Proyeksi dalam Cerita Rakyat Melayu : Kajian Linguistik Sistemik Fungsional

(1)

PROYEKSI DALAM CERITA RAKYAT MELAYU

KAJIAN LINGUISTIK SISTEMIK FUNSIONAL

Tesis

Oleh

ELFITRIANI

NIM: 097009031

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI MAGISTER LINGUISTIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2 0 1 2


(2)

ABSTRAK

Tesis ini mengkaji proyeksi pada klausa-klausa kompleks yang ditemukan dalam teks-teks cerita rakyat Melayu yang bertujuan untuk mengindentifikasi dan mendeskripsikan jenis-jenis proyeksi yang ditemukan dalam teks-teks tersebut. Tesis ini juga bertujuan untuk mengindetifikasi jenis proyeksi yang paling dominan dalam tiga judul cerita rakyat yang dianalisis. Latar belakang kajian ini adalah Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) yang mengatakan bahwa konteks sosial berkonstrual (saling menentukan) dengan struktur bahasa. Subyek analisis diambil dari teks-teks dari tiga judul cerita rakyat Melayu: 1). Hikayat Ketapel Awang Bungsu; 2). Legenda Pantai Cermin; 3). Buyung Besar. Ketiga judul dianggap sudah mewakili cerita-cerita rakyat Melayu. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan empat jenis proyeksi; proyeksi lokusi parataksis, proyeksi lokusi hipotaksis, proyeksi ide parataksis dan proyeksi ide hipotaksis. Pada penghitungan ketiga judul cerita tersebut dapat dilihat bahwa lokusi parataksis sebanyak 95,07%; lokusi hipotaksis sebanyak 0,35%; ide parataksisi sebanyak 4,23%; dan ide hipotaksis juga sebanyak 0,35%. Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa jenis lokusi parataksis yang dominan diantara jenis-jenis proyeksi lainnya.

Kata kunci: LSF, klausa kompleks, proyeksi lokusi parataksis, proyeksi lokusi hipotaksis, proyeksi ide parataksis, proyeksi ide hipotaksis


(3)

ABSTRACT

This thesis studies projection in the complex clauses which are found in the texts of Malay folklores. It aims to identify and describe the types of projection found in the texts. It also aims to identify the most dominant type of projection in the three titles being analyzed. The background of the study is the Systemic Functional Linguistics (SFL) which states that social contexts can contrue with language structures. The subject matters of the analysis are taken from the texts in the three titles of the Malay folklores:1) Hikayat Awang Bungsu; 2) Legenda Pantai Cermin; 3) Buyung Besar. The three titles are considered as the representation of the Malay folklore. Based on the result of the reseach, it can be found 4 types of projection; paratactic locution, hypotactic locution, paratactic idea, and hypotactic Idea. On the calculation for the three titles, it can be seen that the paratactic locution is 95, 07%; hypotactic locution is 0,35%; paratactic idea is 4,23%; and hipotactic idea is also 0,35%. It means that paratactic locution projection is dominant among the other types of the projection.

Key words: SFL, complex clause, paratactic locution projection, hypotactic locution projection, paratactic ide projection, hipotactic idea projection.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga tesis yang berjudul ‘Proyeksi dalam Cerita-cerita Rakyat Melayu: Kajian Linguistik Sistemik Fungsional’ dapat diselesaikan. Selawat dan salam dihaturkan kepada Rasullullah Muhammad SAW yang telah memberikan contoh suri tauladan yang mulia dalam mengaruhi liku-liku kehidupan penulis.

Penulis berharap tesis ini dapat memberi manfaat kepada para pembaca sebagai menambah khasanah pengembangan kebahasaan. Disamping itu, penelitian ini diharapkan juga dapat memberi motivasi kepada peneliti lain untuk menjadikan karya sastra daerah (dalam hal ini karya sastra Melayu) sebagai objek penelitian bidang bahasa (linguistik) karena hal ini mempunyai keuntungan ganda; yaitu selain dapat menerapkan ilmu linguistik juga dapat melestarikan budaya daerah.

Penulis sangat menyadari bahwa penelitian yang dilakukan ini masih jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan disana-sini. Oleh karena itu kritik dan saran membangun untuk melengkapi penelitian ini sangat diharapkan.

Medan , Juli 2012 Penulis, Elfitriani


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung secara baik secara materil maupun moril sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan yang khusus ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Rektor USU, Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTMH. (CTM). Sp. A(K), yang telah memberikan kesempatan kepada saya mengikuti pendidikan Program Magister pada Sekolah Pascasarjana USU.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Bapak Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE, yang telah memberi perhatian dan kesempatan begitu pula dukungan selam mengikuti pendidikan Strata dua pada Sekolah Pascasarjana USU.

3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D selaku Ketua Program Studi Linguistik dan Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan, pengetahuan, bantuan, motivasi, dan semangat selama proses penulisan dan penyelesaian tesis ini sehingga memperlancar selesainya tesis ini.

4. Ibu Dr. Nurlela, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Linguistik dan Pembimbing II yang telah dengan baik hati membimbing, mengarahkan dan memberikan pengetahuannya demi penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Prof. Amrin Saragih, MA., Ph.D., DTEFL. dan Ibu Dr.Siti Aisyah Ginting, M.Pd, selaku Tim Penguji mulai dari proposal, seminar hasil, hingga ujian tertutup meja hijau yang dengan bimbingan, kritik dan saran yang konstruktif yang telah diberikan sehingga tesis ini layak menjadi sebuah laporan penelitian.


(6)

6. Dosen pengajar di Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana USU Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D, Bapak Prof. Dr. Robert Sebarani, M.S., Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D., Bapak Prof. Aron Meko Mbete, Bapak Rustam Amir Effendi, M.A., Ph.D, Bapak Pof. Mangantar Semanjuntuak, Ph. D., Dr. Eddy Setia, M.ED., TESP., Ibu Dwi Widayat, M. Hum., Ibu Dr. Gustianingsih, M. Hum., Ibu thirayana Zein, M.A., Ibu Deliana, M. Hum yang memberikan ilmu pengetahuan serta membuka wawasan dan cakrawala berpikir sesuai dengan konsep berpikir ilmiah. Semoga jasa para pengajar dibalas Allah SWT sebagi amal jariah yang tidak akan pernah putus.

7. Kedua orang tua; ayahda Buyung Enek dan Ibunda tercinta Syahniar yang dengan tulus ikhlas mendoakan dan memberikan semangat sehingga tesis ini terselesaikan.

8. Kepada Kakakku tersayang; Elfinawati, Amp, adikku terkasih; Elfi Susanti, S.Pd yang telah terus memotivasi untuk menyelesaikan tesis ini.

9. Suamiku tercinta; Dedi, S.Pd yang dengan sabar mendampingi, membantu, dan tetap menyemangati dalam proses penyelesaian tesis ini.

10. Kedua Mertuaku; Ibu Sabariah dan Bapak Mardani dan adik-adik iparku yang tersayang; Sartika, S.Pd, Husna, Zalika, Veri, dan Sapri yang telah membantu dalam menjaga, merawat dan mengasuh anak saya sehingga saya mempunyai kelapangan waktu dalam menyelesaikan tesis ini.

11. Anakku tersayang, Dhoifullah Fadhil yang dengan kepolosannya selalu memberi kekuatan dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata penulis berharap semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat pahala yang berlimpah dari Allah SWT, Amin.

Medan, Juli 2012 Penulis,


(7)

Elfitriani DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Stratafikasi Bahasa dalam Konteks 16

2.2 Hubungan Semantik Logis dan Taksis 28

2.3 Posisi Subjek, Finit, Pridikator, Kompelemen, dan Adjunct dalam Teks

29

2.4 Klausa-klausa Primer dan Sekunder dalam Klausa Nexus 38 2.5 Tataurutan dan Pilihan Tone dalam Proyeksi Parataktis 42

2.6 Jenis-jenis Proyeksi 44

4.1 Klasifikasi dan Frekuensi Pemakaian Proyeksi Pada ‘Hikayat

Ketapel Awang Bungsu’

65

4.2 Distribusi Proyeksi Berdasarkan Jenis Pada ‘Hikayat Ketapel

Awang Bungsu’

69

4.3 Proporsi Proyeksi Pada ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu’ 69 4.4 Klasifikasi dan Frekuensi Pemakaian Proyeksi Pada ‘Legenda

Pantai Cermin’

71

4.5 Distribusi Proyeksi Berdasarkan Jenis Pada ‘Legenda Pantai

Cermin’

73

4.6 Proporsi Jenis Proyeksi Pada ‘Legenda Pantai Cermin’ 74 4.7 Klasifikasi dan Frekuensi Pemakaian Proyeksi Pada ‘Buyung

Besar’

76

4.8 Distribusi Proyeksi Berdasarkan Jenis Pada ‘Buyung Besar’ 77 4.9 Proporsi Jenis Proyeksi Pada ‘Buyung Besar’ 78 4.10 Distribusi Jenis Proyeksi Ketiga Cerita Rakyat Melayu 78 4.11 Proporsi Setiap Jenis Proyeksi Ketiga Cerita Rakyat Melayu 79 4.12 Perbedaan Ragam Bahasa Lisan dan Tulis 90


(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Hubungan Teks dan Konteks 14

2.2 Bahasa Sebagai Realisasi Konteks Sosial 14 2.3 Stratafikasi Bahasa dalam Konteks 15 2.4 Konteks Budaya dan Konteks Sosial dalam Demensi

Potensialitas

22


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

I Analisis Proyeksi Pada ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu’ 100 II Analisis Proyeksi Pada ‘Legenda Pantai Cermin’ 113

III Analisis Proyeksi Pada ‘Buyung Besar’ 126

IV Teks Cerita ‘Hikayat Ketapel Awang Bungsu’ 136

V Teks Cerita ‘Legenda Pantai Cermin’ 153

VI Teks Cerita ‘Buyung Besar’ 171


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Ruang Lingkup Penelitian ...4

1.3 Rumusan Masalah ...4

1.4 Tujuan Penelitian...5

1.4.1 Tujuan Umum ...5

1.4.2 Tujuan Khusus ...5

1.5 Manfaat Penelitian ...6

1.5.1 Manfaat Teoritis ...6

1.5.2 Manfaat Praktis ...6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...7

2.1 Teori Systemic Functional Linguistics ...7

2.2 Fungsi dan Penggunaan Bahasa ... 16

2.2.1 Bahasa adalah Sistem ... 17

2.2.2 Bahasa adalah Fungsional ... 17

2.2.3 Fungsi Bahasa adalah Membuat Makna ... 18

2.2.4 Bahasa adalah Sistem Semiotik Sosial... 19

2.2.5 Penggunaan Bahasa adalah Kontekstual ... 21

2.3 Metafungsi Bahasa ... 23

2.3.1 Fungsi Ideasional ... 24

2.3.1.1 Fungsi Eksperensial ... 24

2.3.1.2 Fungsi Logis... 27

2.3.2 Fungsi Antar Persona ... 28

2.3.3 Fungsi Tekstual ... 29

2.4 Teks ... 30

2.5 Konteks Situasi Teks ... 32

2.5.1 Medan Wacan (Field of Discourse) ... 32

2.5.2 Pelibat Wacana (Tenor of Discourse) ... 33

2.5.3 Modus Wacana (Mode of Discourse) ... 33

2.6 Teks Narasi ... 34

2.7 Proyeksi ... 36

2.7.1 Pengertian Proyeksi ... 36

2.7.2 Jenis-jenis Proyeksi ... 38

2.7.2.1 Proyeksi Lokusi Parataksis dan Ide Parataksis ... 40

2.5.2.2 Proyeksi Lokusi Hipotaksis dan Ide Hipotaksis ... 43

2.8 Proyeksi Vs Kalimat Langsung dan Tidak Langsung ... 44

2.9 Penelitian Sebelumnya ... 46 2.9.1 Kohesi pada Cerita Rakyat Melayu Serdang


(11)

(Irfani, 2002)... 47

2.9.2 Logical Relations in Cosmopolitan Magazine Advertisements (Perangin-angin, 2008) ... 48

2.9.3 Representasi Ideologi Masyarakat Melayu Serdang Dalam Teks, Situasi, dan Budaya (Zein, 2009) ... 48

2.9.4 Proyeksi dalam Teks Berita dan Tajuk Rencana dalam Harian Waspada (Nurlela, 2002) ... 50

2.9.5 Klausa Kompleks dan Realisasi Pengalaman dalam Teks Peradilan (Kasus Bom Bali I): Sebuah Analisis LFS (Setia, 2008) ... 51

2.9.6 Ideational Funtions in Motivational Speech of Martin Luther King Jr. “I HAVE A DREAM” and Winston Shurchill “BLOOD TOIL TEARS AND SWEAT’ (Suryani, 2011) ... 52

2.9.7 Fungsi dan Implikasi Makna Logis Pantun Melayu dan Deli (Mulyani, 2012) ... 53

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 56

3.1 Metode Penelitian ... 56

3.2 Data dan Sumber Data ... 57

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 58

3.4 Teknik Analisis Data ... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA ... 63

4.1 Hasil Penelitian ... 63

4.1.1 Hasil Penelitian Pada HKAB... 63

4.1.1.1 Klasifikasi dan Frekuensi Pemakaian Proyeksi Pada HKAB ... 65

4.1.1.2 Distribusi Proyeksi pada HKAB ... 69

4.1.1.3 Proporsi Proyeksi pada HKAB ... 69

4.1.2 Hasil Penelitian Pada LPC ... 70

4.1.2.1 Klasifikasi dan Frekuensi Pemakaian Proyeksi Pada LPC ... 71

4.1.2.2 Distribusi Proyeksi Pada LPC ... 73

4.1.2.3 Proporsi Proyeksi Pada LPC ... 74

4.1.3 Hasil Penelitian Pada BB ... 74

4.1.3.1 Klasifikasi dan Frekuensi Pemakaian Proyeksi Pada BB ... 75

4.1.3.2 Distribusi Proyeksi Pada BB... 77

4.1.3.3 Proporsi Proyeksi Pada BB ... 77

4.2 Pembahasan ... 78

4.2.1 Jenis dan Dominasi dalam 3 Teks Cerita Rakyat ... 78

4.3 Diskusi ... 83

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 93

5.1 Simpulan ... 93

5.2 Saran ... 95


(12)

DAFTAR PUSTAKA ... 97

LAMPIRAN I... 100

LAMPIRAN II ... 113

LAMPIRAN III ... 126

LAMPIRAN IV ... 136

LAMPIRAN V ... 153

LAMPIRAN VI ... 171


(13)

ABSTRAK

Tesis ini mengkaji proyeksi pada klausa-klausa kompleks yang ditemukan dalam teks-teks cerita rakyat Melayu yang bertujuan untuk mengindentifikasi dan mendeskripsikan jenis-jenis proyeksi yang ditemukan dalam teks-teks tersebut. Tesis ini juga bertujuan untuk mengindetifikasi jenis proyeksi yang paling dominan dalam tiga judul cerita rakyat yang dianalisis. Latar belakang kajian ini adalah Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) yang mengatakan bahwa konteks sosial berkonstrual (saling menentukan) dengan struktur bahasa. Subyek analisis diambil dari teks-teks dari tiga judul cerita rakyat Melayu: 1). Hikayat Ketapel Awang Bungsu; 2). Legenda Pantai Cermin; 3). Buyung Besar. Ketiga judul dianggap sudah mewakili cerita-cerita rakyat Melayu. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan empat jenis proyeksi; proyeksi lokusi parataksis, proyeksi lokusi hipotaksis, proyeksi ide parataksis dan proyeksi ide hipotaksis. Pada penghitungan ketiga judul cerita tersebut dapat dilihat bahwa lokusi parataksis sebanyak 95,07%; lokusi hipotaksis sebanyak 0,35%; ide parataksisi sebanyak 4,23%; dan ide hipotaksis juga sebanyak 0,35%. Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa jenis lokusi parataksis yang dominan diantara jenis-jenis proyeksi lainnya.

Kata kunci: LSF, klausa kompleks, proyeksi lokusi parataksis, proyeksi lokusi hipotaksis, proyeksi ide parataksis, proyeksi ide hipotaksis


(14)

ABSTRACT

This thesis studies projection in the complex clauses which are found in the texts of Malay folklores. It aims to identify and describe the types of projection found in the texts. It also aims to identify the most dominant type of projection in the three titles being analyzed. The background of the study is the Systemic Functional Linguistics (SFL) which states that social contexts can contrue with language structures. The subject matters of the analysis are taken from the texts in the three titles of the Malay folklores:1) Hikayat Awang Bungsu; 2) Legenda Pantai Cermin; 3) Buyung Besar. The three titles are considered as the representation of the Malay folklore. Based on the result of the reseach, it can be found 4 types of projection; paratactic locution, hypotactic locution, paratactic idea, and hypotactic Idea. On the calculation for the three titles, it can be seen that the paratactic locution is 95, 07%; hypotactic locution is 0,35%; paratactic idea is 4,23%; and hipotactic idea is also 0,35%. It means that paratactic locution projection is dominant among the other types of the projection.

Key words: SFL, complex clause, paratactic locution projection, hypotactic locution projection, paratactic ide projection, hipotactic idea projection.


(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Bahasa memungkinkan kita untuk bertukar informasi dengan orang lain, baik itu secara lisan maupun tertulis. Bahasa merupakan bagian dari kehidupan manusia dan hampir tidak ada kehidupan sosial yang normal tanpa Bahasa.

Ketika seseorang berbicara dengan mitrabicaranya, dia banyak sekali menyampaikan informasi dan mendapatkan informasi dari pembicaraan itu. Informasi yang dia sampaikan ataupun yang dia dapatkan tidak hanya bersumber dari dirinya sendiri ataupun langsung dari mitrabicaranya tetapi juga bisa berasal dari orang lain yang dia dan mitrabicaranya sampaikan kembali, inilah yang disebut sebagai proyeksi dalam ilmu bahasa atau linguistik. Dengan kata lain, proyeksi adalah menyampaikan kembali informasi yang didapat dari orang lain, baik itu dengan cara langsung (mengutip apa yang telah disampaikan oleh orang lain) maupun tidak langsung (melaporkan apa yang telah disampaikan oleh orang lain).

Proyeksi tidak hanya bisa ditemukan disaat kita menyimak pembicaraan orang secara langsung, tetapi juga dapat dijumpai di berbagai bentuk wacana, seperti laporan berita, menampilkan kembali pandangan-pandangan yang ada dalam wacana ilmiah, menkonstruksi dialog-dialog yang ada dalam cerita narasi dan membingkai pertanyaan-pertanyaan dalam sebuah percakapan (Halliday, 2004:443). Banyak hal yang bisa dikaji dalam proyeksi; seperti jenis-jenis proyeksi, telaahan jenis proyeksi baik secara lisan dan tulisan dan turunan-turunan yang bisa dibuat dari jenis-jenis proyeksi itu sendiri. Oleh


(16)

karena itu penelitian tentang proyeksi dianggap penting sekali untuk memperdalam ilmu tentang proyeksi itu sendiri dan untuk memberikan kontribusi yang akan memberi manfaat kepada para pembaca.

Proyeksi telah banyak diteliti oleh berbagai peneliti dalam bidang linguistik dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Salah satu contohnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nurlela pada tahun 2002 yang berjudul “ Proyeksi dalam Teks Berita dan

Tajuk Rencana dalam Harian Waspada”. Setelah membaca dan memeriksa hasil-hasil penelitian tentang proyeksi, ditemukan bahwa penelitian tentang proyeksi dalam cerita-cerita rakyat Melayu belum ada ditemukan sehingga hal ini dianggap penting untuk dilakukan dan akan memberikan manfaat berlipat yaitu selain untuk memperdalam ilmu bahasa tentang proyeksi, bisa juga memberikan kontribusi bagi usaha pelestarian budaya daerah seperti yang dianjurkan oleh pemerintah dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: 42 Tahun 2009 Bab III pasal 8 ayat 1 menyatakan bahwa perlindungan, pengembangan, pemanfaatan kebudayaan daerah dapat dilakukan melalui: a). Inventarisasi; b). Pendokumentasian; c). Penyelamatan; d).

Penggalian; e). Penelitian; f). Pengayaan; g). Pendidikan; h). Pelatihan; i). Penyajian; j).

Penyebarluasan; k). Revitalisasi; l). Rekonstruksi; dan m). Penyaringan. Dalam pasal 19 juga

pemerintah mengharapkan agar masyarakat berperan serta dalam pelestarian kebudayaan

(www.depdagri.go.id/media/documents/.../Permen-No.42-2009-doc/).

Etnik Melayu mempunyai banyak sekali kesusastraan yang masih berkisar pada sastra lisan. Sastra lisan itu berkembang dari generasi ke generasi melalui penuturan kembali dari mulut ke mulut. Pencerita sastra lisan jumlahnya semakin hari makin sedikit


(17)

seiring perkembangan tehnologi dan komunikasi. Hal ini dibuktikan dengan semakin sedikitnya generasi muda yang tidak mengetahui cerita-cerita daerahnya sendiri.

Sastra lisan merupakan bagian suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan secara turun temurun secara lisan sebagai milik bersama. Ragam sastra yang demikian tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu luang, serta penyalur perasaan, melainkan juga sebagai alat cermin sikap pandangan dan lembaga kebudayaan serta alat pemeliharaan norma-norma masyarakat. Hal ini juga dijadikan alasan kenapa memilih cerita-cerita rakyat Melayu sebagai objek penelitian mengingat banyak sekali manfaat yang akan didapat dalam proses penelitian cerita-cerita ini. Adapun cerita-cerita itu adalah: Hikayat Ketapel Awang Bungsu, Legenda Pantai Cermin, dan Buyung Besar.

Selain alasan-alasan yang sudah dikemukakan sebagai alasan pemilihan judul, ada satu hal lagi yang paling mendasar yaitu di dalam cerita-cerita rakyat Melayu yang sudah dipilih terdapat banyak sekali data-data proyeksi yang berupa klausa-klausa kompleks yang dikonstruksikan untuk membangun cerita dalam dialog-dialog yang dipaparkan pada cerita-cerita ini.

1.2Ruang Lingkup Penelitian

Pada dasarnya, proyeksi mempunyai inti ‘mengutip atau melaporkan’ apa yang

telah dikatakan atau disampaikan orang. Dari sekian banyak pengertian proyeksi yang ada, penelitian ini secara khusus hanya memfokuskan pada Proyeksi yang ada pada cerita-cerita rakyat Melayu yang masing-masing judulnya adalah:

a). Hikayat Ketapel Awang Bungsu b). Legenda Pantai Cermin, dan


(18)

c). Buyung Besar.

1.3Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang sudah dikemukakan di atas, maka muncul pertanyaan-pertanyaan yang menjadi permasalahan agar mendapatkan hasil penelitian yang terarah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis-jenis proyeksi apa yang terdapat dalam cerita rakyat Melayu yang berjudul: Hikayat Ketapel Awang Bungsu, Legenda Pantai Cermin, dan Buyung Besar?

2. Jenis proyeksi apa yang paling dominan digunakan atau dipakai dalam ketiga cerita rakyat tersebut?

3. Mengapa jenis proyeksi tertentu itu dominan?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.

1.4.1 Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah sebagai usaha melestarikan bahasa daerah, dalam hal ini cerita-cerita rakyat Melayu yang semakin hari makin sedikit penuturnya. Apabila hal demikian berlangsung secara terus menerus bukan tidak mungkin suatu saat nanti budaya Melayu akan punah begitu saja ditelan arus globalisasi yang semakin tidak terbendung.

Terkait dengan hal tersebut penggalian ragam bahasa proyeksi yang terdapat dalam bahasa ini juga dimaksudkan untuk mengetahui keindahan yang terdapat di dalamnya.


(19)

Dengan demikian akan terciptalah rasa kebanggaan memiliki karya sastra ini yang pada gilirannya akan bermuara pada kebanggaan sebagai orang Melayu.

1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan jenis-jenis proyeksi yang terdapat dalam cerita-cerita rakyat Melayu. 2. Menemukan jenis proyeksi yang mana yang mendominasi dalam cerita-cerita rakyat

tersebut.

3. Menjelaskan alasan mengapa jenis proyeksi tertentu itu mendominasi ketiga cerita rakyat tersebut.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah penerapan Teori Linguistik Fungsional Sistemik dalam kajian sastra daerah.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan model dalam penelitian ragam proyeksi pada bahasa daerah lain selain bahasa Melayu.

3. Hasil penelitian ini dapat menstimulasi untuk diadakannya penelitian dalam semantik logis yang lain yaitu ekspansi dalam bahasa daerah yang ada di Indonesia.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada penikmat dan pembaca sastra daerah Melayu tentang keindahan bahasa ini yang diwujudkan dalam proyeksi yang beraneka jenis.


(20)

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan semangat dan kebanggaan bagi masyarakat untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai usaha untuk melestarikan bahasa daerah.


(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

“Teori bahasa memiliki cara yang beragam dalam melihat fenomena bahasa” (Sinar,

2003:13). Di dalam penelitian ini, teori bahasa yang akan digunakan adalah teori Systemic Functional Linguistics dalam menganalisis teks-teks dalam cerita-cerita rakyat Melayu, yaitu: 1). Hikayat Ketapel Awang Bungsu; 2) Legenda Pantai Cermin; 3) Buyung Besar. Ketiga teks ini diteliti untuk mengetahui jenis-jenis proyeksi yang terdapat di dalamnya.

2.1 Teori Systemic Functional Linguistics

Teori Systemic Functional Linguistics mulanya berasal dari Aliran Neo Firthian Aliran ini mempunyai banyak nama, seperti teori linguistik sistematik, teori linguistik sistemik (systemic linguistics), atau teori linguistik fungsional, apapun sebutan yang ada, teori ini tidak bisa lepas dari seseorang yang bernama Michael Alexander Kirkwood Halliday (MAK Halliday) yang telah menemukan dan mengembangkan teori kebahasaan tersebut. Ia merupakan salah seorang murid dari Firth, seorang ahli bahasa yang mengembangkan aliran Firth, guru besar di Universitas London, dimana Halliday belajar (http://bangpek-kuliahsastra.blogspot.com/2011/12/aliran-neo-firthian.html).

Teori Systemic Functional Linguistics merupakan teori yang dipilih dalam menganalis data pada penelitian ini. Pemilihan ini didasarkan pada 5 (lima) keunggulan TSFL bila dibandingkan dengan teori atau mahzab linguistik lain: 1) objek kajian dilakukan pada teks atau wacana sebagai unit pemakaian bahasa; 2) keberpijakan pada konteks sosial dalam mengkaji teks; 3) keseimbangan kajian bentuk dan arti bahasa, yang penekanan kajian kepada unsur bentuk atau artin ini telah menjadi masalah dan bahkan


(22)

pertentangan dalam perkembangan linguistik; 4) kajian sintagmatik yang diatautkan dengan paradigmatik untuk menerangkan dasar kefungsionalan dan motivasi dalam satu uni tata bahasa; dan 5) keberagaman kriteria (multicriteria) yang digunakan dalam mendeskripsikan atau mengukur satu unit tata bahasa, yang dalam tata bahasa formal hanya ada dua, yakni benar atau salah (Saragih, 2006:i).

Teori Systemic Functional Linguistics ini di Indonesia memperoleh dua penerjemahan yang menjadi rujukan teks berbahasa Indonesia dalam penelitian ini. Terjemahan pertama adalah Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) oleh Tengku Silvana Sinar dalam bukunya Teori dan Analisis Wacana: Pendekatan Sistemik-Fungsional (terbit 2003 dan dicetak ulang 2008). Terjemahan kedua Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) oleh Amrin Saragih dalam bukunya Bahasa dalam Konteks Sosial: Pendekatan Lunguistik Fungsional Sistemik terhadap Tata Bahasa dan Wacana (2006) dan Fungsi Tekstual dalam

Wacana: Panduan Menulis Rema dan Tema (2007).

Teori Linguistik Fungsional Sistemik dipelopori oleh Profesor M.A.K. Halliday. Menurut Sinar (2003:14), teori ini menyakini bahwa bahasa atau teks selalu berada pada konteks pemakaiannya. Secara historis, menurut Saragih (2007:1), teori ini dikembangkan oleh Halliday (2004) dan para pakar lainnya, seperti Martin (2003), Halliday dan Matthiessen (2001), serta Kress (2002). Teori ini berkembang di Inggris, tetapi perkembangannya sangat pesar terutama sejak Linguistics Department dibuka di University of Sydney pada tahun 1976.

Sinar (2003:14) menjelaskan istilah ‘Teori Linguistik’ mempunyai dua implikasi. Implikasinya, analisis wacana harus menggunakan teori bahasa yang memiliki kerangka penelitian analisis wacana dalam konteks linguistik dengan mengikuti prinsip-prinsip teori Systemic Functional Linguistics. Kemudian, investigasi fenemona analisis wacana


(23)

mengisyaratkan pemilihan pendekatan bahasa yang secara interpretatif bersifat semiotik, tematis, dan antardisiplin.

Selanjutnya, Sinar (2003:15) bersepakat bahwa istilah ‘Sistemik’ berimplikasi kepada tiga hal. Ketiga hal itu mengisyaratkan bahwa analisis bahasa untuk memperhatikan hubungan sistem(ik) dalam berbagai kemungkinan pada jaringan sistem hubungan dan dapat memulai pilihan dari dari fitur umum ke spesifik, yang vertikal atau paradigmatik. Di samping itu, fenomena yang diinvestigasi melibatkan sistem-sistem makna. Sistem-sistem makna tersebut mendasari analisis bahasa, baik berada di belakangnya, di bawahnya, di atasnya, di sekelilingnya, atau di seberang fenomena yang sedang diinvestigasi.

Sebaliknya, istilah ‘Fungsional’ mengimplikasikan tiga hal, yaitu bahwa analisis

wacana memberi perhatian kepada 1). Realisasi fungsional dari sistem dalam struktur-struktur dan pola-pola, yang secara strurtur bersifat horizontal dan sinitagmatis, (2) fungsi-fungsi atau makna-makna yang ada dalam bahasa tersebut, dan 3) fungsi-fungsi-fungsi-fungsi atau makna-makna yang ada beropperasi di dalam tingkat dan demensi bervariasi dalam bahasa yang dikaji.

Menurut Saragih (2007:1-6), pendekatan fungsional memiliki tiga pengertian, yang saling bertaut. Pertama, pendekatan fungsional berpendapat bahwa bahasa terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, bahasa terstruktur berdasarkan tujuan penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan untuk suatu fungsi atau tujuan disebut teks (text). Oleh karena itu, teks yang digunakan untuk menceritakan peristiwa (narasi) terstuktur berbeda dengan teks yang digunakan untuk melaporkan satu peristiwa (laporan), kecenderungan tata bahasa dalam teks sejarah berbeda dengan teks fisika, dan struktur teks politik berbeda dengan teks kesastraan.


(24)

Dengan pengertian fungsional yang pertama ini, teks dinterpretasikan berdasarkan konteks sosial, yakni segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata lain, konteks sosial memotivasi pengguna atau pemakai bahasa menggunakan struktur tertentu. Konteks sosial yang mempengaruhi bahasa ini dalam teori Systemic Functional Linguistics terdiri atas konteks situasi (register) dan budaya (culture) yang di dalamnya termasuk ideologi (ideology).

Konteks situasi mengacu kepada kondisi dan lingkungan yang mendampingi atau sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika interaksi antar pemakai bahasa terjadi. Menurut Halliday dan Hasan (1985) konteks situasi terdiri atas tiga unsur, yaitu field, tenor dan mode of discourse. Ketiga unsur tersebut mengandung arti 1) medan (field). Yakni apa –what yang akan dibicarakan dalam interaksi, 2) pelibat (tenor), yakni siapa--- who yang dibicarakan dalam interaksi, dan 3) cara (mode), yakni bagaimana----how interaksi dilakukan.

Lebih lanjut, Halliday (1974) dalam Saragih (2007:2) menegaskan bahwa bahasa adalah fenomena antarmanusia yang disebut sebagai interorganism, yang berbeda dengan pendapat para pakar linguistik formal, misalnya Chomsky yang berpendapat bahasa sebagai fenomena intraorganism atau hal yang terjadi di dalam diri manusia. Dengan kata lain, secara spesifik para pakar Systemic Functional Linguistics mengamati, bahwa struktur teks ditentukan oleh unsur yang ada di luar teks, yakni konteks sosial. Hubungan antara teks dan konteks sosial adalah hubungan construal, yakni saling menentukan, konteks sosial menentukan teks dan teks menentukan konteks sosial. Dengan kata lain, pada suatu saat konteks sosial terbentuk dan konteks sosial ini mempengaruhi teks. Pada saat berikutnya, teks yang wujud itu merujuk dan membentuk konteks sosialnya.


(25)

Kedua, berkaitan dengan pengertian fungsional pertama, fungsi bahasa dalam kehidupan manusia mencakup tiga hal, yaitu (1) memaparkan atau menggambarkan (ideational function), (2) mempertukarkan (interpersonal function), dan (3) merangkai (textual function) pengalaman manusia. Ketiga fungsi ini disebut metafungsi bahasa (metafunction), yakni fungsi bahasa untuk penggunaan bahasa. Masing-masing fungsi direalisasikan oleh tata bahasa yang berbeda sifatnya dan tidak saling berhubungan. Dengan demikian, dalam perspektif Systemic Functional Linguistics, tata bahasa (lexicogrammar) merupakan teori tentang pengalaman manusia, yakni teori yang mencakupi paparan, pertukaran, dan organisasi pengalaman manusia.

Pengertian fungsional ketiga adalah setiap unit bahasa adalah fungsional terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan pengertian ini ditetapkan bahwa morfem adalah fungsional di dalam kata, kata adalah fungsional dalam grup atau frase, grup atau frase adalah fungsional dalam klausa, dan klausa menjadi unsur fungsional dalam klausa kompleks. Dengan pandangan ini, para pakar Systemic Functional Linguistics berpendapat bahwa dalam mengkaji satu unit linguistik, unit linguistik itu dikaji

dari tiga posisi, yakni dari (1) unit yang lebih besar di atasnya yang di dalam unit di atasnya itu unit linguistik itu menjadi elemen/ konstituen, (2) unit yang lebih kecil di bawahnya yang menjadi elemen/konstituen dan membangun unit bahasa yang dikaji, dan (3) unit yang setara atau sama posisinya dengan unit kajian.

Teori Systemic functional Linguistics sangat potensial dengan berbagai demensi analisis dalam teks dan wacana. Dalam demensi bahasa, analisis dapat dilakukan terhadap tiga strata bahasa yaitu semantik, leksikogramatika, dan fonologi atau ortografi. Ketiga strata ini mempunyai pengertian bahwa suatu makna direalisasikan ke dalam tata bahasa


(26)

atau disebut leksikogramatika dan akhirnya direalisasikan ke dalam bunyi bahasa ataupun tulisan.

Pendekatan Systemic Functional Linguistics terhadap analisis teks juga mencakup analisis konteks. Konteks atau konteks sosial selalu menyertai teks dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Halliday menistilahkan construal yaitu adanya hubungan konstrual bahwa konteks sosial yang menentukan dan ditentukan oleh teks. Menurut Halliday (1978) dalam Saragih (2007:2), konteks sosial terbagi tiga, yaitu konteks situasi (register), konteks budaya (genre), dan konteks ideologi. Konteks situasi merupakan unsur yang penting dalam bahasa karena manusia berbicara atau menulis harus disesuaikan dengan konteks situasinya.

Konteks budaya (genre) yaitu kegiatan berbahasa yang bertahap, bermatlamat sebagai aktivitas yang beroerientasi pada tujuan di mana penulis/penutur melibatkan diri sebagi anggota-anggota dari bidaya itu sendiri (Sinar, 2003:68). Selanjutnya, konteks teks mempunyai ideologi yang merujuk sikap, nilai yang dikonstruksikan secara sosiial menjadi konsep yang dinyakini oleh masyarakat. Dengan demikian, bahasa yang terdiri atas unsur makna (semantik), tata bahasa (leksikogramatika) dan bunyi (fonologi) mempunyai konteks situasi budaya di atasnya, Ketiga jenis konteks ini direalisasikan oleh bahasa seperti terdapat dalam diagram berikut:

Gambar 2.1 : Hubungan Teks dan Konteks (Saragih, 2006:3)

Ideolog i

Buday a

Situasi

Semanti k

Tata Bahasa Tata Bahasa Bahasa


(27)

Selanjutnya, Martin (1993) dalam Sinar (2003:8-9) menjelaskan dalam rancangannya bahwa bahasa berada di dalam konteks sosial. Konsekuensinya, untuk memahami bahasa harus memahami konteks sosialnya juga karena bahasa sebagai sistem semiotik merealisasikan konteks sosial sebagai sebuah sistem sosial.

Gambar 2.2: Bahasa sebagai Realisasi Konteks Sosial (adaptasi dari Martin, 1993:142)

B

Selain itu, Matthiessen (1993) dalam Sinar (2003:17) merancang stratifikasi bahasa dalam konteks. Ia berpendapat bahwa di dalam bahasa terdapat makna (semantik), di dalam makna terdapat leksikogrammatika, dan di dalam leksikogramatika terdapat fonologi. Dengan demikian, bahasa meliputi tiga unsur sekaligus yaitu semantik, leksikogramatika, dan fonologi.

Kontek

Sosial


(28)

Gambar 2.3: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks (Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227)

ooooooooooo Situasi

Berikut ini adalah perbandingan enam model konteks dalam kerangka teori Systemic Functional Linguistics oleh beberapa pakar:

Tabel 2.1: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks

(Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227; lihat juga Sinar, 2003:55) Konteks Halliday

(1964) Gregory (1967) Ure &Elis (1977) Halliday (1978) Fawcett (1980) Martin (1982)

Budaya Genre

Situasi Medan Wacana Medan Wacana Medan Wacana Medan Wacana Pokok Persoalan Medan Wacana Pelibat Wacana Personal

Formalitas Pelibat Wacana Tujuan Hubungan Pelibat Wacana Pelibat Wacana Fungsional

Peran Tujuan

Pragmatik Sarana Wacana Sarana Wacana Sarana Wacana Sarana Wacana Sarana Wacana Sarana Wacana Konteks: sistem makna tingkat

lebih tinggi

Bahasa Isi

semantik

Fonologi ekspresi leksikogramatika


(29)

Berdasarkan perbandingan di atas dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan konteks situasi. Halliday membagi konteks situasi menjadi tiga, yaitu medan wacana, pelibat wacana dan sarana wacana. Sedangkan Martin menggunakan genre sebagai rujukan untuk konteks budaya. Berbeda dengan Halliday dan Martin, Gregory membagi pelibat wacana menjadi dua bagian pelibat wacana personal dan fungsional, sedangkan Ure dan Elis membagi pelibat wacana ke dalam dua bagian formalitas dan peran. Fawcet membagi pelibat wacana berdasarkan tujuan hubungan dan pragmatik.

2.2 Fungsi dan Penggunaan Bahasa

Menurut teori sistemik, Sinar ( 2003:19) bahasa adalah fenomena sosial, yaitu bahasa cenderung sebagai alat berbuat (doing) sesuatu daripada mengetahui (knowing) sesuatu. Bahasa adalah sistem jaringan yang terdiri atas pilihan-pilihan arti. Beberapa pokok pikiran penting TLSF dan bagaimana satu dengan yang lainnya berhubungan dalam membentuk dasar dan kerangka kerja analisis wacana akan dibagi menjadi lima penegasan utama, yaitu: 1) bahasa adalah sistem; 2) bahasa adalah fungsional; 3) fungsi bahasa adalah membuat makna; 4) bahasa adalah sistem semiotik sosial; dan 5) Penggunaan bahasa adalah kontekstual.

2.2.1 Bahasa adalah Sistem

Dalam percakapan seseorang dapat memilih arti yang ingin disampaikannya ketika berinteraksi dengan lawan bicara. Sejumlah pilihan arti (sistem) yang direalisasikan melalui pilihan bentuk bahasa tersebut cenderung bersifat paradigmatik daripada sintagmatik.

Selanjutnya, Sinar (2003:19) mengatakan bahwa sistem arti bahasa dinamakan semantik yang dieskspresikan dengan bantuan tata bahasa dan kosakata. Makna diberikan


(30)

dalam kata-kata secara gramatika dan teratur adalah sintagmen yang terdiri atas bagian leksikal dan bagian gramatikal.

2.2.2 Bahasa adalah Fungsional

Bahasa adalah fungsional berhubungkait dengan kenyataan bahwa bahasa timbul dan wujud untuk melayani keperluan-keperluan manusia. Oleh karena itu, seseorang perlu memusatkan perhatian kepada bagaimana manusia menggunakan bahasa supaya memahaminya (Sinar, 2003:19).

Halliday dan Hasan (1985:10) mendefinisikan teks sebagai bahasa yang fungsional. Fungsional diartikan sebagai bahasa yang melakukan perkerjaan yang sama dalam suatu konteks. Di dalam konteks ini, bahasa yang fungsional bukan kata-kata atau kalimat yang terisolir yang mungkin dituliskan seseorang di atas papan tulis. Dengan demikian, hakekat teks adalah sebagai entitas semantik, sehingga sebuah teks harus dipertimbangkan dari dua perspektif sekaligus, baik sebuah produk maupun sebagai sebuah proses.

Menurut Saragih (2006:3) terdapat tiga pengertian dalam konsep fungsional di dalam konteks sosial.

1) Bahasa terstruktur sesuai dengan kebutuhan manusia akan bahasa.

2) Bahasa berfungsi untuk memaparkan, mempertukarkan dan merangkai pengalaman. Ketiga fungsi ini disebut dengan metafungsi bahasa.

3) Satu unit bahasa fungsional terhadap unit lain yang lebih besar. Artinya satu unit bahasa dapat menjadi unit bahasa yang lebih besar misalnya kata, frase dan klausa. Bahasa dalam analisis wacana dengan pendekatan linguistik fungsional sistemik mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi memaparkan, mempertukarkan dan merangkai pengalaman.


(31)

2.2.3 Fungsi Bahasa adalah Membuat Makna

Bahasa berfungsi membuat makna. Hal ini dapat dibuktikan ketika manusia mengekspresikan keperluan-keperluan mereka melalui bahasa, mereka membuat makna dalam teks. Halliday (1975) dalam Sinar (2003:20) berpendapat bahwa belajar bahasa adalah belajar memaknai yang mempunyai konsekuensi pada proses belajar-mengajar. Di dalam hal ini, Halliday (1975:37) memandang pembelajaran bahasa sebagai belajar memaknai atau mempelajari cara membuat makna. Dengan demikian, teori Systemic Functional Linguisticsi mempunyai kekuatan pada nilai pendidikan linguistik.

Fokus Systemic Functional Linguistics terhadap bahasa sebagai institusi sosial memberi makna khusus teks dan konteks. Hal ini memunculkan pandangan bahwa bahasa adalah sebuah sistem atau sistem pilihan yang relevan dengan pendidikan linguistik. Bagi praktisi pendidikan merupakan sesuatu yang penting untuk memahami perspektif bahwa seseorang belajar dalam proses sosial dan potensinya sangat erat hubungannya dengan bagaimana seorang anak membuat makna dengan menggunakan bahasa. Di dalam fungsi bahasa ini, seorang anak dalam aksinya belajar berbahasa, ia sekaligus mempelajari budaya melalui bahasa yang dipelajarinya. Sistem semiotik yang dikonstruksikan oleh anak tersebut menjadi sarana utama bagi transmisi budaya.

2.2.4 Bahasa adalah Sistem Semiotik Sosial

Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika sosial. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya (Halliday, 1978; Halliday & Hasan, 1985). Bahasa sebagai salah satu


(32)

dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara bersama¬sama membentuk budaya manusia. Halliday mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.

Sejalan dengan pengertian semiotik di atas, kajian makna suatu bahasa harus ditempatkan pada konteks sosial. Hal ini membawa implikasi bahasa bertautan dengan makna dalam budaya. Sudah pasti dalam budaya mana pun banyak cara yang berkenaan dengan makna yang berada di luar bidang bahasa. Cara-cara tersebut meliputi baik bentuk seni seperti lukisan, ukiran bunyi-bunyian, tarian, dan lainnya, maupun bentuk-bentuk tingkah laku budaya lainnya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup seni, misalnya ragam pertukaran, pakaian, susunan keluarga dan seterusnya. Ini semua pembawa makna dalam budaya. Pada hakikatnya, dalam konteks ini budaya didefinisikan sebagai seperangkat sistem semiotik, sistem makna yang semuanya saling berhubungan. Pengertian umum tentang semiotik ini tidak dapat dijelaskan melalui konsep tanda sebagai suatu kesatuan lahiriah, tetapi semiotik sebagai sistem-sistem makna, yang dapat dipandang sebagai tatanan yang bekerja melalui semacam bentuk luar keluaran (output) yang disebut tanda, tetapi tatanan-tatanan itu sendiri bukan perangkat benda tersendiri, melainkan merupakan jaringan-jaringan hubungan. Dalam arti inilah istilah ‘semiotik’ digunakan untuk melihat bahasa, yaitu bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia.

Istilah sosial dalam konteks bahasa adalah sistem semiotik sosial bersinonim

dengan kebudayaan. Menurut Sinar (2003:21), “Konsep semiotik sosial adalah bahwa

hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti ini dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan lingkungan arti


(33)

tersebut.” Jadi, semiotik sosial yang dimaksudkan adalah batasan sistem sosial atau

kebudayaan sebagai suatu sistem makna. Istilah ‘sosial’ juga digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan bahasa dengan struktur sosial, dengan memandang struktur sosial sebagai satu segi dari sistem sosial. Jadi dalam pengertian ini, bahasa dijelaskan dengan menggunakan pandangan sosial karena dimensi sosial sangatlah signifikan dan yang selama ini paling diabaikan dalam pembahasan-pembahasan bahasa dalam pendidikan.

Bahasa dipandang dari perspektif pendidikan suatu proses sosial. Lingkungan tempat belajar itu berlangsung dalam suatu lembaga sosial, seperti ruangan kelas atau sekolah dengan struktur sosialnya yang digariskan dengan lebih jelas atau yang lebih abstrak, menyangkut sistem sekolah atau jalannya kependidikan. Ilmu pengetahuan disampaikan dalam konteks sosial melalui hubungan-hubungan seperti orang tua dengan anak, guru dengan murid atau antarteman sekelas yang digariskan dalam tata nilai dan ideologi kebudayaan yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, menurut Halliday (1975) dalam Sinar (2003:20-21), belajar bahasa adalah belajar memaknai yang mempunyai konsekuensi pada proses belajar mengajar. Dengan demikian, seseorang dalam aksinya belajar berbahasa sekaligus mempelajari budaya melalui bahasa yang dipelajari dalam sistem sosial kehidupannya.

2.2.5 Penggunaan Bahasa adalah Kontekstual

Konsep konteks ini merujuk pada hubungan linguistik dengan konteks budaya yang disebabkan oleh ketergantungan makna linguistik terhadap konteks budaya. Bahasa adalah ungkapan perilaku sosial dalam konteks-konteks (Sinar, 2003:23). Hal ini disebabkan bahasa merupakan ungkapan ekspresi seseorang dalam merespon kondisi sosial budayanya,


(34)

sehingga makna dari setiap kata dalam tingkat tertentu sangat tergantung pada konteks pembicaraan seseorang.

Selanjutnya, Sinar (2003: 23-24) menambahkan bahwa konteks dipengaruhi oleh teks. Apabila seseorang menganalisis teks secara vertikal ke bawah, ini berarti teks dianalisis berdasarkan variabel linguistik (klausa, frase, kata, morfen, dst). Sebaliknya, apabila tks dianalisis secara vertikal ke atas berarti teks dilihat dari variabel kontekstual, yaitu konteks situasi, budaya dan ideologi. Hal ini disebabkan variabel yang hidup di atas teks berinteraksi dengan teks yaitu saling pengaruh mempengaruhi.

Gambar 2.4 Konteks Budaya dan Konteks Situasi dalam Demensi Potensialitas (Adaptasi dari Matthiessen 1993:272, lihat juga Sinar 2003:24)

2.3 Metafungsi Bahasa

Makna metafungsi adalah makna yang secara simultan terbangun dari tiga fungsi bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi ideasional mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan dengan interpretasi dan representasi pengalaman. Fungsi interpersonal mengungkapkan realitas sosial dan

Budaya

(umum) Sistem linguistik

Teks Situasi

Register Jenis Situasi


(35)

berkenaan dengan interaksi antara penutur/penulis dengan pendengar/pembaca. Sementara itu, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotis dan berkenaan dengan cara penciptaan teks dalam konteks (Halliday & Martin, 1993:29).

Berdasarkan penjelasan di atas, makna metafungsi melingkupi tiga jenis makna, dan realisasinya di dalam teks dapat dilihat dari unsur-unsur leksikogramatika (lexicogrammar), yaitu cara kata-kata disusun beserta segala akibat maknanya dalam membentuk registernya. Sebagai salah satu wilayah makna metafungsional, makna tekstual tercipta dari gabungan antara fungsi ideasional dan fungsi interpersonal. Makna tekstual adalah makna sebagai hasil dari realisasi unsur-unsur leksikogramatika yang menjadi media terwujudnya sebuah teks, tertulis atau lisan, yang runtut dan yang sesuai dengan situasi tertentu pada saat bahasa itu dipakai dengan struktur yang bersifat periodik (Martin, 1993:10-21).

Menurut Sinar (2003:28), Metafungsi bahasa mempunyai 3 (tiga) komponen, yaitu: 1) ideasional; 2) interpersonal, dan 3) tekstual. Sumber ideasional berhubungan dengan pemahaman dan pengalaman: apa yang telah terjadi, termasuk apa yang dilakukan seseorang terhadap siapa, dimana, kapan, kenapa, dan bagaimana hubungan logikal terjadi antara satu dengan yang lainnya. Sumber interpersonal membahas hubungan sosial: bagaimana masyarakat berinteraksi, termasuk perasaan saling berbagi di antara mereka dan sumber tekstual membahas alir informasi: cara makna ideasional dan interpersonal disebarkan pada semiosis, tgermasuk interkoneksi antara aktivitas dan bahasa (tindakan, gambar, musik, dll).


(36)

2.3.1 Fungsi Ideasional

Fungsi ideasional terbagi dua; yaitu fungsi eksperensial dan fungsi logis. Di bawah ini akan dijelaskan secara rinci ke dua fungsi tersebut.

2.3.1.1 Fungsi Eksperensial

Di dalam fungsi eksperensial, bahasa terdiri dari enam proses yaitu proses material, verbal, mental, relasional, perilaku, dan wujud. Setiap proses didampingi oleh partisipan yang direalisasi oleh nomina atau grup nomina. (Sinar, 2003:31-37).

(1) Proses material adalah proses yang melibatkan kegiatan fisik, seperti mendorong, mengangkat dan berlari. Proses material didampingi oleh dua partisipan utama yaitu aktor dan gol. Partisipan lain yang dapat mendampingi proses material adalah jangkauan dan penerima.

Contohnya:

Fadil membeli kamus Bahasa Inggris.

Aktor Proses Material Gol

(2) Proses verbal berada di antara proses mental dan realsional dan proses ini melibatkan informasi misalnya berkata, bertanya, menyapa, dll. Partisipan dalam proses verbal adalah penyampai, pesan, target, dan penerima.

Contohnya:

Titin memberitahu saya berita gembira itu Penyampai proses verbal penerima target

(3) Proses mental adalah proses yang berkaitan dengan indera, kognisi, emosi dan persepsi misalnya melihat, mencintai, dan berpikir. Partisipan dalam proses mental adalah pengindera dan fenomenon.


(37)

Contohnya:

Perempuan itu sangat mencintai anaknya Pengindra proses mental fenomenon

(4) Proses relasional adalah proses hubungan antarunit bahasa yang terbagi atas hubungan intensif, hubungan sirkumstan, dan hubungan posesif. Ketiga hubungan ini dibagi atas mode intensif (posisi kedua entitas dapat saling dipertukarkan) dan atribut (posisi kedua entitas tidak dapat saling dipertukarkan). Partisipan dalam proses relasional terdiri atas bentuk, nilai, penyandang, dan atribut.

(i) Hubungan intensif menunjukkan hubungan satu entitas dengan entitas yang lain, seperti:

Ibunya (adalah) seorang dosen Penyandang proses relasional atribut

(ii) Hubungan sirkumstan menunjukkan hubungan satu entitas dengan lingkungan yang terdiri atas lokasi (waktu, tempat, dan urutan), sifat, peran atau fungsi, penyerta, dan sudut pandang, seperti:

Ulang tahunnya (adalah) tanggal 14 September Penanda Proses relasional nilai (sirkumstan:waktu) (iii) Hubungan posesif menunjukkan kepunyaan, seperti:

Kamus itu (adalah) milik dia

Milik proses relasional pemilik

(5) Proses Perilaku (behavioural) merupakan aktivitas atau kegiatan fisiologis yang menyatakan tingkah laku fisik manusia. Secara semantik, proses tingkah laku terletak di antara proses material dan mental. Partisipan dalam prooses ini adalah petingkah laku. Proses ini ditanda dengan verba bernafas, batuk, pingsan, tidur, tertawa, dan sebagainya.


(38)

Contohnya:

Orang itu tertawa terbahak-bahak

Petingkah laku proses tingkah laku sirkumstan

(6) Proses wujud (eksistensial) menunjukkan keberadaan satu entitas. Secara semantik, proses wujud berada di antara proses material dan relasional. Partisipan dalam proses wujud (eksistensial) ini adalah maujud (eksisten). Proses ini ditandai oleh verba ada, berada, muncul, terjadi, bertahn, tumbh, dan tersebar.

Contohnya:

Ada banyak masalah di perusahaan ini

Proses wujud maujud sirkumstan

2.3.1.2 Fungsi Logis

Selain fungsi eksperensial, juga terdapat fungsi logis di dalam fungsi ideasional. Fungsi logis yang dimaksudkan di sini yaitu bahwa bahasa memiliki satu atau lebih dari satu klausa yang disusun berdasarkan hubungan logis berdasarkan posisi antarklausa dan makna antarklausa. Posisi antarklausa mengacu pada status satu klausa dengan klausa lainnya yang disebut taksis. Dengan kata lain, hubungan antar klausa membentuk logika bahasa alamiah yang diukur menurut jenis-jenis hubungan ketergantungan antara klausa yang disebut taksis (Sinar, 2003:45-46).

Taksis terbagi atas parataksis (hubungan klausa yang setara ditandai dengan angka

1,2,3...n) dan hipotaksis (hubungan klausa yang tidak setara yang ditandai dengan α, β, χ, δ ). Hubungan logis semantik menunjukkan makna yang timbul antar klausa dan dibagi dua

yaitu ekspansi dan proyeksi. Ekspansi menunjukkan bahwa klausa kedua memperluas makna klausa pertama dengan tiga cara yaitu elaborasi, ekstensi, dan ganda sedangkan


(39)

proyeksi merupakan representasi kembali pengalaman linguistik ke pengalaman linguistik lain.

Dari tabel berikut ini dapat diketahui bahwa parataksis menunjukkan kesetaraan hubungan dua klausa. Sebaliknya, hipotaksis menunjukkan ketidaksetaraan hubungan dua klausa. Elaborasi menunjukkan makna klausa pertama sejajar/setara dengan makna klausa kedua. Ekstensi berarti makna klausa kedua menambah makna yang ada pada klausa pertama. Ganda berarti makna klausa kedua melipatgandakan makna yang ada pada klausa pertama. Proyeksi lokusi menunjukkan proyeksi kata sedangkan proyeksi ide menunjukkan proyeksi makna.

Tabel 2.2: Hubungan Semantik Logis dan Taksis (Adaptasi dari Halliday, 1994: 214-220)

Hubungan Logis Semantik Taksis

Parataksis Hipotaksis

Ekspansi Elaborasi (=) Anak itu buta; dia tidak bisa melihat apa-apa.

1=2

Anak itu buta, yang sangat

menyusahkan kami

α = β

Ekstensi (+) Ayahnya bekerja di Medan dan ibunya bekerja di Surabaya 1+2 Ayahnya bekerja di Medan sedangkan ibunya bekerja di Surabaya

α + β `

Ganda (x) Dia sedang marah dan karena itu dia pergi

1x 2

Dia mengatakan bahwa dia akan pergi

α ” β

Proyeksi Lokusi (“) Dia berkata, “aku

akan pergi.” 1”2

Dia mengatakan bahwa dia akan pergi

α ” β Ide (‘) Dia berfikir, “aku

akan pergi.”

Dia berfikir dia akan pergi


(40)

1’2 α ‘β 2.3.2 Fungsi Antarpersona

Fungsi antarpersona adalah fungsi bahasa yang mampu mempertukarkan pengalaman dalam interaksi sosial. Fungsi antarpersona merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik. Dengan kemampuan berinteraksi sosial, maka manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam melakukan suatu aksi maka dari segi semantik, aksi terbagi dalam empat aksi dasar yang disebut dengan protoaksi yaitu pernyataan (memberi informasi), pertanyaan (meminta informasi), tawaran (memberi barang dan jasa), dan perintah (meminta barang dan jasa).

Keempat aksi dasar atau protoaksi tersebut kemudian direalisasikan ke dalam tingkat tata bahasa yang disebut modus. Aksi pernyataan biasanya direalisasikan ke dalam modus deklaratif. Aksi pertanyaan biasanya direalisasikan oleh modus interogatif dan aksi perintah direalisasikan oleh modus imperatif. Namun, aksi tawaran tidak mempunyai modus karena tidak mempunyai modus yang Bermarkah sebagai realisasinya. Dengan demikian, tawaran dapat direalisasikan oleh salah satu dari ketiga modus. Modus itu dibangun oleh lima unsur yaitu subjek, finit, predikator, komplemen, dan adjunct.

Tabel 2.3: Posisi Subjek, Finit, Predikator, Komplemen, dan Adjuct dalam Teks

Kami Subjek

Akan Finit

Mengadakan Predikator

Rapat Komplemen

besok pagi Adjunct

Mood Residue

2.3.3 Fungsi Tekstual

Fungsi ketiga dari bahasa adalah merangkai pengalaman yang disebut dengan fungsi tekstual. Fungsi tekstual bahasa adalah sebuah interpretasi bahasa dalam fungsinya


(41)

sebagai pesan. Hal ini diinterpretasikan sebagai sebuah fungsi intrinsik kepada bahasa itu sendiri, dalam arti bahwa bahasa berkaitan dnegan aspek situasional dimana bahasa atau teks terdapat di dalamnya. Dengan kata lain, fungsi titik temu membuat bahasa atau teks relevan secara internal ke dalam bahasa itu sendiri demikian juga secara eksternal kepada konteks atau situasi di mana bahasa itu digunakan. Fungsi ini memberi kemampuan kepada seseorang untuk membedakan sebuah teks sebagai bahasa yang termotivasi secara fungsional dan kontekstual dan pada sisi yang lain dari yang bukan teks sebagai bahasa terpisah dari yang lain.

2.4 Teks

Dalam pandangan Halliday (1992) dalam (Mascahaya 2010:61), teks dimaknai secara dinamis. Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi. Teks adalah contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual menggunakan bahasa; apa saja yang dikatakan atau ditulis; dalam konteks yang operasional (operational context) yang dibedakan dengan konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata yang didaftarkan dalam kamus ( 1978:109). Teks berkaitan dengan apa yang

secara aktual ‘dilakukan’, ‘dimaknai’ dan ‘dikatakan’ oleh masyarakat. Terkait dengan

teks, Halliday memberikan beberapa penjelasan sebagai berikut:

Pertama, teks adalah unit semantis. Menurut Halliday (1978:135) kualitas tekstur ditak didefinisikan dari ukuran. Teks adalah sebuah konsep semantis. Meskipun terdapat pengertian sebagai sesuatu di atas kalimat (super-sentence), sesuatu yang lebih besar daripada kalimat, dalam pandangan Halliday hal ini secara esensial salah tunjuk pada kualitas teks. Kita tidak dapat merumuskan bahwa teks itu lebih besar atau lebih panjang daripada kalimat atau klausa. Detegaskan oleh Halliday (1978:135) dalam kenyataannya


(42)

kalimat-kalimat itu lebih merupakan ‘realisasi teks’ daripada merupakan sebuah teks itu

sendiri. Sebuah teks ‘tidak tersusun’ dari kalimat-kalimat atau klausa, tetapi

‘direalisasikan’ dalam kalimat-kalimat.

Kedua, teks dapat memproyeksikan makna kepada level yang lebih tinggi. Menurut Halliday (1978:138) sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam level-level sistem lingual yang lebh rendah-seperti sistem leksikogramatis dan fonologis juga merupakan realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis, dan sebagainya yang dimiliki oleh teks itu. Level-level yang lebih rendah ini memiliki kekuatan untuk memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi, yang oleh Halliday deberi istilah

‘latar depan’ (foregrounded).

Ketiga, teks adalah proses sosiosemantis. Halliday 91978:139) berpendapat bahwa dalam arti yang sangat umum, sebuah teks merupakan sebuah perjumapaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat yakni individu-individu adalah seorang pemakna (meaner). Melalui tindak-tanduk pemaknaan antara individu ersama individu lainnya, realitas sosial diciptakan, dijaga dalam urutan yang baik, dan secara terus menerus disusun dan dimodifikasikan.

Fitur esensial seuah teks adalah adanya interaksi. Dalam pertukaran makna itu terjadi peruangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat.

Karena sifatnya yang ‘perjuangan’ itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna

yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.

Keempat, situasi adalah faktor penentu teks. Menurut Halliday (1978:141) makna diciptakan oleh sistem sosial dan dipertukarkan oleh anggota-anggota masyarakat dalam


(43)

bentuk teks. Makna tidak diciptakan dalam keadaan terisolasi dari lingkungannya. Secara

tegas dirumuskan oleh Halliday bahwa ‘makna adalah sistem sosial’. Perubahan dalam

sistem sosial akan direfleksikan dalam teks. Situasi akan menentukan bentuk dan makna teks.

2.5 Konteks Situasi Teks

Halliday (1978:1-10) menyatakan bahwa konteks situasi (register), ditinjau dari kerangka konseptual mempunyai tiga pokok bahasan yaitu medan makna (Field), pelibat (Tenor) dan sarana (Mode). Medan, sarana, dan pelibat wacana adalah prinsip-prinsip yang digunakan untuk memberi tafsiran konteks situasi teks atau wacana.

2.5.1 Medan Wacana (Field of Discourse)

Medan wacana merujuk kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusi tempat satuan-satuan bahasa itu muncul. Untuk menganalisis medan wacana kita dapat mengajukan pertanyaan what is going on?, yang mencakup tiga hal, yakni ranah pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang.

Ranah pengalaman merujuk kepada ketransitivan yang mempertanyakan apa yang

terjadi dengan seluruh ‘proses’, ‘partisipan’, dan ‘keadaan’. Tujuan jangka pendek merujuk

pada tujuan yang harus segera dicapai. Tujuan ini bersifat amat kongkret. Tujuan jangka panjang merujuk pada tempat teks dalam skema suatu persoalan yang lebih besar. Tujuan ini bersifat lebih abstrak.


(44)

2.5.2 Pelibat Wacana (Tenor of Discourse)

Pelibat wacana merujuk pada hakikat relasi antar partisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat, kita dapat mengajukan pertanyaan who is taking part?, yang mencakup tiga hal, yakni peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial.

Peran terkait dengan fungsi yang dijalankan individu atau masyarakat. Status terkait dengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, sejajar atau tidak. Jarak sosial terkait dengan tingkat pengenalan partisipan terhadap partisipan lainnya, akrab atau memiliki jarak. Peran, status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula permanen.

2.5.3 Modus Wacana (Mode of Discourse)

Modus wacana merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dlam situasi, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Untuk menganalisis modus, pertanyaan yang dapat diajukan adalah what’s role assigned to language?, yang mencakup lima hal, yakni peran bahasa, tipa intraksi, medium, saluran, dan modus retoris.

Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahsa dalam aktivitas; bisa saja bhasa brsifat wajib (konstitutif) atau tidak wajib; penyokong tambahan. Peran wajib trjadi apabila bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran tambahan terjadi apabila bahasa membantu aktivitas lainnya. Tipe interaksi merujuk pada jumlah pelaku; monologis atau dialogis. Medium terkait dengan sarana yang digunakan; lisan, tulisan, atau isyarat. Saluran brkaitan deang bagaimana teks itu dapat diterima; fonis, grafis, atau visual. Modus retoris merujuk

pada ‘perasaan’ teks secara keseluruhan; yakni persuasif, kesastraan, akademis, edukatif,


(45)

2.6 Teks Narasi

Teks narasi (narative genre) adalah tulisan kreatif dan imaginatif yang tujuannya untuk memberikan kesenangan yaitu mendapatkan perhatian pembaca dan memupuk imajinasi pembaca terhadap cerita (Sinar, 2003:68-69). Dalam istilah Linguistik Fungsional Sistemik, ragam teks dinamakan genre. Genre mempunyai struktur yang disebut struktur generik (Sinar, 2003 dalam Halliday dan Hasan, 1984) atau struktur skematika (Sinar, 2003 dalam Martin,1984). Ada beberapa jenis genre, yaitu: genre narasi, genre kisah, genre laporan, genre deskripsi, genre prosedur, genre instruksi, genre ekplanasi, genre eksposisi, genre argumentasi dan genre diskusi. Dalam kesempatan ini tidak dijelaskan struktur skematika genre selain genre narasi. Hal ini disebabkan karena tesis ini hanya berfokus pada genre narasi.

Secara umum struktur skematika setiap genre dimulai dari pendahuluan, pertengahan dan penutup (Sinar, 2003: 69-82).Dalam genre narasi penutur/penulis sering memilih detil-detil sebagai bagian dari keseluruhan perluasan cerita (misalnya personalitas pemain utama), jenis situasi (hubungan dengan karakter-karakter lain), alur cerita dan latar belakang cerita.

Narasi selalu dimulai dengan orientasi. Dalam orientasi, penutur atau penulis mencoba membawa imajinasi pembaca ke suatu keadaan yang melatar belakangi sebuah cerita. Latar belakang cerita ini dapat berupa gambaran suatu tempat atau pendeskripsian suatu keadaan di mana alur cerita itu dimulai. Selanjutnya struktur skematika narasi dilanjutkan dengan abstrak yang merupakan kalimat atau kata awal yang menyatakan ringkasan keseluruhan cerita. Kemudian dilanjutkan dengan komplikasi yang merupakan seperangkat kejadian yang menimbulkan komplikasi karena kejadian tidak berlangsung dengan lancar yang mengakibatkan konflik di antara para pemeran cerita. Konflik-konflik


(46)

yang ada kemudian berangsur diselesaikan dan ditemukan jalan keluarnya inilah yang disebut resolusi. Evaluasi ialah suatu aksi yang berlangsung dengan suspensi yang koinsiden dengan resolusi. Kesuluruhan struktur skematika ini ditutup dengan koda yang menyatakan akhir sebuah cerita. Unsur-unsur yang disebut di atas berlangsung secara berurutan (chronological order) yaitu unsur yang satu direalisasikan oleh unsur yang lainnya (^) dan hadir secara berulang-ulang (n) sehingga menjadi struktur skematika narasi.

Secara ringkas struktur skematika narasi adalah: orientasi ^ abstrak (n) ^ komplikasi (n) ^ resolusi (n) ^ (evaluasi) (n) ^ (koda) (Sinar, 2003:70).

2. 7 Proyeksi

2.7.1 Pengertian Proyeksi

Halliday (2004: 441) memberikan pengertian proyeksi:

Introduced the notion of projection, the logical-semantic relationship whereby a clause comes to function not as a direct representation of (non-linguistic) experience but as a representation of a (linguistic) representation.

Diperkenalkan gagasan tentang proyeksi, hubungan semantik logis dalam hal ini sebuah klausa muncul berfungsi tidak sebagai representasi langsung dari pengalaman non-linguistik tetapi sebagai sebuah representasi dari sebuah representasi non-linguistik.

Dari definisi di atas dapat diambil kata kunci yaitu (proyeksi) adalah sebuah representasi dari representasi linguistik. Dapat jelas terlihat bahwa pelaku yang memiliki pengalaman linguistik di sini lebih dari satu orang; paling tidak ada dua orang; yaitu orang pertama mempunyai pengalaman linguistik langsung Kemudian terkait dengan pengalaman linguistik orang pertama, orang kedua merepresentasi pengalaman linguistiknya caranya sendiri.


(47)

Bloor & Bloor (1995:260) mengatakan bahwa proyeksi mengungkapkan suatu representasi ujaran (speech) atau pikiran (thought) daripada suatu representasi pengalaman langsung: proyeksi ujaran (speech) atau pikiran (thought) yang langsung atau tidak langsung masing-masing disebut parataksis dan hipotaksis. Collerson (1994:107) mengatakan, dalam tulisan dan ujaran, seseorang mengutip apa yang telah dikatakan orang lain dan mengatakan kembali apa yang dikatakan orang tersebut, menjadikan pesan itu bagian dari pesan kita sendiri. Dengan demikian, kita memropeyeksikan pesan itu.

Adapun pengalaman linguistik yang biasanya menggunakan proyeksi adalah : 1) laporan berita; 2) mempresentasikan kembali pandangan-pandangan dalam wacana ilmiah; 3) merekonstruksi dialog dalam cerita dan membingkai pertanyaan-pertanyaan dalam percakapan (Halliday, 2004:443).

Proyeksi adalah satu dari varian klausa kompleks dalam semantik logika. Varian yang lainnya adalah ekspansi. Dua varian ini berbeda dalam membentuk klausa kompleks. Proyeksi berhubungan dengan proses verbal (lokusi) dan mental (ide) dalam membentuk sebuah klausa kompleks. Sedangkan ekspansi berhubungan dengan klausa relasional (Halliday, 2004:367)

Klausa kompleks merupakan satu-satunya unit gramatikal (tata bahasa) yang dikenal dengan istilah klausa di atas klausa. Klausa kompleks ialah konstituen tata bahasa yang membedakannya dari kalimat yang merupakan konstituen tulisan (Halliday, 1985:193; 1994:216). Thompson (1996:194) menyebutnya dengan istilah kombinasi klausa, yaitu kombisanasi dua klausa atau lebih yang membentuk unit yang lebih besar

dengan interdependensi yang ditandai oleh tanda yang eksplisit seperti konjungsi. Eggins (2004:137), mengatakan bahwa klausa kompleks melibatkan dua klausa yang masing-masing klausa memiliki struktur konstituennya sendiri secara internal. Collerson (1994:95)


(48)

memberi istilah klausa kompleks sebagai pesan kompleks (complex message), memperluas pesan dasar dengan meletakkan lebih dari satu klausa dalam satu kalimat.

Dari beberapa pengertian klausa kompleks di atas dapat disimpulkan bahwa klausa kompleks adalah gabungan dua klausa atau lebih (nexus) dalam satu kalimat. Klausa-klausa yang membentuk sebuah neksus adalah primer dan sekunder. Klausa yang primer merupakan klausa awal dalam sebuah neksus parataksis, dan klausa yang dominan dalam sebuah hipotaksis; klausa sekunder adalah klausa yang melanjutkan dalam sebuah hipotaksis (Halliday, 2004:376). Penjelasan tersebut tergambar pada Tabel berikut ini:

Tabel 2.4 : Klausa-klausa Primer dan Sekunder dalam Klausa Nexus (Diadaptasi dari Halliday 2004:376)

Primer Sekunder

Parataksis 1 (mulai) 2 (melanjutkan)

Hypotaksis α (dominan) β (terikat)

2.7.2 Jenis-jenis Proyeksi

Halliday ( 2004:443) berkata:”Through projection, one clause is set up as the representation of the linguistic “content” of another – either the content of a ‘verbal’

clause of saying or the content of a ‘mental’ clause of sensing”. Melalui proyeksi, sebuah

klausa dibentuk sebagai representasi “isi” linguistik dari klausa lainnya – apakah isi dari

klausa ‘verba’ perkataan atau isi dari klausa ‘mental’ perasaan.

Proyeksi yang menggunakan proses verbal disebut dengan proyeksi ‘Lokusi’ yang ditandai dengan simbol tanda kutip dua (”) dan proyeksi yang menggunakan proses mental

dinamakan proyeksi ide yang dikenali dengan tanda kutip satu (‘) (Halliday, 2004:377). Proyeksi lokusi menggunakan proses verbal sebagai klausa pemroyeksi. Kata kerja verbal, seperti: berkata, mengatakan, mengucapkan, menuturkan, menyebutkan,


(1)

“Tapi ada syaratnya,” kata Buyung Besar sembari tersenyum kecil.

Para tukang saling berpandangan. Mereka khawatir kalau syaratnya sulit dipenuhi. “Apa syaratnya, Buyung,” seorang diantara tukang memberanikan diri bertanya.

“Kalian harus membuatkan aku perahu emas sebesar perahu yang kita gunakan selama ini berlayar”. “Cuma itu, Buyung?” tanya tukang yang lain.’

“Selain itu, buatkanlah aku sebuah peti emas yang berukuran satu meter kali dua meter yang kuncinya dari dalam”.

“Kami menerima syarat itu,” kata para tukang serentak.

Ringkas cerita, para tukang berhasil membuatkan kapal dan peti emas yang diminta Buyung Besar. Tukang-tukang itupun menyiapkan sejumlah barang-barang dari emas untuk dibawa pulang. Barang-barang yang terbuat dari emas itu diletakkan di buritan perahu. Tak seorang pun boleh berada di dekat barang-barang itu.

Dalam perjalanan pulang ke desa pantai Labu, kapak kecil kesayangan Buyung Besar terjatuh ke dalam laut. Karena itu, Buyung Besar memerintahkan juru mudi untuk menghentikan perahu.

“Kapak kesayangan saya terjatuh ke dalam laut. Saya tidak dapat terpisah dengannya. Saya akan turun ke laut untuk mengambilnya. Perahu ini tidak boleh bergerak sebelum saya kembali, walaupun setahun lamanya. Makanan dan minuman masih tersedia untuk kalian”.

Semua tukang hanya bisa diam seribu bahasa. Mereka hanya bisa menuruti perintah Buyung Besar saja.

“Jika tali pemberat ini bergoyang, tanda saya akan kembali, maka tariklah pemberat tersebut,” sambung Buyung.

Sekejap kemudian, Buyung Besar sudah hilang masuk ke dalam air laut. Tapi betapa terkejutnya dia melihat sebuah taman dan istana yang megah di dasar laut.

Pemilik taman dan istana yang megah itu adalah raja lautan. Raja Lautan tersebut mempunyai seorang permaisuri dan putri yang cantik.

Yang menemukan kapak kecil Buyung Besar adalah putri raja lautan. Kapak itu jatuh di taman tempat putri makhota bermain-main. Kapak kecil itu disimpan putri di kamarnya. Tak seorang pun yang mengetahui putri mendapat kapak tersebut.

“Bapak penjaga istana, saya Buyung Besar datang dari daratan. Maksud singgah ke kerajaan ini utnuk mencari kapak saya yang terjatuh ke dasar laut,” ujar Buyung Besar memperkenalkan diri kepada penjaga pintu gerbang kerajaan.

“Saya tidak mengetahui itu. Ada baiknya saya sampaikan kepada raja kami,” kata penjaga dengan ramah.

Tak lama berselang, pengawal itu kembali menemui Buyung Besar dan mempersilahkannya untuk menghadap raja.

“Hai ... orang daratan, apa hajat datang ke kerajaan kami? Katakanlah, barangkali kami dapat membantu!” tanya raja.


(2)

Raja lautan yang baik dan bijaksana itu segera mengumpulkan penduduknya untuk menanyakan siapa yang mendapat kapak Buyung Besar. Ternyata tak seorang pun di antara mereka yang menemukan kapak itu.

Raja merasa heran sekali, karena tak seorang diantara warganya menemukan kapak kenyaan Buyung Besar. Lalu raja berpikir sejenak.

“Tadi yang tak hadir putri kita. Mana dia, coba panggil untuk menghadapku,” kata raja kepada permaisurinya.

Segera sang permaisuri melaksanakan titah suaminya.

“Apa maksud ayahanda memanggil ananda”, tanya putri mahkota dengan penuh hormat. “Ada ananda menemukan kapak kepunyaan orang dari daratan?”

“Ada, ayah,” jawab putri dengan jujur.

“Kalau begitu, serahkanlah kapak itu kepada pemiliknya” titah raja. “Orang daratan harus menebusnya ayah”.

“Tebusan? Apa tebusannya wahai anakku?”. Putri tak langsung menjawabnya.

“Ayo ... katakanlah, nak,” ujar permaisuri. “Ananda menginginkan pemilik kapak itu.” “Haa,” raja terkejut mendengarnya.

Raja lautan tak dapat berbuat banyak, karena sang Raja telah berjanji kepada putrinya, memenuhi segala keinginannya. Raja pun menyampaikan keinginan putrinya itu kepada Buyung Besar. Dengan senang hati, Buyung Besar menerima hal tersebut.

Untuk itu, dilangsungkanlah acara peresmian perkawinan Buyung Besar dengan putri mahkota. Pesta perkawinan mereka dilangsungkan selama 40 hari, 40 malam.

Setelah enam bulan hidup di dasar laut, barulah Buyung Besar teringat kepada teman-temannya yang menunggunya di atas perahu. Dia rindu sekali dengan teman-temannya itu. Untuk memenuhi keinginannya, Buyung Besar memohon kepada istrinya supaya diizinkan ke daratan.

“Dinda tak keberatan. Berangkatlah kita”, kata istrinya dengan penuh keikhlasan.

Begitupun Buyung Besar harus pula minta izin kepada Raja, apalagi putri mahkota turut serta dengan Buyung Besar.

“Pergilah”, Raja mengizinkan.

Ketika itu, raja memberikan sebentuk cincin dan sebungkah kemenyan kepa da Buyung Besar. “Ananda, lautan dengan daratan jauh berbeda. Di daratan banyak orang yang memiliki sifat dengki dan iri hati. Karenanya kenakanlah cicin itu. Cincin ini dapat berusaha memberikan makan untukmu bila kau kelaparan dan bakarlah kemenyan ini bila kau menghadapi bahaya”, pesan raja kepada Buyung Besar.

Barangkatlah Buyung Besar dan istrinya. Sebelum timbul ke permukaan laut, digoyang-goyangnya tali pemberat. Teman-teman Buyung telah lama menantikannya. Mereka merasa terkejut. Tapi mereka segera saja menarik tali itu. Selang beberapa menit, tampaklah Buyung Besar.


(3)

Semua orang yang ada di perahu merasa takjub dan kagum melihat kecantikan paras istri Buyung Besar.

“Bukakanlah peti emas itu”, suruh Buyung Besar kepada para tukang yang juga sebagai temannya. “Untuk apa, Buyung?”, tanya juru mudi, heran.

“Istriku akan ku simpan di dalam peti”.

Dengan tenang putri cantik itu masuk ke dalam peti.

“Setelah kau tutup kuncilah peti ini dari dalam,” pesan Buyung kepada istrinya.

Pesan Buyung Besar dipenuhi sang istri. Peti itu dikuncinya dengan baik, agar tak ada yang dapat membukanya.

Tak ada halangan yang terlalu membahayakan ketika Buyung Besar dan kawan-kawannya pulang menuju Desa Pantai Labu. Mereka selamat kembali ke kampung halaman. Dentuman meriam dibunyikan sebagai pertanda Buyung Besar telah kembali.

Kepulangan Buyung itu disambut penduduk dengan sorak-sorai, karena Buyung Besar membawa dua buah perahu. Satu diantaranya terbuat dari emas.

Buyung Besar mempersilakan Datuk Penghulu naik ke perahu emasnya. Datuk merasa senang sekali melihat keberhasilan yang diperoleh Buyung Besar yang telah dididiknya dengan susah payah itu.

“Buyung, peti apa yang kau bawa ini. Indah sekali,” Datuk Penghulu takjub melihatnya. “Hoo .. itu! Peti biasa. Datuk”, jawab Buyung sedikit gugup.

“Bagaimana kalau sekarang kita bagi hasil yang hamba dapatkan ini”, Buyung mengalihkan pembicaraan.

“Barang yang kecil-kecil ini untuk para pekerja. Sedangkan kapal emas untuk Datuk dan peti emas untuk hamba”, sambung Buyung Besar dengan sedikit gentar. Datuk Penghulu amat berminat untuk memiliki peti emas tersebut.

“Sebelum kusetujui usulmu itu, boleh ku ketahui apa ini peti emas itu?”, kata Datuk Penghulu. Buyung Besar tak keberatan memenuhi keinginan Datuk Penghulu. Tiga kali diketuk Buyung Besar peti emas, terbukalah peti tersebut. Alangkah terkejutnya Datuk Penghulu, karena isinya seorang putri cantik. Buyung memperkenalkan kepada Datuk bahwa, putri cantik itu anak raja lautan, yang kini sudah menjadi istrinya.

“Usulmu tentang pembagian harta dan keuntunganmu berniaga, tidak dapat kuterima”, kata Datuk sambil menarik napasnya dalam-dalam.

“Aku seorang Datuk. Jadi, akulah yang memutuskan”, sambung Datuk menunjukkan kekuasaannya. “Bagaimana maksud, Datuk”, suara Beyung melemah.

Sembari melipatkan kedua tangannya ke dada, Datuk Penghulu berjalan pelan memperhatikan Buyung Besar.

“Kapal dan peti emas untuk kau. Sedangkan istrimu itu serahkanlah untukku”.

Mendengar pernyataan Datuk Penghulu, Buyung Besar berada pada posisi yang sulit. Jika ditolaknya keinginan Datuk, Buyung takut kena hukuman dan dikatakan tak tahu balas budi. Datuk telah banyak memberikan yang terbaik untuk Buyung Besar. Kalau diberikannya istri yang cantik itu kepada


(4)

Datuk, berarti disia-siakannya kepercayaan Raja lautan yang telah memperkenankan anaknya dibawa ke daratan.

Walau dengan berat hati, Buyung Besar menyetujui keinginan Datuk Penghulu.

“Hamba rela menyerahkan istri hamba kepada Datuk”, kata Buyung Besar dengan suara terbata-bata.

Senyum kemenangan terukir di bibeir Datuk Penghulu. Lalu didekatinya Buyung Besar sembari memukul-mukul pundak si Buyung.

“Bagus.... Bagus. Ini namanya murid yang berbakti kepada gurunya”, ujar Datuk Penghulu.

Mendengar kerelaan Buyung Besar menyerahkan dirinya kepada Datuk, putri Raja lautan kecewa. Air matanya jatuh menetes membasahi kedua pipinya yang putih bersih.

“Jangan menangis dinda”, bujuk Datuk Penghulu.

“Dinda akan bahagia di sisi kakanda”, sambung Datuk menyakinkan.

Mau tak mau, dengan hati yang tersayat, putri Raja lautan tinggal di salah satu kamar yang ada di rumah Datuk. Siang dan malam dia merenungi nasibnya yang malang.

Hari yang dinanti-nantikan Datuk untuk menikahi putri cantik itu, kini sudah tiba. Datuk dan calon istrinya duduk berdampingan di atas pelaminan untuk menlaksanakan akad nikah. Semua undangan merasa kagum melihat kecantikan putri Raja lautan yang direbut Datuk dari si Buyung.

“Sungguh naas nasib si Buyung. Istri yang cantik direbut penguasa”, kata seorang undangan kepada teman di sebelahnya.

“Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Itulah takdir yang menimpa Buyung”, jawab temannya itu.

Saat tuan kadhi akan melangsungkan akad nikah Datuk Penghulu, Buyung Besar yang sejak kembali dari pelayaran terakhir belum pulang ke rumahnya. Ia keluar dari rumah Datuk. Dia duduk sendirian di taman pada bagian yang tersembunyi.

Setelah suasana sekitar di rasa aman, dikeluarkan kemenyan pemberian Raja lautan. Dibakarnya kemenyan sambil membaca sejumlah mantra.

Hei elang putih

Pergi ambil roh semangat istriku Jika tidur, engkau gerakkan jaga Kibas dengan sayap, sapu dengan ekor Kasih sayang kepada aku

Rindu dendam kepada aku Sidi guru sidilah aku Sidi berkat

Kasih sayangmu akan aku

Ketika itu, tiba-tiba saja Datuk Penghulu berubah pikiran. Dia tak dapat melakukan akad nikah dengan baik. Biarpun tuan Kadhi sudah beberapa kali mengajarinya, namun ucapan Datuk Penghulu tetap tak menentu.


(5)

Datuk Penghulu tak dapat lagi menguasai dirinya. Begitu berdiri, matanya merah bagai orang kerurupan. Yang lebih aneh lagi, Datuk Penghulu memencak-mencak bagai seorang pesilat yang akan berkelahi.

Para undangan merasa ketakutan melihat perubahan Datuk Penghulu. Sebagian di antara mereka ada yang meninggalkan tempat pesta pernikahan tersebut. Mereka khawatir ketularan penyakit aneh yang menimpa Datuk.

“Barangkali ini hukuman Tuhan kepada Datuk yang telah merebut istri orang”, kata seorang pria tua kepada orang yang disebelahnya.

“Kurasa juga begitu”, balas orang yang di sebelah pria tua itu.

“Lalu apa tindakan kita untuk membantu Datuk”, tanya seseorang yang tak berapa jauh dari pria tua tadi.

“Aku rasa kita tak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya berdoa kepada Tuhan,” kata pria tua. Tuan Kadhi sebagai salah seorang masyarakat yang dituakan, dia memahami perubahan sikap Datuk yang secara mendadak itu disebabkan oleh ulah perbuatan manusia yang tamak dan dengki. Tuan Kadhi duduk berdoa memohon petunjuk tuhan, siapa gerangan yang berani berbuat usil kepada Datuk.

Tak lama kemudian, tuan Kadhi mengusapkan kedua tangannya ke wajahnya. Secara perlahan-lahan dibuka matanya. Lalu beliau bergerak menuju ke halaman rumahnya, tapi tak seorang pun yang tahu Tuan Kadhi menuju ke halaman rumah itu.

Di usap-usap matanya ketika melihat gumpalan asap dari balik pepohonan. Tuan Kadhi yakin sekali kalau itu asap kemenyan yang menyebabkan Datuk Penghulu bagai orang yang kesurupan.

Alangkah terkejutnya Tuan Kadhi melihat yang membakar kemenyan dan dengan penuh konsentrasi berkomat-kamit membaca mantera adalah Buyung Besar. Segera Tuan Kadhi itu menyadarkan Buyung Besar dari perbuatannya yang tercela itu.

“Apa-apaan kau Buyung”, kata Tuan Kadhi.

Buyung Besar tak dapat berkutik melihat Tuan Kadhi berdiri di hadapannya. “Apa yang kau kerjakan ini?”

“Eee .... Aaa.... Anuuu”, Buyung Besar tak dapat menjawab.

“Sadar, Buyung. Yang kau lakukan itu perbuatan setan. Syirik. Dosanya besar sekali. Allah tak mengampunkan dosa orang yang melakukan perbuatan syirik”.

“Maaa... maafkan hamba, tuan. Hamba khilaf”.

“Jangan minta maaf kepada saya. Minta ampunlah kepada yang menciptakan langit dan bumi”, kata tuan Kadhi.

Buyung Besar langsung berdoa minta ampun kepada Allah. Melihat hal itu, tuan Kadhi senang sekali. Sebab Buyung Besar yang dahulunya dikenal mempunyai tabiat aneh, kini sudah menjadi manusia yang baik dan berbudi pekerti.

“Sebenarnya hamba tak rela melakukan perbuatan terkutuk tersebut. Apa daya, tak ada jalan lain untuk menundukkan kekuasaan Datuk Penghulu”, Buyung Besar berterus terang kepada Tuan Kadhi.


(6)

“Saya tahu itu. Lupakan sajalah. Yang penting sekarang kau tolong Datuk Penghulu”, kata Tuan Kadhi.

“Mengapa rupanya Datuk Penghulu?”, Buyung Besar pura-pura tak tahu. “Akibat ulah kau, Datuk seperti orang kesurupan”.

“Ayo ... kita lihat!”, ajak Buyung.

Segera keduanya melihat keadaan Datuk Penghulu. Buyung Besar merasa iba juga melihat orang yang pernah menolongnya terkapar bagai orang gila.

Buyung Besar mendekati Datuk Penghulu, sambil berkomat-kamit diusap usapnya kepala Datuk Penghulu. Tak lama kemudian, Datuk Penghulu pun sadar. Diperhatikannya sekeliling, seolah-olah dia tak pernah berad di tempat tersebut.

“Siapa kau?”, tanya Datuk melihat seseorang yang berdiri di hadapannya. “Aku Buyung, Datuk”.

“Buyung, maafkan Datuk. Maafkan Datuk, Buyung. Datuk salah. Datuk lupa daratan”. “Sudahlah, Datuk, aku memaafkan Datuk”.

“Terima kasih, Buyung”, kata Datuk.

Para hadirin pun bersorak girang, karena Datuk mereka telah sembuh. Ketika

itu juga dilangsungkan pernikahan antara Buyung Besar dengan putri Raja lautan secara Islam. Sedangkan pernikahan mereka di dasar laut masih bersifat sementara, oleh karena kehidupan di daratan lebh mulia daripada di dasar laut.

Jabatan Datuk pun diserahkan kepada Buyung Besar. Dia memerintah Desa Pantai Labu dengan Bijaksana dan adil. Rakyat hidup bahagia aman dan sentosa.