Evaluasi Pelaksanaan Program Pelatihan dan Pembinaan Kemandirian Terhadap Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Evaluasi

2.1.1 Pengertian Evaluasi

  Baik tidaknya suatu program dapat dilihat dari proses evaluasi yang dilakukan. Evaluasi sangat dibutuhkan untuk melihat sejauh apa perkembangan dan capaian daripada suatu program yang telah ditetepkan dan dilaksanakan. Evaluasi sangat berkaitan dengan suatu proses perencanaan, dan keduanya saling memiliki kaitan timbal balik. Evaluasi (bahasa Inggris:Evaluation) adalah proses penilaian. Dalam perusahaan, evaluasi dapat diartikan sebagai proses pengukuran akan efektifitas strategi yang digunakan dalam upaya mencapai tujuan perusahaan. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut akan digunakan sebagai analisis situasi program berikutnya diakses 20 mei 2014 pukul 23.30).

  Evaluasi adalah suatu upaya untuk mengukur secara objektif terhadap pencapaian yang telah dirancang dari suatu aktivitas atau program yang telah dilaksanakan sebelumnya, yang mana hasil penelitian yang dilakukan menjadi umpan balik bagi aktivitas perencanaan baru yang akan dilakukan berkenaan dengan aktivitas yang sama dimasa depan ( Siagian dan Agus, 2012:171)

  Menurut Alkin (1969), evaluasi sebagai suatu proses meyakinkan keputusan, memilih informasi yang tepat, mengumpulkan, dan menganalisis informasi sehingga dapat melaporkan ringkasan data yang berguna bagi pembuat keputusan dalam memilih beberapa alternatif.

  5 macam evaluasi menurut Alkin, yakni: 1.

  Sistem assessment, yang memberikan informasi tentang keadaan atau posisi sistem.

  2. Program planning, membantu pemilihan program tertentu yang mungkin akan berhasil memenuhi kebutuhan program.

  3. Program implementation, yang menyiapkan informasi apakah program sudah diperkenalkan kepada kelompok tertentu yang tepet seperti yang direncanakan.

  4. Program improvement, yang memberikan informasi tenteng bagaimana program berfungsi, bagaimana program bekerja, atau berjalan? Apakah menuju pencapaian tujuan, adakah hal-hal atau masalah-masalah baru yang muncul tak terduga? 5. Program cetification, yang memberi informasi tentang nilai atau guna program

   juni 2014).

2.1.2 Pendekatan-pendekatan terhadap Evaluasi

  Evaluasi memiliki tujuan-tujuan alternatif dan tujuan-tujuan tersebut mempengaruhi evaluasi suatu program atau kegiatan. Mengenal pandangan- pandangan yang beraneka ragam dan mengetahui bahwa tidak semua evaluator setuju pada pendekatan tersebut dalam melakukan evaluasi suatu program/kegiatan adalah penting. Ada beberapa pendekatan umum dalam melakukan evaluasi yaitu: 1. Pendekatan pertama adalah objective-oriented approach Fokus pada pendekatan ini hanya tertuju kepada tujuan program/proyek dan seberapa jauh tujuan itu tercapai. Pendekatan ini membutuhkan kontak intensif dengan pelaksana program/proyek yang bersangkutan.

  2. Pendekatan kedua adalah pendekatan three-dimensional cube atau

  Hammond’s evaluation approach .

  Pendekatan Hammond melihat dari tiga dimensi yaitu instruction (karateristik pelaksanaan, isi, topik, metode, fasilitas, dan organisasi program/proyek), institution (karakteristik individual peserta, instruktur, administrasi sekolah/kampus/organisasi), dan behavioral objective (tujuan program itu sendiri, sesuai dengan taksonomi Bloom, meliputi tujuan kognitif, afektif dan psikomotor).

3. Pendekatan ketiga adalah management-oriented approach.

  Fokus dari pendekatan ini adalah sistem (dengan model CIPP: context-input-proses- sehingga jika tujuan program tidak tercapai, bisa dilihat di proses bagian mana yang perlu ditingkatkan.

  4. Pendekatan keempat adalah goal-free evaluation.

  Berbeda dengan tiga pendekatan di atas, pendekatan ini tidak berfokus kepada tujuan atau pelaksanaan program/proyek, melainkan berfokus pada efek sampingnya, bukan kepada apakah tujuan yang diinginkan dari pelaksana program/proyek terlaksana atau tidak. Evaluasi ini biasanya dilaksanakan oleh evaluator eksternal.

  5. Pendekatan kelima adalah consumer-oriented approach.

  Dalam pendekatan ini yang dinilai adalah kegunaan materi seperti software, buku, silabus. Mirip dengan pendekatan kepuasan konsumen di ilmu Pemasaran, pendekatan ini menilai apakah materi yang digunakan sesuai dengan penggunanya, atau apakah diperlukan dan penting untuk program/proyek yang dituju. Selain itu, juga dievaluasi apakah materi yang dievaluasi di-follow-up dan cost effective.

  6. Pendekatan keenam adalah expertise-oriented approach.

  Dalam pendekatan ini, evaluasi dilaksanakan secara formal atau informal, dalam artian jadwal dispesifikasikan atau tidak dispesifikasikan, standar penilaian dipublikasikan atau tidak dipublikasikan. Proses evaluasi bisa dilakukan oleh individu atau kelompok. Pendekatan ini merupakan pendekatan tertua di mana evaluator secara subyektif menilai kegunaan suatu program/proyek, karena itu disebut subjective professional judgement.

  7. Pendekatan ketujuh adalah adversary-oriented approach.

  Dalam pendekatan ini, ada dua pihak evaluator yang masing-masing menunjukkan sisi baik dan buruk, disamping ada juri yang menentukan argumen evaluator mana meminimalkan bias individu dan mempertahankan pandangan yang seimbang.

  8. Pendekatan terakhir adalah naturalistic & participatory approach.

  Pelaksana evaluasi dengan pendekatan ini bisa para stakeholder. Hasil dari evaluasi ini beragam, sangat deskriptif dan induktif. Evaluasi ini menggunakan data beragam dari berbagai sumber dan tidak ada standar rencana evaluasi. Kekurangan dari pendekatan evaluasi ini adalah hasilnya tergantung siapa yang menilai (Tayipnafis, 2000 :9).

  Berbagai pendekatan untuk mengevaluasi suatu program atau proyek diterapkan untuk mendapatkan keefektifan dan keefisienan program atau proyek tersebut baik secara internal yaitu pihak pengembang atau pengelola, maupun secara eksternal yaitu pengguna. Bentuk-bentuk pendekatan evaluasi yang telah ada harus terus dikembangkan untuk meningkatkan kepuasan pengguna sebagai tujuan utama suatu program dijalankan.

2.1.3 Proses Evaluasi

  Dalam proses suatu program, pada hakekatnya selalu dimualai dari suatu rencana, bertitik dari situ maka proses evaluasi atau pelaksanaan evaluasi terhadap suatu program tentu saja harus didasarkan atas rencana evaluasi program tersebut. Namun dalam praktek sering sekali evaluasi terhadap suatu program tidak direncanakan. Hal ini tidak saja menimbulkan ketidakjelasan fungsi evaluasi, institusi, personal yang sebaiknya melakukan evaluasi dan biaya untuk evaluasi.

  Dalam melakukan proses evaluasi ada beberapa etik birokrasi yang perlu diperhatikan olek pihak-pihak yang erat hubungannya dengan tugas-tugas evaluasi antara lain: 1.

  Semua tugas/tanggungjawab pemberi tugas/yang menerima tugas harus jelas.

2. Pengertian dan konotasi yang tersirat dalam evaluasi yaitu mencari kesalahan harus dihindari.

  3. Pengertian evaluasi adalah untuk memperbandingkan rencana dengan pelaksanaan dengan melakuakan pengukuran-pengukuran kuantitatif/kualitatif totalitas program secara teknik, maka dari itu hendaknya ukuran-ukuaran kualitas dan kuantitas tentang apa yang dimaksud dengan berhasil telah dicantumkan sebelumnya dalam rencan program secara eksplisit.

  4. Tim yang melakukan evaluasi adalah pemberi saran/nasehat kepada manajemen, sedangkan pendayagunaan saran/nasehat tersebut serta pembuat keputusan atas dasar saran/nasehat tersebut berada ditangan manajemen program.

  5. Dalam proses pengambilan keputusan yang telah dilakukan atas data- data/penemuan teknis perlu dikonsultasiakan secara cermat mungkin karena menyangkut banyak hal tentang masa depan proyek dalam kaitannya dengan program.

  6. Hendaknya hubungan dan proses selalu didasari oleh suasana konstruktif dan objektif serta menghindari analisa-analisa subjektif. Dengan demikian, evaluasi dapat diterapkan sebagai salah satu program yang sangat penting dalam siklus manajemen program (Sirait: 1990:160).

2.1.4 Tolak Ukur Evaluasi

  Suatu program dapat dievaluasi apabila ada tolak ukur yang bisa dijadikan penilaian terhadap program yang telah berlangsung tersebut. Berhasil atau tidaknya dicapai dengan baik oleh sumber daya yang mengelolanya, diantaranya: 1.

  Tolak ukur evaluasi pada tahap perencanaan adalah: a.

  Mempunyai suatu program yang akan disosialisasikan b.

  Mempunyai tujuan yang akan disosialisasikan c. Mempunyai metode-metode yang akan digunakan untuk disosialisasikan

2. Tolak ukur dalam evaluasi pada tahap pelaksanaan adalah: a.

  Apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah direncanakan b.

  Apakah tujuan dapat dicapai sesuai dengan yang direncanakan c. Apakah metode-metode sesuai dengan yang telah direncanakan d.

  Apakah sarana yang ada dapat mencapai tujuan yang telah direncanakan

3. Tolak ukur evaluasi pada tahap pasca pelaksanaan adalah: a.

   Apakah hasil yang diperoleh(efektivitas dan efisien) sesuai dengan

  tujuan yang ingin dicapai (Suwito, 2002:16)

2.2 Evaluasi Program

  Evaluasi program merupakan suatu langkah, yaitu awal dalam supervisi, yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula. Fokus utama penilaian suatu program meliputi tiga arah, yaitu masukan, hasil, dan dampak. Oleh karena itu, pelaksanaan suatu penilaian terhadap suatu program harus mengimplementasikan indikator yang tepat. Ditinjau dari aspek tujuannya, maka penilaian berupaya mengetahui dengan apa sungguh-sungguh terjadi pelaksanaan atau implementasi program. Penilaian suatu program bertujuan: 1.

  Mengetahui tingkat pencapaian tujuan dari suatu program.

  2. Mengukur dampak langsung yang muncul bagi kelompok sasar.

  3. Mengetahui dan menganalisis dampak-dampak lain yang mungkin terjadi.

  Jika ditinjau dari aspek tingkat pelaksanaannya, secara umum evaluasi terhadap suatu program dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu :

  1. Penilaian atas perencanaan, yaitu mencoba memilih dan menetapkan prioritas terhadap berbagai alternatif dan kemungkinan atas cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

  2. Penilaian atas pelaksanaan, yaitu melakukan analisis tingkat kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan perencanaan, di dalamnya meliputi apakah pelaksanaan program sesuai dengan apa yang direncanakan, apakah ada perubahan-perubahan sasaran maupun tujuan dari program yang sebelumnya direncanakan.

  3. Penilaian atas aktivitas yang telah selesai dilaksanakan, yaitu menganalisis hasil yang diperoleh sesuai dengan tujuan yang sebelumnya ditetapkan (Siagian dan Agus, 2012 : 172).

2.3 Lembaga Pemasyarakatan

2.3.1 Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

  Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap di di bawah (WBP) bisa juga yang statusnya masih Pegawai negeri sipil yang menangani pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan disebut penjara.Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman di mana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat s 30 juni 2014).

  Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dalam tata peradilan pidana. Lembaga pemasyarakatan yang berkembang sekarang ini menganut sistem pemasyarakatan yaitu suatu tatanan arah dan batas serta cara pembinaan terhadap narapidana berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas narapidana agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

2.3.2 Petugas Pemasyarakatan

  Kewajiban untuk mengeluarkan narapidana dari lembaga pemasyarakatan untuk kembali ke masyarakat tidak kalah pentingnya daripada untuk memasukkan narapidana ke dalam lembaga pemasyarakatan. Berhasilnya tugas untuk mengeluarkan dan mengembalikan narapidana menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat kepada hukum, tergantung kepada petugas-petugas negara yang diserahi tugas menjalankan si stem pemasyarakatan. Adapun petugas pemasyarakatan yang memiliki mental yang baik dah sehat ditunjukkan dalam 5 aspek, yaitu: 1.

  Berfikir realistis 2. Mempunyai kesadaran diri

  3. Mampu membina hubungan dengan orang lain 4.

  Mempunyai visi dan misi yang jelas 5. Mampu mengendaliakan emosi

  Berdasarkan surat edaran Dirjen Pemasyarakatan berikut ini adalah sepuluh kewajiban petugas pemasyarakatan:

  1. Menjunjung tinggi hak-hak warga binaan pemasyrakatan.

  2. Bersikap belas kasih dan tidak sekali-kali menyakiti warga binaan pemasyarakatan.

  3. Berlaku adil terhadap warga binaan pemasyarakatan 4.

  Menjaga rahasia pribadi warga binaan pemasyarakatan 5. Memperhatikan keluhan warga binaan pemasyarakatan.

  6. Menjaga rasa keadilan masyarakat.

  Menjaga kehormatan diri dan menjadi teladan dalam sikap dan perilaku.

  8. Waspada dan peka terhadap kemungkinan adanya ancaman dan gangguan keamanan.

  9. Bersikap sopan tetapi tega dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat 10.

  Menjaga keseimbangan antara kepentingan pembinaan dan keamanan.

  Petugas lembaga pemasyarakatan harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang seluk-beluk system pemasyarakatan dan terus menerus meningkatkan kemampuan, dalam menghadapi narapidana. Petugas-petugas yang dimaksud dalam uraian diatas melakukan peranan sesuai denga kewenangannya yang ditunjuk oleh peraturan, dan berusaha menciptakan bentuk kerjasama yang baikmuntuk membantu penyelenggaraan “proses pemasyarakatan” sedemikian rupa pelaksanaan sistem pemasyarakatan

  2.4 sistem Pemasyarakatan

2.4.1 Konsep Sistem Pemasyarakatan

  Sistem pemasyarakatan muncul setelah adanya sistem kepenjaraan yang telah berlangsung selama ratusan tahun yang lebih menekankan pada pembalasan atau penghukuman pada masyarakat yang telah melakukan tindak pidana dan dinyatakan bersalah oleh pihak pengadilan. Perbedaan sistem pemasyarakatan dan system kepenjaraan terletak pada asa, tujuan, dan pendekatan yang mendasari tata perlakuan terhadap para pelanggar hukum. Perbedaan ini secara keseluruhan memperlihatkan bahwa sistem pemasyarakatan jauh lebih baik dan sangat memperlihatkan aspek kemanusiaan dibandingkan sistem kepenjaraan.

  Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem. Sebagai suatu sistem, maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan, meliputi : falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan system klasifikasi, perlakuan terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana, keluaraga narapidana, dan Pembina/pemerintah (Harsono, 1995:5).

  UU nomor 12 Tahun 1995 Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan tata peradilan pidana. Konsepsi Pemasyarakatan bukan semata merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan suatu si stem pembinaan, metode dalam bidang “treatment of offenders”. Soedjono menjelaskan Sistem pemasyarakatan adalah proses pembinaan terpidana yang berdasarkan azas Pancasila dan memandang terpidana sebagai makhluk Tuhan, individu, dan anggota masyarakat (Sujatno dalam Nurulaen, 2012:91).

  Sistem pemasyarakatan pada Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 dijelaskan : Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat kembali diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

  Tujuan pemasyarakatan pada pasal 2 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 dijelaskan : Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tinadakan pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Fungsi sistem pemasyarakatan pada pasal 3 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 dijelaskan:

  Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapakan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

  Menurut Djakaria, yang dapat menentukan berhasilnya sistem pemasyarakatan adalah tergantung subyek materi yang satu sama lainnya saling menunjang, yaitu narapidana, petugas pemasyarakatan, dan masyarakat (Nurulaen, 2012:38).

  Dalam perkembangan di lembaga pemasyarakatan, sistem kepenjaraan diganti dengan sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan secara konseptual dan historisnya sangat berbeda dengan sistem kepenjaraan. Dalam system pemasyarakatan azas yang dianut menempatkan narapidana sebagai subjek yang dipandang sebabgai pribadi dan warga negara serta dihadapi bukan dengan pembalasan melainkan pembinaan yang terarah agar kedepannya dapat menyadarkan sipelaku kejahatan. Sedangkan pembinaan narapidana dalam system kepenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

  Pada 15 Juli 1963, penganugrahan gelar Doctor Hounouris Causa ilmu hukum, Sahardjo dalam pidatonya menyatakan : a. Tujuan dari pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita akibat dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.

  b. Tujuan dari pidana penjara adalah pemasyarakatan (Sahardjo dalam Atmasasmita, 2002 : 6) Sahardjo merupakan tokoh yang pertama kali melontarkan perlunya perbaikan bagi narapidana yang hidup dibalik tembok penjara.

  Dalam konferensi Dinas Pemasyarakatan yang pertama kali pada 27 April 1964 pokok-pokok pikiran Sahardjo tersebut pada akhirnya dijabarkan dan dirumuskan sebagai sistem pembinaan narapidana sebagai berikut :

  1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan diberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik, yakni masyarakat Indonesia yang menuju ke tata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila. Bekal hidup tidak hanya berupa finansial dan materiil, tetapi yang juga lebih adalah mental, fisik, keahlian, keterampilan, hingga orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga negara yang baik, tidak melanggar hukum dan berguna dalam pembangunan negara.

  2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. Terhadap narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara perawatan atau

  3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan.

  Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma kehidupan, serta diberikan kesempatan untuk merenungkan perbuatan yang lampau.

  4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga pemasyarakatan. Karena itu diadakan pemisahan antara : a. Yang residivis dan yang bukan residivis.

  b. Yang telah melakukan tindak pidana yang berat dan yang ringan.

  c. Macam tindak pidana yang dibuat.

  d. Sudah tua (40 tahun keatas, dewasa (25-40 tahun), remaja (18-25 tahun).

  e. Orang terpidana dan orang tahanan.

  5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus diperkenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya. Pada waktu mereka menjalani pidana hilang kemerdekaan adalah identik dengan pengasingan dari masyarakat dalam arti “kultural”. Secara bertahap mereka akan dibimbing di tengah-tengah masyarakat yang merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan.

  6. Pekerjaan diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukan kepentingan Jawatan atau kepentingan Negara sewaktu saja.

  Pekerjaan yang diberikan harus suatu pekerjaan di masyarakat yang ditujukan kepada pembangunan nasional, karena harus ada integrasi pekerjaan narapidana dengan pembangunan.

  7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila. Pendidikan dan bimbingan diberi kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya, ditanamkan jiwa kegotong-royongan, toleransi, kekeluargaan, bermusyawarah untuk mufakat positif. Narapidana harus untuk kegiatan demi kepentingan-kepentingan bersama dan umum.

  8. Tiap harus manusia harus sebagai layaknya manusia, meskipun telah tersesat.

  Tidak boleh selalu ditujukan kepada narapidana bahwa ia itu adalah penjahat. Ia harus selalau merasa bahwa ia dipandang dan diperlukan sebagai manusia.

  Sehubungan dengan itu petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memaki kata-kata yang dapat menyinggung perasaan narapidana.

  9. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan. Perlu diusahakan agar narapidana mendapat mata pencaharian unntuk keluarga dengan jalan menyediakan/memberikan pekerjaan upah. Bagi pemuda dan anak-anak disediakan lembaga pendidikan yang diperlukan, ataupun diberi kesempatan kemungkinan mendapatkan pendidikan diluar lembaga pemasyarakatan.

  10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan dan memindahkan lembaga-lembaga yang berada ditengah-tengah kota ke tempat yang sesuai kebutuhan proses pemasyarakatan (Sahardjo dalam Atmasasmita, 2002 : 8).

   diakses 06 juli 2014).

  Sistem baru ini kemudian dikenal dengan nama “Sistem Pemasyarakatan” yang merupakan tujuan dari pidana penjara. Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, bertujuan mengembalikan narapidana terpisahkan dari nilai-nilai yanng terkandung dalam Pancasila.

  Dalam pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem kepenjaraan karena dalam sistem pemasyarakatan, narapidana hanya dibatasi bergeraknya saja sedangkan hak- hak kemanusiaannya tetap dihargai. Didasarkan atas pertimbangan sistem kepenjaraan sudah tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang didalam kehidupan sehari-hari berpedoman kepada filsafah Pancasila. Sistem pemasyarakatan yang dikenal adalah suatu pembinaan narapidana yang didasarkan Pancasila sebagai Falsafah bangsa Indonesia dan memandang narapidana sebagai makhluk Tuhan, sebagai individu dan sekaligus sebagai anggota masyarakat.

2.4.2 Pembinaan dalam Sistem Pemasyarakatan

  Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 31 pasal 1 ayat (1) tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan narapidana yang dimaksud “pembinaan adalah suatu aktivitas untuk yang ditujukan bagi narapidana guna meningkatkan kualitas iman dan ketakwaan, intelektual, sikap, perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan”.

  Pembinaan merupakan suatu cara untuk dapat meningkatkan, mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan serta sikap seseorang atau kelompok sehubungan dengan kegiatan, dan pekerjaan. Pembinaan terkait dengan pengembangan manusia sebagai bagian dari pendidikan, baik ditinjau dari segi teoritis maupun praktis. Dari segi teoritis, yaitu pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan dari segi praktisnya lebih ditekankan pada pengembangan secara sadar, berencana, terarah dan teratur secara bertanggung jawab dalam rangka menumbuhkan, meningkatkan kemampuan serta sumber-sumber yang tersedia untuk mencapai tujuan.

  Pembinaan secara perorangan adalah pembinaan yang diberikan kepada narapidana agar membawa banyak perubahan bagi narapidana, hal ini dilakukan karena tingkat kematangan setiap narapidana tidak sama. Dalam pembinaan perorangan pembinaan yang dicapai lebih maksimmal karena lebih mendekatkan petugas dengan narapidana. Peran petugas dalam pembinaan ini hanya sebagai fasilitator, motivator agar narapidana mampu memecahkan masalah yang dihadapinya.

  Pembinaan secara kelompok adalah pembinaan yang dilakukan dengan metode ceramah, tanya jawab dan diskusi dengan berkelompok untuk tujuan tertentu. Dalam pembinaan ini peran kelompok harus tetap dilibatkan jadi tidak hanya pembina saja yang aktif yang dibina juga harus aktif dalam pembinaan. Materi pembinaan tidak harus datang dari pembina tetapi juga dari narapidana atau menjalankan materi yang telah menjadi kesepakatan.

  Berdasarkan pengertian dan kutipan diatas dapat disimpulkan pembinaan adalah membina narapidana dalam usaha perbaikan terhadap tingkah laku yang menyimpang. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan perseorangan yaitu metode

  

sosial case work : cara menolong seseorang dengan konsultasi untuk memperbaiki

  hubungan sosialnya dan penyesuaian sehingga memungkinkan mencapai kehidupan yang memuaskan dan bermanfaat.

  Wujud pembinaan merupakan realisasi dari asas hukum yang berlaku di Indonesia yang sesuai Falsafah Pancasila. Hukuman bagi pelaku kejahatan akan kehilangan kebebasannya sesuai keputusan hukum pidana yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan untuk rehabilitasi dengan menjalani pembinaan.

  Wujud pembinaan adalah:

  1. Pembinaan yang dilakukan dalam gedung lembaga pemasyarakatan yang meliputi :

  a. Pendidikan umum, pemberantasan tiga buta (buta aksara, buta angka, buta bahasa).

  b. Pendidikan keterampilan, kerajinan tangan, menjahit, dan sebagainya.

  c. Pembinaan mental, spiritual dan pendidikan agama.

  d. Sosial budaya, kunjungan keluarga dan lain-lain. e. Kegiatan rekreasi, diarahkan pada pemupukan kesegaran jasmani dan rohani melaui : olahraga, hiburan segar, membaca.

  2. Pembinaan narapidana yang dilaksanakan di luar gedung lembaga pemasyarakatan : a. Belajar di tempat latihan kerja milik lembaga pemasyarakatan.

  b. Belajar di tempat latihan kerja milik industri/dinas lain.

  c. Beribadah, sembahyang di mesjid, gereja dan lain sebagainya.

  d. Berolahraga bersama masyarakat.

  e. Pemberian bebas bersyarat dan cuti menjelang bebas kses 06 juli 2014).

  Berdasarkan kepada Surat Edaran No.KP.10.13/3/1 tertanggal 8 Februari 1965 tentang Pemasyarakatan Sebagai Proses, maka dapat dikemukakan bahwa pembinaan Narapidana dewasa dilaksanakan melalui 4 (empat) tahap yang merupakan suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu, antara lain:

  1. Tahap Pertama Terhadap setiap Narapidana yang masuk di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal ikhwal perihal dirinya, termasuk sebab-sebab Narapidana melakukan pelanggaran dan segala keterangan mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarga, bekas majikan atau atasannya, teman sekerja, si korban dari perbuatannya, serta dari petugas instansi lain yang telah menangani perkaranya.

  Pembinaan pada tahap ini disebut pembinaan tahap awal, di mana kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam Lembaga Pemasyarakatan dan pengawasannya maksimun (maksimum security).

  2.Tahap Kedua Jika proses pembinaan terhadap Narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim

  Pengamat Pemasyarakatan (selanjutnya disebut TPP) sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata- tertib yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan, maka kepada Narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan dengan melalui pengawasan (medium-security).

  3.Tahap Ketiga Jika proses pembinaan terhadap Narapidana telah dijalani ½ (setengah) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut TPP telah dicapai cukup kemajuan- kemajuan, baik secara fisik maupun mental dan juga dari segi ketrampilannya, maka wadah proses pembinaannya diperluas dengan program Asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari 2 (dua) bagian, antara lain:

  a. Waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ (setengah) dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan pengawasannya sudah memasuki tahap medium-security. b. Pada tahapan ini waktunya dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidananya. Dalam tahap lanjutan ini Narapidana sudah memasuki tahap Asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan Pembebasan Bersyarat atau Cuti Menjelang Bebas dengan pengawasan (minimum- security).

  4.Tahap Keempat Jika proses pembinaan telah menjalani 2/3 (duapertiga) dari masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan. Pembinaan ini disebut pembinaan tahap akhir yaitu kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan. Pembinaan pada tahap ini terhadap Narapidana yang telah memenuhi syarat untuk diberikan Cuti Menjelang Bebas atau Pembebasan Bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar Lembaga Pemasyarakatan oleh Balai Pemasyarakatan yang kemudian disebut Pembimbing Klien Pemasyarakatan. Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadapa Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan prilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani Klien Pemasyarakatan. s 29 juni 2014).

2.4.2.3 Tujuan Pembinaan

  Tujuan pembinaan dalam sistem pemasyarakatan yaitu menyadarkan dan memotivasi narapidana agar dapat merubah dirinya sendiri. Kesadaran narapidana bertujuan mengenal cara hidup, peraturan, tujuan pembinaan atas dirinya, dan narapidana diberikan pendidikan agama, keterampilan. Sedangkan motivasi bertujuan agar narapidana dapat memandang semua segi kehidupan dengan positif sehingga narapidana dapat mengembangkan diri sendiri.

  Secara umum tujuan pembinaan adalah : 1. Memantapkan iman.

  2. Membina mereka agar segara mampu berintegrasi secara wajar dalam kehidupan masyarakat setelah selesai menjalani pidana.

  Secara khusus tujuan pembinaan adalah :

  1. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap opptimis akan masa depannya. mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional.

  3. Berhasil menjadi manusia yanng patuh hukum dengan tidak lagi melakukan perbuatan yang mmelanggar hukum.

  4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengadilan terhadap bangsa dan Negara (Nurulaen 2012: 116).

  Dari uraian di atas disimpulkan bahwa pembinaan narapidana berusaha memasyarakatan kembali seseorang yang pernah mengalami konflik sosial, sebagai suatu cara baru agar seseorang dapat berguna bagi negara, hal ini merupakan usaha yang dilakukan dalam mencapai negara sejahtera.

2.4.2.4 Sasaran Pemasyarakatan

  Sasaran pemasyarakatan dapat dibagi menjadi dua yaitu :

  1. Sasaran khusus Sasaran pembinaan terhadap individu warga binaan pemasyarakatan adalah meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan, yang meliputi : a. Kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa .

  b. Kualitas intelektual.

  c. Kualitas profesionalisme/keterampilan.

  d. Kualitas kesehatan jasmani dan rohani.

  e. Kualitas sikap dan perilaku.

  2. Sasaran umum digunakan untuk mengukur sejauh mana keberhasilan dari pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Inndikator-indikator tersebut antara lain :

  a. Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka dan gangguan keamanan.

  b. Lembaga Pemasyarakatan berisi lebih rendah dari pada kapasitas (pemerataan isi Lembaga Pemasyarakatan).

  c. Meningkatnya secara bertahap dari tahun ke tahun jumlah narapidana yang bebas sebelum waktunya melalui proses asimilasi dan integrasi.

  d. Semakin menurunnya dari tahun ke tahun angka residivis.

  e. Semakin banyaknya jenis institusi Unit Pelayanan Terpadu pemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan berbagai jenis/golongan warga binaan. f. Presentase kematian dan sakit narapidana/tahanan lebih sedikit atau sama dengan angka kematian dan sakit dari anggota masyarakat.

  g. Biaya perawatan narapidana dan tahanan sama dengan kebutuhan minimal manusia Indonesia pada umumnya.

  h. Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan adalah instansi terbersih di lingkungan masing-masing. i. Semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan proyeksi nilai-nilai masyarakat ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dan sebaiknya semakin berkurangnya nilai-nilai subkultur penjara dan Lembaga Pemasyarakatan.

2.5 Pelatihan Kemandirian Warga Binaan Pemasyarakatan

  Program Pelatihan Kemandirian adalah suatu program pembinan yang dilakukan oleh Lapas, dimana seorang narapidana akan diberikan pelatihan keterampilan berdasarkan minat dan bakatnya dan kemudian diarahkan untuk dapat memproduksi suatu barang atau jasa yang mempunyai nilai ekomonis dan nilai jual, dan bagi narapidana yang mampu berproduksi akan diberikan upah/premi/insentif sebagai mana diatur menurut undang-undang.

  Adapun Kegiatan Pembinaan Kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan Kelas

  I Medan adalah sebagai berikut: a.

  Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri misalnya kerajinan tangan, industri, Rumah Tangga, reparasi mesin, alat-alat elektronika dan sebagainya b.

  Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya pengelolaan bahan mentah dari sektor pertanian dan bahan alam menjadi bahan setengah jadi dan jadi ( Pembuatan batako dan paving blok ) c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing.

  Mengingat di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan masih terdapat Warga Binaan Pemasyarakatan yang buta huruf dan agar mereka dapat membaca, menulis, berhitung dan keterampilan agar mampu berswadaya dalam hidup bermasyarakat, maka program Pendidikan Masyarakat dalam bentuk kelompok belajar paket A dan kelompok Belajar Usaha dapat diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan.

2.6 Narapidana

2.6.1 Pengertian Narapidana

  Narapidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusanpengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan terpidana tersebutmenjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan. Narapidana ditempatkan di lembaga pemasyarakatan agar mendapatkan pembinaan dengan menggunakan metode pengenalan diri akan kelemahan dan kelebihannya kareana manusia hanya bisa dibina apabila mammpu mengenal dirinya. Lingkungan narapidana adalahsuatu pola kegiatan narapidana yang hilang kemerdekaan geraknya sampai waktu yang ditentukan atas pidana yang dijatuhkan sesuai hukum yang berlaku (Harsono, 1995:36).

  Pengertian narapidana adalah orang-orang sedang menjalani sanksi kurungan atau sannksi lainnya, menurut perundang-undangan. Pengertian narapidana menurut kamus bahasa Indonesia adalah orang hukuman (orang yg sedang menjalani hukuman krn tindak pidana); atau terhukum.

  Menurut UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.

  Selanjutnya Harsono (1995) mengatakan narapidana adalah seseorang yang telah dijatuhkan vonis bersalah oleh hukum dan harus menjalani hukuman dan Wilson (2005) mengatakan narapidana adalah manusia bermasalah yang dipisahkan dari masyarakat untuk belajar bermasyarakat dengan baik.

  Narapidana adalah manusia biasa seperti manusia lainnya hanya karena melanggar norma hukum yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk menjalani hukuman (Dirjosworo, 1992). Dengan demikian, pengertian narapidana adalah seseorang yang melakukan tindak kejahatan dan telah menjalani persidangan, telah diponis hukuman pidana serta ditempatkan dalam suatu bangunan yang disebut penjara. untuk dapat menyesuaikan diri. Narapidana tidak berbeda dengan masyarakat lainnya yang sewaktu-waktu melakukan kesalahan dan dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Tetapi yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyababkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusikaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana.

2.6.2 Hak dan Kewajiban Narapidana

  Dalam suatu proses peradilan pidana, narapidana masih mempunyai beberapa hak dan kewajiban, yaitu:

1. Menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinannya masing-masing 2.

  Menerima makanan / minuman yang sehat menurut menu yang telah ditetapkan

  3. Menerima perawatan dari pemerintah 4.

  Menerima kunjungan dari Penasehat hukum, keluarga, / handai tolan 5. Menerima perlindungan hukum 6. Sepanjang tidak ditetapkan lain, setiap Warga Binaan Pemasyarakatan berhak untuk : a.

  Memperoleh remisi b.

  Memperoleh Cuti Menjelang Bebas ( CMB ) dan Cuti Bersyarat ( CB ) c. Memperoleh Asimilasi d. Memperoleh Pembebasan Bersyarat ( PB )

  Kewajiban Warga Binaan Pemasyarakatan: 1.

  Wajib dan taat mengikuti program pembinaan yang diberikan oleh petugas 2. Berkelakuan baik dan sopan didalam Lembaga Pemasyarakatan baik sesame

  Warga Binaan Pemasyarakatan maupun kepada petugas 3. Memberi jawaban yang sopan bila ditanya oleh Petugas 4.

  Memelihara kebersihan dan keindahan dilingkungan kamar / bloknya serta memlihara barang inventaris yang dipinjamkan kepadanya

  5. Wajib bekerja Larangan Warga Binaan Pemasyarakatan: 1.

  Dilarang membuat keributan 2. Dilarang melarikan diri 3. Dilarang merusak bangunan, taman yang ada di lingkungan kamar / bloknya 4. Dilarang merusak barang inventaris yang dipinjamkan kepadanya untuk dipakai 5. Dilarang mengambil barang-barang milik orang lain tanpa izinnya 6. Dilarang minum-minuman keras, judi, menggunakan narkoba 7. Dilarang membuat tato 8. Dilarang membawa, menyimpan benda tajam, senjata api dan barang-barang yang dapat mebahayakan orang lain

  9. Dilarang berhubungan intim dengan sesame jenis 10.

  Dilarang melawan Petugas 11. Dilarang menyimpan HP di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Sanksi Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan: Barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan larangan tersebut diatas akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu pengasingan/tutupan sunyi di straapsel dan pencabutan hak-hak yang bersangkutan.

2.7 Konsep Kesejahteraan Sosial dan Keberfungsian sosial

2.7.1 Konsep Kesejahteraan Sosial

  Konsep Kesejahteraan Sosial sebagai suatu program yang terorganisir dan sistematis yang dilengkapi dengan segala macan keterampilan ilmiah, merupakan suatu konsep yang relatif baru berkembang Masalah-masalah kemiskinan, penyakit dan disorganisasi sosial merupakan masalah sosial yang sudah lama ada sepanjang sejarah kehidupan manusia. Permasalahan kesejahteraan sosial yang begitu luas dan kompleks telah menyebabkan timbulnya beraneka pemahaman konsepsi dan perwujudan kesejahteraan sosial itu dalam masyarakat setiap Negara.

  Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak mulai berdirinya telah memikirkan tentang peranan kesejahteraan sosial itu dalam pembangunan nasional. Kesejahteraan sosial didefinisikan sebagai “suatu kegiatan terorganisasi yang membantu tercapainya peny esuaian timbale balik diantara perorangan dengan lingkungannya”. Tujuan ini diwujudkan melalui penggunaan teknik-teknik dan metode-metode untuk membantu perorangan, kelompok-kelompok dan kesatuan-kesatuan masyarakay agar mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka serta memecahkan masalah-masalah penyesuaian diri mereka terhadap pola-pola kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perubahan (dinamis), dan melalui tindakan kerjasama untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial.

  Menurut Walter A. Friedlander ( 1961), “Kesejahteraan sosial” adalah sistem yang terorganisir dari peleyanan-pelayanan sosial dan lembaga yang bertujuan mengangkat individu dan kelompok untuk mencapai standart hidup dan kesehatan yang memuaskan, serta relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.

  Definisi diatas menjelaskan: 1.

  Konsep kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem yang berintikan lembaga- lembaga dan pelayanan sosial.

  2. Tujuan sistem tersebut adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang sejahtera dalam arti tingkat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan juga relasi-relasi sosial dengan lingkungannya.

  3. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara meningkatkan”kemampuan individu” baik dalam memecahkan masalahnya maupun dalam memenuhi kebutuhannya (Pearlman, 1991:18).

  Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.6 Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial berbunyi: “Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang meliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak- hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan pancasila”.

  Definisi tersebut menjelaskan bahwa kesejahteraan sosial itu adalah keadaan yang sebaik-baiknya yaitu pemenuhan kebutuhan manusia yang terdiri dari aspek jasmaniah dan rohaniah. Manusia membutuhkan makanan, pakaian, tempat tinggal, air, udara dan pemeliharaan kesehatan serta kebutuhan kerohanian.

2.7.2 Keberfungsian Sosial

  Fungsi sosial yaitu pelaksanaan tugas tugas pokok yang dilaksanakan oleh individu dan anggota masyarakat sebagai suatu petunjuk umum kearah kehidupan bersama manusia dan masyarakat yang berupa fungsi pengaturan, pemilikan, pelaksanaan dan pengawasan. Kemampuan berfungsi sosial yaitu mengacu kepada cara-cara individu atau kolektivitas (seperti keluarga, perkumpulan-perkumpulan, masyarakat dan sebagainya) bertindak dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.

  Keberfungsian sosial dapat dipandang dari berbagai segi, yaitu: 1. Dipandang sebagai kemampuan melaksanakan peranan sosial

  Keberfungsian sosial dapat dipandang sebagai penampilan/pelaksanaan peranan yang diharapkan sebagai anggota suatu kolektivitas.

  2. Dipandang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan Orang selalu dihadapkan untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu, keberfungsian sosial juga mengacu kepada cara-cara yang digunakan oleh individu maupun kolektivitas dalam memenuhi kebutuhan mereka.

  3. Dipandang sebagai kemampuan untuk memecahkan permasalahan

  Orang dalam usahanya memenuhi kebutuhan, melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan mewujudkan aspirasinya tidaklah mudah. Ia dihadapkan kepada keterbatasan, hambatan dan kesulitan serta permasalahan yang harus ditangani dan dipecahkan.

  Uraian diatas menggambarkan bahwa setiap orang selalu dihadapkan kepada permasalahan sosial. Kemampuan seseorang dalam mengatasi dan memecahkan permasalahan yang dialami menunjukkan kemampuannya dalam melaksanakan keberfungsian sosial.

2.7.3 Kerangka Pemikiran

  Penempatan para pelaku tindak pidana di lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk mengintegrasikan warga binaan pemasyarakatan ke dalam masyarakat.