bontomarannu
Kabupaten Gowa.”
2. Pemecahan Masalah
Agar sasaran penelitian ini dapat tercapai, maka dalam mengatasi permasalahan yang telah
dikemukakan di atas, perlu dilakukan suatu proses tindakan dalam pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada siswa kelas V SD Kecamatan
Bontomarannu Kabupaten Gowa.
C. Tujuan penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
sejauhmana peningkatan hasil belajar siswa pada materi penjumlahan pecahan dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas V SD Kecamatan
Bontomarannu Kabupaten Gowa.
D. Manfaat penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Bagi siswa : Hasil belajar siswa meningkat khususnya pada materi penjuumlahan pecahan
karena menjadikan matematika sebagai aktivitas sehari-hari dan tidak lagi dianggap sebagai

pelajaran yang sulit dan menakutkan.

2.

Bagi guru : Sebagai masukan, strategi dan solusi yang dapat digunakan untuk meningkatkan
hasil belajar matematika melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD.

3. Bagi sekolah : Sebagai bahan pertimbangan agar model pembelajaran ini diterapkan dalam
proses belajar mengajar di kelas pada semua bidang studi, mengingat model pembelajaran
kooperatif tipe STAD ini sejalan dengan KTSP

E. Defenisi operasional
Hasil belajar matematika adalah suatu hasil yang dicapai oleh siswa setelah mempelajari
matematika dalam kurun waktu tertentu, yang diukur dengan menggunakan alat evaluasi tertentu
(tes). Pembelajaran kooperatif Tipe STAD (Student Teams Achievement Division) adalah suatu
model pembelajaran yang menekankan adanya kerjasama antara siswa. Siswa dibagi kedalam
beberapa kelompok secara heterogen.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.

Model Pembelajaran
Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pengajaran dimana siswa belajar
dalam kelompok kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Dalam
menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling kerjasama dan membantu untuk
memahami suatu bahan pembelajaran.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan berdasarkan teori belajar kooperatif
kontruktivis. Hal ini terlihat pada salah satu teori Vigotsky yaitu penekanan pada hakikat
sosiokultural dari pembelajaran Vigotsky yakni bahwa fase mental yang lebih tinggi pada
umumnya muncul pada percakapan atau kerjasama antara individu sebelum fungsi mental yang
lebih tinggi terserap dalam individu tersebut. Implikasi dari teori vigotsky dikehendakinya
susunan kelas berbentuk kooperatif.

Model Pembelajaran kooperatif sangat berbeda dengan model pengajaran langsung. Di
samping model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar akademik,
model pembelajaran kooperatif juga efektif untuk rnengembangkan keterampilan sosial siswa.
Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalarn membantu siswa memahami konsep
konsep yang sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur
penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan penilaian siswa pada belajar akademik, dan

perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Dalam banyak kasus, norma budaya
anak muda sebenarnya tidak menyukai siswa siswa yang ingin menonjol secara akademis.
Robert Slavin dan pakar lain telah berusaha untuk mengubah norma ini rnelalui penggunaan
pembelajaran kooperatif.
Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran
kooperatif dapat memberikan keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok
atas kerja bersama menyelesaikan tugas tugas akademik, siswa kelompok atas akan menjadi tutor
bagi siswa kelompok bawah, jadi memperoleh bantuan khusus dari teman sebaya, yang memiliki
orientasi dan bahasa yang sama. Dalam proses tutorial ini, siswa kelompok atas akan meningkat
kemapuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor rnembutuhkan pemikiran lebih
dalam tentang hubungan ide ide yang terdapat di dalam materi tertentu.
Tujuan penting lain dari pembelajaran kooperatif adalah untuk rnengajarkan kepada siswa
keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam
masyarakat di mana banyak kerja orang dewasa sebagian besar dilakukan dalam organisasi yang
saling bergantung sama lain dan di mana masyarakat secara budaya semakin beragam.
Sementara itu, banyak anak muda dan orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial.
Situasi ini dibuktikan dengan begitu sering pertikaian kecil antara individu dapat mengakibatkan
tindak kekerasan atau betapa sering orang menyatakan ketidakpuasan pada sa at diminta untuk
bekeda dalarn situasi kooperatif.
Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja. Namun siswa juga

harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif.
keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan, kerja dan tugas. Peranan
hubungan kerja dapat di bangun dengian mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok
sedangkan peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas antar anggota kelompok selama
kegiatan.
Menurut Lundgren (Sukarmin, 2002:2), Unsur-unsur dasar yang
perlu ditanamkan pada diri siswa agar cooperative learning lebih efektif

adalah sebagai berikut :
a. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau
berenang bersama”
b. Para siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam,
disamping tanggung jawab terhadap diri sendiri.
c. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki
tujuan yang sama.
d. Para siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggung jawab sama
besarnya diantara anggota kelompok.
e. Para siswa akan diberikan suatu evaluasi atau penghargaan yang akan
ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.
f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh

keterampilan bekerja sama selama belajar.
g. Para siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual
materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Sementara

itu,

menurut

Nur

(2001:

3)

pembelajaran

yang

menggunakan


model cooperative learning pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif umtuk menuntaskan
materi belajarnya.
b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi,
sedang dan rendah.
c. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, bangsa, suku,
dan jenis kelamin yang berbeda-beda.
d. Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok daripada individu.
3. Model Cooperative Learning
Pembelajaran kooperatif Tipe STAD (Student Teams Achievement Division) adalah
suatu model pembelajaran yang menekankan adanya kerjasama antara siswa. Siswa dibagi
kedalam beberapa kelompok secara heterogen.
Berikut ini model pembelajaran yang dapat mewakili model-model
cooperative learning :
a. Student teams achievement division (STAD)
Langkah-langkah:
1) Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang.

2) Guru menyajikan materi pelajaran.

3) Guru memberi tugas untuk dikerjakan, anggota kelompok yang mengetahui

jawabannya

memberikan penjelasan kepada anggota kelompok.
4) Guru memberikan pertanyaan/kuis dan siswa menjawab pertanyaan/kuis dengan tidak saling
membantu.
5) Guru memberikan kesimpulan
Keterampilan keterampilan kooperatif tersebut antara lain sebagai berikut ( Lundgren,
1994)
1.

Keterampilan kooperatif tingkat awal
Meliputi: (a) menggunakan kesepakatan; (b) menghargai kontribusi; (c) mengambil giliran dan
berbagi tugas; (d) berada dalam kelompok; (e) berada dalam tugas; (f) mendorong partisipasi; (g)
mengundang orang lain untuk berbicara; (h) menyelesaikan tugas pada waktunya; dan (i)
menghormati perbedaan individu.

2.

Keterampilan kooperatif tingkat menengah
Meliputi: (a) menunjukkan penghargaan dan simpati; ( b) mengungkapkan ketidaksetujuan
dengan cara yang dapat diterima; (c) mendengarkan dengan aktif; (d) bertanya; (e) membuat
ringkasan; (f) menafsirkan; (g) mengatur dan mengorganisir; (h) menerima, tanggung jawab; (i)
mengurangi ketegangan

3.

Keterampilan kooperatif tingkat mahir
Meliputi: (a) mengelaborasi; (b) memeriksa dengan cermat; (c) menanyakan kebenaran; (d)
menetapkan tujuan; (e) berkompromi

4.

Tingkah Laku mengajar ( Sintaks)
Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang menggunakan pembeiajaran
kooperatif, pelajaran di mulai dengan guru menyampaikan tujuan pelajaran dan memotivasi
siswa belajar. Fase ini diikuti oleh penyajian informasi, seringkali dengan bahan bacaan daripada
secara verbal. Selanjutnya siswa dikelompokkan ke dalam tim tim belajar. Tahap ini diikuti
bimbingan guru pada saat siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas bersama mereka.
Fase terakhir pembelajaran kooperatif meliputi presentase hasil akhir kerja kelompok, atau
evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha usaha
kelompok maupun individu.

B.

Hasil Belajar

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, hasil adalah sesuatu yang di dapat dari jeri payah yang
dilakukan, sedangkan belajar adalah berusaha untuk memperoleh ilmu atau menguasai suatu
keterampilan.
Menurut Skinner, belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang harus terukur. Bila
pembelajar (peserta didik) berhasil belajar, maka respon bertambah, tetapi bila tidak belajar
maka responpun berkurang, sehingga secara formal hasil belajar harus bisa diamati dan diukur.
Menurut Gagne (1972) belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan
untuk mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan tingkah laku (behavior)
adalah hasil dari efek belajar yang kumulatif (Gagne, 1968). Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa
belajar itu bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat didefenisikan dengan
mudah, karena belajar bersifat kompleks.
Gagne (1972) mendefenisikan belajar adalah mekanisme dimana seseorang menjadi
anggota masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Kompetensi itu meliputi skill,
pengetahuan, attitude (perilaku), dan nilai-nilai yang diperlukan oleh manusia sehingga belajar
adalah hasil dalam berbagai macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas (outcome).
Menurut Piaget pengetahuan (knowledge) adalah interaksi yang terus-menerus antara
individu dengan lingkungan. Fokus perkembangan kognitif Piaget adalah perkembangan secara
alami pembelajar mulai anak-anak sampai dewasa.
C.

Pembelajaran Matematika

1.

Penjumlahan pecahan yang berpenyebut sama
Kata pecahan berarti bagian dari keseluruhan yang berukuran sama berasal dari
bahasa Latin fractio yang berarti memecah menjadi bagian‐bagian yang lebih kecil.
Sebuah pecahan mempunyai 2 bagian yaitu pembilang dan penyebut yang penulisannya
dipisahkan oleh garis lurus dan bukan miring
=
penjumlahan pecahan berpenyebut sama dapat diperoleh hasilnya dengan menjumlah
pembilangnya, sedangkan penyebutnya tetap.

1.

Contoh penjumlahan berpenyebut sama :
+ = =1

2.
2.

3 + 4 =7
Penjumlahan Pecahan Berpenyebut Beda

penjumlahan pecahan berpenyebut beda/tidak sama dapat diperoleh hasilnya dengan
menyamakan penyebutnya terlebih dahulu.
Untuk mempelajari materi penjumlahan pecahan berbeda penyebut, ada beberapa syarat
yang harus dikuasai siswa, antara lain:


Penjumlahan pecahan berpenyebut sama



Pecahan Senilai



KPK
Kunci untuk menentukan penyebut persekutuan dari penjumlahan beberapa pecahan berbeda
penyebut adalah:

1.

Bila masing-masing penyebut merupakan bilangan prima, misal 2, dan 5. maka penyebut
persekutuannya adalah perkalian dari ke tiga bilangan tersebut, yaitu 2 x 5 = 10

2.

Bila penyebut yang satu merupakan kelipatan dari penyebut yang lain atau penyebut yang
satudapat dibagi oleh penyebut yang lain, misal 2,4 dan 8. Maka penyebut persekutuannya
adalah penyebut yang paling besar. Karena 8 dapat dibagi 2 dan 8 dapat dibagi 4.
3.

Bila penyebut dari masing-masing

pecahan yang dijumlah tidak memenuhi kedua

persyaratan diatas, maka kita menggunakan pendekatan KPK, baik dengan menggunakan pohon
faktor atau

melipatkan bilangan itu sendiri.

Contoh soal penjumlahan pecahan yang berpenyebut beda :
1.
2.

+ = == = =
2 + 3 = (2 + 3) + + ) = 5 = 5 + 1 =

BAB III
METODEPENELITIAN
A.

Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Researh). Tindakan
yang diberikan adalah proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD yang dibagi dalam dua siklus dengan empat tahapan, yaitu (a) perencanaan tindakan,
(b) pelaksanaan tindakan,

B.

(c) observasi dan evaluasi dan (d) refleksi .

Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini berlokasi di SD kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa dengan subjek
penelitian adalah Siswa kelas V dengan jumlah siswa 25 orang yang terdiri dari : laki-laki 12
orang dan perempuan 13 orang pada semester ganjil tahun ajaran 2010/2011.

C.

Faktor yang Diteliti
Hal-hal yang ingin dikumpulkan sebagai data dasar yang selanjutnya dianalisis adalah:

1.

Faktor input : Melihat kehadiran,kerjasama siswa, keaktifan siswa serta kemampuan siswa
dalam menjawab soal pada materi penjumlahan pecahan dengan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD

2.
Faktor Proses : Melihat bagaimana proses belajar mengajar melalui model pembelajaran tipe
STAD baik itu interaksi antara siswa dan guru maupun antara siswa dengan siswa lainnya,
mengecek pemahaman mengenai materi yang telah diberikan dan memberikan pertanyaan
berupa soal-soal pada akhir pertemuan mengenai materi yang telah diberikan dan dijawab oleh

siswa serta adanya umpan balik agar siswa benar-benar mengerti dan memahami apa yang telah
dipelajari dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
3.

Faktor Output : Melihat bagaimana pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
cooperatipe STAD pada pelajaran matematika mampu meningkatkan hasil belajar siswa yang
diperoleh dari setiap siklus yang dilakukan.

D.

Rencana Tindakan
Penelitian tindakan ini direncanakan terdiri dari dua siklus. Kedua siklus ini merupakan
rangkaian kegiatan yang saling berkaitan, artinya pelaksanaan siklus II merupakan lanjutan dan
perbaikan berdasarkan refleksi dari siklus I.
Siklus I dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan dan Siklus II dilaksanakan sebanyak 2
kali pertemuan. Untuk dapat mengetahui hasil belajar matematika siswa kelas V SD maka
sebelumnya diberikan tes awal dan hasilnya dijadikan sebagai skor dasar. Setelah itu barulah
dilakukan proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Secara rinci kedua siklus tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

Siklus I
Sesuai dengan kriteria penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research), maka
pelaksanaan siklus I ini dibagi 2 tahap yaitu

(a) perencanaan tindakan atau

rancangan tindakan (planning), (b) pelaksanaan tindakan (acting), (c) observasi dan evaluasi dan
(d) refleksi (reflecting).
1.

Tahap perencanaan
Tahap perencanaan yang dilakukan pada siklus I ini adalah sebagai berikut:

a.

Menelaah kurikulum SD kelas V pada mata pelajaran matematika.

b.

Membuat model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1)

Menyatakan kegiatan atau topik utama pembelajaran yang diberikan, berupa standar
kompetensi, kompetensi dasar, kelas/semester dan alokasi waktu.

2)

Menyatakan tujuan umum pembelajaran (indikator pencapaian hasil belajar).

3)

Merinci media untuk mendukung pembelajaran atau topik tersebut. Dalam hal ini media yang
akan digunakan adalah media LCD yang isinya mencakup materi yang akan disajikan.

4)
c.

Membuat skenario pembelajaran atau Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Menyiapkan media /alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran.

d.

Menyiapkan pembentukan kelompok-kelompok kecil untuk kerja kelompok, dengan
menggunakan model pembelajaran tipe STAD. Pada pembentukan kelompok siswa dibagi
menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 6-7 orang, yang dibagi berdasarkan
nomor urut absen.

e.

Membuat pedoman observasi untuk merekam proses pembelajaran dikelas.

f.

Membuat soal-soal yang disusun berdasarkan materi –materi yang telah diajarkan.

2.

Tahap tindakan
Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah kegiatan belajar mengajar dan
mengimplementasikan soal-soal yang telah dipersiapkan, baik dalam proses belajar mengajar di
kelas maupun pada pemberian tugas kurikuler.
Gambaran umum yang dilakukan adalah :

a.

Pada awal setiap pertemuan, hal yang pertama dilakukan adalah memberikan penjelasan
singkat tentang materi yang dipelajari dengan mengkaitkan dengan kehidupan nyata siswa atau
kehidupan sehari-hari serta memperlihatkan gambar yang ada di LCD.

b.

Setelah guru menjelaskan, siswa diberikan tugas sesuai dengan bahan yang telah
dikembangkan, baik secara individual maupun secara kelompok. Pada pembentukan kelompok
siswa dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 6-7 orang yang dibagi
berdasarkan nomor urut absen.

c.

Tiap pertemuan guru mencatat semua kejadian yang dianggap penting seperti kehadiran siswa,
keaktifan dalam mengerjakan tugas, bertanya, memberikan tanggapan, serta keseriusan dalam
kerjasama dengan kelompoknya.

d.

Memberi tes akhir siklus I

e.

Melakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa, dengan berbagai cara seperti pengukuran
proses bekerja, hasil karya, penampilan, PR, kuis, hasil tes tulis dan demonstrasi.

3.

Tahap observasi dan Evaluasi
Pada tahap penulis melakukan observasi terhadap pelaksanaan tindakan dengan
menggunakan lembar observasi yang telah dibuat serta melaksanakan evaluasi. Observasi
dilaksanakan pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Data hasil observasi yang
meliputi kehadiran siswa, kerjasama, keaktifan siswa baik dalam bertanya atau memberi
tanggapan, menjawab pertanyaan guru atau teman, mengerjakan tugas, tampil menyelesaikan
soal latihan di papan tulis dengan benar, siswa yang melakukan kegiatan diluar proses belajar
mengajar, siswa yang memerlukan bimbingan dalam mengerjakan soal, siswa yang meminta
untuk dijelaskan kembali konsep yang telah dibahas dan kerjasama dengan kelompoknya.

Evaluasi selanjutnya dilaksanakan pada akhir siklus I dengan memberikan tes tertulis.
Hal ini dimaksudkan untuk mengukur hasil belajar siswa terhadap materi yang telah diperoleh
selama siklus I berlangsung.
4.

Tahap Refleksi
Data yang diperoleh dari hasil observasi dan evaluasi dikumpulkan dan dianalisis. Dari
analisis tersebut peneliti merekfleksi diri dan melihat kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
apakah berhasil atau tidak. Adapun hal-hal yang sudah baik agar tetap dipertahankan sedangakan
yang belum berhasil ditindaklanjuti pada siklus berikutnya.
SIKLUS II
Siklus dilaksanakan sebanyak empat kali pertemuan. Pada dasarnya hal yang dilakukan
pada siklus II ini adalah mengulangi tahap-tahap yang dilaksanakan pada siklus I. Disamping itu
akan dilaksankan juga sejumlah rencana baru untuk memperbaiki, merancang tindakan baru
sesuai dengan pengalaman dari hasil refleksi yang diperoleh pada siklus I.

E.

Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1.

Data mengenai tingkat hasil belajar siswa terhadap materi pelajaran setelah diadakan tindakan,
dikumpulkan dengan menggunakan tes pada akhir setiap siklus dalam bentuk ulangan harian.

2.

Data mengenai proses belajar mengajar dalam hal kehadiran dan keaktifan siswa untuk tiap
pertemuaan diambil dengan menggunakan lembar observasi.

F.

Teknik Analisis Data
Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif dan analisis
kualitatif. Untuk analisis secara kuantitatif digunakan statistik deskripsi yaitu skor rata-rata dan
persentase. Selain itu ditentukan pula standar deviasi, tabel frekuensi, nilai minimum, dan
maksimum yang diperoleh dari setiap siklus.
Adapun untuk keperluan analisis penguasaan siswa digunakan standar KKM (Kriteria
Ketuntasan Minimal ) yaitu 60

1.

Tingkat penguasaan < 60 dikategorikan ”tidak tercapai”.

2.

Tingkat penguasaan = 60 dikategorikan ” tercapai”.

3.

Tingkat penguasaan > 60 dikategorikan ”terlampaui”.
Untuk menganalisis data hasil observasi digunakan analisis kualitatif dan kuantitatif.
Kriteria penilaian

pada data observasi yaitu kehadiran, menanggapi pertanyaan guru,

pertanyaan teman, mengajukan pertanyaan, kerjasama dengan kelompok, membuat kesimpulan,
dan mengumpulkan tugas.
G.

Indikator Kinerja
Kriteria keberhasilan penelitian tindakan kelas ini adalah apabila terjadi peningkatan hasil
belajar siswa kelas V SD Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa, terhadap bahan ajar
setelah diberikan pembelajaran dengan menggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD,
baik ditinjau dari hasil tes setiap akhir siklus maupun dari data hasil observasi dalam mengikuti
proses pembelajaran

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis membahas tentang hasil-hasil penelitian, data-data hasil penelitian
yang diperoleh, dianalisis dan dibahas.

Adapun yang dianalisis adalah deskriptif mengenai perubahan hasil belajar siswa setelah
dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada
siklus I dan siklus II berdasarkan hasil tes pada tiap akhir siklus. Disamping itu akan dianalisis
pula refleksi terhadap pelaksanaan tindakan dalam proses belajar mengajar matematika dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pada tahap ini pula penulis
menganalisis perubahan sikap siswa berdasarkan hasil pengamatan dan observasi maupun
refleksi.
A. Analisis kuantitatif
1.

Analisis Deskriptif Hasil Belajar Siswa Pada Tes Awal Siklus
Tes awal yang dilakukan peneliti bertujuan untuk memperoleh gambaran awal tentang

hasil belajar siswa dalam proses belajar mengajar. Tes awal ini akan dijadikan acuan untuk
melihat sejauh mana keberhasilan metode pengajaran dengan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD. Adapun hasil analisis statistik deskriptif pada skor hasil belajar siswa kelas V SD
sebelum dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel4.1. Statistik Skor Hasil Belajar Siswa Kelas V SD Kecamatan Bontomarannu Sebelum dilakukan
Pembelajaran model kooperatif tipe STAD
Statistik
Nilai Statistik
Subyek

25,00

Skor Ideal

100,00

Skor Tertinggi
90,00
Skor Terendah

40,00

Rentang Skor

50,00

Rata-rata Skor

59,60

Median

60

Modus

60

Pada tabel 4.1. menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika
sebelum dilakukan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Rata-rata skor yang dicapai siswa tidak mencapai nilai KKM yaitu 60. Rentang skornya juga
masih tinggi.

Dari data tabel 4.1, jika skor hasil belajar responden dikelompokkan kedalam 3 kategori,
maka diperoleh distribusi frekuensi skor yang disajikan sebagai berikut:
Tabel4.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Skor Hasil Belajar Siswa Kelas V SD Kecamatan
Bontomarannu Sebelum dilakukan Pembelajaran model kooperatif tipe STAD
Skor

Kategori

< 60
= 60
> 60

Tidak tercapai
Tercapai
Melampaui
Jumlah

Frekuensi

Persentase (%)

5
13
7
25

20,0
52,0
28,0
100,0

Pada tabel 4.2. terlihat bahwa hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika
sebelum dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD, menunjukkan bahwa dari 3 kategori yang ada, kategori tidak tercapai terdapat 16 % ,
yang frekuensinya melampaui sekitar 48 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 4.1.
2.

Analisis Deskriptif Hasil Belajar Siswa Pada Tes Siklus I

Gambar 4.1. Tingkat Hasil Belajar Siswa pada Tes Awal Siklus
Hasil analisis statistik deskriptif pada skor hasil belajar siswa kelas V SD setelah dilakukan
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat dilihat
pada tabel 4.4.

Tabel4.4. Statistik Skor Hasil Belajar Siswa Kelas V SD Kecamatan Bontomarannu Setelah Dilakukan
Pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD terhadap materi penjumlahan
pecahan biasa berpenyebut sama dan beda
Statistik

Nilai Statistik

Subyek

25,00

Skor Ideal

100,00

Skor Tertinggi

100,00

Skor Terendah

40,00

Rentang Skor

60,00

Rata-rata Skor

68,00

Median

60

Modus

60

Tabel 4.4. menunjukkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika setelah
dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Tabel
tersebut mengindikasikan adanya peningkatan dimana pada awal siklus rata-rata skor 64,00
menjadi 68,00 pada siklus I ini.
Dari data Tabel 4.4, jika skor hasil belajar responden dikelompokkan kedalam 3 kategori,
maka diperoleh distribusi frekuensi skor yang disajikan sebagai berikut:

Tabel4.5. Distribusi Frekuensi Dan Persentase Skor Hasil Belajar Siswa Kelas V SD Kecamatan
Bontomarannu Setelah Dilakukan Pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe
STAD Terhadap Materi penjumlahan pecahan biasa berpenyebut sama dan beda Siklus I
Skor
< 60
= 60
> 60

Kategori
Tidak tercapai
tercapai
melampaui
Jumlah

Frekuensi

Persentase (%)

2
11
12
25

8,0
44,0
48,0
100,0

Dari tabel 4.5. terlihat bahwa hasil belajar siswa bervariasi dan pada umumnya
kemampuan hasil belajar siswa sudah meningkat yang pada awal siklus ke siklus I . Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4. 3.
Gambar.3 Tingkat Hasil Belajar Siswa pada Tes Siklus I
3.

Analisis Deskriptif Hasil Belajar Siswa Pada Tes Siklus II
Hasil analisis statistik deskriptif pada skor hasil belajar siswa kelas V SD Kecamatan

Bontomarannu setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD terhadap materi penjumlahan pecahan campuran berpenyebut sama dan
beda pada siklus II dapat dilihat pada tabel.7.

Tabel4.7. Statistik Skor Hasil Belajar Siswa Kelas V SD Kecamatan Bontomarannu Setelah Dilakukan
Pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD Terhadap Materi penjumlahan pecahan
campuran berpenyebut sama dan beda Pada Siklus II
Statistik
Nilai Statistik
Subyek

25,00

Skor Ideal

100,00

Skor Tertinggi

100,00

Skor Terendah

40,00

Rentang Skor

60,00

Rata-rata Skor

79,20

Median

60

Modus

80

Tabel 4.7. menunjukkan bahwa hasil belajar siswa setelah dilakukan pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD mengalami peningkatan
dibanding pada siklus I yang rata-rata skornya 68,00 menjadi 79,20 pada siklus II.
Berdasarkan data Tabel 4.7, jika skor hasil belajar responden dikelompokkan kedalam 3
kategori, maka diperoleh distribusi frekuensi skor sebagai berikut:

Tabel4.8. Distribusi Frekuensi Dan Persentase Skor Hasil Belajar Siswa Kelas V SD Kecamatan
Bontomarannu Setelah Dilakukan Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD Terhadap Materi penjumlahan pecahan campuran berpenyebut sama dan
beda Pada Siklus II
Skor
< 60
= 60
> 60

Kategori
Tidak tercapai
tercapai
melampaui
Jumlah

Frekuensi

Persentase (%)

2
11
12
25

8,0
16,0
76,0
100,0

Dari tabel 4.8. terlihat bahwa hasil belajar siswa bervariasi dan pada umumnya
kemampuan hasil belajar siswa lebih meningkat lagi dari siklus I ke siklus II. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.5.

.
Gambar 4.5. Tingkat Hasil Belajar Siswa pada Tes Siklus II

B. Analisis Kualitatif
1.

Refleksi Terhadap Pelaksanaan Tindakan Dalam Proses Belajar Mengajar Matematika

a. Refleksi siklus I
Siklus I terdiri dari 2 (dua) kali pertemuan dengan materi penjumlahan pecahan biasa
berpenyebut sama dan beda. Materi disajikan diawali dengan mengaitkan materi yang akan
dipelajari dengan keadaan sekitar, kemudian menyampaikan indikator pencapaian hasil belajar
agar siswa mengetahui apa yang ingin dicapai pada materi tersebut. Setelah itu penulis
menjelaskan materi secara singkat dan mengaitkannya dengan contoh benda yang ada dalam
kehidupan sehari-hari. Dan mengelompokkan siswa dan membagikan LKS untuk setiap
kelompok. Kemudian setelah itu diberikan kuis dan dikerjakan secara individu, Kemudian
evaluasi .
Pada pertemuan kedua dan berikutnya, Materi disajikan diawali dengan mengaitkan materi
yang akan dipelajari dengan materi sebelumnya, kemudian menyampaikan indikator pencapaian
hasil belajar agar siswa mengetahui apa yang ingin dicapai pada materi tersebut. Setelah itu
penulis menjelaskan materi secara singkat dan mengaitkannya dengan contoh benda yang ada
dalam kehidupan sehari-hari. Dan mengelompokkan siswa dan membagikan LKS untuk setiap
kelompok. Kemudian setelah itu diberikan kuis dan dikerjakan secara individu, kemudian
evaluasi, menyimpulkan materi, memberikan penguatan .
Pada siklus I ini apa yang ingin dicapai oleh peneliti telah tercapai, misalnya meningkatnya
rata-rata hasil belajar siswa terhadap matematika yang terlihat pada tabel 4.5 dan Gambar 4.3
tapi masih ada hal-hal yang perlu diperbaiki pada siklus berikutnya.

Adapun hal-hal yang perlu diperbaiki pada siklus II antara lain :
1.

Pada siklus I siswa dikelompokkan menurut absen, ternyata nilainya tidak optimal sehingga
pada siklus II pengelompokan diubah berdasarkan hasil tes siklus I. Siswa tetap dibagi dalam 4
kelompok dan pada setiap kelompok terdapat siswa yang memiliki kemampuan tinggi dan
rendah.

2.

Pada siklus I beberapa siswa belum menguasai cara menyamakan penyebut dengan KPK dan
pecahan senilai, sehingga pada siklus II materi itulah yang akan mendapat penekanan.

b.

Refleksi siklus II
Siklus II terdiri dari 2 (dua) kali pertemuan dengan materi penjumlahan pecahan campuran
yang berpenyebut sama dan beda dengan mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan materi
sebelumnya. Pada siklus ini penulis menekankan hal-hal yang perlu diperbaiki seperti cara
menyamakan penyebut dengan menggunakan KPK dan pecahan senilai, kemudian penulis
menyampaikan indikator pencapaian hasil belajar agar siswa mengetahui apa yang ingin dicapai
pada materi tersebut.
Pada pertemuan pertama peneliti menjelaskan materi disajikan diawali dengan
mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan materi sebelumnya, kemudian menyampaikan
indikator pencapaian hasil belajar agar siswa mengetahui apa yang ingin dicapai pada materi
tersebut. Setelah itu penulis menjelaskan materi secara singkat dan mengaitkannya dengan
contoh benda yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dan mengelompokkan siswa dan
membagikan LKS untuk setiap kelompok. Kemudian setelah itu diberikan kuis dan dikerjakan
secara individu, kemudian evaluasi, menyimpulkan materi, memberikan penguatan .
Pada siklus II ini, pada umumnya siswa lebih bersemangat lagi dengan model pembelajaran
dengan cara berkelompok sehingga siswa dapat saling berdiskusi dan bertukar pikiran dalam
memahami materi dan memecahkan atau menyelesaikan soal matematika.
Pada siklus II ini apa yang ingin dicapai oleh peneliti tercapai. Hal ini dapat dilihat dari
meningkatnya rata-rata hasil belajar siswa.
2.

Perubahan Sikap Siswa
Disamping terjadinya peningkatan hasil belajar siswa pada siklus I dan siklus II, tercatat
pula sejumlah perubahan sikap yang terjadi pada siswa. Perubahan tersebut merupakan data
kualitatif dan dicatat oleh peneliti dalam lembar observasi tiap siklus. Adapun perubahanperubahan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1.

Pada siklus I kehadiran siswa sudah bagus begitu juga pada siklu II.

2.

Pada siklus I siswa masih malu-malu dalam bertanya kepada guru tentang masalah yang
terkait dengan apa yang disajikan guru sedangkan pada siklus II siswa sudah berani untuk
bertanya guru tentang masalah yang terkait dengan apa yang disajikan guru.

3.

Pada siklus I interaksi siswa dengan sumber belajar/media sudah baik sedangkan pada siklus II
interaksi siswa dengan sumber belajar/media jauh lebih baik dari siklus I.

4.

Pada siklus I semua siswa aktif melakukan kegiatan fisik dan mental (berpikir), begitu juga
pada siklus II.

5.

Pada siklus I ketuntasan belajar siswa meningkat, itu dapat dilihat dari nilai rata-rata siswa
pada siklus I 68,00 menjadi 79,00 pada siklus II.
Peneliti menyadari bahwa untuk menumbuhkan minat siswa dalam belajar matematika perlu
dirancang model pembelajaran yang sesuai dengan situasi keadaan siswa, yang terpenting juga
adalah membelajarkan siswa antusias, keberanian mengungkapkan gagasan, ide dan pemikiran
serta meningkatkan hasil belajar matematika. Adanya peningkatan hasil belajar matematika pada
siklus II tersebut menunjukkan bahwa banyak kemajuan yang dicapai oleh siswa setelah
dilaksanakan pembelajaran model kooperatif tipe STAD.
Uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model
kooperatif tipe STAD dapat meningkatkann hasil belajar siswa.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di depan , penulis menarik
kesimpulan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD mata pelajaran metematika pada
materi penjumlahan pecahan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Kesimpulan ini diambil
setelah melihat data sebagai berikut:

1.

Pada awal siklus atau sebelum dilakukan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD, skor rata-rata hasil belajar siswa adalah 64,00. Sementara skor ideal yang
mungkin dicapai siswa adalah 100,00.

2.

Pada siklus I atau setelah dilakukan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD, skor rata-rata hasil belajar siswa pada pokok bahasan penjumlahan
pecahan biasa yang berpenyebut sama dan beda adalah 68,00 dari skor ideal yang mungkin
dicapai 100,00.

3.
Pada siklus II atau setelah dilakukan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD, skor rata-rata hasil belajar siswa pada pokok bahasan penjumlahan
pecahan campuran berpenyebut sama dan beda adalah 79,20 dari skor ideal yang mungkin
dicapai 100,00.

B.

SARAN
Adapun saran-saran yang penulis ajukan setelah menerapkan pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagai berikut:

1.

Untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika, diharapkan guru
mata pelajaran matematika menerapkan metode mengajar yang mudah diterima oleh siswa.

2.

Diharapkan kepada guru mata pelajaran matematika dalam memberikan soal-soal latihan
kepada siswa, hendaknya soal-soal tersebut berkaitan dengan kehidupan sehari-hari sehingga
siswa merasa bahwa matematika itu memang sangat penting dalam kehidupan mereka.

3.

Kepada pihak sekolah agar memaksimalkan sarana dan prasarana yang ada disekolah. Khusus
untuk buku-buku yang berkaitan dengan matematika lebih diperhatikan lagi, demikian pula
pengadaan alat peraga yang sangat membantu siswa dalam memahami pelajaran matematika.

DAFTAR PUSTAKA
Aderusliana.2003. http://blogs.unpad.ac.id/aderusliana Teori Belajar,(online), diakses 21 Juli 2008
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran. Bandung : Kencana.
Wahyusuryaningsi.2008.http://luar sekolah.blogspot.com,(online), diakses tanggal 20 januari 2011
Saha.2010/2011.www.sahaptk.blogspot.com

Log InSign Up

docx
Laporan PTK Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Kelas V tentang Kubus dan Ba…

41 Pages
Laporan PTK Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Kelas V tentang Kubus dan Balok

Eman Syukur
Uploaded by
Eman Syukur

connect to download
Academia.edu
Laporan PTK Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Kelas V tentang Kubus dan Balok
Download

2
membantu siswa dalam memahami konsep matematika, maka seyogyanya gurumenyiapkan
media atau alat peraga yang diperlukan.Menurut Dienes (dalam useendi, !$&/%'
menyatakan bahwa setiapkonsep matematika dapat diahami dengan mudah apabila kendala
utama yangmenyebabkan anak sulit memahami dapat dikurangi atau dihilangkan. Dienes
berkeyakinan bahwa anak pada umumnya melakukan abstraksi berdasasarkanintuisi dan
pengalaman kongkrit, sehingga cara mengajarkan konsep-konsepmatematika dapat dilakukan
dengan menggunakan bantuan objek kongkrit.Dengan demikian, dalam mengajarkan matematika
perlu adanya benda-bendakongkrit yang merupakan model dari ide-ide matematika, yang
selanjutnyadisebut sebagai alat peraga sebagai alat bantu pembelajaran. *lat bantu pembelajaran
ini digunakan dengan maksud agar anak dapat mengoptimalkan panca inderanya dalam proses
pembelajaran, mereka dapat melihat, meraba,mendengar, dan merasakan objek yang sedang

dipelajari.0uru selalu menggunakan metode ceramah yang langsung menyajikan materidalam
bentuk rumus-rumus pasti, tanpa mengetahui bagaimana rumus itudiperoleh, sehingga tidak bisa
bertahan lama di benak siswa. 1alaupun kurikulumtelah berkali-kali diperbarui, teknologi
pendidikan telah mengalami berkali-kaliinovasi, banyak guru yang tidak mengubah cara
mengajar mereka yang cenderungmonoton atau kurang bervariasi. 0uru kurang kreati dalam
memanaatkan alat peraga yang ada dalam proses pembelajaran di kelas.Seharusnya, siswa
memiliki motivasi belajar tinggi, akti, kreati, disiplin,antusias memperhatikan penjelasan
guru, berusaha menjadi pembelajar yangmandiri, mau berusaha mencari dan menemukan sendiri
konsep-konsepMatematika, sehingga diharapkan pemahaman siswa pada mata
pelajaranMatematika dapat meningkat, pada akhirnya prestasi belajarnya meningkat,sehingga
tidak ada anak yang tinggal kelas atau tidak lulus ujian karena nilaiMatematikanya tidak dapat
memenuhi ))M yang telah ditetapkan di sekolahmasing-masing. +asil belajar siswa kelas 2 SDS
$$! 3mmanuel 4ahun Pelajaran #$/5#$%mata pelajaran Matematika tentang kubus dan balok
masih sangat rendah. +al ini

3
dibuktikan dengan nilai rata-rata ulangan harian belum dapat mencapai )riteria)etuntasan
Minimal ())M' yaitu baru 6$ dengan nilai terendah /$ dan nilaitertinggi "$. Dari siswa yang
berjumlah // yang terdiri dari 7 putra dan " putri baru / siswa atau /!,%8 yang dapat mencapai
kriteria ketuntasan minimal())M'. ))M yang ditetapkan untuk mata pelajaran Matematika kelas 2
adalah76.umlah anak yang nilainya mencapai ))M belum ada separuh dari jumlahkeseluruhan
siswa di kelas 2. +al ini tentu cukup memprihatinkan, mengingatMatematika adalah salah satu
mata pelajaran yang diujikan pada 9jian :asional(9:'. )enyataan ini dapat dipengaruhi oleh banyak
aktor, baik dari aktor guru,aktor siswa, sarana dan prasarana maupun lingkungan serta latar
belakangkeluarga siswa.;aktanya pembelajaran Matematika di sekolah masih banyak melakukan
pembelajaran konvensional, padahal seharusnya dalam konsep pembelajaran guru bukanlah satusatunya sumber belajar, selain itu penggunaan media sebagaisumber belajar harus
dimaksimalkan.

Dokumen yang terkait

UJI EFEKTIVITAS BENZALKONIUM KLORIDA KONSENTRASI 0,001% DENGAN pH 5 (Terhadap Aktivitas Bakteri Staphylococcus aureus)

10 193 21

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

The Effectiveness of Computer-Assisted Language Learning in Teaching Past Tense to the Tenth Grade Students of SMAN 5 Tangerang Selatan

4 116 138

Upaya guru PAI dalam mengembangkan kreativitas siswa pada mata pelajaran pendidikan agama islam Kelas VIII SMP Nusantara Plus Ciputat

48 349 84

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

HUBUNGAN KEPRIBADIAN DENGAN TINGKAT KEBUGARAN JASMANI PADA SISWA KELAS V SD NEGERI 2 PONCOWARNO KALIREJO LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2013/2014

10 138 52

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SINAR MULYA KECAMATAN BANYUMAS KAB. PRINGSEWU

43 182 68