BAB II URAIAN TEORITIS - Pengaruh Komunikasi Kelompok Terhadap Sikap Anak (Studi Korelasional Pengaruh Komunikasi Kelompok oleh Lembaga Obor Sahabat terhadap Sikap Anak di Daerah Pembuangan Sampah Akhir Simpang Kongsi Medan)

BAB II URAIAN TEORITIS

2.1. Kerangka Teori

  Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan untuk memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana penelitian disorot. Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel atau pokok masalah yang ada dalam penelitiannya (Arikunto, 2005:72).

  Adapun teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah:

2.1.1 Komunikasi

  Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti “sama”, communico, communication, communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal-usul kata komunikasi yang merupakan akar dari kata-kata Latin yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, makna atau pesan dianut secara sama (Mulyana, 2007:46).

  Komunikasi secara mudah diartikan sebagai proses transfer pesan dalam penyaluran informasi atau pesan melalui sarana atau saluran komunikasi kepada komunikan yang tertuju. Dalam literaur-literatur klasik ilmu komunikasi disebutkan yang menjadi “biang permasalahan” komunikasi adalah tidak sampainya pesan (message) atau informasi kepada komunikan. Namun, dalam perjalanan dan perkembangannya pembahasan itu sudah mengalami pergeseran dan perkembangan (Prisgunanto, 2006:1).

  Sementara Harold Laswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel

  

To Whom With What Effect” . Paradigma Laswell diatas menunjukkan bahwa komunikasi

  meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni: komunikator

  

(communicator, source, sender), pesan (message), media (channel), komunikan

(communicant, communicate, receiver, recepient) dan efek (effect, impact, influence).

  Berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi ialah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2003:253).

2.1.2 Proses Komunikasi

  Dalam berkomunikasi ada proses yang terjadi untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan. Ada dua tahap proses komunikasi yaitu secara primer dan sekunder.

  a.

  Proses komunikasi secara primer. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan.

  Bahasa yang paling banyak dipergunakan dalam komunikasi adalalah jelas karena hanya bahasa yang mampu menerjemahkan pikiran seorang kepada orang lain, baik berbentuk ide, informasi atau opini, baik mengenai hal yang kongkret maupun yang abstrak, bukan saja tentang hal atau peristiwa yang terjadi pada saat sekarang melainkan juga pada waktu lalu dan masa yang akan datang. Proses komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan perkataan lain, komunikasi adalah proses membuat sebuah pesan setara (tuned) bagi komunikator dan komunikan.

  Pertama-tama komunikator menyandi (encode) pesan yang akan disampaikan kepada komunikan. Hal ini berarti komunikator memformulasikan pikiran dan atau perasaannya ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Setelah itu komunikan mengawasandi (decode) pesan dari komunikator. Ini berarti komunikan menafsirkan lambang yang mengandung pikiran dan atau perasaan komunikator dalam komunikator dapat menyandi dan komunikan dapat mengawasandi hanya ke dalam kata bermakna yang pernah diketahui dalam pengalaman sehari-hari.

  Wilbur Schramm, dalam karyanya “Communication Research in the United Strates”, menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meanings) yang pernah diperoleh komunikan. Menurut Scrhamm, bidang pengalaman (field of reference) merupakan faktor yang penting dalam komunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung lancar. Sebaliknya bila pengalaman komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain (Effendy, 2003:33).

  b.

  Proses komunikasi secara sekunder. Proses komunikasi secara sekunder adalah penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, radio, televisi, film dan banyak lagi media adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Media merupakan alat atau sarana yang diciptakan untuk meneruskan komunikasi dengan bahasa. Sejalan dengan berkembangnya masyarakat beserta peradaban dan kebudayaannya, komunikasi bermedia mengalami kemajuan dengan memadukan komunikasi

  (mediated communication) berlambang bahasa dengan komunikasi berlambang gambar dan warna.

  Maka film, televisi dan video pun sebagai media yang mengandung bahasa, gambar dan warna. Pentingnya peranan media, yakni media sekunder dalam proses komunikasi disebabkan oleh efisiensinya dalam mencapai komunikan. Surat kabar, radio atau televisi misalnya merupakan media yang efisien dalam mencapai komunikan dalam jumlah yang banyak. Akan tetapi komunikasi bermedia efektif dalam menyampaikan pesan yang bersifat informatif. Sementara untuk menyampaikan pesan persuasif komunikasi dengan tatap muka akan lebih efektif dan efisien karena acuan kerangka (frame of reference) komunikan dapat diketahui komunikator, sehingga umpan balik berlangsung seketika dan komunikator mengetahui tanggapan atau reaksi komunikan pada saaat itu juga.

  Dengan menggunakan komunikasi bermedia, komunikator tidak dapat mengetahui berlangsung pada saat itu dan dinamakan umpan balik tertunda (delayed feedback). Hal ini karena sampainya tanggapan atau reaksi khalayak kepada komunikator memerlukan tenggang waktu. Namun bagamainapun juga dalam proses komunikasi bermedia misalnya surat, poster, spanduk, radio, televisi atau film umpan balik akan terjadi (Effendy, 2003:37).

2.1.3 Komunikasi Kelompok

  Kelompok adalah sekumpulan orang-orang yang terdiri dari dua atau tiga orang bahkan lebih (Bungin, 2008:266). Kelompok memiliki hubungan yang intensif diantara mereka satu sama lainnya terutama kelompok primer intensitas hubungan diantara mereka merupakan persyaratan utama yang dilakukan oleh orang-orang dalam kelompok tersebut. Kelompok memiliki tujuan dan aturan-aturan yang dibuat sendiri dan merupakan kontribusi arus informasi diantara mereka sehingga mampu menciptakan atribut kelompok sebagai bentuk karakteristik yang khas dan melekat pada kelompok itu.

  Kelompok yang baik adalah kelompok yang dapat mengatur sirkulasi tatap muka yang intensif diantara anggota kelompok, serta tatap muka itu pula akan mengatur sirkulasi komunikasi makna diantara mereka, sehingga mampu melahirkan sentimen-sentimen kelompok serta kerinduan diantara mereka. Terminologi tatap muka (face to face) mengandung makna bahwa setiap anggota kelompok harus dapat melihat dan mendengar anggota lainnya dan juga harus dapat mengatur umpan balik secara verbal maupun non verbal dari setiap anggotanya. Kelompok juga memiliki tujuan-tujuan yang diperjuangkan bersama sehingga kehadiran setiap orag dalam kelompok diikuti dengan tujuan-tujuan pribadinya.

  Dengan demikian kelompok memiliki dua tujuan utama, yaitu tujuan masing-masing pribadi dalam kelompok dan tujuan kelompok itu sendiri. Setiap tujuan individu harus sejalan dengan tujuan kelompok, sedangkan tujuan kelompok harus memberi kepastian kepada tercapainya tujuan-tujuan individu. Menurut Anwar Arifin komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok ”kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konperensi dan sebagainya (Anwar Arifin, 1984). Michael Burgoon (dalam Wiryanto, 2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih dengan tujuan yang telah diketahui seerti berbagai informasi, menjaga diri, pemecahan masalah yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggotanya yang lain secara tepat. anggota kelompok secara tidak langsung berhubungan satu sama lain. Melalui identitas ini individu melakukan pertukaran fungsi dengan individu lain dalam kelompok. Pergaulan ini akhirnya menciptakan aturan-aturan yang harus ditaati oleh setiap individu dalam kelompok sebagai sebuah kepastian hak dan kewajiban mereka dalam kelompok. Secara teoritis dalam ilmu komunikasi untuk membedakan komunikasi kelompok kecil dan komunikasi kelompok besar tidak didasarkan pada jumlah komunikan dalam hitungan secara matematik, melainkan pada kualitas proses komunikasi. Karakteristik yang membedakan komunikasi kelompok kecil dan kelompok besar dapat dikaji dalam paparan berikut: a.

  Komunikasi kelompok kecil.

  Komunikasi kelompok kecil adalah komunikasi yang: Ditujukan kepada kognisi komunikan.

  • Prosesnya berlangsung secara dialogis.
  • Dalam komunikasi kelompok kecil, komunikator menunjukkan pesannya kepada benak atau pikiran komunikan, misalnya: kuliah, ceramah, diskusi, seminar, rapat dan lain-lain. Dalam situasi komunikasi seperti itu logika berperan penting. Komunikan akan dapat menilai logis tidaknya uraian komunikator. Proses komunikasi dalam kelompok kecil berlangsung secara dialogis tidak linear melainkan sirkular. Umpan balik terjadi secara verbal. Komunikan dapat menanggapi uraian komunikator artinya bisa bertanya jika tidak mengerti, dapat menyanggah bila tidak setuju dan lain sebagainya. Robert F. Bales dalam bukunya Interaction Process Analysis mendefinisikan kelompok kecil sebagai: Sejumlah orang yang terlibat dalam interaksi satu sama lain dengan suatu pertemuan yang bersifat tatap muka (face to face), dimana setiap anggota mendapat kesan atau penglihatan antara satu sama lainnya yang cukup kentara, sehingga dia baik pada saat timbul pertanyaan maupun sesudahnya dapat memberikan tanggapan kepada masing-masing sebagai perorangan (Effendi, 2003:72) Komunikasi kelompok kecil ditujukan kepada kognisi komunikan dan prosesnya berlangsung secara dialogis, tidak linear (Effendy, 2003:76-77). Umpan balik dalam sebuah kelompok kecil kerap kali berlangsung secara cepat dan langsung. Dalam kelompok kecil, orang memiliki keterlibatan dan komitmen yang kuat. Kelompok kecil memungkinkan keterlibatan anggotanya secara verbal dan partisipasi yang sifatnya langsung. Dalam penelitian ini, komunikasi kelompok yang dimaksud adalah komunikasi kelompok kecil, karena memiliki karakteristik yang telah disebutkan diatas.

  Komunikasi kelompok besar.

  Sebagai kebalikan dari komunikasi kelompok kecil, komunikasi kelompok besar adalah komunikasi yang: Ditujukan kepada efeksi komunikan.

  • Prosesnya berlangsung secara linear.
  • Pesan yang disampaikan oleh komunikator dalam situasi komunikasi kelompok besar ditujukan kepada afeksi komunikan, kepada hatinya atau kepada perasaannya. Jika komunikan pada kelompok kecil umumnya bersifat homogen (antara lain sekelompok
orang yang sama jenis kelaminnya, sama pendidikannya, sama situasi sosialnya), maka komunikan pada komunikasi kelompok besar umumnya bersifat heterogen, mereka terdiri dari individu-individu yang beraneka ragam dalam jenis kelamin, usia, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, agama dan lain sebagainya. Michael Burgoon dan Michael Ruffner dalam bukunya Human Communication, A

  

Revision of Approaching Speech/Communication , memberi batasan komunikasi kelompok

  sebagai interaksi tatap muka dari tiga atau lebih individu guna memperoleh maksud dan tujuan yang dikehendaki seperti berbagai informasi, pemeliharaan diri atau pemecahan masalah sehingga semua anggota dapat menumbuhkan karakteristikpribadi anggota lainnya dengan akurat (the face to face interaction of three or more individuals, for a recognized

  

purpose such as information sharing, self maintenance or problems solving, such that the

member are able to recall personal characteristics of the members accuratelly).

  Ada empat elemen yang tercakup dalam defenisi diatas, yaitu: 1. Interaksi tatap muka, jumlah partisipan yang terlibat dalam interaksi, maksud atau tujuan yang dikehendaki dan kemampuan anggota untuk dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya.

  2. Terminologi tatap muka (face to face), mengandung makna bahwa setiap anggota kelompok harus dapat melihat dan mendengar anggota lainnya dan juga harus dapat mengatur umpan balik secara verbal maupun nonverbal dari setiap anggotanya.

  3. Maksud dan tujuan yang dikehendaki, mengandung bahwa maksud dan tujuan tersebut akan memberikan beberapa tipe identitas kelompok. Kalau tujuan kelompok tersebut adalah berbagi informasi, maka komunikasi yang dilakukan dimaksudkan untuk menanamkan pengetahuan (to impart knowledge). Sementara kelompok yang memiliki tujuan pemeliharaan diri (self maintenance) biasanya memusatkan perhatiannya pada anggota kelompok atau struktur dari kelompok itu sendiri.

  4. Kemampuan anggota kelompok untuk menumbuhkan karakteristik personal anggota tidak langsung berhubungan dengan satu sama lain dan maksud/tujuan kelompok telah terdefenisikan dengan jelas. Batasan lain mengenai komunikasi kelompok dikemukakan oleh Ronald Adler dan

  George Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication. Mereka mengatakan bahwa kelompok merupakan sekumpulan kecil orang yang saling berinteraksi biasanya tatap muka dalam waktu yang lama guna mencapai tujuan tertentu.

  Dengan begitu komunikasi kelompok kecil dapat dikatakan efektif, dalam artian kata komunikator dapat melihat adanya:

  1. Pertanyaan apakah mengerti atau tidak (adanya pengertian).

  2. Dapat mengulangi pesan.

  3. Dapat meyakinkan.

  4. Adanya kesan yang didapat peserta.

  5. Adanya waktu yang lama untuk mencapai tujuan. Menurut Stewart L. Tubs Dan Sylvia Moss, pengertian artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oleh komunikator. Mengulangi pesan maksudnya komunikator harus dapat mengulangi pesannya kepada komunikan, dan pesan komunikator tersebut harus mengarahkan pesannya kepada rasio komunikan, bukan kepada emosinya. Cicero mengajarkan bahwa dalam mempengaruhi pendengar-pendengarnya, seseorang harus meyakinkan mereka dengan mencerminkan kebenaran dan kesusilaan (Effendy, 2005).

  Sedangkan kesan, komunikasi haruslah dapat menumbuhkan kesan yang baik dengan memperoleh simpati dan empati dari komunikan. Waktu, pencapaian saling pengertian kognitif membutuhkan waktu. Semakin sering terjadi pengulangan pesan maka akan semakin tinggi tercapai saling pengertian dan berarti semakin lama waktu yang dibutuhkan (Fajar, 2009). Ronald Adler dan George Rodman membagi kelompok dalam tiga tipe, yaitu kelompok belajar (learning group), kelompok pertumbuhan (growth group) dan kelompok pemecah masalah (problem solving group). Kelompok fasilitator Lembaga Obor Sahabat termasuk kelompok belajar.

  Adler dan Rodman mengemukakan empat elemen komunikasi kelompok, yaitu: 1.

  Interaksi, interaksi dalam komunikasi kelompok merupakan faktor yang penting.

  Karena melalui interaksi inilah kita dapat melihat perbedaan antara kelompok dengan istilah yang disebut dengan Coact. Coact adalah sekumpulan orang yang sama lain 2. Waktu, sekumpulan orang yang berinteraksi untuk jangka waktu yang singkat tidak dapat digolongkan sebagai kelompok. Kelompok mempersyaratkan interaksi dalam jangka waktu yang panjang karena dengan interaksi ini akan dimiliki karakteristik atau ciri yang tidak dipunyai oleh kumpulan yang bersifat sementara.

  3. Partisipasi, keikutsertaan atau keterlibatan anggota dalam interaksi.

  4. Tujuan, mengandung pengertian keanggotaan dalam suatu kelompok akan membantu individu yang menjadi anggota kelompok dapat mencapai tujuan yang diinginkan

2.1.4 Fungsi Komunikasi Kelompok

  Keberadaan suatu kelompok dalam masyarakat dicerminkan oleh adanya fungsi- fungsi yang akan dilaksanakannya. Fungsi-fungsi tersebut mencakup fungsi hubungan sosial, pendidikan, persuasi, pemecahan masalah dan pembuatan keputusan serta fungsi terapi (Sendjaja, 2002:3). Semua fungsi ini dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, kelompok dan para anggota kelompok itu sendiri.

  a.

  Fungsi hubungan sosial, dalam arti bagaimana suatu kelompok mampu memelihara dan menetapkan hubungan sosial diantara para anggotanya, seperti bagaimana suatu kelopok secara rutin memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk melakukan aktivitas yang informal, santai dan menghibur.

  b.

  Fungsi pendidikan, dalam arti bagaimana sebuah kelompok secara formal maupun informal bekerja untuk mencapai dan mempertukarkan pengetahuan. Fungsi pendidikan ini akan sangat efektif jika setiap anggota kelompok membawa pengetahuan yang berguna bagi kelompoknya. Tanpa pengetahuan baru yang disumbangkan masing-masing anggota, mustahil fungsi edukasi ini akan tercapai.

  c.

  Fungsi persuasi, seorang anggota kelompok berupaya memersuasi anggota lainnya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sesorang yang terlibat usaha-usaha persuasif dalam suatu kelompok, membawa risiko untuk tidak diterima oleh para anggota lainnya. Misalnya, jika usaha-usaha persuasif tersebut terlalu bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok, justru orang yang berusaha memersuasi tersebut akan menciptakan suatu konflik, dengan demikian malah membahayakan kedudukannya dalam kelompok. Fungsi problem solving, kelompok juga dicerminkan dengan kegiatan-kegiatannya untuk memecahkan persoalan dan membuat keputusan-keputusan.

  e.

  Fungsi terapi. Kelompok terapi memiliki perbedaan dengan kelompok lainnya, karena kelompok terapi tidak memiliki tujuan. Objek dari kelompok terapi adalah membantu setiap individu mencapai perubahan personalnya. Tentunya individu tersebut harus berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya guna mendapat manfaat, namun usaha utamanya adalah membantu dirinya sendiri bukan membantu kelompok mencapai konsensus. Contoh dari kelompok terapi ini adalah kelompok konsultasi perkawinan, kelompok penderita narkoba dan sebagainya.

2.1.5Klasifikasi dan Karakterisitik Komunikasi Kelompok

  Berikut beberapa klasifikasi komunikasi kelompok menurut para ahli: 1.

  Kelompok primer dan sekunder.

  Charles Horton dan Cooley pada tahun 1909 (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1994) mengatakan bahwa kelompok primer adalah suatu kelompok yang anggota- anggotaya berhubungan akrab, personal dan menyentuh hati dalam asosiasi dan kerjasama. Sedangkan kelompok sekunder adalah kelompok yang anggota- anggotanya berhubungan tidak akrab, tidak personal dan tidak menyentuh hati.

  2. Kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan.

  Theodore Newcomb (1930) melahirkan istilah kelompok keanggotaan

  (membership group) dan kelompok rujukan (reference group). Kelompok

  keanggotaan adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara administratifdan fisik menjadi anggota tersebut.Sedangkan kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. Menurut teori, rujukan mempunyai tiga fungsi, yaitu: fungsi komparatif, fungsi normatif, dan fungsi perspektif.

  3. Kelompok deskriptif dan kelompok preskriptif.

  Jhon F. Cragan dan David W. Wright (1980) membagi kelompok menjadi dua, yaitu: deskriptif dan preskriptif. Kategori deskriptif melihat proses pembentukan kelompok secara alamiah. Berdasarkan tujuan, ukuran dan pola komunikasi, kelompok deskriptif dibedakan menjadi tiga, yaitu: a.

  Kelompok tugas.

  Bertujuan memcahkan masalah, misalnya: transplantasi jantung, atau b. Kelompok pertemuan.

  Adalah orang yang menjadikan diri mereka sebagai acara pokok. Kelompok terapi di rumah sakit jiwa adalah contoh kelompok pertemuan.

  c.

  Kelompok penyadar.

  Mempunyai tugas utama menciptakan identitas sosial politik yang baru. Kelompok preskriptif, mengacu pada lagkah-langkah yang harus ditempuh setiap anggota dalam mencapai tujuan kelompok. Cragan dan Wright mengkategorikan enam format kelompok preskriptif, yaitu: diskusi meja bundar, simposium, diskusi panel, forum, kolokium dan prosedur parlementer. Karakteristik komunikasi kelompok ditentukan melalui dua hal, yaitu norma dan peran. Norma adalah kesepakatan dan perjanjian tentang bagaimana orang-orang dalam suatu kelompok berhubungan dan berperilaku satu dengan lainnya. Norma oleh para sosiolog disebut juga dengan “hukum” (law) ataupun “aturan” (rule), yaitu perilaku-perilaku apa saja yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan dalam suatu kelompok. Ada tiga kategori norma kelompok, yaitu: norma sosial, prosedural dan tugas.

  Norma sosial mengatur hubungan diantara para anggota kelompok. Sedangkan norma prosedural menguraikan dengan lebih rinci bagaimana kelompok harus beroperasi, seperti bagaimana suatu kelompok harus membuat keputusan apakah melalui suara mayotitas ataukah dilakukan pembicaraan sampai tercapai kesepakatan. Dan norma tugas memusatkan perhatian pada bagaimana suatu pekerjaan harus dilakukan. Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran.

  Peran dibagi menjadi tiga, yaitu: peran aktif, peran partisipatif dan peran pasif. Peran aktif adalah peran yang diberikan oleh anggota kelompok karena kedudukannya didalam kelompok sebagai aktivis kelompok seperti pengurus, pejabat dan sebagainya. Peran partisipatif adalah peran yang diberikan oleh anggota kelompok pada umumnya kepada kelompoknya, partisipasi anggota macam ini akan memberikan sumbangan yang sangat berguna bagi kelompok itu sendiri. Sedangkan peran pasif adalah sumbangan anggota kelompok yang bersifat pasif, dimana anggota kelompok menahan diri agar memberi kesempatan kepada fungsi-fungsi lain dalam kelompok dapat berjalan dengan baik.

2.1.6 Fasilitator

  Fasilitator adalah mereka yang ditugasi untuk melakukan fasilitasi dalam proses mengantarkan peserta didik untuk menemukan sendiri isi atau materi pelajaran yang ditawarkan atau yang disediakan melalui/oleh penemuannya sendiri. Sudah barang tentu untuk dapat menemukaan substansi materinya, perlu dibimbing atau dirangsang oleh orang lain utamanya fasilitator maupun anggota lain dalam kelompok tersebut. Kolb menegaskan bahwa belajar hakekatnya merupakan proses membangun pengetahuan melalui transformasi pengalaman.

  Suatu proses belajar dapat dikatakan berhasil bila dalam diri individu terbentuk pengetahuan, sikap, ketrampilan atau kebiasaan baru yang secara kualitatip lebih baik dari sebelumnya melalui sebuah proses yang disebut dengan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang baik adalah proses pembelajaran yang memungkinkan para pembelajar aktif melibatkan diri secara keseluruhan proses, baik secara mental maupun secara fisik. Untuk menawarkan dan menyediakan materi ajar dalam mengantarkan peserta didik agar dapat menemukan substansi materinya, kemampuan fasilitator melakukan komunikasi dan mempresentasikan pemikirannya dalam sebuah proses pembelajaran sangat penting. Tanpa kemampuan komunikasi yang baik, serta kemampuan melakukan peresentasi yang baik, proses transfer ide tidak akan terjadi sehingga niscaya proses itu akan berhasil.

2.1.7 Karakteristik Seorang Fasilitator

  Dalam memberikan pembelajaran kepada anak didiknya, seorang fasilitator harus memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Menguasai materi pembelajaran.

  Agar peserta didik dapat menemukan sendiri isi materinya, terlebih dahulu seorang fasilitator berkewajiban untuk menyampaikan/memberikan materi pelajaran, baik dalam pengertian yang lengkap maupun secara garis besar dari content materi yang ada. Untuk dapat melakukan pengajaran dengan baik sehingga muatan substansinya dapat terarah sesuai dengan tujuannya, maka seorang fasilitator harus mampu membuat skenario pembelajaran agar dapat melakukan penyajian secara sistematis dengan cara menyusun :

  a. Garis-Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) yang merupakan uraian-uraian pokok setiap materi ajar dan mengandung komponen-komponen deskripsi singkat, tujuan pembelajaran, pokok bahasan, indikator hasil belajar, metode, media, waktu yang dibutuhkan, serta sumber kepustakaan. yang memuat mata pelatihan, deskripsi singkat, tujuan pembelajaran, pokok dan sub pokok bahasan, alokasi waktu, serta strategi penyajian yakni kegiatan yang berisi langkah-langkah penyajian tiap materi, alokasi waktu yang dibutuhkan tiap langkah, serta media yang dipakai.Dengan menyusun GBPP dan SAP diharapkan fasilitator dapat mengantarkan materi ajar dengan baik dan tidak kehilangan materi ajar karena waktu.

  2. Kemampuan melakukan komunikasi.

  Komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai proses penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan. Sebagai suatu proses penyampaian informasi, para individu yang terlibat dalam kegiatan komunikasi khususnya, komunikator perlu merancang dan menyajikan informasi yang benar dan tepat sesuai setting komunikasi, dan informasi tersebut disajikan dengan mengunakan bahasa yang sesuai dengan situasi komunikasi dan tingkat nalar penerimaan lawan komunikasi. Berkaitan dengan kemampuan melakukan komunikasi, secara umum keberhasilan komunikasi dipandang dari ketercapaian tujuan komunikasi yang dapat dinilai dari : a.

  Kepercayaan penerima pesan terhadap komunikator serta ketrampilan komunikator berkomunikasi sesuai tingkat nalar komunikan.

  b.

  Daya tarik pesan dan kesesuaian pesan dengan kebutuhan komunikan.

  c.

  Pengalaman yang sama tentang isi pesan antara komunikator dengan komunikan.

  d.

  Kemampuan komunikan menafsirkan pesan, kesadaran, dan perhatian komunikan akan kebutuhannya atas pesan yang diterima.

  e.

  Setting komunikasi yang kondusif (nyaman, menyenangkan dan menantang).

  f.

  Sistem penyampaian pesan berkaitan dengan metoda dan media yang sesuai dengan jenis indera penerima pesan. Penguasaan komunikasi yang baik antara fasiliator dengan peserta didik yang dilatar belakangi gaya belajar masing-masing akan mengantarkan pada tujuan pembelajaran sebagaimana yang diharapkan.Untuk lebih meningkatkan jalinan komunikasi, akan lebih baik lagi apabila fasilitator mengetahui kecenderungan gaya belajar para didik, sehingga dapat mengaturpara didik dengan lebih baik.Berdasarkan buku Kajian Paradigma, ada 4 (empat) gaya belajar (Kajian Paradigma 2006:16) yakni :

  1. Diverger, dengan gaya belajar ini sangat tepat dalam melihat situasi konkrit dari berbagai sudut pandang. Pendekatan yang dilakukan lebih pada mengamati daripada mengambil langkah tindakan. Assimilator, dengan gaya belajar ini lebih tepat dalam memahami sejumlah besar informasi dan mengartikannya ke dalam bentuk yang konkrit dan logika.

  3. Converger, dimana gaya belajar ini lebih tepat menemukan penggunaan- penggunaan praktis atas ide-ide dan teori-teori.

  4. Accomodator, yaitu tipe yang mempunyai kemampuan untuk belajar dari pengalaman lainnya. Dengan memahami gaya belajar peserta, fasilitator akan mengetahui kelemahan dan kekuatan dan kemudian akan mendapatkan manfaat yang besar.

2.1.8 Sikap

  Sikap merupakan kesiapan atau keadaan siap untuk timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (Jahja, 2011:67). Sikap juga merupakan organisasi keyakinan-keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif, yang memberi dasar kepada orang untuk membuat respon dalam cara tertentu. Sikap merupakan penentu dalam tingkah laku manusia, sebagai reaksi sikap selalu berhubungan dengan dua hal yaitu “like” atau “dislike” (senang atau tidak senang, suka atau tidak suka). Mengacu pada adanya faktor perbedaan individu (pengalaman, latar belakang, pendidikan dan kecerdasan) maka reaksi yang dimunculkan terhadap suatu objek tertentu akan berbeda pada setiap orang.

  Menurut Sarnoff (dalam Sarwono, 2000) mengidentifikasikan sikap sebagai kesediaan untuk bereaksi (disposition to react) secara positif (favorably) atau secara negatif

  

(unfavorably) terhadap obyek-obyek tertentu. D.Krech dan R.S Crutchfield (dalam Sears,

  1999) berpendapat bahwa sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai aspek dunia individu.Sedangkan La Pierre (dalam Azwar, 2003) memberikasebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.

  Lebih lanjut Soetarno (1994) memberikan definisi sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek tertentu. Sikap senantiasa diarahkan kepada sesuatu artinya tidak ada sikap tanpa obyek. Sikap diarahkan kepada benda-benda, orang, peritiwa, pandangan, lembaga, norma dan lain-lain.Meskipun ada beberapa perbedaan pengertian sikap, tetapi berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu, sikap atau situasi.

  Berbagai pengertian sikap dapat dimasukkan kedalam tiga kerangka pemikiran. Pertama adalah kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis Thurstone (1928) salah seorang tokoh terkenal di bidang pengukuran sikap. Rensis Likert (1932) juga seorang pionir di bidang pengukuran sikap dan Charles Osgood, mengatakan bahwa sikap adalah bentuk evaluasi dan reaksi perasaan. Sikpa seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau memihak pada objek tersebut (Barkowitz, 1972). Secara lebih sepsifik, Thurstone sendiri menformulasikan sikap sebagai derajat efek positif atau efek negatif terhadap suatu objek psikologis (edwars 1957).

  Kelompok pemikiran yang kedua diwakili oleh para ahli seperti Chave (1928), Bogardus (1931), LaPieree (1934), Mead (1934), dan Gordon Allport (1935; tokoh terkenal di bidang Psikologi Sosial dan Kepribadian) yang konsepsi mereka mengenai sikap lebih kompleks. Menurut kelompok pemikiran ini, sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecendrungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.

  Kelompok pemikiran ketiga adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik

  

(triadic scheme) . Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi

  komponen-komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan dan berprilaku terhadap suatu objek. Secord dan Backman (1964), misalnya mendefenisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Katz dan Stotland (1959) dan Smith (1947) menganggap bahwa konsep respon- respon sikap yang bersikap kognitif, afektif dan konatif sebagaimana dalam skema triadik bukan sekedar cara klasifikasi definisi sikap melainkan suatu telaah yang lebih dalam. Sikap merupakan suatu konstrak multidimensional yang terdiri atas kognisi, afeksi dan konasi.

  Mengikuti skema triadik, struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu: komponen kognitif (cognitive), komponen afektif (affective) dan komponen konatif (conative). Komponen kognitif merupakan reprentasi apa yang dipercayai indivvidu pemilik sikap, komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkup aspek emosional dan komponen konatif merupakan aspek kecendrungan berprilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang. Kothandapani (dalam Middlebrook, 1974) merumuskan ketiga emosional (perasaan), dan komponen perilaku (tindakan).

1. Komponen Kognitif, berhubungan dengan beliefs, ide dan konsep.

  Istilah cognitive berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan , penataan dan penggunaan pengetahuan . Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa.

  Sebagian besar psikolog terutama kognitifis (ahli psikologi kognitif) berkeyakinan bahwa proses perkembangan kognitif manusia mulai berlangsung sejak ia baru lahir. Pendayagunaan kapasitas ranah kognitif sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendayagunakan kapasitas motor dan sensorinya.

2. Komponen afektif, berhubungan dengan dimensi emosional seseorang.

  Emosi merupakan suatu keadaan pada diri organisme atau individu pada suatu waktu tertentu yang diwarnai dengan adanya gradasi efektif mulai dari tingkatan yang lemah sampai pada tingkatan yang kuat (mendalam), seperti tidak terlalu kecewa dan sangat kecewa. Berbagai emosi dapat muncul dalam diri seperti sedih, gembira, kecewa, benci, cinta, marah. Sebutan yang diberikan pada emosi tersebut akan mempengaruhi bagaimana anak berpikir dan bertindak mengenai perasaan tersebut.

  Sejak kecil ia telah mulai membedakan antara perasaan yang satu dengan yang lain, karena perbedaan tanggapan yang diberikan orang tua terhadap berbagai perasaan dan tingkah lakunya. Dapatlah dikatakan bahwa berkembangnya emosi anak tidak terlepas dari hubungan sosial dengan sesamanya. Kemampuan untuk membedakan emosi seseorang tidak hanya berkembang sejalan dengan bertambahnya usia, tetapi juga bagaimana emosi orang-orang disekitarnya. Emosi pada umumnya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.

  Seseorang yang mengalami emosi pada umumnya tidak lagi memerhatikan keadaan sekitarnya. Suatu aktivitas tidak dilakukan oleh seseorang dalam keadaan normal, tetapi adanya kemungkinan dikerjakan oleh yang bersangkutan apabila sedang mengalami emosi. Oleh karena itu sering dikemukakan bahwa emosi cendrung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkiri (avoidance) terhadap sesuatu dan perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian, sehinga orang lain dapat mengetahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi.

3. Konatif, berhubungan dengan kecendrungan atau untuk bertingkah laku.

  Aspek konatif kepribadian ditandai dengan tingkah laku yang bertujuan dan impuls untuk berbuat. Konatif berupa bereaksi, berusaha, berkemauan, dan berkehendak (Chaplin,1995).Menurut Freud konatif merupakan wujud dari kognisi dan afeksi dalam bentuk tingkah laku. Pada perkembangan kepribadiannya, Freud memandang bahwa tahun-tahun permulaan masa kanak-kanak merupakan dasar pembentukan kepribadian. Segala sesuatu yang ada dalam pikirannya ia wujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata.

2.1.9 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap

  Proses belajar sosial terbentuk dari interaksi sosial. Dalam interaksi sosial, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan perilaku (sikap) adalah: 1.

  Pengalaman pribadi.

  Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkapenghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas.

  2. Kebudayaan.

  B.F. Skinner (dalam, Azwar 2005) menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk kepribadian seseorang. Kepribadian tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran) yang dimiliki. Pola reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain.

  Pada umumnya, individu bersikap konformis atau searah dengan sikap orang orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

  4. Media massa.

  Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti televisi, radio, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang.

  Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam n menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

  5. Institusi Pendidikan dan Agama.

  Sebagai suatu sistem, institusi pendidikan dan agama mempunyai pengaruh kuat dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.

6. Faktor emosi dalam diri.

  Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian bersifat sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan lebih tahan lama, contohnya bentuk sikap yang didasari oleh faktor emosional adalah prasangka.

2.1.10 Teori S-O-R

  Teori S-O-R merupakan singkatan dari Stimulus-Organism-Response. Teori ini mengemukakan bahwa tingkah laku sosial dapat dimengerti mengenai suatu analisis dari stimulus yang diberikan dan dapat mempengaruhi reaksi yang spesifik didukung oleh hukuman maupun penghargaan sesuai dengan reaksi yang terjadi. Dengan kata lain, menurut Effendy, efek yang ditimbulkan sesuai dengan teori S-O-R yang merupakan reaksi yang kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan (Effendy, 2003:254)

  Prinsip teori ini pada dasarnya merupakan prinsip belajar yang sederhana, dimana efek merupakan reaksi terhadap stimuli tertentu. Dengan demikian seseorang dapat mengharapkan atau memperkirakan suatu kaitan yang erat antara pesan-pesan media dan reaksi audiens. Dalam proses perubahan sikap, maka sikap komunikan hanya dapat berubah apabila stimulus yang menerpanya benar-benar melebihi dari apa yang pernah dialaminya. Prof. Dr. Mar’at dalam bukunya “Sikap Manusia, Perubahan, serta Pengukurannya” menyatakan bahwa dalam menelaah sikap baru, ada tiga variabel penting (Effendy, 2003:255), yaitu: a.

  Perhatian.

  b.

  Pengertian.

  c.

  Penerima.

  Berdasarkan uraian diatas, maka proses komunikasi dalam teori S-O-R dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

  

Gambar 1

  Jika substansi teori diatas dikaitkan dengan penelitian mengenai fasilitator dan pengaruhnya terhadap sikap anak di daerah pembuangan sampah akhir Simpang Kongsi Medan, maka hubungannya dengan teori S-O-R dapat dikemukakan sebagi berikut: 1.

  Stimulus (pesan) yang dimaksud adalah materi pelajaran yang disampaikan oleh fasilitator.

  3. Response (efek) yang dimaksud adalah adanya perubahan sikap anak di daerah pembuangan sampah akhir Simpang Kongsi Medan setelah mendapatkan materi pengajaran dari fasilitator Lembaga Obor Sahabat.

  Stimulus Organism: a.

  Perhatian b.

  Pengertian c. Penerimaan

  Response

2. Organism (komunikan) yang menjadi sarana adalah anak yang sudah menerima sampah akhir Simpang Kongsi Medan.

2.2 Kerangka Konsep

  Kerangka konsep memungkinkan peneliti untuk mengkomunikasikan hasil-hasil penelitiannya (Suyanto, 2011:50). Agar fungsi konsep itu dapat diterapkan dalam penelitian, setiap konsep yang dibangun haruslah memenuhi syarat. Pertama, makna yang sesungguhnya (makna yang tepat) dari konsep itu harus dimengerti secara umum dan digunakan secara konsisiten. Kedua, menghendaki agar konsep didefenisikan secara eksak (konkret). Memang benar bahwa semakin abstrak rumusan konsep itu akan semakin sulit pula memahami maknanya dalam realitas. Ketiga, agar konsep itu dapat didayagunakan untuk penelitian empiris, konsep itu harus merujuk ke suatu objek tertentu yang dapat diamati.

  Adapun kerangka konsep yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel bebas (X).

  Variabel bebas dalam penelitian ini adalah komunikasi kelompok.

  2. Variabel terikat (Y).

  Variabel terikat dalam penelitian ini adalah sikap anak.

  3. Karakteristik responden.

  Karakteristik responden adalah variabel yang menghubungkan variabel terikat dan variabel bebas.

2.3 Variabel Penelitian

  Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka dibuat variabel penelitian yang berfungsi untuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian, yaitu:

  

Tabel 1

Variabel Operasional

Variabel Teoritis Variabel Operasional

  Jenis Kelamin b.

  Meyakinkan, sejauh mana fasilitator meyakinkan anak terhadap materi pelajaran yang disampaikan.

  c.

  Mengulangi pesan , seberapa sering fasilitator mengulang materi pelajaran kepada anak.

  b.

  Pengertian, sejauh mana anak mengerti akan materi pelajaran yang disampaikanoleh fasilitator.

  a.

  Variabel Bebas (komunikasi kelompok).

  Definisi operasional merupakan penjabaran lebih lanjut tentang konsep yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep. Maka variabel operasional yang meliputi penelitian ini dapat didefenisikan sebagai berikut: 1.

  Usia c. Pendidikan

  Keputusan Karakteristik Responden a.

  Variabel Bebas (X) Komunikasi Kelompok a.

  Keinginan b.

  Puas 3. Konatif a.

  Senang b.

  Pemahaman 2. Afektif a.

  Pengetahuan b.

  Kognitif a.

  Variabel Terikat (Y) Sikap Anak 1.

  Kesan e. Waktu

  Mengulangi pesan c. Meyakinkan d.

  Pengertian b.

2.4 Definisi Operasional

  d.

2. Variabel Terikat (sikap anak).

  1. Keinginan, merupakan keinginan/kemauanuntuk melakukan.

  Secara etimologis perkataan hipotesa berasal dari dua perkataan, yaitu: Hypo yang berarti kurang dari dan Thesa yang berarti pendapat atau teori. Kedua kata ini kemudian digunakan secara bersamaan menjadi hypotesis dan penyebutan dalam dialeg Indonesia menjadi hipotesa kemudian berubah menjadi hipotesis yang maksudnya adalah suatu kesimpulan yang masih kurang atau kesimpulan yang masih belum sempurna sehingga perlu disempurnakan dengan membuktikan kebenaran hipotesis itu melalui penelitian.

  Pendidikan, yaitu pendidikan terakhir anak.

  c.

  Usia, yaitu usia dari responden.

  b.

  Jenis kelamin, yaitu pria dan wanita.

  a.

  3. Karakteristik Responden.

  2. Keputusan, merupakan tindakan untuk melakukan.

  Konatif, merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh anak setelah terjadi pembentukan dan perubahan perilaku.

  Kesan, adalah tampilan gaya bahasa yang disampaikan oleh fasilitator ketika menyampaikan materi pelajaran sehingga menumbuhkan kesan yang baik.

  b.

  2. Puas, merupakan kepuasan terhadap materi pelajaran yang disampaikan.

  1. Senang, merupakan perasaan senangsetelah menerima materi pelajaran yang disampaikan.

  Afektif, merupakan proses pembentukan sikap anak terhadap materi yang disampaikan.

  a.

  2. Pemahaman, merupakan pemahaman anak terhadap materi yang disampaikan.

  1. Pengetahuan, anak mengetahui materi pelajaran yang disampaikan.

  Kognitif, merupakan aspek intelektual berkaitan dengan apa yang diketahui oleh anak yang berada di daerah pembuangan sampah akhir Simpang Kongsi Medan.

  a.

  Waktu, adalah seberapa lama jangka waktu interaksi yang dilakukan antara fasilitator dengan anak.

  e.

2.5 Hipotesis

  Pembuktian itu hanya dapat dibuktikan dengan menguji hipotesis dimaksud dengan kata dilapangan (Bungin, 2010:75).

  Berdasarkan konsep dan judul dari landasan teori diatas maka dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: Ha : Terdapat hubungan antara komunikasi kelompok terhadap sikap anak di daerah pembuangan sampah akhir Simpang Kongsi Medan. Ho : Tidak terdapat hubungan antara komunikasi kelompok terhadap sikap anak di daerah pembuangan sampah akhir Simpang Kongsi Medan.

Dokumen yang terkait

Peran Komunikasi Kelompok dan Minat Berolahraga (Studi Korelasional Tentang Pengaruh Komunikasi Kelompok Terhadap Minat Berolahraga Pada Anggota Asosiasi BMX Indonesia Pengda Sumatera Utara di Taman Sri Deli Medan

0 68 104

Komunikasi Kelompok Kecil Dan Motivasi Kerja (Studi Korelasional tentang Pengaruh Komunikasi Kelompok Kecil terhadap Motivasi kerja Karyawan PT Tupperware Indonesia Cabang Medan Maimun)

2 70 103

Pengaruh Komunikasi Kelompok Terhadap Sikap Anak (Studi Korelasional Pengaruh Komunikasi Kelompok oleh Lembaga Obor Sahabat terhadap Sikap Anak di Daerah Pembuangan Sampah Akhir Simpang Kongsi Medan)

0 28 102

Pengaruh Komunikasi Kelompok Terhadap Aktualisasi Diri (Studi Korelasional tentang Pengaruh Komunikasi Kelompok Terhadap Aktualisasi Diri pada Mahasiswa UKM Sepak Bola Universitas Sumatera Utara)

6 58 123

Komunikasi Kelompok Dan Motivasi Pengembangan Diri (Studi Korelasional Tentang Pengaruh Komunikasi Kelompok Terhadap Motivasi Pengembangan Diri pada Member MLM CNI di PO DC-369 Kota Pematang Siantar)

5 141 126

Pengaruh Komunikasi Interpersonal dan Komunikasi Kelompok terhadap Kohesivitas Kelompok pada Supporter Persebaya Korwil Suramadu

0 0 21

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori - Komunikasi Interpersonal Orang tua dan Anak tentang Pendidikan Kesehatan Reproduksi

0 0 34

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teoritis - Komunikasi Organisasi dan Kinerja Pegawai (Studi Korelasional mengenai Pengaruh Komunikasi Organisasi terhadap Kinerja Pegawai di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Toba Samosir)

0 0 24

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori - Strategi Komunikasi Dan Tingkat Kepuasan (Studi Korelasional Pengaruh Strategi Komunikasi Terhadap Tingkat Kepuasan Pasien Pengguna Kartu Askes di Bagian Rawat Inap RSUD Djoelham, Binjai)

0 0 35

BAB II URAIAN TEORITIS - Komunikasi Antarpribadi Pada Anak Penderita Autisme (Studi Kasus Mengenai Komunikasi Efektif Pada Anak Penderita Autisme di Sekolah Khusus Autisme YAKARI)

0 0 19