BAB II TINJAUAN SECARA UMUM TENTANG PERJANJIAN - Perlindungan Hukum terhadap Penumpang sebagai Pengguna Jasa Angkutan Umum pada Pengangkutan Darat (Studi pada CV. PAS Transport)

BAB II TINJAUAN SECARA UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian dan Syarat Sah suatu Perjanjian Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata bahasaBelanda

  (overeenkomst) atau bahasa Inggris (contract). Ada dua macam teori membahas

  15 tentang perjanjian: teori lama dan teori baru.

  Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan di rinya terhadap satu orang atau lebih”. Defenisi perjanjian dalam

  pasal 1313 ini adalah (1) tidak jelas karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, (2) tidak nampak asas konsensualisme, dan (3) bersifat dualisme. Tidak jelasnya defenisi ini disebabkan di dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan merupakan perbuatan hukumpun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu, maka harus dicari doktrin. Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dari defenisi diatas, telah tampak asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh dan lenyapnya hak dan kewajiban).

  Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, diartikan dengan perjanjian adalah:“suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori baru, yaitu: 15 Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (KUH PERDATA), Sinar Grafika,

  Jakarta, 2014, hlm 160-161

  16 a.

  Tahap pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan; b.

  Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak; c.

  Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

  Unsur-unsur perjanjian menurut teori lama, yaitu: a.

  Adanya perbuatan hukum; b.

  Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang; c. Persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan dinyatakan; d.

  Perbuatan hukum itu terjadi karena kerjasama antara dua orang atau lebih; e.

  Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai itu harus saling bergantung satu sama lain; f.

  Kehendak itu ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum g.

  Akibat hukum itu untuk kepentingan satu atas beban lain atau timbal balik; h.

  Persesuaian kehendak itu harus mengingat peraturan perundang- undangan.

  Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa inggris yaitu contract of law , sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomst recht.

  Lawrence M. Friedman mengartikan hukum kontrak adalah perangkat hukum hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan jenis perjanjian tertentu.Lawrence M Friedman tidak menjelaskan lebih lanjut aspek tententu dari pasar dan jenis perjanjian tertentu. Apabila dikaji aspek pasar, tentunya kita akan mengkaji dari berbagai aktivitas bisnis yang hidup dan berkembang dalam sebuah market. Di dalam berbagai market tersebut maka akan menimbulkan berbagai macam kontrak yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Ada pelaku usaha melakukan perjanjian jual beli, sewa menyewa, beli sewa, leasing, dan lain-lain.

  Michael D Bayles mengartikan contract of law atau hukum kontrak adalahMight then be taken to be the law pertaining to enforcement of promise or

  agreement. Artinya, hukum kontrak adalah sebagai aturan hukum yang berkaitan

  dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.Pendapat ini mengkaji hukum kontrak dari dimensi pelaksanaan perjanjian yang dibuat oleh para pihak, namun Michael D Bayles tidak melihat pada tahap-tahap prakontraktual dan kontraktual. Tahap ini merupakan tahap yang menentukan dalam penyusunan sebuah kontrak. Kontrak telah disusun oleh para pihak akan dilaksanakan juga oleh mereka sendiri.

  Charles L. Knapp and Nathan M. Crystal mengartikan law of contract

  is:our legalsociety’s legal mechanism for protecting the expectation that arise from the making the agreements for the future exchange of various types of performance, such as the compeyance of property (tangible and untangible), the performance of services, and payment of money. Artinya hukum kontrak adalah

  mekanisme hukum dalam masyarakat untuk melindungi harapan-harapan timbul dalam perbuatan persetujuan demi perubahan masa datang yang bervariasi kerja, seperti pengangkutan kekayaan (nyata maupun tidak nyata), kinerja pelayanan dan pembayaran dengan uang.Pendapat ini mengkaji hukum kontak dari aspek mekanisme atau prosedur hukum. Tujuan mekanisme ini adalah untuk melindungi keinginan/harapan yang timbul dalam pembuatan konsensus diantara para pihak, seperti dalam perjanjian pengangkutan, kekayaan, kinerja pelayanan, dan pembayaran dengan uang.

  Defenisi lain hukum kontrak yang tercantum dalam Ensiklopedia Indonesia, mengkaji dari aspek ruang lingkup pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan warga hukum. Tampaknya dari defenisi ini menyamakan pengertian antara kontrak (perjanjian) dengan persetujuan, padahal antara keduanya adalah berbeda. Kontrak atau perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, sedangkan persetujuan salah satu syarat sahnya kontrak, sebagaimana diatur

  16 dalam pasal 1320 KUH Perdata.

  Adanya berbagai kelemahan dari defenisi diatas maka defenisi itu perlu dilengkapi dan disempurnakan. Menurut Salim, hukum kontrak adalahkeseluruhan dari kaidah-kaidah hukum mengatur hubungan hukum antar dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.

  Defenisi ini didasarkan pada pendapat Van Dunne, yang tidak hanya mengkaji kontrak pada tahap kontraktual semata-mata, tetapi juga harus diperhatikan perbuatan sebelumnya. Perbuatan sebelumnya mencakup tahappracotractual dan postcontractual. Pracontractual merupakan tahap penawaran dan penerimaan sedangkan postcontractual adalah pelaksanaan perjanjian. Hubungan hukum adalah hubungan menimbulkan akibat hukum.

  Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban. Hak merupakan sebuah kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban.

  Dari berbagai defenisi diatas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam hukum kontrak, sebagaimana dikemukakan berikut: 16 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,

  Jakarta, 2010, hlm 4

  1. Adanya kaidah hukum Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah hukum yang timbul, tumbuh dan hidup dalam masyarakat. Contohnya jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain-lain. Konsep-konsep ini berdasarkan hukum adat.

  2. Subjek hukum Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

  3. Adanya prestasi Prestasi terdiri dari : a.

  Memberikan sesuatu, b.

  Berbuat sesuatu, c. Tidak berbuat sesuatu.

  4. Kata sepakat Di dalam pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian.

  Salah satunya kata sepakat (konsensus). Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

  5. Akibat hukum Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak adalah

  17 suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban. 17 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 4-5 Hukum Kontrak adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat

  18

  untuk menimbulkan akibat hukum. Perjanjian secara umum dapat mempunyai arti yang luas dan sempit. Setiap perjanjian menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki oleh para pihak) adalah pengertian perjanjian dalam arti luas. Termasuk didalamnya perkawinan dan perjanjian kawin dan lain-lain, sedangkan dalam arti sempit perjanjian disini hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan

  19 seperti dimaksud oleh buku III B.W.

  Ada tiga unsur yang dikenal dalam suatu kontrak, yaitu sebagai berikut: a.

  Unsur Esensiali Unsur esensiali merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur essensiali ini maka tidak ada kontrak. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang dan harga dalam kontrak jual beli, kontrak tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan.

  b.

  Unsur Naturalia Unsur naturalia merupakan unsur telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh, jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan 18 19 Setiawan Widagdo, Kamus Hukum, PT. Prestasi Pustakarya, Jakarta, 2012, J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir dari Perjanjian, Citra Aditya, Bakti,

  Bandung, 2001, hlm 28 dalam KUH PERDATA bahwa penjual harus menanggung cacat tersembunyi.

  c.

  Unsur Aksidentalia Unsur aksidentalia merupakan unsur nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh, jika dalam kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar utangnya, dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditor tanpa melalui pengadilan.Demikian pula klausul lainnya sering ditentukan dalam suatu kontrak, bukan merupakan unsur esensial dalam kontrak tersebut.

  20 Perjanjian pengangkutan pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis), tetapi

  selalu didukung oleh dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan berfungsi sebagai bukti sudah terjadi perjanjian pengangkutan dan wajib dilaksanakan oleh pihak-pihak. Dokumen pengangkutan barang lazim disebut surat muatan, sedangkan dokumen pengangkutan penumpang lazim disebut karcis penumpang.

  Perjanjian pengangkutan dapat juga dibuat tertulis yang disebut perjanjian carter (charter party). Seperti charter pesawat udara untuk mengangkut jemaah haji ataupun charter kapal untuk mengangkut barang dagangan. Jadi perjanjian pengangkutan pada umumnya diadakan secara lisan, didukung oleh dokumen pengangkutan yang membuktikan bahwa perjanjian itu sudah terjadi dan mengikat untuk dilaksanakan.

20 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada

  Jakarta, 2007, hlm 31-32

  Namun apabila pihak-pihak menghendaki, boleh juga dibuat secara tertulis yang disebut charter party. Alasan para pihak menginginkan agar perjanjian pengangkutan dibuat secara tertulis adalah mungkin salah satu atau lebih dari alasan-alasan berikut: a.

  Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka kontrak tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu.

  c) Syarat sesuai dengan kepatutan

  b) Syarat sesuai dengan kebiasaan

  Syarat itikad baik

  d) Kausa yang legal b. Syarat sah umum diluar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata, yang terdiri dari: a)

  c) Perihal tertentu

  b) Wenang berbuat

  Kesepakatan kehendak

  Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, yang terdiri dari: a)

  Syarat-syarat sahnya kontrak tersebut dapat digolongkan sebagai berikut: a. Syarat Sah yang umum yang terdiri dari: a.

  21 Syarat Sah Suatu Perjanjian

  Kedua pihak ingin memperoleh kepastian mengenai kewajiban dan hak.

  Menghindari konflik pelaksanaan perjanjian akibat ketidakjelasan maksud yang dikehendaki pihak-pihak.

  f.

  Kepastian mengenai kapan, dimana dan alasan apa perjanjian berakhir.

  e.

  Menghindari berbagai macam tafsiran arti kata dan isi perjanjian.

  d.

  Kepastian dan kejelasan cara pembayaran dan penyerahan barang.

  c.

  Kejelasan mengenai perincian mengenai objek, tujuan dan beban resiko pihak-pihak.

  b.

  d) Syarat sesuai dengan kepentingan umum 21 Abdulkadir muhammad, Op.Cit., hlm. 3

  b.

  Syarat sah yang khusus yang terdiri dari: 1)

  Syarat tertulis dari kontrak-kontrak tertentu 2)

  Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu 3)

  Syarat akta pejabat tertentu (bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu 4) Syarat izin berwenang.

  22 Konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari

  syarat-syarat sahnya kontrak tersebut bervariasi mengikuti syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Batal demi hukum (nietig, null, void), misalnya dalam hal dilanggarnya syarat objektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat objektif tersebut adalah: a.

  Perihal tertentu, dan

  b. Kausa yang legal 2. Dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable)misalnya dalam hal tidak terpenuhinya syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat subjektif tersebut adalah: a.

  Kesepakatan kehendak, dan

  b. Kecakapan berbuat 3. Kontrak tidak dapat dilaksanakan (unenforceable)

  Kontrak yang tidak dapat dilaksanakan adalah kontrak yang tidak begitu saja batal tetapi tidak dapat dilaksanakan, melainkan masih mempunyai status hukum tertentu. Beda dengan kontrak yang batal (demi hukum) adalah bahwa kontrak tidak dapat dilaksanakan masih mungkin dikonversi menjadi kontrak yang sah. Sedangkan bedanya dengan kontrak 22 Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) , Citra Aditya Bakti,

  Bandung, 2007, hlm 33-35 yang dapat dibatalkan (voidable) adalah bahwa dalam kontrak yang dapat dibatalkan, kontrak tersebut sudah sah, mengikat dan dapat dilaksanakan sampai dengan dibatalkan kontrak tersebut, sementara kontrak yang tidak dapat dilaksanakan belum mempunyai kekuatan hukum sebelum dikonversi menjadi kontrak yang sah.

  Contoh kontrak yang tidak dapat dilaksanakan adalah kontrak yang seharusnya dibuat secara tertulis, tetapi dibuat secara lisan, tetapi kemudian kontraktersebut ditulis oleh para pihak.

4. Sanksi Administratif

  Ada juga syarat kontrak yang apabila tidak dipenuhi hanya mengakibatkan sanksi administratif saja terhadap salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam kontrak tersebut. Misalnya apabila terhadap suatu kontrak memerlukan izin atau pelaporan terhadap instansi tertentu, seperti izin/pelaporan kepada Bank Indonesia untuk suatu kontrak

  23 offshore loan.

  Pasal 1320 KUH PERDATA merupakan instrumen pokok untuk menguji keabsahan kontrak yang dibuat para pihak. Pasal 1320 KUH PERDATA tersebut terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu kontrak, yaitu: a.

  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toestem ming van dgenen

  die zich verbinden)

  b. Kecakapan untuk berbuat perikatan (de beekwaamheid om eene

  verbintenis aaan te gaan) c.

  Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp)

  24 d.

  Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan (eene geoor loofde oorzaak)

  Kesepakatan

  Pasal 1320 KUH PERDATA mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai salah satu syarat keabsahan kontrak. Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu

  23 24 Ibid., hlm 34 Agus Yudha Hernoko,Hukum Perjanjian Asas Proporsionallitas dalam Kontrak

  Komersil , Kencana, Jakarta 2014, hlm 157 perjanjian atau pernyataan pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak yang lain.

  Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk oleh dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Penawaran (aanbod;offerte,offer) diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Unsur ini mencakup unsur esensialia perjanjian akan ditutup. Sedangkan penerimaan (aanwaarding;

  acceptatie;acceptance) merupakan pernyataan setuju dari pihak yang lainnya

  25 yang ditawari.

  Untuk menganalisis adanya dasar keterikatan kontraktual berlandaskan pada kehendak atau pernyataan, dapat dikaji dari perkembangan tiga teori, yaitu: 1) Teori Kehendak (wilsleer;willstheorie)

  Menyatakan bahwa keterikatan kontraktual baru ada hanya jika dan sejauh pernyataan berlandaskan pada putusan kehendak yang sungguh-sungguh sesuai dengan itu. Keberatan terhadap teori ini karena dalam lalu lintas hukum sangat sulit untuk mengetahui apakah pernyataan yang dibuat seseorang itu sesuai dengan kehendaknya. Sehingga selalu menimbulkan pertanyaan apakah ada kepastian hukum mengenai lahirnya keterikatan kontraktual.

  2) Teori Pernyataan (verklaringsleer;velklaringstheori) Menyatakan bahwa seseorang itu terikat dengan pernyataannya.

  Kelemahan teori ini apabila terdapat pernyataan yang tidak sesuai dengan kehendak.

  3) Teori Kepercayaan (vertrouwensleer;vertrouwenstheorie)

25 Ibid hlm 162

  Adalah teori baru sebagai ajaran yang diikuti (hersendeleer), merupakan teori jalan tengah yang menjembatani kelemahan dan kekurangan dua teori sebelumnya. Teori ini menyatakan bahwa pernyataan yang menjadi landasan keterikatan kontraktual adalah pernyataan yang selayaknya menimbulkan kepercayaan bahwa hal itu sesuai dengan putusan kehendak.

  26 Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena terjadinya hal-

  hal diantaranya:

  27 a.

  Kekhilafan atau kesesatan; b.

  Paksaan; c. Penipuan; d.

  Penyalahgunaan keadaan: Tiga cacat kehendak yang pertama diatur dalam KUH PERDATA, sedangkan cacat kehendak yang terakhir tidak diatur dalam KUH PERDATA, namun lahir kemudian dalam perkembangan hukum kontrak.Ketiga cacat kehendak yang diatur dalam KUH PERDATA dapat dilihat dalam pasal 1321 dan

  pasal 1449 KUH PERDATA yang masing-masing menentukan sebagai berikut: Pasal 1321 KUH PERDATA: “Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperol eh dengan paksaan atau penipuan”

  Pasal 1449 KUH PERDATA: “Perikatan yang dibuat dengan paksaan, kehilafan atau penipuan, menimbulkan suat u tuntutan untuk membatalkannya”

  Secara sederhana keempat hal yang menyebabkan terjadinya cacat pada kesepakatan tersebut secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:

  26 Ibid hlm 165 27 Ahmadi Miru, Op.Cit,hlm 17

  1. Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru.

  2. Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan kesepakatan kerena ditekan (dipaksa secara psikologis), jadi yang dimaksud paksaan bukan paksaan secara fisik karena jika yang terjadi adalah paksaan secara fisik pada dasarnya tidak ada kesepakatan.

  3. Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif mempengaruhi pihak lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu.

4. Penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang kuat

  (posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan keadaan sehingga pihak lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya. Penyalahgunaan keadaan ini disebut juga cacat kehendak yang keempat kerena tidak diatur dalam KUH PERDATA, sedangkan tiga lainnya yaitu penipuan, kekhilafan dan paksaan diatur dalam KUH

28 PERDATA.

  Kesepakatan kehendak terhadap suatu perjanjian dimulai dari adanya unsur penawaran (offer) oleh salah satu pihak, diikuti oleh penawaran (acceptance) dari pihak lainnya, sehingga terjadilah suatu perjanjian, terutama

  29 untuk perjanjian-perjanjian yang serius, kerap kali dilakukan secara tertulis.

  Lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak menurut Sudikno Mertokusumo, yaitu dengan: 28 29 Ibid., hlm. 18

  Megarita, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Saham yang Digadaikan, USU Press, Medan, 2013, hlm 19

  (1) Bahasa yang sempurna dan tertulis

  (2) Bahasa yang sempurna secara lisan

  (3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dapat dimengerti oleh pihak lawan

  (4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan

  (5) Diam atau membisu, tetapi asal dapat dipahami atau diterima pihak lawan.

  Kecakapan

  Kecakapan (beekwaanheid

  • – capacity) yang dimaksud dalam pasal 1320 KUH PERDATA ayat 2 adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

  Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar, berikut ini: a. Person (Pribadi), diukur dari standar kedewasaan (meerderjaring); dan b.

  Rechtpersoon (badan hukum), diukur dari aspek kewenangan

  30 (beveogheid).

  Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum begi person pada umumnya diukur dari standarusia dewasa atau cukup umur (bekwaamheid-meerderjaring).

  Namun demikian masih terdapat polemik mengenai kecakapan melakukan perbuatan hukum yang tampaknya mewarnai praktik lalu lintas hukum di masyarakat. Pada satu sisi sebagian masyarakat masih menggunakan standar usia 21 tahun sebagai titik tolak kedewasaan seseorang dengan landasan pasal 1330 30 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hlm 183

  KUH PERDATA jo. 330 KUH PERDATA. Sementara pada sisi lain mengacu pada standar usia 18 tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 jo. 50 Undang- undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  Telaah kritis standar usia dewasa dapat dilakukan melalui pengujian asas- asas hukum maupun interpretasi komprehensif terhadap materi muatan beberapa ketentuan terkait. Asas hukum lex specialis, lex posteriori, digunakan untuk menyelesaikan konflik norma, sedangkan interpretasi komprehensif untuk memahami muatan materi serta maksud pembuat undang-undang. Melalui pengujian tersebut diharapkan muncul suatu pemahaman utuh dan konsisten, khususnya bagi pihak yang sementara ini masih menganut paradigma lama.

  Menurut Pasal 1329 KUH PERDATA “setiap orang adalah cakap membuat perikatan

  • – perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Dalam Pasal 1330 KUH PERDATA dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah: a.

  Orang-orang belum dewasa b.

  Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan:

  c. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (substansi ini dihapus dengan SEMA No. 3 Tahun 1963 tentang Gagasan menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak sebagai Undang-undang)

  Pasal 330 KUH PERDATA menyatakan, bahwa: Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.

  Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa Mereka yang belum dewasa dan tidak dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara yang diatur dalam bagian 3,4,5, dan 6 dalam bab ini.

  Suatu hal tertentu

  Adapun yang dimaksud dengan suatu hal atau objek tertentu (een bepaald

  

onderwerp) dalam pasal 1320 KUH PERDATA syarat 3, adalah prestasi yang

  menjadi pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan sifat dan luasnya pernyataan-pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak. Pernyataan- pernyataaan yang tidak dapat ditentukan sifat dan luas kewajiban para pihak adalah tidak mengikat (batal demi hukum). Lebih lanjut mengenai hal atau objek tertentu ini dapat dirujuk dari substansi pasal 1332, 1332 dan 1334 KUH PERDATA, sebagai berikut: a.

Pasal 1332 KUH PERDATA menegaskan; Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian.

  b.

Pasal 1333 KUH PERDATA menegaskan; Suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

  c.

Pasal 1334 KUH PERDATA menegaskan;

  Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

  Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan menginggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 169, 176, dan 178.

  Substansi pasal-pasal tersebut memberikan pedoman bahwa dalam berkontrak harus dipenuhi hal atau objek tertentu. Hal ini dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak (prestasi) dapat dilaksanakan oleh para pihak. Bahwa “tertentu” tidak harus dalam artian gramatikal dan sempit harus sudah ada ketika kontrak dibuat, adalah dimungkinkannya untuk hal atau objek tertentu tersebut sekadar ditentukan jenis, sedang mengenai jumlah dapat ditentukan

  31 kemudian hari.

  Kausa yang diperbolehkan

  Terkait dengan pengertian “kausa yang diperbolehkan” atau ada yang menerjemahkannya “sebab yang halal” (een geoorlooffde oorzaak) beberapa sarjana mengemukakan pemikirannya, antara lain H.F.A. Volmar dan Wirjono Prodjodikoro, yang memberikan pengertian sebab (kausa) sebagaimana maksud atau tujuan dari perjanjian. Sedangkan Subekti menyatakan bahwa sebab adalah isi perjanjian itu sendiri, dengan demikian kausa merupakan prestasi dan kontra prestasi yang saling dipertukarkan oleh para pihak.

31 Ibid , hlm 191

  Pengertian kausa atau sebab (oorzaak) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH PERDATA syarat 4, harus dihubungkan dalam konteks Pasal 1335 dan 1337 KUH PERDATA. Meskipun undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan sebab atau kausa, namun yang dimaksud disini menunjuk pada adanya hubungan tujuan (causa finalis), yaitu apa yang menjadi tujuan para pihak untuk menutup kontrak atau apa yang hendak dicapai para pihak pada saat penutupan kontrak. Misalnya dalam kontrak jual beli, tujuan para pihak dalam menutup kontrak adalah pembayaran harga barang (oleh pembeli) dan pengallihan kepemilikan barang (oleh Penjual).

  Pengertian Kausa (kausa finalis- kausa tujuan) hendaknya dibedakan dengan pengertian Kausa pada pasal 1365 KUH PERDATA adalah sebab atau penyebab yang menimbulkan kerugian (kausa efficiens). Kausa disini menunjukkan adanya adaya hubungan sebab akibat antara perbuatan melanggar hukum (sebagai kausa penyebab) dengan kerugian yang di timbulkan, (akibat, kausa efficiens) sehingga menimbulkan kewajiban memberikan ganti rugi. Demikian pula perlu dibedakan antara kausa dan motif. Motif adalah alasan yang mendorong batin seseorang untuk melakukan suatu hal.

  Dalam Pasal 1335 KUH PERDATA ditegaskan bahwa “suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat dengan sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum”.

  Adapun sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa apa yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian atau kontrak tersebut harus disertai itikad baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan.

  Selanjutnya pasal 1337 KUH PERDATA ditegaskan bahwa “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan yang baik atau ketertiban umum”.

  Berdasarkan kedua pasal diatas, suatu kontrak tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (batal), apabila kontrak tersebut: a.

  Tidak mempunyai kausa.

  b.

  Kausanya palsu c. Kausanya bertentangan dengan undang-undang d.

  Kausanya bertentangan dengan kesusilaan

  32 e.

  Kausanya bertentangan dengan keteriban umum B.

  Subjek dan Objek Hukum dalam Perjanjian 1.

  Subjek Hukum dalam Perjanjian “Manusia” (person) dalam dunia hukum adalah subjek hukum atau pendukung hak dan kewajiban. Setiap manusia adalah pembawa hak dan kewajiban (subjek hukum) dan mampu melakukan perbuatan hukum atau mengadakan hubungan hukum yang harus diikuti dengan adanya kecakapan hukum (rechtbeekwaamheid) dan kewenangan hukum.

  Ada dua macam subjek hukum yang dikenal dalam ilmu hukum, yaitu sebagai berikut: a. Natuurlijke Persoon (natural persoon), yaitu manusia Pribadi (pasal 1329 KUH Perdata)

32 J. Satrio, Op.Cit hlm 320

  b.

  Rechtpersoon (legal entity), yaitu badan atau perkumpulan yang didirikan dengan sah yang berkuasa melakukan perbuatan-perbuatan

  33

  perdata (Pasal 1654 KUH Perdata) Undang-undang tidak menjabarkan defenisi badan hukum. Selama ini istilah badan hukum diadopsi dari istilah belanda (rechtpersoon), atau istilah

  Inggris (legal Persons), dan ada juga yang menyebutnya dengan istilah

  persona moralis. Badan hukum merupakan subjek hukum, sama halnya

  34 seperti manusia pribadi.

  Bentuk-bentuk usaha itu beracam-macam, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Ditinjau dari jumlah pemilik modalnya.

  a. Usaha perseorangan b.

  Usaha dalam bentuk institusi atau badan (persekutuan) 2. Ditinjau dagi segi himpunan, badan usaha dibagi menjadi dua a.

  Himpunan orang (persoonen assiciate/nirlaba). Himpunan orang ini memiliki ciri-ciri atau karakter, antara lain pengaruh asosiasi terhadap anggotanya sagat besar, anggotanya sedikit atau terbatas; dan anggotanya tidak mudah keluar atau masuk (tertutup). Contoh IKADIN (Ikatan Advokad Indonesia); IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia), HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) b. Himpunan Modal (capital associatie/laba). Contoh Firma; CV ; 33 NV/PT.

  Mulhadi, Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor 2010, hlm

  72 34 Ibid

3. Baik secara teoritis maupun ditinjau dari status hukumnya, bentuk usaha atau perusahaan memiliki dua bentuk.

  a.

  Bentuk usaha atau perusahaan bukan badan hukum

  35 b.

  Bentuk usaha atau perusahaan badan hukum. Perusahaan yang bukan badan hukum meliputi bentuk-bentuk perusahaan sebagai berikut:

  1. Perusahaan perseorangan, yang wujud bentuknya Perusahaan Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD).

  2. Persekutuan, yang wujudnya terdiri dari bentuk-bentuk.

  a.

  Perdata (maatschap).

  b.

  Persekutuan Firma (Fa)

  c. Persekutuan Komanditer (CV) Sedangkan Perusahaan berbadan hukum meliputi bentuk-bentuk perusahaan antara lain sebagai berikut: a.

  Maskapai Andil Indonesia (IMA) b.

  Perseroan Terbatas (PT)

  c. Koperasi d.

  Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 1)

  Perusahaan Perseroan (Persero) 2)

  Perusanaan Umum (Perum) Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan kontrak dengan siapa saja yang dikehendaki sepanjang orang tersebut tidak dilarang oleh undang-undang

35 Ibid ., hlm 23

  untuk melakukan kontrak. Pihak-pihak dalam kontrak ini dapat berupa

  36 perseorangan atau badan usaha yang bukan badan hukum dan badan hukum.

  Dalam melakukan kontrak, pihak-ihak yang terlibat dalam kontrak tersebut dapat bertindak untuk dan atas kepentingan dan atas namanya sendiri, namun dapat pula bertindak untuk kepentingan orang lain, bahkan dapat bertindak untuk kepentingan dan atas nama orang lain.Untuk lebih memperjelas hal tersebut diatas, dibawah ini masing-masing diberikan contoh sebagai berikut: a.

  Dalam hal seseorang melakukan kontrak dengan bertindak untuk dan atas nama sendiri adalah jika orang itu berkepentingan sendiri dalam membuat kontrak dan ia sendiri cakap menurut hukum untuk melakukan kontrak tersebut.

  b. Seseorang bertindak atas nama sendiri, namun untuk kepentingan orang lain jika ia merupakan seorang wali yang bertindak atau melakukan kontrak untuk kepentingan anak yang berada di bawah perwaliannya.

  c.

  Seseorang yang bertindak unutk dan atas nama orang lain kalau ia

  37 seorang pemegang kuasa dari orang lain untuk melakukan kontrak.

  Pihak dalam kontrak adalah badan usaha yang bukan merupakan badan hukum, maka yang mewakili badan usaha tersebut tergantung dari bentuk badan usahanya. Kalau yang merupakan pihak adalah persekutuan Firma (Fa), secara hukum setiap anggota sekutu berhak mewakili firma tersebut, kecuali kalau para sekutu itu sendiri menentukan lain, sedangkan dalam persekutuan komanditer (CV) yang mewakili persekutuan tersebut dalam membuat kontrak adalah para sekutu pengurusnya. 36 37 Ibid , hlm 24

  Ahmadi Miru, Op.Cit, hlm 7 Apabila yang melakukan kontrak adalah badan hukum, yang mewakili adalah siapa yang ditentukan dalam undang-undang untuk mewakili badan hukum tersebut atau siapa yang ditentukan dalam anggaran dasar badan hukum tersebut.

  Di samping pembagian pihak-pihak diatas masih dapat pula digolongkan para pihak dalam perjanjian tersebut ke dalam tiga golongan, yang tentu saja pembagian tersebut dilakukan karena hubungan hukum antara masing-masing

  38 golongan memiliki aturan yang berbeda. .

  Adapun penggolongan tersebut adalah sebagai berikut: a. Pelaku usaha

  Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun buka badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Repulik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

  b.

  Konsumen Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak diperdagangkan.

  c.

  Nonprofesional Nonprofesional yang dimaksud disini adalah orang yang mengadakan penjualan barang, tetapi sebenarnya penjualan tersebut bukan merupakan pekerjaannya sehingga walaupun orang yang membeli barang menggunakan sendiri barang tersebut, namun tidak dapat digolongkansebagai konsumen 38 Ahmadi Miru, Op.Cit., hlm. 9 sebagaimana diatur dalam UUPK karena tidak berhadapan dengan pelaku

  39 usaha.

2. Objek Hukum dalam Perjanjian

  Unsur objek (prestasi) tertentu atau dapat ditentukan memberikan suatu benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud; melakukan suatu perbuatan tertentu; atau tidak melakukan perbuatan tertentu. Suatu objek tertentu atau prestasi tertentu, merupakan objek perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang- kurangnya dapat ditentukan. Kejelasan mengenai objek perjanjian adalah untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak. Jika objek prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit, bahkan tidak mungkin dilaksanakan, perjanjian itu batal (nietig, vold).

  Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPdt, objek perjanjian atau prestasi yang wajib dipenuhi pihak-pihak itu dapat berupa memberikan benda tertentu, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud misalnya dalam jual beli sepeda motor (berwujud), pihak penjual menyerahkan (memberikan) sepeda motor, pihak pembeli menyerahkan (memberikan)

  40 sejumlah uang harga sepeda motor.

  Selain itu, dapat pula melakukan suatu perbuatan tertentu atau tidak ditentukan, misalnya, pekerjaan konstruksi bangunan, pembuatan pagar rumah. Pihak penerima pekerjaan menerima pekerjaan yang diberikan, sedangkan pihak pemberi pekerjaan membayar upahnya kepada pekerja. 39 40 Ibid

  Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm 302 Disamping melakukan perbuatan tertentu, boleh juga tidak melakukan perbuatan tertentu, misalnya tidak membuat tembok tinggi yang mengganggu pemandangan tetangganya. Jika perbuatan itu dilakukan, berarti melakukan pelanggaran hukum. Pihak tetangga tadi dapat meminta agar tembok yang

  41 mengganggu pemandangan itu dibongkar.

  Menurut tradisi, untuk sahnya suatu perjanjian, maka objek perjanjian haruslah:

1. Dapat ditentukan 2.

  Dapat diperdagangkan (diperbolehkan) 3. Mungkin dilakukan

  42 4.

  Dapat dinilai dengan uang Tuntutan dari undang-undang adalah objek perjanjian haruslah tertentu.

  Setidaknya objek perjanjian dapat ditentukan. Tujuan dari suatu perjanjian adalah untuk timbulnya/ terbentuknya, berubahnya, berakhirnya suatu perikatan. Perjanjian tersebut mewajibkan kepada para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu (prestasi).

  Pada akhirnya, kewajiban tersebut haruslah dapat ditentukan. Tidak dapat dibayangkan jika debitor tidak tahu apa yang menjadi kewajibannya dan kreditor tidak tahu apa yang menjadi haknya. Hakim pun akan bingung untuk memutuskan apa yang harus dilaksanakan jika tidak diketahui apa yang telah diperjanjikan diantara para pihak.

  Jika kita berbicara tentang perjanjian, hal tersebut berarti adanya objek perjanjian yang dapa t ditentukan. Janji untuk melakukan “sesuatu”, sedangkan ternyata tidak jelas apa yang dimaksud dengan “sesuatu” tersebut, bukanlah suatu perjanjian. Namun tidak berarti bahwa para pihak pada waktu membentuk perjanjian, harus sudah secara terperinci menyatakan apa yang 41 42 Ibid , hlm 203

  Herlien Budiono, Op.Cit, hlm 108 menjadi hak/kewajiban masing-masing. Bahkan untuk jualbeli, dimungkinkan harga jual belinya ditetapkan oleh pihak ketiga (Pasal 1465 (2) KUH Perdata). Di dalam batas-batas tertentu, dapat diperjanjikan bahwa luasnya hak dan kewajiban masing-masing pihak diserahkan penentuannya kepada salah satu pihak ini tentunya harus dilakukan dengan itikad baik.

  Penentuan hak dan kewajiban para pihak apabila diserahkan kepada pihak ketiga disebut sebagai

  beding “advis” yang mengikat (bindend advise).

  Sedangkan jika diserahkan kepada salah satu pihak, dikenal sebagai bending “penentuan pihak (partijbeslissing). Bending atau janji semacam ini diterima

  43 secara umum dan tunduk pada ketentuan pasal 1338 KUH Perdata.

  Ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “Hanya barang yang dapat ditentukan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan”

  Namun demikian, ini tidak berarti bahwa barang untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi pokok perjanjian. Perjanjian antar kotamadya dan pemborong untuk pekerjaan pemasangan pipa air leding atau pembuatan gorong-gorong tidaklah dapat digolongkan ke dalam perjanjian yang dimaksudkan oleh Pasal 1332 KUHPerdata. Pada umumnya sepanjang pokok perjanjian berkaitan dengan kepentingan umum, maka perjanjian tersebut prestasinya adalah untuk melakukan sesuatu. Sedangakan untuk prestasi memberikan sesuatu, sehubungan dengan akan dialihkannya barang untuk kepentingan umum tersebut, maka itu harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan perundang-undangan. 43 Ibid , hlm 109 C.

  Jenis-jenis Perjanjian dan Asas Hukum Perjanjian

  1) Jenis – jenis perjanjian Para ahli di bidang kontrak tidak ada kesatuan pandangan tentang pembagian kontrak. Ada ahli mengkajinya dari sumber hukumnya, namanya, bentuknya, aspek kewajibannya, maupun aspek larangannya. Berikut ini disajikan jenis-jenis kontrak berdasarkan pembagian diatas: a.

  Kontrak menurut sumber hukumnya Kontrak menurut sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Sudikno mertokusumo menggolongkan perjanjian (kontrak) dari sumber hukumnya. Ia membagi jenis perjanjian (kontrak) menjadi lima macam, yaitu: 1.

  Perjanjian bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan

  2. Perjanjian bersumber dari kebendaan, yaitu berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik

3. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian menimbulkan kewajiban 4.

  Perjanjian bersumber dari hukum acara, disebut

  bewisjsoverentkomst

  5. Perjanjian bersumber dari hukum publik, disebut dengan publieckrechtelijke overeenkomst.

  44 b.

  Kontrak menurut namanya

44 Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta,

  Maret 2010, hlm 27

  Penggolongan ini didasarkan pada perjanjian tercantum dalam

  pasal 1319 KUH Perdata dan Artikel 1355 NBW. Di dalam pasal 1319 KUH Perdata dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak bernama).

  Kontrak nominaat adalah kontrak dikenal dalam KUH Perdata. termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dan lain-lain sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak timbul, tumbuh dan berkembang dalam masayarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam KUH Perdata. termasuk dalam kontrak innominaat adalah, leasing,beli sewa, franchise,kontrak rahim,

  

joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain-

  45 lain.

  c.

  Kontrak menurut bentuknya Dalam KUH Perdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan tercantum dalam KUH Perdata, maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis.

  Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (pasal 1320 45 KUH Perdata). Dengan adanya konsensus maka perjanjian telah

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pengertian Rasio Keuangan - Pengaruh Inventory TurnoverRatio Dan Debtors’ TurnoverRatio Terhadap Gross ProfitMargin: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh Inventory TurnoverRatio Dan Debtors’ TurnoverRatio Terhadap Gross ProfitMargin: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan dan Perilaku - Pengetahuan Dan Perilaku Dokter Gigi Terhadap Tindakan Pencabutan Gigi Pada Penderita Diabetes Mellitus Di Kecamatan Medan Selayang Periode Januari-Februari 2014

0 0 23

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BAJAK LAUT A. Pengertian dan Sejarah Bajak Laut di Dunia - Kewenagan Menangkap dan Mengadil Bajak Laut di Wilayah Jurisdiksi Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kewenagan Menangkap dan Mengadil Bajak Laut di Wilayah Jurisdiksi Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional

0 0 18

Kewenagan Menangkap dan Mengadil Bajak Laut di Wilayah Jurisdiksi Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional

0 0 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN - Tanggung Jawab Yuridis Para Pihak Dalam Pengiriman Tebu dari Kebun ke Pabrik (Studi pada Kebun Sei Semayang PTPN II)

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN - Tanggung Jawab Yuridis Para Pihak Dalam Pengiriman Tebu dari Kebun ke Pabrik (Studi pada Kebun Sei Semayang PTPN II)

0 0 15

Tanggung Jawab Yuridis Para Pihak Dalam Pengiriman Tebu dari Kebun ke Pabrik (Studi pada Kebun Sei Semayang PTPN II)

0 0 9

Perlindungan Hukum terhadap Penumpang sebagai Pengguna Jasa Angkutan Umum pada Pengangkutan Darat (Studi pada CV. PAS Transport)

0 0 11