PANGAN FUNGSIONAL BERBASIS MAKANAN JURNAL

PANGAN FUNGSIONAL BERBASIS MAKANAN TRADISIONAL
Posted on 17 Maret 2009 Updated on 26 Januari 2012
Oleh : Uliyanti
Dalam kehidupan modern ini, filosofi makan telah mengalami pergeseran, di mana makan
bukanlah sekadar untuk kenyang, tetapi yang lebih utama adalah untuk mencapai tingkat
kesehatan dan kebugaran yang optimal. Selain memiliki fungsi primer, bahan pangan
sebaiknya juga memenuhi fungsi sekunder (secondary function), yaitu memiliki penampakan
dan cita rasa yang baik. Sebab, bagaimanapun tingginya kandungan gizi suatu bahan pangan
akan ditolak oleh konsumen bila penampakan dan cita rasanya tidak menarik dan memenuhi
selera konsumennya. Itulah sebabnya kemasan dan cita rasa menjadi faktor penting dalam
menentukan apakah suatu bahan pangan akan diterima atau tidak oleh masyarakat konsumen.
Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat,
maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini
mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta
penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu
bagi tubuh. Fungsi yang demikian dikenal sebagai fungsi tertier (tertiary function).
Fungsi pangan yang utama bagi manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan zat-zat gizi
tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan bobot tubuh. Fungsi pangan yang
demikian dikenal dengan istilah fungsi primer (primary function). Kenyataan tersebut
menuntut suatu bahan pangan tidak lagi sekadar memenuhi kebutuhan dasar tubuh (yaitu
bergizi dan lezat), tetapi juga dapat bersifat fungsional. Saat ini banyak dipopulerkan bahan

pangan yang mempunyai fungsi fisiologis tertentu di dalam tubuh, misalnya untuk
menurunkan tekanan darah, menurunkan kadar kolesterol, menurunkan kadar gula darah,
meningkatkan penyerapan kalsium, dan lain-lain. Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional
(fungtional foods), yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan masyarakat dunia. The
International Food Information (IFIC) mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan
yang memberikan manfaat kesehatan di luar zat-zat dasar.
Pangan fungsional telah melahirkan paradigma baru bagi perkembangan ilmu dan teknologi
pangan, yaitu dilakukannya berbagai modifikasi produk olahan pangan menuju sifat
fungsional. Saat ini, di Indonesia telah banyak dijumpai produk pangan fungsional, baik yang
diproduksi di dalam negeri maupun impor. Menurut konsensus pada The First International
Conference on East-West Perspective on Functional Foods tahun 1996, Pangan fungsional
adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi
kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan definisi pangan fungsional menurut Badan POM adalah pangan yang secara
alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan
kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat
bagi kesehatan serta dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman yang
mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat
diterima oleh konsumen. Selain tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberi efek
samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya.

Semakin tinggi tingkat kemakmuran dan kesadaran seseorang terhadap kesehatan, maka
tuntutan terhadap ketiga fungsi bahan pangan tersebut akan semakin tinggi pula. Produk
makanan yang berkhasiat terapeutik lebih dikenal dengan istilah makanan fungsional.
Golongan senyawa yang dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu di dalam
pangan fungsional adalah senyawa-senyawa alami di luar zat gizi dasar yang terkandung
dalam pangan yang bersangkutan, yaitu: (1) serat pangan, (2) Oligosakarida, (3) gula alkohol

(polyol), (4) asam lemak tidak jenuh jamak (polyunsaturated fatty acids = PUFA), (5) peptida
dan protei tertentu, (6) glikosida dan isoprenoid, (7) polifenol dan isoflavon, (8) kolin dan
lesitin, (9) bakteri asam laktat, (10) phytosterol, dan (11) vitamin dan mineral tertentu.
Meskipun mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak
berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Badan POM, 2001).
Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan dan obat berdasarkan penampakan dan
pengaruhnya terhadap kesehatan. Kalau obat fungsinya terhadap penyakit bersifat kuratif,
maka pangan fungsional hanya bersifat membantu pencegahan suatu penyakit. Dasar
pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan, bukan hanya
bertumpu pada kandungan gizi dan kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap kesehatan
tubuhnya (Goldberg, 1994). Saat ini pangan telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan
dan kebugaran tubuh. Bahkan bila dimungkinkan, pangan harus dapat menyembuhkan atau
menghilangkan efek negatif dari penyakit tertentu.

Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar untuk mengembangkan produk pangan
tradisional dengan berbasis pada sifat-sifat fungsionalnya. Sejarah peradaban bangsa-bangsa
di dunia menunjukkan bahwa berbagai upaya yang dilakukan berbagai bangsa untuk
mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya pada awalnya berbasis pada sumberdaya
alam yang ada disekitarnya. Demikian halnya dengan nenek moyang kita. Mereka telah
mempunyai pengalaman panjang dan turun temurun dalam menyeleksi berbagai sumberdaya
hayati disekitarnya, yang mereka anggap dan yakini bermanfaat bagi peningkatan kesehatan
dan terapi penyakit.
Kemajuan iptek pangan dan farmasi yang pesat telah memberikan bukti ilmiah bahwa
sebagian besar jenis-jenis pangan yang diyakini nenek moyang kita bermanfaat untuk
peningkatan kesehatan dan pengobatan. Sebagain besar zat-zat bioaktif bahan-bahan tersebut
juga telah dapat diidentifikasi dan diisolasi. Kemajuan ini mendorong lahirnya berbagai
produk pangan fungsional dengan berbagai klaim khasiat dan manfaatnya. Di masa datang
kita tentu tidak ingin menggantungkan diri pada produk pangan fungsional yang diproduksi
di mancanegara tetapi bahan bakunya berasal dari kita, atau diproduksi dengan lisensi/paten
dari mancanegara padahal komponen bioaktifnya berasal dari sumberdaya hayati pangan kita.
Produk pangan tersebut, misalnya tempe, tape ketan, tape ketela, brem cair, cairan tape ketan
(badheg), peyeum, tauco, dadih, tempoyak, dan acar. Cairan tape dan tape ketan diketahui
juga mengandung bakteri asam laktat sekitar satu juta per mililiter atau gramnya yang dapat
memberikan efek menyehatkan bagi tubuh bila dikonsumsi.

Pangan tradisional meliputi berbagai jenis bahan pangan seperti bahan asal tanaman (kacangkacangan, sayuran hijau, umbi-umbian, buah-buahan), asal hewani (kerang, ikan, unggas),
dan bahan rempah-rempah (jahe, kunyit, ketumbar, salam, sereh, beluntas, sirih, pinang, dll).
Rempah-rempah umumnya mengandung komponen bioaktif yang bersifat antioksidan (zat
pencegah radikal bebas yang menimbulkan kerusakan pada sel-sel tubuh), dan dapat
berinteraksi dengan reaksi-reaksi fisiologis, sehingga mempunyai kapasitas antimikroba, anti
pertumbuhan sel kanker, dan sebagainya. Dari kelompok bahan pangan rempah-rempah, jahe
merupakan komoditi yang paling banyak digunakan. Luasnya penggunaan jahe disebabkan
karena aroma yang khas, dapat diterima, dan dinikmasi dalam lauk, kue, manisan, permen,
maupun minuman. Secara ilmiah jahe telah diteliti mampu meningkatkan aktifitas salah satu
sel darah putih, memiliki kemampuan sebagai anti masuk angin, dan juga memiliki aktivitas
antioksidan. Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber utama serat makanan, vitamin C,
asam folat, karotenoid, flavonoid, dan senyawa-senyawa spesifik lainnya. Semua komponen
yang terdapat pada sayuran dan buah-buahan telah terbukti mempunyai satu atau lebih sifatsifat. Apabila konsumsi sayuran dan buah-buahan dikombinasikan dengan tambahan
konsumsi rempah-rempah yang tinggi kandungan senyawa bioaktifnya, sehingga dapat
disimpulkan bahwa efek sinergis dalam mencegah penyakit degeneratif (jantung koroner,

darah tinggi, diabetes, osteoporosis, dan kanker) akan lebih besar.
Dalam rangka pengembangan pangan tradisional dengan peningkatan mutu dan keamanannya
harus tetap mengacu pada food habbit atau kebiasaan makan, dengan cara; (1) setiap masukan
hal-hal baru akan mudah diterima bila ada kesamaan dengan ciri yang telah ada dan (2)

atribut yang menjadi ciri pangan tradisional sebaiknya tetap dipertahankan. Peningkatan
mutu, keamanan, dan prestise pangan tradisional dapat dilakukan dengan upaya-upaya : (1)
pemilihan bahan mentah yang baik, (2) pemilihan bahan tambahan pangan yang baik, (3)
penanganan yang lebih higienis, dan (4) penyajian/penampilan yang lebih menarik.
Dari uraian di atas dapat memberikan petunjuk bagi kita bahwa produk makanan fermentasi
tradisional di Indonesia yang cukup beraneka ragam bisa dimanfaatkan dan dikembangkan
sebagai makanan dan minuman fungsional yang tak kalah dengan pangan fungsional impor
yang banyak beredar dipasaran. Hal ini penting sebagai salah satu strategi untuk
mempopulerkan makanan tradisional agar tidak berangsur-angsur menghilang dari peta
makanan nasional mengingat membanjirnya produk pangan impor di Indonesia. Bila
kecendrungan ini terus berlanjut, tidak dapat dipungkiri pada saatnya nanti makanan lokal
(tradisional) akan menjadi asing di negerinya sendiri.
http://apwardhanu.wordpress.com/2009/03/17/pangan-fungsional-berbasismakanan-tradisional/

Keamanan Pangan Fungsional Berbasis Pangan Tradisional
Oleh: Ariansyah*
Berbagai pangan tradisional secara empiris telah diketahui mempunyai khasiat
dan saat ini telah pula dikembangkan sebagai pangan fungsional. Hal tersebut
telah penulis sampaikan pada artikel sebelumnya di BeritaIptek edisi 11 Januari
2005 dengan judul "Pangan Tradisional sebagai Pangan Fungsional". Disamping

mutu dan kesesuaian klaim khasiat dengan dukungan ilmiah, aspek keamanan
pangan fungsional yang berbasis pangan tradisional menjadi tuntutan konsumen
saat ini.
Pangan tradisional pada umumnya memiliki kelemahan dalam hal keamanannya
terhadap bahaya biologi atau mikrobiologi, kimia, dan fisik. Adanya bahaya atau
cemaran tersebut seringkali terdapat dan ditemukan karena rendahnya mutu
bahan baku, teknologi pengolahan, belum diterapkannnya praktek sanitasi dan
higiene yang memadai, dan kurangnya kesadaran pekerja maupun produsen
yang menangani pangan tradisional.
Keamanan pangan
Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran akan kesehatan
terhadap pangan yang dikonsumsi, mengkonsumsi pangan yang aman
merupakan hal yang harus diperhatikan oleh produsen dan konsumen.
Berdasarkan UU Pangan No. 7 tahun 1996, keamanan pangan adalah kondisi dan
upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia.

Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya biologi atau
mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik.

Bahaya biologis atau mikrobiologis terdiri dari parasit (protozoa dan cacing),
virus, dan bakteri patogen yang dapat tumbuh dan berkembang di dalam bahan
pangan, sehingga dapat menyebabkan infeksi dan keracunan pada manusia.
Beberapa bakteri patogen juga dapat menghasilkan toksin (racun), sehingga jika
toksin tersebut terkonsumsi oleh manusia dapat menyebabkan intoksikasi.
Intoksikasi adalah kondisi dimana toksin sudah terbentuk di dalam makanan atau
bahan pangan, sehingga merupakan keadaan yang lebih berbahaya. Sekalipun
makanan atau bahan pangan sudah dipanaskan sebelum disantap, toksin yang
sudah terbentuk masih tetap aktif dan bisa menyebabkan keracunan meski
bakteri tersebut sudah tak ada dalam makanan. Adanya virus dan protozoa
dalam makanan atau bahan pangan masih belum banyak yang diteliti dan
diidentifikasi. Namun informasi tentang virus hepatitis A dan protozoa
Entamoeba hystolitica telah diketahui dapat mencemari air. Cacing diketahui
terdapat pada hasil-hasil peternakan, misalnya Fasciola hepatica yang
ditemukan pada daging atau hati sapi. Adanya cemaran cacing tersebut akan
mengakibatkan infeksi pada manusia jika mengkonsumsi daging atau hati sapi
yang tidak dimasak dengan baik.
Bahaya kimia pada umunya disebabkan oleh adanya bahan kimia yang dapat
menimbulkan terjadinya intoksikasi. Bahan kimia penyebab keracunan
diantaranya logam berat (timbal/Pb dan raksa/Hg). Cemaran-cemaran tersebut

berasal dari cemaran industri, residu pestisida, hormon, dan antibiotika.
Terbentuknya toksin akibat pertumbuhan dan perkembangan jamur atau kapang
penghasil toksin juga termasuk dalam bahaya kimia. Beberapa jamur atau
kapang penghasil toksin (mikotoksin) adalah Aspergillus sp., Penicllium sp., dan
Fusarium sp., yang dapat menghasilkan aflatoksin, patulin, okratoksin,
zearalenon, dan okratoksin.
Bahaya fisik terdiri potongan kayu, batu, logam, rambut, dan kuku yang
kemungkinan berasal dari bahan baku yang tercemar, peralatan yang telah aus,
atau juga dari para pekerja pengolah makanan. Meskipun bahaya fisik tidak
selalu menyebabkan terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan, tetapi
bahaya ini dapat sebagai pembawa atau carier bakteri-bakteri patogen dan
tentunya dapat mengganggu nilai estetika makanan yang akan dikonsumsi.
Keamanan mikrobiologis pangan tradisional
Walaupun dalam jumlah terbatas informasi-informasi keberadaan bakteri dalam
pangan tradisional, namun diketahui bahwa sayuran sebagai sumber serat yang
sangat baik ternyata mengandung jumlah cemaran bakteri dalam jumlah yang
tinggi. Menurut hemat penulis, merupakan kebiasaan yang kurang baik sebagian
masyarakat kita yang mengkonsumsi makanan mentah. Tindakan preventif

berupa pencucian yang dilanjutkan dengan pemanasan (memasak sampai

matang) merupakan beberapa kebiasaan positif yang perlu ditingkatkan. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi atau menurunkan jumlah cemaran bakteri sehingga
dapat mengurangi terjadinya bahaya biologis atau mikrobiologis.
Salah satu pangan tradisional yang telah juga diketahui sbagai pangan
fungsional yang sejak jaman dahulu telah lama dikonsumsi oleh masyarakat kita
adalah minuman jamu. Minuman jamu dapat dibuat dan disajikan secara
sederhana di tingkat rumah tangga yang kemudian dijual sebagai "jamu
gendong". Pada umumnya proses penyiapan jamu ini menggunakan peralatan
sederhana dan tingkat sanitasi dan higiene yang kurang memadai. Hal ini masih
ditambah lagi dengan rendahnya tingkat sanitasi penggunaan peralatan maupun
kemasan selama proses penyiapan jamu tersebut. Proses penyiapan "jamu
gendong" yang seadanya tersebut merupakan faktor penyebab turunnya mutu
jamu yang dihasilkan, dan tentunya ini dapat berdampak terhadap mutu
mikrobiologis jamu yang dihasilkan.
Upaya preventif
Hal penting yang harus diperhatikan dalam penyiapan makanan tradisional yang
berkaitan dengan proses penyiapannya adalah penerapan prinsip-prinsip cara
pengolahan makanan yang baik (CPMB), meskipun dengan cara-cara yang
sederhana.
Pertama, memperhatikan masalah sanitasi dan higiene. Kebersihan pada setiap

tahapan proses pengolahan, yang dimulai dari persiapan dan penyediaan bahan
baku, pemakaian air bersih, tahapan pengolahan, dan pasca pengolahan
(pengemasan dan penyimpanan) makanan atau pangan tradisional merupakan
langkah-langkah penting untuk menghindari terjadinya infeksi dan intoksikasi.
Selain itu usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang antara
bahan baku yang belum diolah dengan bahan jadi juga merupakan upaya
preventif yang harus dilakukan.
Kedua, memanfaatkan secara maksimal sifat sinergisme antara bahan-bahan
penyusun makanan tradisional yang dikombinasikan dengan penambahan asam
untuk menurunkan pH (keasaman) produk. Seperti kita ketahui bahwa kunyit,
jahe, lengkuas, dan bahan-bahan lainnya merupakan pangan tradisional yang
diketahui mempunyai efek antibakteri atau antimikroba. Selain itu, sifat
sinergisme ini juga merupakan usaha untuk menghindarkan penggunaan
pengawet kimia.
Ketiga, upaya pelayanan purna jual yang diberikan kepada konsumen, dengan
cara penulisan label pada kemasan makanan. Penulisan informasi tentang batas
akhir penggunaan makanan (kadaluarsa), komposisi gizi penyusun makanan
tradisional, komposisi zat gizi yang terkandung, bahan pengawet yang
digunakan, informasi kehalalan, dan nama perusahaan atau industri rumah


tangga yang memproduksi. Langkah ini merupakan suatu jaminan mutu kepada
konsumen tentang produk yang akan kita pasarkan.
http://uthiexs.blogspot.com/2008/08/keamanan-pangan-fungsional-berbasis.html

Pangan Fungsional dari Pangan Tradisional
Oleh: Elvira Syamsir
Berbagai kajian epidemiologi, penelitian maupun data klinis menunjukkan bahwa
beberapa makanan dan/atau komponen pangan tertentu bisa memberikan pengaruh
positif terhadap kesehatan. Sejalan dengan perbaikan ekonomi dan pemahaman
terhadap pengaruh pangan terhadap kesehatan, maka tuntutan konsumen terhadap
makanan yang akan dikonsumsinya tidak lagi hanya sekedar harus mempunyai
komposisi gizi yang baik, atau penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi juga
harus memiliki fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Tuntutan
ini menyebabkan pangan fungsional saat ini tumbuh dan berkembang pesat.
Banyak pangan tradisional kita yang bisa dikategorikan sebagai pangan fungsional.
Bisakah dikembangkan menjadi pangan fungsional ‘modern’?
Pangan Fungsional
Menurut Badan POM, pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah
maupun telah diproses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan
kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang
bermanfaat bagi kesehatan. Untuk dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional,
maka pangan tersebut haruslah bisa dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan
atau minuman dengan karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur dan
cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen serta tidak memberikan kontraindikasi
maupun efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya pada jumlah
penggunaan yang dianjurkan.
Walaupun mempunyai manfaat bagi kesehatan, pangan fungsional bukanlah obat
ataupun suplemen makanan sehingga bukan merupakan kapsul, tablet, atau bubuk
yang berasal dari senyawa alami. Pangan fungsional dapat dikonsumsi bebas
seperti makanan dan minuman pada umumnya, tanpa adanya batasan dosis
tertentu. Bila obat digunakan untuk mengobati suatu penyakit, maka pangan
fungsional lebih ditujukan untuk penurunan risiko, perlambatan atau pencegahan
penyakit tertentu. Yang paling utama adalah mencegah penyakit degeneratif dan
meningkatkan daya tahan tubuh khususnya pada proses pemulihan pasca sakit.
Pangan fungsional bisa mengandung serat makanan, asam lemak, vitamin atau
mineral tertentu, produk pangan yang ditambahkan dengan komponen bioaktif
seperti komponen fitokimia atau komponen antioksidan lainnya atau mengandung
probiotik. Dilihat dari ada tidaknya proses pengolahan, maka pangan fungsional
bisa dalam bentuk segar atau dalam bentuk pangan olahan. Pada pangan olahan,
karakteristik sebagai pangan fngsional bisa muncul karena adanya komponen aktif
di dalam bahan baku, terbentuknya komponen aktif karena proses pengolahan dan
atau adanya penambahan komponen aktif ke dalam produk.
Buah dan sayur yang dikonsumsi segar merupakan bentuk sederhana dari suatu

pangan fungsional. Selain itu, rempah-rempah juga merupakan gudang senyawa
bioaktif dengan berbagai manfaat bagi kesehatan. Sehingga, produk-produk olahan
berbasis bahan-bahan ini bisa dikelompokkan sebagai pangan fungsional,
sepanjang proses pengolahannya tidak merusak komponen aktif tersebut.
Produk pangan fungsional olahan yang cukup populer bagi konsumen misalnya susu
probiotik (yoghurt, yakult, kefir, coumiss); makanan sarapan, roti dan produk bakery
lainnya yang diperkaya serat pangan, mie dan produk pasta yang diperkaya dengan
berbagai vitamin dan mineral dan/atau serat makanan; minuman yang mengandung
serat; serta susu kaya rendah lemak dan kaya kalsium.
Yang Tradisional dan Fungsional
Pangan yang dapat dikatakan sebagai pangan fungsional bukan hanya pangan yang
diolah secara modern atau yang menggunakan bahan-bahan impor. Produk pangan
tradisional kitapun, sangat banyak yang mengandung komponen bioaktif yang
bermanfaat bagi kesehatan dan karenanya dapat dikategorikan sebagai pangan
fungsional.
Apa itu pangan tradisional? Pangan tradisional adalah makanan dan minuman
termasuk makanan jajanan serta bahan campuran yang digunakan secara
tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah atau masyarakat
Indonesia. Produk biasanya memiliki citarasa spesifik yang disukai oleh masyarakat
setempat, dan dibuat dengan menggunakan resep warisan dari generasi ke
generasi, dengan menggunakan bahan-bahan dari sumber lokal.
Bahan pangan segar yang banyak dijumpai di Indonesia, banyak yang kaya dengan
komponen fitokimia dan serat makanan sehingga bersifat menyehatkan ketika
dikonsumsi dalam kondisi segar. Sebagai contoh, buah jambu biji, pepaya, pisang
dan sirsak serta sayuran seperti wortel dan tomat serta sayuran lain yang dimakan
sebagai lalapan atau karedok, gado-gado dan acar seperti daun kemang, kangkung,
paria, daun singkong, labu siam, leunca, bayam, daun katuk, terong, kacang
panjang, daun kedondong, kecipir, daun selasih dan lain sebagainya.
Umbi-umbian banyak digunakan dalam resep-resep produk jajanan tradisional.
Selain mengenyangkan, umbi-umbian kaya akan serat dan beberapa juga kaya
oligosakarida, sehingga dapat digunakan sebagai pangan fungsional untuk serat
dan/atau prebiotik. Disamping itu, ketiadaan gluten dalam umbi-umbian membuat
produk olahannya dapat dikonsumsi oleh orang-orang yang sensitif terhadap gluten.
Dari segi bumbu, penggunaan rempah-rempah dalam jenis dan jumlah yang banyak
adalah ciri khas dari pangan tradisional Indonesia. Selain memberi nilai labih pada
aspek sensorik, tanaman rempah sudah sejak lama dikenal mengandung komponen
fitokimia yang berperan penting untuk pencegahan dan pengobatan berbagai
penyakit. Sehingga, penggunaannya di dalam produk tradisional tanpa disadari ikut
memberi andil dalam mempertahankan kesehatan.
Beberapa produk olahan pangan tradisional juga dapat dikategorikan sebagai
pangan fungsional. Produk-produk tersebut bisa berasal dari bahan nabati atau
hewani, dalam bentuk makanan ataupun minuman. Dari kelompok makanan,

contohnya adalah tempe, tape, dangke (keju lunak dari daerah Enrekang, Sulawesi),
cincau, brem, peyeum, tauco, tempoyak dan acar. Dalam bentuk minuman kita
mengenal minuman beras kencur, temulawak, kunyit asam, bir pletok (minuman
rempah dari darah Sunda), sekoteng dan bandrek, dadih (susu kerbau fermentasi
dari Sumatera Barat) dan lainnya. Produk-produk ini dapat memberikan efek
menyehatkan bagi tubuh bila dikonsumsi.
Mengembangkan Pangan Fungsional Berbasis Pangan Tradisional
Bisakah pangan tradisional diproses menjadi pangan fungsional modern?
Jawabannya: bisa. Adanya bukti ilmiah yang menunjukkan keberadaan komponen
bioaktif di dalam suatu produk tradisional, menjadi pintu pembuka untuk lebih serius
mengembangkan produk pangan fungsional berbasis pangan fungsional. Tentu
saja, untuk dapat mengembangkan produk pangan fungsional tersebut, ada
beberapa hal yang perlu kita perhatikan.
Konsep yang harus selalu diingat adalah bahwa pangan fungsional merupakan
produk pangan, sehingga harus bisa dikonsumsi secara bebas, seperti halnya
pangan sehari-hari. Oleh karena itu, produk yang dikembangkan dalam bentuk
tablet, kapsul, kaplet dan bubuk dengan batasan dosis pemakaian, tidak bisa
dikatakan sebagai pangan fungsional.
Produk tradisional yang dikembangkan sebagai pangan fungsional sebaiknya
dimulai dari produk pangan tradisional populer yang telah sejak lama dikonsumsi
secara turun-temurun dan secara epidemiologis maupun penelitian telah terbukti
bermanfaat bagi kesehatan.
Pengembangannya dilakukan dengan tetap mengacu pada kebiasaan makan
masyarakat dan atribut yang menjadi ciri pangan tradisional sebaiknya tetap
dipertahankan.
Karena banyak komponen bioaktif yang bersifat rentan terhadap berbagai kondisi
proses pengolahan, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk mempertahankan
komponen bioaktif selama proses produksi produk. Hal ini penting diperhatikan agar
klaim sebagai pangan fungsional untuk suatu efek kesehatan tertentu dapat
terpenuhi. Informasi mengenai hal ini dapat diperoleh dari literatur atau hasi-hasil
penelitian.
Mengembangkan proses produksi pangan yang baku untuk memperoleh produk
dengan mutu yang konsisten. Standarisasi dlakukan dalam hal pengadaan ingridien
dan bahan tambahan pangan, juga tahapan proses pengolahan, penyimpanan dan
distribusi produk. selain itu, aspek higiene, sanitasi dan cara pengolahan pangan
yang baik mutlak harus dilakukan untuk menghasilkan produk yang aman untuk
dikonsumsi.
Setelah poin-poin diatas, maka satu hal lagi yang penting dilakukan adalah
memperhatikan aspek pemasarannya. Prestise pangan fungsional berbasis pangan
tradisional ini perlu diangkat agar dapat berpenetrasi ke dalam masyarakat yang
lebih luas dan mampu bersaing dengan produk luar. Untuk hal ini, maka aspek
penyajian/penampilan, pembentukan image dan promosi produk menjadi sangat
penting untuk diperhatikan.

http://ilmupangan.blogspot.com/2012/02/pangan-fungsional-dari-pangan.html

Pangan tradisional Presentation Transcript





1. Pangan Fungsional Berbasis Pangan Tradisional Ade Yulia
2. Makanan tradisional adalah makanan danPangan Tradisional minuman, termasuk
makanan jajanan serta bahan campuran yang digunakan secara tradisional dan telah
lama berkembang secara spesifik di daerah atau masyarakat Indonesia• Pangan
tradisional meliputi berbagai jenis bahan pangan seperti bahan asal tanaman (kacangkacangan, sayuran hijau, umbi-umbian, buah- buahan), asal hewani (kerang, ikan,
unggas), dan bahan rempah-rempah (jahe, kunyit, ketumbar, salam, sereh, beluntas,
sirih, pinang, dll)
Contoh pangan3. Contoh Pangan Tradisional tradisional yang memenuhi
persyaratan pangan fungsional adalah: serbat, dadih kunyit-asam,
temulawak,minuman beras kencur, (fermentasi susu khas Sumatera Barat), dali
(fermentasi susu kerbau jamu, dan tempe, tape, sekoteng atau bandrek,khas
Sumatera Utara), lain-lain.



4. • Contoh makanan tradisional mancanegara adalah: yoghurt, kefir, koumiss, dan
lain-lain



5. SUMBER PANGAN umumnya mengandung komponen bioaktif yangRempahrempahTRADISIONAL bersifat antioksidan (zat pencegah radikal bebas yang
menimbulkan kerusakan pada sel-sel tubuh), dan dapat berinteraksi dengan reaksireaksi fisiologis, sehingga mempunyai kapasitas antimikroba, anti pertumbuhan sel
kanker, dan Dari kelompok bahan pangansebagainya. rempah-rempah, jahe
merupakan komoditi yang paling banyak digunakan



6. Luasnya penggunaan jahe disebabkan karena aroma yang khas, dapat diterima,
dan dinikmati dalam lauk, kue, manisan, permen, maupun Secara ilmiah jahe mampu
meningkatkanminuman. aktifitas salah satu sel darah putih, memiliki kemampuan
sebagai anti masuk angin, dan juga merupakanSayuran dan buah-buahanmemiliki
aktivitas antioksidan. sumber utama serat makanan, vitamin C, asam folat, karotenoid,
flavonoid, dan senyawa-senyawa spesifik lainnya.



Semua7. komponen yang terdapat pada sayuran dan buah-buahan telah terbukti
mempunyai satu Apabila konsumsi sayuran danatau lebih sifat-sifat buah-buahan
dikombinasikan dengan tambahan konsumsi rempah-rempah yang tinggi kandungan
senyawa bioaktifnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa efek sinergis dalam
mencegah penyakit degeneratif (jantung koroner, darah tinggi, diabetes, osteoporosis,
dan kanker) akan lebih besar



8. Keamanan Pangan Fungsional Berbasis Pangan Peningkatan mutu, keamanan, dan
prestise pangan tradisionalTradisional (1) pemilihan bahan mentah yangdapat
dilakukan dengan upaya-upaya : (3) penanganan (2) pemilihan bahan tambahan
pangan yang baik,baik, yang lebih higienis, dan (4) penyajian/penampilan yang
lebih menarik.



9. • Berbagai pangan tradisional secara empiris mempunyai khasiat dan
dikembangkan sebagai pangan fungsional.• Disamping mutu dan kesesuaian klaim
khasiat dengan dukungan ilmiah, aspek keamanan pangan fungsional yang berbasis
pangan tradisional menjadi tuntutan konsumen saat ini.



10. Pangan tradisional umumnya memiliki kelemahan dalam keamanan
Adanyaterhadap bahaya biologi atau mikrobiologi, kimia, dan fisik.  Rendahnya
mutu bahan baku,bahaya atau cemaran terjadi karena Belum diterapkannnya
paraktek sanitasi danTeknologi pengolahan, Kurangnya kesadaran pekerja maupun
produsenhigiene yang memadai, dan yang menangani pangan tradisional



11. Keamanan Keamanan panganBerdasarkan UU Pangan No. 7 tahun
1996,Pangan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan Pangan yangmembahayakan kesehatan manusia. aman pangan
yang tidak mengandung bahaya biologi atau mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya
fisik



12. Bahaya biologis atau mikrobiologis• terdiri dari parasit (protozoa dan cacing),
virus, dan bakteri patogen yang dapat tumbuh dan sehingga dapat menyebabkan

infeksi dan keracunan.• Beberapa bakteri patogen juga dapat menghasilkan toksin
(racun), sehingga jika toksin tersebut terkonsumsi oleh manusia dapat menyebabkan
intoksikasi


13. • Intoksikasi adalah kondisi dimana toksin sudah terbentuk di dalam makanan atau
bahan pangan, sehingga merupakan keadaan yang lebih berbahaya.• Bahan pangan
yang sudah dipanaskan sebelum disantap toksin sudah terbentuk masih tetap aktif dan
bisa menyebabkan keracunan meski bakteri tak ada dalam makanan.



14. • Adanya virus dan protozoa dalam makanan atau bahan pangan masih belum
banyak yang diteliti dan diidentifikasi.• Virus hepatitis A dan protozoa Entamoeba
hystolitica diketahui dapat mencemari air• Cacing terdapat pada hasil-hasil
peternakan, misalnya Fasciola hepatica yang ditemukan pada daging atau hati sapi.•
Adanya cemaran cacing akan mengakibatkan infeksi pada manusia jika
mengkonsumsi daging atau hati sapi yang tidak dimasak dengan baik



15. Bahaya Kimia• Disebabkan oleh adanya bahan kimia yang dapat menimbulkan
terjadinya intoksikasi.• Bahan kimia penyebab keracunan diantaranya logam berat
(timbal/Pb dan raksa/Hg).• Cemaran-cemaran tersebut berasal dari cemaran industri,
residu pestisida, hormon, dan antibiotika.



16. • Terbentuknya toksin akibat pertumbuhan dan perkembangan jamur atau kapang
penghasil toksin juga termasuk dalam bahaya kimia.• Beberapa jamur atau kapang
penghasil toksin (mikotoksin) adalah Aspergillus sp., Penicllium sp., dan Fusarium
sp., yang dapat menghasilkan aflatoksin, patulin, okratoksin, zearalenon, dan
okratoksin.



17. Bahaya Fisik• Terdiri potongan kayu, batu, logam, rambut, dan kuku yang
kemungkinan berasal dari bahan baku yang tercemar, peralatan yang telah aus, atau
juga dari para pekerja pengolah makanan.• Bahaya fisik tidak selalu menyebabkan
terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan, tetapi bahaya ini dapat sebagai
pembawa atau carier bakteri- bakteri patogen dan tentunya dapat mengganggu nilai
estetika makanan yang akan dikonsumsi.



18. Keamanan Mikrobiologis Pangan Tradisional• Sayuran sebagai sumber serat yang
sangat baik ternyata mengandung jumlah cemaran bakteri dalam jumlah yang tinggi.•
kurang baik mengkonsumsi makanan mentah.



19. • Tindakan preventif berupa pencucian yang dilanjutkan dengan pemanasan
(memasak sampai matang) merupakan beberapa kebiasaan positif yang perlu
ditingkatkan• Dilakukan untuk mengurangi atau menurunkan jumlah cemaran bakteri
sehingga dapat mengurangi terjadinya bahaya biologis atau mikrobiologis



20. • Salah satu pangan tradisional yang telah juga diketahui sEbagai pangan
fungsional yang sejak jaman dahulu telah lama dikonsumsi oleh masyarakat kita
adalah minuman jamu.• Minuman jamu dapat dibuat dan disajikan secara sederhana
di tingkat rumah tangga yang kemudian dijual sebagai “jamu gendong”.• Pada
umumnya proses penyiapan jamu ini menggunakan peralatan sederhana dan tingkat
sanitasi dan higiene yang kurang memadai. Hal ini masih ditambah lagi dengan
rendahnya tingkat sanitasi penggunaan peralatan maupun kemasan selama proses
penyiapan jamu tersebut.• Proses penyiapan “jamu gendong” yang seadanya tersebut

merupakan faktor penyebab turunnya mutu jamu yang dihasilkan, dan tentunya ini
dapat berdampak terhadap mutu mikrobiologis jamu yang dihasilkan


21. Upaya Preventif• Hal penting yang harus diperhatikan dalam penyiapan makanan
tradisional yang berkaitan dengan proses penyiapannya adalah penerapan prinsipprinsip cara pengolahan makanan yang baik (CPMB), meskipun dengan cara-cara
yang sederhana



Pertama,22. Kebersihan pada setiapMemperhatikan masalah sanitasi dan
higiene. tahapan proses pengolahan, yang dimulai dari persiapan dan penyediaan
bahan baku, pemakaian air bersih, tahapan pengolahan, dan pasca pengolahan
(pengemasan dan penyimpanan) makanan atau pangan tradisional merupakan
langkah-langkah penting untuk menghindari terjadinya infeksi dan Perlu usaha-usaha
untuk mencegahintoksikasi. terjadinya kontaminasi silang antara bahan baku yang
belum diolah dengan bahan jadi juga merupakan upaya preventif yang harus
dilakukan



23. Memanfaatkan secara maksimal sifat sinergismeKedua, antara bahan-bahan
penyusun makanan tradisional yang dikombinasikan dengan penambahan asam untuk
menurunkan pH Seperti kita(keasaman) produk. ketahui bahwa kunyit, jahe,
lengkuas, dan bahan-bahan lainnya merupakan pangan tradisional yang diketahui
mempunyai efek antibakteri atau Selain itu, sifat sinergisme ini juga
merupakanantimikroba. usaha untuk menghindarkan penggunaan pengawet kimia



Ketiga,24. Upaya pelayanan purna jual yang diberikan kepada konsumen, dengan
cara penulisan label Penulisan informasi tentangpada kemasan makanan. batas
akhir penggunaan makanan (kadaluarsa), komposisi gizi penyusun makanan
tradisional, komposisi zat gizi yang terkandung, bahan pengawet yang digunakan,
informasi kehalalan, dan nama perusahaan atau industri rumah tangga yang Langkah
ini merupakan suatumemproduksi. jaminan mutu kepada konsumen tentang produk
yang akan pasarkan

http://www.slideshare.net/adeyuliathpunja/pangan-tradisional