BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Bisnis Ritel - Pengaruh Strategi Bauran Pemasaran Ritel terhadap Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan Minimarket MES Mart Syariah Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Bisnis Ritel

  Banyak orang berfikir bahwa ritel adalah suatu bentuk usaha yang menjual barang disebuah toko saja. Ada beberapa pengertian mengenai usaha ritel ini. Salah satunya adalah bahwa ritel merupakan bentuk usaha yang memberikan nilai tambah kepada produk atau jasa yang dijual pada konsumen (Sugiarta, 2011). Banyak usaha yang bisa kita masukkan ke dalam bentuk usaha ritel ini, misalnya toko buku, toko pakaian bayi, toko elektronik, tempat potong rambut, restoran, jasa penjualan tiket musik, supermarket, dan departement store.

  Berman dan Evans dalam Sujana (2005) mendefinisikan kata ritel dalam kaitan retailmanagement sebagai ”those business activities involved in the sale of

  goods and services to consumers for their personal, family, or household use ”.

  Artinya keseluruhan aktivitas bisnis yang menyangkut penjualan barang dan jasa kepada konsumen untuk digunakan oleh mereka sendiri, keluarga, atau rumah tangganya.

  Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan tentang bisnis ritel, yang patut digaris bawahi antara lain : (1) penjualan kepada end user (konsumen akhir), dan (2) motivasi pembelian konsumen adalah untuk kepentingan sendiri (termasuk keluarganya) dan tidak untuk dijual kembali, atau paling tidak lebih dari separuh penjualannya adalah kepada konsumen untuk kepentingannya sendiri.

  Berman dan Evans dalam Sujana (2005) menyebutkan karakteristik- karakteristik suatu bisnis ritel yang membedakannya dengan entitas bisnis lainnya, yaitu : 1)

  Small enough quantity, yaitu partai kecil, dalam jumlah secukupnya untuk dikonsumsi sendiri dalam periode waktu tertentu.

  2) Impulse buying, yaitu kondisi yang tercipta dari ketersediaan barang dalam jumlah dan jenis yang sangat variatif sehingga menimbulkan banyaknya pilihan dalam proses belanja konsumen.

3) Store condition, yaitu kondisi lingkungan dan interior dalam toko.

  Adapun fungsi dari bisnis ritel menurut Sugiarta (2011) adalah sebagai berikut:

  1. Menyediakan barang dan jasa

  Retailer menyediakan variasi merek, ukuran, warna, dan cita rasa dalam

  satu tempat penjualan serta pilihan harga atas setiap variasi produk yang dijual, sehingga konsumen memiliki sejumlah alternatif pilihan yang disesuaikan dengan kebutuhannya.

  2. Menjual barang dalam eceran/pecahan Hal ini berarti retailer menjual dalam bentuk pecahan terkecil. Pabrikan memproduksi, lalu mengepak barang dalam karton sebelum mendistribusikannya kepada wholesaler kemudian meneruskannya kepada

  retailer . Retailer selanjutnya memecahkan karton tersebut ke dalam satuan sehingga memudahkan konsumen membeli sesuai kebutuhannya.

  3. Menyediakan stok/inventory

  Retailer harus selau menjaga ketesediaan stok barang dagangan,

  sehingga pada saat konsumen butuh barang selalu tersedia. Untuk itu,

  retailer harus benar-benar memahami kapan saatnya built up stock atau

  menaikkan stok dan kapan waktunya melakukan permintaan barang kepada distributor.

  4. Pelayanan

  Retailer harus memberikan pelayanan yang optimal kepada konsumen,

  yang memudahkan mereka membeli dan memanfaatkan produk yang dijual

  retailer . Memberikan pelayanan dalam hal ini bukan hanya melayani

  konsumen yang berbelanja ditoko, melainkan juga memberikan pelayanan yang bersifat tidak langsung, misalnya display yang memudahkan konsumen mencari barang yang dibutuhkan, kejelasan dan kesesuaian harga dirak dan pos, kebersihan lingkungan toko, penjelasan mengenai manfaat produk, bahkan kegesitan menghitung transaksi di kasir.

2.1.2 Ritel Modern

  Arti modern di sini adalah penataan barang menurut keperluan yang sama dikelompokkan di bagian yang sama yang dapat dilihat dan diambil langsung oleh pembeli, penggunaan alat pendingin udara, dan adanya pramuniaga profesional (Ma’ruf, 2005). Keberadaan bisnis ritel modernditandai dengan salah satu ciri, yaitu meningkatnya kebutuhan terhadap aplikasi teknologi sistem informasi. Seperti misalnya penggunaan aplikasi sistem operasi toko dengan komputer seperti : Point ofSales (POS), Electronic Data Interchange (EDI), dan EFT (Electronic FundTransfer), dimana aplikasi sistem tersebut diharapkan menunjang peningkatan efisiensi.

  Pada tahun 2004, macam-macam ritel modern di Indonesia adalah. 1)

  Minimarket: terjadi pertumbuhan sebanyak 1.800 buah selama 10 tahun sampai tahun 2002. Luas ruang minimarket adalah antara 50m

  2

  sampai 200m

  2 .

  2) Convenience store: gerai ini mirip minimarket dalam hal produk yang dijual, tetapi berbeda dalam hal harga, jam buka, luas ruang, dan lokasi.

  Convenience store

  ada yang buka 24 jam dengan luas antara 200 m

  2

  hingga 450 m

  2

  dan berlokasi di tempat yang strategis. Sebagian produknya sedikit lebih mahal daripada yang dijual minimarket.

  3) Specialty store: Sebagian masyarakat lebih menyukai berbelanja di toko di mana pilihan produk tersedia lengkap sehingga tidak harus mencari lagi toko lain. Keragaman produk disertai harga yang bervariasi dari yang terjangkau hingga yang premium membuat specialty store unggul. Contoh

  specialty store adalah Electronik City dan Automall.

  4) Factory outlet. 5) Distro atau distribution outlet. 6)

  Supermarket: sebanyak 700 buah berdiri dalam kurun waktu 10 tahun sampai tahun 2002. Supermarket kecil mempunyai luas ruang antara 300

  2

  2

  m sampai 1.100 m , sedangkan supermarket besar mempunyai luas antara

  2

  2 1.100 m sampai 2.300 m .

  7) Departement store atau toserba (toko serba ada) : gerai jenis ini mempunyai

  2

  ukuran luas ruang yang beraneka, mulai dari beberapa ratus m , hingga

  2

  2 2.000 m -3.000 m .

8) Perkulakan atau gudang rabat (semacam warehouse club).

  2

  2 9) sampai 4.700m .

  Superstore : mulai 2.300 m

  2

  10) .

  Hypermarket : luas ruang diatas 5.000 m Pusat belanja yang terdiri atas dua macam : mall dan trade centre. Mall memuat banyak gerai mulai dari toko (store) biasa sampai supermarket, dan foodcourt. Trade center mirip mall

  departement store, amusement center,

  tetapi tidak memiliki ruang publik seluas mall dan biasanya tidak tersedia departement store dan amusement center.

  Istilah pusat perbelanjaan mulai populer digunakan untuk menggantikan istilah one-stop shopping yang dikenalkan pada dasawarsa 1980-an. Pusat perbelanjaan adalah sekelompok lokasi usaha ritel dan usaha komersial lainnya yang direncanakan, dikembangkan, dimiliki, dan dikelola sebagai satu properti tunggal (Neo dan Wing, 2005). Sim, 1992 dalam Neo dan Wing (2005) menyebutkan, sebuah pusat perbelanjaan dipandang sebagai properti komersial yang memiliki multilantai untuk usaha ritel dan fasilitas pendukungnya : seperti tempat rekreasi, restoran, hotel, layanan medis, kantor, dan tempat tinggal. Pusat perbelanjaan menawarkan kenyamanan dengan menyediakan banyak toko di bawah satu atap. Dengan demikian waktu perjalanan bagi para pembelanja menjadi semakin pendek. Pusat perbelanjaan memadukan aktivitas belanja dengan hiburan, karena tersedia tempat untuk belanja, bersosialisasi, berjalan-jalan, dan makan.

2.1.3 Strategi Bauran Pemasaran Ritel

  Strategi ritel adalah pernyataan yang menjelaskan beberapa hal berikut ini:

  1. Pasar sasaran (target market), yaitu segmen- segmen pasar yang direncanakan untuk dilayani terkait dengan aktivitas memfokuskan sumber daya yang harus disiapkan oleh ritel.

  2. Format yang direncanakan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan target pasar. Format ritel adalah gabungan ritel didasarkan pada sifat atau ciri barang dan jasa yang ditawarkan, kebijakan penentuan harga, pemasangan iklan dan program promosi, desain toko, dan lokasi khusus.

  3. Dasar perencanaan ritel untuk memperoleh keunggulan bersaing yang dapat dipertahankan (sustainable competitive advantage), atau keuntungan dari persaingan yang dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Dengan demikian tiap strategi akan meliputi: 1. Pemilihan segmen target pasar dan penentuan format ritel.

2. Pengembangan keunggulan bersaing yang memungkinkan ritel untuk mengurangi tingkat kompetensi yang dihadapi.

  Konsep ritel adalah orientasi manajemen memfokuskan ritel dalam menentukan kebutuhan target pasar serta memenuhi kebutuhannya dengan lebih efektif dan efisien. Ritel yang berhasil harus memenuhi kebutuhan pelanggan pada segmen pasar yang dilayani secara lebih baik daripada yang dilakukan oleh pesaing. Untuk menjangkau pasar sasaran yang telah ditetapkan maka perusahaan perlu mengelola kegiatan pemasarannya dengan baik. Oleh karena itu perusahaan harus dapat merancang strategi bauran pemasarannya dengan baik. Strategi bauran pemasaran yang telah ditetapkan perusahaan sebaiknya selalu disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang dihadapi perusahaan. Dengan kata lain, strategi bauran pemasaran tersebut harus bersifat dinamis.

  Amir (2004) menyatakan bauran strategi ritel biasanya terdiri dari pengelolaan barang dagangan (Merchandising), penetapan harga, pengelolaan SDM, komunikasi pemasaran, pelayanan pelanggan, dan lokasi. Sedangkan Utami(2008) menyatakan bahwa Bauran ritel (retail mix) adalah kombinasi elemen- elemen produk, harga, lokasi, personalia, promosi, dan presentasi atau tampilan untuk menjual barang dan jasa untuk konsumen akhir yang menjadi pasar sasaran. Gambar2.1 menunjukkan gambar mengenai elemen- elemen dalam bauran ritel.

PRODUK PROMOSI PERSONALIA PASAR SASARAN PRESENTASI

  LOKASI HARGA Sumber: Utami, (2008) Gambar 2.1 Bauran Ritel

  1. Produk Strategi produk merupakan salah satu keputusan penting dalam ruang lingkup pemasaran. Secara konseptual produk adalah pemahaman subjektif dari produsen atas sesuatu yang ditawarkan perusahaan sebagai usaha untuk mencapai tujuan organisasi melalui pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen, sesuai dengan kompetensi dan kapasitas organisasi serta daya beli pasar. Produk (Product) menurut Kotler dan Armstrong (2001) adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepasar untuk diperhatikan, dimiliki, digunakan, atau dikonsumsi yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan. Swastha dan Irawan(2000) mendifinisikan produk sebagai suatu sifat yang kompleks baik dapat diraba maupun tidak dapat diraba, termasuk bungkus, warna, harga, prestise perusahaan dan pengecer, pelayanan perusahaan dan pengecer yang diterima oleh pembeli untuk memuaskan keinginan atau kebutuhannya. Tjiptono (2002) mengemukakan bahwa produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan produsen untuk di perhatikan, dicari, dibeli, digunakan atau dikonsumsi pasar sebagai pemenuhan kebutuhan atau keinginan pasar yang bersangkutan.

  Menurut Hurriyati (2005), untuk merencanakan penawaran atau produk, pemasar perlu memahami tingkatan produk, yaitu: a.

  Produk utama/inti (core benefit) adalah manfaat yang sebenarnya dibutuhkan dan akan dikonsumsi oleh pelanggan dari setiap produk.

  b.

  Produk generik (generic product) adalah produk dasar yang mampu memenuhi fungsi produk yang paling dasar (rancangan produk minimal agar dapat berfungsi).

  c.

  Produk harapan (expected product) adalah produk formal yang ditawarkan dengan berbagai atribut dan kondisinya secara formal (layak) diharapkan dan disepakati untuk dibeli.

  d.

  Produk pelengkap (augmented product) adalah berbagai atribut produk yang dilengkapi atau ditambahi berbagai manfaat dan layanan sehingga dapat memberikan tambahan kepuasan dan dapat dibedakan dengan produk pesaing. e.

  Produk potensial adalah segala macam tambahan dan perubahan yang mungkin dikembangkan untuk suatu produk di masa mendatang.

  Peritel harus mampu menjaga kontinyuitas produk yang ditawarkan. Produk akan berkaitan dengan beberapa hal, yaitu: mutu, merk, kemasan, daya tahan, manfaat, spesifik, estetika, inovasi, dan warna.Produk di dalam bisnis ritel disebut merchandise sehingga konsep-konsep dasarnya sama dengan merchandising.

  Manajemen merchandise dilaksanakan dengan cara-cara berikut ini (Ma’ruf, 2005) :

  a) Mengumpulkan informasi : pihak pertama yang dapat memberi informasi adalah pelanggan, dengan cara mencatat dan meneliti keadaan demografi mereka dan perubahannya, gaya hidup, dan potensi rencana belanja.

  Sumber lainnya adalah pemasok.

  b) Memilih dan berhubungan dengan pemasok, yaitu : produsen, agen/distributor, dan perantara.

  c) Mengevaluasi : kehandalan, harga dan mutu yang terbaik, waktu, pelayanan ekstra, informasi, etika, hubungan jangka panjang, investasi, resiko.

  d) mengevaluasi merchandise, ada tiga cara menguji yaitu memeriksa barangnya langsung, sampling, dan deskripsi.

  e) melakukan negosiasi.

  f) melakukan pemesanan.

  g) menerima dan menyimpan stok merchandise.

  h) melakukan pesanan ulang. i) mengevaluasi ulang.

  2. Harga Swastha dan Irawan (2000) menyatakan bahwa harga adalah jumlah uang

  (ditambah beberapa produk kalau mungkin) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanannya. Kotler dan Armstrong (2001) menyatakan bahwa harga adalah sejumlah uang yang dibebankan atas suatu produk atau jasa atau sejumlah nilai yang ditukar konsumen atas manfaat-manfaat karena memiliki atau menggunakan suatu produk atau jasa tersebut. Tjiptono (2002) mengemukakan bahwa harga adalah satuan moneter atau ukuran lainnya (termasuk barang dan jasa) yang ditukarkan agar memperoleh hak kepemilikan atau hak penggunaan suatu barang dan jasa.

  Ada tiga pihak yang menjadi dasar pertimbangan dalam penetapan harga oleh sebuah perusahaan perdagangan ritel, yaitu konsumen, dirinya sendiri, dan pesaing. Peritel perlu memperhatikan keinginan konsumen yaitu membayar harga yang sepadan dengan nilai yang diperoleh (value for money), lalu keinginannya untuk mendapatkan laba semaksimal mungkin, dan faktor penetapan harga oleh pesaing.

  Terdapat beberapa implementasi strategi harga (Ma’ruf, 2005) antara lain:

  a) Penetapan harga secara customary dan variable

  Customary pricing adalah harga yang tetap, tidak akan diubah untuk

  periode tertentu. Variable pricing adalah harga yang ditetapkan secara variatif sesuai dengan fluktuasi tingkat permintaan konsumen. b) Penetapan harga ganjil (odd pricing), adalah harga yang ganjil seperti Rp

  99.000, Rp 199.000, Rp 749.000 atau angka lainnya yang menunjukkan angka yang tidak bulat.

  c) Leader pricing, penetapan harga di mana profit margin-nya lebih rendah daripada tingkat yang biasanya diraih, ini bertujuan menarik konsumen lebih banyak.

  d) Penetapan harga paket, yaitu harga yang didiskon untuk penjualan lebih dari satu unit per itemnya.

  e) Harga bertingkat(Price lining), adalah penetapan harga secara bertingkat dengan batas bawah dan batas atas tertentu. Ini biasanya untuk produk yang mempunyai banyak model dan harga sangat banyak.

  3. Lokasi Lokasi adalah faktor yang sangat penting dalam bauran pemasaran ritel.

  Pada lokasi yang tepat, sebuah gerai akan lebih sukses dibandingkan gerai lainnya yang berlokasi kurang strategis, meskipun keduanya menjual produk yang sama, oleh pramuniaga yang sama banyak dan terampil, dan sama-sama punya setting yang bagus.

  Untuk membuka gerai di suatu lokasi baru, daftar checklist berikut ini dapat dimanfaatkan untuk mengetahui potensi yang tersedia (Ma’ruf, 2005).

  a.

  Populasi : besarnya populasi, tingkat pendapatan, pekerjaan, industri setempat, tingkat pengangguran, kepadatan rumah dan penduduk, usia perumahan, klasifikasi lingkungan/tetangga, tingkat kepemilikan rumah, gaya hidup, kelompok suku, pola belanja sekarang, dan lain-lain. b.

  Kemudahan akses : arus pejalan kaki, rute masuk pejalan kaki, transportasi umum (jenis, biaya, kemudahan, potensi), tingkat kepemilikan mobil, jaringan jalan (kondisi, kepadatan, pembatasan), parkir (kapasitas, kemudahan, biaya, potensi), dan lain-lain.

  c.

  Pesaing : kegiatan ritel sekarang (pesaing langsung, pesaing tidak langsung, toko utama (achor store), daya tarik lingkungan, kesesuaian), kondisi ritel (area penjualan, perkiraan perputaran, analisis produk, area perdagangan, usia gerai, parkir), indeks kejenuhan, potensi persaingan (ekspansi gerai, peremajaan/renovasi gerai, lokasi kosong, dan lain-lain).

  d.

  Biaya : harga, syarat leasing, persiapan situs gerai, larangan dalam membangun, kebutuhan renovasi/peremajaan, biaya perawatan, kebutuhan keamanan, ketersediaan dan penggajian staf, biaya antaran, biaya/media promosi, dan lain-lain.

  4. Promosi Promosi (Promotion) menurut Swastha dan Irawan (2000) promosi atau persuasi satu arah dibuat untuk mengarahkan seseorang atau organisasi kepada tindakan yang menciptakan pertukaran dalam pemasaran. Alma (2005) menyatakan bahwa promosi adalah sejenis komunikasi yang memberikan penjelasan yang meyakinkan calon konsumen tentang barang dan jasa.

  Swastha dan Irawan (2000) menyatakan bahwa bauran promosi sebagai kombinasi strategi yang paling baik dari variabel-variabel periklanan, personal

  selling dan alat-alat promosi yang lain untuk mencapai tujuan program penjualan.

  Promosi dilakukan dengan mengkombinasikan beberapa elemen promosi yang dikenal dengan promotion mix. Promotion mix merupakan kombinasi dari beberapa unsur promosi, yang lazimnya adalah iklan, sales promotion, personal selling , dan publisitas.

  a.

  Periklanan(advertising) Iklan menempati urutan pertama dan berperan prima di antara semua alat-alat promotion mix bagi peritel besar. Iklan dijalankan melalui media cetak seperti koran dan majalah, media elektronik seperti televisi, radio, bioskop dan internet (Ma’ruf, 2005).

  b.

  Promosi Penjualan (Sales Promotion) adalah program promosi peritel dalam rangka

  Sales promotion

  mendorong terjadinya penjualan atau untuk meningkatkan penjualan atau dalam rangka mempertahankan minat pelanggan untuk tetap berbelanja padanya (Ma’ruf, 2005). Jenis-jenis sales promotion yaitu:

  a) Point of purcase di counter, lantai atau jendela display yang memungkinkan

  Display

  para peritel mengingatkan para pelanggan dan menstimulasi belanja impulsif . Kadangkala display disiapkan oleh pemasok/produsen.

  b) Kontes

  Para pelanggan berkompetisi untuk memperebutkan hadiah yang disediakan dengan memenangkan permainan. c) Kupon

  Peritel mengiklankan diskon khusus bagi para pembeli yang memanfaatkan kupon yang diiklankan (biasanya dalam koran, tapi juga bisa dari tempat yang disediakan dalam kontes belanja). Para pembeli kemudian membawa kupon itu untuk dipakai berbelanja di gerai yang bersangkutan dan mendapatkan diskon.

  d) Program pelanggan setia (frequent shopper program)

  Para pelanggan diberi poin atau diskon berdasarkan banyaknya belanja mereka, yang nantinya poin tersebut dapat ditukarkan dengan barang.

  e) Hadiah langsung

  Hadiah diberikan langsung tanpa menunggu jumlah poin, hal ini juga berdasarkan pada jumlah belanja.

  f) Sample

  

Sample adalah contoh produk yang diberikan secara cuma-cuma

  yang tujuannya adalah memberikan gambaran baik dalam manfaat, rupa ataupun bau dari produk yang dipromosikan.

  g) Demonstrasi

  Tujuan dari demonstrasi adalah memberikan gambaran atau contoh dari produk atau jasa yang dijual.

  h) Hadiah untuk rujukan (referal gifts)

  Hadiah yang diberikan kepada pelanggan jika ia membawa calon pelanggan baru. i) Souvenir

  Barang-barang souvenir dapat menjadi alat sales promotion yang menunjukan nama dan logo peritel. j)

  Special events (acara-acara khusus) Adalah alat sales promotion yang berupa fashion show, penandatanganan buku oleh pengarang, pameran seni dan kegiatan dalam liburan.

  c.

  Hubungan Masyarakat(Public Relations)

  Public Relations adalah komunikasi yang membangun citra positif bagi

  peritel di mata publiknya. Publik bagi peritel adalah pemilik atau pemegang saham, pelanggan, pemerintah, masyarakat luas di kota, penduduk sekitar, media massa, para opinion leader khususnya tokoh masyarakat baik yang skala nasional maupun skala lokal, para karyawan dan keluarga mereka, serikat pekerja dan para pemasok. (Ma’ruf, 2005). Unsur-unsur dalam public relations (public relations mix) terdiri atas: (a).

  Corporate image, yaitu citra perusahaan, hal-hal yang dilakukan derkenaan dengan komunikasi perusahaan, membentuk dan mempertahaan citra perusahaan, serta memecahkan persoalan citra perusahaan jika timbul.

  (b).

  Etika dan tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu yang berkenaan dengan karyawan dan dengan masyarakat.

  (c).

  Hal-hal yang terkait dengan produk dan pelayanan adalah mutu, pujian pihak ketiga, penanganan keluhan dan hubungan pelanggan (customer relations). (d).

  Publisitas, berupa konferensi pers, ceramah, media relations, press release .

  (e).

  Sponsorship, menjadi sponsor dalam kegiatan atau event tertentu.

  d.

  Personal selling

  Personal selling adalah upaya penjualan yang dilakukan oleh para

  karyawan di gerai ritel kepada calon pembeli (Ma’ruf, 2005). Definisi tersebut memperlihatkan bahwa peran karyawan sangat penting di dalam . Peran customer-contact personnel (pramuniaga dan

  personal selling

  lainnya), yaitu :

  a) Penjualan(selling), yaitu untuk produk yang perlu didorong (push) tingkat penjualannya karena selama beberapa waktu terakhir kurang banyak penjualannya.

  b) Cross-selling, yaitu menawarkan produk yang berbeda, yang mendukung produk yang dibutuhkan oleh pembeli.

c) Advising, yaitu berperan sebagai penasihat bagi pelanggannya.

  Tugas sebagai penasihat adalah memberikan pandangan tentang produk yang cocok untuk dikonsumsi oleh customer tersebut.

  5. Personalia Menurut Triyono (2006) terdapat empat dimensi yang perlu diperhatikan, antara lain.

  a) Pelayanan pelanggan (service), menyangkut standar pelayanan yang diberikan kepada pelanggan termasuk pengaturan karyawan untuk memastikan tingkat kesepadanan mereka dengan permintaan dan tipe pelanggan.

  b) Pengetahuan karyawan, berkaitan dengan tingkat pengetahuan tentang produk dan stok serta pengetahuan tentang melayani yang baik yang diperlukan oleh karyawan supaya dapat memenuhi harapan pelanggan.

  c) Keterampilan karyawan, yaitu pengetahuan yang dipraktikkan dalam keseharian kerja. Terampil berkomunikasi, menata produk, dan menjawab pertanyaan dengan tepat merupakan beberapa hal yang wajib dikuasai setiap karyawan.

  d) Sikap karyawan meliputi sikap positif terhadap diri sendiri, pelanggan, pekerjaan, perusahaan, barang dagangan, waktu, dan sikap positif yang ditunjukkan melalui motivasi yang selalu tinggi.

  6. Presentasi Presentasi dalam hal ini berarti tata letak dan suasana (atmosfer) toko.

  Setiap toko mempunyai tata letak fisik yang memudahkan atau menyulitkan pembeli yang sedang berbelanja. Toko harus membentuk suasana terencana yang sesuai dengan pasar sasarannya dan yang dapat menarik konsumen untuk membeli. Tata letak etalase dan interior dalam toko adalah suatu hal yang membutuhkan perhatian khusus karena harus disesuaikan dengan jenis produk yang ditawarkan, luas area, sistem pelayanan, dan pasar konsumen.

  Menurut Lamb et al. (2002) pengertian atmosfir toko adalah kesan keseluruhan yang disampaikan oleh tata letak fisik toko, dekorasi, dan lingkungan sekitarnya.

  Tujuan dari atmosfir toko ada dua, yaitu: 1)

  Penampilan toko eceran membantu menentukan citra toko dan memposisikan toko eceran dalam benak konsumen.

  2) Tata letak toko yang efektif tidak hanya akan menjamin kenyamanan dan kemudahan, melainkan juga mempunyai pengaruh yang besar pada pola lalu lintas konsumen dan perilaku belanja.

  Utami (2008) menjelaskan bahwa penciptaan suasana (atmospherics) berarti desain lingkungan melalui komunikasi visual, pencahayaan, warna, musik, dan wangi- wangian untuk merancang respon emosional dan persepsi pelanggan dan untuk mempengaruhi pelanggan dalam membeli barang.

  Strategi bauran pemasaran ritel tidak bisa ditentukan sekali untuk selamanya. Strategi ritel dapat berubah setiap saat, setahun sekali, enam bulan sekali, sebulan sekali, bahkan seminggu sekali. Hal ini sangat tergantung pada kondisi persaingan, perubahan perilaku berbelanja konsumenm, bahkan dapat dipengaruhi oleh perubahan regulasi pemerintah. Jadi strategi ritel adalah proses dalam usaha ritel yang berlangsung terus menerus dan dikaji ulang secara terus menerus pula.

2.1.4 Konsep Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction)

  Telah menjadi suatu kepercayaan umum, khususnya di dunia bisnis, bahwa kepuasan pelanggan merupakan salah satu kunci keberhasilan suatu usaha. Karena kepercayaan tersebut, banyak studi dilakukan untuk mengukur kepuasan konsumen, sehingga banyak definisi diberikan pada istilah " customer

  satisfaction " atau kepuasan pelanggan.

  Kepuasan didefinisikan sebagai persaaan senang atau kecewa seseorang dari membandingkan kinerja produk yang dirasakan dalam hubungan dan harapannya.

  Menurut pendapat Kotler yang lain mengenai kepuasan, merupakan fungsi dari kinerja yang dirasakan (perceived performance) dan harapan (expectations). Jika kinerja produk atau jasa lebih rendah dari harapan, konsumen akan merasa tidak puas. Jika kinerja sesuai harapan maka konsumen akan merasa puas, jika kinerja sampai melebihi harapan, maka konsumen akan merasa sangat puas (delighted) (Kotler, 2001).

  Menurut Tse dan Wilton dalam Tjiptono (2004) Kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya (norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya.

  Dari definisi-definisi tersebut dapat dilihat adanya suatu kesamaan makna bahwa kepuasan pelanggan merupakan suatu perasaan atau penilaian emosional dari pelanggan atas penggunaan suatu produk barang atau jasa dimana harapan dan kebutuhan mereka terpenuhi. Dengan kata lain, jika konsumen merasa apa yang ia peroleh lebih rendah dari yang diharapkannya (negatif diskonfirmasi) maka konsumen tersebut akan tidak puas. Jika yang diperoleh konsumen melebihi apa yang ia harapkan (positif diskonfirmasi) maka konsumen akan puas, sedangkan pada keadaan dimana apa yang diterima sama dengan yang diharapkan, maka konsumen tersebut akan merasakan tidak puas dan puas (netral).

  Ada beberapa metode yang dapat dipergunakan untuk mengukur dan memantau kepuasan pelanggan. Kotler mengemukakan empat metode dalam mengukur kepuasan pelanggan (dalam Tjiptono, 2004), yaitu :

  1. Sistem keluhan dan saran Perusahaan meyediakan kotak saran dan keluhan, kartu komentar,

  , mempekerjakan petugas pengumpulan pendapat

  customer hot lines

  atau keluhan untuk pelanggan, sehingga pelanggan leluasa meyampaikan keluhan maupun saran. Sarana informasi ini memungkinkan perusahaan bertindak lebih cepat untuk menyelesaikan masalah.

  2. Survei kepuasan pelanggan Umumnya banyak penelitian mengenai kepuasan pelanggan dilakukan dengan menggunakan metode survei, baik melalui pos, telepon, maupun wawancara pribadi. Dengan melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan sekaligus juga memberikan tanda positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya.

  Pengukuran kepuasan pelanggan melalui metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara,di antaranya sebagai berikut : a.

  Directly reported satisfaction, yaitu pengukuran dilakukan secara langsung melalui pertanyaan, seperti sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas, dan sangat puas.

  b.

  Derived dissatisfaction, yaitu pertanyaan yang menyangkut besarnya harapan pelanggan terhadap atribut.

  c.

  Problem analysis, artinya pelanggan yang dijadikan responden untuk mengungkapkan dua hal pokok, yaitu masalah masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahaan dan saran-saran untuk melakukan perbaikan.

  d.

  Importance-performance analysis, artinya dalam teknik ini responden dimintai untuk me-ranking berbagai elemen dari penawaran berdasarkan pentingnya elemen.

3. Ghost shopping

  Metode ini dilaksanakan dengan cara memperkerjakan beberapa orang (ghost shopper) untuk berperan atau bersikap sebagai pelanggan/pembeli potensialproduk perusahaan dan pesaing.

  Kemudian Ghost shopper menyampaikantemuan-temuan mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk-produktersebut.

4. Lost Customer Analysis

  Perusahaan menghubungi para pelanggannya yang telah berhenti membeli atau yang telah beralih pemasok dan diharapkan diperoleh informasi penyebab terjadinya hal tersebut.

  Tujuan perusahaan Kebutuhan dan keinginan konsumen Produk Harapan konsumen terhadap produk Nilai produk bagi konsumen

Tingkat Kepuasan

  Sumber : Tjiptono (2004), (Gambar diolah) Gambar 2.2 Konsep Kepuasan Pelanggan

  Perusahaan selayaknya memberikan tingkat kepuasan yang tinggi terhadap konsumennya, sebab konsumen yang mendapatkan kepuasan yang cukup hanya akan bertahan sementara waktu dan dapat beralih pada perusahaan/produk sejenis yang lain yang memberikan penawaran yang lebih baik. Pelanggan yang tidak mendapat kepuasan akan kabur bahkan tidak akan pernah kembali. Menurut Handito, 1995 (dalam Pratiwi, 2010), satu dari lima orang mendapat cerita ketidakpuasan akan menceritakan kembali kepada dua puluh kerabat atau orang terdekat. Selanjutnya tujuh dari sepuluh orang konsumen yang keluhannya ditanggapi dan ditangani pada saat itu juga maka 95% konsumen akan tetap loyal terhadap produk tersebut.

  Menurut Schnaars (dalam Pratiwi, 2010), terciptanya kepuasan pelanggan dapat memberikan beberapa manfaat, di antaranya hubungan antara perusahaan dan pelanggannya menjadi harmonis, memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang, terciptanya loyalitas pelanggan terhadap suatu produk tertentu dan membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut yang menguntungkan bagi perusahaan. Jika konsumen puas akan suatu merek tertentu dan sering membeli produk tersebut maka dapat dikatakan tingkat kesetiaan pelanggan itu tinggi, sebaliknya jika konsumen tidak terlalu puas akan suatu merek tertentu dan cenderung untuk membeli produk dengan merek yang berbeda-beda maka tingkat kesetiaan pelanggan terhadap produk tersebut rendah (Foedjiawati, 2005, dalam Pratiwi, 2010).

2.1.5 Loyalitas Pelanggan (customer loyalty)

  Menurut Utami (2006), loyalitas pelanggan adalah kesetiaan pelanggan untuk berbelanja di lokasi ritel tertentu. Beberapa dasar untuk mempertahankan keunggulan bersaing juga membantu menarik perhatian dan mempertahankan para pelanggan yang loyal.

  Sedangkan Griffin (2002) menyatakan bahwa “loyalty is defined as non random purchase expressed over time by some decision making unit”.

  Dari pengertian diatas, loyalitas pelanggan lebih ditujukan pada suatu perilaku yang ditunjukkan dengan pembelian rutin, didasarkan pada unit pengambilan keputusan.

  Salah satu cara yang paling mudah dalam mendeteksi loyalitas pelanggan adalah frekuensi dan persentase belanja pelanggan. Seorang pelanggan yang rutin belanja di suatu gerai dengan total belanjaan sebulannya kurang lebih sama dapat menjadi indikasi sederhana bahwa pelanggan tersebut loyal.

  Dick dalam Tjiptono (2005) telah mengkombinasikan komponen sikap dan perilaku pembelian ulang, sehingga diperoleh 4 (empat) situasi kemungkinan loyalitas konsumen, yaitu: 1.

   No Loyalty

  Bila sikap dan perilaku pembelian ulang konsumen sama-sama lemah, maka loyalitas tidak terbentuk. Ada dua kemungkinan penyebabnya.

  Pertama, sikap yang lemah bisa terjadi bila suatu produk/jasa baru diperkenalkan dan/atau pemasarnya tidak mampu mengkomunikasikan keunggulan produknya. Penyebab kedua berkaitan dengan dinamika pasar, dimana merek-merek yang berkompetisi dipersepsikan serupa/sama. Konsekuensinya, pemasar mungkin sangat sukar membentuk sikap yang positif/kuat terhadap produk dan perusahaannya, namun pemasar bisa mencoba menciptakan spurious loyalty melalui lokasi yang strategis, promosi yang agresif, meningkatkan shelf space untuk mereknya, dan lain-lain.

  2. Spurious Loyalty Bila sikap yang relatif lemah disertai dengan pola pembelian ulang yang kuat, maka yang terjadi adalah spurious loyalty atau captive loyalty.

  Situasi semacam ini ditandai dengan pengaruh faktor non sikap terhadap perilaku, misalnya norma subjektif dan faktor situasional. Situasi ini bisa dikatakan pula inertia, di mana konsumen sulit membedakan berbagai merek dalam kategori produk dengan tingkat keterlibatan rendah, sehingga pembelian ulang dilakukan atas dasar pertimbangan situasional, seperti familiarity (karena penempatan produk yang strategis pada rak pajangan, lokasi outlet jasa di pusat perbelanjaan atau persimpangan jalan yang ramai) atau faktor diskon. Dalam konteks produk industrial, pengaruh sosial juga bisa menimbulkan spurious loyalty.

  3. Latent Loyalty

  Situasi latent loyalty tercermin bila sikap yang kuat disertai dengan polapembelian ulang yang lemah. Situasi yang menjadi perhatian besar pemasar ini disebabkan pengaruh faktor-faktor non sikap yang sama kuat atau bahkan cenderung lebih kuat daripada faktor sikap dalam menentukan pembelian ulang.

  4. Loyalty

  Situasi ini merupakan situasi ideal yang paling diharapkan oleh pemasar, di mana konsumen bersikap positif terhadap produk/jasa atau penyedia produk/jasa bersangkutan dan disertai pola pembelian ulang yang konsisten. Pelanggan yang loyal sangat berarti bagi badan usaha karena biaya untuk mendapatkan pelanggan baru lebih mahal daripada memelihara pelanggan lama (Peter dan Olson, 2002).

  Selanjutnya Griffin (2003) mengemukakan keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh perusahaan apabila memiliki pelanggan yang loyal antara lain : 1)

  Mengurangi biaya pemasaran (karena biay\a untuk menarik pelangan baru lebih mahal).

  2) Mengurangi biaya transaksi (seperti biaya negosiasi kontrak, pemrosesan pesanan, dan lain-lain)

  3) Mengurangi biaya turn over pelanggan (karena pergantian pelanggan yang lebih sedikit).

  4) Meningkatkan penjualan silang yang akan memperbesar pangsa pasar perusahaan.

  5) Word of mouth yang lebih positif dengan asumsi bahwa pelanggan yang loyal juga berarti mereka yang merasa puas.

6) Mengurangi biaya kegagalan (seperti biaya pergantian, dan lain- lain).

  Pedersen dan Nysveen (2001) dalam Ferrinadewi dan Jati (2004), menggunakan konsep loyalitas dimana tingkat loyalitas konsumen terdiri dari 3 tahap, yakni:

  1) The first stage : cognitive loyalty, tahap dimana pengetahuan langsung maupun tidak langsung konsumen akan merek, dan manfaatnya, dan dilanjutkan ke pembelian berdasarkan pada keyakinan akan superioritas yang diawarkan. Pada tahap ini dasar kesetiaan adalah informasi tentang prooduk atau jasa yang tersedia bagi konsumen. Bentuk loyalitas ini merupakan bentuk loyalitas terlemah.

  2) The second stage : affective loyalty, sikap favorable konsumen terhadap merek yang merupakan hasil dari konfirmasi yang berulang dari harapannya selama tahap cognitively loyal berlangsung. Pada tahap ini dasar kesetiaannya adalah pada sikap dan komitmen konsumen terhadap produk atau jasa sehingga pada tahap ini telah terbentuk suatu hubungan yang lebih mendalam antara konsumen dengan penyedia produk atau jasa dibandingkan pada tahap sebelumnya. Affective loyaltybukanlah prediktor yang baik dalam mengukur kesetiaan karena meskipun konsumen merasa puas dengan produk tertentu bukan berarti ia akan terus mengkonsumsinya dimasa depan.

  3) The third stage : conative loyalty, intensi membeli ulang yang sangat kuat dan memiliki keterlibatan tinggi yang merupakan dorongan motivasi. Sehingga dari ketiga bentuk kesetiaan diatas, conative merupakan prediktor yang terbaik.

  loyalty

2.1.6 Hubungan Bauran Pemasaran Ritel dan Kepuasan Pelanggan

  Zeitaml dan Bitner (2001) mengemukakan hubungan bauran pemasaran dan kepuasan pelanggan sebagai berikut: “Marketing mix defined as the elements an

  organizations controls that can be used to satisfy or communicate with customer”

  Menurut Assael, (1992) Salah satu bentuk stimuli yang dapat mempengaruhi konsumen dalam memuaskan pelanggan dan merupakan faktor yang dapat dikendalikan oleh perusahaan adalah stimuli pemasaran yaitu melalui unsur-unsur strategi marketing mix.

  Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bauran pemasaran ritel sebagai aspek yang dapat dikontrol oleh perusahaan berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan.

2.1.7 Hubungan Kepuasan Pelanggan terhadap Loyalitas pelanggan

  Dalam suatu proses konsumsi, pelanggan tidak akan berhenti hanya samapai pada proses konsumsi. Pelanggan akan melakukan proses evaluasi terhadap konsumsi yang telah dilakukannya. Inilah yang disebut sebagai evaluasi alternative pasca konsumsi (Sinaga, 2010). Hasil dari proses evaluasi pasca konsumsi adalah pelanggan merasa puas (satisfaction) atau tidak puas (dissatisfaction) terhadap konsumsi produk atau jasa yang sudah dilakukannya.

  Kepuasan akan mendorong konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi ulang produk tersebut. Sebaliknya perasaan tidak puas akan menyebabkan konsumen kecewa dan menghentikan pembelian kembali atau mengkonsumsi produk tersebut. Perusahaan selayaknya memberikan tingkat kepuasan yang tinggi terhadap konsumennya, sebab konsumen yang mendapatkan kepuasan yang cukup hanya akan bertahan sementara waktu dan dapat beralih pada perusahaan/produk sejenis yang lain yang memberikan penawaran yang lebih baik. Pelanggan yang tidak mendapat kepuasan akan kabur bahkan tidak akan pernah kembali. Menurut Schnaars (dalam Pratiwi, 2010), terciptanya kepuasan pelanggan dapat memberikan beberapa manfaat, di antaranya hubungan antara perusahaan dan pelanggannya menjadi harmonis, memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang, terciptanya loyalitas pelanggan terhadap suatu produk tertentu dan membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut yang menguntungkan bagi perusahaan.

  Kepuasan adalah salah satu di antara beberapa penyebab terbentuknya loyalitas (Dharmayanti, 2006, dalam Sinaga, 2010). Kandampully dan Suhartanto (2000), menyatakan bahwa apabila pelanggan puas terhadap barang atau pelayanan yang diterima, maka akan menimbulkan kesetiaan / loyalitas konsumen.

2.1.8 Penelitian Terdahulu 1.

  Zulkarnaen (2004), meneliti dengan judul ”Analisis Pengaruh Bauran Penjualan Eceran Terhadap Loyalitas Pelanggan Pada Alfa Supermarket Plaza Millenium di Medan”. Populasi dalam penelitian ini adalah pelanggan Alfa Supermarket Plaza Millenium yang sedang berbelanja. Pengambilan sampel dengan menggunakan tehnik sampel acak sederhana (simple random

  sampling) , maka ditetapkan jumlah sampel yang diambil adalah 150

  responden. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Bauran penjualan eceran yangdilaksanakan oleh Alfa Supermarket Plaza Millenium yang terdiri dari produk, harga, lokasi, promosi, fasilitas fisik, pelayanan, dan personil/ wiraniaga secara bersamasama mempunyai pengaruh terhadap loyalitas pelanggan. Faktor yang berpengaruh signifikan dari ketujuh aspek bauran penjualan eceran tersebut adalah faktor harga, promosi dan personalia. Dari ketujuh aspek bauran penjualan eceran yang paling dominan dalam mempengaruhi loyalitas pelanggan Alfa Supermarket Plaza Millenium adalah bauran harga.

  2. Faizul (2008), meneliti dengan judul ”Pengaruh Strategi Bauran Pemasaran Ritel Terhadap Kepuasan dan Hubungannya Dengan Loyalitas Pelanggan Plaza Medan Fair di Medan”. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pelanggan yang telah pernah minimal 3 (tiga) kali berbelanja di Plaza Medan Fair berjumlah 1.528.412 orang. Metode penelitian ini adalah dengan pendekatan survei, jenispenelitian adalah deskriptif kuantitatif, dan sifat penelitiannya adalah penjelasan (explanatory). Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara (interview), daftar pertanyaan (questionaire), dan studi dokumentasi. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 100 orang. Metode analisis data yang di gunakan adalah analisis regresi linier berganda dan korelasi pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa a). Variabel produk, promosi, dan lokasi berpengaruh signifikan terhadap kepuasan pelanggan. Variabel desain toko berpengaruh sangat signifikan (high significant) terhadap kepuasan pelanggan, sedangkan variabel harga dan pelayanan eceran berpengaruh tidak signifikan terhadap kepuasan pelanggan Plaza Medan Fair, dan b).Kepuasan pelanggan memiliki hubungan dengan loyalitas pelanggan Plaza Medan Fair.

  3. Penelitian yang dilakukan oleh Semuel (2006) dengan judul Ekspektasi Pelanggan dan Aplikasi Bauran Pemasaran terhadap Loyalitas Toko Moderen dengan Kepuasan Pelanggan sebagai Intervening (Studi Kasus pada Hypermarket Carrefour di Surabaya). Penelitian ini tentang perilaku pelanggan toko modern untuk melihat pengaruh langsung antara ekspektasi pelanggan, aplikasi bauran pemasaran eceran, terhadap loyalitas pelanggan di Surabaya. Selain itu melihat pengaruh tidak langsung dengan kepuasan pelanggan sebagai variabel intervening. 400 pelanggan Carrefour Surabaya diambil sebagai sampel. Penelitian ini menggunakan alat analisis SEM (Struktur Equation Modeling). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa : (1) Ekspektasi pelanggan terhadap produk dan jasa yang ditawarkan oleh toko modern ternyata berpengaruh langsung secara negatif terhadap kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan toko modern. (2) Aplikasi Bauran pemasaran eceran yang dilakukan oleh toko modern berpengaruh langsung secara positif terhadap kepuasan pelanggan dan loyalitas toko modern. (3) Walaupun kedua variabel bebas ekspektasi pelanggan dan bauran pemasaran eceran secara bersama mempengaruhi loyalitas pelanggan, namun variabel aplikasi bauran pemasaran mempunyai pengaruh yang lebih dominan. (4) Kepuasan pelanggan dapat merupakan variabel intervening positif antara ekspektasi pelanggan dan aplikasi bauran pemasaran eceran terhadap loyalitas toko modern.

2.2 Kerangka Konseptual

  Menurut Sekaran (dalam Adrianto, 2006) kerangka pemikiran merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Kerangka pemikiran yang terbaik akan menjelaskan secara teoritis pertautan antara variabel yang akan diteliti. Jadi, secara teoritis perlu dijelaskan hubungan antara variabel bebas (independen) dengan variabel terikat (dependen).

  Strategi pemasaran ritel adalah pemasaran yang mengacu kepada variabel dimana pedagang eceran dapat mengkombinasikan menjadi jalan alternatif sebagai suatu strategi pemasaran untuk dapat menarik konsumen.Untuk menjaga kelangsungan hidup serta kemajuan dan keunggulan dalam bisnis eceran yang semakin kompetitif, maka pengelola bisnis tersebut harus berupaya menerapkan strategi berupa program bauran pemasaran ritel yang diharapkan memunculkan kepuasan pelanggan. Perusahaan harus dapat mengkombinasikan unsur-unsur bauran pemasaran ritel tersebut agar tetap dapat memuaskan pasar sasaran dan tetap sejalan dengan sasaran perusahaan dalam bidang pemasaran secara keseluruhan.

  Konsep pemasaran menegaskan bahwa kesuksesan sebuah organisasi dalam mewujudkan tujuannya sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan pelanggan sasarannya dan memberikan kepuasan yang diharapkan secara lebih efektif dan efisien daripada pesaingnya.

  Kepuasan pelanggan ditentukan oleh persepsi pelanggan atas performance jasa dalam memenuhi harapan pelanggan, seperti yang dituliskan Irawan (2004).

  Pelanggan yang puas cenderung loyal. Pelanggan cenderung membeli lebih banyak dan tidak sensitif terhadap harga. Pelanggan yang loyal juga akan memberitahu tentang produk atau jasa yang diperoleh kepada orang lain. Oleh karena itu, jika perusahaan mengharapkan pelanggannya loyal, maka seluruh jajaran yang ada dalam perusahaan harus terus menerus meningkatkan kepuasan pelanggannya.

  Berdasarkan landasan teori diatas dapat disusun suatu kerangka pemikiran sebagai berikut : Strategi Bauran Pemasaran Ritel:

  Kepuasan Loyalitas Produk (X1)

  Pelanggan Harga (X2)

  Pelanggan (Y) (Z)

  Lokasi (X3) Promosi (X4) Personalia (X5) Presentasi (X6)

  Sumber: diolah peneliti (November, 2012) Gambar 2.3 Kerangka Konseptual

2.3 Hipotesis 1.

  Bauran pemasaran ritel yang terdiri dari produk, harga, lokasi, promosi, personalia, dan presentasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan Minimarket MES Mart syaariah.