Representasi Status Janda Dalam Teks Sas

Representasi Status Janda1
Dalam Teks Sastra Indonesia dan Bali Modern
Tahun 1928-2012
Oleh : Luh Yesi Candrika, S.S.
Pendahuluan
Setiap perempuan yang telah menjadi seorang istri, tentu tidak menginginkan adanya
permasalahan di dalam pernikahannya, termasuk menyandang status sebagai seorang janda. Status janda
yang digambarkan oleh seorang sastrawan dalam cerita-ceritanya adalah bahwa menjadi seorang janda
agar tetap dapat menjaga martabat keluarga suami dan menjalankan tanggungjawab sebagai seorang ibu
dalam rumah tangga. Seorang janda tidak harus menikah kembali pasca kepergian suaminya, sehingga
dapat fokus untuk keluarga dan masa depan keluarganya. Kehadiran seorang tokoh laki-laki yang akan
menikahi seorang janda¹ sangat jarang dimunculkan oleh seorang perngarang. Hubungan mereka hanya
sampai pada pertemanan, kisah tak sampai, atau bahkan menjadi seorang selingkuhan dari suami orang.
Sejauh pengamatan yang dilakukan dari beberapa karya sastra yang mengisahkan tentang janda dan
kehidupannya, seorang janda tidak diceritakan merasakan indahnya pelaminan untuk yang keduakalinya.
Janda dalam beberapa cerita masih melukiskan citra seorang janda. Antara citra yang baik di masyarakat
dengan yang kurang baik.
Sebagian besar pengarang yang pernah menuliskan kisah tentang seorang janda dalam
kesendiriannya tersebut, yakni segala luapan cinta dan curahan hati hanya diberikan untuk keluarganya,
terutama anak-anaknya. Hal ini terdapat dalam karya sastra berbahasa Indonesia yang ditulis sastrawan
Bali maupun Indonesia. Sebuah pesan yang seolah hadir dari cerita- cerita tersebut yang menyatakan,

bahwa seorang janda diusahakan tidak menikah kembali sebagai karena memiliki tanggungjawab pada
keluarga. Pengorbanan para janda adalah sebuah tanggungjawab yang semenjak dahulu selalu menarik
perhatian masyarakat.
Sejak dahulu dalam sebuah tradisi di Bali, kenyataannya pengorbanan seorang janda memang
telah dilakukan. Berbagai catatan dititipkan kepada generasi berikutnya mengenai pengorbanan seorang
janda. Covarrubias, dalam tulisannya membuka lembaran-lembaran catatan tersebut, yakni John Crawfrud
yang seorang sejarawan tersebut, memberi catatan dalam bahasa Inggris mengenai pembakaran janda
yang terjadi pada tahun 1663.
¹ Istilah janda yang dimaksudkan dalam tulisan ini merupakan seorang istri yang tidak memiliki seorang
suami.
1

Hal itu terjadi ketika Belanda mengirim utusan ke Bali untuk mengajak pangeran Gelgel yang
pada saat itu penguasa tunggal, untuk melawan sekutunya, yakni Sultan Mataram yang menyerang
Batavia. Belanda menemukan sang raja membuat persiapan kremasi untuk istri dan anaknya. Selain itu,
catatan menarik lainnya mengenai pembakaran janda, yakni catatan Friederich mengenai Dewa Manggis,
Raja Gianyar yang berlangsung pada tanggal 22 Desember 1847, yang diikuti oleh istri dan anak-anak
mereka (1937 : 426-429).² Berdasarkan catatan-catatan di atas menunjukkan, bahwa ketika seorang suami
telah meninggal dan istri menjadi seorang janda, maka sang istri harus mengikuti kematian sang suami.
Dalam ranah tradisi, tentu akan melihat peristiwa tersebut berada dalam konteks ikatan pernikahan.

Pada sebuah keterbatasan sepertinya cukup sulit untuk menemukan kebebasan seorang janda
dalam konteks hak asasinya sebagai seorang manusia. Di zaman yang serba modern, segala sesuatunya
menjadi rumit dan kompleks. Sebuah kebudayaan tertentu tengah menghadapi tantangan masa depan
kebudayaannya sendiri dan tantangan terhadap kebudayaan lain yang masuk. Persoalan mengenai janda
nampaknya dapat dipandang dalam perspektif modernitas, sebagai bentuk kebebasan. Namun, berkaca
pada realita yang digambarkan pengarang dalam karya tersebut, mengapa seorang pengarang tidak
membiarkan tokoh janda yang diungkapkan dalam cerita-ceritanya untuk kembali menikah dan memasuki
jenjang rumah tangga? Pesan apakah yang termuat dalam teks-teks sastra yang mencegah pernikahan
janda.
Persoalan Keluarga dan Masyarakat
Cerita yang menyinggung kisah seorang janda dan kehidupan rumah tangganya, bukanlah hal
yang baru. Sebut saja epos besar Mahabarata yang lahir pada abad ke-9, terdapat bagian cerita yang
mengisahkan perjuangan seorang janda, yaitu Kunti dengan kelima putranya. Masa berikutnya, yakni
Abimanyu yang merupakan putra Arjuna meninggal, sehingga sang istri yaitu Ksitisundari menjadi
seorang janda. Tema-tema cerita yang mengangkat janda tetap menarik perhatian seorang sastrawan
dalam proses kreatifnya. Pada delapan dekade terakhir antara 1920-an sampai 2012, perhatian pengarang
mengenai seorang wanita, khususnya janda masih menjadi sorotan oleh sastrawan Bali maupun
Indonesia.

2


² Covarrubias, Miguel. 2013. Pulau Bali : Temuan Yang Menakjubkan. Denpasar : Udayana University
Press.
Ketika status janda telah disematkan pada seorang istri, maka persoalan yang akan dihadapi
dalam hidupnya adalah keluarga dan masyarakat. Hampir di sebagaian besar cerita-cerita yang ditulis oleh
para sastrawan, adalah mengenai janda dalam lingkup keluarga yang dikaitan dengan tanggungjawab dan
kewajiban. Tanggungjawab dan kewajiban yang dimaksudkan adalah mengurus rumah tangga dalam
perananan seorang Ibu, sekaligus seorang Ayah. Hal ini nampak jelas dituliskan dalam karya-karya para
sastrawan.
Kehebatan seorang janda dalam tanggungjawabnya terhadap keluarga diekspresikan dengan
beragam. Salah satunya, dalam novel Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis.³ Hanafi, tokoh pria utama
dalam Salah Asuhan yang mengenyam pendidikan Belanda telah membuatnya merasa terasing, dan itu
merupakan kebalikan yang aneh dari keindonesiaan ‘sejati’ Corrie, tokoh wanita novel ini. Cerita ini
mengambil setting di Solok, Sumatra, dan Betawi (Jakarta). Kisah Postkolonial ini, dimaksudkan
mengingatkan pembaca Indonesia mengenai bahaya pendidikan Eropa. Namun, jika kembali pada cerita
awal, yakni melihat tokoh janda dalam peranannya sebagai seorang Ibu, sosok Ibu Hanafi adalah Ibu
yang bertanggungjawab pada keluarganya dan mengusahakan pendidikan terbaik untuk anaknya dengan
menyekolahkan Hanafi ke Jakarta di HBS, yang merupakan sekolah orang-orang Eropa. Kisah janda
dalam cerita ini tetap berupaya menjaga harkat dan martabat keluarga di masyarakat. Inilah sosok janda
yang digambarkan berkutat pada masa depan anaknya.

Pada cerpen lainnya, yakni Mbok jah (1994), Perhatian Umar Kayam terhadap kaum priyayi,
sepertinya sangat mendalam. Pada tahun 1992, Umar Kayam juga telah mengarang sebuah novel yang
berjudul Para Priyayi terbitan Pustaka Utama. Perhatian Umar terhadap kaum priyayi juga sangat kuat
digambarkan pada cerpen yang berjudul Mbok Jah. Cerpen ini mengisahkan tentang kehidupan pembantu
rumah tangga di keluarga Mulyono, yakni Mbok Jah yang merupakan seorang janda. Mengenai pekerjaan
Mbok Jah sebagai pembantu rumah tangga dalam cerpen ini tidak begitu diungkapkan. Namun,
pengabdian selama dua puluh tahun bekerja di keluarga tersebut memberikan kenyamanan pada seorang
priyayi yang berstatus sebagai janda. Kisah ini menununjukkan bahwa seorang janda mendapatkan cinta
dan kenyamanan dari keluarga tempatnya bekerja.

3

³ Abdul Muis merupakan sastrawan Indonesia yang dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat
Keputusan (SK) Presiden Republik Indonesia No. 2183/59, tanggal 30 Agustus 1959.
Fokus terhadap pekerjaan dan pengabdian yang dilakukan janda Mbok Jah ini, seolah
memberikan penguatan pada statusnya, untuk menjaga kehormatan keluarga dalam masyarakat. Disisi
lain, kesepian dan curahan cinta yang dapat diberikan Mbok Jah adalah untuk keluarga majikannya.
Persoalan keluarga dan masayarakat nampak jelas dalam cerpen Tiga Laki-Laki Terhormat (1994)
karya Budi Darma. Seorang istri yang kemudian menjadi seorang janda adalah tokoh utama dalam cerita
ini. Semua tokoh yang ditampilkan dalam cerita ini tidak memiliki nama yang terang. Beberapa tokoh

komplementer lainnya diberikan istilah-istilah penamaan, diantaranya dengan pria bermata besar,
bertelinga besar, dan bertangan besar. Karya sastra ini sesungguhnya sarat akan simbol-simbol dengan
interpretasi yang tinggi. Namun, terlepas dari hal tersebut, fokus penceritaan ini justru mengenai
kehidupan perempuan dari menjadi seorang istri, kemudian menjanda akibat ditinggal meninggal oleh
suaminya secara tiba-tiba. Kisah ini mengingatkan para pembaca mengenai status seorang janda dalam
keluarga untuk menjaga wibawa keluarga, sekaligus pemberontakan terhadap citra negatif dari seorang
janda di masyarakat.
Pada uraian berikut akan dibahas mengenai status janda dan kehidupan seorang janda oleh
sastrawan Bali dan Indonesia, khususnya dalam cerpen dan novel. Perhatian khusus yang dibahas adalah
mengenai latar belakang status seorang istri menjadi janda, serta kehidupan seorang janda. Dari kajian
hubungan ini, maka diupayakan untuk melihat permasalahan sosial tentang janda dalam karya sastra.
Dengan menarik suatu kesimpulan mengenai melihat status janda dalam perspektif tradisi sebagai suatu
bentuk keterbatasan sistem adat. Dalam perspektif modernitas, yakni status janda yang meraih kebebasan
untuk mengatur dan menentukan pilihan hati.
Karya Sastra yang melukiskan Latar Belakang Status Janda dan Kehidupan Janda, Tahun 1928-2012
No.
Judul
1.
Salah Asuhan **)


Pengarang
Abdul Moeis

Tahun
1928,
Balai
Pustaka

2.

Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck **)

Hamka

1938,
Bulan
Bintang

3.


Mbok Jah *)

Umar Kayam

1994,
Harian
Republik

Kisah
Kerja keras seorang janda yang
ditinggal meninggal suaminya untuk
menyekolahkan anaknya. Hingga
terjadilah perjodohan yang diinginkan
oleh seorang ibu kepada anaknya.
Salah satu tokoh utama yang menjadi
seorang janda, karena suaminya
meninggal
akibat
bunuh

diri,
kemudian ingin kembali pada cinta
pertamanya.
Perjuangan seorang janda yang
bekerja sebagai pembantu rumah
tangga yang menjaga martabat
4

a
4.

Tiga laki-laki terhormat *)

Budi Darma

1994,
Horison

5.


Dua Dunia *) //

Nh. Dini

2002,
Gramedi
a

6.

Cerita Calon Arang ***)

Pramodya
Ananta Toer

7.

Janda dari Jirah **)

Cok Sawitri


8.

Pastu *)

Oka Rusmini

2007,
Mei
Lentera
2007,
Juni
Gramedi
a
2010,
Bali Post

9.

Air Mata Terakhir Bunda Kirana Kejora

**)

10.

Gandamayu **)

2011,
Hi-Fest
Publishin
g

Putu
Fajar 2012,
Arcana
Kompas
Media

kelauarganya.
Namun,
anak
kandungnya
sudah
tidak
mau
berhubungan lagi dengannya.
Rumah tangga yang kurang harmonis,
kemudian tokoh istri menjadi seorang
janda, karena suaminya yang tiba-tiba
meninggal pasca kutukan si istri.
Perjodohan yang berujung perceraian,
karena suami yang menyelingkuhinya.
Dalam statusnya sebagai janda muda
yang sedang sakit ia berusaha untuk
menyekolahkan
putri
sematawayangnya.
Janda yang menguasai ilmu hitam dan
mendatangkan
penderitaan
pada
seluruh masyarakat disekitarnya.
Seorang janda yang digambarkan
sebagai wanita yang bijak dan
menganut ajaran Budha.
Seorang janda, yang membuat rasa
traumatis seorang anak terhadap
sebuah pernikahan dan berpengaruh
pada kehidupan anak tersebut.
Seorang istri yang menjadi single
parent, karena ditinggal pergi begitu
saja oleh suaminya. Diuji dengan
berbagai kesulitan hidup, ia bertekad
untuk memperjuangkan kebahagiaan
dua anak lelakinya.
Janda yang memiliki lima orang putra
dan mengalami pergulatan batin
mengenai sebuah keputusan, serta
kehidupan putra-putranya.

*) Genre cerpen
**) Genre novel
***) Genre dongeng
// Menjadi judul dari kumpulan cerpen

Beberapa cerpen dan novel di atas merupakan goresan tinta dari sastrawan Bali dan Indonesia
dari rentang watu tahun 1920-an, hingga 2012. Karya-karya tersebut diterbitkan dalam majalah-majalah
ternama, dan beberapa juga diterbitkan oleh percetakan ternama (lihat tabel).

5

Citra Janda dalam Ranah Realitas
Citra seorang janda dalam masyarakat masih di anggap negatif. Hal ini merupakan salah satu
kondisi dan budaya yang masih bertahan pada mayarakat di Indonesia. Fenomena janda terjadi di seluruh
dunia, sebab janda bukan hanya bentuk dan pola kehidupan di Indonesia, tapi juga salah satu proses
kehidupan individu dalam masyarakat di dunia. Sikap dan perilaku yang di tanamkan selama ini dalam
masyarakat masih kurang memiliki rasa keadilan untuk janda. Sekilas memandang budaya masyarakat
Indonesia yang masih tetap bertahan pada pola kehidupan lama akan menjadi masyarakat yang kurang
menghargai terhadap hak-hak orang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Janda merupakan anggota
masyarakat yang memiliki hak untuk hidup berdampingan dengan individu atau keluarga lain serta
memiliki kebebasan untuk berkreasi. Namun akibat dari konstruki budaya yang membebankan kesalahan
pada janda dan fenomena tersebut tidak dianggap sebagai proses kehidupan, maka kebebasan janda
terbelenggu.
Adanya stigma bahwa, hal yang menjadi identik dari kaum perempuan adalah berurusan dengan
domestik rumah tangga. Ketika perempuan kemudian menjadi seorang kepala keluarga, justru stigma
negatiflah yang akan melekat pada dirinya. Pandangan negatif ini akan menjadi semakin menggurita, jika
yang menjadi seorang pemimpin keluarga tersebut merupakan seorang janda. Pencitraan seorang yang
berstatus janda di mata sosial layaknya nila dalam susubelanga. Dalam lingkungan masyarakat, janda
sering kali diremehkan. Gambaran sebaga ‘wanita penggoda’ atau wanita perusak rumah tangga orang
lain adalah cerminan yang acapkali muncul dibenak masyarakat ketika memandang status seorang janda.
Masyarakat terlanjur manganalogikan janda sebagai status yang rendah dan tidak bermartabat.
Citra yang kurang baik mengenai janda pernah dialami oleh Hardiastarti (51 tahun) yang ditulis
dalam Media Perempuan dan Anak (2012), ketika harus bercerai dengan suaminya di tahun 1999. Dari
pernikahannnya ini, mereka dianugerahi dua orang anak. Perempuan ini pernah menjadi seorang dosen di
salah satu perguruan tinggi swasta di kota malang, bercerai ketika anak pertamanya masih berusia
Sembilan tahun dan anak kedua berusia lima tahun. Tidak pernah terbesit dalam benaknya, bahwa ia
akan menyandang statu janda. Usia pernikahan mereka, yakni sebelas tahun semenjak tahun 1998. Untuk
menghidupi kebutuhan ekonomi keluarga, dimana kiriman bulanan mantan suami yang tidak mencukupi
dan biaya pendidikan yang semakin tinggi membuat titin bangkit dan merintis usaha wiraswasta yang
kecil-kecilan di rumah sebgai penghasilan tambahan.

6

Titin juga tergerak untuk terlibat dan empati terhadap janda-janda lainnya, dengan terlibat dalam
komunitas perkumpulan kaum perempuan kepala keluarga (PEKKA) 4yang berpusat di Jakarta. Pelatihan
yng diberikan tidk hanya dibidang ekonomi, namun agama, hukum, kesehatan, serta seni dan budaya.
Serta membuat akta kelahiran anak. Namun, sangat disayangkan, merintis oraganisasi ini di wilyah
malang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Banyak perempuan yang minder dan takut mendapatkan pandangan negatif. Seiring waktu, usaha
keras tersebut membuahkan hasil, banyak pihak yang memberikan dukungan dan penguatan. Bahkan,
pagyuban ini beranggotakan mayoritas laki-laki. Semenjak itu, pengakuan dan kepercayaan masyarakat
pun mulai tumbuh. Paguyuban ini juga dapat membuka akses perempuan kepala keluarga terhadap
berbagai akses sumber daya. Ketika akses telah didapatkan, kesadaran kritis perempuan kepala keluarga
baik terhadap kesetraan peran, posisi, dan satatus mereka, maupun terhadap kehidupan sosial politiknya
pun semakin meningkat. Peningkatan akses dan kesadaran kritis juga memicu peningkatan partisipasi
perempuan kepala keluarga dalam berbagai proses kehidupan sosial, ekonomi politik, dan budaya.
Berdasarkan atas kisah nyata tersebut di atas, menunjukkan bahwa untuk memperoleh kebebasan haknya
dan pengakuan yang baik di masyarakat, maka seorang janda harus benar-benar menunjukkan kerja
kerasnya. Dengan segala upaya yang dilakukan Sri Handayani untuk masa depan keluarganya
memberikan pencitraan yang positif terhadap seorang janda.
Kisah Sri Handayani ini menjadi bukti nyata kekuatan perempuan dalam kesendiriannya. Begitu
kuat dan hebatnya seorang perempuan yang berstatus janda. Seorang istri sudah menjadi tugasnya untuk
melayani suami. Namun, ketika suaminya telah pergi kekuatan dan kehebatan tersebut tetap ada untuk
dirinya sendiri, anak, dan seluruh keluarganya.

4
Komunitas Perkumpulan Kaum Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), pernah meraih pengharagaan oleh Mentri
Pemberdayaan Anak dan Perempuan. Ibu Sri Handayaini sangat mengapresiasi perkumpulan ini dengan memberikan bantuan
pendidikan dan lingkungan kelompok dari PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk, sebagai rangkaian peringatan hari ibu ke 83
di tahun 2011.

Keterbatasan dan Kebebasan
7

Seorang istri yang berstatus sebagai janda akan dihadapkan kepada persoalan dalam keluarga dan
kehidupan sosialnya di dalam masyarakat. Kisah perjuangan janda dalam memperoleh pengakuan di
masyarakat, upaya janda yang ingin memperoleh cinta lamanya, janda yang menjadi orang ketiga dalam
rumah tangga orang lain digambarkan secara kompleks oleh para sastrawan dalam karyanya tersebut.
Janda adalah seorang perempuan dengan segala hak dan kewajiban yang dimilikinya sebagai seorang
perempuan. Dalam cerita-cerita yang dihadirkan oleh seorang sastrawan mengenai janda, sebuah
keterbatasan dan kebebasan hidup tengah dialami perempuan dalam status tersebut. Kewajiban sebagai
seorang janda adalah menjaga martabat keluarga suami dalam konteks ikatan pernikahan. Adanya sebuah
kewajiban, maka hadir pula hak seorang janda dalam upaya memperoleh kebebasannya. Yang
sesungguhnya tidak hanya bebas untuk mengatur rumah tangga sebagai orangtua tunggal. Namun, bebas
untuk merasakan cinta dan kasih sayang kembali dari lawan jenis. Pada sebagain besar karya sastra yang
dianalisis, sejauh ini para sastrawan tidak berkutat dengan persoalan asmara seorang janda. Pembenahan
mengenai pencitraan negatif yang terlanjur melekat pada seorang janda dalam masyarakat, nampaknya
hal tersebut lebih menarik perhatian seorang sastrawan.
Selain Salah Asuhan dan Mbok Jah, terdapat beberapa karya sastra menganai janda yang
mengalami tekanan dalam keluarga sebagai bentuk keterbatasan rung gerak. Namun selaras dengan hal
tersebut kebebasan dalam menentukan sikap dilukiskan Nh. Dini dalam cerpen Dua Dunia (2002). Karyakarya Nh. Dini baik cerita pendek maupun cerita kenangannya, selalu konsisten mencerminkan
kemarahannya terhadap laki-laki, baik individu maupun tradisi yang berorientasi pada kepentingan lakilaki. Dalam cerita pendeknya, Dua Dunia, protes terhadap norma-norma dalam masyarakat yang
dianggap tidak adil bagi wanita juga digulirkan. Novelet pendek Dua Dunia menceritakan kisah
perjuangan Iswanti, seorang janda muda dengan satu anak. Dalam keadaan sakit, dia harus berjuang untuk
mencari nafkah dan mempertahankan putri semata wayangnya, yakni Kanti, agar tidak jatuh ke tangan
bekas suaminya, Darwo. Penderitaan Iswanti sudah bermula ketika dia masih di bawah tanggung jawab
orang tuanya, yaitu ketika dia harus mengerjakan tugas-tugas berat yang bukan menjadi tanggung
jawabnya. Didikan dan perlakuan dari orangtuanya yang menganut paham patriarki membawanya dari
penderitaan hidup yang satu ke penderitaan hidup yang lain.
Kisah hidup mengenai seorang janda, mengembalikan ingatan pada masa Erlangga dengan
keberadaan kisah Calonarang. Cerita rakyat mengenai janda sakti ini sangat terkenal di Pulau Jawa dan
Bali. Sejauh ini cerita tersebut melukiskan sisi buruk dari seorang janda yang diceritakan menyebarkan
sakit dan membuat kegaduhan di masyarakat. Namun, kehadiran novel yang berjudul Janda dari Jirah
(2007) menggambarkan sosok janda yang baik dan menjadi contoh di Masyarakat serta mendapatkan
kebebasannya. Di ranah fiksi setidaknya sudah dua penulis menuliskan legenda ini. Yang pertama adalah
8

Pramoedya Ananta Toer dalam Dongeng Calon Arang (1954) dan Femmy Syaharani dalam Galau Putri
Calon Arang (Gramedia, 2005). Dalam novel ini kita tak akan menemukan nama Calon Arang. Pengarang
menggantinya dengan sebutan Rangda ing Jirah (Janda dari Jirah). Berbeda dengan Calon Arang yang
selama ini diseskprikian dengan wanita penyihir yang jahat, keji dan licik. Pada novel ini Calon Arang /
Rangda ing Jirah dideskripiskan sebagai pendeta wanita yang taat mengikuti jalan Buddha.
Tutur katanya lembut dan sopan, namun dibalik kelembutannya terpancar kewibawaan yang
tiada tara yang membuat semua pengikutnya taat pada ajaran-ajarannya. Ia juga piawai dalam mengatur
desanya sehingga desa-desa yang berada dibawah asuhannya menjadi desa yang makmur dan sentosa
dengan panen yang melimpah ruah. Kisah dalam novel ini sebenarnya lebih banyak diceritakan dari sudut
pandang Narotama, penasehat Erlangga. Sedangkan porsi Rangda ing Jirah, walau tak mendominasi alur
kisah di novel ini, Cok Sawitri dengan cerdas tetap membuat pembacanya dibayangi oleh kewibawaan,
kebijaksanaan dan kemistisan dari Janda ing Jirah yang menyelimuti novel ini dari halaman awal hingga
lembar terakhirnya.
Tokoh Ratna Menggali yang memiliki kemampuan untuk melihat masa depan ia meramalkan,
“Mereka akan menuduh Ibu sebagai penganut ilmu hitam..”. “ Selama ratusan tahun, Ibu akan
digelapkan, namun itu bagi yang tak memahami…” (hal 38).
Dalam novel inipun disinggung bahwa kelak Erlangga memerintahkan agar para penyair tidak
menulis apa yang sebenarnya terjadi di Kadiri dan kejaidan-kejadian di tanah Kabikuan. Dalam novel ini
tampak jelas Cok Sawitri juga sepertinya berupaya agar pembaca keluar dari bayang-bayang ingatan akan
Calon Arang yang selama ini digambarkan sebagai perempuan yang seram. Dalam kisah ini, tak ada
dendam karena Ratna Menggali tidak ada yang melamar, bahkan porsi kisah Ratna Menggali tersaji
secara singkat saja. Tak ada teluh yang menebar penyakit pada rakyat Kediri. Yang ditawarkan Janda dari
Jirah adalah rasa cinta kasih yang membawa kedamaian.
Keterbatasan dalam pernikahan dan kebebasan dalam pilihan hati mengenai seorang janda, juga
digambarkan dalam Novel Air Mata Terakhir Bunda (2011). Novel yang di sampul depannya ditambahi
keterangan “Adaptasi dari Kisah Nyata’ ini, berkisah tentang Sriyani, seorang wanita single parent yang
ditinggal pergi oleh suaminya. Diuji dengan berbagai kesulitan hidup, Sriyani bertekad untuk
memperjuangkan kebahagiaan dua anak lelakinya, yakni Delta Santosa dan Iqbal. Sriyani menjadi penjual
lontong kupang, makanan khas Sidoarjo, berkeliling dengan sepeda onthelnya. Ia juga menjadi penjahit,
tukang cuci setrika baju para tetangganya, dan sesekali jadi pembantu di acara hajatan tetangga yang
mengadakan resepsi pernikahan atau sunatan. Apa saja yang bisa menghasilkan uang, yang bisa ia
lakukan, Sriyani lakukan. Itu semua demi Delta dan Iqbal. Sriyani memang sangat memperhatikan masa
depan dua anaknya. Tidak hanya memenuhi kebutuhan hidup dan biaya pendidikan Delta dan Iqbal,
Sriyani juga sangat ingin mendidik anak-anaknya menjadi orang yang baik dan jujur, rajin solat dan
9

mengaji, tidak boleh mengeluh dan menangis, tidak boleh menyalahkan keadaan. Keinginan Sriyani
adalah agar Delta kuliah.
Salah satu cerita prosa yang diadaptasi dari kisah Mahabaratha, yakni sebuah novel Gandamayu.
Gandamayu (2012) adalah novel yang mengambil sepenggal kisah Mahabharata, dengan latar cerita dari
sebuah tempat bernama Setra (Kuburan) Gandamayu, tempat paling angker di muka bumi. Kuburan
paling menyeramkan dan tempat paling ditakuti untuk disinggahi, bukan hanya oleh manusia namun
Dewa sekalipun enggan untuk kesana. Tokoh janda dalam kisah adalah Kunti, yakni ibu dari para
Pandawa. Kebimbangan seorang ibu yang hidup tanpa suami sangat jelas dalam kisah ini. Pergolakan
hati Kunti yang merasa bingung dan bimbang dalam mengambil keputusan, justru mendatangkan bencana
bagi putranya, yakni Sahadewa. Sesungguhnya keputusan yang hendak di ambil tersebut adalah untuk
kebaikan dan keselamatan keluarga. Pada kisah inilah ditunjukkan, bawasannya seorang janda terkadang
bimbang dalam menentukan masa depan putranya. Kebebasan dalam mengatur rumah tangganya, Kunti
merasakan keterbatasannya ketika memerankan peran ganda. Dalam menghadapi sebuah masalah, maka
seorang ayah sebagai kepala keluarga sangatlah dibutuhkan.
Pada beberapa cerita mengenai stigma negatif tentang janda dilukiskan dalam Cerita Calonarang.
Interpretasi terhadap cerita yang berbeda oleh seorang pengarang, tentu akan menghadirkan versi cerita
yang berbeda pula. Pada Cerita Calonarang yang ditulis Pramodya Ananta Toer dan diterbitkan kembali
pada tahun pada Mei 2007, cerita ini melukiskan tentang seorang janda dalam image yang kurang baik.
Sebuah buku yang berjudul ”Cerita Calon Arang”, diangkat dari sebuah legenda yang terkenal
dimasyarakat Jawa. Kisah ini merupakan legenda tentang seorang janda dari kerajaan daha (Kediri) yang
memiliki seorang putri bernama Ratna Manggali. Janda ini dikisahkan memiliki kesaktian dan membuat
kekacaun, karena belum ada satu pun pria yang berani memperistri putri semata wayangnya. Sampai pada
akhirnya Mpu Baradah memerintahkan Bahula untuk menikahi Ratna Manggali. Kejahatan yang
dilakukan Calonarang akhirnya dapat dikalahkan. Calonarang meninggal dan menyesali perbuatannya.
Pram, menuliskan cerita ini kembali dengan gaya penceritaan dongeng untuk anak-anak. Kisahnya
sederhana, dengan pesan moral yang jelas. Janda yang dikisahkan Pram dalam penulisan kembali
mengenai cerita ini hampir sama dengan legenda yang ada. Konotasi negatif mengenai keberadaan janda
nampak jelas dari cerita ini. Yang dilukiskan adalah kekuatan wanita dalam kesendirian. Penguasaan ilmu
adalah hak setiap orang, termasuk ilmu yang dimaksudkan dalam kisah di atas. Inilah salah satu bentuk
kebebasan janda untuk melindungi dirinya dari terjangan masyarakat yang skpetis terhadapnya.
Goresan tangan penulis perempuan dari Bali, yakni Oka Rusmini juga mengangkat persoalan
perempuan dan janda, yang berjudul “Pastu”. Pengarang menghadirkan kembali tokoh dengan embelembel kebangsawanannya, yakni Dayu Cenana yang memiliki sahabat baik, yakni Cok Ratih. Tokoh
Dayu Cenana digambarkan sebagai sosok perempuan lajang yang sibuk dengan karirnya. Urusan lelaki
10

tidak begitu penting dalam hidupnya. Sampai pada akhirnya Cok Ratih menikah dengan Made Pasek.
Cok, meninggalkan keluarganya di Puri. Pernikahan tersebut tidak harmonis. Pasek senang selingkuh.
Hingga, mendatangkan penyesalan pada diri Cok dan akhirnya bunuh diri. Peristiwa ini semakin
membuat Dayu Cenana trauma pada pria. Dahulu, ibunya juga bunuh diri, karena Ajiknya berselingkuh
dengan seorang janda. Janda dalam cerpen ini tidak begitu banyak diungkapkan, sehingga keterbatasan
dan keterikatannya tidak dapat digambarkan secara mendalam. Tokoh janda pada cerita ini merupakan
penyebab kehancuran rumah tangga.
Berbeda dengan cerita-cerita lainnya, kehormatan dan kekuatan seorang janda digambarkan oleh
Budi Darma dalam karangannya, yakni Tiga Laki-Laki terhormat (1994). Cerpen ini sedikit berbeda
menurut pengamatan penulis, yakni melukiskan kekuatan seorang janda sebagai perempuan sakti yang
tegas. Tokoh janda yang ditinggal meninggal suaminya, kemudian Sembilan bulan pasca suaminya
meninggal janda itu hamil. Sementara itu, anak yang dikandung oleh janda tersebut diakui tiga orang lakilaki, yakni laki-laki bermata besar, bertelinga besar, dan bertangan besar. Pada kisah ini, pengarang benarbenar ingin menunjukkan kehebatan seorang perempuan dengan statusnya seorang janda. Tokoh janda
dalam cerita ini melukiskan martabat dan kehormatan seorang perempuan, termuat dalam kutipan
berikut :
“Ketika suami saya mati kalian senang karena kalian bebas memperebutkan saya,” kata janda
cantik. “dan setelah kalian berhasil memperebutkan saya, kalian lupa memberikan nafkah
kepada saya dan anak saya. Awas, barang siapa mempermainkan saya, pasti akan modar”.
Kisah janda dalam cerita-cerita di atas seluruhnya tidak memberikan akhir cerita yang membuat
janda menukah kembali. Janda tetap menjadi seorang yang single tanpa belaian dan tumpuan dari seorang
pria. Misalnya pada novel Tenggelamnya Kapal Vander Wijck, status janda yang disematkan pada Hayati
yang ingin mendapatkan cintanya kembali dari Zainuddin pun tidak tercapai. Zainuddin dikisahkan
adalah seorang pemuda perjaka yang dikecewakan Hayati. Namun, pasca Hayati berubah status menjadi
janda, keraguan tokoh Zainuddin pun muncul terhadap Hayati dengan status janda.
Penggambaran kisah janda yang tertuang dalam cerita-cerita tersebut di atas, menegaskan, bahwa
seorang janda tetap kuat memegang janji pernikahannnya dan menjalankan segala tanggungjawabnya
sebagai bentuk kewajiban dengan keterbatasannya dalam konteks perkawinan. Disisi lain kebebasan
dalam berkespresi untuk mengatur keluarga dan membesarkan anaknya juga digambarkan dalam sastra,
bahkan kisah nyata. Dalam pencitraan yang berbeda, yakni positif dan negatif yang dilakukan pengarang
terhadap tokoh janda, tetap saja seorang janda tidak ada yang begitu dalam diceritakan mengenai asmara
janda pada pria lain pasca menjadi janda.
11

Penguatan Patriarki
Janda dan kehidupannya selalu bergelut dalam persoalan keluarga dan masyarakatnya. Dalam
pecitraan juga anatara janda baik dalam pandangan masyarakat dan kurang baik dalam pandangan
masyarakat. Kedua hal inilah yang secara umum menyelimuti kisah-kisah seorang janda yang dituangkan
dalam sebuah cerita. Jawaban dari pertanyaan mengenai seorang pengarang yang tidak menikahkan tokoh
janda dalam cerita dan pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan pengarang mengenai kisah-kisah
seorang janda dapat diurakan dalam pembahasan sebagai berikut ini.
Pertama, mereka ingin memperlihatkan kesetian dari seorang istri walau statusnya sudah menjadi
janda. Seorang Istri Wajib Setia Kepada Suami.Kesetiaan seorang janda kenyataannya tidak dapat
diragukan dalam realita kehidupan yang terjadi di masyarakat semenjak dahulu. Creese, 5dalam tulisannya
mengenai pengamatan yang begitu dalam tentang perempuan dalam dunia Kakawin menyatakan, bahwa
konsentrasi tragis yang sering terjadi pada wanita bangsawan ketika para suami mereka meninggal,
mereka melakukan sati (menceburkan diri ke dalam api kremasi suaminya). Praktik sati, merupakan para
wanita yang mengikuti kematian suaminya dengan menceburkan diri pada upacara pembakarannya,
nampaknya telah ada semenjak abad ke-4 sebelum masehi, dengan acauan yan paling dalam ditemukan
pada catatan Alexander Yang Agung ke lembah Indus pada tahun 326 sebelum masehi. Sati tampaknya
tidak pernah dilakukan secara luas di India, dan pengunaannya sebagian besar terbatas pada keluargakeluarga bangsawan dan pejuang besar (2012 : 232).
Pada kenyataannya yang terjadi di masyarakat, sati sebagai bukti kesetiaan memang benar telah
terjadi. Di Bali, pada masa kerajaan, tradisi sati ini memang telah hidup di keluarga-keluarga bangsawan
tersebut. Seperti peristiwa yang digambarkan Covarrubias dalam bukunya, yakni Pulau Bali Temuan,
Yang Menakjubkan, dalam catatan yang dikumpulkannya tersebut, menjelaskan peristiwa pembakaran
janda. Seorang istri yang sudah menyandang status sebagai seorang janda harus menunjukkan
kesetiaannya. Setia kepada suami dalam janji pernikahan, pada keluarga suami, dan setia menjaga
martabatnya.

5 Creese, Helen. 2012. Perempuan Dalam Dunia Kakawin : Perkawinan dan Seksualitas di Istana Indic Jawa dan Bali.
Denpasar : Pustaka Larasan.

Setia pada suami dalam janji pernikahan, yakni kalau pada zaman kerajaan dulu, kesetiaan
seorang perempuan janda diukur dengan penceburan diri ke dalam lautan api, maka Hal ini adalah
jawaban dari pertanyaan mengapa pengarang tidak mengisahkan tokoh janda untuk menikah kembali atau
12

membina hubungan rumah tangga. Kesetiaan pada masa modern ini adalah dengan tidak merasakan
kembali panasnya api asmara dengan pria lain. Dapat dikatakan demikian, karena kenyataannya memang
isu-isu yang merebak di masyarakat mengenai seorang janda yang sendiri hanya terhenti pada status
sebagai orang ketiga dari sebuah pernikahan. Pernikahan adalah hal yang sacral, yang dilakukan idealnya
sekali seumur hidup. Prinsip inilah yang masih dipegang dalam konteks budaya Indonesia (adat
ketimuran).
Tentu saja prinsip ini kenyataannya paling kuat berlaku untuk kaum perempuan. Diakaitkan
dengan kehidupan sosial yang ada di masyarakat, peristiwa Poligami lebih dominan daripada Poliandri.
Serta pernikahan seorang duda dengan mudah dapat diterima sebagai alasan untuk menyelaraskan rumah
tangga.
Kesetiaan seorang perempuan dalam statusnya sebagai seorang janda adalah pada keluarga suami.
Ketika seorang perempuan telah menikah dengan laki-laki pilihannya, maka perempuan tersebut tidak
hanya menyerahkan dirinya. Namun, menyerahkan seluruh hidup dan kehidupannya. Seorang perempuan
yang menikah dengean pria pilihannya, maka perempuan tersebut akan menjadi bagaian dari keluarga pria
pilihannya. Menjadi bagain keluarga tersebut, berarti menjalani pola hidup keluarga tersebut, termasuk
tradisi dan adat yang digunakan dalam keluarga itu. Menjaga martabat dan kehormatan keluarga suami
otomatis menjadi kewajiban dari seorang istri. Walaupun peristiwa yang buruk menimpa rumah tangga
seseorang dengan berbagai penyebab yang mengakibatkan seseorang menjadi janda kewajiban tersebut
harus tetap dilanjutkan. Kesetiaan pada keluarga suami seperti yangdilukiskan pada cerita-cerita di atas,
sesungguhnya tidak terhenti pada status istri yang berubah menjadi janda.
Status janda sering sekali mendapatkan pandanga yang miring di masyarakat. Kisah perjuangan
hidup seorang janda yang sukses membesarkan anaknya terkadang tidak cukup untuk menghilangkan
kekhawatiran masyarakat keada seorang janda. Pemikiran yang terlintas ketika mengetahui seorang
perempuan dalam kondisi janda adalah perempuan tersebut sendiri dan membutuhkan seseorang untuk
menjadi teman berbagi. Maka sasrannya adalah seorang pria lajang atau mungkin suami orang. Di sinilah
kesetiaan seorang janda diuji. Penting untuk menjaga martabat dirinya sendiri, apalagi bila memiliki
seorang anak. Dalam hal ini menjadi figur single parent yang baik selalu menjadi idaman setiap anak
yang tidak memiliki seorang ayah. Menyikapi kesetiaan pada dirinya sendiri, seorang janda mau tidak
mau meluapkan segala waktunya dengan orientasi kerja. Bekerja dengan keras seolah menjadi jawaban
dari kesendirian janda yang harus dilakukan. Hal ini justru memperlihatkan betapa terbatasnya ruang
gerak seorang perempuan.
Kedua, perjuangan seorang janda dalam kehidupannya selalu dibuat berkutat pada pekerjaan dan
tanggungjawab keluarga, sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia sesungguhnya secara umum menganut
sistem patriarki yang mau tidak mau harus diakui secara sadar oleh kaum perempuan, maupun laki-laki.
13

Selain itu, Seorang janda yang mengurus rumah tangganya sendiri mungkin saja dapat menggantikan
peranan laki-laki dalam rumah tangga. Namun, kedudukan seorang suami sebagai kepala rumah tangga
tidak sepenuhnya dapat digantikan. seorang lelaki dapat memilih, sedangkan seorang perempuan hanya
boleh menuruti pilihan tersebut. Sesungguhnya janda adalah sebuah status yang tentu saja tidak
diinginkan oleh seorang istri manapun di dunia ini. Pembatasan terhadap hak asasi kaum perempuan
kembali terlihat dalam kasus seorang janda. Gambaran pernikahan seorang janda memang sulit ditemukan
dalam karya-karya sastra sebagai sebuah institusi sosial. Berkaca pada Novel Tenggelamnya Kapal
Vander Wijck, bahwa wacana tersebut memang sangat kuat mendapat dukungan. Hayati yang menjadi
janda ingin memperoleh kembali cinta Zainuddin mantan pacar yang telah dikecewakannya. Namun,
kenyataannya memang tidak seperti harapan Hayati. Zanuddin berpikir dua kali untuk menikahi mantan
pacarnya tersebut. Bukan hanya persoalan dendam Zainuddin pada Hayati, tetapi keraguan seorang
pemuda dalam menikahi janda sangat nampak dalam cerita ini.
Penulis laki-laki seperti Abdul Muis, Umar Kayam, dan Budi Darma, yang menuliskan kisahkisah seorang janda sepertinya ingin merubah pandangan negatif menjadi positif mengenai image janda
tersebut. Tokoh janda yang dilukiskan dalam karya pengarang-pengarang tersebut menunjukkan
ketangguhan dan kekuatan seorang perempuan. Namun, kenyataannya pengarang-pengarang ini dalam
ceritanya tidak ada yang mengkawinkan tokoh janda dengan seorang pria. Kisah janda dalam cerita
tersebut masih berkutat pada persoalan untuk memperlihatkan kekuatan dan kehormatan seorang janda
dalam konteks seorang perempuan. Pengakuan perempuan adalah sakti dan tangguh, tidak dapat
dipungkiri memang dilukiskan dalam setiap cerita tersebut.
Di antara sekian banyak kehadiran perempuan pengarang diantara, diantaranya Nh. Dini, Kirana
Kejora, Oka Rusmini, dan Cok Swaitri yang mengangkat kisah perempuan dalam sebuah cerita
memberikan gambaran gerakan feminis yang begitu kuat. Namun, untuk persoalan janda yang menikah
kembali pasca menjanda tidak begitu banyak diungkapkan. Persoalan kesetaraan gender dalam ruang
gerak seni sastra masih menjadi topik utama yang dilukisakan oleh seorang perempuan. Ekspresi dan
kritikan seorang wanita yang dituangkan dalam karyanya masih berkutat mengenai masalah tersebut.
Eksplorasi yang berani tentang ekspresi seorang perempuan sangat jarang ditemukan dalam karya sastra.

Daftar Pustaka
Arjana, Putu Fajar. 2012. Gandamayu. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara.
Bali di Persimpangan Jalan : Sebuah Bunga Rampai. 1995. Denpasar : Nusa Data IndoBudaya.
Barry, Petter. 2010. Beginning Theory :Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta :
Jalasutra.
14

Covarrubias, Miguel. 2013. Pulau Bali : Temuan Yang Menakjubkan. Denpasar : Udayana University
Press.
Creese, Helen. 2012. Perempuan Dalam Dunia Kakawin : Perkawinan dan Seksualitas di Istana Indic
Jawa dan Bali. Denpasar : Pustaka Larasan.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Pusat
Pembinaan dan Pengembanagn Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudyaan.
Dini, Nh. 1983. “Naluri yangMendasari Penciptaan”. Dalam Pamusuk Eneste (Ed).
Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: Gramedia, h.
110-124.
Kejora, Kirana. 2011. Air Mata Terakhir Bunda. Jakarta : Hi-Fest Publishing.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. 2012. Media
Peremuan Anak : Bangga Jadi Single Parent Bangga Menjadi Perempua Mandiri. Jakarta :
Kementrian (Ed. 02 Th. 2012).
Karim, Haji Abdul Karim. 1938. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta : Bulan Bintang.
Muis, Abdul. 1928. Salah Asuhan. Jakarta : Balai Pustaka.
Putra, I Nyoman Darma. 2010. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Denpasar : Pustaka Larasan.
Rosidi, Ajip. 1995. Sastra dan Budaya. Jakarta : Pustaka jaya.
Sastra Indonesia Modern : Kritik Postkolonial. 2008. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Sawitri, Cokorda. 2007. Janda Dari Jirah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Soetama, Gde Aryatha. 2009. Bali Tikam Bali. Denpasar : Arti Foundation
Sumarjo, Jakob.,Saini, KM. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sugono, Dendy. 2003. Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya offset.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Toer, Pramodya Ananta. 2007. Cerita Calonarang. Jakarta : Lentera Dipantara
http://sosbud.kompasiana.com/2014/02/12/ketika-harus-menjadi-single-parent-631303.html
http://female.kompas.com/read/2011/09/07/18284955/Jangan.Takut.Menjadi.Single.Parent.

15