Pemanfaatan Fermentasi Hasil Samping Industri Kelapa Sawit dengan Probiotik Lokal terhadap Performans Domba

TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit

  Dalam sistematika taksonomi, tanaman kelapa sawit memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom: Plantae; Division: Embriophyta; Subdivision: Angiospermae; Class: Monocotyledonae; Ordo: Palmaceae; Famili: Palmales; Genus: Elaeis; Spesies: Elaeisguineensis Jacq (Kiswanto, 2008).

  Tabel 1. Produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap hektar Biomassa Segar (kg) Bahan Kering (%) Bahan Kering (kg)

  Daun tanpa lidi 1.430 46,18 658 Pelepah 6.292 26,07 1.640 Tandan kosong 3.680 92,1 3386 Serat perasan 2.880 93,11 2.681

  24,07 Lumpur sawit, solid 4.704 1.132 Bungkil kelapa sawit 560 91,83 514 Total biomassa

  10.011 Asumsi : 1 ha, 130 pohon (Liwang, 2003) 1 pohon dapat menyediakan sejumlah 22 pelepah per tahun, 1 pelepah, bobot 2,2 kg (hanya 1/3 bagian yang dimanfaatkan), bobot daun per pelepah 0,5 kg, tandan kosong 23% dari TBS, produksi minyak sawit 4 ton per ha per tahun (Liwang, 2003).

  Kekurangan dari limbah sawit bila digunakan sebagai pakan ternak yaitu mengandung serat kasar yang cukup tinggi. Untuk mengatasi masalah itu dapat dilakukan beberapa perlakuan (Mathius, el al., 2003). Serat buah sawit mempunyai kandungan energi(TDN) 56%. Hal ini menunjukkan potensi namun kurang disukai ternak. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan palatabilitasnya adalah dengan memberikan perlakuan seperti fermentasi atau mencampur dengan bahan pakan lain menjadi konsentrat atau pakan lengkap (Suharto, 2004).

  Pelepah Sawit

  Pelepah sawit merupakan produk perkebunan kelapa sawit yang dapat diperoleh sepanjang tahun bersamaan dengan panen tandan buah segar. Setiap pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 22 pelepah/tahun dan rataan bobot pelepah per batang mencapai 2,2 kg (setelah dikupas untuk pakan), sehingga setiap hektar dapat menghasilkan pelepah segar untuk pakan sekitar 9 ton/ha/tahun atau setara dengan 1,64 ton/ha/tahun bahan kering (Diwyanto etal., 2003).

  Daun kelapa sawit dapat digunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan. Namun, adanya lidi pada pelepah daun kelapa sawit akan menyulitkan ternak dalam mengkonsumsinya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan, penggilingandanmelakukanfermentasi. Pemanfaatan pelepah daun sawit sebagai bahan pakan ruminansia disarankan tidak melebihi 30%. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah daun sawit,dapat ditambahkan produk samping lain dari kelapa sawit. Pemberian pelepah daun sawit sebagai bahan pakan dalam jangka panjang, dapat menghasilkan kualitas karkas yang baik (Wayan, 2008).

  Komposisi nutrient pelepah sawit adalah sebagai berikut: kandungan bahan kering 26,70 persen; protein kasar 5,02 persen; lemakkasar 1,07 persen; seratkasar 50,94; BETN 39,82 persen; TDN 45,00 persen; GE(kkal/kg) 56,00 persen; Ca 0,96 persen; dan P 0,08 persen (Imsya, 2009).

  Bungkil Inti Sawit

  Kendala pemberian BIS dalam ransum antara lain kandungan serat kasarnya yang tinggi dan kecernaan protein dan asam amino yang rendah (Tafsin, 2007). Kandungan nutrisi BIS yang dianalisis di LaboratoriumTeknologi dan Industri Pakan Univeritas Andalas (2010) adalah: protein kasar 15,40 %, lemak kasar 6,49 %, serat kasar 19,62 %, Ca 0, 56 %, P 0,64%, dengan energi metabolisme 2446 kkal/kg.

  Haryanto dan Jarmani (2010), menyatakan semakin tinggi BIS dalam konsentrat semakin meningkat kinerja domba, sementara itu, tingkat optimal penggunaan BIS sebagai pengganti dedak dalam konsentrat domba adalah sebesar 30%. Hal serupa juga dilaporkan Mathiuset al., (2003) bahwa BIS sampai dengan 30% pada konsentrat menunjang pertumbuhan ruminansia dengan baik.

  Carvalho et al., (2005), mengatakan bahwa peningkatan kecernaan BK, serat dan energi tercerna terjadi seiring dengan meningkatnya kandungan BIS dalam pakan secara in vivo pada domba jantan. Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan olehKurniasari et al., (2009), dimana nilai kecernaan dipengaruhi oleh konsumsi energi dan protein.

  Lumpur Sawit

  Dalam proses pengolahan minyak sawit (CPO) dihasilkan limbah cairan yang sangat banyak, yaitu sekitar 2,5 m3/ton CPO yang dihasilkan. Limbah ini mengandung bahan pencemar yang sangat tinggi, yaitu. ‘biochemical oxygen

  demand’ (BOD) sekitar 20.000-60.000 mg/l (Wenten, 2004). Utomo dan Erwin

  (2004) menyatakan bahwa pemanfaatan lumpur sawit (solid) sebagai pakan ternak diharapkan mampu menanggulangi permasalahan ketersediaan pakan pada saat musim kemarau, serta meningkatan produktivitas ternak. Banyak penelitian telah dilaporkan tentang penggunaan lumpur sawit sebagai bahan pakan ternak ruminansia maupun non-ruminansia. Suharto (2004) menyimpulkan bahwa kualitas lumpur sawit lebih unggul dari dedak padi.

  Menurut penelitian Widjaya dan Utomo (2005) kandungan gizi dari solid adalah sebagai berikut : protein kasar (PK) 12,63-17,41%; serat kasar (SK) 9,98- 25,79%; lemak kasar (LK) 7,12-15,15%; energi bruto (GE) 3.217-3.454 kkal/kg bahan kering. Produksi solid akan bertambah seiring semakin meningkatnya produksi tandan buah segar (TBS), dimana produksi solid yang dapat diperoleh sekitar 3% dari TBS yang diolah. Umumnya pabrik belum memanfaatkan solid secara optimal bahkan dibuang begitu saja.

  Fermentasi

  Fermentasi berasal dari bahasa latin ferfere yang artinya mendidihkan, yaitu berdasarkan ilmu kimia terbentuknya gas-gas dari suatu cairan kimia yangpengertiannya berbeda dengan air mendidih. Gas yang terbentuk tersebut diantaranya adalah karbon dioksida(CO2) (Afrianti, 2004). Fermentasi adalah proses pemecahan senyawa organik yang dengan bantuan mikroorganisme di ubah menjadi senyawa sederhana. Fermentasi dapat terjadi karena ada aktivitas mikroorganisme penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai, proses ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan tersebut. Proses fermentasi pelepah sawit dilakukan untuk menumbuhkan cita rasa, aroma dan warna, karena selama fermentasi akan terjadi perubahan fisik, kimia dan biologi. Dalam fermentasi, mikroba juga dapat berperan sebagai untuk mencegah gula menjadi alkohol dan asam (Naswir , 2003). Fermentasi merupakan salah satu teknologi untuk meningkatkan nilai gizi pakan berserat tinggi. Fermentasi dapat menghidrolisis protein, lemak, selulosa, lignin dan polisakarida lain, sehingga bahan yang difermentasi akan mempunyai daya cerna yang lebih tinggi, fermentasi akan meningkatkan Total Digestible Nutrien (TDN) dari bahan menjadi 70%. Dengan tingginya protein sehingga ketersediaan nitrogen untuk pertumbuhan mikroba menjadi lebih baik. Hampir 80% mikroba rumen membutuhkan nitrogen untuk mensintesis protein tubuhnya. Pertumbuhan mikroba yang baik akan menyebabkan kecernaan pakan juga menjadi lebih baik (Anggorodi, 1979).

  Upaya untuk memperbaiki kualitas gizi, mengurangi, atau menghilangkan pengaruh negatif dari bahan pakan tertentu dapat dilakukan dengan penggunaan mikroorganisme melalui proses fermentasi. Fermentasi juga dapat meningkatkan nilai kecernaan, menambah rasa dan aroma, serta meningkatkan kandungan vitamin dan mineral (Winarno, 2000). Faktor-faktor fermentasi antara lain yaitu pH, waktu, kandungan oksigen, suhu, dan mikroorganisme (Juwita, 2012). Karlina (2008) menyatakan bahwa semakin lama waktu fermentasi maka akan menyebabkan kadar keasaman semakin tinggi sehingga pH akan semakin menurun.

  Beberapa manfaat/keuntungan yang dapat diperoleh dari proses pembuatan produk melalui proses fermentasi adalah, dapat menghilangkan atau mengurangi zat anti nutrisi, dapat meningkatkan kandungan nutrisi, dapat meningkatkan kecernaan, dan dapat menaikkan tingkat kesehatan (Aryogi et al., 1999)

  Probiotik

  Menurut Ramia (2000) probiotik merupakan pakan tambahan dalam bentuk mikroba hidup yang dapat memberikan pengaruh menguntungkan bagi ternak inang dengan meningkatkan keseimbangan populasi mikroba dalam saluran pencernaan ternak. Probiotik merupakan mikroorganisme yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan ternak tanpa mengakibatkan terjadinya proses penyerapan komponen probiotik dalam tubuh ternak, sehingga tidak terdapat residu dan tidak terjadi mutasi pada ternak. Manfaat probiotik sebagai bahan aktif ditunjukkan dengan meningkatkan ketersediaan lemak dan protein bagi ternak, disamping itu probiotik juga meningkatkan kandungan vitamin B kompleks melalui fermentasi makanan (Samadi, 2007).

  Mikroorganisme yang bisa dimanfaatkan sebagai probiotik adalah bakteri (Bakteri Asam Laktat, Genus Lactobacillus dan Genus Bifidobacteria) dan fungi (Saccharomyces cerevisiae), mikrobia yang digunakan sebagai probiotik adalah bakteri, khamir atau ragi, mould, dan mungkin pada suatu saat termasuk protozoa dan bahkan metazoan (Soeharsono, 2010).

  Giger-Reverdin et. al., (1996), menyatakan suplementasi ragi hidup sebagai probiotik dapat membantu meningkatkan produksi asam lemak susu pada kambing perah, sehingga probiotik dapat memperbaiki kualitas produk ternak. Sedangkan penggunaan EM (effective microorganisme) pada air minum pada level 2 % memberikan efek yang menguntungkan terhadap kecernaan dinding sel tanaman (ADF dan NDF) sehingga pemanfaatan pakan yang berserat yang tinggi dapat dilakukan (Syomiti, et. al., 2010).

  Aktivitas Saccharomyces cerevisiae dapat menstimulasi jumlah bakteri anaerob di dalam rumen dengan menghilangkan oksigen dari cairan rumen

  (Auclair, 2009). Pendapat lain oleh Chiquette (2009), menyimpulkan bahwa penggunaan ragi hidup sebagai probiotik dapat meningkatkan populasi bakteri selulitik dalam rumen, menjaga kestabilan pH rumen, meningkatkan degradasi serat di rumen, mengurangi bakteri patogen, meningkatkan produksi susu dan meningkatkan total bakteri. Selanjutnya, penggunaan strain kembar

  Saccharomyces cerevisiae hidup yang dicampur dengan mikroorganisme rumen

  dan difermentasi dengan secara in vitro dapat menurunkan laktat, sedikit metan dan hidrogen dengan pemberian hay dan konsentrat (Lila, et. al., 2004).

  Cairan Rumen

  Rumen pada dasarnya adalah fermentor alami yang mengubah bahan serat menjadi protein mikroba yang mampu menjadi sumber protein untuk meningkatkan produksi daging dan susu. Efisiensi transfer nitrogen oleh ruminansia 20

  • –30% kesusu dan 10–20% kedaging (Dewhurt, et al.,2000). Jumlah populasi mikroba didalam cairan rumensepuluh kali lebih banyak dari pada jumlah populasi mikroba yang terdapat didalam feses dan ini akan mempengaruhi kecernaan BK substrat secara keseluruhan (Todar, 1998). Arora (1995) dan Gustafsson dan Palmquist (1993), menyatakan bahwa kandungan amonia rumen berkorelasi positif dengan sintesis protein mikroba, yaitu bila terjadi peningkatan konsentrasi ammonia (NH

  3 ) dan VFA dalam rumen maka sintesis protein mikroba juga turut meningkat pula.

  Domba Hair Sheep

  Domba Hair Sheep adalah bangsa domba yang diperoleh dari persilangan yang dilakukan oleh Balai Penelitian Ternak (SBPT) Sungei Putih Galang, Sumatera Utara bekerja sama dengan Small Ruminant-Collaborative Research Support Program (SR-CRSP) sejak tahun 1986. Komposisi darahnya adalah 50 % domba lokal Sumatera, 25 % domba St. Croix ( Virgin Island) dan 25 % domba Barbados Blackbelly. Beberapa keuntungan atau kelebihan yang diperoleh dari domba Sungei Putih antara lain : (1) Produktivitasnya lebih tinggi dari pada domba lokal Sumatera (± 40 % lebih tinggi). Hal ini ditandai dengan laju pertumbuhan yang tinggi, tetapi jumlah anak per kelahiran, interval beranak dan mortalitas anak yang relative rendah, (2) Adaptasi yang baik terhadap lingkungan termasuk resisten terhadap parasit internal, (3) Karkasnya lebih besar, dengan kualitas pakan yang baik, rata-rata bobot hidup domba jantan muda adalah 20 kg pada umur 7 bulan dan 30 kg pada umur 11 bulan, (4) Wolnya lebih sedikit dari pada domba Lokal Sumatera, domba lokal ekor tipis dan domba Priangan. Domba Hair Sheep merupakan salah satu bangsa domba yang dapat diandalkan untuk menunjang pengembangan sistem integrasi lahan perkebunan serta peternakan dengan perkebunan baik konsumsi dalam negeri maupun tujuan ekspor (Gatenby and Batubara, 1994).

  Konsumsi Pakan

  Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan apabila bahan pakan tersebut diberikan secara ad libitum. Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu paling yang menentukan jumlah nutrient yang didapat oleh ternak dan berpengaruh terhadap tingkat produksi (Parakkasi, 1995).

  Menurut Departemen Pertanian (2002), yang menumbuhkan daya tarik dan merangsang ternak untuk mengkonsumsinya adalah palatabilitas yaitu sifat performans bahan-bahan sebagai akibat dari keadaan fisik dan kimiawi yang dimiliki oleh bahan-bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptiknya seperti bau, rasa, tektur, dan temperatur.

  Konsumsi pakan yang rendah akan menyebabkan kekurangan zat makanan yang dibutuhkan ternak, dan akibatnya akan menghambat penimbunan lemak dan daging. Apabila kebutuhan untuk pokok sudah terpenuhi, kelebihan gizi yang dikonsumsi akan ditimbun sebagai jaringan lemak dan daging (Anggorodi, 1994).

  Tillman et al. (1991), menyatakan bahwa hubungan daya cerna dengan konsumsi adalah meningkatnya daya cerna menyebabkan meningkatnya konsumsi. Disamping dipengaruhi oleh kandungan nutrien, konsumsi juga dipengaruhi oleh laju alir pakan (McDonald et al., 1995). Laju alirpakan dipengaruhi oleh konsumsi air minum. Tabel 2. Kebutuhan harian zat-zat pakan untuk ternak domba

  BK Energi Protein Ca (g) P (g) BB

  (kg) kg %BB ME Mcal TDN Total DD 5 0,14 2,8 0,6 0,61

  51 41 1,91 1,4 10 0,25 2,5 1,01 1,26 81 68 2,3 1,6 15 0,36 2,4 1,37 0,38 115

  92 2,8 1,9 20 0,51 2,6 1,8 0,5 151 120 3,4 2,3 25 0,62 2,5 1,91 0,53 160 128 4,1 2,8 30 0,81 2,7 2,44 0,67 204 163 4,8 2,3

  Sumber: NRC (National Research Council) (1995).

  Pertambahan Bobot Badan

  Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot badan melalui penimbangan berulang-ulang, yaitu setiap hari, setiap minggu atau setiap waktu lainnya. Penimbangan ternak pada setiap jangka waktu tertentu misalnya setiap minggu atau setiap bulan akan dapat mengetahui besarnya pertambahan bobot badan ternak (Tillman et al., 1998).

  Ransum merupakan faktor terbesar yangmempengaruhi laju pertumbuhan ternak, hal tersebut ditunjukkan oleh PBB persatuan waktunya. Dalam keadaan yang sama, besarnya PBB ternak, akan sebanding dengan jumlah ransum yang dikonsumsi (Tillman et al., 1983).

  Rata-ratapertambahan bobot badan (PBB) lokal yang dipelihara di peternakan rakyat berkisar 30 gram/hari,melalui perbaikan teknologi pakan

PBBdomba lokalmampu mencapai 57 – 132 g/ekor (Prawotoet al.,2001)

  Purbowati (2007), melaporkan domba yang diberi complete feed (17,35%) protein kasar) dalam bentuk pelet 5,6% bobot badanmenghasilkan PBB 164 g/hari.

  Pemanfaatan protein selain terkait dengan level pemberian pakan juga terkait dengan bobot badan ternak. Ternak yang berbobot badan rendah dan masuk masa pertumbuhan membutuhkan protein lebih tinggi dibandingkan ternak dewasa yang telah masuk masa penggemukkan (Orskov, 1992). Protein mula-mula akan dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup pokok, selanjutnya kelebihanprotein yang ada pada ternak yang berbobot badan rendah cenderung akan dimanfaatkan untuk proses pertumbuhan. Protein dalam tubuh ternak salah satunya berfungsi untuk pertumbuhan/pembentukan jaringan baru (Anggorodi, 1994).

  Konversi Pakan

  Konversi pakan adalah perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang dicapai dalam kurun waktu yang sama. Konversi pakan merupakan suatu indikator yang dapat menerangkan tingkat efisiensi penggunaan pakan, dimana semakin rendah angkanya berarti semakin baik konversi pakan tersebut (Anggorodi, 1990).

  Kualitas pakan menentukan konversi pakan. Pakan yang berkualitas baik dapat menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi. Penggunaan pakan akan semakin efisiensi bila jumlah pakan yang dikonsumsi minimal namun menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi (Martawidjayaet al., 1999).

  Konversi pakan, khususnya ternak ruminansia kecil, dipengaruhi oleh kualitas pakan, nilai kecernaan dan efisiensi pemanfaatan zat gizi dalam proses metabolisme di dalam jaringan tubuh ternak. Makin baik kualitas pakan yang dikonsumsi ternak, akan diikuti dengan PBB yang lebih tinggi dan makin efisien penggunaan pakannya (Kusmandi et al., 1992; Juarini et al., 1995). Sementara itu,menurut Haryanto et al. (1992), nilai kecernaan yang rendah, menyebabkan penggunaan pakan tidak efisien.