Evaluasi Pelaksanaan Program Pelatihan dan Pembinaan Kemandirian Terhadap Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan

(1)

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM PEMBINAAN DAN PELATIHAN KEMANDIRIAN TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I MEDAN SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Disusun oleh

CHANDRA WIJOKSON TAMBA 090902069

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Chandra Wijokson Tamba

NIM : 090902069

ABSTRAK

Evaluasi Pelaksanaan Program Pelatihan dan Pembinaan Kemandirian Terhadap Warga Binaan Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan

Kejahatan adalah masalah sosial yang sulit teratasi dan merupakan masalah sosial yang sudah sejak lama terjadi. setiap masyarakat dalam suatu Negara selalu menghadapi tindak kejahatan, karena tidak ada satupun Negara yang terlepas dari tindak kejahatan tetapi jumlah tingkat kejahatan di setiap Negara berbeda-beda. Oleh karena itu, manusia hanya mampu mengurangi dari tindak kejahatan tersebut. Di jaman yang modern ini berbagai bentuk tindak kejahatan dapat dilakukan dan terjadi oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja tanpa memandang usia dan status sosial.

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif karena penelitian ini menggambarkan subjek atau objek penelitian berupa data-data yang sudah ada dan bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subjek atau objek secara terperinci. Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan dengan jumlah populasi adalah 356, sampel dalam penelitian ini adalah 36 orang dengan menggunakan purposive sampling.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah warga binaan mendapatkan pembinaan dan pelatihan kemandirian yang baik. Namun masih ada hambatan dalam pelaksanaannya yaitu kurangnya sarana dan prasarana, jumlah warga binaan yang tidak sesuai dengan daya tampung Lapas. Penambahan personil yang sesuai dengan skill dan keterampilan dalam memberi pelatihan bagi warga binaan.

Kata Kunci : Evaluasi, Pembinaan, pelatihan kemandirian, warga binaan pemasyarakatan dan kesejahteraan sosial.


(3)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE Name: Chandra Wijokson Tamba

NIM: 090902069

ABSTRACT

Evaluation of Training and Development Program Independence Citizens Against Patronage In Penitentiary Class I Medan.

Crime is a social problem that is difficult to overcome, and a social problem that has long been the case. every community in the country has always faced a crime , because none of the countries that regardless of the crime but the crime rate in any number of different countries . Therefore , man is only able to reduce the crime of . In this modern era of various forms of crime can be done and happen to anyone , anytime and anywhere regardless of age and social status .

This study uses descriptive type because this study describe the subject or object of research in the form of data that already exist and aims to describe the characteristics of the subject or the object in detail . This research was conducted in the Penitentiary Class I Medan the number of population is 356 , the sample in this study was 36 people by using purposive sampling .

The results obtained are inmates receive coaching and training good independence . But there are still obstacles in the implementation is the lack of infrastructure , the number of inmates who are not in accordance with the capacity of prisons . The addition of appropriate personnel with skills and skills in the training of inmates .

Keywords : Evaluation , Development , independence training , prisoners and social welfare .


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur saya panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan anugerah yang diberikan-Nya sehinggasaya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebagaimana mestinya. Skripsi ini berjudul “Evaluasi Pelaksanaan Program Pembinaan dan Pelatihan Kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan”.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Sejauh mana keberhasilan pelaksanaan program pembinaan dan pelatihan kemandirian terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan. Dalam penulisan ini, tentunya saya berusaha menyusun dalam bentuk yang mudah dimengerti dan menjabarkannya secara jelas. Namun, disamping itu saya hanyalah manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan. Untuk itu saya mohon maaf jika ada sesuatu kesalahan dalam penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini, saya tentunya banyak mengalami hambatan. Namun, itu tidaklah saya jadikan sebagai beban, karena adanya bantuan dan motivasi dari mama saya, keluarga, teman-teman dan pihak lainnya. Disini, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M. Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosisal dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Hairani Siregar, S. Sos, M, SP, selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial.

3. Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si, selaku Dosen Pembimbing saya yang selalu mau meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan dukungan kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini.


(5)

4. Para dosen di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial yang tidak dapat saya tuliskan satu persatu, dimana beliau telah banyak menyumbangkan ilmunya selama ini.

5. Kepada staff Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial yang tidak dapat saya tuliskan satu persatu, terima kasih buat bantuan dalam memudahkan penulis untuk mengurus semua administrasi selama perkuliahaan.

6. Kepada Kedua Orangtua saya, Bapak P. Tamba dan Ibu N. Simamora. Terima kasih atas semua kasih sayang dan dukungannya yang telah kalian berikan selama ini.

7. Saudara/saudari saya: Brigadir H. Felix Tamba/Cecilia SH, Antiong Purba/Devi Weni Tamba, Masniar Tamba. Terima kasih saya sampaikan kepada kalian atas dukungan dan bantuan yang telah kalian berikan dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada Teman-teman Stambuk 2009. Udin, Budi, Jeriko, Epan, Rio, Marmen, Jones, dan Semua yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu per satu, Buat semua Senior dan Junior yang ada di kessos.

9. Kepada KALAPAS Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan, Terima Kasih atas kesempatan dan bantuannya yang telah diberikan. Bang Rivi, Bang Basri, Bang Sahat, Bang regar, Pra Managor, Pra Saragi, Bu Riris, Bu kemala “Emak“ dan seluruh staff LP yang tidak dapat saya sampaikan satu per satu.


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...i

ABSTRACT ...ii

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR ISI ...v

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR DIAGRAM ...xiii

DAFTAR BAGAN...ix

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Perumusan Masalah ...6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...7

1.3.1 Tujuan Penelitian ...7

1.3.2 Manfaat Penelitian ...7

1.4 Sistematika Penulisan ...8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...10

2.1 Evaluasi ...10

2.1.1 Pengertian Evaluasi ...10

2.1.2 Pendekatan-pendekatanTerhadap Evaluasi ...11

2.1.3 Proses Evaluasi………14

2.1.4 Tolak Ukur Evaluasi………15

2.2 Evaluasi Program ...16


(7)

2.3.1 Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ...17

2.3.2 Petugas Pemasyarakatan ...18

2.4 Sistem Pemasyarakatan ...20

2.4.1 Konsep Sistem Pemasyarakatan ...20

2.4.2 Pembinaan Dalam Sistem Pemasyarakatan ...26

2.4.2.1 Wujud Pembinaan ...27

2.4.2.2 Proses Pembinaan ...28

2.4.2.3 Tujuan Pembinaan ...30

2.4.2.2 Sasaran Pemasyarakatan ...32

2.5 Pelatihan Kemandirian Warga Binaan Pemasyarakatan...33

2.6 Narapidana...34

2.6.1 Pengertian Narapidana……….34

2.6.2 Hak Dan Kewajiban Narapidana……….35

2.7 Konsep Kesejahteraan Sosial Dan Keberfungsian Sosial...37

2.7.1 Konsep Kesejahteraan Sosial...37

2.7.2 Keberfungsian Sosial...39

2.7.3 Kerangka Pemikiran...40

2.8 Definisi Konsep Dan Definisi Operasional...42

2.8.1 Definisi Konsep...42

2.8.2 Definisi Operasional...43

BAB III METODE PENELITIAN ...45

3.1 Tipe Penelitian ...45

3.2 Lokasi Penelitian ...45


(8)

3.3.2 Sampel ...46

3.4 Teknik Pengumpulan Data ...47

3.5 Teknik Analisis Data ...48

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ...49

4.1 Letak Geografis ...49

4.2 Latar Belakang Berdirinya Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan ...50

4.3 Struktur Organisasi Dan Pejabat Lapas Klas I Medan ...51

4.4 Sarana Kesehatan Lapas Klas I Medan ...53

4.5 Pelaksanaan Pembinaan Narapidana ...57

4.6 Pelayanan Terhadap Warga Binaan ...62

BAB V ANALISIS DATA ...73

5.1 Pengantar ...73

5.2 Analisis Identitas Responden ...74

5.3 Evaluasi Program ...81

5.3.1 Pelaksanaan Pembinaan Kepribadian ...81

5.2.3 Pelaksanaan Pembinaan Keterampilan/Kemandirian ...108

BAB VI PENUTUP ...122

6.1 Kesimpulan ...122

6.2 Saran...123 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Kasus Kejahatan di Sumatera Utara ...3

Tabel 2 Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan Klas I Medan ...5

Tabel 3 Warga Binaan Berdasarkan asal Kabupaten/Kota ...6

Tabel 4 Status Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin ...52

Tabel 5 Jumlah Pegawai Berdasarkan Pendidikan ...52

Tabel 6 Pegawai Lapas Berdasarkan Agama ...53

Tabel 7 Nama Obat-obatan yang Digunakan Lapas Klas I Medan ...54

Tabel 8 Jadwal Menu Warga Binaan Lapas Klas I Medan ...69


(10)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ...74

Diagram 2 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ...75

Diagram 3 Distribusi Responden Berdasarkan Agama ...76

Diagram 4 Distribusi Responden Berdasarkan Suku Bangsa ...77

Diagram 5 Distribusi Responden Berdasarkan Tindak Pidana ...78

Diagram 6 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Masa Hukuman ...79

Diagram 7 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Masa Hukuman yang Telah di Jalani ...80

Diagram 8 Distribusi Responden Berdasarkan Jalinan Komunkasi dengan Petugas Lapas ...81

Diagram 9 Distribusi Responden Berdasarkan Kesungguhan Narapidana Mengikuti Program Pembinaan ...82

Diagram 10 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Hiburan yang ada di Lapas ...83

Diagram 11 Distribusi Responden Berdasarkan Mengikuti Pembinaan Integrasi (Pengurangan Masa Hukuman, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Asimilasi, dll ...84

Diagram 12 Distribusi Responden Berdasarkan Pemahaman dari Program Pembinaan yang diberikan Kepada Narapidana ...85

Diagram 13 Distribusi Responden Berdasarkan Minat Narapidana dalam Mengikuti Proses Pembinaan ... 86

Diagram 14 Distribusi Responden Berdasarkan Pembinaan Sebagai Pedoman Hidup Setelah Keluar dari Lapas ... 87


(11)

Diagram 15 Distribusi Responden Berdasarkan Mengikuti Pembinaan Pendidikan Umum (Paket A,B,C) ... 88 Diagram 16 Distribusi Responden Berdasarkan Cara Petugas Menjelaskan Materi Pembinaan ... 89 Diagram 17 Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Dalam Mengikuti Tata Tertib yang ada di Lapas ... 90 Diagram 18 Distribusi Responden Berdasarkan Kesadaran Dalam Melaksanakan Kewajiban Selama Proses Pembinaan ... 91 Diagram 19 Distribusi Responden Berdasarkan Perlakuan Petugas Dalam Melaksanakan Pembinaan Kepada Narapidana ... 92 Diagram 20 Distribusi Responden Berdasarkan Keterampilan Petugas Dalam Menjalankan Tugas ... 93 Diagram 21 Distribusi Responden Berdasarkan Kesesuaian Jatah Makanan yang Diberikan ... 94 Diagram 22 Distribusi Responden Berdasarkan Kualitas Pembinaan yang Diberikan ...95 Diagram 23 Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Petugas Jika ada yang Mengalami Sakit ...96 Diagram 24 Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Petugas Jika Melanggar Peraturan ...97 Diagram 25 Distribusi Responden Berdasarkan Cara Pembinaan

yang Dilakukan ...98 Diagram 26 Distribusi Responden Berdasarkan Kesesuaian Jadwal Pembinaan yang Dilakukan ...99


(12)

Diagram 28 Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan

Sarana Ibadah ...101 Diagram 29 Distribusi Responden Berdasarkan Kesesuaian Tempat Ibadah Masing-masing dalam Menjalankan Ibadah ...102 Diagram 30 Distribusi Responden Berdasarkan Situasi Kamar ...103 Diagram 31 Distribusi Responden Berdasarkan Fasilitas

Kesehatan di Lapas ...104 Diagram 32 Distribusi Responden Berdasarkan Fasilitas

Hiburan di Lapas ...105 Diagram 33 Distribusi Responden Berdassarkan Kondisi Layak Tidaknya Fasilitas yang Tersedia ...106 Diagram 34 Distribusi Responden Berdasarkan Kepuasan Akan Fasilitas yang Diberikan...107 Diagram 35 Distribusi Responden Berdasarkan Mengikuti Pelatihan Kemandirian ...108 Diagram.36 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Keterampilan yang ada Di Lapas ...109 Diagram 37 Distribusi Responden Berdasarkan Pemahaman Jenis Keterampilan yang ada Di Lapas ...110 Diagram.38 Distribusi Responden Berdasarkan Sarana yang Disediakan Oleh Lapas Dalam Menunjang Kegiatan Keterampilan ...111 Diagram.39 Distribusi Responden Berdasarkan Hasil dari Kegiatan Keterampilan ...112 Diagram 40 Distribusi Responden Berdasarkan Jadwal Pertemuan Setiap Minggu Dalam Melaksanakan Keterampilan ...113


(13)

Diagram.41 Distribusi Responden Berdasarkan Durasi Dalam Sehari yang Dibutuhkan Dalam Melaksanakan Keterampilan ...114 Diagram 42 Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Mengikuti Program Keterampilan ...115 Diagram 43 Distribusi Responden Berdasarkan Banyaknya Hasil Keterampilan yang Dibuat Dalam Seminggu ...116 Diagram 44 Distribusi Responden Berdasarkan Pemasaran Hasil Keterampilan ...117 Diagram.45 Distribusi Responden Berdasarkan Penetapan Haraga Jual Hasil Keterampilan ...118 Diagram.46 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Tambahan Dari Hasil Penjualan Barang Keterampilan ...119


(14)

DAFTAR BAGAN

BAGAN ALUR PIKIR ...41 BAGAN STRUKTUR ORGANISASI DAN PEJABAT


(15)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Chandra Wijokson Tamba

NIM : 090902069

ABSTRAK

Evaluasi Pelaksanaan Program Pelatihan dan Pembinaan Kemandirian Terhadap Warga Binaan Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan

Kejahatan adalah masalah sosial yang sulit teratasi dan merupakan masalah sosial yang sudah sejak lama terjadi. setiap masyarakat dalam suatu Negara selalu menghadapi tindak kejahatan, karena tidak ada satupun Negara yang terlepas dari tindak kejahatan tetapi jumlah tingkat kejahatan di setiap Negara berbeda-beda. Oleh karena itu, manusia hanya mampu mengurangi dari tindak kejahatan tersebut. Di jaman yang modern ini berbagai bentuk tindak kejahatan dapat dilakukan dan terjadi oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja tanpa memandang usia dan status sosial.

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif karena penelitian ini menggambarkan subjek atau objek penelitian berupa data-data yang sudah ada dan bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subjek atau objek secara terperinci. Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan dengan jumlah populasi adalah 356, sampel dalam penelitian ini adalah 36 orang dengan menggunakan purposive sampling.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah warga binaan mendapatkan pembinaan dan pelatihan kemandirian yang baik. Namun masih ada hambatan dalam pelaksanaannya yaitu kurangnya sarana dan prasarana, jumlah warga binaan yang tidak sesuai dengan daya tampung Lapas. Penambahan personil yang sesuai dengan skill dan keterampilan dalam memberi pelatihan bagi warga binaan.

Kata Kunci : Evaluasi, Pembinaan, pelatihan kemandirian, warga binaan pemasyarakatan dan kesejahteraan sosial.


(16)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE Name: Chandra Wijokson Tamba

NIM: 090902069

ABSTRACT

Evaluation of Training and Development Program Independence Citizens Against Patronage In Penitentiary Class I Medan.

Crime is a social problem that is difficult to overcome, and a social problem that has long been the case. every community in the country has always faced a crime , because none of the countries that regardless of the crime but the crime rate in any number of different countries . Therefore , man is only able to reduce the crime of . In this modern era of various forms of crime can be done and happen to anyone , anytime and anywhere regardless of age and social status .

This study uses descriptive type because this study describe the subject or object of research in the form of data that already exist and aims to describe the characteristics of the subject or the object in detail . This research was conducted in the Penitentiary Class I Medan the number of population is 356 , the sample in this study was 36 people by using purposive sampling .

The results obtained are inmates receive coaching and training good independence . But there are still obstacles in the implementation is the lack of infrastructure , the number of inmates who are not in accordance with the capacity of prisons . The addition of appropriate personnel with skills and skills in the training of inmates .

Keywords : Evaluation , Development , independence training , prisoners and social welfare .


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Manusia dengan segala aspek kehidupannya itu melaksanakan aktivitas dalam berbagai hal dihadapkan kepada dua sifat manusia yang saling bertentangan satu sama lainnya, disatu pihak dia ingin bekerja sama, dilain pihak dia cenderung untuk bersaing sesama manusia itu sendiri. Dengan demikian setiap manusia harus berusaha untuk dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi atau keadaan dimana seseorang itu berada.

Pada saat ini masih banyak masalah sosial yang tidak bisa teratasi. Salah satunya yaitu masalah tindak kriminal atau kejahatan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kejahatan ini mengakibatkan kondisi yang dapat membahayakan kehidupan dan tidak adanya ketenangan dalam masyarakat. Kejahatan merupakan aktivitas kriminal yang sangat berpengaruh terhadap aspek kehidupan manusia. Kejahatan dapat saja terjadi tanpa mengenal ruang dan waktu, tanpa mengenal siapa korban dan dapat dilakukan oleh siapa saja, oleh anak-anak, orang yang sudah dewasa bahkan orang tua, baik yang berjenis kelamin laki-laki ataupun wanita yang penting bagi pelaku kejahatan tersebut adalah mendapatkan keinginannya. Pada umumnya kejahatan terjadi karena:

1. Niat untuk melakukan suatu pelanggaran 2. Kesempatan untuk melaksanakan niat


(18)

Setiap masyarakat dalam suatu Negara selalu menghadapi tindak kejahatan karena, Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terlepas dari tindak kejahatan, tetapi jumlah tingkat kejahatan di setiap negara berbeda-beda. Oleh karena itu, manusia hanya mampu mengurangi jumlah dari tindak kejahatan.

Dewasa ini kejahatan semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman terutama dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga timbul berbagai macam bentuk-bentuk kejahatan baru. kejahatan selalu menimbulkan keresahan didalam masyarakat. Keresahan adalah gejala tidak adanya kesejahteraan sosial, ketentraman dan kebahagiaan. Kejahatan adalah masalah sosial yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, karena masalah sosial sebagai hasil dari kebudayaan manusia. Masalah sosial ini berbeda-beda disetiap masyarakat disebabkan adanya tingkat perkembangan kebudayaan, lingkungan, sifat penduduk dimana masyarakat itu hidup (Mardjono, 1994:12).

Perlu diketahui angka kejahatan di Indonesia semakin lama semakin meningkat. Menurut catatan Mabes Polri, jumlah kejahatan di Indonesia pada tahun 2008 adalah sebanyak 326.752 kasus, pada tahun 2009 bertambah menjadi 344.942 kasus, pada tahun 2010 sebanyak 333.249 kasus dan pada tahun 2011 jumlah kejahatan sebanyak 347.605 kasus. terjadi kenaikan angka kejahatan antara tahun 2008 - 2009 sebesar 5,27%, dan antara tahun 2009 - 2010 terjadi penurunan tingkat kejahatan sebesar 3,39% tetapi antara tahun 2010 - 2011 terjadi lagi peningkatan yaitu sebesar 4,13%, dan sampai sekarang angka kejahatan di Indonesia masih terus meningkat. (http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subye k=34&notab=1 diakses pada tanggal 22 maret 2014).


(19)

Setiap 91 detik terjadi satu kejahatan di Indonesia sepanjang tahun 2013. jumlah kejahatan di tahun 2013, tepatnya hingga November 2013, mencapai 316.500 kasus. Risiko penduduk yang mengalami kejahatan sekitar 136 orang. "Jadi, setiap 1 menit 31 detik terjadi satu kejahatan". Adapun 316.500 kasus kejahatan itu, terdiri dari 304.835 kasus konvensional, 7.171 kasus transnasional, 3.844 kasus kekayaan negara, dan 650 kasus implikasi kontinjensi. Jumlah tindak kejahatan yang terjadi hingga November tersebut, menurun dibandingkan satu dan dua tahun sebelumnya. Pada 2011, terjadi 347.605 kejahatan, sementara pada 2010 terjadi 332.490 kasus kejahatan.

(http://nasional.kompas.com/read/2012/12/26/15260465/Setiap.91.Detik.Terjadi.Satu .Kejahatan.di.Indonesia diakses pada tanggal 22 maret 2014).

Sementara itu jumlah tindak kejahatan menurut kepolisian daerah provinsi sumatera utara juga memiliki tingkat kejahatan yang tinggi. Pada tahun 2007-2011.

Tabel 1

Tabel Jumlah Kasus Kejahatan di Sumatera Utara

No Tahun Jumlah Kasus Tindak Kejahatan/Pelanggaran

1 2007 29.601

2 2008 29.229

3 2009 32.309

4 2010 39.220

5 2011 44.104


(20)

Menurut B. Simanjuntak kejahatan merupakan “suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.” Sedangkan Van Bammelen merumuskan: Kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut (http://hukum-danumum.blogspot.com/2012/04/definisiartikejahatan.html Diakses pada tanggal 03 Februari 2014, pukul 10:45).

Tidak ada satu pun Negara di bumi ini yang lepas dari permasalahan kejahatan atau tindak kriminal, dimana di era yang modern sekarang ini siapapun bisa menjadi korban tanpa memandang jarak atau usia. Salah satu sanksi yang diberikan dari pelaku tindak kejahatan yaitu pidana penjara, sesuai dengan tindak kejahatan yang dilakukan. seiring dengan perkembangan sistim kepenjaraan berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Dalam Kenyataannya tugas pokok dan fungsi sistem Pemasyarakatan juga mencakup pelayanan terhadap tahanan, perawatan terhadap barang sitaan, pengamanan, serta pembimbingan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan. Oleh karenanya Sub-sub sistem dari Sistem Pemasyarakatan ( yang kemudian Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan ) Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis yang melakukan pembinaan dan pelayanan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan.

Secara filosofis Pemasyarakatan adalah system pembinaan yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofis Pembalasan ( Retributif ), Penjeran ( Deterrence ), dan resosialisasi, dengan kata lain pemidanaan tidak ditujukan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan,


(21)

juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seorang yang kurang sosialisasinya, Pemasyarakatan sejalan dengan filosofis reintegrasi social yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antar terpidana dengan masyarakat, sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya.

Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, Tentang Pemasyarakatan di tegaskan bahwa Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab (Nurulaen, 2012:75).

Tabel 2

Tabel Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan Klas I Medan No Tahun Jumlah narapidana Dewasa Laki-laki

1 2010 1693

4 2011 2077

2 2012 2117

3 2013 2192


(22)

Tabel 3

Tabel Warga Binaan berdasarkan asal Kabupaten /Kota

NO KABUPATEN/KOTA JUMLAH

1 Medan 356

2 Serdang Bedagai 87

3 Lubuk Pakam 129

4 Labuhan Batu 142

5 Batu Bara 80

6 Aceh 716

7 Tanah Karo 654

8 Lainnya 28

TOTAL 2.192

Sumber: Seksi Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti membuat perumusan masalah dalam peneltian ini. Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: Bagaimana evaluasi pelaksanaan program pembinaan dan pelatihan kemandirian terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan ?


(23)

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Sejauh mana keberhasilan pelaksanaan program pembinaan dan pelatihan kemandirian terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi, kontribusi atau masukan kepada lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah dalam rangka pengembangan konsep-konsep dan teori-teori yang berhubungan dengan pembinaan dan pelatihan kemandirian warga Binaan Pemasyarakatan.


(24)

1.4 Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang di teliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, populasi dan sampel penalitian. Teknik penarikan sampel yang digunakan serta teknik pengumpilan data dan teknik analisis data.

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan gambaran umum dan sejarah singkat lokasi penelitian.

BAB IV ANALISIS DATA

Bab ini Berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian Serta analisisnya.


(25)

BAB VI PENUTUP


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi

2.1.1 Pengertian Evaluasi

Baik tidaknya suatu program dapat dilihat dari proses evaluasi yang dilakukan. Evaluasi sangat dibutuhkan untuk melihat sejauh apa perkembangan dan capaian daripada suatu program yang telah ditetepkan dan dilaksanakan. Evaluasi sangat berkaitan dengan suatu proses perencanaan, dan keduanya saling memiliki kaitan timbal balik. Evaluasi (bahasa Inggris:Evaluation) adalah proses penilaian. Dalam perusahaan, evaluasi dapat diartikan sebagai proses pengukuran akan efektifitas strategi yang digunakan dalam upaya mencapai tujuan perusahaan. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut akan digunakan sebagai analisis situasi program berikutnya (http://id.wikipedia.org/wiki/Evaluasi diakses 20 mei 2014 pukul 23.30).

Evaluasi adalah suatu upaya untuk mengukur secara objektif terhadap pencapaian yang telah dirancang dari suatu aktivitas atau program yang telah dilaksanakan sebelumnya, yang mana hasil penelitian yang dilakukan menjadi umpan balik bagi aktivitas perencanaan baru yang akan dilakukan berkenaan dengan aktivitas yang sama dimasa depan ( Siagian dan Agus, 2012:171)

Menurut Alkin (1969), evaluasi sebagai suatu proses meyakinkan keputusan, memilih informasi yang tepat, mengumpulkan, dan menganalisis informasi sehingga dapat melaporkan ringkasan data yang berguna bagi pembuat keputusan dalam memilih beberapa alternatif.


(27)

5 macam evaluasi menurut Alkin, yakni:

1. Sistem assessment, yang memberikan informasi tentang keadaan atau posisi sistem.

2. Program planning, membantu pemilihan program tertentu yang mungkin akan berhasil memenuhi kebutuhan program.

3. Program implementation, yang menyiapkan informasi apakah program sudah diperkenalkan kepada kelompok tertentu yang tepet seperti yang direncanakan. 4. Program improvement, yang memberikan informasi tenteng bagaimana program

berfungsi, bagaimana program bekerja, atau berjalan? Apakah menuju pencapaian tujuan, adakah hal-hal atau masalah-masalah baru yang muncul tak terduga? 5. Program cetification, yang memberi informasi tentang nilai atau guna program

(http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/197108 082001121-DIDING_NURDIN/Bab_2_Model_Evaluasi_SP.pdf diakses30 juni 2014).

2.1.2 Pendekatan-pendekatan terhadap Evaluasi

Evaluasi memiliki tujuan-tujuan alternatif dan tujuan-tujuan tersebut mempengaruhi evaluasi suatu program atau kegiatan. Mengenal pandangan-pandangan yang beraneka ragam dan mengetahui bahwa tidak semua evaluator setuju pada pendekatan tersebut dalam melakukan evaluasi suatu program/kegiatan adalah penting. Ada beberapa pendekatan umum dalam melakukan evaluasi yaitu:


(28)

Fokus pada pendekatan ini hanya tertuju kepada tujuan program/proyek dan seberapa jauh tujuan itu tercapai. Pendekatan ini membutuhkan kontak intensif dengan pelaksana program/proyek yang bersangkutan.

2. Pendekatan kedua adalah pendekatan three-dimensional cube atau Hammond’s

evaluation approach.

Pendekatan Hammond melihat dari tiga dimensi yaitu instruction (karateristik pelaksanaan, isi, topik, metode, fasilitas, dan organisasi program/proyek), institution

(karakteristik individual peserta, instruktur, administrasi sekolah/kampus/organisasi), dan behavioral objective (tujuan program itu sendiri, sesuai dengan taksonomi Bloom, meliputi tujuan kognitif, afektif dan psikomotor).

3. Pendekatan ketiga adalah management-oriented approach.

Fokus dari pendekatan ini adalah sistem (dengan model CIPP: context-input-proses-product). Karena pendekatan ini melihat program/proyek sebagai suatu sistem sehingga jika tujuan program tidak tercapai, bisa dilihat di proses bagian mana yang perlu ditingkatkan.

4. Pendekatan keempat adalah goal-free evaluation.

Berbeda dengan tiga pendekatan di atas, pendekatan ini tidak berfokus kepada tujuan atau pelaksanaan program/proyek, melainkan berfokus pada efek sampingnya, bukan kepada apakah tujuan yang diinginkan dari pelaksana program/proyek terlaksana atau tidak. Evaluasi ini biasanya dilaksanakan oleh evaluator eksternal.

5. Pendekatan kelima adalah consumer-oriented approach.

Dalam pendekatan ini yang dinilai adalah kegunaan materi seperti software, buku, silabus. Mirip dengan pendekatan kepuasan konsumen di ilmu Pemasaran, pendekatan ini menilai apakah materi yang digunakan sesuai dengan penggunanya,


(29)

atau apakah diperlukan dan penting untuk program/proyek yang dituju. Selain itu, juga dievaluasi apakah materi yang dievaluasi di-follow-up dan cost effective.

6. Pendekatan keenam adalah expertise-oriented approach.

Dalam pendekatan ini, evaluasi dilaksanakan secara formal atau informal, dalam artian jadwal dispesifikasikan atau tidak dispesifikasikan, standar penilaian dipublikasikan atau tidak dipublikasikan. Proses evaluasi bisa dilakukan oleh individu atau kelompok. Pendekatan ini merupakan pendekatan tertua di mana evaluator secara subyektif menilai kegunaan suatu program/proyek, karena itu disebut subjective professional judgement.

7. Pendekatan ketujuh adalah adversary-oriented approach.

Dalam pendekatan ini, ada dua pihak evaluator yang masing-masing menunjukkan sisi baik dan buruk, disamping ada juri yang menentukan argumen evaluator mana yang diterima. Untuk melakukan pendekatan ini, evaluator harus tidak memihak, meminimalkan bias individu dan mempertahankan pandangan yang seimbang. 8. Pendekatan terakhir adalah naturalistic & participatory approach.

Pelaksana evaluasi dengan pendekatan ini bisa para stakeholder. Hasil dari evaluasi ini beragam, sangat deskriptif dan induktif. Evaluasi ini menggunakan data beragam dari berbagai sumber dan tidak ada standar rencana evaluasi. Kekurangan dari pendekatan evaluasi ini adalah hasilnya tergantung siapa yang menilai (Tayipnafis, 2000 :9).

Berbagai pendekatan untuk mengevaluasi suatu program atau proyek diterapkan untuk mendapatkan keefektifan dan keefisienan program atau proyek tersebut baik secara internal yaitu pihak pengembang atau pengelola, maupun secara eksternal yaitu pengguna. Bentuk-bentuk pendekatan evaluasi yang telah ada harus


(30)

terus dikembangkan untuk meningkatkan kepuasan pengguna sebagai tujuan utama suatu program dijalankan.

2.1.3 Proses Evaluasi

Dalam proses suatu program, pada hakekatnya selalu dimualai dari suatu rencana, bertitik dari situ maka proses evaluasi atau pelaksanaan evaluasi terhadap suatu program tentu saja harus didasarkan atas rencana evaluasi program tersebut. Namun dalam praktek sering sekali evaluasi terhadap suatu program tidak direncanakan. Hal ini tidak saja menimbulkan ketidakjelasan fungsi evaluasi, institusi, personal yang sebaiknya melakukan evaluasi dan biaya untuk evaluasi.

Dalam melakukan proses evaluasi ada beberapa etik birokrasi yang perlu diperhatikan olek pihak-pihak yang erat hubungannya dengan tugas-tugas evaluasi antara lain:

1. Semua tugas/tanggungjawab pemberi tugas/yang menerima tugas harus jelas. 2. Pengertian dan konotasi yang tersirat dalam evaluasi yaitu mencari kesalahan

harus dihindari.

3. Pengertian evaluasi adalah untuk memperbandingkan rencana dengan pelaksanaan dengan melakuakan pengukuran-pengukuran kuantitatif/kualitatif totalitas program secara teknik, maka dari itu hendaknya ukuran-ukuaran kualitas dan kuantitas tentang apa yang dimaksud dengan berhasil telah dicantumkan sebelumnya dalam rencan program secara eksplisit.

4. Tim yang melakukan evaluasi adalah pemberi saran/nasehat kepada manajemen, sedangkan pendayagunaan saran/nasehat tersebut serta pembuat keputusan atas dasar saran/nasehat tersebut berada ditangan manajemen program.


(31)

5. Dalam proses pengambilan keputusan yang telah dilakukan atas data-data/penemuan teknis perlu dikonsultasiakan secara cermat mungkin karena menyangkut banyak hal tentang masa depan proyek dalam kaitannya dengan program.

6. Hendaknya hubungan dan proses selalu didasari oleh suasana konstruktif dan objektif serta menghindari analisa-analisa subjektif. Dengan demikian, evaluasi dapat diterapkan sebagai salah satu program yang sangat penting dalam siklus manajemen program (Sirait: 1990:160).

2.1.4 Tolak Ukur Evaluasi

Suatu program dapat dievaluasi apabila ada tolak ukur yang bisa dijadikan penilaian terhadap program yang telah berlangsung tersebut. Berhasil atau tidaknya suatu program berdasarkan tujang yang dimiliki tolak ukur yang nantinya harus dicapai dengan baik oleh sumber daya yang mengelolanya, diantaranya:

1. Tolak ukur evaluasi pada tahap perencanaan adalah: a. Mempunyai suatu program yang akan disosialisasikan b. Mempunyai tujuan yang akan disosialisasikan

c. Mempunyai metode-metode yang akan digunakan untuk disosialisasikan

2. Tolak ukur dalam evaluasi pada tahap pelaksanaan adalah:

a. Apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah direncanakan b. Apakah tujuan dapat dicapai sesuai dengan yang direncanakan c. Apakah metode-metode sesuai dengan yang telah direncanakan


(32)

3. Tolak ukur evaluasi pada tahap pasca pelaksanaan adalah:

a. Apakah hasil yang diperoleh(efektivitas dan efisien) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai(Suwito, 2002:16)

2.2 Evaluasi Program

Evaluasi program merupakan suatu langkah, yaitu awal dalam supervisi, yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula. Fokus utama penilaian suatu program meliputi tiga arah, yaitu masukan, hasil, dan dampak. Oleh karena itu, pelaksanaan suatu penilaian terhadap suatu program harus mengimplementasikan indikator yang tepat. Ditinjau dari aspek tujuannya, maka penilaian berupaya mengetahui dengan apa sungguh-sungguh terjadi pelaksanaan atau implementasi program.

Penilaian suatu program bertujuan:

1. Mengetahui tingkat pencapaian tujuan dari suatu program. 2. Mengukur dampak langsung yang muncul bagi kelompok sasar.

3. Mengetahui dan menganalisis dampak-dampak lain yang mungkin terjadi.

Jika ditinjau dari aspek tingkat pelaksanaannya, secara umum evaluasi terhadap suatu program dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu :

1. Penilaian atas perencanaan, yaitu mencoba memilih dan menetapkan prioritas terhadap berbagai alternatif dan kemungkinan atas cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

2. Penilaian atas pelaksanaan, yaitu melakukan analisis tingkat kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan perencanaan, di dalamnya meliputi apakah pelaksanaan program sesuai dengan apa yang direncanakan, apakah ada


(33)

perubahan-perubahan sasaran maupun tujuan dari program yang sebelumnya direncanakan.

3. Penilaian atas aktivitas yang telah selesai dilaksanakan, yaitu menganalisis hasil yang diperoleh sesuai dengan tujuan yang sebelumnya ditetapkan (Siagian dan Agus, 2012 : 172).

2.3 Lembaga Pemasyarakatan

2.3.1 Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangani pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan disebut Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu lebih dikenal dengan istilah sipir penjara.Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962, di mana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah


(34)

mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat (http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan diakses 30 juni 2014).

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dalam tata peradilan pidana. Lembaga pemasyarakatan yang berkembang sekarang ini menganut sistem pemasyarakatan yaitu suatu tatanan arah dan batas serta cara pembinaan terhadap narapidana berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas narapidana agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

2.3.2 Petugas Pemasyarakatan

Kewajiban untuk mengeluarkan narapidana dari lembaga pemasyarakatan untuk kembali ke masyarakat tidak kalah pentingnya daripada untuk memasukkan narapidana ke dalam lembaga pemasyarakatan. Berhasilnya tugas untuk mengeluarkan dan mengembalikan narapidana menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat kepada hukum, tergantung kepada petugas-petugas negara yang diserahi tugas menjalankan si stem pemasyarakatan. Adapun petugas pemasyarakatan yang memiliki mental yang baik dah sehat ditunjukkan dalam 5 aspek, yaitu:

1. Berfikir realistis


(35)

3. Mampu membina hubungan dengan orang lain 4. Mempunyai visi dan misi yang jelas

5. Mampu mengendaliakan emosi

Berdasarkan surat edaran Dirjen Pemasyarakatan berikut ini adalah sepuluh kewajiban petugas pemasyarakatan:

1. Menjunjung tinggi hak-hak warga binaan pemasyrakatan.

2. Bersikap belas kasih dan tidak sekali-kali menyakiti warga binaan pemasyarakatan.

3. Berlaku adil terhadap warga binaan pemasyarakatan 4. Menjaga rahasia pribadi warga binaan pemasyarakatan 5. Memperhatikan keluhan warga binaan pemasyarakatan. 6. Menjaga rasa keadilan masyarakat.

7. Menjaga kehormatan diri dan menjadi teladan dalam sikap dan perilaku.

8. Waspada dan peka terhadap kemungkinan adanya ancaman dan gangguan keamanan.

9. Bersikap sopan tetapi tega dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat 10.Menjaga keseimbangan antara kepentingan pembinaan dan keamanan.

Petugas lembaga pemasyarakatan harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang seluk-beluk system pemasyarakatan dan terus menerus meningkatkan kemampuan, dalam menghadapi narapidana. Petugas-petugas yang dimaksud dalam uraian diatas melakukan peranan sesuai denga kewenangannya yang ditunjuk oleh peraturan, dan berusaha menciptakan bentuk kerjasama yang baikmuntuk membantu penyelenggaraan “proses pemasyarakatan” sedemikian rupa pelaksanaan sistem pemasyarakatan


(36)

2.4 sistem Pemasyarakatan

2.4.1 Konsep Sistem Pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan muncul setelah adanya sistem kepenjaraan yang telah berlangsung selama ratusan tahun yang lebih menekankan pada pembalasan atau penghukuman pada masyarakat yang telah melakukan tindak pidana dan dinyatakan bersalah oleh pihak pengadilan. Perbedaan sistem pemasyarakatan dan system kepenjaraan terletak pada asa, tujuan, dan pendekatan yang mendasari tata perlakuan terhadap para pelanggar hukum. Perbedaan ini secara keseluruhan memperlihatkan bahwa sistem pemasyarakatan jauh lebih baik dan sangat memperlihatkan aspek kemanusiaan dibandingkan sistem kepenjaraan.

Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem. Sebagai suatu sistem, maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan, meliputi : falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan system klasifikasi, perlakuan terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana, keluaraga narapidana, dan Pembina/pemerintah (Harsono, 1995:5).

UU nomor 12 Tahun 1995 Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan tata peradilan pidana. Konsepsi Pemasyarakatan bukan semata merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan suatu sistem pembinaan, metode dalam bidang “treatment of offenders”. Soedjono menjelaskan Sistem pemasyarakatan adalah proses pembinaan terpidana yang berdasarkan azas Pancasila dan memandang terpidana sebagai


(37)

makhluk Tuhan, individu, dan anggota masyarakat (Sujatno dalam Nurulaen, 2012:91).

Sistem pemasyarakatan pada Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 dijelaskan :

Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat kembali diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Tujuan pemasyarakatan pada pasal 2 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 dijelaskan :

Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tinadakan pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Fungsi sistem pemasyarakatan pada pasal 3 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 dijelaskan:

Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapakan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan


(38)

Menurut Djakaria, yang dapat menentukan berhasilnya sistem pemasyarakatan adalah tergantung subyek materi yang satu sama lainnya saling menunjang, yaitu narapidana, petugas pemasyarakatan, dan masyarakat (Nurulaen, 2012:38).

Dalam perkembangan di lembaga pemasyarakatan, sistem kepenjaraan diganti dengan sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan secara konseptual dan historisnya sangat berbeda dengan sistem kepenjaraan. Dalam system pemasyarakatan azas yang dianut menempatkan narapidana sebagai subjek yang dipandang sebabgai pribadi dan warga negara serta dihadapi bukan dengan pembalasan melainkan pembinaan yang terarah agar kedepannya dapat menyadarkan sipelaku kejahatan. Sedangkan pembinaan narapidana dalam system kepenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

Pada 15 Juli 1963, penganugrahan gelar Doctor Hounouris Causa ilmu hukum, Sahardjo dalam pidatonya menyatakan :

a. Tujuan dari pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita akibat dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.

b. Tujuan dari pidana penjara adalah pemasyarakatan (Sahardjo dalam Atmasasmita, 2002 : 6)

Sahardjo merupakan tokoh yang pertama kali melontarkan perlunya perbaikan bagi narapidana yang hidup dibalik tembok penjara.


(39)

Dalam konferensi Dinas Pemasyarakatan yang pertama kali pada 27 April 1964 pokok-pokok pikiran Sahardjo tersebut pada akhirnya dijabarkan dan dirumuskan sebagai sistem pembinaan narapidana sebagai berikut :

1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan diberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik, yakni masyarakat Indonesia yang menuju ke tata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila. Bekal hidup tidak hanya berupa finansial dan materiil, tetapi yang juga lebih adalah mental, fisik, keahlian, keterampilan, hingga orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga negara yang baik, tidak melanggar hukum dan berguna dalam pembangunan negara.

2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. Terhadap narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara perawatan atau penempatan. Derita yang dihilangkan hanya kemerdekaannya.

3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma kehidupan, serta diberikan kesempatan untuk merenungkan perbuatan yang lampau.

4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga pemasyarakatan. Karena itu diadakan pemisahan antara : a. Yang residivis dan yang bukan residivis.

b. Yang telah melakukan tindak pidana yang berat dan yang ringan. c. Macam tindak pidana yang dibuat.

d. Sudah tua (40 tahun keatas, dewasa (25-40 tahun), remaja (18-25 tahun). e. Orang terpidana dan orang tahanan.


(40)

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus diperkenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya. Pada waktu mereka menjalani pidana hilang kemerdekaan adalah identik dengan pengasingan dari masyarakat dalam arti “kultural”. Secara bertahap mereka akan dibimbing di tengah-tengah masyarakat yang merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan.

6. Pekerjaan diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukan kepentingan Jawatan atau kepentingan Negara sewaktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus suatu pekerjaan di masyarakat yang ditujukan kepada pembangunan nasional, karena harus ada integrasi pekerjaan narapidana dengan pembangunan.

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila. Pendidikan dan bimbingan harus berisikan asas yang tercantum didalam Pancasila, kepada narapidana harus diberi kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya, ditanamkan jiwa kegotong-royongan, toleransi, kekeluargaan, bermusyawarah untuk mufakat positif. Narapidana harus untuk kegiatan demi kepentingan-kepentingan bersama dan umum.

8. Tiap harus manusia harus sebagai layaknya manusia, meskipun telah tersesat. Tidak boleh selalu ditujukan kepada narapidana bahwa ia itu adalah penjahat. Ia harus selalau merasa bahwa ia dipandang dan diperlukan sebagai manusia. Sehubungan dengan itu petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memaki kata-kata yang dapat menyinggung perasaan narapidana.

9. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan. Perlu diusahakan agar narapidana mendapat mata pencaharian unntuk keluarga dengan jalan menyediakan/memberikan pekerjaan upah. Bagi pemuda dan anak-anak


(41)

disediakan lembaga pendidikan yang diperlukan, ataupun diberi kesempatan kemungkinan mendapatkan pendidikan diluar lembaga pemasyarakatan.

10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan dan memindahkan lembaga-lembaga yang berada ditengah-tengah kota ke tempat yang sesuai kebutuhan proses pemasyarakatan (Sahardjo dalam Atmasasmita, 2002 : 8). (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39847/4/Chapter%20II.pdf diakses 06 juli 2014).

Sistem baru ini kemudian dikenal dengan nama “Sistem Pemasyarakatan” yang merupakan tujuan dari pidana penjara. Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, bertujuan mengembalikan narapidana sebagai warga negara yang baik,dan merupakan penerapan serta bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yanng terkandung dalam Pancasila.

Dalam pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem kepenjaraan karena dalam sistem pemasyarakatan, narapidana hanya dibatasi bergeraknya saja sedangkan hak-hak kemanusiaannya tetap dihargai. Didasarkan atas pertimbangan sistem kepenjaraan sudah tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang didalam kehidupan sehari-hari berpedoman kepada filsafah Pancasila. Sistem pemasyarakatan yang dikenal adalah suatu pembinaan narapidana yang didasarkan Pancasila sebagai Falsafah bangsa Indonesia dan memandang narapidana sebagai makhluk Tuhan, sebagai individu dan sekaligus sebagai anggota masyarakat.


(42)

2.4.2 Pembinaan dalam Sistem Pemasyarakatan

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 31 pasal 1 ayat (1) tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan narapidana yang dimaksud “pembinaan adalah suatu aktivitas untuk yang ditujukan bagi narapidana guna meningkatkan kualitas iman dan ketakwaan, intelektual, sikap, perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan”.

Pembinaan merupakan suatu cara untuk dapat meningkatkan, mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan serta sikap seseorang atau kelompok sehubungan dengan kegiatan, dan pekerjaan. Pembinaan terkait dengan pengembangan manusia sebagai bagian dari pendidikan, baik ditinjau dari segi teoritis maupun praktis. Dari segi teoritis, yaitu pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan dari segi praktisnya lebih ditekankan pada pengembangan sikap, kemampuan dan kecakapan. Pembinaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar, berencana, terarah dan teratur secara bertanggung jawab dalam rangka menumbuhkan, meningkatkan kemampuan serta sumber-sumber yang tersedia untuk mencapai tujuan.

Pembinaan secara perorangan adalah pembinaan yang diberikan kepada narapidana agar membawa banyak perubahan bagi narapidana, hal ini dilakukan karena tingkat kematangan setiap narapidana tidak sama. Dalam pembinaan perorangan pembinaan yang dicapai lebih maksimmal karena lebih mendekatkan petugas dengan narapidana. Peran petugas dalam pembinaan ini hanya sebagai fasilitator, motivator agar narapidana mampu memecahkan masalah yang dihadapinya.

Pembinaan secara kelompok adalah pembinaan yang dilakukan dengan metode ceramah, tanya jawab dan diskusi dengan berkelompok untuk tujuan tertentu.


(43)

Dalam pembinaan ini peran kelompok harus tetap dilibatkan jadi tidak hanya pembina saja yang aktif yang dibina juga harus aktif dalam pembinaan. Materi pembinaan tidak harus datang dari pembina tetapi juga dari narapidana atau menjalankan materi yang telah menjadi kesepakatan.

Berdasarkan pengertian dan kutipan diatas dapat disimpulkan pembinaan adalah membina narapidana dalam usaha perbaikan terhadap tingkah laku yang menyimpang. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan perseorangan yaitu metode sosial case work : cara menolong seseorang dengan konsultasi untuk memperbaiki hubungan sosialnya dan penyesuaian sehingga memungkinkan mencapai kehidupan yang memuaskan dan bermanfaat.

2.4.2.1 Wujud Pembinaan

Wujud pembinaan merupakan realisasi dari asas hukum yang berlaku di Indonesia yang sesuai Falsafah Pancasila. Hukuman bagi pelaku kejahatan akan kehilangan kebebasannya sesuai keputusan hukum pidana yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan untuk rehabilitasi dengan menjalani pembinaan.

Wujud pembinaan adalah:

1. Pembinaan yang dilakukan dalam gedung lembaga pemasyarakatan yang meliputi : a. Pendidikan umum, pemberantasan tiga buta (buta aksara, buta angka, buta

bahasa).

b. Pendidikan keterampilan, kerajinan tangan, menjahit, dan sebagainya. c. Pembinaan mental, spiritual dan pendidikan agama.


(44)

e. Kegiatan rekreasi, diarahkan pada pemupukan kesegaran jasmani dan rohani melaui : olahraga, hiburan segar, membaca.

2. Pembinaan narapidana yang dilaksanakan di luar gedung lembaga pemasyarakatan :

a. Belajar di tempat latihan kerja milik lembaga pemasyarakatan. b. Belajar di tempat latihan kerja milik industri/dinas lain.

c. Beribadah, sembahyang di mesjid, gereja dan lain sebagainya. d. Berolahraga bersama masyarakat.

e. Pemberian bebas bersyarat dan cuti menjelang bebas

(http://kampungilmuku.blogspot.com/2013/10/pembinaan-dan pemasyarakatan.html diakses 06 juli 2014).

2.4.2.2 Proses Pembinaan

Berdasarkan kepada Surat Edaran No.KP.10.13/3/1 tertanggal 8 Februari 1965 tentang Pemasyarakatan Sebagai Proses, maka dapat dikemukakan bahwa pembinaan Narapidana dewasa dilaksanakan melalui 4 (empat) tahap yang merupakan suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu, antara lain:

1. Tahap Pertama

Terhadap setiap Narapidana yang masuk di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal ikhwal perihal dirinya, termasuk sebab-sebab Narapidana melakukan pelanggaran dan segala keterangan mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarga, bekas majikan atau atasannya, teman sekerja, si korban dari perbuatannya, serta dari petugas instansi lain yang telah menangani perkaranya.


(45)

Pembinaan pada tahap ini disebut pembinaan tahap awal, di mana kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam Lembaga Pemasyarakatan dan pengawasannya maksimun (maksimum security).

2.Tahap Kedua

Jika proses pembinaan terhadap Narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan (selanjutnya disebut TPP) sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata- tertib yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan, maka kepada Narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan dengan melalui pengawasan (medium-security).

3.Tahap Ketiga

Jika proses pembinaan terhadap Narapidana telah dijalani ½ (setengah) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut TPP telah dicapai cukup kemajuan- kemajuan, baik secara fisik maupun mental dan juga dari segi ketrampilannya, maka wadah proses pembinaannya diperluas dengan program Asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari 2 (dua) bagian, antara lain:

a. Waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ (setengah) dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lembaga


(46)

b. Pada tahapan ini waktunya dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidananya. Dalam tahap lanjutan ini Narapidana sudah memasuki tahap Asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan Pembebasan Bersyarat atau Cuti Menjelang Bebas dengan pengawasan (minimum-security).

4.Tahap Keempat

Jika proses pembinaan telah menjalani 2/3 (duapertiga) dari masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan. Pembinaan ini disebut pembinaan tahap akhir yaitu kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan. Pembinaan pada tahap ini terhadap Narapidana yang telah memenuhi syarat untuk diberikan Cuti Menjelang Bebas atau Pembebasan Bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar Lembaga Pemasyarakatan oleh Balai Pemasyarakatan yang kemudian disebut Pembimbing Klien Pemasyarakatan. Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadapa Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan prilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani Klien Pemasyarakatan. (https://www.google.co.id/?gws_rd=cr&ei=856xU_7SL9SeugTqxIKoAg#q=proses+ pembinaan+narapidana+tanjung+gusta diakses 29 juni 2014).

2.4.2.3 Tujuan Pembinaan

Tujuan pembinaan dalam sistem pemasyarakatan yaitu menyadarkan dan memotivasi narapidana agar dapat merubah dirinya sendiri. Kesadaran narapidana bertujuan mengenal cara hidup, peraturan, tujuan pembinaan atas dirinya, dan


(47)

narapidana diberikan pendidikan agama, keterampilan. Sedangkan motivasi bertujuan agar narapidana dapat memandang semua segi kehidupan dengan positif sehingga narapidana dapat mengembangkan diri sendiri.

Secara umum tujuan pembinaan adalah : 1. Memantapkan iman.

2. Membina mereka agar segara mampu berintegrasi secara wajar dalam kehidupan masyarakat setelah selesai menjalani pidana.

Secara khusus tujuan pembinaan adalah :

1. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap opptimis akan masa depannya.

2. Berhasil memperoleh pengetahuan minimal keterampilan untuk bekal hidup mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional.

3. Berhasil menjadi manusia yanng patuh hukum dengan tidak lagi melakukan perbuatan yang mmelanggar hukum.

4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengadilan terhadap bangsa dan Negara (Nurulaen 2012: 116).

Dari uraian di atas disimpulkan bahwa pembinaan narapidana berusaha memasyarakatan kembali seseorang yang pernah mengalami konflik sosial, sebagai suatu cara baru agar seseorang dapat berguna bagi negara, hal ini merupakan usaha yang dilakukan dalam mencapai negara sejahtera.


(48)

2.4.2.4 Sasaran Pemasyarakatan

Sasaran pemasyarakatan dapat dibagi menjadi dua yaitu : 1. Sasaran khusus

Sasaran pembinaan terhadap individu warga binaan pemasyarakatan adalah meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan, yang meliputi :

a. Kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa . b. Kualitas intelektual.

c. Kualitas profesionalisme/keterampilan. d. Kualitas kesehatan jasmani dan rohani. e. Kualitas sikap dan perilaku.

2. Sasaran umum

Sasaran umum ini pada dasarnya juga merupakan indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur sejauh mana keberhasilan dari pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Inndikator-indikator tersebut antara lain :

a. Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka dan gangguan keamanan.

b. Lembaga Pemasyarakatan berisi lebih rendah dari pada kapasitas (pemerataan isi Lembaga Pemasyarakatan).

c. Meningkatnya secara bertahap dari tahun ke tahun jumlah narapidana yang bebas sebelum waktunya melalui proses asimilasi dan integrasi.

d. Semakin menurunnya dari tahun ke tahun angka residivis.

e. Semakin banyaknya jenis institusi Unit Pelayanan Terpadu pemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan berbagai jenis/golongan warga binaan.


(49)

f. Presentase kematian dan sakit narapidana/tahanan lebih sedikit atau sama dengan angka kematian dan sakit dari anggota masyarakat.

g. Biaya perawatan narapidana dan tahanan sama dengan kebutuhan minimal manusia Indonesia pada umumnya.

h. Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan adalah instansi terbersih di lingkungan masing-masing.

i. Semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan proyeksi nilai-nilai masyarakat ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dan sebaiknya semakin berkurangnya nilai-nilai subkultur penjara dan Lembaga Pemasyarakatan.

2.5 Pelatihan Kemandirian Warga Binaan Pemasyarakatan

Program Pelatihan Kemandirian adalah suatu program pembinan yang dilakukan oleh Lapas, dimana seorang narapidana akan diberikan pelatihan keterampilan berdasarkan minat dan bakatnya dan kemudian diarahkan untuk dapat memproduksi suatu barang atau jasa yang mempunyai nilai ekomonis dan nilai jual, dan bagi narapidana yang mampu berproduksi akan diberikan upah/premi/insentif

sebagai mana diatur menurut undang-undang.

Adapun Kegiatan Pembinaan Kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Medan adalah sebagai berikut:

a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri misalnya kerajinan tangan, industri, Rumah Tangga, reparasi mesin, alat-alat elektronika dan sebagainya


(50)

b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya pengelolaan bahan mentah dari sektor pertanian dan bahan alam menjadi bahan setengah jadi dan jadi ( Pembuatan batako dan paving blok )

c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing. Mengingat di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan masih terdapat Warga Binaan Pemasyarakatan yang buta huruf dan agar mereka dapat membaca, menulis, berhitung dan keterampilan agar mampu berswadaya dalam hidup bermasyarakat, maka program Pendidikan Masyarakat dalam bentuk kelompok belajar paket A dan kelompok Belajar Usaha dapat diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan.

2.6 Narapidana

2.6.1 Pengertian Narapidana

Narapidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusanpengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan terpidana tersebutmenjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan. Narapidana ditempatkan di lembaga pemasyarakatan agar mendapatkan pembinaan dengan menggunakan metode pengenalan diri akan kelemahan dan kelebihannya kareana manusia hanya bisa dibina apabila mammpu mengenal dirinya. Lingkungan narapidana adalahsuatu pola kegiatan narapidana yang hilang kemerdekaan geraknya sampai waktu yang ditentukan atas pidana yang dijatuhkan sesuai hukum yang berlaku (Harsono, 1995:36).

Pengertian narapidana adalah orang-orang sedang menjalani sanksi kurungan atau sannksi lainnya, menurut perundang-undangan. Pengertian narapidana menurut kamus bahasa Indonesia adalah orang hukuman (orang yg sedang menjalani hukuman krn tindak pidana); atau terhukum.


(51)

Menurut UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Selanjutnya Harsono (1995) mengatakan narapidana adalah seseorang yang telah dijatuhkan vonis bersalah oleh hukum dan harus menjalani hukuman dan Wilson (2005) mengatakan narapidana adalah manusia bermasalah yang dipisahkan dari masyarakat untuk belajar bermasyarakat dengan baik.

Narapidana adalah manusia biasa seperti manusia lainnya hanya karena melanggar norma hukum yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk menjalani hukuman (Dirjosworo, 1992). Dengan demikian, pengertian narapidana adalah seseorang yang melakukan tindak kejahatan dan telah menjalani persidangan, telah diponis hukuman pidana serta ditempatkan dalam suatu bangunan yang disebut penjara.

Peran keluarga dan lingkungan mampu memberikan motivasi bagi narapidana untuk dapat menyesuaikan diri. Narapidana tidak berbeda dengan masyarakat lainnya yang sewaktu-waktu melakukan kesalahan dan dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Tetapi yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyababkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusikaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana.

2.6.2 Hak dan Kewajiban Narapidana

Dalam suatu proses peradilan pidana, narapidana masih mempunyai beberapa hak dan kewajiban, yaitu:


(52)

3. Menerima perawatan dari pemerintah

4. Menerima kunjungan dari Penasehat hukum, keluarga, / handai tolan 5. Menerima perlindungan hukum

6. Sepanjang tidak ditetapkan lain, setiap Warga Binaan Pemasyarakatan berhak untuk :

a. Memperoleh remisi

b. Memperoleh Cuti Menjelang Bebas ( CMB ) dan Cuti Bersyarat ( CB ) c. Memperoleh Asimilasi

d. Memperoleh Pembebasan Bersyarat ( PB )

Kewajiban Warga Binaan Pemasyarakatan:

1. Wajib dan taat mengikuti program pembinaan yang diberikan oleh petugas

2. Berkelakuan baik dan sopan didalam Lembaga Pemasyarakatan baik sesame Warga Binaan Pemasyarakatan maupun kepada petugas

3. Memberi jawaban yang sopan bila ditanya oleh Petugas

4. Memelihara kebersihan dan keindahan dilingkungan kamar / bloknya serta memlihara barang inventaris yang dipinjamkan kepadanya

5. Wajib bekerja

Larangan Warga Binaan Pemasyarakatan: 1. Dilarang membuat keributan

2. Dilarang melarikan diri

3. Dilarang merusak bangunan, taman yang ada di lingkungan kamar / bloknya 4. Dilarang merusak barang inventaris yang dipinjamkan kepadanya untuk dipakai 5. Dilarang mengambil barang-barang milik orang lain tanpa izinnya

6. Dilarang minum-minuman keras, judi, menggunakan narkoba 7. Dilarang membuat tato

8. Dilarang membawa, menyimpan benda tajam, senjata api dan barang-barang yang dapat mebahayakan orang lain

9. Dilarang berhubungan intim dengan sesame jenis 10.Dilarang melawan Petugas


(53)

Sanksi Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan:

Barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan larangan tersebut diatas akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu pengasingan/tutupan sunyi di straapsel dan pencabutan hak-hak yang bersangkutan.

2.7 Konsep Kesejahteraan Sosial dan Keberfungsian sosial 2.7.1 Konsep Kesejahteraan Sosial

Konsep Kesejahteraan Sosial sebagai suatu program yang terorganisir dan sistematis yang dilengkapi dengan segala macan keterampilan ilmiah, merupakan suatu konsep yang relatif baru berkembang Masalah-masalah kemiskinan, penyakit dan disorganisasi sosial merupakan masalah sosial yang sudah lama ada sepanjang sejarah kehidupan manusia. Permasalahan kesejahteraan sosial yang begitu luas dan kompleks telah menyebabkan timbulnya beraneka pemahaman konsepsi dan perwujudan kesejahteraan sosial itu dalam masyarakat setiap Negara.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak mulai berdirinya telah memikirkan tentang peranan kesejahteraan sosial itu dalam pembangunan nasional. Kesejahteraan sosial didefinisikan sebagai “suatu kegiatan terorganisasi yang membantu tercapainya penyesuaian timbale balik diantara perorangan dengan lingkungannya”. Tujuan ini diwujudkan melalui penggunaan teknik-teknik dan metode-metode untuk membantu perorangan, kelompok-kelompok dan kesatuan-kesatuan masyarakay agar mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka serta memecahkan masalah-masalah penyesuaian diri mereka terhadap pola-pola kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perubahan (dinamis), dan melalui tindakan kerjasama untuk memperbaiki


(54)

Menurut Walter A. Friedlander (1961), “Kesejahteraan sosial” adalah sistem yang terorganisir dari peleyanan-pelayanan sosial dan lembaga yang bertujuan mengangkat individu dan kelompok untuk mencapai standart hidup dan kesehatan yang memuaskan, serta relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.

Definisi diatas menjelaskan:

1. Konsep kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem yang berintikan lembaga-lembaga dan pelayanan sosial.

2. Tujuan sistem tersebut adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang sejahtera dalam arti tingkat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan juga relasi-relasi sosial dengan lingkungannya.

3. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara meningkatkan”kemampuan individu” baik dalam memecahkan masalahnya maupun dalam memenuhi kebutuhannya (Pearlman, 1991:18).

Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.6 Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial berbunyi:

“Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang meliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan pancasila”.


(55)

Definisi tersebut menjelaskan bahwa kesejahteraan sosial itu adalah keadaan yang sebaik-baiknya yaitu pemenuhan kebutuhan manusia yang terdiri dari aspek jasmaniah dan rohaniah. Manusia membutuhkan makanan, pakaian, tempat tinggal, air, udara dan pemeliharaan kesehatan serta kebutuhan kerohanian.

2.7.2 Keberfungsian Sosial

Fungsi sosial yaitu pelaksanaan tugas tugas pokok yang dilaksanakan oleh individu dan anggota masyarakat sebagai suatu petunjuk umum kearah kehidupan bersama manusia dan masyarakat yang berupa fungsi pengaturan, pemilikan, pelaksanaan dan pengawasan. Kemampuan berfungsi sosial yaitu mengacu kepada cara-cara individu atau kolektivitas (seperti keluarga, perkumpulan-perkumpulan, masyarakat dan sebagainya) bertindak dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.

Keberfungsian sosial dapat dipandang dari berbagai segi, yaitu:

1. Dipandang sebagai kemampuan melaksanakan peranan sosial

Keberfungsian sosial dapat dipandang sebagai penampilan/pelaksanaan peranan yang diharapkan sebagai anggota suatu kolektivitas.

2. Dipandang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan

Orang selalu dihadapkan untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu, keberfungsian sosial juga mengacu kepada cara-cara yang digunakan oleh individu maupun kolektivitas dalam memenuhi kebutuhan mereka.


(56)

Orang dalam usahanya memenuhi kebutuhan, melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan mewujudkan aspirasinya tidaklah mudah. Ia dihadapkan kepada keterbatasan, hambatan dan kesulitan serta permasalahan yang harus ditangani dan dipecahkan.

Uraian diatas menggambarkan bahwa setiap orang selalu dihadapkan kepada permasalahan sosial. Kemampuan seseorang dalam mengatasi dan memecahkan permasalahan yang dialami menunjukkan kemampuannya dalam melaksanakan keberfungsian sosial.

2.7.3 Kerangka Pemikiran

Penempatan para pelaku tindak pidana di lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk mengintegrasikan warga binaan pemasyarakatan ke dalam masyarakat. Pemasyarakatan merupakan bagian yang paling akhir dari sistem peradilan pidana. Sebagai sebuah tahapan yang terakhir sudah semestinya terdapat harapan dan tujuan berupa pembinaan dari penghuni lembaga pemasyarakatan. Pada prinsipnya di Indonesia, tujuan pemberian sanksi pidana haruslah berfungsi untuk membina, yaitu bagaimana narapidana setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan menjadi baik, mempunyai keterampilan hidup yang dibutuhkan, sehingga dapat mandiri dalam memenuhi kehidupannya tanpa harus melakukan suatu tindak kejahatan, keseimbangan mental dan fisik pulih, dihormati segala hak dan kewajibannya sesuai dengan harkat dan martabat manusia.


(57)

Bagan 1 Bagan Alur Pikir

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I MEDAN

PROGRAM PEMBINAAN 1. Pembinaa beragama

2. Pembinaan kemampuan intelektual 3. Pembinaan kesadaran hukum

4. Pembinaan kesadran berbangsa dan bernegara 5. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan

masyarakat

PROGRAM PELATIHAN KEMANDIRIAN 1. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha

mandiri

2. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil

3. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan minat dan bakat

WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

KLAS I MEDAN


(58)

2.8 Definisi Konsep dan Definisi Operasional 2.8.1 Definisi Konsep

Konsep adalah istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan dikaji (Siagian, 2011: 136). Karena kajian konsep itu sangat multi dimensional dan abstrak maka diperlukan proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna dalam suatu penelitian yang disebut dengan definisi konsep. Untuk mengetahui pengertian konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi konsep yang digunakan sebagai berikut:

a. Evaluasi adalah sebuah proses penilaian dan pengukuran untuk melihat sejauh mana keberhasilan pelaksanaan suatu program dengan melihat dampak atau hasil yang telah dicapai dari pelaksanaan program tersebut. b. Pembinaan dan pelatihan kemandirian yaitu semua usaha atau kegiatan

yang ditujukan untuk memperbaiki dan mengembangkan pengetahuan warga binaan. Dalam rangka mempersiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan kembali ke masyarakat agar mempunyai bekal keterampilan untuk hidup mandiri dalam memenuhi kehidupannya tanpa harus melakukan tindak kejahatan.

c. Warga binaan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu narapidana yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan.

d. Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan dan pelatihan narapidana/warga binaan pemasyarakatan.


(59)

2.8.2 Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan seperangkat petunjuk atau kriteria atau operasi yang lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana mengamatinya dengan memiliki rujukan-rujukan empiris. Bertujuan untuk memudahkan penelitian dalam melaksanakan penelitian dilapangan. Maka perlu operasionalisasi dari konsep-konsep yang menggambarkan tentang apa yang harus diamati (Silalahi, 2009:120).

Dalam penelitian ini dapat diukur dari varibel sebagai berikut:

1. Program pembinaan dan Pelatihan kemandirian yang merupakan program yang dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan. Yang bertujuan untuk Meningkatkan Kesadaran narapidana dengan tahap introspeksi, motivasi dan pengembangan sumber daya manusia. Adapun indikator- indikator pembinaan adalah:

a. Pengetahuan narapidana terhadap jenis-jenis pembinaan

1) Pendidikan Umum

2) Pendidikan kesadaran beragama 3) Pendidikan keterampilan

4) Pendidikan sosial budaya

5) Kegiatan rekreasi: Olahraga, hiburan

b. Pemahaman narapidana terhadap tujuan pembinaan.

Membina narapidana agar dapat berintegrasi setelah selesai menjalani pidana dan kembali menjadi warga negara yang bertanggung jawab.


(60)

d. Manfaat pembinaan yang diperoleh narapidana.

Agar seorang narapidana menyadari akan perbuatannya dan kembali menuju masyarakat yang sejahtera.

e. Pemahaman narapidana terhadap sarana dan prasarana yang disediakan, meliputi:

1) Ruangan/bangunan fisik. 2) Poliklinik.

3) Peralatan pendukung pembinaan dan pelatihan kemandirian. 4) Sarana hiburan, olahraga, keterampilan dan sebagainya. 5) Sarana ibadah seperti mesjid, gereja dan vihara.


(61)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini termasuk tipe deskriptif, yaitu menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu keadaan subjek atau objek. Penelitian deskriptif dalam pelaksanaannya lebih terstruktur, sistematis, dan terkontrol, peneliti memulai dengan subjek yang telah jelas dan mengadakan penelitian atas populasi atau sampel dari subjek tersebut untuk menggambarkannya secara akurat (silalahi, 2009:28).

Melalui tipe penelitian ini, penulis ingin mengetahui pencapaian tujuan program pembinaan dan pelatihan kemandirian terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan.

3.2Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan. Yang beralamat di Jl. Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan. Alasan penulis memilih lokasi penelitian ini karena Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan merupakan salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Sumatera Utara yang melaksanakan pembinaan menggunakan sistem pemasyarakatan serta pelatihan kemandirian terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan.


(1)

Diagram 47

Distribusi Program Keterampilan yang didapat Dijadikan Bekal Pedoman Setelah Keluar

Sumber: Data Primer, 2014

Berdasarkan dari tebel 56 diatas hampir seluruh responden menyatakan keterampilan yang didapat dijadikan keahlian setelah bebas dari masa tahanannya yaitu sebanyak 32 responden (88,89%). Dari wawancara dengan salah seorang responden mengatakan sekarang ini kan memang keahlian seseorang sangat dibutuhakan dan kalau untuk membuka usaha dari kealian yang saya dapatkan dari Lapas ada, mungkin nanti yang menjadi kendalanya adalah pada dananya. Sebanyak 4 responden (11,11%) menyatakan tidak menjadikan keterampilan yang dimilikinya sebagai pedoman setelah keluar dari masa tahanannya mungkin dalam hal ini responden memang sudah memiliki usaha sendiri yang di kembangkannya sebelum dipidana.

32

4 88,89%

11,11% 0

5 10 15 20 25 30 35


(2)

Diagram 48

Distribusi Pendapat Narapidana Mengenai Pelatihan Kemandirian yang Dilaksanakan

Sumber: Data Primer, 2014

Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 57. diketahui distribusi responden mengenai pendapat narapidana tentang pelatihan kemandirian yang dilaksanakan oleh Lapas, Sebanyak 30 responden (83,33%) menyatakan baik. Hal ini dikarenakan responden bisa membuka usaha sendiri dibidang yang dikuasainya dan juga bisa melamar suatu pekerjaan yang sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Dan sebanyak 6 responden (16,67) menyatakan pelatihan kemandirian yang dilaksanakan oleh Lapas kurang baik dikarenakan masih kurangnya dari peralatan yang disediakan Lapas dalam menarik perhatian responden sendiri.

30

6 83,33%

16,67%

0 5 10 15 20 25 30 35


(3)

BAB VI PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang didapat dari hasil penelitian. Kesimpulan yang terdapat di bab ini adalah hasil yang dicapai dari analisis data dalam penelitian tentang Evaluasi Pelaksanaan Program Pelatihan dan Pembinaan kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan. Responden dalam penelitian ini adalah 36 responden yang telah mengikuti Program pelatihan dan pembinaan kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan.

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data pada bab V yang dilakukan mengenai Evaluasi Pelaksanaan Program Pelatihan dan Pembinaan Kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan, maka dalam penelitian ini penulis menarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan Program Pelatihan dan Pembinaan Kemandirian, antara lain:

1. Terbatasnya sarana pembinaan yang dimiliki, dan masih belum optimalnya partisipasi masyarakat, sehingga Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengikuti program pembinaan Kepribadian dan Kemandirian baru sekitar 80 %.

2. Jenis keterampilan yang diberikan pada umumnya belum mampu dijadikan andalan untuk mencari nafkah bagi Warga Binaan Pemasyarakatan setelah berada di masyarakat.


(4)

4. Kualitas petugas pada umumnya masih kurang, khususnya dibidang disiplin dan skill begitu juga kuantitas petugas juga masih kurang, sedangkan isi Lembaga Pemasyarakatan sudah over kapasitas.

5. Stigmatisasi sebagai orang jahat terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan ikut mempersulit pemasaran produk Lembaga Pemasyarakatan dan kembalinya Warga Binaan Pemasyarakatan ke masyarakat.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka saran peneliti adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan sarana pembinaan Kepribadian dan kemandirian yang dilakukan sendiri dan bekerjasama dengan masyarakatat.

2. Mengupayakan agar keterampilan yang diberikan di Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan di masyarakat pada saat ini.

3. Menambah instruktur keterampilan yang kompeten dan berpengalaman melalui penerimaan pegawai baru.

4. Meninggkatkan kualitas petugas melalui penerapan disiplin harian dan pelatihan , serta menambah petugas baru.

5. Membuat program sosialisasi tentang pemasyarakatan secara rutin melalui media cetak maupun elektronik.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi.2002. Prosedur Penelitian Sosial.jakarta: Bumi Aksara. Harsono, C.I.1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta: Djambatan.

Nurulaen, Yuyun .2012 . Lembaga Pemasyarakatan Masalah dan Solusi.Bandung: Marja. Panjaitan, Petrus Irwan, dan Pandapotan Simorangkir. 1995. Lembaga Pemasyarakatan

Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Perlman, Helen H. 1991. Social Casework A Problem Solving Process. Trans. M. Aipassa.

Bandung. STKS.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Kriminologi dan System Peradilan Pidana. Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia.

Sahetapy.1992. Teori Kriminilogi Suatu Pengantar. Bandung. Citra Aditya Bakti. Siagian, Matias.2011. Metode Penelitian Sosial. Medan: Grsindo Monoratama.

Siagian, Matias: Suriadi, Agus. 2012. CSR Perspektif Pekerjaan Sosial. Medan: Grasindo Monoratama.

Silalahi, Ulber.2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Utama.

Sirait, S. Martin. 1990. Perencanaan dan Evaluasi : Suatu Sistem Untuk Proyek Pembangunan. Bumi Aksara:Jakarta.

Suwito, dkk.2002. Monitoring dan evaluasi: Sebagai media bersama dari pengalaman.Bogor: Gramedia.

Tayipnafis, Farida Y.2000. Evaluasi program.jakarta: Rineka Cipta.

Usman, Husaini:Akbar, Purnomo Setiady. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.


(6)

Sumber lain:

seksi registrasi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun1995. Tentang Pemasyarakatan.

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=34&notab= 1 diakses pada tanggal 22 maret 2014.

http://nasional.kompas.com/read/2012/12/26/15260465/Setiap.91.Detik.Terjadi.Satu.Kejah atan.di.Indonesia diakses pada tanggal 22 maret 2014.

http://id.wikipedia.org/wiki/Evaluasi diakses 20 mei 2014 pukul 23.30. http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan.

https://www.google.co.id/?gws_rd=cr&ei=856xU_7SL9SeugTqxIKoAg#q=proses+pembin aan+narapidana+tanjung+gusta.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39847/4/Chapter%20II.pdf