Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pasien Berdasarkan Hukum Positif Indonesia(Studi Padaunit Pelayanan Teknis Balai Kesehatan Indera Masyarakat Medan)

BAB II. TINAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Kita sebagai manusia yang hidup bermasyarakat pastilah pernah

  melakukan suatu tindakan mengikat janji.Perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau dua pihak, mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek dari perjanjian. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kesepakatan itu timbul karena adanya kepentingan dari masing-masing pihak yang saling membutuhkan. Sebagai manusia kita tidak dapat menghindari atau lari dari kenyataan bahwa manusia dalam hidup bermasyarakat, pastilah memiliki kepentiungan-kepentingan tersendiri baik bersifat individual maupun kelompok tertentu..Perjanjian juga dapat disebut sebagai persetujuan, karena dua pihak tersebut setuju untuk melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu yang diperjanjikan atau disepakati.Adapun kata sepakat berarti suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak. Berdasarkan pengertian kata sepakat tersebut berarti apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik kedua kehendak itu bertemu

  

  satu sama lain Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk

  

  menimbulkan akibat hukum. Maksudnya, kedua pihak tersebut sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dilaksanakan. Kesepakatan tersebut adalah untuk menimbulkan 14 15 R Subekti, Op.cit, hlm.26 RM. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),Liberty, Yogyakarta,

  1988, hlm. 97.

  18 akibat hukum, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga apabila kesepakatan itu dilanggar maka akan ada akibat hukumnya atau sanksi bagi si pelanggar.Dapat dikatakan pula bahwa sebuah perjanjian terjadi karena adanya suatu perikatan. Begitu pula sebaliknya dengan perikatan, dimana perikatan ada karena adanya suatu perjanjian. Namun dalam hal perikatan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1233 BW bahwa perikatan dilahirkan bukan hanya oleh perjanjian(1313 BW) tetapi dikarenakan adanya undang-undang (Pasal 1352 BW).

  Melalui perjanjian yang dibuat maka akan menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bersepakat. Dengan adanya hak dan kewajiban tersebut menuntut para pihak yang bersepakat atau pihak yang membuat kontrak mematuhi setiap kesepakatan yang telah dibuat.Kesepakatan tersebut pastilah memiliki sanksi apabila dilanggar atau tidak ditepati.Perjanjian dalam hal ini dapat dipaksakan untuk dipatuhi dan diberi sanksi apabila dilanggar.

  Pengaturan hukum mengenai perjanjian diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).Selain di dalam KUH Perdata, mengenai hukum perjanjian juga diatur dalam sumber hukum perjanjian/kontrak lainnya seperti UU Perbankan dan Keputusan Presiden tentang Lembaga

   Pembiayaan serta jurisprudensi dan sumber hukum lainnya. Pembahasan

  mengenai perjanjian dalam KUH Perdata diatur dalam buku III.Pengertian perjanjian menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Rumusan yang diberikan dalam Pasal1313 16 Baron Wijaya & Dyah Sarimaya,Kitab Terlengkap Surat Perjanjian (Kontrak), Laskar Aksara, Jakarta, 2012, hlm.1.

  KUH Perdata tersebut merupakan pengertian yang tidak sempurna dan kurang memuaskan, karena terdapat beberapa kelemahan, baik itu tidak jelas karena ada dua macam perbuatan yaitu apakah itu perbuatan biasa ataukah perbuatan hukum, selain itu subjek hukum yang disebutkan hanyalah orang perorangan padahal subjek hukum yang kita kenal terdapat juga badan hukum serta perjanjian yang dibuat tidak hanya sepihak melainkan juga ada perjanjian timbal balik.

  Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda),

  

contract /agreement (bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah

  yang dalam hukum kita dikenal sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama,yaitu suatu perbuatan hukum yang saling mengikatkan para pihak ke dalam suatu hubungan hukum, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum.Penggunaan istilah kontrak lebih sering digunakan dalam dunia praktik bisnis. Kontrak dibuat sebagai bukti kuat bahwa telah dilakukan dan disetujuinya suatu ikatan atau hubungan hukum antar pelaku bisnis tersebut.Kontrak bisnis tersebut dibuat dalam bentuk tertulis,sehingga kontrak dapat diartikan adalah suatu perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis.

  Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam pengertian perjanjian terdapat adanya suatu perbuatan hukum yang dilakukan. Kita seharusnya telah memahami bahwa setiap perbuatan pastilah ada akibatnya, begitu pulalah dengan perbuatan hukum akan menghasilkan akibat hukum pula.

  Perbuatan hukum dalam perjanjian diartikan melaksanakan sesuatu yang disebut dengan istilah prestasi. Selanjutnya defenisi dari prestasi tersebut diatur di dalamPasal 1234 BW yang berbunyi “Tiap-tiap perikatan adalah untuk

   memberikan sesuatu,untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”

  Mengenai prestasi tersebut meliputi 3 jenis perbuatan hukum sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 1234 KUHPerdata, maka akan dijelaskan satu persatu,yaitu:

  1. Memberikan sesuatu/menyerahkan sesuatu, misalnya menyerahkan rumah bernuansa minimalis dalam suatu perjanjian jual beli rumah.

  2. Berbuat sesuatu/melakukan sesuatu, misalnya mengerjakan pembangunan got dan jalan raya sesuai surat perjanjian pemborongan.

  3. Tidak berbuat sesuatu, tidak dapat menjalin hubungan pertalian suami istri dalam satu instansi yang samasebagaimana disebutkan dalam surat perjanjian kerja.

B. Asas Umum Dan Unsur-Unsur Suatu Perjanjian

1. Asas-asas perjanjian

  Asas – asas perjanjian dalam hukum perdata terdiri dari :

  a. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme diartikan bahwa lahirnya perjanjian ialah pada saat terjadinya kesepakatan.Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah perjanjian, walaupun perjanjian itu belum dilaksanakan pada saat itu juga.Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa perjanjian tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi perjanjian tersebut. Dengan kata lain asas konsensualisme menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat dua orang atau 17 R. Subekti & R.Tjitrosudibio , Op.cit, hlm .323 lebih telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus, meskipun kesepakatan tersebut telah

   dicapai secara lisan semata-mata.

  b. Asas Kebebasan Berkontrak Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya: 1.

  Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak.

  2. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian.

  3. Bebas menentukan isi klausul perjanjian.

  4. Bebas menentukan bentuk perjanjian.

  5. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

  c. Asas Mengikatnya Suatu Kontrak (Pacta Sunt Servanda) Setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

  d. Asas Itikad Baik

  18 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata , RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 250.

  Ketentuan tentang asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Di Belanda dan Jerman, itikad baik menguasai para pihak pada periode praperjanjian, yaitu dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.

2. Unsur-unsur perjanjian

  Suatu perjanjian lahir jika disepakati tentang hal yang pokok atau unsur esensial dalam suatu perjanjian. Penekanan tentang unsur yang esensial tersebut karena selain unsur yang esensial masih dikenal unsur lain dalam suatu perjanjian.

   Dalam suatu perjanjian dikenal tiga unsur yaitu : a.

  Unsur Esensialia Unsur esensialia yaitu unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsuresensialiaini maka tidak ada kontrak.

  Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang dan harga dalam kontrak jual beli, kontrak tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal yang diperjanjikan.

  b.

  Unsur Naturalia 19 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2011, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW) , Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 63.

  Unsur naturalia yaitu unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsurnaturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh, jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan dalam KUHPerdata bahwa penjual harus menanggung cacat tersembunyi.

  c.

  Unsur Aksidentalia Unsur aksidentalia yaitu unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar utangnya, dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali kreditor tanpa melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur yang esensialia dalam kontrak tersebut.

  Salim H.S. menyatakan bahwa unsur-unsur yang tercantum dalam hukum

  

  perjanjian dikategorikan sebagai berikut: 1)

  Adanya kaidah hukum Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis.Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah- kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual 20 Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika ,

  Jakarta, 2004 hlm.3 beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.

  2) Subyek hukum Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur.Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

  3) Adanya Prestasi Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur.

  Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut: memberikan sesuatu; berbuat sesuatu; dan tidak berbuat sesuatu 4) Kata sepakat

  Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud di atas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus).Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

  5) Akibat hukum Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang diatur maupun yang belum diatur di dalam suatu undang-undang, Hal ini sesuai dengan kriteria terbentuknya perjanjian dimana berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

C. Syarat Sah Dan Macam – Macam Perjanjian

1. Syarat sah perjanjian

  Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang terdiri dari empat syarat yaitu:

  a. Kesepakatan Sepakat yaitu kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak- pihak.Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian.

  Dengan diperlakukannnya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi

   perwujudan kehendak tersebut.

  Pengertian sepakat merupakan suatu pernyataan kehendak yang telah disetujui antara para pihak, dimana dalam kesepakatan yang terjalin ada terdapat tawaran oleh pihak yang menawarkan dan akseptasi oleh pihak yang menerima tawaran. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan paling akhir dari serangkaian penawaran adalah saat tercapainya kesepakatan.Hal 21 Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman

  

Djamil, dan Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001,hlm. 73. ini dipedomani untuk perjanjian konsensuil dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.

  Adapun beberapa teori yang menjelaskan saat-saat terjadinya perjanjian antara pihak

22 Syarat adanya kesepakatan dalam perjanjian dimaksudkan bahwa kedua

  pihak yang mengadakan perjanjian secara bebas tidak ada paksaan, penipuan dari siapa pun, menyepakati apa yang diisyaratkan atau diminta oleh masing-masing pihak. Untuk lebih memperjelas lagi, berikut ada empat sebab yang membuat kesepakatan tidak bebas dalam sebuah perjanjian

  , yaitu: 1) Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat. 2) Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. 3)Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui tawarannya diterima. 4) Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

  

  22 Ibid , hlm.74. 23 Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, hlm 58.

  aitu:

  (a) Kekhilafan terjadi apabila orang dalam suatu persesuaian kehendak mempunyai gambaran yang keliru mengenai orangnya dan mengenai barangnya. (b) Paksaan dalam arti luas meliputi segala ancaman baik kata-kata atau tindakan. Orang yang di bawah ancaman maka kehendaknya tidak bebas maka perjanjian dapat dibatalkan (Pasal 1324 BW). (c) Penipuan dilakukan dengan sengaja dari pihak lawan untuk mempengaruhi ke tujuan yang keliru atau gambaran yang keliru.

  Penipuan tidak sekedar bohong tetapi dengan segala upaya akal tipu muslihat dengan kata-kata atau diam saja yang menimbulkan kekeliruan dalam kehendaknya (Pasal 1328 BW). (d) Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal, atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya.

  b. Kecakapan Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian adalah kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum sendiri.Perbedaan antara kewenangan hukum dengan kecakapan berbuat adalah bila kewenangan hukum maka subyek hukum dalam hal pasif sedangkan pada kecakapan berbuat, maka subjek hukumnya aktif.

  Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah sebagai berikut :

  1) Orang-orang yang belum dewasa Ketentuan mengenai orang-orang yang belum dewasa terdapat perbedaan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya. Dalam Kitab Undang-

  Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya (Pasal 330 BW), UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan dewasa adalah apabila telah berumur 18 tahun keatas (Pasal 47 UU No.1/1974), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan dalam Pasal 1 angka 5 bahwa anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 tahun dan belum menikah, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin(Pasal 1 UU No.3/1997).

  2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak, gelap mata, dan pemboros.

  3) Orang-orang perempuan,

  Perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki-laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian. Berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.

  c. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu di sini berbicara tentang objek perjanjian. Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam Pasal 1332 s/d 1334 KUH Perdata, yaitu :

  1) Objek yang akan ada (kecuali warisan ), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.

  2) Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian) Dalam membuat perjanjian, objeknya tersebut haruslah jelas atau tidak samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif.

  d. Suatu sebab yang halal.

  Suatu sebab yang halal memiliki pengertian bahwa dalam sebuah kontrak/perjanjian tidak boleh bertenatngan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 1337 BW “Suatu sebab adalah terlarang apabila

  

dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan, baik

   atau ketertiban umum. ” 24 R. Subekti & R.Tjitrosudibio,Op.cit,hlm.342

2. Macam-macam perjanjian

   Menurut Satrio jenis - jenis perjanjian dibagi dalam lima jenis, yaitu : a.

  Perjanjian Timbal balik dan Perjanjian Sepihak Perjanjian timbal balik (Bilateral Contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Jenis perjanjian ini yang paling umum terjadi dalam kehidupan masyarakat. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.

  b.

  Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan atas Hak yang Membebani Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

  c.

  Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian khusus, dan jumlahnya terbatas.

  Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

  d.

  Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator

25 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung, PT. Aditya Bhakti, 1992, hlm.31

  Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator.Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak- pihak. Pembeli berhak untuk menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan barang.

  Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

  e.

  Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Riil Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian riil adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata dari barangnya

  Secara garis besar, perjanjian yang diatur/dikenal di dalam KUHPer adalah perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, kerja, persekutuan perdata, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggung utang dan perdamaian. Dalam teori ilmu hukum, perjanjian-perjanjian di atas disebut dengan perjanjian

  nominaat . Dasar hukum perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai Bab

  XVIII Buku Ke Tiga KUHPerdata Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata antara lain

  1)

  Pasal 1457 KUHPerdata Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. 2)

  Pasal 1541 KUHPerdata Tukar menukar ialah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain. 3)

  Pasal 1548 KUHPerdata Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak. 4)

  Pasal 1601 KUHPerdata Selain persetujuan untuk menyelenggarakan beberapa jasa yang diatur oleh ketentuan - ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan bila ketentuan-ketentuan yang syarat-syarat ini tidak ada, persetujuan yang diatur menurut kebiasaan, ada dua macam persetujuan, dengan mana pihak kesatu mengikatkan diri untuk mengerjakan suatu pekerjaan bagipihak laindengan menerima upah, yakni: perjanjian kerja dan perjanjian pemborongan kerja.

  5)

Pasal 1618 KUHPerdata

  Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya. 6)

  Pasal 1653 KUHPerdata Selain persekutuan perdata sejati perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.

  7)

  Pasal 1666 KUHPerdata Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.Undang-undang hanya mengakui penghibahan antara orang-orang yang masih hidup. 8)

  Pasal 1694 KUHPerdata Penitipan adalah terjadi apabila seseorang menerima sesuatu barang dari orang lain dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam ujud asalnya. 9)

  Pasal 1740 KUHPerdata Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang satu menyerahkan suatu barang untuk dipakai dengan cuma-cuma kepada pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima barang itu setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan, akan mengembalikan barang itu.

  10)

  Pasal 1754 KUHPerdata Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama. 11)

  Pasal 1770 KUHPerdata Perjanjian bunga abadi ialah suatu persetujuan bahwa pihak yang memberikan pinjaman uang akan menerima pembayaran bunga atas sejumlah uang pokok yang tidak akan dimintanya kembali. 12)

  Pasal 1774 KUHPerdata Suatu persetujuan untung-untungan ialah suatu perbuatan yang hasilnya, yaitu mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti. 13)

  Pasal 1792 KUHPerdata Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.

  14)

Pasal 1820 KUHPerdata

  Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya. 15)

  Pasal 1851 KUHPerdata Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara bila dibuat secara tertulis.

  Adapun perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang berada di luar KUH Perdata yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat biasanya disebut dengan istilah innominat.Perjanjian tidak bernama, adalah perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus di dalam undang-undang, karena tidak diatur dalam KUHPerdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).Lahirnya perjanjian ini di dalam prakteknya adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij otonomi.J.Satrio memberikan pengertian yang dimaksud dengan perjanjian innominat, atau perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus di dalam undang-undang. Karena tidak diatur dalam perundang-undangan, baik KUHPer dan KUHD, keduanya didasarkan pada praktek sehari-hari dan putusan pengadilan (jurisprudensi).

   Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata,

  yaitu semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak .

26 J. Satrio, Op.cit, hlm.12

  dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain.

  Di luar KUHPerdata dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint

  

venture , leasing, franchise, kontrak karya, beli sewa, kontrak rahim, dan lain

  sebagainya.Perjanjian jenis ini disebut perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.

  Salah satu contoh innominaat yaitu Leasing yang sebenarnya berasal dari kata lease yaitu berarti menyewakan. Di Indonesia, leasing lebih sering diistilahkan dengan nama “sewa guna usaha”. Sewa guna usaha adalah suatu perjanjian dimana lessor menyediakan barang (asset) dengan hak penggunaan oleh lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk suatu jangka waktu tertentu. Secara umum leasing artinya equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan atau barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak.

  Leasing merupakan perjanjian yang lahir dari praktek kehidupan

  masyarakat berdasarkan prinsip asas kebebasan berkontrak.Leasing sebagai salah satu lembaga hukum perjanjian merupakan perjanjian innominat (perjanjian tidak bernama) dimana ketentuan mengenai perjanjian tersebut tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Meskipun demikian, leasing tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Bab I dan Bab II KUHPerdata, hal ini seperti yang ditentukan dalam Pasal 1319 KUHPerdata.

D. Pembatalan Dan Pelaksanaan Perjanjian

1. Pembatalan

  Dalam hal syarat objektif tidak terpenuhi yaitu suatu hal dan suatu sebab yang halal, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void), sedangkan apabila syarat subjektif tidak terpenuhi yaitu tentang pihak yang tidak

  cakap menurut hukum, dan pihak yang memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas , maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan (canceling).

  

Oleh karna itu maka dalam hal adanya kekurangan mengenai syarat

subjektif, oleh undang-undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan apakah

ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian

itu, bukannya batal demi hukum, tapi dapat dimintakan pembatalan.

  Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidak bebas, yaitu:

  a. Pemaksaan adalah pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan fisik atau badan.

  b. Kehilafan atau Kekeliruan,apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-

  hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kehilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang ini tidak khilaf mengenai hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.

  c. Penipuan, Apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-

  keterangan palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik(tipu-muslihat), untuk membujuk para lawannya memberikan perijinan. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya.

  Adapun hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu

pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan. Meminta pembatalan oleh

Pasal 1454 dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dibatasi sampai batas

  waktu tertentu yaitu 5 tahun .Batas waktu tersebut adalah dalam hal ketidak- cakapan suatu pihak yaitu sejak orang ini cakap menurut hukum, dalam hal paksaan yaitu sejak hari paksaan itu telah berhenti dan dalam hal kehilafan atau penipuan sejak lahir diketahuinya kehilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan yang diajukan selaku pembela atau tangkisan yang mana selalu dapat dikemukakan.

  Menurut Prof. R.Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak

  

  memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara , yaitu: 1)

  Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim; 2)

  Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu. Di depan sidang pengadilan itu ia memohon kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan. Meminta pembatalan secara pembelaan inilah yang tidak dibatasi waktunya.

2. Pelaksanaan Perjanjian

  Pelaksanaan perjanjian adalah merupakan suatu tindakan nyata tentang pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh para pihak demi 27 R. Subekti, Hukum Perjanjian Cetakan ke-VIII, PT Intermasa,Jakarta,2002,hlm 34. mencapai tujuannya. Dalam hal ini menurut Subekti, perjanjian itu adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua

   orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

  Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata pelaksanaan prestasi dalam suatu perikatan dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu : a.

  Prestasi yang berupa memberikan sesuatu b. Prestasi yang berupa berbuat sesuatu c. Prestasi yang berupa tidak berbuat sesuatu.

  Agar suatu perjanjian itu dapat terwujud maka dibutuhkan adanya pelaksanaan dari para pihak mengenai apa yang telah disepakati bersama mengenai isi dalam perjanjian.

  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan petunjuk mengenai perjanjian-perjanjian apa saja yang dapat dilaksanakan secara riil. Petunjuk tersebut terdapat dalam Pasal 1240 dan 1241.Pasal-Pasal ini meyebutkan bahwa perjanjian yang dapat dilaksanakan secara riil adalah perjanjian yang termasuk dalam golongan perjanjian-perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) dan perjanjian-perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (tidak melakukan

  

  suatu perbuatan)

  Pasal 1240 KUH Perdata menyebutkan tentang perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (tidak melakukan suatu perbuatan), bahwa si berpiutang (kreditur) berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perjanjian dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh hakim untuk 28 29 Ibid ,hlm.36 Ibid ,hlm.36.

  menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang (debitur), dengan tidak mengurangi haknya untuk menuntut ganti rugi,

   jika ada alasan untuk itu.

  Pasal 1241 KUH Perdata menerangkan tentang perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan), bahwa apabila perjanjian tidak dilaksanakan (artinya : apabila si berutang tidak menepati janjinya), maka si berpiutang (kreditur) boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakn pelaksanaannya atas biaya si berutang (debitur). Perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) juga secara mudah dapat dijalankan secara riil, asal saja bagi si berpiutang (kreditur) tidak penting oleh siapa perbuatan itu akan

   dilakukan.

  Dalam melaksanakan suatu perjanjian seyogyanya memaknai Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi “...suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”Itikad baik sudah harus ada sejak fase pra kontrak di mana para pihak mulaimelakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan, dan

   selanjutnya pada fase pelaksanaan kontrak.

E. Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum

1. Wanprestasi

  Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, perikatan yang dilakukan oleh subjek hukum selain menimbulkan akibat hukum wanprestasi, juga menimbulkan adanya suatu perbuatan melawan hukum. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban (prestasi) sebagimana yang ditentukan dalam 30 31 Ibid ,hlm.37. 32 Ibid ,hlm.37.

  Subekti,Op.cit, hlm.192 perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.

   Wanprestasi terjadi

  karena adanya salah satu pihak yang berkewajiban untuk melakukan sesuatu prestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi.

   Dalam buku Yahya Harahap disebutkan bahwa wanprestasi adalah pelaksanaan

  perjanjian yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali.

35 Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dalam setiap

  perikatan. Pemenuhan prestasi adalah hakekat dari suatu perikatan. Dengan demikian wujud prestasi adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

   1.

  Prestasi untuk menyerahkan sesuatu (prestasi ini terdapat dalam Pasal 1237 KUHPerdata).

  Menurut Pasal1234 KUHPerdata prestasi terbagi dalam 3 macam: 2.

  Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu (prestasi jenis ini terdapat dalam Pasal 1239 KUHPerdata).

  3. Prestasi untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu (prestasi jenis ini terdapat dalam Pasal 1239 KUHPerdata).

  Ada terdapat 4 kategori sehingga dapat dikatakan suatu subjek hukum melakukan wanprestasi,

   1.

  Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; yaitu:

  2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya,tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; 33 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Adhitya Bakti, Bandung, 1992,

  hlm.27 34 Ibid , hlm.8 35 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum PerjanjianCetakan. II, Alumni, Bandung, 1986, hlm.60 36 Abdul Kadir Muhammad, Op.cit, hlm.17 37 Subekti ,Op.cit, hlm.1

3. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat; 4.

  : b.

  38 Ibid , hlm.14 39 Ibid , hlm.71 40 R.Wirjono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur Bandung, Bandung, 1995,hlm.52

  Mengajukan bahwa si kreditur sendiri juga wanprestasi; c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

  Mengajukan tuntutan adanya keadaan yang memaksa; : b.

   a.

  Adapun pembelaan debitur yang dituduh dapat didasarkan atas tiga alasan, yaitu

  Bahwa faktor penyebab kerugian tersebut adalah wanprestasi karena kelalaian kreditur, bukan karena faktor diluar kemampuan debitur.

  Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

  Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka dia dapat dituntut untuk

   a.

  Dalam hal ini kreditur haruslah dapat membuktikan

  Dalam hal kerugian yang tejadi haruslah merupakan akibat dari wanprestasi.Lebih jelas lagi bahwa antara rugi dan wanprestasi haruslah ada hubungan sebab akibatnya.

  Pemenuhan perjanian ditambah ganti rugi; 3. Ganti rugi; 4. Pembatalan perjanjian timbal balik; 5. Pembatalan dengan ganti rugi.

  Pemenuhan perjanjian; : 2.

   1.

  Besarnya kerugian yang dialami.

  Faktor penyebab terjadinya wanprestasi menurut Abdulkadir Muhammad diklasifikasikan menjadi dua faktor, yaitu

  

a.

  Faktor dari luar , yaitu peristiwa yang tidak diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga akan terjadi ketika perjanjian dibuat.

  : b.

  Faktor dari dalam diri para pihak , yaitu merupakan kesalahan yang timbul dari diri para pihak, baik kesalahan tersebut yang dilakukan dengan sengaja ataupun karena kelalaian pihak itu sendiri, dan para pihak itu sendiri, dan para pihak sebelumnya telah mengetahui akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut.

2. Perbuatan Melawan Hukum

  Berbeda dengan wanprestasi, pada perbuatan melawan hukum, aturan yang dilanggar adalah aturan yang berlaku umum dan aturan tersebut terkadang dibuat tanpa ada keterlibatan si pelanggar.Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu

  

  .Perbuatan melawan hukum tidak didasarkan adanya kesekapakatan sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian seperti halnya wanprestasi.

   Istilah mengenai perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut

  dengan istilah onrechtmatigedaad.Moegni Djojodirjo dalam pendapatnya menyebutkan bahwa perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan atau 41 Abdulkdir Muhammad,II, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 12. 42 AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, cet.2,Diapit Media, Jakarta, 2002, hlm.77. 43

  pada 06 Januari 2015. suatu kealpaan berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku (orang melakukan perbuatan) atau melanggar baik kesusilaan, maupun bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam

  

  pergaulan masyarakat tentang orang atau barang. erbuatan melawan hukum adalah bukan saja perbuatan yang langsung melawan hukum, melainkan juga perbuatan yang secara langsung melanggar peraturan lain daripada hukum diantaranya peraturan dalam lapangan kesusilaan, keagamaan dan sopan santun.

  Sehingga perbuatan yang bertentangan dengan norma kesusilaan, keagamaan dan

  

  sopan santun sudah dapat dikatakan perbuatan yang melawan hukum . Perbuatan melawan hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati, kepantasan dan kepatutan dalam kehidupan masyarakat.

  Hal mengenai pengertian perbuatan melawan hukum memang tidak begitu dijelaskan di dalam KUHPerdata, namun tentang perbuatan melawan hukum sangat erat hubungannya dengan Pasal 1365 KUHPerdata. Adapun dalam Pasal 1365 BW tersebut memuat ketentuan yaitu tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Adapun unsur-unsur perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut :

44 M.A.Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pranya Paramita,Jakarta,1982, hlm.25.

  45 Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur Bandung, Bandung, 1992,hlm. 13

  a. Adanya suatu perbuatan

  Perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelaku.Perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku.Secara umum perbuatan ini mencakup berbuat sesuatu (dalam arti aktif) dan tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu padahal pelaku memiliki kewajiban hukum untuk berbuat, kewajiban itu timbul dari hukum.Dalam perbuatan melawan hukum ini, harus tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat serta tidak ada pula unsur kausa yang diperbolehkan seperti yang terdapat dalam suatu kontrak.

  

  b. Perbuatan tersebut melawan hukum

  Beberapa pendapat ahli yang menjelaskan tentang suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum.Perbuatan melawan hukum menurut Munir Fuady mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan sebagai berikut

   1.

  Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain; : 2.

  Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri; 3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan; dan 4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.

  Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya dijelaskan bahwa menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat

  

  46 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum,Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hlm.6 47 Ibid , hlm. 11. 48 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia ,2003, hlm. 117.

  : (a) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku (b) Bertentangan dengan hak subjektif orang lain

  (c) Bertentangan dengan kesusilaan (d) Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

   Berikut ini penjelasannya untuk masing-masing kategori sebagai berikut : 1.

  Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.

  Hak-hak yang dilanggar tersebut adalah hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas pada hk-hak sebagai berikut: a)

  Hak-hak pribadi (persoonlijkheidsrechten)

  b) Hak-hak kekayaan (vermosgensrecht)

  c) Hak atas kebebasan

  d) Hak atas kehormatan dan nama baik 2.

  Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.

  Adapun yang dimaksudkan dengan kewajiban hukum disini adalah bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

  3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.

  Tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, manakala tindakan melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak lain maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat meminta ganti kerugian berdasarkan atas perbutan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata).

  4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.

  49 20 Januari 2015

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Informasi Laporan Keuangan - Analisis Pengaruh Rasio Likuiditas, Rasio Leverage, Rasio Profitabilitas, Rasio Aktivitas, Price Earnings Ratio, dan Dividend Yield Terhadap Return Saham Pada Perusahaan LQ4

0 0 26

BAB III - Analisis Pengaruh Rasio Likuiditas, Rasio Leverage, Rasio Profitabilitas, Rasio Aktivitas, Price Earnings Ratio, dan Dividend Yield Terhadap Return Saham Pada Perusahaan LQ45 Yang Terdaftar di BEI Tahun 2010-2013

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Saham - Analisis Pengaruh Arus Kas Operasi, Arus Kas Investasi, Arus Kas Pendanaan, EVA, Dividend Payout Ratio Terhadap Volume Perdagangan Saham Perusahaan Industri Manufaktur Tekstil dan Garmen Yang Ter

0 0 25

Analisis Pengaruh Arus Kas Operasi, Arus Kas Investasi, Arus Kas Pendanaan, EVA, Dividend Payout Ratio Terhadap Volume Perdagangan Saham Perusahaan Industri Manufaktur Tekstil dan Garmen Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 17

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dan Jumlah Penduduk Terhadap Belanja Daerah Pada Pemda Di Sumatera Utara

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas dari kemampuan bidang - Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dan Jumlah Penduduk Terhadap Belanja Daerah Pada Pemda Di Sumatera Utara

0 0 18

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dan Jumlah Penduduk Terhadap Belanja Daerah Pada Pemda Di Sumatera Utara

0 0 16

A. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut - Perbedaan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi Dan Mulut Dan Pengalaman Karies Pada Siswa Pendidikan Formal (Sdit Alif) Dan Nonformal (Sd Yayasan Amal Shaleh) Di Kecamatan Medan Polonia

0 1 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Karies - Perbedaan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi Dan Mulut Dan Pengalaman Karies Pada Siswa Pendidikan Formal (Sdit Alif) Dan Nonformal (Sd Yayasan Amal Shaleh) Di Kecamatan Medan Polonia

0 2 19

Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pasien Berdasarkan Hukum Positif Indonesia(Studi Padaunit Pelayanan Teknis Balai Kesehatan Indera Masyarakat Medan)

0 0 13