PEMBAHARUAN KELEMBA GAAN PENDIDIKAN TINGG

1

PEMBAHARUAN KELEMBAGAAN PENDIDIKAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM
MENURUT A. MALIK FADJAR

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Institut Agama Islam Negeri Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian
Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Dalam Bidang Pendidikan Agama Islam

Oleh
Tri Shofi Afifatur Rozannah
NIM: 123111429

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2016

2


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................i
NOTA PEMBIMBING..............................................................................................ii
PENGESAHAN.........................................................................................................iii
PERSEMBAHAN......................................................................................................iv
MOTTO......................................................................................................................v
PERNYATAAN KEASLIAN....................................................................................vi
KATA PENGANTAR...............................................................................................vii
DAFTAR ISI..............................................................................................................ix
ABSTRAK.................................................................................................................xi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Penegasan Istilah...................................................................................9
C. Identifikasi Masalah..............................................................................12
D. Pembatasan Masalah.............................................................................12
E. Rumusan Masalah.................................................................................12
F. Tujuan Penelitian..................................................................................13
G. Manfaat Penelitian................................................................................13

BAB II: LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori.............................................................................................15
1. Pembaharuan....................................................................................15
2. Kelembagaan pendidikan.................................................................18
3. Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI)..................................32
B. Telaah Pustaka.........................................................................................37
C. Kerangka Teoritik...................................................................................41
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian......................................................................................46
B. Data dan Sumber Data..........................................................................47
C. Teknik Pengumpulan Data....................................................................49
D. Teknik Keabsahan Data........................................................................50
E. Teknik Analisis Data.............................................................................51
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3

A. Biografi Intelektual Malik Fadjar
1. Sejarah Kelahiran A. Malik Fadjar..................................................53
2. Pendidikan A. Malik Fadjar.............................................................54

3. Karir A. Malik Fadjar.......................................................................57
4. Karya-karya A. Malik Fadjar...........................................................60
B. Pembaharuan Kelembagaan PTKI Menurut A. Malik Fadjar
1. Corak Pemikiran Kelembagaan A. Malik Fadjar.............................61
2. Pembaharuan Komponen Kelembagaan PTKI Menurut A. Malik Fadjar 65
C. Analisis Pembaharuan Kelembagaan PTKI Menurut A. Malik Fadjar
1. Mahasiswa sebagai SDM yang unggul............................................79
2. Kreatifitas Dosen..............................................................................85
3. Konsorsium Pendidikan Tinggi........................................................89
4. Otonomi dan Akuntabilitas PTKI....................................................91
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................102
B. Saran.....................................................................................................103

4

ABSTRAK
Tri Shofi A. R, 2016, Pembaharuan Kelembagaan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam
(PTKI) Menurut A. Malik Fadjar, Skripsi: Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Surakarta.

Pembimbing: Dr. Toto Suharto, M. Ag
Kata Kunci: Kelembagaan, PTKI, A. Malik Fadjar
Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam di Indonesia adalah lembaga pendidikan yang
muncul di akhir abad 20, selanjutnya berkembang dan menyesuaikan diri dengan tantangan di
era globlalisasi pada saat ini. Berkembangnya dan majunya lembaga pendidikan tinggi Islam
ini tak terlepas dari peran para tokoh pendidikan, seperti Abdul Malik Fadjar. Gagasan dan
kebijakannya menjadikan pendidikan tinggi Islam sebagai lembaga yang semakin maju,
survive terhadap tantangan-tantangan pendidikan selanjutnya. Dia pernah menjabat sebagai
Dirjen Binbagas (1996-1998), Menteri Agama (1998-1999), Menteri Pendidikan Nasional
(2001-2004) dan Watimpress (2015-sekarang). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
maksud dan bagaimana pembaharuan kelembagaan PTKI menurut A. Malik Fadjar.
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian library research dengan pendekatan
penelitian analisis isi atau content analisys. Pengambilan sumber datanya, dari data primer
dan sekunder serta wawancara dengan kerabat A. Malik Fadjar. Teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah teknik dokumentasi.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembaharuan kelembagaan PTKI
menurut A. Malik Fadjar meliputi, (1) mahasiswa sebagai sumber daya manusia yang unggul,
(2) dosen harus kreatif berupaya untuk meningkatkan wawasan keilmuannya, (3) pentingnya
konsorsium dalam kurikulum pendidikan tinggi (4) otonomi dan akuntabilitas yang
merupakan bagian dari proses pengelolaan PTKI, bisa dilakukan dengan mem-BHMN-kan

PT dan bergantinya status beberapa IAIN menjadi UIN.

5

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, Paedagogie yang akar katanya
Pais yang berarti bimbingan (Qiqi dan Rusniana, 2014: 85). Sedangkan pendidikan
dalam pengertian yang luas dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran kepada
peserta didik dalam upaya mencerdaskan dan mendewasakan peserta didik (A. Susanto,
2009: 10).
Dalam kehidupan suatu negara, pendidikan memegang peranan yang sangat
penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa, karena pendidikan
merupakan wahana peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia dan
sekaligus faktor penentu keberhasilan pembangunan. Hal ini diakui bahwa ”keberhasilan
suatu bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam memperbaiki dan memperbarui
sektor pendidikan” (Aulia Reza, 2002: 4). Selain itu pendidikan juga berorientasi pada
perwujudan tatanan baru kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia dalam

mewujudkan masyarakat madani (Civil Society) (Qiqi dan Rusniana, 2014: 89).
Dalam mencapai tujuan tersebut pendidikan Islam adalah salah satu bagian dari
pendidikan nasional, sehingga Islam juga banyak berbicara panjang lebar tentang
pendidikan. Inti dari pendidikan Islam menurut M Athiyah al Abrasyi dalam bukunya
Marzuki (2012: 4) adalah budi pekerti. Pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari
1

1

pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan
akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah
tujuan yang sebenarnya dari pendidikan Islam (Mohammad Athiyah al Abrasyi, 1974:

6

33). Pada definisi ini nampak bahwa karakter menjadi manusia ideal yang dicapai
melalui kegiatan pendidikan adalah manusia yang sempurna akhlaknya. Meskipun
demikian, pendidikan Islam tetap memperhatikan pendidikan jasmani, akal, ilmu
ataupun segi-segi praktis lainnya.
Dalam catatan sejarah, pendidikan Islam sudah ada sejak Islam pertama kali

diturunkan. Ketika Rasulullah mendapat perintah Allah untuk menyebarluaskan ajaran
Islam, maka apa yang dilakukannya, jelas masuk dalam kategori pendidikan (A.
Susanto, 2009: 10).
Dalam al-Qur’an, ayat yang pertama diturunkan yang berhubungan langsung
dengan pendidikan adalah surat al Alaq ayat 1-5. Dalam ayat ini mengandung filosofis
yang jelas yang menjadi dasar bagi kegiatan pendidikan. Ketika di Mekkah, proses
pendidikan Islam dilakukan Nabi dan pengikutnya di Dar Al Arqam sebagai pusat
pendidikan dan dakwah. Di Madinah setelah beliau hijrah, beliau membangun masjid
yang tidak saja berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga tempat pendidikan. Pada era
ini, umat Islam juga mengenal lembaga kuttab yang berfungsi sebagai tempat pengajaran
pokok-pokok agama dan tulis baca. Pendekatan yang dilakukan Rasulullah kemudian
diikuti oleh para Khalifatu ar-Rasyidin (A. Susanto, 2009: 11).
Pendidikan Islam di Indonesia sendiri terbagai menjadi dua kurun periode, yaitu
periode sebelum kemerdekaan dan periode setelah kemerdekaan. Pada periode sebelum
kemerdekaan ini ada dua model pendidikan, yaitu pendidikan yang diberikan oleh
sekolah-sekolah barat yang sekuler dan tidak mengenal ajaran agama; dan pendidikan
yang diberikan di pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja (A. Susanto,
2009: 12). Dapat dilihat bahwa pendidikan kolonial tersebut sangatlah berdeda dengan
pendidikan yang tradisional, bukan saja dari metode, tetapi lebih khusus dari segi isi dan
tujuannya. Selain itu juga dengan adanya perbedaan diantara kedua model ini menandai


7

adanya dualisme sistem pendidikan di Indonesia. Pada masa-masa setelah kemerdekaan
Indonesia, dualitas sistem pendidikan masih terus berlanjut ditengah adanya upaya untuk
mengintegrasikan pendidikan Islam kedalam sistem pendidikan nasional (Nurhayati,
2009: 15).
Setelah masa tersebut, banyak pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan oleh
rakyat Indonesia dalam bidang pendidikan. Para pembaru pendidikan Islam
berkeinginan agar dalam pendidikan Islam tersebut dilakukan perubahan dalam berbagai
hal agar dapat menjawab tatangan zaman. Muncullah perubahan kurikulum dari yang
semata-mata mengajarkan agama menjadi memasukkan mata pelajaran umum
didalamnya, muncullah pembaharuan manajemen, dan pembaharuan lembaga (Haidar
Putra, 2009: 2).
Lembaga adalah institusi, badan hukum, atau organisasi yang menjadi tempat
atau wadah untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas tertentu (Jasa Ungguh
Muliawan, 2015: 213). Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga pendidikan adalah
tempat dimana suatu aktifitas pendidikan itu berlangsung. Lembaga pendidikan Islam
merupakan


sub

sistem

dari

sistem

masyarakat

atau

bangsa.

Dalam

pengoperasionalisasinya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan
masyarakat (Arifin, 1991: 6). Namun demikian permasalahannya, lembaga pendidikan
Islam pada khususnya, harus bangkit kesadarannya bahwa lembaga pendidikan yang
meliputi madrasah, pesantren dan perguruan tinggi (Iskandar dan Siti Zubaidah, 2014:

125) yang masih bersikap konservatif dan statis dalam menyerap tendensi dan aspirasi
masyarakat tradisional, seperti perlu memacu diri untuk melakukan inovasi dalam
wawasan, strategi dan program-programnya sedemikian rupa sehingga mampu
menjawab secara aktual dan fungsional terhadap tantangan baru (Arifin, 1991: 8).

8

Terjadinya proses kegiatan pendidikan sampai sekarang tidak dapat dilepaskan
dari peran tokoh sebagai aktor utamanya. Banyak pembaru pendidikan yang
bermunculan dengan menawarkan beberapa pemikiran dan inovasi. Sebut saja Abdullah
Ahmad yang merasa sistem pendidikan tradisional yang sudah tidak relevan dan kurang
produktif. Karenanya kemudian ia menggantikannya dengan sistem klasikal, madrasah.
Akan tetapi karena melihat ketidakmungkinannya untuk melanjutkan sistem pendidikan
barunya akhirnya ia pindah ke padang dan mendirikan sekolah agama atau madrasah
dengan sebutan Adabiyah School (Abuddin Nata, 2005: 24). Selain itu juga ada
Muhammad Natsir sebagai tokoh nasional dan internasional, banyak pemikiranpemikiran beliau yang berdasarkan atas masalah–masalah pendidikan, salah satu
komentar beliau yaitu tentang sisi lain pendidikan pesantren dan madrasah yang
memang betul memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia, tapi tidak memberikan
bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi dan keterampilan yang memenuhi kebutuhan
masyarakat (Abuddin Nata, 2005: 24).

Tak ketinggalan pula KH. Ahmad Dahlan sebagai tokoh yang melakukan langkah
baru, yaitu pembaharuan pendidikan. Telah tercatat didalam sejarah bahwa tempat
belajar-mengajar setingkat madrasah ibtidaiyah berhasil didirikan KH Ahmad Dahlan.
Lembaga pendidikan KH Ahmad Dahlan tersebut merupakan madrasah pertama yang
dibangun oleh pribumi secara mandiri (Muh. Saerozi, 2013: 123).
Selain itu ada A. Malik Fadjar, yang merupakan tokoh pemikir pendidikan yang
bercorak modern, visioner dan futuristik yang berpegang teguh kepada semangat ajaran
al-Qur’an (Abuddin Nata, 2005:320). Pemikirannya sangat mendukung perkembangan
kemajuan pendidikan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan A. Malik Fadjar dianugerahi
penghargaan sebagai tokoh nasional yang berjasa dalam program UNESCO.
Penghargaan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) Kementrian

9

Pendidikan dan Kebudayaan ini diberikan langsung Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Anies Baswedan Ph. D di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jakarta, Kamis, 27 Agustus 2015 (http://uinjkt.ac.id/id-/malik-fadjar-raih-penghargaantokoh-pendidikan-nasional/). Selain itu tokoh yang lahir pada tahun 1949 ini memiliki
sikap yang percaya diri, baik dalam menjabat sebagai Menteri Agama ataupun Menteri
Pendidikan Nasional dan juga sebagai Dewan Pertimbangan presiden Jokowi tahun ini.
Gagasan-gagasan dan kebijakannya selalu mendapat respon positif bagi
kemajuan pendidikan. Intelektual dan kapabilitasnya di bidang pendidikan bisa dilihat
dari sejarah hidup yang diabdikannya pada lembaga pendidikan (Malik 2005: 3).
Gagasan yang disampaikannya tidaklah lepas dari pengaruh lingkungan tempat A. Malik
Fadjar tumbuh. Melalui ayahnya, Malik banyak belajar ilmu agama dan keagamaan.
Salah satu ajaran terpenting yang ditransmisikan kepada semua anak-anaknya adalah
percaya diri dan keberanian diri (Malik, 2005: 5).
Modal ini memberi rasa optimis dalam kehidupan Malik, sehingga dia tidak
pernah memikirkan

kesulitan menghadapi

masa depan. Malik muda sudah

menampakkan sikap percaya diri dan keberanian diri, mulai dari bangku SR lalu PGAP,
PGAA dan semakin tinggi manakala A. Malik Fadjar memasuki dunia mahasiswa di
STAIN Malang (Malik, 2005: 6).
Abdul A. Malik Fadjar memiliki banyak keberanian dalam berbagai hal,
termasuk juga menuangkan gagasan-gagasannya baik ketika menjadi pejabat ataupun
menjadi dosen. Gagasannya pun banyak yang terwujud melalui undang-undang yang
dirancangnya saat menjadi menteri, baik menteri agama atapun ketika menjadi menteri
pendidikan. Beberapa gagasan dan pemikiran A. Malik Fadjar terkait dengan madrasah,
pesantren, pendidikan tinggi dan lembaga pendidikan Islam lainnya.

10

Beberapa permasalahan menurut A. Malik Fadjar yang terjadi di PTI (ketika
tahun 1999), yaitu “Meskipun berbagai upaya telah ditempuh untuk menyatukan disiplin
ilmu umum dengan ilmu agama agar berada dalam satu atap, namun PTI-PTI hingga
kini belum menemukan bentuk yang mendekati ideal” (Malik, 1999: 107). Contohnya di
beberapa PTI yang membuka beberapa fakultas umum, seperti fakultas matematika atau
MIPA akan berakibat pada sedikitnya minat pada fakultas-fakultas agama, seperti
Ushuluddin.
Pendapat lainnya yang disampaikan oleh A. Malik Fadjar seputar perguruan
tinggi adalah terjadinya sintesis atau konvergensi dengan lembaga pesantren. A. Malik
Fadjar dalam bukunya mengatakan “Perguruan tinggi dan pesantren adalah dua tradisi
yang mempunyai banyak perbedaan” (2005: 219). Dari perkataan ini jika diamati secara
seksama maka memang banyak perbedaan diantara keduanya, yaitu mulai dari
perguruan tinggi yang merupakan gejala kota, identik dengan kemoderenan, dan lebih
menekankan pendekatan yang bersifat liberal. Sedangkan pesantren adalah gejala desa,
identik dengan ketradisionalan, dan berpusat pada figur sang kiai. Inilah yang mungkin
disebut dengan zaman pasca modern atau postmodern (A. Malik Fadjar, 2005: 224)
Persoalan teknis juga sering muncul karena adanya keharusan PTI berpayung dua
(Malik, 1999: 108). Disatu sisi berpayung pada Departemen agama dan sisi lainnya pada
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yang kemudian berakibat bingungnya PTIPTI dengan beberapa kebijakan-kebijakan keduanya, yang tidak jarang tidak singkron
bagi pengembangan PTI.
Melihat berbagai gagasan dari A. Malik Fadjar yang telah mampu memberikan
sumbang asih dalam kemajuan perguruan tinggi agama Islam Negeri menerangkan
bahwa A. Malik Fadjar bukan hanya sekedar memberikan pembaharuan, tetapi juga
sebagai pelaksana. Hal ini terbukti dari kebijakan-kebijakan yang di buatnya saat

11

menjadi

menteri.

Seperti

dalam

hal

otonomi

pendidikan,

mengupayakan

dilangsungkannya program wajib belajar 9 tahun, mengembangkan STAIN ke UIN, dan
lainnya. Maka dari itu penulis ingin meneliti tentang apa dan bagaimana pemikiran
Abdul Malik Fajar dalam pembaharuan kelembagaan perguruan tinggi agama Islam
negeri atau yang sekarang dikenal dengan pendidikan tinggi keagamaan Islam. Sehingga
judul

pada

penelitian

ini

adalah

“PEMBAHARUAN

KELEMBAGAAN

PENDIDIKAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM MENURUT A. MALIK
FADJAR”.

12

B. Penegasan Istilah
1. Pembaharuan
Ada beberapa peristilahan yang sering dikaitkan dengan pembaharuan, yakni
tajdid dan modernisasi. Peristilahan ini menunjukkan pada pemikiran, sikap, perilaku
yang harus ditinggalkan karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, guna
menggapai pemikiran, sikap, perilaku yang sesuai dengan zaman (Haidar dan
Nurgaya, 2013: 155).
Harun Nasution dalam bukunya Pembaharuan dalam Islam (1996: 11)
menyebutkan bahwa modernitas dalam masyarakat barat mengandung arti pikiran,
aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusiinstitusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Dengan demikian yang dimaksud dengan pembaharuan adalah menggantikan
pola berfikir yang tidak terpakai lagi dengan pola berfikir yang terpakai pada
zamannya yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Kelembagaan
Lembaga adalah institusi, badan hukum, atau organisasi yang menjadi tempat
atau wadah untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas tertentu (Jasa Ungguh
Muliawan, 2015: 213). Dalam bahasa Inggris, lembaga disebut institute (dalam
pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, dan
lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution, yaitu suatu
sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut
juga dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian non fisik disebut juga pranata
(Ramayulis, 2008: 277).

13

Sedangkan jika dalam konteks pendidikan, lembaga dimaknai sebagai suatu
institusi atau badan hukum atau yayasan atau organisasi yang dikenal dalam bentuk
sekolah, madrasah, pesantren atau lembaga kependidikan lainnya. Apabila disebut
sebagai lembaga pendidikan Islam maka dapat diartikan sebagai lembaga
penyelenggara proses kependidikan yang didirikan, dikelola, dilaksanakan dan
ditujukan umat Islam. Bila ditambah dengan imbuhan kata “ke” dan akhiran kata
“an” menjadi kelembagaan mengandung makna segala sesuatu yang berhubungan
dengan lembaga (Jasa Ungguh Muliawan, 2015: 213). Dari beberapa pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa kelembagaan adalah segaala sesuatu yang
berhubungan dengan lembaga baik dari kegiatan fisik ataupun non fisik.

3. Perguruan Tinggi Kegamaan Islam
Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi, yaitu pendidikan diatas jenjang pendidikan menengah, yang
mencakup program pendidikan Diploma, Sarjana, Magister, Spesialis dan Doktor
(Enoch Markum (ed). 2007: 19). PTAIN didirikan di Yogyakarta pada bulan
September 1951. Tujuan praktis di bentuknya PTAIN adalah untuk memenuhi dan
mengatasi kekurangan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam (Putra Haidar,
2009: 123).
Sejak dikeluarkannya UU No 12 tahun 2012, PTAIN berubah nama menjadi
PTKI atau perguruan tinggi keagamaan Islam. PTKI berbentuk universitas, institut,
sekolah tinggi akademi dan dapat berbentuk ma’had aly, pesantren, seminari, dan
bentuk lainnya yang sejenis.

4. A. Malik Fadjar

14

Dia adalah seorang tokoh Nasional Indonesia yang memiliki abdi kepada
masyarakat. Hal ini bisa diketahui dari beberapa kebijakan-kebijakannya dan juga
sumbang asih pemikirannya yang ditujukan untuk masyarakat luas di Indonesia
khususnya. Nama lengkapnya adalah A. Malik Fadjar M. Sc. Beliau semasa hidupnya
telah mampu berkiprah di berbagai bidang, baik pendidikan, sosial, spiritual bahkan
politik. Sehingga banyak amanah-amanah yang pernah dia emban di tempat kerja
ataupun organisasi yang diikutinya. Jabatan-jabatan yang pernah dia pegang adalah,
sebagai Dirjen Binbagas Departemen Agama RI, Menteri Agama pada tahun 1998
sampai tahun 1999, menjadi Mendiknas pada tahun 2001 sampai dengan 2004 dan
menjadi Menkokesra ad Interim pada tahun 2004 dan sekarang menjadi Dewan
Pertimbangan Presiden.
C. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka identifikasi masalahnya adalah
sebagai berikut:
Berbagai gagasan dari A. Malik Fadjar yang telah mampu memberikan sumbang
asih dalam kemajuan perguruan tinggi agama Islam menerangkan bahwa A. Malik
Fadjar bukan hanya sekedar memberikan pembaharuan, tetapi juga sebagai pelaksana.
Hal ini terbukti dari kebijakan-kebijakan yang di buatnya saat menjadi menteri.

D. Pembatasan Masalah
Peneliti menyadari keterbatasan kemampuan yang dimiliki, sehingga tidak akan
mampu membahas secara tuntas satu persatu pokok-pokok permasalahan diatas. Untuk
itu dalam skripsi ini peneliti membatasi pembahasan pada pandangan Malik Fadjar
tentang pembaharuan kelembagaan di pendidikan tinggi keagamaan Islam.

15

E. Rumusan Masalah
Berpijak dari permasalahan yang peneliti sampaikan, maka rumusan masalah
yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Apa maksud pembaharuan kelembagaan pendidikan tinggi keagamaan Islam menurut
A. Malik Fadjar?
2. Bagaimana pembaharuan kelembagaan pendidikan tinggi keagamaan Islam menurut
A. Malik Fadjar?

F. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui maksud pembaharuan kelembagaan pendidikan tinggi keagamaan
Islam menurut A. Malik Fadjar
2. Untuk mengetahui komponen-komponen pembaharuan kelembagaan pendidikan
tinggi keagamaan Islam menurut A. Malik Fadjar

G. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian tentang pembaharuan kelembagaan pendidikan Islam di
Indonesia menurut Malik Fadjar diharapkan bermanfaat secara praktis maupun teoritis
yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoitis
a. Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pendidikan umum dan pendidikan Islam khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat sebagai data untuk kegiatan
penelitian berikutnya.

16

2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna bagi semua pihak yang terlibat
dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan tinggi.

17

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori
1. Pembaharuan
a. Pengertian Pembaharuan
Ada beberapa peristilahan yang sering dikaitkan dengan pembaharuan,
yakni tajdid dan modernisasi. Peristilahan ini menunjukkan pada pemikiran, sikap,
perilaku yang harus ditinggalkan karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, guna menggapai pemikiran, sikap, perilaku yang sesuai dengan zaman
(Haidar dan Nurgaya, 2013: 155). Dengan demikian yang dimaksud dengan
pembaharuan adalah menggantikan pola berfikir yang tidak terpakai lagi dengan
pola berfikir yang terpakai pada zamannya.
Harun Nasution dalam bukunya Pembaharuan dalam Islam (1996: 11)
menyebutkan bahwa modernitas dalam masyarakat barat mengandung arti pikiran,
aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusiinstitusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Berkenaan dengan pengertian diatas, jika dilihat dengan kaca mata Islam
maka ajaran Islam itu sendiri dibagi menjadi 2 yaitu qath’i dan zanni. Arti dari
qathi sendiri adalah sesuatu yang sudah jelas dan tegas serta tidak perlu lagi
1

memperoleh interprestasi serta
15 tidak terpengaruh dengan kemajuan zaman.
Sedangkan zanni adalah ajaran yang memerlukan interprestasi atau pembaharuan.
Yang inti dari pembaharuan ini adalah diawali dengan perubahan pemikiran, dan
perubahan pemikiran hakikatnya dari pembaharuan.

18

Pembaharuan dalam pendidikan Islam adalah pembaharuan dalam hal-hal
yang terkait dengan pendidikan Islam, baik secara metodologinya pengajarannya,
kurikulumnya ataupun kelembagaannya yang berdasarkan dari sumber Islam
(Haidar dan Nurgaya, 2013: 173).

b. Sejarah pembaharuan
Pembaharuan pendidikan Islam sudah dilakukan di berbagai wilayah dunia,
seperti di Mesir. Pembaruan pendidikan ini dilakukan oleh Muhammad Ali Pasha
dengan membangun berbagai lembaga pendidikan umum dan keterampilan. Selain
di Mesir pembaruan pendidikan juga dilakukan di Turki, yang dilakukan oleh
Sultan Mahmud II dengan banyak mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
umum. Lain juga dengan pembaruan yang dilakukan di India oleh Sayyid Ahmad
Khan yang mendirikan Universitas Alighar, Muhammad Anglo Oriental College di
Alighar. Dan juga berkembangnya Madrasah Doeband yang ditingkatkan menjadi
perguruan tinggi yang bernama Darul Ulum Doeband. Melihat fenomena ini
Indonesia juga ikut dalam pembaruan ini, yaitu dimulai di Sumatera Barat oleh
Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Taher Jalaluddin, Haji Karim Amrullah,
Haji Abdullah Ahmad, Syekh Ibrahim Musa, Zainudin Labai Al Yunus, yang
kesemuanya adalah dari Minangkabau. Pembaruan yang mereka lakukan adalah
dengan menerbitkan majalah (Al Imam dan Al Mannar), mendirikan sekolah
Abdiyah di padang, dan Diniyah School di padang panjang (Haidar dan Nurgaya,
2013: 173).
Munculnya gerakan pembaruan di Indonesia pada awal abad 20 dilatar
belakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks. Karel A Steenbrink
mengidentifikasi 3 faktor yang mendorong gerakan pembaruan Islam di Indonesia

19

awal abad 20, antara lain: (1). Faktor keinginan untuk kembali kepada al Qur’an
dan al Hadist, (2). Faktor semangat nasionalisme dalam melawan penjajah, (3).
Faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik (Maksum,
1999: 82). Tokoh pembaruan kelembagaan pendidikan Islam lainnya kiranya
seperti, Muhammad Natsir yang sebagai tokoh nasional dan internasional, banyak
pemikiran-pemikiran beliau yang berdasarkan atas masalah–masalah pendidikan,
salah satu komentar beliau tentang sisi lain pendidikan pesantren dan madrasah
yang memang betul memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia, tapi tidak
memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi dan keterampilan yang
memenuhi kebutuhan masyarakat (Abuddin Nata, 2005: 24).
Tak ketinggalan pula KH. Ahmad Dahlan sebagai tokoh yang melakukan
langkah baru, yaitu pembaruan pendidikan. Telah tercatat didalam sejarah bahwa
tempat belajar-mengajar setingkat madrasah ibtidaiyah berhasil didirikan KH
Ahmad Dahlan. Lembaga pendidikan KH Ahmad Dahlan tersebut merupakan
madrasah pertama yang dibangun oleh pribumi secara mandiri (Muh. Saerozi,
2013: 123).

2. Kelembagaan Pendidikan
a. Pengertian kelembagaan pendidikan
Lembaga pendidikan adalah badan atau instansi baik negeri maupun swasta
yang melaksanakan kegiatan mendidik (Arikunto dan Yuliana, 2012: 15). Dengan
pengertian ini yang dimaksud dengan lembaga pendidikan, bukan hanya
pendidikan formal, akan tetapi juga nonformal, seperti keluarga, kursus,
bimbingan belajar dan lainnya. Di Indonesia terdapat banyak sekali lembaga
pendidikan dengan tujuan, kurikulum dan lulusan yang berbeda.

20

Menurut

Arikunto

dan

Yuliana

(2012,

17-20)

berdasarkan

penyelenggaraannya lembaga-lembaga pendidikan dapat dibedakan atas, lembaga
pendidikan negeri dan lembaga pendidikan swasta. Lembaga pendidikan negeri
dapat diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan seperti SD,
SMP, SMA, SMIK, SMEA, SGO dan berbagai perguruan tinggi. Selain itu juga
dapat diselenggarakan oleh Departemen-departemen selain dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Seperti Departemen Agama yang menyelenggarakan
MI, MTs, MAN, IAIN, dan UIN, Departemen Hankam yang menyelenggarakan
lembaga pendidikan tingkat perguruan tinggi (AKABRI, SMA TN, UPN Veteran),
Departemen kesehatan dengan Akademi Perawat, Akademi kebidanan dan
departemen-departemen lainnya seperti Departemen sosial, Departemen pertanian,
Dapartemen dalam negeri dan lainnya. Sedangkan lembaga pendidikan swata
seperti PAUD, taman kanak-kanak pembina, SD, SLB, dan lain sebagainya.
Sedangkan arti kelembagaan adalah seperangkat aturan, peran, norma, dan
harapan yang mengatur seseorang/kelompok dalam berperilaku dan menentukan
piilhan yang dibentuk oleh organisasi sebagai pembatas sosial. Atau juga dapat
diartikan, kepercayaan-kepercayaan, paradigma-paradigma, kode-kode, budayabudaya dan pengetahuan yang mendukung aturan-aturan dan rutinitas-rutinitas
(Andy dan Oscar, 2014:19).
Dari pernyataan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kelembagaan
pendidikan adalah aturaan-aturan, norma-norma yang mengatur suatu lembaga
atau instansi pendidikan. Aturan-aturan tersebut berupa komponen-komponen
yang dapat membuat lembaga pendidikan itu ada.
b. Komponen lembaga pendidikan

21

Secara umum diketahui bahwa dalam lembaga pendidikan selalu terdapat
komponen-komponen penting yang menentukan keberhasilan lembaga tersebut.
Komponen-komponen yang dimaksud adalah: (Arikunto dan Yuliana, 2012: 1516)

1) Komponen siswa
Yaitu subjek yang menurut jenis dan sifat lembaganya dapat disebut
sebagai: mahasiswa, siswa, peserta kursus (Arikunto dan Yuliana, 2012: 15).
Dalam pendidikan tinggi peserta didiknya disebut dengan mahasiswa. UU No
12 tahun 2012 menjelaskan bahwa mahasiswa sebagai anggota sivitas
akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri
dalam mengembangkan potensi diri di perguruan tinggi untuk menjadi
intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional.
Mahasiswa yang dimaksud selanjutnya dijelaskan bahwa secara aktif
mengembangkan potensinya dengan melakukan pembelajaran, pencarian
kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan dan pengalaman suatu
cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi untuk menjadi ilmuwan,
intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang berbudaya. Adapun beberapa
hal-hal lain mengenai mahasiswa yang tercantum dalam UU No 12 tahun
2012 adalah sebagai berikut.
a)

Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan
penalaran dan akhlak mulia serta bertanggungjawab sesuai dengan
budaya akademik.

b) Mahasiswa berhak mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan bakat,
minat, potensi dan kemampuannya.

22

c)

Mahasiswa dapat menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan
kecepatan belajar masing-masing dan tidak melebihi ketentuan batas
waktu yang ditetapkan oleh perguruan tinggi.

d) Mahasiswa berkewajiban menjaga etika dan menaati norma pendidikan
tinggi untuk menjamin terlaksananya tridharma dan pengembangan
budaya akademik.
e)

Mahasiswa mengembangkan bakat, minat dan kemampuan dirinya
melalui kegiatan kokurikler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari
proses pendidikan.

2) Komponen guru
Yaitu subjek yang memberikan pelajaran, yang sebutannya dapat: guru,
dosen, penyaji, penatar (Arikunto dan Yuliana, 2012: 15). Dalam pendidikan
tinggi tenaga pengajarnya adalah dosen. Di UUD No 12 tahun 2012
menyebutkan bahwa, dosen sebagai anggoota sivitas akademika memiliki
tugas mentransformasikan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi yang dikuasai
kepada mahasiswa dengan mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran
sehingga mahasiswa aktif mengembangkan potensinya. Sedangkan dalam
Peraturan Menteri No 3 Tahun 2016, menuliskan bahwa dosen adalah
pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan,
mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi
melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Adapun tugas lain yang diemban oleh dosen berdasarkan UU No 12
tahun 2012 pasal 12 adalah, pertama sebagai ilmuwan memiliki tugas
mengembangkan cabang ilmu pengetahuan dan atau teknologi melalui

23

penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya. Kedua, baik
perorangan atau berkelompok wajib menulis buku ajar atau buku teks, yang
diterbitkan oleh Perguruan Tinggi dan/atau publikasi ilmiah sebagai salah satu
sumber belajar dan pengembangan budaya akademik serta pembudayaan
kegiatan baca tulis bagi sivitas akaemika.

3) Komponen kurikulum
Yaitu materi atau bahan pelajaran yang diajarkan, yang memberikan
ciri pada lembaga pendidikan tersebut dan mencerminkan kualitas lulusannya
(Arikunto dan Yuliana, 2012: 16). Pengertian kurikulum adalah materi atau
bahan pelajaran yang diajarkan, yang memberikan ciri pada lembaga
pendidikan tersebut dan mencerminkan kualitas lulusannya. Kurikulum dapat
diibaratkan sebagai jalan yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan.
Dalam arti sempit, kurikulum adalah mata pelajaran yang akan
diajarkan. Sedangkan dalam arti luas adalah seluruh kegiatan yang dirancang
untuk mencapai tujuan pendidikan yang dilaksanakan didalam maupun diluar
sekolah, karena itulah kurikulum dibagi kepada intrakurikuler, kokurikuler,
ekstra kurikuler dan hidden kurikuler (Haidar, 2007: 133-134).
Dalam konteks sejarahnya, kurikulum sering melakukan perubahan,
guna

menyesuaikan

kondisi

pada

waktu/zaman-zaman

tertentu.

Penyempurnaan kurikulum pendidikan tinggi terus dilakukan, terakhir
kurikulum nasional pada tahun 1995 yang kemudian di tindaklanjuti dengan
keputusan Menteri Agama Nomor 383 tahun 1997 (Haidar, 2007: 131).
Kurikulum ini ada dua macam, yaitu kurikulum inti yang berlaku untuk
seluruh perguruan tinggi Islam dan kurikulum lokal yang diberlakukan khusus

24

untuk perguruan tinggi Islam setempat sesuai dengan kebutuhan lokal.
Kurikulum inti dibagi menjadi tiga kategori, yaitu Mata Kuliah Umum
(MKU), Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK) dan Mata Kuliah Keahlian
(MKK).
Setelah diberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di
perguruan tinggi Islam sejak tahun 2000-an, maka kurikulumnyamengacu
pada struktur yang diberlakukan untuk itu, yakni mata kuliah dibagi kepada
beberapa kelompok: Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian,
Mata Kuliah Keilmuan dan Ketrampilan (MKK), Mata Kuliah Keahlian
Bekerja (MKB), Mata Kuliah Prilaku Berkarya (MPB), Mata Kuliah
Berkehidupan Masyarakat (MBB) (Haidar, 2007: 131-132).
Dalam UU No 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, kurikulum
diartikan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi. Kurikulum ini
dikembangkan oleh setiap perguruan tinggi dengan mengacu Standar Nasional
Pendidikan Tinggi.
Pada kurikulum ini, ada mata kuliah wajib untuk program sarjana dan
diploma, yaitu agama, pancasila, kewarganegaraan dan bahasa Indonesia.
Selain itu kurikulum di pendidikan tinggi juga bisa dilaksanakan melalui
kegiatan kurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler (Lihat UU 12 Tahun 2012
pasal 35). Kurikulum ini masih mendasarkan pada pencapaian kemampuan
yang telah disetarakan untuk menjaga mutu lulusannya. Kurikulum ini dikenal
dengan nama Kurikulum Pendidikan Tinggi (Buku Panduan Kurikulum Dikti,
2014).

25

Melalui peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012
tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, dorongan sekaligus
dukungan untuk mengembangkan sebuah ukuran kualifikasi lulusan
pendidikan Indonesia dalam bentuk sebuah kerangka kualifkasi, yang
kemudian dikenal dengan nama Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI). Peraturan RI No 8 Tahun 2012 menyatakan bahwa:
Kerangka Kualifikasi Nasional Pendidikan Indonesia, yang
selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi
kompetensi

yang

dapat

menyandingkan,

menyetarakan

dan

mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja
serta

pengalaman

kerja

dalam

rangka

pemberian

pengakuan

kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor.
Konsep kurikulum ini adalah:
1) Mengutamakan kesetaraan capaian pembelajaran (mutu)
2) Terdiri dari sikap dan tata nilai, kemampuan kerja, penguasaan
keilmuwan, kewenangan dan tanggung jawabnya
3) Perumusan capaian pembelajaran minimal tercantum pada SNPT
4) Hasil kesepakatan prodi sejenis
Adapun peran dari kurikulum adalah:
1) Sumber kebijakan manajemen pendidikan untuk menentukan arah
penyelenggaraan pendidikannya
2) Filosofi yang mewarnai terbentuknya masyarakat dan iklim akademik
3) Patron atau pola pembelajaran, yang mencerminkan bahan kajian, cara
penyampaian dan hasil pembelajaran

26

4) Atmosfer atau iklim yang terbentuk dari hasil interaksi manajerial
perguruan tinggi dalam mencapai tujuan pembelajarannya
5) Rujukan kualitas dari proses penjminan mutu
6) Ukuran keberhasilan perguruan tinggi dalam menghasilkan lulusan
yang bermanfaat bagi masyarakat
Perguruan tinggi dalam era pasal global ini, harus membenahi diri
dalam berbagai hal, paling tidak kompetensi para lulusannya. Para mahasiswa
tidak boleh hanya dibekali pengetahuan apa adanya, asal lulus, tetapi justru
pendalaman pada bidang yang digelutinya. Ada kompetensi umum yang
masih diperlukan dan dikuasai di perguruan tingigi, yaitu kompetensi dalam
berkomunikasi internasional, kompetensi dalam pengunaan komputer, sikap
kerja yang bermutu, kerjasama dan kemampuan mengekspresikan diri
(Hasbullah, 2015: 237).

4) Komponen sarana dan prasarana
Yaitu komponen penunjang terlaksananya proses pengajaran. Sarana
prasarana adalah komponen penunjang terlaksananya proses pengajaran.
Keberadaan sarana pendidikan mutlak dibutuhkan dalam proses pendidikan,
sehingga

termasuk

dalam

komponen

yang

harus

dipenuhi

dalam

melaksanakan proses pendidikan. Tanpa sarana pendidikan, proses pendidikan
akan mengalami kesulitan yang sangat serius, bahkan bisa menggagalkan
pendidikan (Qomar, 2007: 170).
Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara
langsung dipergunakan dalam proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang
kelas, meja kursi, serta media pengajaran. Adapun prasarana pendidikan

27

adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses
pengajaran, seperti halaman, kebun, taman sekolah dan jalan menuju sekolah.
Jika prasarana dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar
seperti taman sekolah untuk mengajarkan biologi atau halaman sekolah
menjadi lapangan olahraga, maka komponen tersebut berubah menjadi sarana
pendidikan (Qomar, 2007: 170).
Tujuan dari penyediaan sarana prasarana menurut UU No12 tahun
2012 adalah untuk memenuhi keperluan kependidikan sesuai dengan bakat,
minat, potensi dan kecerdasan mahasiswa. Adapun standar prasarana
berdasarkan Permendikbud No 49/2014 pasal 30-36, paling sedikit terdiri dari:
a) Lahan
b) Ruang kelas
c) Perpustakaan
d) Laboratorium/studio/bengkel kerja/ unit produksi
e) Tempat berolahraga
f) Ruang untuk kesenian
g) Ruang unit kegiatan mahasiswa
h) Ruang pimpinan perguruan tinggi
i) Ruang dosen
j) Ruang tata usaha
k) Fasilitas umum

5) Komponen pengelolaan
Pengelolaan perguruan tinggi adalah kegiatan, jalur, jenjang dan jenis
pendidikan tinggi melalui pendirian perguruan tinggi oleh pemerintah

28

dan/atau Badan Penyelenggara untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi (PP.
No 4 tahun 2014 pasal 1). Dalam pengelolaan perguruan tinggi, mempunyai
beberapa pengaturan didalamnya seperti yang dituliskan di PP No 4 tahun
2014 di pasal 21, yaitu mengenai otonomi perguruan tinggi, pola pengelolaan,
tata kelola perguruan tinggi dan akuntabilitas publik.
Pertama, perguruan tinggi baik perguruan tinggi negeri atau perguruan
tinggi negeri badan hukum, ataupun perguruan tinggi swasta memiliki
otonomi untuk mengelola lembaganya sendiri. Otonomi yang dilakukan
adalah di bidang akademik dan nonakademik. Kedua adalah pola pengelolaan
perguruan tinggi negeri yang terbagi menjadi 3 bentuk pengelolaan. Yakni
perguruan tinggi negeri dengan dengan pola keuangan negara pada umumnya
yang dilaksanakan berdasarkan evaluasi kinerja oleh menteri terhadap
perguruan tinggi negeri. Pola pengelolaan lainnya adalah perguruan tinggi
dengan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum atau perguruan
tinggi negeri sebagai badan hukum. Penetapan perguruan tinggi negeri dengan
pola pengelolaan keuangan badan layanan umum dilakukan dengan pemetaan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan atau
usul menteri. Sedangkan penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan
hukum dilakukan dengan peraturan pemerintah.
Ketiga adalah tata kelola perguruan tinggi. Dalam mengelola
perguruan tinggi setidaknya ada 5 unsur didalamnya. Yaitu penyusun
kebijaksanaan, atau senat yang menjalankan fungsi penetapan dan
pertimbangan pelaksanaan kebijakan akademik. Kedua, ada pemimpin
perguruan tinggi yang dibantu oleh 2 orang wakil. Tugasnya adalah
menjalankan fungsi penetapan kebijakan nonakademik dan pengeloaan

29

perguruan tinggi atas nama menteri. Ketiga, ada pengawas dan penjamin mutu
yang bertanggung jawab kepada pemimpin perguruan tinggi. Keempat, adanya
penunjang akademik atau sumber belajar dan kelima, terdapat pelaksana
administrasi atau tata usaha. Pengaturan yang terakhir, yaitu akuntabilitas
publik perguruan tinggi, yang bisa diwujudkan melalui pemenuhan atas:
a) Kewajiban untuk menjalankan visi dan misi pendidikan tinggi nasional
sesuai izin perguruan tinggi dan izin program studi yang ditetapkan oleh
menteri.
b) Target kinerja yang ditetapkan oleh menteri, Majelis Wali Amanat bagi
perguruan tinggi negeri badan hukum atau badan penyelenggaraan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-udangan bagi perguruan tinggi
swasta.
c) Standar nasional pendidikan tinggi melalui penerapan sistem penjaminan
mutu pendidikan yang ditetapkan oleh menteri.
Terakhir adalah akuntabilitas publik, akuntabilitas suatu lembaga
pendidikan tinggi berarti sejauh mana lembaga tersebut mempunyai makna
dari the share holder lembaga tersebut yaitu masyarakat. Suatu lembaga
pendidikan tinggi tidak mempunyai nilai akutabilitas apabila lembaga tersebut
terlepas dari jangkauan atau kebutuhan masyarakat yang memilikinya. Dalam
upaya meningkatkan akuntabilitas perguruan tinggi, maka perlu ditingkatkan
partisipasi masyarakat didalam pengelolaannya. Hal ini berarti masyarakat
merasa memiliki dan karenanya aktif menunjang pengembangannya.
Konteksnya dengan hal itu, berarti perguruan tinggi berfungsi tidak hanya
sebagai pengembang dan tempat menggali ilmu pengetahuan, tetapi lebih jauh
bisa dikatakan sebagai industri jasa. Dengan kata lain, perguruan tinggi perlu

30

memerhatikan kebutuhan-kebutuhan perkembangan ekonomi atau tenaga
kerja yang diperlukan di daerah dimana lembaga pendidikan tinggi itu berada
(Hasbullah, 2015: 232).
Secara harfiah dan substantif materi, akuntabilitas yang menyangkut
bagaimana sumber daya yang diterima oleh perguruan tinggi dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya untuk berbagai aktivitas yang menunjang pencapaian
yang diinginkan. Akuntabilitas tersebut antara lain menyangkut derajat
efisiensi dan kesesuaian dengan norma dan peraturan yang berlaku umum.
Akan tetapi, akuntabilitas yang dituntut dari perguruan tinggi menyangkut
juga hal-hal yang lebih luas dari hanya akutabilitas. Paling tidak akuntabilitas
menyangkut hal-hal seperti (1) kesesuaian antara visi dengan falsafah, moral,
dan etika yang dianut secara umum oleh masyarakat, (2) kesesuaian antara
tujuan dengan pola kegiatan civitas akademika serta hasil dan dampak yang
dicapai, (3) keterbukaan terhadap pengawasan dan pemantauan oleh pihak
yang berkepentingan mengenai penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan
fungsionalnya yang meliputi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, (4) akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya dalam upaya
pencapaian tujuan yang ditetapkan, (5) aktualisasi asas otonomi dan
kebebasan akademik agar tidak disalahgunakan atau menyimpang dari
peraturan dan kesepakatan yang ditetapkan sebagai rambu-rambu, (6)
kesadaran para civitas akademika bahwa aktualisasi perilakunya tidak
mengganggu pelaksanaan kegiatan fungsional lembaga dan juga masyarakat
pada umumnya (Hasbullah, 2015: 233-234).

3. Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam

31

a. Pengertian pendidikan tinggi keagamaan Islam
Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan
Pendidikan Tinggi, yaitu pendidikan diatas jenjang pendidikan menengah, yang
mencakup program pendidikan Diploma, Sarjana, Magister, Spesialis dan Doktor
(Enoch Markum (ed). 2007: 19). Di Indonesia pelembagaan perguruan tinggi dapat
berbentuk Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas (menurut
Himpunan Perundang-undangan RI Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, 1992).
Pendidikan tinggi diselenggarakan untuk menyajikan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat
menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi
dan/atau kesenian (Enoch Markum (ed). 2007: 19).
Perguruan Tinggi Islam di Indonesia didirikan untuk memenuhi kebutuhan
tenaga guru di Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam dan tenaga dosen agama
Islam di perguruan tinggi umum, yang kemudian bernama perguruan tinggi agama
Islam (PTAIN) atau institut agama Islam negeri (IAIN). Dalam pasal 2 Peraturan
Pemerintah No. 34 Tahun 1950, dinyatakan bahwa perguruan tinggi agama Islam
bermaksud

untuk

memberi

pelajaran

tinggi

dan

menjadi

pusat

untuk

memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam
(Zuhraini, 1997: 197).
Ciri Khas yang menandai perguruan tinggi agama Islam terlihat secara jelas
pada beban studi yang ditawarkan kepada mahasiswa dan produk yang
dihasilkannya. Sebagai wahana pengembangan sumber daya manusia (SDM),
perguruan tinggi agama Islam secara konsisten berupaya menghasilkan produk yang
memiliki berbagai kompetensi. Diantara kompetensi akademik yang berkaitan
dengan metodologi keilmuan, kompetensi profesional yang menyangkut dengan

32

kemampuan penerapan ilmu dan teknologi dalam realitas kehidupan, dan
kompetensi intelektual yang berkaitan dengan kepekaan terhadap persoalan yang
berkembang (Yakub dalam Perguruan Tinggi Agama Islam di Era Globalisasi,
Syahrin (ed), 1998: 4).
Perguruan tinggi agama Islam negeri baru beroperasi (kuliah perdana) pada
tahun 1951, dengan jumlah mahasiswa 67 orang dan 28 orang siswa persiapan.
Perguruan tinggi agama Islam negeri ini mempunyai Jurusan Tarbiyah, Qadha dan
Dakwah dengan lama belajar 4 tahun pada tingkat bakalaureat dan doktoral (Haidar
Putra, 2007: 123). Setelah perguruan tinggi agama Islam negeri berusia kurang lebih
9 tahun, maka lembaga pendidikan tinggi telah mengalami perkembangan. Dengan
perkembangan tersebut dirasakan bahwa tidak mampu menampung keluasan
cakupan ilmu-ilmu keislaman tersebut kalau hanya berada dibawah satu payung
fakultas saja. Berkenaan dengan itu timbullah ide-ide, gagasan-gagasan untuk
mengembangkan cakupan perguruan tinggi agama Islam negeri kepada yang lebih
luas (Haidar Putra, 2007: 125). Salah satunya dengan perubahan nama menjadi
pendidikan tinggi keagamaan Islam atau disingkat PTKI. Seperti yang tersebut di
UU No 20 tahun 2012, yang berbunyi
(1)

Pemerintah

atau

masyarakat

dapat

menyelenggarakan

pendidikan tinggi keagamaan (2) Pendidikan tinggi keagamaan yang
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berbentuk universtas, institut, sekolah
tinggi, akademi dan dapat berbentuk ma’had aly, pesantren, seminari, dan
bentuk lainnya yang sejenis.

b. Sejarah dan perkembangan pendidikan tinggi keagamaan Islam

33

Mahmud Yunus, dalam bukunya Haidar (2007: 119) mengemukakan bahwa
di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 9 Desember 1940 telah berdiri perguruan
tinggi Islam yang dipelopori oleh Persatuan Guru Agama Islam (PGAI). Menurut
Yunus perguruan tinggi ini yang pertama di Sumatera Barat bahkan di Indonesia.
Dijelaskan oleh Nizar (2013, 335) bahwa lembaga pendidikan ini memiliki dua
fakultas yaitu Syariah dan Pendidikan serta bahasa Arab. Tujuannya untuk mendidik
dan mencetak ulama-ulama handal yang berwawasan luas.
Tindakan lebih lanjut di Sumatera Barat didirikan Sekolah Islam Tinggi
(SIT) dan Yogyakarta berdiri Sekolah Tinggi Islam (STI) pada tahun 1945, yang
kemudian menjadi cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII). Sejarah perguruan
tinggi Islam ini merupakan momentum terpenting ketika pada tahun 1950
pemerintah mengambil alih Fakultas Agama yang ada di Yogyakarta, yaitu di UII
diserahkan kepada kementrian agama yang kemudian menjadi perguruan tinggi
agama Islam negeri (PTAIN) sebagai cikal bakal Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) melalui PP No. 34 Tahun 1950 (Nizar, 2013: 335). Pada bulan Juni 1957 di
Jakarta di buka Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) oleh Departemen Agama
(Zuhraini, 1997: 197). AIDA ditujukan untuk meningkatkan kualitas pegawai negeri
dalam bidang keagamaan (Nizar, 2013: 336).
Pada bulan Mei 1

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

ANALISIS VALIDITAS BUTIR SOAL UJI PRESTASI BIDANG STUDI EKONOMI SMA TAHUN AJARAN 2011/2012 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN JEMBE

1 50 16

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

JUDUL INDONESIA: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO\ JUDUL INGGRIS: IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

1 56 92

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER PADA CERPEN-CERPEN KARYA SISWA SMP DALAM MAJALAH HORISON DAN IMPLIKASINYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA DI SMP

2 33 89

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TANJUNG KARANG PERKARA NO. 03/PID.SUS-TPK/2014/PT.TJK TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DANA SERTIFIKASI PENDIDIKAN

6 67 59

PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH PADA SEKTOR PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PROVINSI SUMATERA SELATAN

3 52 68