BAB II KAJIAN PUSTAKA - Proyeksi dalam Cerita Rakyat Melayu : Kajian Linguistik Sistemik Fungsional

BAB II KAJIAN PUSTAKA

  “Teori bahasa memiliki cara yang beragam dalam melihat fenomena bahasa” (Sinar, 2003:13). Di dalam penelitian ini, teori bahasa yang akan digunakan adalah teori Systemic

  

Functional Linguistics dalam menganalisis teks-teks dalam cerita-cerita rakyat Melayu,

yaitu: 1). Hikayat Ketapel Awang Bungsu; 2) Legenda Pantai Cermin; 3) Buyung Besar.

  Ketiga teks ini diteliti untuk mengetahui jenis-jenis proyeksi yang terdapat di dalamnya.

2.1 Teori Systemic Functional Linguistics

  Teori Systemic Functional Linguistics mulanya berasal dari Aliran Neo Firthian Aliran ini mempunyai banyak nama, seperti teori linguistik sistematik, teori linguistik sistemik (systemic linguistics), atau teori linguistik fungsional, apapun sebutan yang ada, teori ini tidak bisa lepas dari seseorang yang bernama Michael Alexander Kirkwood Halliday (MAK Halliday) yang telah menemukan dan mengembangkan teori kebahasaan tersebut. Ia merupakan salah seorang murid dari Firth, seorang ahli bahasa yang mengembangkan aliran Firth, guru besar di Universitas London, dimana Halliday belajar (http://bangpek-kuliahsastra.blogspot.com/2011/12/aliran-neo-firthian.html).

  Teori Systemic Functional Linguistics merupakan teori yang dipilih dalam menganalis data pada penelitian ini. Pemilihan ini didasarkan pada 5 (lima) keunggulan TSFL bila dibandingkan dengan teori atau mahzab linguistik lain: 1) objek kajian dilakukan pada teks atau wacana sebagai unit pemakaian bahasa; 2) keberpijakan pada konteks sosial dalam mengkaji teks; 3) keseimbangan kajian bentuk dan arti bahasa, yang penekanan kajian kepada unsur bentuk atau artin ini telah menjadi masalah dan bahkan pertentangan dalam perkembangan linguistik; 4) kajian sintagmatik yang diatautkan dengan paradigmatik untuk menerangkan dasar kefungsionalan dan motivasi dalam satu uni tata bahasa; dan 5) keberagaman kriteria (multicriteria) yang digunakan dalam mendeskripsikan atau mengukur satu unit tata bahasa, yang dalam tata bahasa formal hanya ada dua, yakni benar atau salah (Saragih, 2006:i).

  Teori Systemic Functional Linguistics ini di Indonesia memperoleh dua penerjemahan yang menjadi rujukan teks berbahasa Indonesia dalam penelitian ini.

  Terjemahan pertama adalah Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) oleh Tengku Silvana Sinar dalam bukunya Teori dan Analisis Wacana: Pendekatan Sistemik-Fungsional (terbit 2003 dan dicetak ulang 2008). Terjemahan kedua Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) oleh Amrin Saragih dalam bukunya Bahasa dalam Konteks Sosial: Pendekatan Lunguistik

  

Fungsional Sistemik terhadap Tata Bahasa dan Wacana (2006) dan Fungsi Tekstual dalam

Wacana: Panduan Menulis Rema dan Tema (2007).

  Teori Linguistik Fungsional Sistemik dipelopori oleh Profesor M.A.K. Halliday. Menurut Sinar (2003:14), teori ini menyakini bahwa bahasa atau teks selalu berada pada konteks pemakaiannya. Secara historis, menurut Saragih (2007:1), teori ini dikembangkan oleh Halliday (2004) dan para pakar lainnya, seperti Martin (2003), Halliday dan Matthiessen (2001), serta Kress (2002). Teori ini berkembang di Inggris, tetapi perkembangannya sangat pesar terutama sejak Linguistics Department dibuka di University

  of Sydney pada tahun 1976.

  Sinar (2003:14) menjelaskan istilah ‘Teori Linguistik’ mempunyai dua implikasi. Implikasinya, analisis wacana harus menggunakan teori bahasa yang memiliki kerangka penelitian analisis wacana dalam konteks linguistik dengan mengikuti prinsip-prinsip teori mengisyaratkan pemilihan pendekatan bahasa yang secara interpretatif bersifat semiotik, tematis, dan antardisiplin.

  Selanjutnya, Sinar (2003:15) bersepakat bahwa istilah ‘Sistemik’ berimplikasi kepada tiga hal. Ketiga hal itu mengisyaratkan bahwa analisis bahasa untuk memperhatikan hubungan sistem(ik) dalam berbagai kemungkinan pada jaringan sistem hubungan dan dapat memulai pilihan dari dari fitur umum ke spesifik, yang vertikal atau paradigmatik. Di samping itu, fenomena yang diinvestigasi melibatkan sistem-sistem makna. Sistem-sistem makna tersebut mendasari analisis bahasa, baik berada di belakangnya, di bawahnya, di atasnya, di sekelilingnya, atau di seberang fenomena yang sedang diinvestigasi.

  Sebaliknya, istilah ‘Fungsional’ mengimplikasikan tiga hal, yaitu bahwa analisis wacana memberi perhatian kepada 1). Realisasi fungsional dari sistem dalam struktur- struktur dan pola-pola, yang secara strurtur bersifat horizontal dan sinitagmatis, (2) fungsi- fungsi atau makna-makna yang ada dalam bahasa tersebut, dan 3) fungsi-fungsi atau makna-makna yang ada beropperasi di dalam tingkat dan demensi bervariasi dalam bahasa yang dikaji.

  Menurut Saragih (2007:1-6), pendekatan fungsional memiliki tiga pengertian, yang saling bertaut. Pertama, pendekatan fungsional berpendapat bahwa bahasa terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, bahasa terstruktur berdasarkan tujuan penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan untuk suatu fungsi atau tujuan disebut teks (text). Oleh karena itu, teks yang digunakan untuk menceritakan peristiwa (narasi) terstuktur berbeda dengan teks yang digunakan untuk melaporkan satu peristiwa (laporan), kecenderungan tata bahasa dalam teks sejarah berbeda dengan teks fisika, dan struktur teks politik berbeda dengan teks kesastraan.

  Dengan pengertian fungsional yang pertama ini, teks dinterpretasikan berdasarkan konteks sosial, yakni segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata lain, konteks sosial memotivasi pengguna atau pemakai bahasa menggunakan struktur tertentu. Konteks sosial yang mempengaruhi bahasa ini dalam teori Systemic Functional Linguistics terdiri atas konteks situasi (register) dan budaya (culture) yang di dalamnya termasuk ideologi (ideology).

  Konteks situasi mengacu kepada kondisi dan lingkungan yang mendampingi atau sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika interaksi antar pemakai bahasa terjadi. Menurut Halliday dan Hasan (1985) konteks situasi terdiri atas tiga unsur, yaitu field, tenor dan mode of discourse. Ketiga unsur tersebut mengandung arti 1) medan (field). Yakni apa

  • what yang akan dibicarakan dalam interaksi, 2) pelibat (tenor), yakni siapa--- who yang dibicarakan dalam interaksi, dan 3) cara (mode), yakni bagaimana- ---how interaksi dilakukan.

  Lebih lanjut, Halliday (1974) dalam Saragih (2007:2) menegaskan bahwa bahasa adalah fenomena antarmanusia yang disebut sebagai interorganism, yang berbeda dengan pendapat para pakar linguistik formal, misalnya Chomsky yang berpendapat bahasa sebagai fenomena intraorganism atau hal yang terjadi di dalam diri manusia. Dengan kata lain, secara spesifik para pakar Systemic Functional Linguistics mengamati, bahwa struktur teks ditentukan oleh unsur yang ada di luar teks, yakni konteks sosial. Hubungan antara teks dan konteks sosial adalah hubungan construal, yakni saling menentukan, konteks sosial menentukan teks dan teks menentukan konteks sosial. Dengan kata lain, pada suatu saat konteks sosial terbentuk dan konteks sosial ini mempengaruhi teks. Pada saat berikutnya, teks yang wujud itu merujuk dan membentuk konteks sosialnya.

  Kedua, berkaitan dengan pengertian fungsional pertama, fungsi bahasa dalam

  kehidupan manusia mencakup tiga hal, yaitu (1) memaparkan atau menggambarkan (ideational function), (2) mempertukarkan (interpersonal function), dan (3) merangkai (textual function) pengalaman manusia. Ketiga fungsi ini disebut metafungsi bahasa (metafunction), yakni fungsi bahasa untuk penggunaan bahasa. Masing-masing fungsi direalisasikan oleh tata bahasa yang berbeda sifatnya dan tidak saling berhubungan.

  Dengan demikian, dalam perspektif Systemic Functional Linguistics, tata bahasa (lexicogrammar) merupakan teori tentang pengalaman manusia, yakni teori yang mencakupi paparan, pertukaran, dan organisasi pengalaman manusia.

  Pengertian fungsional ketiga adalah setiap unit bahasa adalah fungsional terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan pengertian ini ditetapkan bahwa morfem adalah fungsional di dalam kata, kata adalah fungsional dalam grup atau frase, grup atau frase adalah fungsional dalam klausa, dan klausa menjadi unsur fungsional dalam klausa kompleks. Dengan pandangan ini, para pakar Systemic Functional

  

Linguistics berpendapat bahwa dalam mengkaji satu unit linguistik, unit linguistik itu dikaji

  dari tiga posisi, yakni dari (1) unit yang lebih besar di atasnya yang di dalam unit di atasnya itu unit linguistik itu menjadi elemen/ konstituen, (2) unit yang lebih kecil di bawahnya yang menjadi elemen/konstituen dan membangun unit bahasa yang dikaji, dan (3) unit yang setara atau sama posisinya dengan unit kajian.

  Teori Systemic functional Linguistics sangat potensial dengan berbagai demensi analisis dalam teks dan wacana. Dalam demensi bahasa, analisis dapat dilakukan terhadap tiga strata bahasa yaitu semantik, leksikogramatika, dan fonologi atau ortografi. Ketiga strata ini mempunyai pengertian bahwa suatu makna direalisasikan ke dalam tata bahasa atau disebut leksikogramatika dan akhirnya direalisasikan ke dalam bunyi bahasa ataupun tulisan.

  Pendekatan Systemic Functional Linguistics terhadap analisis teks juga mencakup analisis konteks. Konteks atau konteks sosial selalu menyertai teks dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Halliday menistilahkan construal yaitu adanya hubungan konstrual bahwa konteks sosial yang menentukan dan ditentukan oleh teks. Menurut Halliday (1978) dalam Saragih (2007:2), konteks sosial terbagi tiga, yaitu konteks situasi (register), konteks budaya (genre), dan konteks ideologi. Konteks situasi merupakan unsur yang penting dalam bahasa karena manusia berbicara atau menulis harus disesuaikan dengan konteks situasinya.

  Konteks budaya (genre) yaitu kegiatan berbahasa yang bertahap, bermatlamat sebagai aktivitas yang beroerientasi pada tujuan di mana penulis/penutur melibatkan diri sebagi anggota-anggota dari bidaya itu sendiri (Sinar, 2003:68). Selanjutnya, konteks teks mempunyai ideologi yang merujuk sikap, nilai yang dikonstruksikan secara sosiial menjadi konsep yang dinyakini oleh masyarakat. Dengan demikian, bahasa yang terdiri atas unsur makna (semantik), tata bahasa (leksikogramatika) dan bunyi (fonologi) mempunyai konteks situasi budaya di atasnya, Ketiga jenis konteks ini direalisasikan oleh bahasa seperti terdapat dalam diagram berikut:

Gambar 2.1 : Hubungan Teks dan Konteks (Saragih, 2006:3)

  Ideolog i Buday a

  Situasi Semanti Tata Bahasa Tata

  Fonologi k Bahasa Bahasa Selanjutnya, Martin (1993) dalam Sinar (2003:8-9) menjelaskan dalam rancangannya bahwa bahasa berada di dalam konteks sosial. Konsekuensinya, untuk memahami bahasa harus memahami konteks sosialnya juga karena bahasa sebagai sistem semiotik merealisasikan konteks sosial sebagai sebuah sistem sosial.

  

Gambar 2.2: Bahasa sebagai Realisasi Konteks Sosial

(adaptasi dari Martin, 1993:142)

Bahasa

  

B

Kontek Sosial

  Selain itu, Matthiessen (1993) dalam Sinar (2003:17) merancang stratifikasi bahasa dalam konteks. Ia berpendapat bahwa di dalam bahasa terdapat makna (semantik), di dalam makna terdapat leksikogrammatika, dan di dalam leksikogramatika terdapat fonologi. Dengan demikian, bahasa meliputi tiga unsur sekaligus yaitu semantik, leksikogramatika, dan fonologi.

  

Gambar 2.3: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks

(Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227)

ooooooooooo

  Situasi Berikut ini adalah perbandingan enam model konteks dalam kerangka teori

  Systemic Functional Linguistics oleh beberapa pakar: Tabel 2.1: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks (Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227; lihat juga Sinar, 2003:55) Konteks Halliday (1964) Gregory (1967) Ure &Elis (1977) Halliday (1978) Fawcett (1980) Martin (1982)

  Budaya Genre Situasi Medan

  Wacana Medan Wacana Medan

  Wacana Medan Wacana Pokok

  Persoalan Medan Wacana Pelibat

  Wacana Personal Formalitas Pelibat Wacana

  Tujuan Hubungan Pelibat Wacana

  Pelibat Wacana Fungsional Peran Tujuan

  Pragmatik Sarana Wacana Sarana

  Wacana Sarana Wacana Sarana

  Wacana Sarana Wacana Sarana

  Wacana Konteks: sistem makna tingkat lebih tinggi

  Bahasa Isi

  semantik Fonologi ekspresi leksikogramatika Berdasarkan perbandingan di atas dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan konteks situasi. Halliday membagi konteks situasi menjadi tiga, yaitu medan wacana, pelibat wacana dan sarana wacana. Sedangkan Martin menggunakan genre sebagai rujukan untuk konteks budaya. Berbeda dengan Halliday dan Martin, Gregory membagi pelibat wacana menjadi dua bagian pelibat wacana personal dan fungsional, sedangkan Ure dan Elis membagi pelibat wacana ke dalam dua bagian formalitas dan peran. Fawcet membagi pelibat wacana berdasarkan tujuan hubungan dan pragmatik.

2.2 Fungsi dan Penggunaan Bahasa

  Menurut teori sistemik, Sinar ( 2003:19) bahasa adalah fenomena sosial, yaitu bahasa cenderung sebagai alat berbuat (doing) sesuatu daripada mengetahui (knowing) sesuatu. Bahasa adalah sistem jaringan yang terdiri atas pilihan-pilihan arti. Beberapa pokok pikiran penting TLSF dan bagaimana satu dengan yang lainnya berhubungan dalam membentuk dasar dan kerangka kerja analisis wacana akan dibagi menjadi lima penegasan utama, yaitu: 1) bahasa adalah sistem; 2) bahasa adalah fungsional; 3) fungsi bahasa adalah membuat makna; 4) bahasa adalah sistem semiotik sosial; dan 5) Penggunaan bahasa adalah kontekstual.

2.2.1 Bahasa adalah Sistem

  Dalam percakapan seseorang dapat memilih arti yang ingin disampaikannya ketika berinteraksi dengan lawan bicara. Sejumlah pilihan arti (sistem) yang direalisasikan melalui pilihan bentuk bahasa tersebut cenderung bersifat paradigmatik daripada sintagmatik.

  Selanjutnya, Sinar (2003:19) mengatakan bahwa sistem arti bahasa dinamakan semantik yang dieskspresikan dengan bantuan tata bahasa dan kosakata. Makna diberikan dalam kata-kata secara gramatika dan teratur adalah sintagmen yang terdiri atas bagian leksikal dan bagian gramatikal.

2.2.2 Bahasa adalah Fungsional

  Bahasa adalah fungsional berhubungkait dengan kenyataan bahwa bahasa timbul dan wujud untuk melayani keperluan-keperluan manusia. Oleh karena itu, seseorang perlu memusatkan perhatian kepada bagaimana manusia menggunakan bahasa supaya memahaminya (Sinar, 2003:19).

  Halliday dan Hasan (1985:10) mendefinisikan teks sebagai bahasa yang fungsional. Fungsional diartikan sebagai bahasa yang melakukan perkerjaan yang sama dalam suatu konteks. Di dalam konteks ini, bahasa yang fungsional bukan kata-kata atau kalimat yang terisolir yang mungkin dituliskan seseorang di atas papan tulis. Dengan demikian, hakekat teks adalah sebagai entitas semantik, sehingga sebuah teks harus dipertimbangkan dari dua perspektif sekaligus, baik sebuah produk maupun sebagai sebuah proses.

  Menurut Saragih (2006:3) terdapat tiga pengertian dalam konsep fungsional di dalam konteks sosial.

  1) Bahasa terstruktur sesuai dengan kebutuhan manusia akan bahasa. 2) Bahasa berfungsi untuk memaparkan, mempertukarkan dan merangkai pengalaman.

  Ketiga fungsi ini disebut dengan metafungsi bahasa. 3) Satu unit bahasa fungsional terhadap unit lain yang lebih besar. Artinya satu unit bahasa dapat menjadi unit bahasa yang lebih besar misalnya kata, frase dan klausa. Bahasa dalam analisis wacana dengan pendekatan linguistik fungsional sistemik mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi memaparkan, mempertukarkan dan merangkai pengalaman.

  2.2.3 Fungsi Bahasa adalah Membuat Makna

  Bahasa berfungsi membuat makna. Hal ini dapat dibuktikan ketika manusia mengekspresikan keperluan-keperluan mereka melalui bahasa, mereka membuat makna dalam teks. Halliday (1975) dalam Sinar (2003:20) berpendapat bahwa belajar bahasa adalah belajar memaknai yang mempunyai konsekuensi pada proses belajar-mengajar. Di dalam hal ini, Halliday (1975:37) memandang pembelajaran bahasa sebagai belajar memaknai atau mempelajari cara membuat makna. Dengan demikian, teori Systemic

  Functional Linguistics i mempunyai kekuatan pada nilai pendidikan linguistik.

  Fokus Systemic Functional Linguistics terhadap bahasa sebagai institusi sosial memberi makna khusus teks dan konteks. Hal ini memunculkan pandangan bahwa bahasa adalah sebuah sistem atau sistem pilihan yang relevan dengan pendidikan linguistik. Bagi praktisi pendidikan merupakan sesuatu yang penting untuk memahami perspektif bahwa seseorang belajar dalam proses sosial dan potensinya sangat erat hubungannya dengan bagaimana seorang anak membuat makna dengan menggunakan bahasa. Di dalam fungsi bahasa ini, seorang anak dalam aksinya belajar berbahasa, ia sekaligus mempelajari budaya melalui bahasa yang dipelajarinya. Sistem semiotik yang dikonstruksikan oleh anak tersebut menjadi sarana utama bagi transmisi budaya.

  2.2.4 Bahasa adalah Sistem Semiotik Sosial

  Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika sosial. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara bersama¬sama membentuk budaya manusia. Halliday mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.

  Sejalan dengan pengertian semiotik di atas, kajian makna suatu bahasa harus ditempatkan pada konteks sosial. Hal ini membawa implikasi bahasa bertautan dengan makna dalam budaya. Sudah pasti dalam budaya mana pun banyak cara yang berkenaan dengan makna yang berada di luar bidang bahasa. Cara-cara tersebut meliputi baik bentuk- bentuk seni seperti lukisan, ukiran bunyi-bunyian, tarian, dan lainnya, maupun bentuk- bentuk tingkah laku budaya lainnya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup seni, misalnya ragam pertukaran, pakaian, susunan keluarga dan seterusnya. Ini semua pembawa makna dalam budaya. Pada hakikatnya, dalam konteks ini budaya didefinisikan sebagai seperangkat sistem semiotik, sistem makna yang semuanya saling berhubungan. Pengertian umum tentang semiotik ini tidak dapat dijelaskan melalui konsep tanda sebagai suatu kesatuan lahiriah, tetapi semiotik sebagai sistem-sistem makna, yang dapat dipandang sebagai tatanan yang bekerja melalui semacam bentuk luar keluaran (output) yang disebut tanda, tetapi tatanan-tatanan itu sendiri bukan perangkat benda tersendiri, melainkan merupakan jaringan- jaringan hubungan. Dalam arti inilah istilah ‘semiotik’ digunakan untuk melihat bahasa, yaitu bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia.

  Istilah sosial dalam konteks bahasa adalah sistem semiotik sosial bersinonim dengan kebudayaan. Menurut Sinar (2003:21), “Konsep semiotik sosial adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti ini tersebut.” Jadi, semiotik sosial yang dimaksudkan adalah batasan sistem sosial atau kebudayaan sebagai suatu sistem makna. Istilah ‘sosial’ juga digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan bahasa dengan struktur sosial, dengan memandang struktur sosial sebagai satu segi dari sistem sosial. Jadi dalam pengertian ini, bahasa dijelaskan dengan menggunakan pandangan sosial karena dimensi sosial sangatlah signifikan dan yang selama ini paling diabaikan dalam pembahasan-pembahasan bahasa dalam pendidikan.

  Bahasa dipandang dari perspektif pendidikan suatu proses sosial. Lingkungan tempat belajar itu berlangsung dalam suatu lembaga sosial, seperti ruangan kelas atau sekolah dengan struktur sosialnya yang digariskan dengan lebih jelas atau yang lebih abstrak, menyangkut sistem sekolah atau jalannya kependidikan. Ilmu pengetahuan disampaikan dalam konteks sosial melalui hubungan-hubungan seperti orang tua dengan anak, guru dengan murid atau antarteman sekelas yang digariskan dalam tata nilai dan ideologi kebudayaan yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, menurut Halliday (1975) dalam Sinar (2003:20-21), belajar bahasa adalah belajar memaknai yang mempunyai konsekuensi pada proses belajar mengajar. Dengan demikian, seseorang dalam aksinya belajar berbahasa sekaligus mempelajari budaya melalui bahasa yang dipelajari dalam sistem sosial kehidupannya.

2.2.5 Penggunaan Bahasa adalah Kontekstual

  Konsep konteks ini merujuk pada hubungan linguistik dengan konteks budaya yang disebabkan oleh ketergantungan makna linguistik terhadap konteks budaya. Bahasa adalah ungkapan perilaku sosial dalam konteks-konteks (Sinar, 2003:23). Hal ini disebabkan bahasa merupakan ungkapan ekspresi seseorang dalam merespon kondisi sosial budayanya, sehingga makna dari setiap kata dalam tingkat tertentu sangat tergantung pada konteks pembicaraan seseorang.

  Selanjutnya, Sinar (2003: 23-24) menambahkan bahwa konteks dipengaruhi oleh teks. Apabila seseorang menganalisis teks secara vertikal ke bawah, ini berarti teks dianalisis berdasarkan variabel linguistik (klausa, frase, kata, morfen, dst). Sebaliknya, apabila tks dianalisis secara vertikal ke atas berarti teks dilihat dari variabel kontekstual, yaitu konteks situasi, budaya dan ideologi. Hal ini disebabkan variabel yang hidup di atas teks berinteraksi dengan teks yaitu saling pengaruh mempengaruhi.

Gambar 2.4 Konteks Budaya dan Konteks Situasi dalam Demensi Potensialitas (Adaptasi dari Matthiessen 1993:272, lihat juga Sinar 2003:24)

  Budaya Jenis Situasi (umum) Sistem linguistik

  Register

  Situasi

  Teks

2.3 Metafungsi Bahasa

  Makna metafungsi adalah makna yang secara simultan terbangun dari tiga fungsi bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi ideasional mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan dengan interpretasi dan berkenaan dengan interaksi antara penutur/penulis dengan pendengar/pembaca. Sementara itu, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotis dan berkenaan dengan cara penciptaan teks dalam konteks (Halliday & Martin, 1993:29).

  Berdasarkan penjelasan di atas, makna metafungsi melingkupi tiga jenis makna, dan realisasinya di dalam teks dapat dilihat dari unsur-unsur leksikogramatika (lexicogrammar), yaitu cara kata-kata disusun beserta segala akibat maknanya dalam membentuk registernya. Sebagai salah satu wilayah makna metafungsional, makna tekstual tercipta dari gabungan antara fungsi ideasional dan fungsi interpersonal. Makna tekstual adalah makna sebagai hasil dari realisasi unsur-unsur leksikogramatika yang menjadi media terwujudnya sebuah teks, tertulis atau lisan, yang runtut dan yang sesuai dengan situasi tertentu pada saat bahasa itu dipakai dengan struktur yang bersifat periodik (Martin, 1993:10-21).

  Menurut Sinar (2003:28), Metafungsi bahasa mempunyai 3 (tiga) komponen, yaitu: 1) ideasional; 2) interpersonal, dan 3) tekstual. Sumber ideasional berhubungan dengan pemahaman dan pengalaman: apa yang telah terjadi, termasuk apa yang dilakukan seseorang terhadap siapa, dimana, kapan, kenapa, dan bagaimana hubungan logikal terjadi antara satu dengan yang lainnya. Sumber interpersonal membahas hubungan sosial: bagaimana masyarakat berinteraksi, termasuk perasaan saling berbagi di antara mereka dan sumber tekstual membahas alir informasi: cara makna ideasional dan interpersonal disebarkan pada semiosis, tgermasuk interkoneksi antara aktivitas dan bahasa (tindakan, gambar, musik, dll).

2.3.1 Fungsi Ideasional

  Fungsi ideasional terbagi dua; yaitu fungsi eksperensial dan fungsi logis. Di bawah ini akan dijelaskan secara rinci ke dua fungsi tersebut.

2.3.1.1 Fungsi Eksperensial

  Di dalam fungsi eksperensial, bahasa terdiri dari enam proses yaitu proses material, verbal, mental, relasional, perilaku, dan wujud. Setiap proses didampingi oleh partisipan yang direalisasi oleh nomina atau grup nomina. (Sinar, 2003:31-37). (1)

  Proses material adalah proses yang melibatkan kegiatan fisik, seperti mendorong, mengangkat dan berlari. Proses material didampingi oleh dua partisipan utama yaitu aktor dan gol. Partisipan lain yang dapat mendampingi proses material adalah jangkauan dan penerima.

  Contohnya: Fadil membeli kamus Bahasa Inggris. Aktor Proses Material Gol

  (2) Proses verbal berada di antara proses mental dan realsional dan proses ini melibatkan informasi misalnya berkata, bertanya, menyapa, dll. Partisipan dalam proses verbal adalah penyampai, pesan, target, dan penerima.

  Contohnya:

  Titin memberitahu saya berita gembira itu

  Penyampai proses verbal penerima target (3) Proses mental adalah proses yang berkaitan dengan indera, kognisi, emosi dan persepsi misalnya melihat, mencintai, dan berpikir. Partisipan dalam proses mental adalah pengindera dan fenomenon. Contohnya: Perempuan itu sangat mencintai anaknya Pengindra proses mental fenomenon (4) Proses relasional adalah proses hubungan antarunit bahasa yang terbagi atas hubungan intensif, hubungan sirkumstan, dan hubungan posesif. Ketiga hubungan ini dibagi atas mode intensif (posisi kedua entitas dapat saling dipertukarkan) dan atribut (posisi kedua entitas tidak dapat saling dipertukarkan). Partisipan dalam proses relasional terdiri atas bentuk, nilai, penyandang, dan atribut. (i) Hubungan intensif menunjukkan hubungan satu entitas dengan entitas yang lain, seperti:

  Ibunya (adalah) seorang dosen

  Penyandang proses relasional atribut (ii) Hubungan sirkumstan menunjukkan hubungan satu entitas dengan lingkungan yang terdiri atas lokasi (waktu, tempat, dan urutan), sifat, peran atau fungsi, penyerta, dan sudut pandang, seperti:

  Ulang tahunnya (adalah) tanggal 14 September

  Penanda Proses relasional nilai (sirkumstan:waktu) (iii) Hubungan posesif menunjukkan kepunyaan, seperti:

  Kamus itu (adalah) milik dia

  Milik proses relasional pemilik (5) Proses Perilaku (behavioural) merupakan aktivitas atau kegiatan fisiologis yang menyatakan tingkah laku fisik manusia. Secara semantik, proses tingkah laku terletak di antara proses material dan mental. Partisipan dalam prooses ini adalah petingkah laku. Proses ini ditanda dengan verba bernafas, batuk, pingsan, tidur, tertawa, dan sebagainya. Contohnya:

  Orang itu tertawa terbahak-bahak

  Petingkah laku proses tingkah laku sirkumstan (6) Proses wujud (eksistensial) menunjukkan keberadaan satu entitas. Secara semantik, proses wujud berada di antara proses material dan relasional. Partisipan dalam proses wujud (eksistensial) ini adalah maujud (eksisten). Proses ini ditandai oleh verba ada, berada, muncul, terjadi, bertahn, tumbh, dan tersebar.

  Contohnya:

  Ada banyak masalah di perusahaan ini

  Proses wujud maujud sirkumstan

2.3.1.2 Fungsi Logis Selain fungsi eksperensial, juga terdapat fungsi logis di dalam fungsi ideasional.

  Fungsi logis yang dimaksudkan di sini yaitu bahwa bahasa memiliki satu atau lebih dari satu klausa yang disusun berdasarkan hubungan logis berdasarkan posisi antarklausa dan makna antarklausa. Posisi antarklausa mengacu pada status satu klausa dengan klausa lainnya yang disebut taksis. Dengan kata lain, hubungan antar klausa membentuk logika bahasa alamiah yang diukur menurut jenis-jenis hubungan ketergantungan antara klausa yang disebut taksis (Sinar, 2003:45-46).

  Taksis terbagi atas parataksis (hubungan klausa yang setara ditandai dengan angka 1,2,3.....n) dan hipotaksis (hubungan klausa yang tidak setara yang ditandai dengan α, β, χ, δ ). Hubungan logis semantik menunjukkan makna yang timbul antar klausa dan dibagi dua yaitu ekspansi dan proyeksi. Ekspansi menunjukkan bahwa klausa kedua memperluas makna klausa pertama dengan tiga cara yaitu elaborasi, ekstensi, dan ganda sedangkan proyeksi merupakan representasi kembali pengalaman linguistik ke pengalaman linguistik lain.

  Dari tabel berikut ini dapat diketahui bahwa parataksis menunjukkan kesetaraan hubungan dua klausa. Sebaliknya, hipotaksis menunjukkan ketidaksetaraan hubungan dua klausa. Elaborasi menunjukkan makna klausa pertama sejajar/setara dengan makna klausa kedua. Ekstensi berarti makna klausa kedua menambah makna yang ada pada klausa pertama. Ganda berarti makna klausa kedua melipatgandakan makna yang ada pada klausa pertama. Proyeksi lokusi menunjukkan proyeksi kata sedangkan proyeksi ide menunjukkan proyeksi makna.

  

Tabel 2.2: Hubungan Semantik Logis dan Taksis

(Adaptasi dari Halliday, 1994: 214-220)

Hubungan Logis Semantik Taksis Parataksis Hipotaksis

  Ekspansi Elaborasi (=) Anak itu buta; dia tidak bisa melihat apa-apa. 1=2

  Anak itu buta, yang sangat menyusahkan kami α = β

  Ekstensi (+) Ayahnya bekerja di Medan dan ibunya bekerja di Surabaya 1+2

  Ayahnya bekerja di Medan sedangkan ibunya bekerja di Surabaya α + β `

  Ganda (x) Dia sedang marah dan karena itu dia pergi 1x 2

  Dia mengatakan bahwa dia akan pergi α ” β

  Proyeksi Lokusi (“) Dia berkata, “aku akan pergi.”

  1”2 Dia mengatakan bahwa dia akan pergi α ” β

  Ide (‘) Dia berfikir, “aku Dia berfikir dia

  1’2 α ‘β

  2.3.2 Fungsi Antarpersona

  Fungsi antarpersona adalah fungsi bahasa yang mampu mempertukarkan pengalaman dalam interaksi sosial. Fungsi antarpersona merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik. Dengan kemampuan berinteraksi sosial, maka manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam melakukan suatu aksi maka dari segi semantik, aksi terbagi dalam empat aksi dasar yang disebut dengan protoaksi yaitu pernyataan (memberi informasi), pertanyaan (meminta informasi), tawaran (memberi barang dan jasa), dan perintah (meminta barang dan jasa).

  Keempat aksi dasar atau protoaksi tersebut kemudian direalisasikan ke dalam tingkat tata bahasa yang disebut modus. Aksi pernyataan biasanya direalisasikan ke dalam modus deklaratif. Aksi pertanyaan biasanya direalisasikan oleh modus interogatif dan aksi perintah direalisasikan oleh modus imperatif. Namun, aksi tawaran tidak mempunyai modus karena tidak mempunyai modus yang Bermarkah sebagai realisasinya. Dengan demikian, tawaran dapat direalisasikan oleh salah satu dari ketiga modus. Modus itu dibangun oleh lima unsur yaitu subjek, finit, predikator, komplemen, dan adjunct.

  

Tabel 2.3: Posisi Subjek, Finit, Predikator, Komplemen, dan

Adjuct dalam Teks

  Kami Akan Mengadakan Rapat besok pagi

  Subjek Finit Predikator Komplemen Adjunct Mood Residue

  2.3.3 Fungsi Tekstual

  Fungsi ketiga dari bahasa adalah merangkai pengalaman yang disebut dengan fungsi tekstual. Fungsi tekstual bahasa adalah sebuah interpretasi bahasa dalam fungsinya sebagai pesan. Hal ini diinterpretasikan sebagai sebuah fungsi intrinsik kepada bahasa itu sendiri, dalam arti bahwa bahasa berkaitan dnegan aspek situasional dimana bahasa atau teks terdapat di dalamnya. Dengan kata lain, fungsi titik temu membuat bahasa atau teks relevan secara internal ke dalam bahasa itu sendiri demikian juga secara eksternal kepada konteks atau situasi di mana bahasa itu digunakan. Fungsi ini memberi kemampuan kepada seseorang untuk membedakan sebuah teks sebagai bahasa yang termotivasi secara fungsional dan kontekstual dan pada sisi yang lain dari yang bukan teks sebagai bahasa terpisah dari yang lain.

2.4 Teks

  Dalam pandangan Halliday (1992) dalam (Mascahaya 2010:61), teks dimaknai secara dinamis. Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi. Teks adalah contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual menggunakan bahasa; apa saja yang dikatakan atau ditulis; dalam konteks yang operasional (operational context) yang dibedakan dengan konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata yang didaftarkan dalam kamus ( 1978:109). Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual ‘dilakukan’, ‘dimaknai’ dan ‘dikatakan’ oleh masyarakat. Terkait dengan teks, Halliday memberikan beberapa penjelasan sebagai berikut:

  Pertama, teks adalah unit semantis. Menurut Halliday (1978:135) kualitas tekstur ditak didefinisikan dari ukuran. Teks adalah sebuah konsep semantis. Meskipun terdapat pengertian sebagai sesuatu di atas kalimat (super-sentence), sesuatu yang lebih besar daripada kalimat, dalam pandangan Halliday hal ini secara esensial salah tunjuk pada kualitas teks. Kita tidak dapat merumuskan bahwa teks itu lebih besar atau lebih panjang kalimat-kalimat itu lebih merupak an ‘realisasi teks’ daripada merupakan sebuah teks itu sendiri. Sebuah teks ‘tidak tersusun’ dari kalimat-kalimat atau klausa, tetapi ‘direalisasikan’ dalam kalimat-kalimat.

  Kedua, teks dapat memproyeksikan makna kepada level yang lebih tinggi. Menurut Halliday (1978:138) sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam level-level sistem lingual yang lebh rendah-seperti sistem leksikogramatis dan fonologis juga merupakan realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis, dan sebagainya yang dimiliki oleh teks itu. Level-level yang lebih rendah ini memiliki kekuatan untuk memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi, yang oleh Halliday deberi istilah ‘latar depan’ (foregrounded).

  Ketiga, teks adalah proses sosiosemantis. Halliday 91978:139) berpendapat bahwa dalam arti yang sangat umum, sebuah teks merupakan sebuah perjumapaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat yakni individu-individu adalah seorang pemakna (meaner). Melalui tindak-tanduk pemaknaan antara individu ersama individu lainnya, realitas sosial diciptakan, dijaga dalam urutan yang baik, dan secara terus menerus disusun dan dimodifikasikan.

  Fitur esensial seuah teks adalah adanya interaksi. Dalam pertukaran makna itu terjadi peruangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat.

  Karena sifatnya yang ‘perjuangan’ itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.

  Keempat, situasi adalah faktor penentu teks. Menurut Halliday (1978:141) makna bentuk teks. Makna tidak diciptakan dalam keadaan terisolasi dari lingkungannya. Secara tegas dirumuskan oleh Halliday bahwa ‘makna adalah sistem sosial’. Perubahan dalam sistem sosial akan direfleksikan dalam teks. Situasi akan menentukan bentuk dan makna teks.

2.5 Konteks Situasi Teks

  Halliday (1978:1-10) menyatakan bahwa konteks situasi (register), ditinjau dari kerangka konseptual mempunyai tiga pokok bahasan yaitu medan makna (Field), pelibat (Tenor) dan sarana (Mode). Medan, sarana, dan pelibat wacana adalah prinsip-prinsip yang digunakan untuk memberi tafsiran konteks situasi teks atau wacana.

2.5.1 Medan Wacana (Field of Discourse)

  Medan wacana merujuk kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusi tempat satuan-satuan bahasa itu muncul. Untuk menganalisis medan wacana kita dapat mengajukan pertanyaan what is going on?, yang mencakup tiga hal, yakni ranah pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang.

  Ranah pengalaman merujuk kepada ketransitivan yang mempertanyakan apa yang terjadi dengan seluruh ‘proses’, ‘partisipan’, dan ‘keadaan’. Tujuan jangka pendek merujuk pada tujuan yang harus segera dicapai. Tujuan ini bersifat amat kongkret. Tujuan jangka panjang merujuk pada tempat teks dalam skema suatu persoalan yang lebih besar. Tujuan ini bersifat lebih abstrak.

  2.5.2 Pelibat Wacana (Tenor of Discourse)

  Pelibat wacana merujuk pada hakikat relasi antar partisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat, kita dapat mengajukan pertanyaan who is taking part?, yang mencakup tiga hal, yakni peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial.

  Peran terkait dengan fungsi yang dijalankan individu atau masyarakat. Status terkait dengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, sejajar atau tidak. Jarak sosial terkait dengan tingkat pengenalan partisipan terhadap partisipan lainnya, akrab atau memiliki jarak. Peran, status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula permanen.

  2.5.3 Modus Wacana (Mode of Discourse)

  Modus wacana merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dlam situasi, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Untuk menganalisis modus, pertanyaan yang dapat diajukan adalah

  what’s role assigned to language?, yang mencakup lima hal, yakni peran bahasa, tipa intraksi, medium, saluran, dan modus retoris.

  Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahsa dalam aktivitas; bisa saja bhasa brsifat wajib (konstitutif) atau tidak wajib; penyokong tambahan. Peran wajib trjadi apabila bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran tambahan terjadi apabila bahasa membantu aktivitas lainnya. Tipe interaksi merujuk pada jumlah pelaku; monologis atau dialogis.

  Medium terkait dengan sarana yang digunakan; lisan, tulisan, atau isyarat. Saluran brkaitan deang bagaimana teks itu dapat diterima; fonis, grafis, atau visual. Modus retoris merujuk pada ‘perasaan’ teks secara keseluruhan; yakni persuasif, kesastraan, akademis, edukatif,

2.6 Teks Narasi

  Teks narasi (narative genre) adalah tulisan kreatif dan imaginatif yang tujuannya untuk memberikan kesenangan yaitu mendapatkan perhatian pembaca dan memupuk imajinasi pembaca terhadap cerita (Sinar, 2003:68-69). Dalam istilah Linguistik Fungsional Sistemik, ragam teks dinamakan genre. Genre mempunyai struktur yang disebut struktur generik (Sinar, 2003 dalam Halliday dan Hasan, 1984) atau struktur skematika (Sinar, 2003 dalam Martin,1984). Ada beberapa jenis genre, yaitu: genre narasi, genre kisah, genre laporan, genre deskripsi, genre prosedur, genre instruksi, genre ekplanasi, genre eksposisi, genre argumentasi dan genre diskusi. Dalam kesempatan ini tidak dijelaskan struktur skematika genre selain genre narasi. Hal ini disebabkan karena tesis ini hanya berfokus pada genre narasi.

  Secara umum struktur skematika setiap genre dimulai dari pendahuluan, pertengahan dan penutup (Sinar, 2003: 69-82).Dalam genre narasi penutur/penulis sering memilih detil-detil sebagai bagian dari keseluruhan perluasan cerita (misalnya personalitas pemain utama), jenis situasi (hubungan dengan karakter-karakter lain), alur cerita dan latar belakang cerita.

  Narasi selalu dimulai dengan orientasi. Dalam orientasi, penutur atau penulis mencoba membawa imajinasi pembaca ke suatu keadaan yang melatar belakangi sebuah cerita. Latar belakang cerita ini dapat berupa gambaran suatu tempat atau pendeskripsian suatu keadaan di mana alur cerita itu dimulai. Selanjutnya struktur skematika narasi dilanjutkan dengan abstrak yang merupakan kalimat atau kata awal yang menyatakan ringkasan keseluruhan cerita. Kemudian dilanjutkan dengan komplikasi yang merupakan seperangkat kejadian yang menimbulkan komplikasi karena kejadian tidak berlangsung yang ada kemudian berangsur diselesaikan dan ditemukan jalan keluarnya inilah yang disebut resolusi. Evaluasi ialah suatu aksi yang berlangsung dengan suspensi yang koinsiden dengan resolusi. Kesuluruhan struktur skematika ini ditutup dengan koda yang menyatakan akhir sebuah cerita. Unsur-unsur yang disebut di atas berlangsung secara berurutan (chronological order) yaitu unsur yang satu direalisasikan oleh unsur yang lainnya (^) dan hadir secara berulang-ulang (n) sehingga menjadi struktur skematika narasi.

  Secara ringkas struktur skematika narasi adalah: orientasi ^ abstrak (n) ^ komplikasi (n) ^ resolusi (n) ^ (evaluasi) (n) ^ (koda) (Sinar, 2003:70).

  2. 7 Proyeksi

2.7.1 Pengertian Proyeksi

  Halliday (2004: 441) memberikan pengertian proyeksi:

   Introduced the notion of projection, the logical-semantic relationship whereby a clause comes to function not as a direct representation of (non-linguistic) experience but as a representation of a (linguistic) representation.

  Diperkenalkan gagasan tentang proyeksi, hubungan semantik logis dalam hal ini sebuah klausa muncul berfungsi tidak sebagai representasi langsung dari pengalaman non- linguistik tetapi sebagai sebuah representasi dari sebuah representasi linguistik.

  Dari definisi di atas dapat diambil kata kunci yaitu (proyeksi) adalah sebuah representasi dari representasi linguistik. Dapat jelas terlihat bahwa pelaku yang memiliki pengalaman linguistik di sini lebih dari satu orang; paling tidak ada dua orang; yaitu orang pertama mempunyai pengalaman linguistik langsung Kemudian terkait dengan pengalaman linguistik orang pertama, orang kedua merepresentasi pengalaman linguistiknya caranya sendiri.

  Bloor & Bloor (1995:260) mengatakan bahwa proyeksi mengungkapkan suatu representasi ujaran (speech) atau pikiran (thought) daripada suatu representasi pengalaman langsung: proyeksi ujaran (speech) atau pikiran (thought) yang langsung atau tidak langsung masing-masing disebut parataksis dan hipotaksis. Collerson (1994:107) mengatakan, dalam tulisan dan ujaran, seseorang mengutip apa yang telah dikatakan orang lain dan mengatakan kembali apa yang dikatakan orang tersebut, menjadikan pesan itu bagian dari pesan kita sendiri. Dengan demikian, kita memropeyeksikan pesan itu.

  Adapun pengalaman linguistik yang biasanya menggunakan proyeksi adalah : 1) laporan berita; 2) mempresentasikan kembali pandangan-pandangan dalam wacana ilmiah; 3) merekonstruksi dialog dalam cerita dan membingkai pertanyaan-pertanyaan dalam percakapan (Halliday, 2004:443).

  Proyeksi adalah satu dari varian klausa kompleks dalam semantik logika. Varian yang lainnya adalah ekspansi. Dua varian ini berbeda dalam membentuk klausa kompleks.

  Proyeksi berhubungan dengan proses verbal (lokusi) dan mental (ide) dalam membentuk sebuah klausa kompleks. Sedangkan ekspansi berhubungan dengan klausa relasional (Halliday, 2004:367)

  Klausa kompleks merupakan satu-satunya unit gramatikal (tata bahasa) yang dikenal dengan istilah klausa di atas klausa. Klausa kompleks ialah konstituen tata bahasa yang membedakannya dari kalimat yang merupakan konstituen tulisan (Halliday, 1985:193; 1994:216). Thompson (1996:194) menyebutnya dengan istilah kombinasi

  

klausa , yaitu kombisanasi dua klausa atau lebih yang membentuk unit yang lebih besar

  dengan interdependensi yang ditandai oleh tanda yang eksplisit seperti konjungsi. Eggins (2004:137), mengatakan bahwa klausa kompleks melibatkan dua klausa yang masing- memberi istilah klausa kompleks sebagai pesan kompleks (complex message), memperluas pesan dasar dengan meletakkan lebih dari satu klausa dalam satu kalimat.