Program Pembinaan Kemandirian Di Lembaga Pemasyrakatan Terbuka Klas Iib Jakarta

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi

Kesejahteraan Sosial

Oleh:

Putri Anisa Yuliani 109054100019

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 19 Februari 2014


(5)

Putri Anisa Yuliani

Program Pembinaan Kemandirian

Di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta

Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta sebagai salah satu lembaga pemerintahan memiliki fungsi untuk membina Narapidana yang selanjutnya disebut dengan Warga Binaan Pemasyarakatan untuk meningkatkan kemandirian baik dari segi kemandirian emosional maupun kemandirian secara ekonomi setelah menyelesaikan masa hukuman pidananya di Lapas. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dijelaskan bahwa pembinaan Narapidana memiliki empat tahap dan Lapas Terbuka berada di tahap ketiga yaitu pembinaan ketika Narapidana telah menjalankan setengah masa pidananya. Dengan kondisinya yang merupakan Lapas Terbuka, Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta memiliki program pembinaan yang khusus serta aturan yang khusus dibandingkan dengan Lapas pada umumnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui program pembinaan kemandirian yang ada di Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta dalam tujuannya meningkatkan kemandirian narapidana serta hambatan-hambatan yang ditemuinya.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan tujuan menghasilkan penelitian dnegan bentuk penjabaran kata-kata yang merepresentasikan fakta-fakta yang telah didapat di lapangan selama proses penelitian berlangsung. Teknik pencarian data yang digunakan adalah wawancara, observasi serta studi dokumentasi. Wawancara dilakukan terhadap staf yang berkaitan dengan program pembinaan serta Warga Binaan Pemasyarakatan yang aktif mengikuti program pembinaan. Studi dokumentasi yang didapat peneliti yaitu profil lembaga.

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa di Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta memiliki program pembinaan kemandirian dan program pengintegrasian ke dalam masyarakat. Program kemandirian antara lain peternakan ayam, budidaya cacing, pertukangan, perikanan. Sedangkan program pengintegrasian ke masyarakat yaitu program bekerja pada pihak ke-3 atau P3. Program-program tersebut berjalan dengan baik namun memiliki hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya yaitu minimnya anggaran dana, kurangnya program, kualitas sumber daya manusia yang kurang, kemauan Warga Binaan Pemasyarakatan yang rendah serta kurangnya mitra kerjasama. Dalam penelitian ini, Warga Binaan Pemasyarakatan yang peneliti wawancarai telah merasakan adanya manfaat dari mengikuti program pembinaan kemandirian dan pengintegrasian ke masyarakat yaitu meningkatnya kepercayaan diri, motivasi, pengaturan diri serta minat untuk berwirausaha dengan bekal keterampilan yang telah didapat selama berada di Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta.


(6)

Alhamdulillahirobbil ‘alamiin,

Sujud syukur penulis haturkan ke hadirat Allah yang telah memberikan rahmat beserta anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada Rasulullah yang telah memberikan suri tauladan kepada umatnya untuk selalu bersabar, berikhtiar, dan bertawakal untuk menghadapi segala ujian dan cobaan.

Segala kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi dalam melakukan penelitian serta penulisan skripsi ini tidak mungkin dapat penulis hadapi sendirian tanpa bimbingan dan motivasi dari orang-orang yang terkasih hingga skripsi ini selesai. Oleh karena itu, dalam hal ini pula penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya bagi orang-orang yang telah membantu, membimbing dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Dr. Arif Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi sekaligus pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan serta motivasi kepada penulis dari awal hingga akhirnya skripsi ini selesai ditulis dan diuji dalam sidang skripsi.

2. Ibu Siti Napsiyah, MSW selaku Ketua Jurusan Kesejahteraan Sosial dan Bapak Ahmad Zaky, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Kesejahteraan Sosial beserta para dosen/staf di lingkungan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi.


(7)

S.Sos, M.Si yang telah memberikan ijin penelitian bagi penulis serta kerja sama dalam proses penelitian skripsi.

4. Bapak Adam Ridwansyah, Amd,IP, SH, M.Si selaku Kasie Registrasi, Bapak Rio Chaidir, Amd,IP, SH selaku Kasubsie Perawatan, Ibu Puji Indrayani selaku staf pembinaan, serta segenap staf di Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah bekerja sama dengan baik selama penulis melakukan penelitian di Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta.

5. Para Warga Binaan Pemasyarakatan yang berada di Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta yang telah bekerja sama dengan penulis dan memberikan penulis wawasan tentang kehidupan di lembaga pemasyarakatan.

6. Orang tua penulis, Bapak dan Mama yang selalu memberikan semangat, motivasi, kasih sayang, serta doa yang tidak terputus-putus dalam membesarkan dan mendidik penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan proses pendidikan dan mempersembahkan gelar sarjana ini kepada kalian.

7. Kakak Fitria Iryanti dan adik Reza Yahya Pribadi yang telah mendukung, menemani dalam berdebat dan kasih sayang. Terima kasih.

8. Sahabat tersayang, sehati dan sejiwa yang bertahun-tahun sudah menemani dan selalu mendukung, Septi Harsi Anggraeni (Anggi).


(8)

dukungan.

10.Keluarga besar UKM Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan Kembara Insani Ibnu Batutah (KMPLHK RANITA), khususnya teman-teman angkatan Berpikir, Bersikap, Bertindak (BBB) di Training Dasar (TRADAS) XXI.

11.Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan yang telah membantu proses skripsi ini.

Peneliti tidak mampu memberikan balasan apa-apa atas segala jasa yang telah diberikan dan hanya mampu menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan yang telah diberikan dibalas dengan berkah yang sebesar-besarnya. Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi peneliti dan mahasiswa baik dari Jurusan Kesejahteraan Sosial maupun dari jurusan lain di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Februari 2014/Rabiul Awal 1435 Penulis


(9)

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah Dan Pembatasan Masalah ... 6

1. Pembatasan Masalah ... 6

2. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metodologi Penelitian ... 8

1. Pendekatan Penelitian ... 8

2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 9

3. Subjek, objek, dan Informan Penelitian ... 9

4. Sumber Data ... 12

5. Teknik Pengumpulan Data ... 13

6. Teknik Analisis Data ... 16

7. Teknik Penulisan Data ... 17

F. Tinjauan Pustaka ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II LANDASAN TEORI ... 20

A. Program Pembinaan Kemandirian ... 20

1. Pengertian Program. ... 20

2. Pembinaan ... 21


(10)

Narapidana ... 31

d. Tahap Pembinaan Narapidana ... 38

3. Kemandirian ... 39

a. Pengertian Kemandirian ... 39

b. Aspek-aspek Kemandirian... 42

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian ... 45

d. Ciri-ciri Kemandirian ... 47

4. Pemberdayaan Narapidana Dalam Perspektif Kesejahteraan Sosial ... 49

a. Pengertian Pemberdayaan ... 49

b. Konsep Pemberdayaan Narapidana ... 50

B. Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana, Dan Warga Binaan Pemasyarakatan ... 54

1. Definisi Lembaga Pemasyarakatan ... 54

2. Konsep Lembaga Pemasyarakatan Terbuka ... 55

3. Definisi Narapidana Dan Warga Binaan Pemasyarakatan ... 59

4. Hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan ... 60

BAB III GAMBARAN PROFIL LEMBAGA ... 63

A. Sejarah Beridirinya Lapas Terbuka Jakarta ... 63

B. Letak Geografis ... 64

C. Visi dan Misi Lembaga ... 65

D. Sarana dan Prasarana... 65

E. Struktur Organisasi ... 67

F. Gambaran SDM/Staf Lapas Terbuka Jakarta ... 68

G. Kriteria Warga Binaan Pemasyarakatan ... 70

H. Jadwal Kegiatan Sehari-hari Warga Binaan Pemasyarakatan ... 73


(11)

Jakarta ... 77

1. Orientasi ... 77

2. Pengarahan ... 78

3. Pelaksanaan ... 79

B. Pelaksanaan Program Pembinaan Kemandirian... 82

C. Faktor Penghambat Program Pembinaan Kemandirian ... 92

D. Hasil Pelaksanaan Program Pembinaan Kemandirian ... 95

BAB V PENUTUP ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 102


(12)

Tabel 1 Perbandingan Sistem Penjara ... 25

Tabel 2 Data Pegawai Sesuai /Pangkat Golongan dan Jenis Kelamin ... 69

Tabel 3 Persebaran Tingkat Pendidikan Pegawai Lapas Terbuka Jakarta ... 69

Tabel 4 Jadwal Kegiatan Warga Binaan Pemasyarakatan ... 74


(13)

Lampiran 1 Dokumentasi Penelitian... 106

Lampiran 2 Surat Pengajuan Pembimbing Skripsi ... 112

Lampiran 3 Surat Izin Penelitian Skripsi ... 114


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum yang memiliki aturan hukumnya sendiri. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 BAB I tentang Bentuk dan Kedaulatan Pasal 1 butir ke (3) yang menyatakan “Indonesia adalah

negara hukum.” Setiap penduduk, siapapun ia, apapun kedudukannya juga memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 BAB X tentang Warga Negara dan Penduduk Pasal 27 butir (1) yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Dalam sistem hukum Indonesia, seseorang yang berbuat kesalahan yang dapat merugikan orang lain dapat ditindak dalam hukum pidana. Selanjutnya jika orang tersebut telah divonis dan dijatuhi hukuman kurungan penjara oleh hakim di pengadilan, maka orang tersebut naik statusnya penjadi terpidana dan akan menjadi narapidana ketika ia telah memasuki lembaga pemasyarakatan.

Pembinaan narapidana secara kelembagaan dalam sejarah di Indonesia, dimulai sejak jaman Pemerintahan Kolonial Belanda dengan peraturan pemerintah tanggal 10 Desember 1917, stbl. 1917 No.708 yang dikenal dengan sebutan Gestichten Reglement. Saat itu penjara sebagai pembalasan, pola ini dipertahankan hingga tahun 1963. Pola ini mengalami pembaharuan


(15)

sejak dikenal sistem pemasyarakatan yang dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat.1

Istilah pemasyarakatan diperkenalkan pertama kali oleh Sahardjo pada tahun 1963, Sahardjo yang saat itu menjabat Menteri Kehakiman di dalam pidato pengukuhannya sebagai Doktor Honoris Causa (DR HC) dari Universitas Indonesia, mengganti istilah penjara dengan pemasyarakatan, dengan karakteristik sepuluh prinsip pokok yang semuanya bermuara pada suatu falsafah, narapidana bukanlah orang hukuman.2 Istilah Lembaga Pemasyarakatan digunakan secara resmi sejak tanggal 27 April 1964 bersamaan dengan berubahnya sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan.3

Di dalam lembaga pemasyarakatan seorang narapidana dibina dan diarahkan agar ketika selesai menjalani masa tahanannya dan bergabung kembali ke dalam lingkungan masyarakat, ia dapat menjadi anggota masyarakat kembali dengan lebih baik dan tidak mengulangi kesalahannya. Karena fungsi lembaga pemasyarakatan itu sendiri adalah menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.4

1

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana (Buku Ketiga), (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi UI, 2007), h. 85.

2

Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Prespektif Sistem Peradilan Pidana Penjara, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 25.

3Ibid,

h. 37.

4

Undang-Undang No.1 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan BAB I tentang Ketentuan Umum pasal 3.


(16)

Lembaga pemasyarakatan yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang dinaungi oleh Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham) saat ini jumlahnya ada 457 Unit Pelaksana Teknis (UPT) dengan total jumlah narapidana maupun tahanan yang berada di dalamnya sebanyak 154.213 orang dan tersebar di di 33 provinsi di seluruh Indonesia.5

Sebagai fungsinya yang telah disebutkan di atas bahwa lembaga pemasyarakatan berfungsi untuk menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Maka di dalam lembaga pemasyarakatan, WBP mendapat pembinaan dan pemberdayaan sehingga dapat kembali berpartisipasi dalam pembangunan di dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga dapat meningkatkan taraf hidupnya serta meningkatkan kesejahteraan hidup yang dimilikinya serta orang-orang yang ada di sekitarnya.

Sistem pemasyarakatan sebagai pelaksanaan pidana penjara, berpegang pada asumsi bahwa arti pemasyarakatan adalah memasyarakatkan kembali narapidana sehingga menjadi warga baik dan berguna atau healthy reentry into the community, yang pada hakikatnya adalah resosialisasi.6 Oleh karena itu, keberhasilan pembinaan pelaku tindak pidana tidak dimulai sejak dia

5

Data diperoleh dari website http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly pada hari Kamis, 12 September 2013. Data jumlah narapidana dan tahanan selalu diperbaharui setiap hari melalui pesan singkat dari setiap UPT di seluruh Indonesia.

6

Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum, (Bandung : Alumni, 1982), h. 30.


(17)

masuk pintu gerbang lembaga pemasyarakatan, tetapi bahkan pengalaman sejak diperiksa oleh polisi akan mempengaruhi keberhasilan resosialisasi.7

Maka berdasarkan Surat Edaran Kepala Direktorat Pemasyarakatan No. Kp 10. 13/3/1/tanggal 8 Februari 1965, telah ditetapkan pemasyarakatan sebagai proses dalam pembinaan narapidana dan dilaksanakan melalui empat tahap yaitu:8

1. Tahap Keamanan Maksimal sampai batas 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya. Pembinaan ini merupakan tahap awal pengenalan lingkungan yang dilakukan sejak diterimanya narapidana sekurang-kurangnya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya. Dalam tahap ini pembinaannya di dalam Lapas dengan tingkat pengamanannya maksimum (maximum security).

2. Tahap Keamanan menengah sampai batas 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya. Pembinaan tahap lanjutan lebih dari 1/3 sampai dengan ½ masa tahanan yang sebenarnya, dan dievaluasi perkembangannya. Apabila menurut penilaian Tim Pengamat Pemasyarakatan, narapidana menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin, dan patuh pada tata tertib yang berlaku maka kepada narapidana diberikan lebih banyak kebebasan di dalam lapas dengan pengamanan medium (medium security).

3. Tahap Keamanan minimal sampai batas 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya. Dalam tahap ini diharapkan narapidana sudah

7

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Undip,1995), h. 80.

8

Dipertegas dalam Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.


(18)

menunjukkan kemajuan positif baik mental maupun spiritual serta keterampilan lainnya, dan yang paling penting telah siap untuk berasimilasi dengan masyarakat.

4. Tahap integrasi dan selesainya 2/3 dari masa tahanan sampai habis masa pidananya. Sebagai tahap terakhir diharapkan narapidana benar-benar siap kembali ke masyarakat menjelang bebas, atau Pembebasan Bersyarat (PB) atau Cuti Menjelang Bebas (CMB).

Maka dalam rangka resosialisasi pelaku tindak pidana, bagi narapidana yang telah mencapai tahap pembinaan ketiga dinggap perlu berasimilasi dengan masyarakat dan dapat di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka (Lapas Terbuka), sambil menunggu masa pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas. Di dalam Lapas Terbuka pun memiliki program-program pembinaan keterampilan yang disiapkan untuk Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).

Lapas Terbuka memiliki suatu keistimewaan sendiri dimana tidak terdapatnya aturan Maximum Security tetapi yang ada adalah Minimum Security, dimana keamanan ditekan hingga batas minimal dengan penjagaan yang tidak terlalu ketat seperti Lapas pada umumnya. Hal ini diterapkan karena Lapas Terbuka diperuntukkan bagi Narapidana yang telah menjalankan setengah dari masa pidananya serta berkelakuan baik dengan pengawasan dan proses seleksi yang ketat dari Lapas tempat ia menjalani hukum pidana sebelumnya. Hal ini dimaksudkan seiirng dengan tujuan pendirian Lapas Terbuka yaitu menjadi lembaga asimilasi bagi Narapidana agar dapat berintegrasi dan berbaur berasimilasi dengan masyarakat sebelum masa


(19)

pidananya selesai. Seiring dengan asimilasi yang dilakukan untuk meningkatkan rasa percaya diri Narapidana agar dapat kembali menyatu dan dapat diterima sebagai warga yang bertanggung jawab sesuai dengan amanat dan tujuan sistem pemasyarakatan yang terdapat di dalam Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 2 Bab I Ketentuan Umum yang

berbunyi “Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Oleh karena itu, berdasarkan paparan permasalahan di atas, maka peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Program Pembinaan Kemandirian Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Kelas IIB Jakarta”.

B. Pembatasan Masalah Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam sebuah penelitian harus dibentuk sebuah pembatasan masalah agar peneliti fokus untuk mencari dan meneliti objek penelitiannya. Dari uraian latar belakang yang telah peneliti paparkan di sub bab latar belakang sebelumnya, maka peneliti membatasi objek permasalahan yang akan diteliti yaitu program pembinaan kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Kelas IIB Jakarta.


(20)

2. Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan permasalahannya yaitu:

1. Bagaimanakah program pembinaan kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Kelas IIB Jakarta?

2. Apa saja hambatan yang dihadapi oleh Lapas Terbuka Jakarta dalam menyelenggarakan program pembinaan kemandirian?

C. Tujuan Penelitian

Adapaun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan program pembinaan kemandirian yang diselenggarakan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Klas IIB Jakarta.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi oleh Lapas Terbuka Jakarta dalam menyelenggarakan program pembinaan di Lapas Terbuka Jakarta.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

sumbangan ilmiah bagi ilmu kesejahteraan sosial khususnya dalam studi tentang Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka.

2. Secara praktis, hasil penelitian yang berfokus pada program

pembinaan kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran


(21)

bagi mahasiswa Program Studi Kesejahteraan Sosial dalam mempelajari bidang program pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka.

E. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor, metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.9

Miles and Huberman berpendapat bahwa metode kualitatif berusaha mengungkap berbagai keunikan yang terdapat dalam individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, rinci, dalam, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.10

Pendekatan kualitatif dipilih karena peneliti ingin mendeskpripsikan, memperoleh gambaran nyata, dan menggali informasi yang jelas mengenai program pembinaan kemandirian di Lapas Terbuka Kelas IIB Jakarta.

9

Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 4.

10

Basrowi dan Sudikin, Metodologi Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, (Surabaya: Insan Cendikia, 2002), h. 2.


(22)

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang diambil oleh peneliti dalam mencari informasi dan data-data terkait dengan objek penelitian adalah di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Kelas IIB Jakarta. Lapas Terbuka Kelas IIB Jakarta terletak di dalam kompleks Balai Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Hukum dan HAM yang berada di Jalan Raya Gandul Cinere, Jakarta Selatan.

b. Waktu Penelitian

Waktu penelitian terhitung sejak proposal skripsi ini dibuat hingga skripsi ini selesai ditulis yaitu sejak bulan September 2013 hingga bulan Januari 2014. Dalam usaha pencarian data di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Kelas IIB Jakarta, peneliti melakukan riset berupa wawancara, observasi serta studi dokumentasi selama kurang lebih dua bulan yaitu sejak bulan November hingga bulan Desember 2013.

3. Subjek, Informan, dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini dipilih secara sengaja. Karena peneliti bertujuan memilih informan yang sesuai dengan data yang ditujukan untuk didapatkannya sesuai dengan kebutuhan penelitian. Maka dari itu, informan yang dipilih oleh peneliti adalah staf yang bekerja di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Kelas IIB Jakarta serta beberapa


(23)

narapidana yang menjalankan masa pemasyarakatannya di Lapas tersebut sebagai penerima manfaat dari program pembinaan kemandirian.

Staf yang dipilih untuk menjadi Informan yaitu staf bidang perawatan, pembinaan, kepegawaian dan registrasi. Dua orang staf bidang perawatan dan pembinaan di Lapas Terbuka Jakarta dipilih untuk menjadi informan dalam hal menggali data-data mengenai program pembinaan dan pelaksanaannya. Sedangkan untuk memperoleh data-data seputar kepegawaian, peneliti memperolehnya dari staf bidang kepegawaian. Untuk memperoleh data mengenai Warga Binaan Masyarakat, peneliti memperoleh data dari Kepala Seksi (Kasi) Registrasi.

Dalam proses pemilihan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) sebagai informan, peneliti melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan staf bidang pembinaan dan perawatan mengenai mana WBP yang memenuhi kriteria agar cocok untuk dijadikan informan bagi peneliti. Karena kedua staf tersebut yang paling mengetahui dan dapat memberikan informasi penting mengenai WBP mana saja yang saat proses penelitian ini berlangsung, sedang melaksanakan program pembinaan kemandirian di Lapas Terbuka Jakarta.

Pada saat proses penelitian berlangsung yaitu bulan November hingga bulan Desember, program yang akan berjalan adalah program budidaya cacing. Sedangkan program-program yang sudah berjalan adalah program peternakan ayam broiler, perikanan, pertukangan, dan P3 atau bekerja pada pihak ke-3. Program pertanian ditiadakan karena Lapas Terbuka Jakarta akan memfokuskan lahan yang dijadikan lahan pertanian menjadi


(24)

kolam-kolam ikan untuk pengembangan program budidaya ikan lele. Budidaya cacing telah berjalan sejak periode bulan November 2013, dan program budidaya ikan lele akan mulai berjalan kembali pada periode tahun depan.11 Karena alasan tersebutlah peneliti hanya memilih WBP yang mengikuti program peternakan ayam broiler, perikanan, budidaya cacing, serta P3 sebagai informan dalam penelitian ini.

Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian, jadi ia harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian, ia berkewajiban secara sukarela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat informal, sebagai anggota tim dengan kebaikannya dan dengan kesukarelaannya informan tersebut dapat memberikan pandangan dari segi orang dalam tentang nilai-nilai, sikap, bangunan, proses dan kebudayaannya yang menjadi latar penelitian tersebut.12 Karena kelebihan informan dibanding responden ialah informan tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan seorang peneliti tetapi juga memberikan informasi-informasi yang sekiranya penting dan dapat membantu proses penelitian.

Sedangkan objek penelitian ini adalah program pembinaan kemandirian di Lapas Terbuka Kelas IIB Jakarta. Program ini diselenggarakan oleh Lapas Terbuka Kelas IIB Jakarta.

11

Berdasarkan keterangan dari staf bidang pembinaan yang dipaparkan pada hari Senin, 25 November 2013 di Lapas Terbuka Jakarta.

12

Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 112.


(25)

4. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah sumber subjek dari mana data dapat diperoleh. Sumber data terdiri dari dua macam yaitu data primer dan data sekunder.13

a. Data Primer

Data primer adalah data-data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data-data yang diperoleh melalui observasi lokasi penelitian yaitu Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Kelas IIB Jakarta dan wawancara yang akan dilakukan terhadap staf lembaga pemasyarakatan serta Warga Binaan Pemasyarakatan yang sedang menjalani masa pemasyarakatan di Lapas Terbuka Kelas IIB Jakarta.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung atau data tersebut sebelumnya telah dihimpun oleh para peneliti atau subjek-subjek pengumpul data untuk tujuan tertentu. Data tersebut kemudian dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas atau masyarakat dari kalangan tertentu sebagai sumber sekunder dalam penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen atau arsip mengenai Lapas Terbuka Kelas IIB Jakarta serta dokumen mengenai program pembinaan kemandirian di lapas tersebut.

13


(26)

5. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dilakukan seorang peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan. Dengan metode pengumpulan data yang tepat dalam suatu penelitian akan memungkinkan pencapaian pemecahan masalah secara valid dan terpercaya yang akhirnya akan memungkinkan dirumuskannya generalisasi yang obyektif.14 Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti yaitu:

a. Observasi

Observasi yaitu pengamatan terhadap suatu kejadian atau peristiwa dengan cara melihat dan mendengar dalam rangka untuk memahami, mencari jawaban, mencari bukti terhadap fenomena sosial selama beberapa waktu peneliti tanpa harus mempengaruhi terhadap fenomena yang sedang diteliti.15 Dalam penelitian ini peneliti melaksanakan observasi dengan langsung mendatangi Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta. Observasi di lakukan sebanyak lima kali yang diantaranya berlangsung sejak pagi hingga siang hari. Observasi yang peneliti lakukan bertujuan untuk mengamati kegiatan para Warga Binaan Pemasyaratan serta para petugas yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta.

b. Wawancara

Wawancara yang dilakukan oleh peneliti yaitu wawancara tidak berstruktur. Wawancara tidak berstruktur adalah wawancara bebas

14

Prof. Dr. Hadari Nawawi, Metode penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), h.13.

15

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian, Sosial Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 5.


(27)

dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun sistematis. Sedangkan untuk memperoleh data lebih lanjut, wawancara yang akan dilakukan adalah wawancara semistruktur. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi secara mendalam dan pihak yang diwawancara dapat lebih terbuka mengenai informasi yang ditanyakan.16 Peneliti melakukan wawancara yaitu pada:

1) Tanggal 20 November 2013

Wawancara ini adalah wawancara tahap awal yang peneliti lakukan dalam rangka memperoleh gambaran umum mengenai Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta serta program-program pembinaan yang ada di Lapas tersebut. Narasumber dari wawancara ini adalah staf Bidang Kegiatan Kerja (Giatja) Ibu Puji Indrayani dan Kasubsie Perawatan Bapak Rio Chaidir.

2) Tanggal 11 Desember 2013

Wawancara ini dilakukan dengan narasumber Bapak Rio Chaidir selaku Kasubsie Perawatan. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam proses pelaksanaan pembinaan kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta.

3) Tanggal 20 Desember 2013

Wawancara ini dilakukan dengan narasumber Bapak Iwan selaku staf Bidang Giatja. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui

16

Sugiyono, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan RD, (Bandung: Alfabeta, 2008) h. 235.


(28)

lebih dalam proses pelaksanaan pembinaan kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta.

4) Tanggal 6 Januari 2014

Wawancara ini dilakukan dengan narasumber Ibu Puji Indrayani selaku staf Bidang Giatja. Wawancara ini dilakukan guna mengetahui lebih dalam proses pelaksanaan pembinaan kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta. Selain itu pada wawancara tersebut, Ibu Puji Indrayani juga memberikan informasi mengenai siapa saja Warga Binaan Pemasyarakatan yang cocok untuk dijadikan informan dalam penelitian tersebut. WBP dipilih berdasarkan keaktifan mereka mengikuti program pembinaan selama berada di Lapar Terbuka Klas IIB Jakarta. Setelah mendapatkan nama-nama WBP yang ditetapkan sebagai informan, peneliti menemui Kasubsie Registrasi untuk mengetahui data-data WBP tersebut serta mengurus prosedur agar dapat mewawancarai WBP.

5) Tanggal 9 dan 12 Januari 2014

Peneliti melakukan wawancara dengan WBP yang telah ditetapkan sebagai informan penelitian untuk mengetahui bagaimana mereka menjalani program pembinaan kemandirian di Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta.

c. Studi Dokumentasi

Dokumentasi yaitu dalam suatu penelitian merupakan sumber data yang didapat dari dokumen ini merupakan suatu proses melihat


(29)

kembali sumber data dari dokumen yang ada seperti catatan pribadi, surat kabar, majalah dan hasil penelitian dan agenda. Sumber dokumentasi peneliti dalam penelitian ini adalah Profil Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta yang peneliti peroleh dari Kasi Registrasi dalam bentuk softcopy.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif adalah suatu proses analisis yang terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi bersamaanyaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.

a. Proses Reduksi Data

Reduksi data merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang manual dari catatan-catatan dilapangan. Reduksi data berlangsung terus-menerus selama proyek yang berorientasi penelitian kualitatif berlangsung. Antisipasi akan adanya reduksi data sudah tampak waktu penelitiannya memutuskan (acapkali tanpa disadari sepenuhnya) kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan penelitian, dan pendekatan pengumpulan data mana yang dipilihnya.

Selama pengumpulan data berlangsung, terjadilah tahapan reduksi selanjutnya (membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, membuat memo). Reduksi data/transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun.


(30)

b. Penyajian Data

Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan dengan melihat penyajian-penyajian kita akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

c. Menarik Kesimpulan

Memulai dengan mencari arti benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi.17 Proses penarikan kesimpulan dalam penelitian berdasarkan data-data yang diperoleh selama proses penelitian yang juga mengacu pada perumusan masalah yaitu pertanyaan penelitian yang diajukan oleh peneliti. Karena kesimpulan dari hasil penelitian akan menjawab pertanyaan penelitian itu sendiri.

7. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan translasi penulisan dalam penelitian ini berpegang pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang disusun oleh Tim Pusat Peningkatan Jaminan Mutu atau Centre of Quality Development and Assurance (CeQDA) yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

17

Matthew Miles dan Michael A. Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tantang Metode-Metode Baru, (Jakarta: UI Press, 1992), h. 14.


(31)

F. Tinjauan Pustaka

Penulisan skripsi mengenai program pemberian keterampilan yang ada di lembaga pemasyarakatan telah beberapa kali dibuat oleh mahasiswa/i Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, masing-masing dari skripsi tersebut memiliki perbedaan dalam tema yang diambil.

Skripsi karya Siti Nuraliyah mahasiswi Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam melakukan penelitian skripsi berjudul Evaluasi Program Pelatihan Menyulam Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Wanita Tangerang. Skripsi tersebut selesai pada tahun 2009. Sedangkan pada tahun yang sama skripsi lainnya karya Fahrur Rohman mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam juga mengambil lokasi penelitian di Lembaga Pemasyarakatan dengan judul Pemberdayaan Narapidana Melalui Program Jenjang S1 Hukum Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang, Jakarta.

Kedua skripsi tersebut meiliki persamaan dalam pengambilan judul yang diambil penulis yaitu sama-sama mengambil lokasi penelitian di Lembaga Pemasyarakatan walaupun di Lembaga Pemasyarakatan yang berbeda. Letak perbedaan kedua skripsi tersebut dengan judul yang diambil oleh penulis yaitu tema yang diambi penulis adalah mengenai program pembinaan kewirausahaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan.


(32)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini akan dibagi dalam 5 bab yaitu:

BAB I Membahas pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, metode penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, pembatasan dan perumusan masalah dan sistematika penulisan.

BAB II Kerangka pemikiran yang berisikan teori-teori yang dijadikan peneliti sebagai dasar teori dalam melakukan penelitian sejak pengumpulan data, penyaringan data hingga analisis data.

BAB III Gambaran umum Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Kelas IIB Jakarta dan gambaran program-program pembinaan kewirausahaan yang dimiliki.

BAB IV Merupakan hasil analisis data yaitu berisikan analisis peneliti mengenai program pembinaan kewirausahaan yang dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Terbuka Kelas IIB Jakarta serta hasil wawancara peneliti yang dilakukan kepada narapidana di lembaga tersebut sebagai penerima manfaat.

BAB V Bab ini berisikan kesimpulan mengenai hasil penelitian serta saran dan rekomendasi bagi perusahaan maupun lembaga jurusan dimana peneliti menempuh pendidikan.


(33)

A. Program Pembinaan Kemandirian 1. Pengertian Program

Program adalah unsur pertama yang harus ada demi terciptanya suatu kegiatan. Di dalam program dibuat beberapa aspek, disebutkan bahwa di dalam setiap program dijelaskan mengenai:

1. Tujuan kegiatan yang akan dicapai.

2. Kegiatan yang diambil dalam mencapai tujuan.

3. Aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui. 4. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan.

5. Strategi pelaksanaan.

Melalui program maka segala bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebih mudah untuk dioperasionalkan. Hal ini sesuai dengan pengertian program yang diuraikan.

“A programme is collection of interrelated project designed to harmonize and integrated various action an activities for achieving

averral policy abjectives” (suatuprogram adalah kumpulan proyek-proyek

yang saling berhubungan dirancang untukmelaksanakan kegiatan-kegiatan yang harmonis dan terintegrasi untuk mencapai sasaran kebijaksanaan tersebut secara keseluruhan.)


(34)

Menurut Charles O. Jones, pengertian program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan, beberapa karakteristik tertentu yang dapat membantu seseorang untuk mengindentifikasi suatu aktivitas sebagai program atau tidak yaitu:

1. Program cenderung membutuhkan staf, misalnya untuk melaksanakan atau sebagai pelaku program.

2. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, program kadang biasanya juga diidentifikasikan melalui anggaran.

3. Program memiliki identitas sendiri, yang bila berjalan secara efektif dapat diakui oleh publik.

Program terbaik didunia adalah program yang didasarkan pada model teoritis yang jelas, yakni: sebelum menentukan masalah sosial yang ingin diatasi dan memulai melakukan intervensi, maka sebelumnya harus ada pemikiran yang serius terhadap bagaimana dan mengapa masalah itu terjadi dan apa yang menjadi solusi terbaik.1

2. Pembinaan

a. Pengertian Pembinaan

Pembinaan berasal dari kata “bina” yang mendapat awalan ke- dan akhiran –an, yang berarti bangun atau bangunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembinaan berarti membina, memperbaharui, atau proses, perbuatan, cara membina, usaha, tindakan, dan kegiatan yang

1

Charles O. Jones, An Introduction to the Study of Public Policy, (Brooks: Cole Publishing Company, 1996), h. 295.


(35)

dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

Menurut Mangunhardjana, pembinaan adalah suatu proses belajar dengan melepaskan hal yang sudah dimiliki dan mempelajari hal-hal baru yang belum dimiliki, dengan tujuan membantu orang yang menjalaninya untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang sudah ada serta mendapatkan pengetahuan dan kecakapan yang baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang sedang dijalani secara lebih efektif.2

Dari definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembinaan merupakan suatu proses kegiatan dan proses mempelajari hal-hal baru yang berguna untuk mencapai tujuan dan hasil yang lebih baik bagi orang yang dibina dan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Proses pembinaan ini erat kaitannya dengan wawasan yang bersifat praktik seperti keterampilan yang dapat digunakan untuk memperoleh mata pencaharian.

Menurut Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Bab I tentang Ketentuan Umum pasal 1 butir kelima, Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan. Sedangkan pengertian pembinaan terdapat di dalam Peraturan Pemerintah no. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Letak Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Bab

2


(36)

I tentang Ketentuan Umum pasal 1 butir kedua yaitu pembinaan adalah kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap, dan prilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Pengertian narapidana yaitu terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. Sehingga dapat disimpulkan dari beberapa pengertian di atas, pembinaan adalah suatu proses untuk memperbaharui, meningkatkan, mengembangkan pengetahuan seseorang terhadap suatu bidang ilmu ataupun keterampilan untuk mencapai suatu tujuan yakni memperoleh hasil yang lebih baik.

Sistem pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama pemasyarakatan, mulai dikenal pada tahun 1964 ketika dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang, tanggal 27 april 1964, Dr. Sahardjo S.H melontarkan gagasan perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan.3 Gagasan Sahardjo kemudian dirumuskan dalam konferensi Dinas Kepenjaraan tersebut, dalam sepuluh prinsip pembinaan dan bimbingan bagi narapidana. Prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan adalah:

1. Orang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat.

3


(37)

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara.

3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan.

4. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara.

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila.

8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat.

9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilaang kemerdekaan.

10.Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

Kesemua prinsip-prinsip bimbingan dan pembinaan narapidana lebih dikenal sebagai Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan. Ada tiga hal


(38)

yang dapat ditarik dari kesepuluh prinsip-prinsip pemasyarakatan, yaitu: tujuan, proses dan pelaksanaan pidana penjara di Indonesia. 4

Pembinaan narapidana sebagai suatu sistem memiliki beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Sedikitnya ada empat belas komponen dengan masing-masing komponen dari 3 era sistem lembaga pemasyarakatan yang terdapat di dalam tabel di bawah ini.

Tabel 15

Perbandingan Sistem Penjara dan Sistem Pemasyarakatan No

.

Sistem Komponen

Kepenjaraan Pemasyarakatan Pemasyarakatan Baru

1. Filsafat Liberal Pancasila Pancasila

2. Dasar Hukum Gestichten Reglemen Gestichten Reglemen dengan perubahannya Undang-Undang Pemasyarakatan

3. Tujuan Penjeraan Pembinaan dengan

tahap

Admisi/Orientasi/Pe mbinaan, Asimilasi

Meningkatkan kesadaran narapidana (conciousness) dengan tahap intropeksi,

motivasi dan self

development

4. Pendekatan Sistem

Security Approach

Security Approach Conciousness Approach

5. Klasifikasi Maximum Security

Maximum Security,

Medium Security,

Minimum Security

High Conciousness, Half

Conciousness, Low

Conciousness

6. Pendekatan Klasifikasi

Maximum Security

Maximum Security,

Medium Security,

Minimum Security

High Conciousness, Half

Conciousness, Low

Conciousness

7. Perlakuan Narapidana

Obyek Subyek Subyek/Obyek

8. Orientasi Pembinaan

Top Down

Approach

Top Down Approach Bottom Up Approach

4

C.I Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, h.3. 5


(39)

9. Sifat Pembinaan

Eksploitasi Melatih bekerja Mandiri/percaya diri dapat mengembangkan

kemampuan

diri/pengembangan sumber daya manusia

10. Remisi Anugerah

(1917-1949)

Hak (1950-1986) Hak dan kewajiban (1987

sampai dengan ada

perubahan) 11. Bentuk

bangunan

Penjara Penjara (bangunan

lama), bangunan

baru belum

sepenuhnya mencerminkan LP

Perlu dirancang secara khusus

12. Narapidana Dibiarkan/tida k diberikan bimbingan, pembinaan

Diberikan

bimbingan/pembinaa n

Dikenalkan dirinya

sendiri, diberikan teknik motivasi diri sendiri/self development,

pengembangan sumber daya manusia.

13. Keluarga Kurang diberi kesempatan untuk ikut membina, kepenjaraan tidak terbuka sifatnya. Peran keluarga diabaikan dalam ikut serta membina naraidana

Diberi kesempatan untuk ikut membina (cuti dan lain-lain)

Kesempatan penuh,

keluarga diberi tahu tahap pembinaan yang dilakukan oleh LP bagi narapidana. Perkembangan kesadaran narapidana yang masih saudaranya.

14. Pembina/pe merintah

Ditekankan untuk

membuat jera narapidana sehingga tidak melakukan tindak pidana lagi. Karena jera masuk penjara.

Sebagai pembina, mengarahkan pidana

untuk

setidak-tidaknya tak akan melakukan tindak pidana lagi stelah keluar dari LP

Panutan. Sepanjang

petugas LP tidak mampu

menjadi penautan,

sebaiknya mundur saja dari tugasnya. Petugas LP

harus mempunyai

kemampuan memotivasi para narapidana dan mengembangkan

kepribadian/diri secara uuth. Harus selalu berpikir secara positif dan konstruktif.


(40)

Dari tabel 1 dapat dilihat berbagai macam komponen yang ada dalam sistem pembinaan narapidana. Perbandingan ketiganya menampakkan kemana arah pembinaan narapidana akan dibawa. Pada sistem pertama yaitu kepenjaraan, narapidana diperlakukan seperti layaknya penjahat yang dikekang kebebasannya dengan pengamanan tingkat maksimum (maximum security) dan tidak diberi pembinaan. Sehingga orientasi sistem ini lebih kepada pemberian efek jera. Selain itu, remisi merupakan hadiah atau anugerah yang diberikan oleh pemerintah yang sifatnya sangat langka.

Di era sistem pemasyarakatan dapat disimpulkan bahwa ada perubahan dalam sistem penjara menjadi sistem pemasyarakatan yang dimulai ketika Konferensi Dinas Kepenjaraan pada tahun 1964 yang dicetuskan oleh Dr. Sahardjo S.H. sama seperti sistem pemasyarakatan baru, sistem pemasyarakatan memiliki klasifikasi lembaga pemasyarakatan yang memiliki tingkat keamanan berbeda yaitu Maximum Security, Medium Security dan Minimum Security.

Letak perbedaannya adalah pada sistem pembinaan dan orientasi pembinaan. Pembinaan pada sistem pemasyarakatan baru memiliki tujuan untuk membina tidak hanya keterampilan tetapi juga kesadaran narapidana akan eksistensinya sebagai manusia agar narapidana tidak canggung ketika kembali kepada masyarakat.6

6


(41)

b. Metode Pembinaan

Metode pembinaan merupakan cara dalam penyampaian materi pembinaan agar efektif dan efisien diterima oleh narapidana, baik perubahan dalam berpikir, bertindak atau bertingkah laku. Berdasarkan kebutuhan narapidana, metode pembinaan dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1. Pendekatan dari atas (Top Down Approach)

Dalam metode ini, materi pembinaan berasal dari pembina, atau paket pembinaan bagi narapidana telah disediakan dari atas. Narapidana tidak ikut menentukan jenis pembinaan yang akan dijalaninya tetapi langsung saja menerima pembinaan dari para pembina. Pembinaan dari atas dipilihkan materi yang umum seperti pendekatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pengetahuan berbangsa dan bernegara atau pengetahuan umum lainnya yang berguna setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan pengetahuan khusus yaitu pemberian keterampilan. Pembinaan dari atas harus memperhatikan faktor situasi, artinya pembina harus mampu mengubah situasi yang berada dalam sebuah pembinaan, menjadi sebuah situasi yang disukai dan disepakati oleh peserta pembinaan sehingga mampu menghilangkan kendala situasi pribadi. Semua narapidana yang ikut dalam pembinaan tersebut akan terikat oleh situasi pembinaan. Keterikatan tersebut akan


(42)

sangat berguna karena secara penuh dan semangat yang sama ikut berperan dalam upaya pembinaan diri sendiri.

2. Pendekatan dari bawah (Bottom Up Approach)

Pendekatan dari bawah merupakan suatu cara pembinaan narapidana dengan memperhatikan kebutuhan pembinaan atau kebutuhan belajar narapidana. Tidak setiap narapidana mempunyai kebutuhan belajar yang sama, minat belajar yang sama. Semua sangat tergantung dari pribadi narapidana sendiri, dan fasilitas pembinaan yang dimiliki Lembaga Pemasyarakatan. Pembinaan narapidana dengan pendekatan dari bawah membawa konsekuensi yang tinggi bagi para pembina, karena pihak pembina harus mampu menyediakan sarana dan prasarana bagi tercapainya tujuan pembinaan. Macam pembinaan akan menjadi beragam namun, jika fasilitas dan sarana tidak memadai atau tidak ada maka kebutuhan belajar dan kebutuhan pembinaan akan dibatasi oleh fasilitas dan sarana yang ada.

Selain dua pendekatan di atas, ada pula metode pembinaan perorangan (individu) dan kelompok.

1. Metode pembinaan perorangan (Individual)

Metode pembinaan perorangan dibagi menjadi dua yaitu: a. Dari dalam diri

Kemauan untuk membina diri sendiri dapat muncul dari dalam diri sendiri. Munculnya kemauan untuk membina diri sendiri setelah


(43)

seseorang mengenal diri sendiri. Dapat terjadi seorang narapidana yang telah mengenal diri sendiri tidak memiliki kemauan untuk membina diri. Semua terjadi apabila pengenalan diri tidak disertai dengan motivasi untuk merubah diri. Pembinaan dan pendidikan dengan orientasi kebutuhan tenaga kerja bagi masyarakat, atau usaha kewirausahaan akan membangkitkan narapidana untuk membina diri sendiri sesuai dengan tujuan hidupnya, sesuai dengan cita-citanya.

b. Dari luar diri

Pembinaan dari luar diri dapat berupa pembinaan seara umum seperti kesadaran hukum, pendekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, pengamalan Pancasila dan lain sebagainya. Sedangkan pembinaan secara khusus yaitu keterampilan, konsultasi psikologi, dan lain-lain. Pembinaan dari luar didasari atas analisa pribadi seorang narapidana. Jadi kebutuhan pembinn ditentukan oleh pembina. Pembinaan dari luar diri dapat berupa kursus-kursus keterampilan secara tertulis misalnya kursus bahas asing, kuliah di universitas, dan lain-lain. Lembaga pemasyarakatan dapat bekerja sama dengan lembaga yang ada jika memang tidak ada sarana atau fasilitas yang mendukung di dalam Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri.


(44)

2. Metode Pembinaan Perkelompok

Pembinaan secara kelompok dapat dilakukan dengan metode ceramah, tanya jawab, simulasi, permainan peran, atau pembentukan tim (team building). Dalam pembentukan tim, semua anggota tim harus ikut aktif ambil bagian dalam terbentuknya suatu tim yang tangguh. Dalam pembinaan Narapidana untuk mencapai hasil yang maksimal, Narapidana dapat menyusun pembinaan bagi diri sendiri, baik secara diri sendiri maupun perkelompok. Dalam pembinaan secara kelompok, Narapidana harus diajak untuk memahami arti nilai-nilai positif yang ada di dalam masyarakat atau di kelompok, untuk dijadikan bahan pembinaan secara kelompok. Karena setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana akan berbaur lagi dengan masyarakat atau kelompok (keluarga), sehingga nilai positif yang tumbuh dalam keluarga, kelompok, masyarakat akan sangat berguna bagi pemahaman hidup bermayarakat, hidup dalam saling ketergantungan.

c. Tujuan, Prinsip, dan Faktor Pelaksanaan Pembinaan Narapidana

Perkembangan tujuan pembinaan bagi narapidana berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan. Pada awalnya, pidana penjara digunakan sebagai pembalasan dendam dari masyarakat yang dirugikan oleh pelaku tindak pidana. Perkembangan selanjutnya, seiring perubahan


(45)

sistem penjara menjadi sistem pemasyarakatan, tujuan pidana tidak lagi menjadi pembalasan dendam tetapi dibina untuk kemudian dimasyarakatkan.

Di Indonesia, tujuan pemidanaan tertuang dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2002 Bab III tentang Pemidanaan, Pidana dan Tindakan pasal 50 ayat (1) yaitu:

a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

b) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berharga.

c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d) Membebaskan rasa bersalah dari diri terpidana.

Dari uraian tujuan pemidanaan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan. Tujuan tersebut dapat dibagi menjadi tiga hal yaitu:

1) Setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan tidak lagi melakukan tindak pidana.

2) Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negaranya.


(46)

3) Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapat kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.7

Karena memiliki spesifikasi tertentu, maka dalam membina narapidana tidak dapat disamakan dengan kebanyakan orang. Membina narapidana harus menggunakan prinsip-prinsip pembinaan narapidana. Prinsip-prinsip paling mendasar kemudian dinamakan prinsip-prinsip dasar pembinaan narapidana. Ada empat komponen penting dalam pembinaan narapidana, yaitu:8

1) Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri. 2) Keluarga

3) Masyarakat

4) Petugas pemerintah dan kelompok masyarakat.

Dalam melaksanakan pembinaan di lingkungan Lapas terdapat faktor- faktor yang perlu mendapat perhatian karena dapat berfungsi sebagai faktor pendukung dan dapat pula menjadi faktor penghambat. Faktor-faktor yang dimaksud antara lain :

1) Pola dan tata letak bangunan.

Pola dan tata letak bangunan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PL.01.01 Tahun 1985 tanggal 11 April 1985 tentang Pola Bangunan Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara perlu diwujudkan,

7

C.I Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, h. 47.

8Ibid


(47)

karena pola dan tata letak bangunan merupakan faktor yang penting guna mendukung pembinaan, sesuai dengan tujuan pemasyarakatan. 2) Struktur Organisasi.

Mekanisme kerja, khususnya hubungan dan jalur-jalur perintah atau komando dan staf hendaknya mampu dilaksanakan secara berdaya guna agar pelaksanaan tugas di setiap unit kerja berjalan dengan lancar. Setiap petugas harus mengerti dan dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing. Namun demikian, disiplin dan penerapan struktur organisasi hendaknya tidak menjadikan tugas-tugas menjadi lamban apabila sampai terlambat. Dengan perkataan lain struktur organisasi tidak boleh menjadi faktor penghambat, sehingga harus diperlakukan secara luwes, sepanjang tidak melanggar ketentuan yang ada.

3) Kepemimpinan Kalapas

Kepemimpinan Kalapas akan mampu menjadi faktor pendukung apabila kepemimpinannya mampu mendorong motivasi kerja bawahan, membina dan memantapkan disiplin, tanggung jawab dan kerjasama serta kegairahan bekerja. Demikian juga kemampuan profesional dan integritas moral Kalapas sangat dituntut agar kepemimpinannya dapat menjadi faktor pendukung sekaligus menjadi teladan.


(48)

4) Kualitas dan kuantitas Petugas.

Haruslah selalu diusahakan agar kualitas petugas dapat mampu menjawab tantangan tantangan dan masalah-masalah yang selalu ada daln muncul di lingkungan Lapas disamping penguasaan terhadap tugas-tugas rutin. Kekurangan dalam kualitas atau jumlah petugas hendaknya dapat diatasi dengan peningkatan kualitas dan pengorganisasian yang rapih, sehingga tidak menjadi faktor penghambat atau bahkan menjadi ancaman bagi pembinaan dan keamanan atau ketertiban.

5) Manajemen.

Hal ini berkaitan erat dengan mutu kepemimpinan, struktur organisasi dan kemampuan atau keterampilan pengelolaan (managerial skill) dari pucuk pimpinan maupun staf sehingga pengelolaan administrasi di lingkungan Lapas dapat berjalan tertib dan lancar. Dalam kaitan ini perlu dikaji terus menerus mengenai tipe manajemen pemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Indonesia. 6) Kesejahteraan Petugas.

Disadari sepenuhnya bahwa faktor kesejahteraan petugas pemasyarakatan memang masih memprihatinkan, namun faktor kesejahteraan ini tidak boleh menjadi faktor yang menyebabkan lemahnya pembinaan dan keamanan atau ketertiban.


(49)

7) Sarana dan Fasilitas Pembinaan

Kekurangan sarana dan fasilitas baik dalam jumiah maupun mutu telah menjadi penghambat pembinaan bahkan telah menjadi salah satu penyebab rawannya keamanan atau ketertiban. Adalah menjadi tugas dan kewajiban bagi Kalapas untuk memelihara dan merawat semua sarana dan fasilitas yang ada dan mendayagunakannya secara optimal. 8) Anggaran

Sekalipun dirasakan kurang mencukupi untuk kebutuhan seluruh program pembinaan, namun hendaklah diusahakan memanfaatkan anggaran yang tersedia secara berhasil guna dan berdaya guna.

9) Sumber daya alam

Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan konsep pemasyarakatan terbuka dan produktif, maka sumber daya alam merupakan salah satu faktor pendukung. Namun demikian, tanpa sumber daya alam pun pembinaan tetap harus dapat berjalan dengan memanfaatkan sarana dan fasilitas-fasilitas yang ada.

10)Kualitas dan Ragam Program Pembinaan

Kualitas bentuk-bentuk program pembinaan tidak semata-mata ditentukan oleh anggaran ataupun sarana dan fasilitas yang tersedia. Diperlukan program-program kreatif tetapi murah dan mudah serta memiliki dampak edukatif yang optimal bagi warga binaan pemasyarakatan.


(50)

11)Masalah-masalah lain yang berkaitan dengan warga binaan pemasyarakatan.

Dalam hal ini para petugas dituntut untuk mampu mengenal masalah-masalah lain yang berkaitan dengan warga binaan pemasyarakatan agar dapat mengatasinya dengan tepat. Umumnya masalah itu berkisar pada :

a) Sikap acuh tak acuh keluarga napi, karena masih ada keluarga napi yang bersangkutan tidak memperhatikan lagi nasib napi tersebut. b) Partisipasi masyarakat yang masih perlu juga ditingkatkan karena

masih didapati kenyataan sebagian anggota masyarakat masih enggan menerima kembali bekas napi.

c) Kerjasama dengan instansi (badan) tertentu baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung masih perlu ditingkatkan juga, karena masih ada diantaranya yang belum terketuk hatinya untuk membina kerjasama.

d) Informasi dan pemberitaan-pemberitaan yang tidak seimbang, bahwa cenderung selalu mendiskreditkan Lapas sehingga dapat merusak citra Pemasyarakatan di mata umum.

Dengan mengenali faktor-faktor tersebut baik yang ada di dalam lingkungan Lapas maupun dari luar, maka diharapkan pembinaan yang dilakukan dapat dilaksanakan dengan lebih baik.9

9

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M. 02-Pk.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan Menteri Kehakiman Republik Indonesia, Bab V tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Pembinaan.


(51)

d. Tahap Pembinaan Narapidana

Seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya bahwa pembinaan adalah suatu kegiatan yang memiliki proses. Maka, pembinaan memiliki tahap-tahap dalam menjalankannya. Tahap-tahap pembinaan dalam konteks pembinaan narapidana dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu:10

a. Tahap awal yaitu bagi Narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana. Pembinaan narapidana pada tahap awal ini meliputi:

1. Masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan paling lama 1 (satu) bulan.

2. Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; 3. Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;

dan

4. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.

b. Tahap lanjutan yaitu tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ (satu per dua) dari masa pidana; dan tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana. Tahap lanjutan ini meliputi:

10

Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan Bab II Pembinaan Bagian Kesatu Narapidana pasal 7 ayat (2) kemudian diperjelas di dalam pasal 9 dan pasal 10.


(52)

1. perencanaan program pembinaan lanjutan; 2. pelaksanaan program pembinaan lanjutan;

3. penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan 4. perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.

c. Pembinaan tahap akhir yaitu dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan. Pembinaan tahap akhir ini meliputi:

1. perencanaan program integrasi; 2. pelaksanaan program integrasi; dan

3. pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.

3. Kemandirian

a. Pengertian Kemandirian

Istilah kemandirian sering disebut dengan autonomy atau

independency. Autonomy merupakan suatu tendensi untuk mencapai sesuatu, mengatasi sesuatu, bertindak secara efektif terhadap lingkungan dan merencanakan serta mewujudkan rencana dan harapan-harapannya. Sedangkan independeny menurut Batia yang dikutip dari buku Masrun dartikan sebagai perilaku yang aktivitasnya diarahkan pada diri sendiri, tidak mengharapkan pengarahan dari orang lain, bahkan mencoba menyelesaikan dan memecahkan masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain.11

11


(53)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mandiri adalah keadaan dapat berdiri sendiri atau tidak bergantung pada orang lain. Sedangkan kemandirian adalah hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain.12 Menurut Elkind dan Weiner mendefinisikan kemandirian sebagai kebebasan bertindak, tidak bergantung pada individu lain, tidak terpengaruh lingkungan dan bebas mengatur kebutuhan sendiri.13

Bernadib yang dikutip dari Yulianti mengartikan kemandirian sebagai suatu keadaan jiwa seseorang yang mampu memilih norma dan nilai-nilai atas keputusannya sendiri, mampu bertanggung jawab atas segala perilaku dan perbuatan individu yang bersangkutan. Kemandirian yang dimiliki menjadikan ketergantungan kepada pihak lain sangat minimal.14

Menurut Greenberger bahwa kemandirian mencakup beberapa istilah antara lain autonomy, independency, dan self-reliance.

Autonomy dimaksudkan suatu tendensi untuk mencapai sesuatu, mengatasi sesuatu, bertindak secara efektif terhadap lingkungan dan merencanakan serta mewujudkan rencana dan harapan-harapannya yang timbul karena kekuatan dorongan dari dalam. Secara fungsional

autonomy juga dapat diartikan sebagai suatu tendensi untuk bersikap

12

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, h. 710.

13

S. Nuryoto, Kemandirian Remaja Ditinjau dari Tahap Perkembangan, Jenis Kelamin, dan Peran Jenis (Anima Indonesia Psychological Journal No. 2), (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1993), h.51.

14

P.D. Yulianiti, Perbedaan Kemandirian Ditinjau Dari Pola Asuh Orangtua dan Jenis Kelamin Pada Siswi Kelas I SMU Negeri 1 Ungaran Tahun Ajaran 2003/2004, (UKSW: 2004), h.9.


(54)

secara bebas dan original dalam arti tidak menggantungkan kepada orang lain. Independency diartikan sebagai gerak yang mengarah kepada kesesuaian dengan kebutuhan-kebutuhan persepsi atau pendapat sendiri daripada merespon terhadap tuntutan lingkungan atau pengaruh orang lain, aktivitas yang dilakukan diarahkan kepada diri sendiri dan kritis terhadap pengarahan ataupun pengaruh dari orang lain. Bahkan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya cenderung mencoba menyelesaikan dan memecahkan masalahnya sendiri tanpa minta bantuan orang lain. Sedangkan self-reliance

merupakan perilaku yang didasarkan percaya pada diri sendiri dimana pusat kendali berada pada diri sendiri.15

Menurut Mutadin16, kemandirian mengandung pengertian:

a. Suatu keadaan dimana seseorang memiliki hasrat dalam bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya.

b. Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

c. Memiliki kepercayaan diri dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

d. Bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan.

Martin dan Stendler menyatakan bahwa kemandirian ditujukan dengan kemampuan seseorang berdiri di atas kaki sendiri, mengurus

15

Masrun dkk, Studi Mengenai Kemandirian Pada Penduduk Di Tiga Suku Bangsa (Jawa, Batak, Bugis), (Yogyakarta: Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 1986), h. 10.

16


(55)

diri sendiri dalam semua aspek kehidupannya, ditandai dengan adanya inisiatif, kepercayaan diri dan kemampuan mempertahankan diri dan hak miliknya.17

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat berdiri sendiri, tanpa bergantung kepada orang lain, siap bersaing untuk maju, ditandai dengan adanya sikap inisiatif dan mampu memecahkan masalahnya sendiri dan dapat bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Menurut Hetherington yang dikutip oleh Spencer dan Kass dalam buku Afiatin, kemandirian ditunjukkan dengan adanya kemampuan individu untuk mengambil inisiatif, kemampuan mengatasi masalah, penuh ketekunan, memperoleh kepuasan dari usahanya serta berkeinginan mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain.18

b. Aspek-Aspek Kemandirian

Kemandirian adalah salah satu ciri kepribadian yang penting yang dapat membantu individu mencapai tujuan hidup, untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, dan memperoleh kebebasan. Havighurst menyatakan kemandirian memiliki beberapa aspek yaitu:19

17

T. Afiatin, Persepsi Pria dan Wanita dalam Kemandirian (Anima Indonesia Psychological Journal No. 2), (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1993), h.8.

18 Ibid,

h. 8.

19


(56)

a. Kemandirian Emosi

Ditunjukkan dengan mampu mengendalikan emosi dan tidak ada ketergantungan kebutuhan emosi dari orang lain.

b. Kemandirian Ekonomi

Ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatur ekonomi dan tidak tergantung dari orang lain dalam hal kebutuhan ekonomi. c. Kemandirian Intelektual

Ditunjukkan dengan kemamapuan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi.

d. Kemandirian Sosial

Ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain atau menunggu aksi dari orang lain.

Kemandirian yang juga merupakan bagian dari kedewasaan mencakup beberapa hal yaitu:20

a. Pengaturan Diri Sendiri

Kemandirian dapat dilihat dari kemampuan individu untuk dapat mengatur dan mengarahkan dirinya dengan tepat serta dapat menjaga diri sendiri. Individu yang memilki kontrol pribadi yang baik merasa dirinya sudah menjadi orang dewasa dan cukup matang, dapat bertindak secara tepat, melakukan sesutau yang berkaitan dengan dirinya tanpa bantuan orang lain serta memiliki pengaturan yang baik.

20

K. Wahono, Arti Kemandirian Bagi Mahasiswa UI (Studi Kasus Mahasiswa UI yang Tinggal Terpisah dari Orang Tua dan Tinggal Bersama Orang Tua), (Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997), h.17.


(57)

b. Kemandirian Secara Ekonomi

Merupakan kemampuan seseorang untuk menopang kebutuhannya, memiliki pekerjaan, tidak tergantung secara finansial dengan orang lain, dapat menghasilkan uang sendiri dan tidak menerima bantuan dalam hal keuangan.

c. Dapat mengambil Keputusan Sendiri

Individu yang mandiri digambarkan sebagai individu yang dapat mengambil keputusan sendiri dengan baik, tidak tergantung pada orang tua atau orang lain dalam mengambil atau membuat keputusan serta dapat menjalankan keputusannya dengan penuh tanggung jawab.

d. Terlibat Dalam Kegiatan Di Luar Rumah

Seseorang dikatakan mandiri apabila ia telah tinggal terpisah dari orang tuanya, misal mahasiswa yang tinggal terpisah karena menuntut ilmu, atau seseorang anak yang telah menikah dan telah memiliki kehidupan rumah tangga sendiri.

e. Kemandirian Dalam Sikap dan Tata Nilai

Dalam sikapnya, seorang individu yang mandiri mampu menjadi seseorang yang unik yaitu memiliki keyakinan, nilai, dan pendapatnya sendiri. Individu harus mampu merencanakan kehidupannya seperti merencanakan pendidikan, karir, bidang pekerjaan yang ditekuni.


(58)

f. Kemandirian Dalam Emosi

Seseorang yang telah mandiri dapat memutuskan ikatan emosi yang dimiliki dengan keluarganya sehingga mampu membuat keputusan sendiri serta memecahkan masalah dalam kehidupannya.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian pada remaja menurut Masrun21, yaitu:

a. Usia

Pengaruh dari orang lain akan berkurang secara perlahan-lahan pada saat anak menginjak usia lebih tinggi. Pada usia remaja mereka lebih berorientasi internal, karena percaya bahwa peristiwa peristiwa dalam hidupnya ditentukan oleh tindakannya sendiri. Anak-anak akan lebih tergantung pada orang tuanya, tetapi ketergantungan itu lambat laun akan berkurang sesuai dengan bertambahnya usia.

b. Jenis kelamin

Keinginan untuk berdiri sendiri dan mewujudkan dirinya sendiri merupakan kecenderungan yang ada pada setiap remaja. Perbedaan sifat-sifat yang dimiliki oleh pria dan wanita disebabkan oleh perbedaan pribadi individu yang diberikan pada anak pria dan

21


(59)

wanita. Dan perbedaan jasmani yang menyolok antara pria dan wanita secara psikis menyebabkan orang beranggapan bahwa perbedaan kemandirian antara pria dan wanita.

c. Konsep diri

Konsep diri yang positif mendukung adanya perasaan yang kompeten pada individu untuk menentukan langkah yang diambil. Bagaimana individu tersebut memandang dan menilai keseluruhan dirinya atau menentukan sejauh mana pribadi individualnya. Mereka yang memandang dan menilai dirinya mampu, cenderung memiliki kemandirian dan sebaliknya mereka yang memandang dan menilai dirinya sendiri kurang atau cenderung menggantungkan dirinya pada orang lain.

d. Pendidikan

Semakin bertambahnya pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang, kemungkinan untuk mencoba sesuatu baru semakin besar, sehingga orang akan lebih kreatif dan memiliki kemampuan. Dengan belajar seseorang dapat mewujudkan dirinya sendiri sehingga orang memiliki keinginan sesuatu secara tepat tanpa tergantung dengan orang lain.

e. Keluarga

Orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam melatarkan dasar-dasar kepribadian seorang anak, demikian pula dalam pembentukan kemandirian pada diri seseorang.


(60)

f. Interaksi sosial

Kemampuan remaja dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial serta mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik akan mendukung perilaku remaja yang bertanggung jawab, mempunyai perasaan aman dan mampu menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi dengan baik tidak mudah menyerah akan mendukung untuk berperilaku mandiri.

Dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam mencapai kemandirian seseorang tidak dapat terlepas dari faktor-faktor yang mendasari terbentuknya kemandirian itu sendiri. Faktor-faktor ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan yang selanjutnya akan menentukan seberapa jauh seorang individu bersikap dan berpikir cara mandiri dalam menjalani kehidupan lebih lanjut.

d. Ciri-Ciri Kemandirian

Kemandirian mempunyai ciri-ciri yang beragam, banyak dari para ahli yang berpendapat mengenai ciri-ciri kemandirian. Menurut Gilmore dalam Chabib Thoha22 merumuskan ciri kemandirian itu meliputi:

a) Ada rasa tanggung jawab

b) Memiliki pertimbangan dalam menilai problem yang dihadapi secara intelegen

22

Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996), h. 123.


(61)

c) Adanya perasaan aman bila memiliki pendapat yang berbeda dengan orang lain

d) Adanya sikap kreatif sehingga menghasilkan ide yang berguna bagi orang lain.

Ciri-ciri kemandirian menurut Lindzey & Ritter dalam Hasan Basri23 berpendapat bahwa individu yang mandiri mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1) Menunjukkan inisiatif dan berusaha untuk mengejar prestasi 2) Secara relatif jarang mencari pertolongan pada orang lain 3) Menunjukkan rasa percaya diri

4) Mempunyai rasa ingin menonjol

Setelah melihat ciri-ciri kemandirian yang dikemukakan dari beberapa pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kemandirian tersebut antara lain:

i) Individu yang berinisiatif dalam segala hal

ii) Mampu mengerjakan tugas rutin yang

dipertanggungjawabkan padanya, tanpa mencari pertolongan dari orang lain

iii)Memperoleh kepuasan dari pekerjaannya

iv)Mampu mengatasi rintangan yang dihadapi dalam mencapai kesuksesan

23

Hasan Basri, Remaja Berkualitas (Problematika Remaja dan Solusinya), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 54.


(62)

v) Mampu berpikir secara kritis, kreatif dan inovatif terhadap tugas dan kegiatan yang dihadapi

vi)Tidak merasa rendah diri apabila harus berbeda pendapat dengan orang lain, dan merasa senang karena dia berani mengemukakan pendapatnya walaupun nantinya berbeda dengan orang lain

4. Pemberdayaan Narapidana Dalam Perspektif Kesejahteraan Sosial

a. Pengertian Pemberdayaan

Definisi pemberdayaan dalam arti sempit, yang berkaitan dengan sistem pengajaran antara lain dikemukakan oleh Merriam Webster dan Oxford English Dictionary kata ”empower

mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power of authority dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable. dalam pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuasaan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain.

Sedangkan, dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan. Sedangkan proses pemberdayaan dalam konteks aktualisasi diri berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan individu dengan menggali segala potensi yang dimiliki oleh individu


(63)

tersebut baik menurut kemampuan keahlian (skill) ataupun pengetahuan (knowledge).24

Pada intinya pemberdayaan adalah membantu klien untuk memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki antara lain dengan transfer daya dari lingkunganya.25

b. Konsep Pemberdayaan Narapidana

Konsep pemberdayaan yang diwujudkan melalui pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Terbuka mengacu kepada konsep

Community Based Corretions. Menurut Snarr26, Community Based Correction (CBC) berkembang pada paruh terakhir abad ke-20, khususnya mulai tahun 1967. Tulang punggung pelaksanaan CBC di awal perkembangannya adalah probation (pidana bersyarat) dan parole

(pembebasan bersyarat). Secara umum, tema sentral dari CBC ini adalah penyediaan pelayanan (pembinaan terhadap narapidana) dengan keterlibatan masyarakat. Tentang keterkaitan erat antara konsep Reintegrasi Sosial dengan CBC ini, Snarr menegaskan, bahwa (upaya)

24

Mardikanto dan Soebianto, Pemberdayaan Masyarakat, (Bandung: Alfabeta), h. 28.

25

Onny S. Prijono dan A. M. W. Pranaka, Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan, Dan Implementasi, (Jakarta: CSIS), h. 8.

26


(1)

(2)

Lembar Catatan Observasi

Kegiatan Warga Binaan Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta

Tanggal : 11 Desember 2013

Waktu : Pukul 09.00 WIB s.d 13.30 WIB

Hasil Observasi

Peneliti datang pada pukul 09.00 WIB dengan melakukan perjanjian terlebih dahulu di hari sebelumnya dengan Bapak Rio Chaedir selaku Kasi Perawatan Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta untuk melakukan wawancara. Saat peneliti tiba di Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta, peneliti dipersilahkan untuk menemui Pak Rio Chaedir di ruangannya yang terletak di gedung kedua. Di hari biasa atau hari kerja seperti ini, banyak penjaga yang bertugas berjaga di sekitar Lapas. Diantaranya dua orang di Pos jaga yang terletak beberapa meter sebelum pintu masuk Lapas Terbuka, dua orang yang berjaga di meja penerima tamu, dua orang berjaga di meja piket yang terletak di aula.

Ketika peneliti tiba di ruangannya, Pak Rio menyambut peneliti dengan ramah dan mempersilahkan peneliti untuk duduk di kursi yang ada di depan meja kerjanya dan memulai wawancara. Saat peneliti mengajukan pertanyaan pun ia tidak ragu untuk menjawab. Hal ini dapat peneliti lihat melalui caranya menjawab pertanyaan penelitian yaitu segera setelah pertanyaan diajukan ia pun memberikan jawaban. Jawaban yang diberikan sesuai dengan pengalamannya selama bertugas di Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta.

Setelah melakukan wawancara yang berlangsung kurang lebih selama 1 jam, peneliti melanjutkan untuk mengamati keadaan Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta. Peneliti duduk di sebuah bangku yang tersedia di aula ruang tunggu yang juga merupakan tempat berkumpulnya para warga binaan dan pegawai Lapas di saat istirahat. Pada saat itu waktu menunjukkan pukul 10.30 WIB, dimana cuaca pun sedang hujan deras. Dengan cuaca tersebut terlihat bahwa sebagian besar warga binaan hanya berdiam diri di dalam ruang paviliun mereka, namun


(3)

ada beberapa warga binaan yang melakukan kegiatan di rumah bilik tempat untuk budidaya cacing. banyak di antara mereka cukup menikmati waktu senggang mereka, namun ada pula yang menyibukkan diri dengan kegiatan mereka masing-masing.


(4)

Lembar Catatan Observasi

Kegiatan Warga Binaan Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Klas IIB Jakarta

Tanggal : 20 Desember 2013

Waktu : Pukul 10.15 WIB s.d 13.00 WIB

Hasil Observasi

Peneliti tiba di Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta pukul 10.15 WIB untuk melakukan wawancara dengan Pak Iwan selaku Staf Kegiatan Kerja (Giatja) mengenai pelaksanaan pembinaan di Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta. Saat tiba, peneliti diminta untuk menunggu terlebih dahulu di aula krena akan ada petugas yang memberitahukan kedatangan peneliti kepada Pak Iwan. Selang 10 menit kemudian, Pak Iwan pun datang dan peneliti memperkenalkan diri dengan menyebutkan maksud kedatangan peneliti kepada Pak Iwan. Beliau pun dengan ramah menyambut dan mempersilahkan untuk dimulainya wawancara. Kami berdua duduk berhadap-hadapan di salah satu meja dan kursi yang ada di aula.

Wawancara berlangsung dengan lancar selama kurang lebih 1 jam. Setelah selesai melakukan wawancara, Pak Iwan pun undur diri karena akan melaksanakan Sholat Jumat. Beliau mempersilahkan peneliti jika ingin lebih lama berada di Lapas Terbuka untuk melihat-lihat. Suasana di Lapas Terbuka pada hari Jumat sangat sepi, tidak banyak warga binaan yang lalu lalang. Karena sebagian besar dari mereka melaksanakan Sholat Jumat. Warga binaan yang tidak melaksanakan ada yang menonton tv di aula dan ada pula yang berdiam diri di paviliunnya dengan sesekali keluar masuk untuk suatu keperluan. Setelah Sholat Jumat selesai, mereka kembali ke paviliun masing-masing untuk berganti baju dan melaksanakan kegiatan masing-masing. Ada warga binaan yang membersihkan halaman dan lapangan yang ada di lingkungan Lapas Terbuka dan ada pula yang hanya bermain dan bercengkrama dengan petugas di aula.


(5)

Waktu : Pukul 08.00 WIB s.d 10.30 WIB

Hasil Observasi

Hari Minggu, 12 Januari 2014 peneliti datang ke Lapas Terbuka Klas IIB Jakarta untuk melakukan wawancara dengan seorang warga binaan yang melaksanakan program Bekerja Pada Pihak Ketiga (P3). Saat peneliti sampai di Lapas, suasana Lapas dalam keadaan sepi dan lengang. Tidak seperti hari biasa manakala banyak petugas yang berjaga, di hari Minggu hanya nampak dua orang yang berjaga di Pos jaga. Namun, penjagaan di meja penerima tamu dan meja piket nampak kosong. Warga binaan pun terlihat santai dan lalu lalang dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang sedang bersantai di aula sambil menonton televisi dan ada pula yang sedang bermain biliard. Sebagian warga binaan lainnya melakukan kegiatan bersih-bersih.

Peneliti tiba pada pukul 08.00 WIB dengan perjanjian di hari sebelumnya untuk melakukan wawancara. Warga binaan berinisial J yang melaksanakan P3 pun menyambut peneliti dengan ramah dan meminta untuk duduk di meja yang dekat dengan pagar aula yang berbatasan dengan anak sungai Krukut yang mengalir di depan gedung. Suasana Lapas yang lengang dan sepi membuat wawancara berjalan lancar.

Warga binaan berinisial j pun dengan lancar menceritakan awal mula mengapa ia bisa masuk ke penjara dan pindah ke Lapas Terbuka serta mengikuti program P3. Ia merupakan slaah satu warga binaan yang cukup aktif dan dikenal baik oleh petugas. Hal itu dibuktikan ketika di sela wawancara ada petugas yang hendak pulang karena telah selesai melaksanakan shift jaga malam, pamit dan mengobrol sebentar dengan Bapak J. Pada saat wawancara belum dimulai pun terlihat beberapa warga binaan menyapa Bapak J dengan sangat ramah.


(6)

Setelah wawancara selesai, peneliti melanjutkan kegiatan mengamati suasana Lapas Terbuka. Namun, tidak ada perubahan aktivitas yang signifikan dari warga binaan setelah peneliti selesai melaksanakan wawancara. Sebagian warga binaan masih ada yang berada di aula untuk menonton televisi dan bermain biliard ataupun hanya sekadar bersantai sambil merokok. Sedangkan warga binaan yang lain ada yang berada di paviliunnya dan ada pula yang melaksanakan kegiatan bersih-bersih.