Peranan Pemimpin Informal dalam Menggera
HAS& DAN PEMBAHASAN
Profil Daerah Penelitian
Fisik Wilavah
Geoaafi. Secara geografis Kabupaten Daerah Tingkat I1 Tapanuli Utara berada di bagian Tengah wilayah Propinsi Sumatera Utara, dan di punggung Bukit Barisan. Kabupaten ini terletak l o 20' sampai 2' 4' Lintang Utara dan 98°10' sampai
90' 35' Bujur Timur dan dikelilingi oleh tujuh Kabupaten Daerah Tingkat I1 di Sumatera Utara dan satu Kabupaten di di Daerah Istimewa Aceh, sebagai berikut:
Sebelah Utara terletak Kabupaten Daerah Tingkat I1 Dairi, Tanah Karo dan Simalungun. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Asahan dan
Labuhan Batu. Sebelah Selatan terdapat Kabupaten Daerah Tingkat I1 Tapanuli Selatan, dan sebelah Barat Kabupaten Daerah Tingkat I1 Tapanuli Tengah (Pemda Tk I1
Tapanuli Utara, Tapanuli Utara Membangun, 1991)
Kabupaten Daerah Tingkat 11Tapanuli Utara berada di Bukit Barisan dengan
ketinggian 300 sampai 2.000 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah kabupaten
ini 10.605,3 kilometer persegi, termasuk perairan Danau Toba seluas 1.102,6 kilometer persegi atau 110.260 hektar (Pemda Tingkat 11 Tapanuli Utara, 1991). Daratan di
luar perairan Danau Toba seluas 950.270 hektar dengan sebagian besar berada pada
ketinggian 500 sampai 1.SO0 meter di atas permukaan laut.
Topograti wilayah Tapanuli Utara umumnya bergelombang dengan diselingi
dataran di bagian Tenggara dan Selatan Danau ~ o b a Daerah
.
ini mempunyai iklim
sejuk dengan temperatur rata-rata berkisar antara 17' sampai 29' Celcius dan rata-rata
kelembaban udara (RH)= 85,04 persen. Kesejukan iklim ini, di samping karena le110
taknya yang tinggi dari permukaan laut, juga sebagai pengaruh dari curah hujan yang
secara umum tergolong tinggi, yakni antara 2.000 sampai 5.000 milimeter per tahun.
Keadaan dan Pen~mnaanTanah. Letak dan topografi Tapanuli Utara dengan
keadaan permukaan tanah kebanyakan berbukit dan bergelombang, menyebabkan
banyak potensi yang layak dikembangkan, seperti potensi lahan, air terjun, potensi
angin, panas bumi dan lain-lain. Pengembangan potensi lahan memerlukan penanganan yang intensif karena kesuburan tanahnya relatip kurang. Pada umumnya tanah
di daerah ini berasal dari bahan induk liporit, dengan tingkat keasaman (PH) antara
3,5 sampai 5,8.
Menurut status pemilikan tanah, sebagian besar dari luas wilayah Tapanuli
Utara yakni seluas 663.432 hektar (69,82 %), merupakan tanah adat (tanah marga),
sedang bagian lainnya seluas 286.838 hektar (30,18 %) merupakan tanah negara.
Tanah negara pada umumnya berupa hutan negara dan terletak di pegunungan.
Penggunaan tanah di wilayah Tapanuli Utara memperlihatkan bahwa sebagian besar dari tanah yang diusahai penduduk, yakni seluas 93.024 hektar (7,51 %)
merupakan pertanian lahan kering, sementara 55.947 hektar (6,77 %) adalah persawahan. Tanah yang tidak diusahkan berupa semak belukar atau lahan tidur luasnya
246.542 hektar (lihat Tabel 4).
Penyebab utama tanah ini merupakan lahan tidur adalah karena tingkat kesuburannya rendah. Kalaupun ada penduduk yang mengusahakannya, khususnya di bidang subsektor pertanian tanaman pangan, mereka harus bekerja keras meningkatkan
kesuburan lahan tersebut. Dari luas daratan 950.270 hektar di kabupaten Tapanuli
Utara, yang dapat diusahkan menurut konsep Wilayah Tanah Usaha (WTU) Badan
Pertanahan Nasional (BPN), hanya 418.660 hektar (44 % luas daratan). Dengan de-
Tabel 4. Komposisi Penggunaan Tanah di Kabupaten Daerah Tingkat I1
Tapanuli Utara,Propinsi Sumatera Utara
No.
Penggunaan Tanah
Lms (Ha)
%
7.811
0,58
1
Perkampungan (Emplasemen)
2
Persawahan
55.947
6,77
3
Pertanian lahan kering
93.024
7,5 1
4
Perkebunan rakyat
40.372
4,25
5
Tanam kerashuah-buahan nonperkebunan
37.765
2,64
6
H u t a n
383.888
32,55
7
Penggembalaanlalang-alang
8 1.535
7,89
8
Semak belukarflahan tidurltandus
246.542
36,55
9
Kolam dan r a m
3.386
0,85
Jumlah:
950.270
100
Surnber: Pemda Tingkat I1 Tapanuli Utara, Tapanuli Utara Membangun, 1991.
mikian ratio antara jumlah penduduk dengan luas tanah yang dapat diusahakan oleh
penduduk adalah 1 : 0,586 hektar. Pada pihak lain cukup luas lahan tidur yang rnasih
bisa dimanfaatkan dengan mempergunakan teknologi penyuburan lahan.
Kevendudukan di Tavanuli Utara
Penduduk Tapanuli Utara pada umurnnya disebut masyarakat Batak Toba,
yakni salah satu subsuku Batak. Subsuku Batak lain yang ada di Sumatera Utara adalah Simalungun,. Karo, Pakpak, Angkola dan Mandailing. Menurut data pada buku
Tapanuli Utara Dalam Angka tahun 1996, jumlah 'penduduk kabupaten Dati 11 Tapanuli Utara 713.901 jiwa, terdiri dari 136.307 Kepala Keluarga dan dengan kepadatan 75 orang per kilometer persegi. Penyebaran penduduk, luas wilayah dan jumlah
rumah tangga serta kepadatan penduduk menurut kecarnatan dapat dilihat pada Tabel
5. Pada umumnya, kecamatan dengan jumlah penduduk paling banyak terletak di
lingkungan atau dekat dengan ibukota kabupaten atau ibukota wilayah (Onder Afdeling). Dengan kata lain terdapat kecenderungan bahwa penduduk terkonsentrasi (bertempat tinggal) di sekitar kota.
Tabel 5. Luas wilayah, Rumah Tangga, Penduduk dm Kepadatan Penduduk
menurut Kecamatan di Tapanuli Utara Tahun 1996
* Kecamatan lokasi penelittian
Sumber: Tapanuli Utara Dalam Angka Tahun 1996
114
Laju pertumbuhan penduduk di Tapanuli Utara periode 1980 sampai tahun
1990 rata-rata 0,19 persen per tahun atau relatip lebih rendah dibanding dengan laju
pertumbuhan penduduk rata-rata nasional pada periode yang sama. Rendahnya laju
pertumbuhan penduduk ini terutama disebabkan oleh tingginya arus perpindahan
keluar daerah dibanding arus penduduk yang datang atau yang lahir. Mobilitas penduduk yang tinggi khususnya kaum muda yang keluar daerah, disebabkan oleh keinginan mereka untuk berusaha memperbaiki tingkat kehidupan di daerah lain.
Masvarakat Batak Toba
Masyarakat Batak Toba dalam kenyataan hidup sehari-hari mempunyai dinamika, karakter, sifat yang keras tetapi selalu menginginkan keterbukaan serta mempunyai semangat kepeloporan (Tambunan, 1982). Sifat-sifat ini dapat menjadi faktor
penunjang dalam upaya mengajak dan mendorong mereka melakukan berbagai pembaharuan yang berorientasi pada perbaikan hidup dan kehidupan di pedesaan.
Masyarakat di daerah Tapanuli Utara yang lebih kurang 96 persen beragama
Kristen mempunyai sifat dan sikap bergotong-royong yang relatip masih terpelihara,
sebagai cerminan dari adat seternpat. Solidaritas kekeluargaan yang erat diantara marga-marga, karena mereka selalu berpedoman pada falsafah leluhur yang mempakan
tatanan hidup masyarakat sehari-hari, yang dimmuskan di atas landasan Tungku yang
Tiga (Dalihan Natolu). Prinsip kekerabatan yang mengatur hubungan antara saudara
sedarah atau seketurunan (tungku pertarna) dengan keluarga pemberi dara (tungku
kedua) dan keluarga pengambil dara (tungku ketiga), dipegang teguh oleh tiap individu orang Batak Toba.
Hubungan antara ketiga tungku ini yang jalinannya berdasar pada affina atau
perbesanan, membentuk kelompok yang pengkonsolidasiannya dapat dikatakan intensif Ikatan dari ketiga pihak sangat kuat dalam masyarakat Batak Toba dan selalu berperan dalam kegiatan adat dan dalam hidup sehari-hari. Jika seorang perempuan Batak meninggalkan lingkungan kaumnya untuk dinikahkan, berarti ia telah menciptakan hubungan perbesanan. Melalui hubungan seperti ini, suaminya serta kelompok
seketurunan dari suaminya dan keturunannya laki-laki di masa datang, telah terikat
dengan kaum si perempuan (ayahnya dan saudara laki-laki seketurunan ayahnya).
Kaum dari pihak suaminya serta keturunannya laki-laki, berstatus sebagai boru (pengambil dara) dari kaum ayah si perempuan (pemberi dara). Pihak kaum suami menempatkan kaum ayah si perempuan sebagai hula-hula mereka. Hubungan affina
seperti ini bisa jauh lebih luas, apabila anak laki-laki dari boru mengawini anak perempuan dari hula-hula pada generasi berikutnya.
Orang Batak beranggapan bahwa keadaan hidupnya untuk sebahagian besar
adalah berkat restu yang diperolehnya dari hula-hula (Vergouwen, 1968). Pihak hula-
hula dipandang dapat memantullcan kesemarakan dan kemuliaan kepada borunya;
hla-hula adalah sumber kekuatan adikodrati, daya hidup bagi masing-masing borunya. Sejalan dengan itu pihak boru memandang anggota hula-hula sebagai orang
yang dikaruniai sahala, yaitu kekuasaan istimewa yang dianggap mempunyai daya
yang kuat dan memancarkan pengaruh yang berfaedah bagi pihak born. Dengan demikian pihak hula-hula dapat berperan sebagai pemimpin dalam arti mampu memberi
pengaruh terhadap borunya, khususnya dalam kelompok berdasarkan perbesanan
(aflina). Kelompok seperti ini kelihatan sangat menonjol dan befingsi dalam setiap
pertemuan atau kegiatan (acara) adat
116
Dalam bentuk tindakan konkrit, hula-hula dapat memberi berkat (upa-upa) ke
pihak boru, memberi kain Batak (ulos), pisau dan makanan tertentu. Pemberian upaupa yang mempunyai makna tertentu, sering dilakukan hula-hula dengan mempergunakan urnpasa (ungkapadperumpamaan yang puitis) untuk lebih memberikan penekanan pada makna kata-kata yang diucapkannya (lihat contoh pada Lampirtan 2).
Urnpasa sering juga dipergunakan dalam kelompok lain diluar perbesanan.
Penggunaan urn-
dalarn berkomunikasi yang bertujuan merubah perilaku orang
lain (pendengarkomunikan), dipercayai mempunyai kekuatan. Dengan kata lain urnmampu menggugah hati orang yang mendengarnya dan kemudian mendorong
orang yang bersangkutan untuk menerapkan maknalnasihat yang terkandung di
dalamnya. Umpasa berfUngsi memberi kekuatan terhadap pesan yang disarnpaikan
seseorang kepada orang lain yang wajib diberi nasihat atau informasi. Karena itu
orang yang berkemampuan memilih dan menyampaikan umpasa secara tepat, khususnya pemimpin informal, mempunyai pengaruh dan wibawa serta dihormati oleh
pengikutnya dan warga rnasyarakat lain.
K e ~ e m i m ~ i n aMasvarakat
n
Kepemimpinan dalam masyarakat Batak Toba mempunyai sandaran-sandaran kemasyarakatan oleh karena kepemimpinan memang erat kaitannya dengan kelompok. Masyarakat Batak di pedesaan pada umumnya belum terspesialisasi, mereka
hidup dari pertanian dan keadaanya cenderung homogen. Sejalan dengan ini, kepemimpinan yang ditampilkan sering meliputi seluruh kehidupan masyarakat. Dengan
kata lain dalam semua segi kehidupan masyarakat kelihatan pengaruh dari pemimpin.
117
Selain itu pemimpin informal di daerah seperti ini jarang merasa lebih tinggi dari pengikutnya atau tidak terkesan ada "hiearki" (Soekanto, 1987).
Susunan masyarakat Batak relatip tidak memperlihatkan stratifikasi yang jelas
dan tegas. Diantara mereka yang memegang kekuasaan atau wewenang, dengan mereka yang yang dikuasai terdapat hubungan yang baik dan lancar. Dimanapun di negeri Batak Toba tidak ada sama sekali kekuasaan berjenjang dari unit terbawah sampai ke yang teratas (Vergouwen, 1986). Sejalan dengan ini para pemimpin dan bahkan raja di jaman dahulu seperti Si Singamangaraja ke-XI1 selalu mendatangi rakyat
(bawahan) dan memberi sesuatu kepada mereka dan bukan sebaliknya rakyat yang
mendatangi raja sambil membawa upeti.
Ciri-ciri utama kelompok terkecil masyarakat Batak Toba, adalah kampung
(huta). Kelompok ini menghuni daerah tertentu dengan batas yang jelas dan disebut
kelompok sekampung (sahuta). Kampung (huta) dibangun oleh satu Hen atau marga
tertentu dengan membangun satu rurnah yang dihuni oleh anggota keluarga yang berasal dari satu leluhur. Dengan demikian penduduk dari satu kampung (huta) umumnya terdiri dari satu marga (Men) dan jika dihubungkan dengan Dalihan Na Tolu, mereka semua tergolong saudara (hngan sabutuha), dan karenanya tidak boleh kawin
satu sama lain. Dengan kata lain, dalam satu kampung (huta) seperti ini, hampir tidak
ada kelompok pemberi dara (hula-hula) atau pengambil dara (born). Jika ada seorang laki-laki (jejaka) dari desa mau kawin, ia harus mencari jodoh (pasangan) ke
huta lain yang penduduknya berbeda marga dengan si pemuda.
Pertambahan jumlah anggota keluarga, memerlukan tambahan rumah dan biasanya dibangun berdekatan dengan rumah leluhur atau ayah pertama (Tambunan,
1982). Bentuk pemukiman (huta) terdiri dari beberapa buah rumah (adat) yang didi-
118
rikan secara berbanjar atau berbaris dari Timur ke Barat, sehingga cahaya matahari
tetap menyinari halaman yang dipergunakan sebagai tempat menjemur padi. Dalam
satu pemukiman seperti ini terdapat rumah (biasanya dihuni oleh beberapa keluarga)
adat yang jumlahnya berkisar antara 6 sampai 12 buah. Di sekeliling hula dipagar dengan tanaman bambu atau digali lobang untuk pertahanan. Dalam kompleks pemukiman seperti ini terdapat satu orang atau lebih pemimpin informal.
Watak persekutuan kampung antara lain: (1) ada batas-batas yang pasti,- (2)
mempunyai lahan untuk perluasan huta maupun untuk pertanian, dan (3) mengelola
sendiri aneka ragam kegiatan "dalam negerinya" seperti mengurus parit atau pagar
desa, balai pertemuan, menyelesaikan percekcokan warga, memimpin berbagai upama, perpindahan warga dan sejenisnya (Vergouwen, 1986). Keadaan seperti ini ber-
langsung dalam suatu kurun waktu yang lama di masa lampau.
Mengenai hakekat otoritas kepala sebagai pemimpin, sikap orang Batak (Toba) mengikuti suatu penalaran yang khas. Seorang pemimpin dipercayai sebagai
orang yang mempunyai kualitas istimewa (sahala) yang meliputi: (1) kualitas dalam
kekuasaan yang istimewa (sahala harajaon), dan (2) kualitas untuk dihormati (sahala
h g a p o n ) karena wibawa atau kharismanya (Vergouwen, 1986). Orang yang memiliki kedua sahala ini mampu menjadi pemimpin yang berkualitas dalam arti mampu menjalankan otoritas dan dipatuhi oleh anggota kelompok. Pada pihak lain, mereka yang mengikuti kepemimpinan dari orang-orang seperti ini akan menjadi makmur.
Seorang raja (pemimpin) yang dilimpahi &la
raja (sakala ni raja) &an
kelihatan pada ciri khusus perwatakannya dalam wujud: (1) memiliki kebesaran (habolonan), yaitu jumlah besar anggota keturunan yang membuatnya diterima sebagai
kepala, (2) kekayaan (?zamoraon) dalam arti makmur dan sanggup menjamu banyak
119
orang, (3) kebijakan (habisuhon), yaitu seorang pembicara yang arif, terutama dengan
menggunakan umpasa, (4) keperkasaan dalam perang dan tegas terhadap bawahan
(habeguon), dan (5) keterarnpilan di dalam ilmu "datu" (hadatuon)yang berarti antara lain dapat mengobati berbagai penyakit (Vergouwen, 1986).
Pemimpin yang memiliki ciri tersebut perlu menampilkan perilaku: (a) mengawasi hukum adat dan peradilan, (b) memerintah, (c) menjaga keselamatan pengikut, (d) membawa anggota mencapai tujuan, (e) bijaksana dalam menggerakkan anggot% (f) menghukum anggota yang bersalah, d m (g) meningkatkan kesejahteraan
rakyat (Panggading dalm Vergouwen, 1986). Dihubungkan dengan pembangunan
desa, pemimpin masyarakat Batak Toba harus: (a) mempunyai pengaruh kuat dalam
pembangunan, (b) mempunyai ide-ide untuk memperbaiki desa, dan (c) mampu menyampaikan ide serta pengalamannya dalam diskusi-diskusi (Cunningham, 1958).
Selain pengelompokan berdasarkan wilayah tempat tinggal dimana dapat dijumpai pemimpin informal seperti digambarkan di atas, juga ada pengelompokan berdasarkan kekerabatan. Kelomok-kelompok seperti ini, sesuai dengan silsilah, dapat
berwujud kelompok suku atau marga. Identitas keluarga Batak Toba ditentukan oleh
predikat marga dan ini ditundcan kepada anak laki-laki sesuai dengan sistem kekerabatan patrilineal. Dalam kelompok seperti ini para anggota hanya akan bertemu jika
ada pesta atau pertemuan adat dan pesertanya bisa berasal dari berbagai daerah. Dalam pertemuan seperti ini yang terutama berperan adalah pemimpin adat atau pimpinan marga (raja).
Di daerah Batak kepemimpinan informal dapat dibedakan atau terpisah menwut tiga bidang, yakni: (1) kepemimpinan di bidang adat, (2) kepemimpinan di bidang pemerintahan, dan (3) kepemimpinan di bidang keagamaan (Bangun dalarn
Koentjaraningrat, 1987). Kepemimpinan di bidang adat menjalankan tugas yang mencakup urusan-urusan yang berhubungan dengan perkawinan, kematian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran dan sejenisnya. Kebanyakan aturan-aturan adat tidak tertulis dan cukup banyak serta rumit. Karena itu hanya orang yang telah lama
mengikuti serta belajar tentang aturan dan pelaksanaan adat, yang mampu menjalankan kepemimpinan adat.
Kepemimpinan di bidang pemerintahan dipegang oleh salah seorang turunan
tertua dari pendiri kampung (huta), yang bertugas menjalankan pemerintahan seharihari di samping menjalankan tugas peradilan (Siahaan, 1982). Pemimpin pemerintahan yang berasal dari turunan tertua ini sering juga disebut raja huta atau raja kampung. Pemimpin ini walaupun secara formal (dewasa ini) tidak lagi memegang jabatan sebagai kepala desa, tetapi pengaruhnya masih cukup besar, terutama apabila ia
mampu menjaga wibawa. Dalam banyak ha1 tentang desa, pada umumnya penduduk
masih meminta pendapat dan saran dari raja huta.
Pemimpin agama di tanah Batak telah ada sejak dahulu kala, yakni ketika sebagian besar masyarakat masih mempercayai adanya roh, jiwa atau tondi yang mempunyai kekuatan. Dewasa ini ketika hampir semua orang Batak memeluk agama Nasrani, Islam dan yang lain-lain, mereka menjalankan kepercayaannya sesuai dengan
ajaran agama masing-masing. Dasar kepemimpinan di bidang agama adalah kepercayaan dan penguasaan pemimpin tentang aturan-aturan ritual sesuai dengan ajaran
agama yng dianut. Pemimpin agama ini, selain mempunyai keyakinan agama yang
mendalam, juga mengetahui dan menguasai aturan keagamaan secara lebih akurat.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang sering juga disebut modernisasi, telah
mempengaruhi kehidupan di pedesaan. Dilihat dari hubungan antara unsur tradisio-
121
nal dan unsur modern, masyarakat Batak Toba telah dan sedang mengalami perubahan dari cara hidup d m berpikir yang bercorak tradisional kepada yang lebih modern.
Hal ini menyebabkan tejadi perubahan sikap dan perbuatan orang Batak dalam kehidupan. Perubahan cara berpikir tradisional yang berorientasi ke belakang dan statis,
beralih pada pikiran yang berorientasi ke depan. Cara berpikir magis-religius berubah
ke cara berpikir rasional dan kreatip (Simanjuntak, 1986).
Hal-ha1 di atas telah meningkatkan kegiatan ekonomi dan pendidikan yang
mengarah ke sekularisme (Simanjuntak, 1986). Akibat peningkatan pendidikan dan
kegiatan ekonorni serta mobilitas yang tinggi, memungkinkan seseorang mempunyai
pengetahuan, keterampilan dan sikap positip terhadap pembaharuan. Mereka menjadi
pemimpin seMer atau kontemporer, karena mereka muncul belakangan (rnasa kini).
Ikhtisar kepemimpinan informal masyarakat Batak Toba terdapat pada Lampiran 3.
Wawa Masvarakat sebagai Peneikut
Pengikut dari tiap pemimpin, apakah pada kelompok sahuta, kelompok marga
dan kelompok-kelompok lain, lebih-lebih pada kelompok yang bertujuan meningkatkan usaha seperti kelompok tani, mempunyai harapan dm tujuan tertentu. Seiring dengan terjadinya perubahan cara hidup dan berpikir ke arah yang lebih moderen di pedesaan, berubah pula harapan, keinginan dan cita-cita pengikut atau warga rnasyarakat desa di tanah Batak Toba.
Harapan, cita-cita dan tujuan yang mereka ingifikan sering belum dapat dimmuskan secara jelas dan konkrit. Selain itu pengikut juga dihadapkan pada beberapa
hambatan atau masalah ddam mewujudkan cita-cita dan tujuan tersebut. Jika dihubungkan dengan upaya pengikut untuk memperbaiki dan meningkatkan usaha, ham-
122
batan-hambatan yang mereka jumpai antara lain di bidang: (a) permodalan, (b) penguasaan teknologi, khususnya dalam meningkatkan kesuburan lahan (c) pemasaran
hasil, termasuk transportasi dan (d) persaingan yang kurang menguntungkan di antara
sesama mereka.
Terdapat kecenderungan persaingan di antara warga sehingga kurang menunjang kemajuan usaha. Kalaupun tidak berwujud persaingan, paling tidak terdapat gejala bahwa masing-masing individu atau keluarga menjalankan usahanya sesuai dengan caranya sendiri. Jika individu atau keluarga ini memerlukan bantuan, misalnya
dalam pengadaan sarana produksi dan sejenisnya ia lebih sering mencari sendiri tanpa
bekerja sama dengan individu atau warga yang lain. Sebaliknya kalau warga yang
bersangkutan berhasil dalam usahanya, ia jarang menginfonnasikan keberhasilan tersebut kepada warga yang lain; apalagi memberitahukan cara-cara yang ditempuhnya
dalam mencapai keberhasilan tersebut.
Secara empiris ada beberapa sifat (roha) yang banyak dijumpai pada diri individu warga masyarakat, yang kurang menunjang terwujudnya kebersamaan atau
interaksi yang mulus di antara sesama mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan
usaha. Sifat-sifat tersebut berupa: (1) kecenderungan memiliki dendam (hosom), (2)
selalu merasa diri "lebih" dari orang lain walaupun kenyataannya belum tentu dernikian (teal), (3) rasa iri hati atau mencela kebaikan atau hal-ha1 positip yang dicapai
orang lain (elat), dan (4) tidak mau membantu dan bahkan ingin menjerumuskan
orang lain karena iri hati (late)*. Dalam Almanak gereja HKBP tahun 1998 dicanturnkan agar semua perkumpulan umat yang diadakan setiap hari Kamis memohon
Hosom, teal, elat dan late sering disingkat menjadi Hotel.
123
melalui doa bersama, supaya dijauhkan kiranya empat macam sifat (roha) tersebut
dari tiap individu orang Batak Toba. Hal ini menunjukkan bahwa gereja juga mengamati dan mengakui ada tendensi dimilikinya sifat-sifat yang kurang baik ini oleh individu orang-orang Batak Toba.
Fenomena ini sekali lagi menunjukkan betapa pentingnya peranan pemimpin
informal dalam membina kehidupan kelompok dan berkelompok di pedesaan, khususnya pada kelompok yang bergerak di bidang usaha, sebagai wahana untuk mempersatukan warga. Dengan cara seperti ini tidak hanya kehidupan usaha bisa berkembang, tetapi juga bisa tumbuh hubungan sosial yang harmonis, sebagai penunjang
kekompakan masyarakat. Sifat dan perasaan-perasaan yang kurang baik secara berangsur perlu dihilangkan sehingga tidak menjadi hambatan dalam memajukan usaha.
Pada pihak lain masyarakat dihadapkan dengan kesulitan mengembangkan
usaha sehari-hari akibat adanya beberapa kendala atau masalah. Penduduk mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Daerah atau kabupaten
ini masih digolongkan sebagai daerah miskin. Kebijaksanaan pemerintah yang dituang dalam Operasi Khusus Terpadu (Opsusdu) "Maduma" pada tahun 1986, meng-
indikasikan bahwa masyarakat daerah ini masih tergolong miskin. Gambaran kemiskinan juga terlihat dari fenomena lain, yaitu besarnya jumlah desa yang pada tahun
199311994 menjadi sasaran Inpres Desa Tertinggal (IDT) yakni 264 desa (41,8%)
dari seluruh desa di kabupaten Tapanuli Utara yang pada waktu itu jumlahnya 640
buah (Sekwilda Daerah Tk I1 Tapanuli Utara, 1994).
Kondisi kerniskinan dan masalah atau hambatan yang dijumpai dalam pengembangan usaha di pedesaan, mendorong sebagian warga masyarakat pindah ke
daerah lain, bahkan ke pulau Jawa untuk mencari nafkah. Pada ha1 jika dilihat dari lu-
124
asnya lahan kosong atau lahan tidur, masih terbuka kemungkinan untuk dimanfaatkan, sehingga memungkinkan diadakan perbaikan dan pengembangan usaha. Masyarakat memerlukan bantuan, baik dari pihak luar maupun dari pemimpin informal yang
mampu mengorganisasikan warga, khususnya dalam meningkatkan usaha mereka.
Potensi dan Perekonomian Daerah
Perekonomian masyarakat Batak didominasi oleh sektor pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan dan perkebunan rakyat (lihat Tabel 6). Selain padi,
tanarnan pangan yang banyak dihasilkan daerah ini adalah jagung, kacang tanah, ubi
kayu dan ubi jalar. Kebanyakan tanaman pangan dibudidayakan masyarakat di lahan
kering dan hanya sebagian kecil yang menanamnya di sawah sebagai rotasi tanaman.
Karena itu produksi per hektar belum dapat menyamai produksi per hektar rata-rata
nasional. Tanaman palawija yang banyak ditanam adalah cabai, bawang merah, buncis, kentang, kacang panjang dan kubis, sedangkan tanaman perkebunan yang diusahakan oleh penduduk adalah karet, kopi dan kemenyan.
Penduduk yang bergerak di bidang pertanian, apakah di lahan basah atau
lahan kering, umumnya masih mengelola usaha tani secara tradisional. Karena itu
belum banyak membawa perbaikan atau peningkatan produksi. Selain itu usaha tani
yang mereka lakukan masih secara individual dalam arti belum banyak kelompok tani
yang terbentuk dan kalaupun ada belum berfbngsi sebagaimana mestinya.
Kenyataan empiris serta dukungan data dalarn Tabel 6 menunjukkan bahwa
sektor pertanian masih tetap sebagai penyumbang terbesar pendapatan regional Tapanuli Utara (Pemda Tkt II Tapanuli Utara, 1991). Potensi sumberdaya alam yang masih terbuka dan memungkinkan untuk dikembangkan adalah ketersediaan lahan ke-
Tabel 6, Luas Panen, Rata-rata Produksi dan Produksi dari Beberapa
Tanaman Pangan dan Perkebunan Tahun 1996 di
KabupatenTapanuli Utara
No.
1
2
3
4
5
6
Jenis Tanaman
Padi (sawah dan ladang)
Jagung
Kacang tanah
Kedelai
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Luas Panen
(Ha)
74794
8497
6415
603
4199
3230
Rata-rata
Produksi
(Kwma)
37,42
32,50
16,09
11,99
73,95
65,ll
Produksi
(Ton)
279906
276 15
10322
723
30876
21041
Surnber: Diolah dari Tapanuli Utara Dalam Angka Tahun 1996.
ring, perairan danau Toba untuk perikanan, ketersediaan berbagai jenis mineral dengan deposit yang cukup besar, termasuk panas bumi dan sumberdaya manusia. Jumlah penduduk yang besar disertai keinginan mereka yang h a t untuk memperbaiki
kehidupan, merupakan suatu potensi. Keindahan alam dengan panoramanya yang
khas, terutarna di sekitar danau Toba serta udara yang sejuk, menunjang pariwisata.
126
Identifikasi Kecamatan Lokasi
Empat kecamatan yang menjadi lokasi penelitian, terletak di masing-masing
wilayah (Onder Afdeling) sebagai berikut: ( I ) Kecamatan Laguboti terletak di wilayah (Onder Mdeling) Toba, (2) Kecamatan Onan Runggu di wilayah Samosir, (3)
Kecamatan Lintongnihuta di wilayah Humbang, dan (4) Kecamatan Pahae Jae di wilayah Silindung. Wilayah Toba yang di masa lampau termasuk Onder Afdeling Toba,
terdiri dari enam kecamatan, wilayah Samosir terdiri dari enam kecamatan, wilayah
Humbang terdiri dari 12 kecamatan, dan wilayah Silindung terdiri dari lima kecamatan (lihat Tabel 7).
Dari empat kecarnatan lokasi penelitian, ternyata kecarnatan Laguboti mempunyai luas wilayah paling kecil dan kecamatan Pahae Jae adalah yang paling luas.
Akan tetapi kecamatan Laguboti mempunyai penduduk paling padat (285 orang per
Km2), sementara kecamatan Pahae Jae kepadatan penduduknya hanya 47 orang per
Km2. Dua kecamatan ini mempunyai areal persawahan paling luas, dibanding dengan
kecamatan Onan Runggu dan Lintongnihuta. Kecamatan Pahae Jae terkenal sebagai
lumbung beras di Kabupaten Tapanuli Utara.
Dari segi jumlah desa, ternyata kecamatan Onan Runggu mempunyai desa
paling banyak karena beberapa desa telah dimekarkan. Pemekaran desa dilakukan
berdasarkan berbagai pertimbangan, antara lain untuk mengintensifIan pelaksanaan
pembangunan. Secara organisatoris di tiap desa terdapat Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) serta sejumlah Kader Pembangunan Desa (KPD). Banyak diantara kader ini telah mengikuti pelatihan satu atau dua kali, baik di tingkat kecamatan
maupun di tingkat kabupaten. Narnun dernikian kinerja mereka di lapangan setelah
mengikuti pelatihan, belum banyak menunjukkan peningkatan.
Tabel 7. Kondisi Kecamatan Lokasi menurut Luas Wilayah, Pemerintah Desa,
Instansi Pemerintah, Sarana Perekonomian d m Sosial Budaya
128
Tabel 7 memperlihatkan keadaan beberapa instansi vertikal seperti Kakandepdikbud, Penerangan, BKKBN, Kehutanan, Statistik, KUA, Koramil, Kapolsek.
Juga terdapat instansi otonom seperti Dinas P dan K, Kesehatan, Pertanian, Peternakan, Perikanan, Pekerjaan Umum (Pengairan), dan Konservasi Tanah. Dari segi kelembagaan, baik sarana ekonomi seperti koperasi, pasar, warung dan sejenisnya,
demikian juga sarana sosial budaya seperti sekolah, Balai Pengobatan, Puskesmas
dan Posyandu telah ada di tiap kecamatan. Perbedaamya terletak pada jumlah dan
pernanfaatan lembaga atau sarana tersebut. Banyak di antara unit pelayanan seperti
Posyandu, Balai Pengobatan, dan koperasi belum dimanfaatkan masyarakat secara
maksimal sehingga terkesan tidak berfbngsi.
Kecamatan Laguboti mempunyai agroekosistem sawah atau lahan basah dan
karenanya potensi utama wilayah ini adalah pertanian tanaman pangan dan perikanan.
Namun karena perluasan (ekstensifikasi) areal tanarn untuk padi atau tanaman pangan
lain serta kolam ikan sudah terbatas, maka satu-satunya upaya untuk meningkatkan
produksi adalah dengan intensifikasi.
Kecamatan Onan Runggu sebagai lokasi penelitian berada di wilayah Samosir, terletak di sebelah selatan agak ke timur pulau Samosir. Kecamatan ini mempunyai agroekosistem lahan kering, karena sebagain besar wilayahnya berada di gunung-gunung; di sepanjang pantai danau Toba terdapat areal persawahan. Garis pan-
tai danau Toba di kecamatan ini tergolong panjang. Karena itu sebagian penduduk
berusaha dibidang perikanan dengan jaring apung, atau penangkapan ikan danau secara tradisional. Sepanjang pantai terdapat dataran yang memungkinkan penanaman
padi serta palawija, sehingga sebagian penduduk mengusahakan pertanian tanaman
pangan. Di bagian gunung yang merupakan wilayah terluas dari kecamatan Onan
129
Runggu ditanam ubi kayu, ubi rambat serta tanaman keras seperti kemiri, cengkeh,
tanaman buah-buahan (mangga, durian). Dalam rencana pengembangan wilayah, daerah ini terbuka kemungkinan untuk mengembangkan pariwisata, peternakan dan industri kerajinan (Pemda Tkt I1 Tapanuli Utara, 1991). Peternakan yang banyak diusahakan oleh penduduk adalah memelihara kerbau, babi, ayam dan bebek.
Kecamatan ketiga yakni Lintongnihuta terletak di wilayah Humbang, mempunyai agroekosistem lahan kering. Kecamatan ini umumnya terdiri dari dataran dan
sedikit bergelombang. Mata pencaharian penduduk adalah pertanian, khususnya hortikultura, dan hanya sebagain kecil wilayah kecamatan ini yang bisa ditanam padi
sawah. Sebagian penduduk mengusahakan tanaman perkebunan atau tanaman keras,
khususnya kopi walaupun rata-rata rumah tangga mempunyai areal kebun h a n g dari
0,25 hektar. Banyak penduduk yang memelihara temak sebagai usaha sambilan, se-
perti memelihara kerbau, babi dan ayam atau ada juga yang mengambil batu ke gunung. Kaum ibu dari daerah ini banyak yang berdagang ke pasar-pasar (onan).
Di kecamatan ini cukup luas tanah kosong dalam arti belum diusahakan. Lahan tidur ini berupa tanah darat atau lahan kering yang pemiliknya telah pindah ke
daerah lain, khususnya ke pulau Jawa. Kalaupun pemiliknya masih ada didaerah ini,
mereka mengalami kesulitan dalam mengolah lahan karena tingkat kesuburan tanah
rendah Selain lahan kering, di kecamatan ini juga cukup luas lahan gambut yang juga
belum dapat dimanfmtkan oleh penduduk setempat.
Kecamatan terakhir yang berada di wilayah ,Silindung adalah Pahae Jae yang
terletak di perbatasan Kabupaten Tapanuli Selatan. Sebagian penduduknya telah
mempunyai budaya serta kebiasaan hidup sehari-hari yang mirip dengan Batak Angkola yang menghuni bagian utara kabupaten Tapanuli Selatan. Satu fakta yang me-
130
nunjukkan ada pengaruh Tapmnli
ela at an adalah, penduduk daerah ini banyak yang
memeluk agama Islam yaitu agama dari mayoritas penduduk Tapanuli Selatan.
Topografi kecamatan ini bergunung-gunung dan lembah yang relatip luas. Di
pegunungan terletak lokasi perkebunan rakyat yang terdiri dari karet dan kemenyan
serta durian. Sementara di lembah yang di beberapa tempat cukup luas, ditanam padi
dan sebagai tanaman sela atau rotasi ditanam palawija. Lembah-lembah di daerah ini
merupakan daerah penanaman padi yang baik, karena di sana banyak sungai yang
mengalir sehingga dapat mengairi sawah. Agroekosistem kecarnatan Pahae Jae adalah sawah dan perkebunan, khususnya karet dan kemenyan.
Potensi wilayah Silindung, termasuk Kecarnatan Pahae Jae adalah pertanian
pangan, hortikultura, perikanan, pariwisata dan industri (Pemda Tkt II Tapanuli Utara, 1991). Sejalan dengan ini sasaran utarna pengembangan meliputi perkebunan, termasuk melakukan peremajaan tanaman, perikanan dan industri. Pengembangan perkebunan dapat dilakukan karena penduduk setempat telah "akrab" dengan usaha ini.
Secara turun-temurun usaha perkebunan karet dan kemenyan telah ditekuni oleh
penduduk. Pengembangan perikanan dimungkinkan karena banyak anak sungai yang
mengalir di daerah ini sehingga dapat dipergunakan untuk mengairi kolam.
Identifikasi Desa Lokasi
Kondisi desa lokasi menurut keadaan penduduk, pekerjaannya, sarana ekonomi dan jenis kelompok yang ada, dapat dilihat pada Tabel 8. Desa yang paling banyak
jumlah penduduknya adalah Nagasaribu I, yakni 2303 jiwa yang berarti 7,48 persen
dari total penduduk di semua desa lokasi. Desa dengan jumlah penduduk terbesar ke
dua adalah Nagasaribu 11, yaitu sebesar 6,44 persen. Kedua desa ini terletak di keca-
Tabel 8. Kondisi Desa Lokasi menurut Penduduk, Pekerjaan Penduduk, Sarana
Ekonomi dan Jenis Kelompok yang terdapat di Desa
I
:
Keteranm: 1. KK = Kepala Keluarga
2. Keg. Agama = Kegiatan agama
132
matan Lintongnihuta yang jumlah penduduknya 3 1836 jiwa. Desa ketiga yang jumlah penduduknya paling banyak adalah Sipira (5,47%), yang terletak di kecamatan
Onan Runggu.
Sebanyak 47,46 persen dari total penduduk di desa lokasi bekerja sebagai petani. Selebihnya kira-kira 3,04 persen bekerja sebagai buruh, terutama buruh tani dan
bangunan serta 2,18 persen bekerja sebagai pegawai negeri, khususnya guru sekolah,
baik negeri maupun swasta.
Tabel 8 menunjukkan bahwa belum semua desa mempunyai koperasi sebagai
sarana ekonomi. Hanya 54,17 persen dari semua desa lokasi yang telah mempunyai
koperasi dan sebagian besar dari koperasi ini tidak befingsi. Demikian juga belum
semua desa mempunyai pasar sebagai penunjang perekonomian desa. Kios (keresek)
rata-rata terdapat antara empat sampai lima buah di tiap desa dan jumlah warung kopi
(lapo) di tiap desa rata-rata tujuh buah.
Kelompok sebagai basis tempat berkumpul dan berinteraksi warga desa, dilihat dari segi jumlahnya relatip telah memadai. Akan tetapi kalau ditinjau dari jenis
kelompok, khususnya yang secara langsung berhubungan dengan pekerjaan utarna
penduduk, yakni bertani, masih tergolong kecil. Jumlah kelompok tani di tiap desa
masih sedikit. Kelompok-kelompok usaha yang lain jurnlahnya masih tergolong kecil
atau bahkan belum ada sama sekali. Pada ha1 keberadaan kelompok tani atau kelompok usaha sangat penting, karena dapat menunjang keberhasilan warga dalarn melakukan pembaharuan atau untuk meningkatkan usaha mereka. Kenyataan menunjukkan bahwa kelompok yang banyak adalah yang bergerak di bidang arisan serta kelompok-kelompok keagamaan.
Profii Pemimpin dan Pengikut
Pemimpin informal tradisional (PIT) dan pemimpin informal kontemporer
(PIK) yang menjadi sampel dan sekaligus sebagai responden jumlahnya 96 orang
yang tersebar di 24 buah desa. Ditinjau dari umur (usia) pemimpin dan pengikut yang
menjadi sampel, ternyata memperlihatkan keragaman seperti pada Tabel 9. Pemimpin
Tabel 9. Sebaran Pemimpin Informal Tradisional dan Informal Kontemporer
serta Pengikutnya menurut Kategori Umur (Usia)
-
Kategori
Usia
CThn)
'
PEMIMPIN
Inf.Tradi- Inf. KonTotal
sional
temporer
(N=96)
PENGIKUT
I d Tradi Inf. KonTotal
sional
(N=3 84)
temporer
< 35
-
2 (2,08)
4,17
2 (2,08)
2,08
2 (0,52)
1,04
-
2 (0,52)
0,52
35 - 44
-
6 (6,25)
12,50
6 (6,25)
6,25
26 (6,77)
13,54
39 (10,16)
20,31
65 (16,92)
16,93
45 - 54
19 (19,79)
39,58
16 (16,67)
33,33
35 (36,46)
36,46
81 (21,09)
42,19
82 (21,35)
42,71
163 (42,45)
42,45
55 - 65
22 (22,92)
45,83
20 (20,83)
41,67
42 (43,75)
43,75
59 (15,36)
30,73
67 (17,45)
38,90
126 (32,81)
32,81
> 65
7 (7,29)
14,58
4 (4,17)
8,33
11 (1 1,46)
24 (6,25)
48 (50,OO)
192 (50,O)
384 (100)
100
100
12,50
192 (50,O)
100
28 (7,29)
7,29
48 (50,OO)
11,46
96 (100)
100
4 (1,04)
2,08
100
I00
Jumlah:
Kekraman: 1. Angka dalarn kunmg = pmatase total (untuk Pemimpin N =% dan Pe@&
2. Angka cetak miring = persentase kolom.
N = 384).
yang paling tua berusia di atas 65 tahun serta yang paling muda berusia 35 tahun, yaitu yang masuk .pada kelompok pemimpin informal kontemporer. Sebanyak 22,92
persen pemimpin informal tradisional (PIT) berusia antara 55 sampai dengan 65 tahun. Pemimpin informal kontemporer (PIK) yang berusia sama banyaknya 28,83 persen. Pemimpin informal tradisional (PIT) yang berusia antara 45 sampai 54 tahun, ber
134
tahun, berjumlah 19,79 persen. Kelompok usia yang sama pada PIK banyaknya 16,67
persen. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebanyakan pemimpin informal tergolong
tua. Hal ini bermakna bahwa pemimpin informal memiliki kemampuan berpikir yang
lebih matang. Kebijakan-kebijakan yang mereka ambil dalam memimpin atau mendorong d m mengarahkan pengikut serta dalam mengambil keputusan akan lebih akurat. Dari segi komunikasi, khususnya ketika memberi dorongan d m arahan, pemimpin seperti ini lebih marnpu mempergunakan umpasa, sehingga pengikut lebih tergugah untuk mengikuti arahannya.
Pengikut yang menjadi sampel berjumlah 384 orang, juga mempunyai keragaman usia di saat penelitian dilakukan. Diantara mereka ada yang berusia lebih dari
70 tahun dan ada pula yang berusia kurang dari 35 tahun. Secara lebih lengkap sebaran pemimpin dan pengikut menurut kategori usia dapat dilihat pada Tabel 9. Sebanyak 21,09 persen dari pengikut PIT beruusia antara 45 sampai 55 tahun dan sebanyak 21,35 persen dari pengikut PIK berusia antara 45 sampai 55 tahun. Pengikut PIT
yang berusia antara 55 sarnpai 65 tahun sebanyak 15,36 persen dan pengikut PIK
yang berusia sama (55 sarnpai 65 tahun) sebanyak 17,45 persen.
Sebaran pemimpin dan pengikut yang menjadi sampel dan juga menjadi responden ditinjau dari jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan
non formal, dapat dilihat pada Tabel 10. Sebanyak 19,79 persen PIT berpendidikan
setingkat Sekolah Menengah Umum (SMU) dan sebanyak 17,71 persen PIK berpendidikan sama dengan PIT. Pernyataan ini menyiratkan bahwa hampir tidak ada
perbedaan tingkat pendidikan formal diantara sesama pemimpin informal (PIT dan
PIK). Kenyataan ini menunjukkan bahwa penduduk di daerah penelitian telah sejak
dari dahulu menempatkan pendidikan bagi anak-anak mereka sebagai sesuatu yang
Tabel 10. Sebaran Pemimpin Informal Tradisional dan Informal Kontemporer
serta Pengikut menurut Pendidikan
PENDIDIKAN
F ~ ~ Sek.Dasar
ma1
SLTP
SMTA
Perg .Tinggi
Jumlah
Nan
Formal
Tidak ada
Latihan
Latihan &
Magang
Jumlah:
PENGIKUT
P E M I M P I N
Inf. Tradisional
14 (14,58)
29,16
13 (13,54)
27,08
19 (19,79)
39,58
2 (2,081
4,16
48 (50,O)
100
27 (28,12)
56,24
19 (19,79)
39,58
2 (2,081
4,16
48 (50,O)
100
Inf.Kontemporer
7 (729)
14,58
14 (14,58)
29,16
i7 ( 1 7 ~ 1 )
35,42
10 (10,42)
20,84
48 (50,O)
100
14 (14,58)
29,16
29 (30,21)
60,42
5 (521)
10,42
48 (50,O)
100
Total (N = 96)
21 (21,88)
21,88
27 (28,12)
28,12
36 (37,50)
3 7,50
12 (12,50)
12,50
96 (100,O)
100
41 (42,71)
42,71
48 (50,O)
50,O
7 (7,291
7,29
96 (100,O)
100
Keterangan: 1. Angka dalam kurung = pasentase total (Pemimpin N = 96; Pengikut: N = 384)
2. Angka cetak miring = persen* kolom.
Inf. Tradisional
76 (19,79)
39,58
82 (21,35)
42,70
32 (8,33)
16,66
2 (0,52)
1,04
192 (50,O)
100
128 (33,33)
66,66
44 (1 1,46)
22,96
20 (5,21)
10,42
192 (50,O)
100
1nf.Kontemporer
62 (16,15)
32,30
82 (21,35)
42,70
44 (1 1,46)
22,92
4 (1,04)
2,08
192 (50,O)
100
113 (29,43)
58,86
54 (14,06)
28,12
25 (6,51)
13,02
192 (50,O)
100
Total (N=384)
138 (35,94)
35,94
164 (42,71)
42,71
76 (19,79)
19,79
6 (1,561
3,I2
384 (100)
100
241 (62,76)
62,76
98 (25,52)
25,52
45 (1 1,72)
11,72
384 (100)
100
136
penting, terbukti dari tingginya jenjang pendidikan pemimpin informal yang rata-rata
telah berusia tua. Perhatian serta keuletan orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya masih tetap tinggi sampai sekarang.
Data menunjukkan bahwa diantara pemimpin informal bahkan ada yang telah
menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi (2,08 persen dari PIT dan 10,42 persen dari PIK). Dihubungkan dengan usia pemimpin, ternyata bahwa pemimpin informal yang cenderung telah berusia lanjut, juga pernah menempuh pendidikan setingkat
SMU atau minimal setingkat SLTP.
Gambaran pendidikan non formal dari pemimpin informal menunjukkan bahwa baru sekitar 19,79 persen dari PIT yang pernah mengikuti latihan. Hal yang sama
terdapat pada sebanyak 30,21 persen dari PIK. Terdapat sebanyak 2,08 persen dari
PIT yang pernah mengikuti latihan sambil magang dan ha1 yang sama pernah diikuti
oleh sebanyak 5,21 persen dari PIK. Angka persentase PIT dan PIK yang telah mengikuti pendidikan non formal (pelatihan dan atau magang), ternyata kecil. Hal ini
menunjukkan bahwa pengetahuan dan beberapa keterarnpilan yang diperlukan seorang pemimpin informal di pedesaan, ternyata belum dimiliki, termasuk kemarnpuan
manajemen.
Mengacu pada pendidikan pengikut, ternyata sebanyak 42,71 persen dari masing-masing pengikut PIT dan PIK mencapai jenjang pendidikan setingkat SLTP
(lihat Tabel 10). Sebanyak 19,79 dari total pengikut pemimpin informal berpendidikan SMU dan bahkan 1,56 persen berpendidikan perpruan tinggi. Pengikut PIT yang
pernah mengikuti pelatihan sebanyak 11,46 persen dan pengikut PIK sebanyak 14,06
persen. Sebanyak 5,21 persen pengikut PIT pernah mengikuti pelatihan sambil magang dan ha1 yang sama juga diikuti oleh sebanyak 6,5 1 persen dari pengikut PIK.
137
Ditinjau dari lamanya seorang pemimpin, baik PIT maupun PIK menjalankan
kepemimpinan, ternyata ada perbedaan. Sebaran pemimpin menurut lama memimpin
atau masa kepemimpinannya dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel menunjukkan bahwa
Tabel 11. Sebaran Pemimpin Informal Tradisional dim Informal
Kontemporer menurut Lama Memimpin
Sebaran Menurut Lama (Tahun) Memimpin
Pemimpin
c5th
5-10th
11-15 th
Informal
Traclisional
Informal
Kontemp.
2 (2,08)
100
13 (13,54)
9 (9,38)
46,43
40,91
13 (13,54) 15 (15,65)
59,09
53,57
Jumlah
2(2,08)
100
22(22,92)
100
28(29,16)
loo
16-20 th
Total
> 20th
(N=96)
14 (14,58) 10 (10,42) 48 (50,OO)
45,45
63,63
SO, 00
12 (12,50) 48 (50,OO)
8 (8,33)
54,54
36,36
50,OO
22(22,9 1)
100
22(22,9 1)
100
96(100)
100
Keteran~an:1. Angka dalam kurung = persentase total (N=96)
2. Angka cetak miring = persentase dalam kolom
sebanyak 13,54 persen PIT telah menjadi pemimpin antara 11 sampai 15 tahun dan
sebanyak 14,58 persen telah memimpin antara 16 sampai 20 tahun secara terus-menerus dan 10,42 persen telah memimpin lebih dari 20 tahun.
Sebanyak 15,65 persen dari PIK mempunyai pengalaman memimpin antara
11 sampai 15 tahun dan 8,33 persen berpengalaman antara 16 sampai 20 tahun. Se-
banyak 12,50 persen telah berpengalaman memimpin, artinya kepemimpinannya diakui oleh warga lebih dari 20 tahun. Tabel l l menunjukkan bahwa 45,82 persen dari
pemimpin informal telah memimpin lebih dari 16 tahun, dalam arti kepemimpinan
mereka rata-rata telah diakui lebih dari 15 tahun. Pengalaman memimpin yang begitu
lama menjadi faktor penunjang dalam memilih cara yang tepat dalam menampilkan
peranan kepemimpinan pembangunan yang harus mereka jalankan. Melalui pengalaman yang lama, tentu pemimpin telah lebih mampu menjalankan sejumlah peranan.
Penampilan Peranan Pemimpin
Keragaan data penelitian, khususnya skor penampilan peranan pemimpin informal (tradisoinal dan kontemporer) dapat dilihat pada Lampiran 4. Dalam lampiran
tersebut kelihatan skor responden (pemimpin) untuk tiap peubah bebas dan peubah tidak bebas (peubah respons). Skor dari pengikut sebagai responden juga diperoleh,
namun tidak dilampirkan dalam tulisan ini.
Skor tiap responden (pemimpin) untuk masing-masing peubah pada Lampiran 4 mula-mula diolah dengan statistik sederhana yaitu program Statistical Analysis
System (SAS) untuk mendapatkan nilai rata-rata (Mean) dan simpangan baku (Standard Deviation) untuk masing-masing peubah. Perhitungan seperti ini juga dilakukan
terhadap skor pengikut. Gambaran skor pemimpin informal dan pengikut, baik dilihat
dari skor tertinggi (maksimum) maupun minimun serta nilai rata-rata (mean) dan
persentase rata-rata (mean) terhadap skor tertinggi untuk tiap peubah, terdapat pada
Tabel 12.
Rata-rata sekor (mean) dari pemimpin informal dan pengikut untuk tiap peubah
tidak jauh berbeda. Secara umum ha1 itu menunjukkan bahwa penampilan peranan
pemimpin informal seperti dinyatakan sendiri oleh yang bersangkutan (pemimpin)
ternyata sama dengan apa yang diamati atau dilihat oleh pengikut. Dengan kata lain,
dalam penelitian ini diperoleh skor yang sama dari dua sumber. Keadaan ini menunjukkan bahwa sebagai data ia mengandung kebenaran dalarn arti memang demikianlah keadaan yang sebenarnya. Keadaan seperti ini terjadi karena: (1) penarnpilan peranan tersebut merupakan perilaku nampak (overt behavior) yang dapat diamati pengikut karena dilakukan atau ditunjukkan oieh pemimpinnya, dan (2) antara pemim-
Tabel 12. Skor Minimum, Maksimum dm Rata-rata (Mean)serta Persentase Mean
terhadap Skor Maksimum dari Pemimpin Informal dan Pengikut
untuk masing-masing Peubah
SKOR PEMIMPIM.
SKOR PENGIKUT
INFORMAL
.
PEUBAH
No.
MiniMini- Maksi- Rata-rata
Maksi- Rata-rata
(Mean)
(Mean)
mum
mum
mum mum
23,666
23,609
1 Menyadarkan
31
16
14
(77,42)
akan masalah (XI)
37 , (63,78)
36,924
2 Memberi infor37,135
54
53
23
18
(68,37)
rmsi (X2)
(69,81)
33,924
34,385
3 Memotivasi pe50
22
49
16
(70.16)
(67.84)
ngikut ( X 3 )
27,364
27,185
4 Mengarahkan ke39
20
35
I7
(78,ll)
(69,691
giatan (%)
37,406
37,463
5 Membina kerja
47
20
26
(79,57)
(66,891
!%ima(xs)
,
56
26,52 1
26,5 10
6 Memberi ganjar40
19
34
15
anJsanksi (&)
(66,27)
(78.00)
7 Penghubung antar
27,385
27,554
41
17
20
36
sistem (X7)
(7605)
(67,19)
8 Partisipasi Masya
65,453
65,28 1
47
75
80
49
(87,27)
rakat (Xg)
(81,60)
65,042
64,966
9 Hasil Pelaksaaaao
49
77
42
(81.20)
PernbanOr)
(84,47)
38,245
35,260
26,89
23,111 52,444
Rata-rata
49,ll
(67,24)
'
a
Kekmmn: 1. Angka cetak miring dalam kurung = % (persentase) Mean terhadap
&or maksimum -pin
& pengikut).
2. Pemimpin: n = % dan pengrlrut n = 384.
pin dan pengikut selalu tejadi interaksi sehingga terbuka peluang bagi pengikut untuk mengamati perilaku atau penampilan peranan pemimpin hari demi hari.
Kajian lebih jauh terhadap skor pemimpin dan pengikut untuk tiap peubah, dilakukan dengan uji korelasi peringkat Spearman (r,). Hasil uji tersebut beserta nilai rata-rata (Mean) adalah seperti pada Tabel 13. Tercantum pada tabel nilai korelasi skor
pemimpin informal dan pengikutnya untuk tiap peubah. Angka-angka tersebut menun
140
jukkan korelasi yang tinggi dan sangat nyata karena kebanyakan P-nya = 0,0001. Semua angka menunjukkan selain tidak terdapat perbedaan yang berarti antara rata-rata
(Mean) dari skor pemimpin informal dan pengikut, korelasi kedua skor juga sangat
nyata. Dengan kata lain, setiap kali para pemimpin menyatakan penampilannya tergoTabel 13. Skor rata-rat.(Mean) dm Nilai Korelasi skor Pemimpin
Informl dan Pengikut
No
PEUBAH
Rata-Rata Skor
Pemimpin Pengikut
1
2
3
4
Menyadarkan akan masalah ( X I )
Memberi nformasi (X2)
Memotivasi pengikut (X3)
Mengarahkan kegiatan (&)
23,666
37,135
34,385
27,364
23,609
36,924
33,924
27,185
KoreIasi Skor
Pemimp. &
Pengikut
P
rs
0,9490
0,9082
0,8868
0,9599
0,000 1
0,000 1
0,0001
0,000 1
long baik atau tinggi (ditunjukkan oleh skor tinggi) untuk peubah tertentu, ha1 yang
sama juga dinyatakan pengikut melalui pemberian skor tinggi. Sebaliknya apabila si
pemimpin memberi skor sedang atau rendah terhadap peranan tertentu yang ditampilkannya, pengikut juga cenderung memberi skor dalam kategori yang sama (sedang
atau rendah). Dengan demikian terdapat kesesuaian skor dari pemimpin dan pengikut
terhadap penampilan peranan pemimpin yang menjadi obyek atau sasaran penelitian.
Berdasarkan ha1 ini serta ditunjang oleh kesamaan rata-rata (Mean) dari sekor pemimpin dan pengikut untuk tiap peubah (lihat Tabel 13), maka data yang dianalisis untuk
melihat korelasi antar-peubah dan analisis lintasan adalah data pemimpin informal.
Kenormalan Distribusi
Uji normalitas dilakukan dengan teknik uji Lilliefors sebagai salah satu cara
pengujian kenormalan suatu distribusi secara non-parametrik. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan gambaran tentang ciri dari distribusi sekor pernimpin informal. Perhitungan dan hasil uji normalitas terdapat pada Tabel 14. Tabel menunjukkan bahwa
hampir semua distribusi skor pemimpin (n
bbservasi
=
96) menunjukkan nilai Lhitungatau
lebih kecil dari Ltsbel (L) untuk n = 96 dan taraf nyata a = 0,05. Bahkan untuk
beberapa peubah, seperti: (a) memberi inforrnasi kepada pengikut, dan (b) kekosmoTabel 14. Perhitungan Uji Normalitas Lilliefors Distribusi Skor
Pemimpin Infonnal untuk tiap Peubah
UNSUR PENGHlTUNGAN*)
PEUBAH
Menyadakan akan masalah (XI)
Memberi informasi
31
53
0.0099
1 15 I Hasil pelaksanaan pembangunan (Y) 1
77
1
1,7425
1 0,9591 1
1
( 0,0409
Kekraman: 1. *) = Angka-angka dari baris terakhir Daftar yang panjang untuk pedutungan b
1.
= Angka terGnggi dari &tan &or sampe1.
2. q = Sekor starsdar dari &or tednggi
3. F(q) = Angka diambil dari Daftar distribusi Normal bala untuk nilai q
4. S(q) = Pro@ dari sekor yang lebib kecil atau sama d q a n q
= Harga mutlak pahg besar dari selisih F(q) - S(q)
5.
6. Dengan n = % dan taraf nyata 0,05,
= 0,0904
7. Lo < & = populasi berdisfribusi n o d .
1
142
politan pemimpin informal, nilai Lo hanya sebesar 0,006 1 sementara Lt-nya = 0,0904;
dengan kata lain nilai Lo jauh lebih kecil dari nilai Lt. Nilai Lo yang agak besar namun
masih lebih kecil dari Lt untuk n = 96 dan taraf nyata 0,05 terdapat pada peubah: (a)
membina kerja sama, (b) optimisme pemimpin, (c) partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dan (d) hasil pelaksanaan pembangunan. Berdasarkan hasil uji normalitas dapat disimpulkan bahwa sampel terambil dari populasi yang berdistribusi
normal. Oleh sebab itu terbuka kemungkinan untuk mempergunakan teknik analisis
secara parametrik atau tepatnya analisis regresi linier ganda, karena dalam mempelajari pengaruh peubah bebas terhadap peubah respons, terdapat lebih dari satu peubah bebas. Gambar 4 menunjukkan bahwa peubah bebas, baik karakteristik pribadi
pernimpin informal maupun peranan pemimpin terhadap partisip
Profil Daerah Penelitian
Fisik Wilavah
Geoaafi. Secara geografis Kabupaten Daerah Tingkat I1 Tapanuli Utara berada di bagian Tengah wilayah Propinsi Sumatera Utara, dan di punggung Bukit Barisan. Kabupaten ini terletak l o 20' sampai 2' 4' Lintang Utara dan 98°10' sampai
90' 35' Bujur Timur dan dikelilingi oleh tujuh Kabupaten Daerah Tingkat I1 di Sumatera Utara dan satu Kabupaten di di Daerah Istimewa Aceh, sebagai berikut:
Sebelah Utara terletak Kabupaten Daerah Tingkat I1 Dairi, Tanah Karo dan Simalungun. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Asahan dan
Labuhan Batu. Sebelah Selatan terdapat Kabupaten Daerah Tingkat I1 Tapanuli Selatan, dan sebelah Barat Kabupaten Daerah Tingkat I1 Tapanuli Tengah (Pemda Tk I1
Tapanuli Utara, Tapanuli Utara Membangun, 1991)
Kabupaten Daerah Tingkat 11Tapanuli Utara berada di Bukit Barisan dengan
ketinggian 300 sampai 2.000 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah kabupaten
ini 10.605,3 kilometer persegi, termasuk perairan Danau Toba seluas 1.102,6 kilometer persegi atau 110.260 hektar (Pemda Tingkat 11 Tapanuli Utara, 1991). Daratan di
luar perairan Danau Toba seluas 950.270 hektar dengan sebagian besar berada pada
ketinggian 500 sampai 1.SO0 meter di atas permukaan laut.
Topograti wilayah Tapanuli Utara umumnya bergelombang dengan diselingi
dataran di bagian Tenggara dan Selatan Danau ~ o b a Daerah
.
ini mempunyai iklim
sejuk dengan temperatur rata-rata berkisar antara 17' sampai 29' Celcius dan rata-rata
kelembaban udara (RH)= 85,04 persen. Kesejukan iklim ini, di samping karena le110
taknya yang tinggi dari permukaan laut, juga sebagai pengaruh dari curah hujan yang
secara umum tergolong tinggi, yakni antara 2.000 sampai 5.000 milimeter per tahun.
Keadaan dan Pen~mnaanTanah. Letak dan topografi Tapanuli Utara dengan
keadaan permukaan tanah kebanyakan berbukit dan bergelombang, menyebabkan
banyak potensi yang layak dikembangkan, seperti potensi lahan, air terjun, potensi
angin, panas bumi dan lain-lain. Pengembangan potensi lahan memerlukan penanganan yang intensif karena kesuburan tanahnya relatip kurang. Pada umumnya tanah
di daerah ini berasal dari bahan induk liporit, dengan tingkat keasaman (PH) antara
3,5 sampai 5,8.
Menurut status pemilikan tanah, sebagian besar dari luas wilayah Tapanuli
Utara yakni seluas 663.432 hektar (69,82 %), merupakan tanah adat (tanah marga),
sedang bagian lainnya seluas 286.838 hektar (30,18 %) merupakan tanah negara.
Tanah negara pada umumnya berupa hutan negara dan terletak di pegunungan.
Penggunaan tanah di wilayah Tapanuli Utara memperlihatkan bahwa sebagian besar dari tanah yang diusahai penduduk, yakni seluas 93.024 hektar (7,51 %)
merupakan pertanian lahan kering, sementara 55.947 hektar (6,77 %) adalah persawahan. Tanah yang tidak diusahkan berupa semak belukar atau lahan tidur luasnya
246.542 hektar (lihat Tabel 4).
Penyebab utama tanah ini merupakan lahan tidur adalah karena tingkat kesuburannya rendah. Kalaupun ada penduduk yang mengusahakannya, khususnya di bidang subsektor pertanian tanaman pangan, mereka harus bekerja keras meningkatkan
kesuburan lahan tersebut. Dari luas daratan 950.270 hektar di kabupaten Tapanuli
Utara, yang dapat diusahkan menurut konsep Wilayah Tanah Usaha (WTU) Badan
Pertanahan Nasional (BPN), hanya 418.660 hektar (44 % luas daratan). Dengan de-
Tabel 4. Komposisi Penggunaan Tanah di Kabupaten Daerah Tingkat I1
Tapanuli Utara,Propinsi Sumatera Utara
No.
Penggunaan Tanah
Lms (Ha)
%
7.811
0,58
1
Perkampungan (Emplasemen)
2
Persawahan
55.947
6,77
3
Pertanian lahan kering
93.024
7,5 1
4
Perkebunan rakyat
40.372
4,25
5
Tanam kerashuah-buahan nonperkebunan
37.765
2,64
6
H u t a n
383.888
32,55
7
Penggembalaanlalang-alang
8 1.535
7,89
8
Semak belukarflahan tidurltandus
246.542
36,55
9
Kolam dan r a m
3.386
0,85
Jumlah:
950.270
100
Surnber: Pemda Tingkat I1 Tapanuli Utara, Tapanuli Utara Membangun, 1991.
mikian ratio antara jumlah penduduk dengan luas tanah yang dapat diusahakan oleh
penduduk adalah 1 : 0,586 hektar. Pada pihak lain cukup luas lahan tidur yang rnasih
bisa dimanfaatkan dengan mempergunakan teknologi penyuburan lahan.
Kevendudukan di Tavanuli Utara
Penduduk Tapanuli Utara pada umurnnya disebut masyarakat Batak Toba,
yakni salah satu subsuku Batak. Subsuku Batak lain yang ada di Sumatera Utara adalah Simalungun,. Karo, Pakpak, Angkola dan Mandailing. Menurut data pada buku
Tapanuli Utara Dalam Angka tahun 1996, jumlah 'penduduk kabupaten Dati 11 Tapanuli Utara 713.901 jiwa, terdiri dari 136.307 Kepala Keluarga dan dengan kepadatan 75 orang per kilometer persegi. Penyebaran penduduk, luas wilayah dan jumlah
rumah tangga serta kepadatan penduduk menurut kecarnatan dapat dilihat pada Tabel
5. Pada umumnya, kecamatan dengan jumlah penduduk paling banyak terletak di
lingkungan atau dekat dengan ibukota kabupaten atau ibukota wilayah (Onder Afdeling). Dengan kata lain terdapat kecenderungan bahwa penduduk terkonsentrasi (bertempat tinggal) di sekitar kota.
Tabel 5. Luas wilayah, Rumah Tangga, Penduduk dm Kepadatan Penduduk
menurut Kecamatan di Tapanuli Utara Tahun 1996
* Kecamatan lokasi penelittian
Sumber: Tapanuli Utara Dalam Angka Tahun 1996
114
Laju pertumbuhan penduduk di Tapanuli Utara periode 1980 sampai tahun
1990 rata-rata 0,19 persen per tahun atau relatip lebih rendah dibanding dengan laju
pertumbuhan penduduk rata-rata nasional pada periode yang sama. Rendahnya laju
pertumbuhan penduduk ini terutama disebabkan oleh tingginya arus perpindahan
keluar daerah dibanding arus penduduk yang datang atau yang lahir. Mobilitas penduduk yang tinggi khususnya kaum muda yang keluar daerah, disebabkan oleh keinginan mereka untuk berusaha memperbaiki tingkat kehidupan di daerah lain.
Masvarakat Batak Toba
Masyarakat Batak Toba dalam kenyataan hidup sehari-hari mempunyai dinamika, karakter, sifat yang keras tetapi selalu menginginkan keterbukaan serta mempunyai semangat kepeloporan (Tambunan, 1982). Sifat-sifat ini dapat menjadi faktor
penunjang dalam upaya mengajak dan mendorong mereka melakukan berbagai pembaharuan yang berorientasi pada perbaikan hidup dan kehidupan di pedesaan.
Masyarakat di daerah Tapanuli Utara yang lebih kurang 96 persen beragama
Kristen mempunyai sifat dan sikap bergotong-royong yang relatip masih terpelihara,
sebagai cerminan dari adat seternpat. Solidaritas kekeluargaan yang erat diantara marga-marga, karena mereka selalu berpedoman pada falsafah leluhur yang mempakan
tatanan hidup masyarakat sehari-hari, yang dimmuskan di atas landasan Tungku yang
Tiga (Dalihan Natolu). Prinsip kekerabatan yang mengatur hubungan antara saudara
sedarah atau seketurunan (tungku pertarna) dengan keluarga pemberi dara (tungku
kedua) dan keluarga pengambil dara (tungku ketiga), dipegang teguh oleh tiap individu orang Batak Toba.
Hubungan antara ketiga tungku ini yang jalinannya berdasar pada affina atau
perbesanan, membentuk kelompok yang pengkonsolidasiannya dapat dikatakan intensif Ikatan dari ketiga pihak sangat kuat dalam masyarakat Batak Toba dan selalu berperan dalam kegiatan adat dan dalam hidup sehari-hari. Jika seorang perempuan Batak meninggalkan lingkungan kaumnya untuk dinikahkan, berarti ia telah menciptakan hubungan perbesanan. Melalui hubungan seperti ini, suaminya serta kelompok
seketurunan dari suaminya dan keturunannya laki-laki di masa datang, telah terikat
dengan kaum si perempuan (ayahnya dan saudara laki-laki seketurunan ayahnya).
Kaum dari pihak suaminya serta keturunannya laki-laki, berstatus sebagai boru (pengambil dara) dari kaum ayah si perempuan (pemberi dara). Pihak kaum suami menempatkan kaum ayah si perempuan sebagai hula-hula mereka. Hubungan affina
seperti ini bisa jauh lebih luas, apabila anak laki-laki dari boru mengawini anak perempuan dari hula-hula pada generasi berikutnya.
Orang Batak beranggapan bahwa keadaan hidupnya untuk sebahagian besar
adalah berkat restu yang diperolehnya dari hula-hula (Vergouwen, 1968). Pihak hula-
hula dipandang dapat memantullcan kesemarakan dan kemuliaan kepada borunya;
hla-hula adalah sumber kekuatan adikodrati, daya hidup bagi masing-masing borunya. Sejalan dengan itu pihak boru memandang anggota hula-hula sebagai orang
yang dikaruniai sahala, yaitu kekuasaan istimewa yang dianggap mempunyai daya
yang kuat dan memancarkan pengaruh yang berfaedah bagi pihak born. Dengan demikian pihak hula-hula dapat berperan sebagai pemimpin dalam arti mampu memberi
pengaruh terhadap borunya, khususnya dalam kelompok berdasarkan perbesanan
(aflina). Kelompok seperti ini kelihatan sangat menonjol dan befingsi dalam setiap
pertemuan atau kegiatan (acara) adat
116
Dalam bentuk tindakan konkrit, hula-hula dapat memberi berkat (upa-upa) ke
pihak boru, memberi kain Batak (ulos), pisau dan makanan tertentu. Pemberian upaupa yang mempunyai makna tertentu, sering dilakukan hula-hula dengan mempergunakan urnpasa (ungkapadperumpamaan yang puitis) untuk lebih memberikan penekanan pada makna kata-kata yang diucapkannya (lihat contoh pada Lampirtan 2).
Urnpasa sering juga dipergunakan dalam kelompok lain diluar perbesanan.
Penggunaan urn-
dalarn berkomunikasi yang bertujuan merubah perilaku orang
lain (pendengarkomunikan), dipercayai mempunyai kekuatan. Dengan kata lain urnmampu menggugah hati orang yang mendengarnya dan kemudian mendorong
orang yang bersangkutan untuk menerapkan maknalnasihat yang terkandung di
dalamnya. Umpasa berfUngsi memberi kekuatan terhadap pesan yang disarnpaikan
seseorang kepada orang lain yang wajib diberi nasihat atau informasi. Karena itu
orang yang berkemampuan memilih dan menyampaikan umpasa secara tepat, khususnya pemimpin informal, mempunyai pengaruh dan wibawa serta dihormati oleh
pengikutnya dan warga rnasyarakat lain.
K e ~ e m i m ~ i n aMasvarakat
n
Kepemimpinan dalam masyarakat Batak Toba mempunyai sandaran-sandaran kemasyarakatan oleh karena kepemimpinan memang erat kaitannya dengan kelompok. Masyarakat Batak di pedesaan pada umumnya belum terspesialisasi, mereka
hidup dari pertanian dan keadaanya cenderung homogen. Sejalan dengan ini, kepemimpinan yang ditampilkan sering meliputi seluruh kehidupan masyarakat. Dengan
kata lain dalam semua segi kehidupan masyarakat kelihatan pengaruh dari pemimpin.
117
Selain itu pemimpin informal di daerah seperti ini jarang merasa lebih tinggi dari pengikutnya atau tidak terkesan ada "hiearki" (Soekanto, 1987).
Susunan masyarakat Batak relatip tidak memperlihatkan stratifikasi yang jelas
dan tegas. Diantara mereka yang memegang kekuasaan atau wewenang, dengan mereka yang yang dikuasai terdapat hubungan yang baik dan lancar. Dimanapun di negeri Batak Toba tidak ada sama sekali kekuasaan berjenjang dari unit terbawah sampai ke yang teratas (Vergouwen, 1986). Sejalan dengan ini para pemimpin dan bahkan raja di jaman dahulu seperti Si Singamangaraja ke-XI1 selalu mendatangi rakyat
(bawahan) dan memberi sesuatu kepada mereka dan bukan sebaliknya rakyat yang
mendatangi raja sambil membawa upeti.
Ciri-ciri utama kelompok terkecil masyarakat Batak Toba, adalah kampung
(huta). Kelompok ini menghuni daerah tertentu dengan batas yang jelas dan disebut
kelompok sekampung (sahuta). Kampung (huta) dibangun oleh satu Hen atau marga
tertentu dengan membangun satu rurnah yang dihuni oleh anggota keluarga yang berasal dari satu leluhur. Dengan demikian penduduk dari satu kampung (huta) umumnya terdiri dari satu marga (Men) dan jika dihubungkan dengan Dalihan Na Tolu, mereka semua tergolong saudara (hngan sabutuha), dan karenanya tidak boleh kawin
satu sama lain. Dengan kata lain, dalam satu kampung (huta) seperti ini, hampir tidak
ada kelompok pemberi dara (hula-hula) atau pengambil dara (born). Jika ada seorang laki-laki (jejaka) dari desa mau kawin, ia harus mencari jodoh (pasangan) ke
huta lain yang penduduknya berbeda marga dengan si pemuda.
Pertambahan jumlah anggota keluarga, memerlukan tambahan rumah dan biasanya dibangun berdekatan dengan rumah leluhur atau ayah pertama (Tambunan,
1982). Bentuk pemukiman (huta) terdiri dari beberapa buah rumah (adat) yang didi-
118
rikan secara berbanjar atau berbaris dari Timur ke Barat, sehingga cahaya matahari
tetap menyinari halaman yang dipergunakan sebagai tempat menjemur padi. Dalam
satu pemukiman seperti ini terdapat rumah (biasanya dihuni oleh beberapa keluarga)
adat yang jumlahnya berkisar antara 6 sampai 12 buah. Di sekeliling hula dipagar dengan tanaman bambu atau digali lobang untuk pertahanan. Dalam kompleks pemukiman seperti ini terdapat satu orang atau lebih pemimpin informal.
Watak persekutuan kampung antara lain: (1) ada batas-batas yang pasti,- (2)
mempunyai lahan untuk perluasan huta maupun untuk pertanian, dan (3) mengelola
sendiri aneka ragam kegiatan "dalam negerinya" seperti mengurus parit atau pagar
desa, balai pertemuan, menyelesaikan percekcokan warga, memimpin berbagai upama, perpindahan warga dan sejenisnya (Vergouwen, 1986). Keadaan seperti ini ber-
langsung dalam suatu kurun waktu yang lama di masa lampau.
Mengenai hakekat otoritas kepala sebagai pemimpin, sikap orang Batak (Toba) mengikuti suatu penalaran yang khas. Seorang pemimpin dipercayai sebagai
orang yang mempunyai kualitas istimewa (sahala) yang meliputi: (1) kualitas dalam
kekuasaan yang istimewa (sahala harajaon), dan (2) kualitas untuk dihormati (sahala
h g a p o n ) karena wibawa atau kharismanya (Vergouwen, 1986). Orang yang memiliki kedua sahala ini mampu menjadi pemimpin yang berkualitas dalam arti mampu menjalankan otoritas dan dipatuhi oleh anggota kelompok. Pada pihak lain, mereka yang mengikuti kepemimpinan dari orang-orang seperti ini akan menjadi makmur.
Seorang raja (pemimpin) yang dilimpahi &la
raja (sakala ni raja) &an
kelihatan pada ciri khusus perwatakannya dalam wujud: (1) memiliki kebesaran (habolonan), yaitu jumlah besar anggota keturunan yang membuatnya diterima sebagai
kepala, (2) kekayaan (?zamoraon) dalam arti makmur dan sanggup menjamu banyak
119
orang, (3) kebijakan (habisuhon), yaitu seorang pembicara yang arif, terutama dengan
menggunakan umpasa, (4) keperkasaan dalam perang dan tegas terhadap bawahan
(habeguon), dan (5) keterarnpilan di dalam ilmu "datu" (hadatuon)yang berarti antara lain dapat mengobati berbagai penyakit (Vergouwen, 1986).
Pemimpin yang memiliki ciri tersebut perlu menampilkan perilaku: (a) mengawasi hukum adat dan peradilan, (b) memerintah, (c) menjaga keselamatan pengikut, (d) membawa anggota mencapai tujuan, (e) bijaksana dalam menggerakkan anggot% (f) menghukum anggota yang bersalah, d m (g) meningkatkan kesejahteraan
rakyat (Panggading dalm Vergouwen, 1986). Dihubungkan dengan pembangunan
desa, pemimpin masyarakat Batak Toba harus: (a) mempunyai pengaruh kuat dalam
pembangunan, (b) mempunyai ide-ide untuk memperbaiki desa, dan (c) mampu menyampaikan ide serta pengalamannya dalam diskusi-diskusi (Cunningham, 1958).
Selain pengelompokan berdasarkan wilayah tempat tinggal dimana dapat dijumpai pemimpin informal seperti digambarkan di atas, juga ada pengelompokan berdasarkan kekerabatan. Kelomok-kelompok seperti ini, sesuai dengan silsilah, dapat
berwujud kelompok suku atau marga. Identitas keluarga Batak Toba ditentukan oleh
predikat marga dan ini ditundcan kepada anak laki-laki sesuai dengan sistem kekerabatan patrilineal. Dalam kelompok seperti ini para anggota hanya akan bertemu jika
ada pesta atau pertemuan adat dan pesertanya bisa berasal dari berbagai daerah. Dalam pertemuan seperti ini yang terutama berperan adalah pemimpin adat atau pimpinan marga (raja).
Di daerah Batak kepemimpinan informal dapat dibedakan atau terpisah menwut tiga bidang, yakni: (1) kepemimpinan di bidang adat, (2) kepemimpinan di bidang pemerintahan, dan (3) kepemimpinan di bidang keagamaan (Bangun dalarn
Koentjaraningrat, 1987). Kepemimpinan di bidang adat menjalankan tugas yang mencakup urusan-urusan yang berhubungan dengan perkawinan, kematian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran dan sejenisnya. Kebanyakan aturan-aturan adat tidak tertulis dan cukup banyak serta rumit. Karena itu hanya orang yang telah lama
mengikuti serta belajar tentang aturan dan pelaksanaan adat, yang mampu menjalankan kepemimpinan adat.
Kepemimpinan di bidang pemerintahan dipegang oleh salah seorang turunan
tertua dari pendiri kampung (huta), yang bertugas menjalankan pemerintahan seharihari di samping menjalankan tugas peradilan (Siahaan, 1982). Pemimpin pemerintahan yang berasal dari turunan tertua ini sering juga disebut raja huta atau raja kampung. Pemimpin ini walaupun secara formal (dewasa ini) tidak lagi memegang jabatan sebagai kepala desa, tetapi pengaruhnya masih cukup besar, terutama apabila ia
mampu menjaga wibawa. Dalam banyak ha1 tentang desa, pada umumnya penduduk
masih meminta pendapat dan saran dari raja huta.
Pemimpin agama di tanah Batak telah ada sejak dahulu kala, yakni ketika sebagian besar masyarakat masih mempercayai adanya roh, jiwa atau tondi yang mempunyai kekuatan. Dewasa ini ketika hampir semua orang Batak memeluk agama Nasrani, Islam dan yang lain-lain, mereka menjalankan kepercayaannya sesuai dengan
ajaran agama masing-masing. Dasar kepemimpinan di bidang agama adalah kepercayaan dan penguasaan pemimpin tentang aturan-aturan ritual sesuai dengan ajaran
agama yng dianut. Pemimpin agama ini, selain mempunyai keyakinan agama yang
mendalam, juga mengetahui dan menguasai aturan keagamaan secara lebih akurat.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang sering juga disebut modernisasi, telah
mempengaruhi kehidupan di pedesaan. Dilihat dari hubungan antara unsur tradisio-
121
nal dan unsur modern, masyarakat Batak Toba telah dan sedang mengalami perubahan dari cara hidup d m berpikir yang bercorak tradisional kepada yang lebih modern.
Hal ini menyebabkan tejadi perubahan sikap dan perbuatan orang Batak dalam kehidupan. Perubahan cara berpikir tradisional yang berorientasi ke belakang dan statis,
beralih pada pikiran yang berorientasi ke depan. Cara berpikir magis-religius berubah
ke cara berpikir rasional dan kreatip (Simanjuntak, 1986).
Hal-ha1 di atas telah meningkatkan kegiatan ekonomi dan pendidikan yang
mengarah ke sekularisme (Simanjuntak, 1986). Akibat peningkatan pendidikan dan
kegiatan ekonorni serta mobilitas yang tinggi, memungkinkan seseorang mempunyai
pengetahuan, keterampilan dan sikap positip terhadap pembaharuan. Mereka menjadi
pemimpin seMer atau kontemporer, karena mereka muncul belakangan (rnasa kini).
Ikhtisar kepemimpinan informal masyarakat Batak Toba terdapat pada Lampiran 3.
Wawa Masvarakat sebagai Peneikut
Pengikut dari tiap pemimpin, apakah pada kelompok sahuta, kelompok marga
dan kelompok-kelompok lain, lebih-lebih pada kelompok yang bertujuan meningkatkan usaha seperti kelompok tani, mempunyai harapan dm tujuan tertentu. Seiring dengan terjadinya perubahan cara hidup dan berpikir ke arah yang lebih moderen di pedesaan, berubah pula harapan, keinginan dan cita-cita pengikut atau warga rnasyarakat desa di tanah Batak Toba.
Harapan, cita-cita dan tujuan yang mereka ingifikan sering belum dapat dimmuskan secara jelas dan konkrit. Selain itu pengikut juga dihadapkan pada beberapa
hambatan atau masalah ddam mewujudkan cita-cita dan tujuan tersebut. Jika dihubungkan dengan upaya pengikut untuk memperbaiki dan meningkatkan usaha, ham-
122
batan-hambatan yang mereka jumpai antara lain di bidang: (a) permodalan, (b) penguasaan teknologi, khususnya dalam meningkatkan kesuburan lahan (c) pemasaran
hasil, termasuk transportasi dan (d) persaingan yang kurang menguntungkan di antara
sesama mereka.
Terdapat kecenderungan persaingan di antara warga sehingga kurang menunjang kemajuan usaha. Kalaupun tidak berwujud persaingan, paling tidak terdapat gejala bahwa masing-masing individu atau keluarga menjalankan usahanya sesuai dengan caranya sendiri. Jika individu atau keluarga ini memerlukan bantuan, misalnya
dalam pengadaan sarana produksi dan sejenisnya ia lebih sering mencari sendiri tanpa
bekerja sama dengan individu atau warga yang lain. Sebaliknya kalau warga yang
bersangkutan berhasil dalam usahanya, ia jarang menginfonnasikan keberhasilan tersebut kepada warga yang lain; apalagi memberitahukan cara-cara yang ditempuhnya
dalam mencapai keberhasilan tersebut.
Secara empiris ada beberapa sifat (roha) yang banyak dijumpai pada diri individu warga masyarakat, yang kurang menunjang terwujudnya kebersamaan atau
interaksi yang mulus di antara sesama mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan
usaha. Sifat-sifat tersebut berupa: (1) kecenderungan memiliki dendam (hosom), (2)
selalu merasa diri "lebih" dari orang lain walaupun kenyataannya belum tentu dernikian (teal), (3) rasa iri hati atau mencela kebaikan atau hal-ha1 positip yang dicapai
orang lain (elat), dan (4) tidak mau membantu dan bahkan ingin menjerumuskan
orang lain karena iri hati (late)*. Dalam Almanak gereja HKBP tahun 1998 dicanturnkan agar semua perkumpulan umat yang diadakan setiap hari Kamis memohon
Hosom, teal, elat dan late sering disingkat menjadi Hotel.
123
melalui doa bersama, supaya dijauhkan kiranya empat macam sifat (roha) tersebut
dari tiap individu orang Batak Toba. Hal ini menunjukkan bahwa gereja juga mengamati dan mengakui ada tendensi dimilikinya sifat-sifat yang kurang baik ini oleh individu orang-orang Batak Toba.
Fenomena ini sekali lagi menunjukkan betapa pentingnya peranan pemimpin
informal dalam membina kehidupan kelompok dan berkelompok di pedesaan, khususnya pada kelompok yang bergerak di bidang usaha, sebagai wahana untuk mempersatukan warga. Dengan cara seperti ini tidak hanya kehidupan usaha bisa berkembang, tetapi juga bisa tumbuh hubungan sosial yang harmonis, sebagai penunjang
kekompakan masyarakat. Sifat dan perasaan-perasaan yang kurang baik secara berangsur perlu dihilangkan sehingga tidak menjadi hambatan dalam memajukan usaha.
Pada pihak lain masyarakat dihadapkan dengan kesulitan mengembangkan
usaha sehari-hari akibat adanya beberapa kendala atau masalah. Penduduk mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Daerah atau kabupaten
ini masih digolongkan sebagai daerah miskin. Kebijaksanaan pemerintah yang dituang dalam Operasi Khusus Terpadu (Opsusdu) "Maduma" pada tahun 1986, meng-
indikasikan bahwa masyarakat daerah ini masih tergolong miskin. Gambaran kemiskinan juga terlihat dari fenomena lain, yaitu besarnya jumlah desa yang pada tahun
199311994 menjadi sasaran Inpres Desa Tertinggal (IDT) yakni 264 desa (41,8%)
dari seluruh desa di kabupaten Tapanuli Utara yang pada waktu itu jumlahnya 640
buah (Sekwilda Daerah Tk I1 Tapanuli Utara, 1994).
Kondisi kerniskinan dan masalah atau hambatan yang dijumpai dalam pengembangan usaha di pedesaan, mendorong sebagian warga masyarakat pindah ke
daerah lain, bahkan ke pulau Jawa untuk mencari nafkah. Pada ha1 jika dilihat dari lu-
124
asnya lahan kosong atau lahan tidur, masih terbuka kemungkinan untuk dimanfaatkan, sehingga memungkinkan diadakan perbaikan dan pengembangan usaha. Masyarakat memerlukan bantuan, baik dari pihak luar maupun dari pemimpin informal yang
mampu mengorganisasikan warga, khususnya dalam meningkatkan usaha mereka.
Potensi dan Perekonomian Daerah
Perekonomian masyarakat Batak didominasi oleh sektor pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan dan perkebunan rakyat (lihat Tabel 6). Selain padi,
tanarnan pangan yang banyak dihasilkan daerah ini adalah jagung, kacang tanah, ubi
kayu dan ubi jalar. Kebanyakan tanaman pangan dibudidayakan masyarakat di lahan
kering dan hanya sebagian kecil yang menanamnya di sawah sebagai rotasi tanaman.
Karena itu produksi per hektar belum dapat menyamai produksi per hektar rata-rata
nasional. Tanaman palawija yang banyak ditanam adalah cabai, bawang merah, buncis, kentang, kacang panjang dan kubis, sedangkan tanaman perkebunan yang diusahakan oleh penduduk adalah karet, kopi dan kemenyan.
Penduduk yang bergerak di bidang pertanian, apakah di lahan basah atau
lahan kering, umumnya masih mengelola usaha tani secara tradisional. Karena itu
belum banyak membawa perbaikan atau peningkatan produksi. Selain itu usaha tani
yang mereka lakukan masih secara individual dalam arti belum banyak kelompok tani
yang terbentuk dan kalaupun ada belum berfbngsi sebagaimana mestinya.
Kenyataan empiris serta dukungan data dalarn Tabel 6 menunjukkan bahwa
sektor pertanian masih tetap sebagai penyumbang terbesar pendapatan regional Tapanuli Utara (Pemda Tkt II Tapanuli Utara, 1991). Potensi sumberdaya alam yang masih terbuka dan memungkinkan untuk dikembangkan adalah ketersediaan lahan ke-
Tabel 6, Luas Panen, Rata-rata Produksi dan Produksi dari Beberapa
Tanaman Pangan dan Perkebunan Tahun 1996 di
KabupatenTapanuli Utara
No.
1
2
3
4
5
6
Jenis Tanaman
Padi (sawah dan ladang)
Jagung
Kacang tanah
Kedelai
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Luas Panen
(Ha)
74794
8497
6415
603
4199
3230
Rata-rata
Produksi
(Kwma)
37,42
32,50
16,09
11,99
73,95
65,ll
Produksi
(Ton)
279906
276 15
10322
723
30876
21041
Surnber: Diolah dari Tapanuli Utara Dalam Angka Tahun 1996.
ring, perairan danau Toba untuk perikanan, ketersediaan berbagai jenis mineral dengan deposit yang cukup besar, termasuk panas bumi dan sumberdaya manusia. Jumlah penduduk yang besar disertai keinginan mereka yang h a t untuk memperbaiki
kehidupan, merupakan suatu potensi. Keindahan alam dengan panoramanya yang
khas, terutarna di sekitar danau Toba serta udara yang sejuk, menunjang pariwisata.
126
Identifikasi Kecamatan Lokasi
Empat kecamatan yang menjadi lokasi penelitian, terletak di masing-masing
wilayah (Onder Afdeling) sebagai berikut: ( I ) Kecamatan Laguboti terletak di wilayah (Onder Mdeling) Toba, (2) Kecamatan Onan Runggu di wilayah Samosir, (3)
Kecamatan Lintongnihuta di wilayah Humbang, dan (4) Kecamatan Pahae Jae di wilayah Silindung. Wilayah Toba yang di masa lampau termasuk Onder Afdeling Toba,
terdiri dari enam kecamatan, wilayah Samosir terdiri dari enam kecamatan, wilayah
Humbang terdiri dari 12 kecamatan, dan wilayah Silindung terdiri dari lima kecamatan (lihat Tabel 7).
Dari empat kecarnatan lokasi penelitian, ternyata kecarnatan Laguboti mempunyai luas wilayah paling kecil dan kecamatan Pahae Jae adalah yang paling luas.
Akan tetapi kecamatan Laguboti mempunyai penduduk paling padat (285 orang per
Km2), sementara kecamatan Pahae Jae kepadatan penduduknya hanya 47 orang per
Km2. Dua kecamatan ini mempunyai areal persawahan paling luas, dibanding dengan
kecamatan Onan Runggu dan Lintongnihuta. Kecamatan Pahae Jae terkenal sebagai
lumbung beras di Kabupaten Tapanuli Utara.
Dari segi jumlah desa, ternyata kecamatan Onan Runggu mempunyai desa
paling banyak karena beberapa desa telah dimekarkan. Pemekaran desa dilakukan
berdasarkan berbagai pertimbangan, antara lain untuk mengintensifIan pelaksanaan
pembangunan. Secara organisatoris di tiap desa terdapat Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) serta sejumlah Kader Pembangunan Desa (KPD). Banyak diantara kader ini telah mengikuti pelatihan satu atau dua kali, baik di tingkat kecamatan
maupun di tingkat kabupaten. Narnun dernikian kinerja mereka di lapangan setelah
mengikuti pelatihan, belum banyak menunjukkan peningkatan.
Tabel 7. Kondisi Kecamatan Lokasi menurut Luas Wilayah, Pemerintah Desa,
Instansi Pemerintah, Sarana Perekonomian d m Sosial Budaya
128
Tabel 7 memperlihatkan keadaan beberapa instansi vertikal seperti Kakandepdikbud, Penerangan, BKKBN, Kehutanan, Statistik, KUA, Koramil, Kapolsek.
Juga terdapat instansi otonom seperti Dinas P dan K, Kesehatan, Pertanian, Peternakan, Perikanan, Pekerjaan Umum (Pengairan), dan Konservasi Tanah. Dari segi kelembagaan, baik sarana ekonomi seperti koperasi, pasar, warung dan sejenisnya,
demikian juga sarana sosial budaya seperti sekolah, Balai Pengobatan, Puskesmas
dan Posyandu telah ada di tiap kecamatan. Perbedaamya terletak pada jumlah dan
pernanfaatan lembaga atau sarana tersebut. Banyak di antara unit pelayanan seperti
Posyandu, Balai Pengobatan, dan koperasi belum dimanfaatkan masyarakat secara
maksimal sehingga terkesan tidak berfbngsi.
Kecamatan Laguboti mempunyai agroekosistem sawah atau lahan basah dan
karenanya potensi utama wilayah ini adalah pertanian tanaman pangan dan perikanan.
Namun karena perluasan (ekstensifikasi) areal tanarn untuk padi atau tanaman pangan
lain serta kolam ikan sudah terbatas, maka satu-satunya upaya untuk meningkatkan
produksi adalah dengan intensifikasi.
Kecamatan Onan Runggu sebagai lokasi penelitian berada di wilayah Samosir, terletak di sebelah selatan agak ke timur pulau Samosir. Kecamatan ini mempunyai agroekosistem lahan kering, karena sebagain besar wilayahnya berada di gunung-gunung; di sepanjang pantai danau Toba terdapat areal persawahan. Garis pan-
tai danau Toba di kecamatan ini tergolong panjang. Karena itu sebagian penduduk
berusaha dibidang perikanan dengan jaring apung, atau penangkapan ikan danau secara tradisional. Sepanjang pantai terdapat dataran yang memungkinkan penanaman
padi serta palawija, sehingga sebagian penduduk mengusahakan pertanian tanaman
pangan. Di bagian gunung yang merupakan wilayah terluas dari kecamatan Onan
129
Runggu ditanam ubi kayu, ubi rambat serta tanaman keras seperti kemiri, cengkeh,
tanaman buah-buahan (mangga, durian). Dalam rencana pengembangan wilayah, daerah ini terbuka kemungkinan untuk mengembangkan pariwisata, peternakan dan industri kerajinan (Pemda Tkt I1 Tapanuli Utara, 1991). Peternakan yang banyak diusahakan oleh penduduk adalah memelihara kerbau, babi, ayam dan bebek.
Kecamatan ketiga yakni Lintongnihuta terletak di wilayah Humbang, mempunyai agroekosistem lahan kering. Kecamatan ini umumnya terdiri dari dataran dan
sedikit bergelombang. Mata pencaharian penduduk adalah pertanian, khususnya hortikultura, dan hanya sebagain kecil wilayah kecamatan ini yang bisa ditanam padi
sawah. Sebagian penduduk mengusahakan tanaman perkebunan atau tanaman keras,
khususnya kopi walaupun rata-rata rumah tangga mempunyai areal kebun h a n g dari
0,25 hektar. Banyak penduduk yang memelihara temak sebagai usaha sambilan, se-
perti memelihara kerbau, babi dan ayam atau ada juga yang mengambil batu ke gunung. Kaum ibu dari daerah ini banyak yang berdagang ke pasar-pasar (onan).
Di kecamatan ini cukup luas tanah kosong dalam arti belum diusahakan. Lahan tidur ini berupa tanah darat atau lahan kering yang pemiliknya telah pindah ke
daerah lain, khususnya ke pulau Jawa. Kalaupun pemiliknya masih ada didaerah ini,
mereka mengalami kesulitan dalam mengolah lahan karena tingkat kesuburan tanah
rendah Selain lahan kering, di kecamatan ini juga cukup luas lahan gambut yang juga
belum dapat dimanfmtkan oleh penduduk setempat.
Kecamatan terakhir yang berada di wilayah ,Silindung adalah Pahae Jae yang
terletak di perbatasan Kabupaten Tapanuli Selatan. Sebagian penduduknya telah
mempunyai budaya serta kebiasaan hidup sehari-hari yang mirip dengan Batak Angkola yang menghuni bagian utara kabupaten Tapanuli Selatan. Satu fakta yang me-
130
nunjukkan ada pengaruh Tapmnli
ela at an adalah, penduduk daerah ini banyak yang
memeluk agama Islam yaitu agama dari mayoritas penduduk Tapanuli Selatan.
Topografi kecamatan ini bergunung-gunung dan lembah yang relatip luas. Di
pegunungan terletak lokasi perkebunan rakyat yang terdiri dari karet dan kemenyan
serta durian. Sementara di lembah yang di beberapa tempat cukup luas, ditanam padi
dan sebagai tanaman sela atau rotasi ditanam palawija. Lembah-lembah di daerah ini
merupakan daerah penanaman padi yang baik, karena di sana banyak sungai yang
mengalir sehingga dapat mengairi sawah. Agroekosistem kecarnatan Pahae Jae adalah sawah dan perkebunan, khususnya karet dan kemenyan.
Potensi wilayah Silindung, termasuk Kecarnatan Pahae Jae adalah pertanian
pangan, hortikultura, perikanan, pariwisata dan industri (Pemda Tkt II Tapanuli Utara, 1991). Sejalan dengan ini sasaran utarna pengembangan meliputi perkebunan, termasuk melakukan peremajaan tanaman, perikanan dan industri. Pengembangan perkebunan dapat dilakukan karena penduduk setempat telah "akrab" dengan usaha ini.
Secara turun-temurun usaha perkebunan karet dan kemenyan telah ditekuni oleh
penduduk. Pengembangan perikanan dimungkinkan karena banyak anak sungai yang
mengalir di daerah ini sehingga dapat dipergunakan untuk mengairi kolam.
Identifikasi Desa Lokasi
Kondisi desa lokasi menurut keadaan penduduk, pekerjaannya, sarana ekonomi dan jenis kelompok yang ada, dapat dilihat pada Tabel 8. Desa yang paling banyak
jumlah penduduknya adalah Nagasaribu I, yakni 2303 jiwa yang berarti 7,48 persen
dari total penduduk di semua desa lokasi. Desa dengan jumlah penduduk terbesar ke
dua adalah Nagasaribu 11, yaitu sebesar 6,44 persen. Kedua desa ini terletak di keca-
Tabel 8. Kondisi Desa Lokasi menurut Penduduk, Pekerjaan Penduduk, Sarana
Ekonomi dan Jenis Kelompok yang terdapat di Desa
I
:
Keteranm: 1. KK = Kepala Keluarga
2. Keg. Agama = Kegiatan agama
132
matan Lintongnihuta yang jumlah penduduknya 3 1836 jiwa. Desa ketiga yang jumlah penduduknya paling banyak adalah Sipira (5,47%), yang terletak di kecamatan
Onan Runggu.
Sebanyak 47,46 persen dari total penduduk di desa lokasi bekerja sebagai petani. Selebihnya kira-kira 3,04 persen bekerja sebagai buruh, terutama buruh tani dan
bangunan serta 2,18 persen bekerja sebagai pegawai negeri, khususnya guru sekolah,
baik negeri maupun swasta.
Tabel 8 menunjukkan bahwa belum semua desa mempunyai koperasi sebagai
sarana ekonomi. Hanya 54,17 persen dari semua desa lokasi yang telah mempunyai
koperasi dan sebagian besar dari koperasi ini tidak befingsi. Demikian juga belum
semua desa mempunyai pasar sebagai penunjang perekonomian desa. Kios (keresek)
rata-rata terdapat antara empat sampai lima buah di tiap desa dan jumlah warung kopi
(lapo) di tiap desa rata-rata tujuh buah.
Kelompok sebagai basis tempat berkumpul dan berinteraksi warga desa, dilihat dari segi jumlahnya relatip telah memadai. Akan tetapi kalau ditinjau dari jenis
kelompok, khususnya yang secara langsung berhubungan dengan pekerjaan utarna
penduduk, yakni bertani, masih tergolong kecil. Jumlah kelompok tani di tiap desa
masih sedikit. Kelompok-kelompok usaha yang lain jurnlahnya masih tergolong kecil
atau bahkan belum ada sama sekali. Pada ha1 keberadaan kelompok tani atau kelompok usaha sangat penting, karena dapat menunjang keberhasilan warga dalarn melakukan pembaharuan atau untuk meningkatkan usaha mereka. Kenyataan menunjukkan bahwa kelompok yang banyak adalah yang bergerak di bidang arisan serta kelompok-kelompok keagamaan.
Profii Pemimpin dan Pengikut
Pemimpin informal tradisional (PIT) dan pemimpin informal kontemporer
(PIK) yang menjadi sampel dan sekaligus sebagai responden jumlahnya 96 orang
yang tersebar di 24 buah desa. Ditinjau dari umur (usia) pemimpin dan pengikut yang
menjadi sampel, ternyata memperlihatkan keragaman seperti pada Tabel 9. Pemimpin
Tabel 9. Sebaran Pemimpin Informal Tradisional dan Informal Kontemporer
serta Pengikutnya menurut Kategori Umur (Usia)
-
Kategori
Usia
CThn)
'
PEMIMPIN
Inf.Tradi- Inf. KonTotal
sional
temporer
(N=96)
PENGIKUT
I d Tradi Inf. KonTotal
sional
(N=3 84)
temporer
< 35
-
2 (2,08)
4,17
2 (2,08)
2,08
2 (0,52)
1,04
-
2 (0,52)
0,52
35 - 44
-
6 (6,25)
12,50
6 (6,25)
6,25
26 (6,77)
13,54
39 (10,16)
20,31
65 (16,92)
16,93
45 - 54
19 (19,79)
39,58
16 (16,67)
33,33
35 (36,46)
36,46
81 (21,09)
42,19
82 (21,35)
42,71
163 (42,45)
42,45
55 - 65
22 (22,92)
45,83
20 (20,83)
41,67
42 (43,75)
43,75
59 (15,36)
30,73
67 (17,45)
38,90
126 (32,81)
32,81
> 65
7 (7,29)
14,58
4 (4,17)
8,33
11 (1 1,46)
24 (6,25)
48 (50,OO)
192 (50,O)
384 (100)
100
100
12,50
192 (50,O)
100
28 (7,29)
7,29
48 (50,OO)
11,46
96 (100)
100
4 (1,04)
2,08
100
I00
Jumlah:
Kekraman: 1. Angka dalarn kunmg = pmatase total (untuk Pemimpin N =% dan Pe@&
2. Angka cetak miring = persentase kolom.
N = 384).
yang paling tua berusia di atas 65 tahun serta yang paling muda berusia 35 tahun, yaitu yang masuk .pada kelompok pemimpin informal kontemporer. Sebanyak 22,92
persen pemimpin informal tradisional (PIT) berusia antara 55 sampai dengan 65 tahun. Pemimpin informal kontemporer (PIK) yang berusia sama banyaknya 28,83 persen. Pemimpin informal tradisional (PIT) yang berusia antara 45 sampai 54 tahun, ber
134
tahun, berjumlah 19,79 persen. Kelompok usia yang sama pada PIK banyaknya 16,67
persen. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebanyakan pemimpin informal tergolong
tua. Hal ini bermakna bahwa pemimpin informal memiliki kemampuan berpikir yang
lebih matang. Kebijakan-kebijakan yang mereka ambil dalam memimpin atau mendorong d m mengarahkan pengikut serta dalam mengambil keputusan akan lebih akurat. Dari segi komunikasi, khususnya ketika memberi dorongan d m arahan, pemimpin seperti ini lebih marnpu mempergunakan umpasa, sehingga pengikut lebih tergugah untuk mengikuti arahannya.
Pengikut yang menjadi sampel berjumlah 384 orang, juga mempunyai keragaman usia di saat penelitian dilakukan. Diantara mereka ada yang berusia lebih dari
70 tahun dan ada pula yang berusia kurang dari 35 tahun. Secara lebih lengkap sebaran pemimpin dan pengikut menurut kategori usia dapat dilihat pada Tabel 9. Sebanyak 21,09 persen dari pengikut PIT beruusia antara 45 sampai 55 tahun dan sebanyak 21,35 persen dari pengikut PIK berusia antara 45 sampai 55 tahun. Pengikut PIT
yang berusia antara 55 sarnpai 65 tahun sebanyak 15,36 persen dan pengikut PIK
yang berusia sama (55 sarnpai 65 tahun) sebanyak 17,45 persen.
Sebaran pemimpin dan pengikut yang menjadi sampel dan juga menjadi responden ditinjau dari jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan
non formal, dapat dilihat pada Tabel 10. Sebanyak 19,79 persen PIT berpendidikan
setingkat Sekolah Menengah Umum (SMU) dan sebanyak 17,71 persen PIK berpendidikan sama dengan PIT. Pernyataan ini menyiratkan bahwa hampir tidak ada
perbedaan tingkat pendidikan formal diantara sesama pemimpin informal (PIT dan
PIK). Kenyataan ini menunjukkan bahwa penduduk di daerah penelitian telah sejak
dari dahulu menempatkan pendidikan bagi anak-anak mereka sebagai sesuatu yang
Tabel 10. Sebaran Pemimpin Informal Tradisional dan Informal Kontemporer
serta Pengikut menurut Pendidikan
PENDIDIKAN
F ~ ~ Sek.Dasar
ma1
SLTP
SMTA
Perg .Tinggi
Jumlah
Nan
Formal
Tidak ada
Latihan
Latihan &
Magang
Jumlah:
PENGIKUT
P E M I M P I N
Inf. Tradisional
14 (14,58)
29,16
13 (13,54)
27,08
19 (19,79)
39,58
2 (2,081
4,16
48 (50,O)
100
27 (28,12)
56,24
19 (19,79)
39,58
2 (2,081
4,16
48 (50,O)
100
Inf.Kontemporer
7 (729)
14,58
14 (14,58)
29,16
i7 ( 1 7 ~ 1 )
35,42
10 (10,42)
20,84
48 (50,O)
100
14 (14,58)
29,16
29 (30,21)
60,42
5 (521)
10,42
48 (50,O)
100
Total (N = 96)
21 (21,88)
21,88
27 (28,12)
28,12
36 (37,50)
3 7,50
12 (12,50)
12,50
96 (100,O)
100
41 (42,71)
42,71
48 (50,O)
50,O
7 (7,291
7,29
96 (100,O)
100
Keterangan: 1. Angka dalam kurung = pasentase total (Pemimpin N = 96; Pengikut: N = 384)
2. Angka cetak miring = persen* kolom.
Inf. Tradisional
76 (19,79)
39,58
82 (21,35)
42,70
32 (8,33)
16,66
2 (0,52)
1,04
192 (50,O)
100
128 (33,33)
66,66
44 (1 1,46)
22,96
20 (5,21)
10,42
192 (50,O)
100
1nf.Kontemporer
62 (16,15)
32,30
82 (21,35)
42,70
44 (1 1,46)
22,92
4 (1,04)
2,08
192 (50,O)
100
113 (29,43)
58,86
54 (14,06)
28,12
25 (6,51)
13,02
192 (50,O)
100
Total (N=384)
138 (35,94)
35,94
164 (42,71)
42,71
76 (19,79)
19,79
6 (1,561
3,I2
384 (100)
100
241 (62,76)
62,76
98 (25,52)
25,52
45 (1 1,72)
11,72
384 (100)
100
136
penting, terbukti dari tingginya jenjang pendidikan pemimpin informal yang rata-rata
telah berusia tua. Perhatian serta keuletan orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya masih tetap tinggi sampai sekarang.
Data menunjukkan bahwa diantara pemimpin informal bahkan ada yang telah
menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi (2,08 persen dari PIT dan 10,42 persen dari PIK). Dihubungkan dengan usia pemimpin, ternyata bahwa pemimpin informal yang cenderung telah berusia lanjut, juga pernah menempuh pendidikan setingkat
SMU atau minimal setingkat SLTP.
Gambaran pendidikan non formal dari pemimpin informal menunjukkan bahwa baru sekitar 19,79 persen dari PIT yang pernah mengikuti latihan. Hal yang sama
terdapat pada sebanyak 30,21 persen dari PIK. Terdapat sebanyak 2,08 persen dari
PIT yang pernah mengikuti latihan sambil magang dan ha1 yang sama pernah diikuti
oleh sebanyak 5,21 persen dari PIK. Angka persentase PIT dan PIK yang telah mengikuti pendidikan non formal (pelatihan dan atau magang), ternyata kecil. Hal ini
menunjukkan bahwa pengetahuan dan beberapa keterarnpilan yang diperlukan seorang pemimpin informal di pedesaan, ternyata belum dimiliki, termasuk kemarnpuan
manajemen.
Mengacu pada pendidikan pengikut, ternyata sebanyak 42,71 persen dari masing-masing pengikut PIT dan PIK mencapai jenjang pendidikan setingkat SLTP
(lihat Tabel 10). Sebanyak 19,79 dari total pengikut pemimpin informal berpendidikan SMU dan bahkan 1,56 persen berpendidikan perpruan tinggi. Pengikut PIT yang
pernah mengikuti pelatihan sebanyak 11,46 persen dan pengikut PIK sebanyak 14,06
persen. Sebanyak 5,21 persen pengikut PIT pernah mengikuti pelatihan sambil magang dan ha1 yang sama juga diikuti oleh sebanyak 6,5 1 persen dari pengikut PIK.
137
Ditinjau dari lamanya seorang pemimpin, baik PIT maupun PIK menjalankan
kepemimpinan, ternyata ada perbedaan. Sebaran pemimpin menurut lama memimpin
atau masa kepemimpinannya dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel menunjukkan bahwa
Tabel 11. Sebaran Pemimpin Informal Tradisional dim Informal
Kontemporer menurut Lama Memimpin
Sebaran Menurut Lama (Tahun) Memimpin
Pemimpin
c5th
5-10th
11-15 th
Informal
Traclisional
Informal
Kontemp.
2 (2,08)
100
13 (13,54)
9 (9,38)
46,43
40,91
13 (13,54) 15 (15,65)
59,09
53,57
Jumlah
2(2,08)
100
22(22,92)
100
28(29,16)
loo
16-20 th
Total
> 20th
(N=96)
14 (14,58) 10 (10,42) 48 (50,OO)
45,45
63,63
SO, 00
12 (12,50) 48 (50,OO)
8 (8,33)
54,54
36,36
50,OO
22(22,9 1)
100
22(22,9 1)
100
96(100)
100
Keteran~an:1. Angka dalam kurung = persentase total (N=96)
2. Angka cetak miring = persentase dalam kolom
sebanyak 13,54 persen PIT telah menjadi pemimpin antara 11 sampai 15 tahun dan
sebanyak 14,58 persen telah memimpin antara 16 sampai 20 tahun secara terus-menerus dan 10,42 persen telah memimpin lebih dari 20 tahun.
Sebanyak 15,65 persen dari PIK mempunyai pengalaman memimpin antara
11 sampai 15 tahun dan 8,33 persen berpengalaman antara 16 sampai 20 tahun. Se-
banyak 12,50 persen telah berpengalaman memimpin, artinya kepemimpinannya diakui oleh warga lebih dari 20 tahun. Tabel l l menunjukkan bahwa 45,82 persen dari
pemimpin informal telah memimpin lebih dari 16 tahun, dalam arti kepemimpinan
mereka rata-rata telah diakui lebih dari 15 tahun. Pengalaman memimpin yang begitu
lama menjadi faktor penunjang dalam memilih cara yang tepat dalam menampilkan
peranan kepemimpinan pembangunan yang harus mereka jalankan. Melalui pengalaman yang lama, tentu pemimpin telah lebih mampu menjalankan sejumlah peranan.
Penampilan Peranan Pemimpin
Keragaan data penelitian, khususnya skor penampilan peranan pemimpin informal (tradisoinal dan kontemporer) dapat dilihat pada Lampiran 4. Dalam lampiran
tersebut kelihatan skor responden (pemimpin) untuk tiap peubah bebas dan peubah tidak bebas (peubah respons). Skor dari pengikut sebagai responden juga diperoleh,
namun tidak dilampirkan dalam tulisan ini.
Skor tiap responden (pemimpin) untuk masing-masing peubah pada Lampiran 4 mula-mula diolah dengan statistik sederhana yaitu program Statistical Analysis
System (SAS) untuk mendapatkan nilai rata-rata (Mean) dan simpangan baku (Standard Deviation) untuk masing-masing peubah. Perhitungan seperti ini juga dilakukan
terhadap skor pengikut. Gambaran skor pemimpin informal dan pengikut, baik dilihat
dari skor tertinggi (maksimum) maupun minimun serta nilai rata-rata (mean) dan
persentase rata-rata (mean) terhadap skor tertinggi untuk tiap peubah, terdapat pada
Tabel 12.
Rata-rata sekor (mean) dari pemimpin informal dan pengikut untuk tiap peubah
tidak jauh berbeda. Secara umum ha1 itu menunjukkan bahwa penampilan peranan
pemimpin informal seperti dinyatakan sendiri oleh yang bersangkutan (pemimpin)
ternyata sama dengan apa yang diamati atau dilihat oleh pengikut. Dengan kata lain,
dalam penelitian ini diperoleh skor yang sama dari dua sumber. Keadaan ini menunjukkan bahwa sebagai data ia mengandung kebenaran dalarn arti memang demikianlah keadaan yang sebenarnya. Keadaan seperti ini terjadi karena: (1) penarnpilan peranan tersebut merupakan perilaku nampak (overt behavior) yang dapat diamati pengikut karena dilakukan atau ditunjukkan oieh pemimpinnya, dan (2) antara pemim-
Tabel 12. Skor Minimum, Maksimum dm Rata-rata (Mean)serta Persentase Mean
terhadap Skor Maksimum dari Pemimpin Informal dan Pengikut
untuk masing-masing Peubah
SKOR PEMIMPIM.
SKOR PENGIKUT
INFORMAL
.
PEUBAH
No.
MiniMini- Maksi- Rata-rata
Maksi- Rata-rata
(Mean)
(Mean)
mum
mum
mum mum
23,666
23,609
1 Menyadarkan
31
16
14
(77,42)
akan masalah (XI)
37 , (63,78)
36,924
2 Memberi infor37,135
54
53
23
18
(68,37)
rmsi (X2)
(69,81)
33,924
34,385
3 Memotivasi pe50
22
49
16
(70.16)
(67.84)
ngikut ( X 3 )
27,364
27,185
4 Mengarahkan ke39
20
35
I7
(78,ll)
(69,691
giatan (%)
37,406
37,463
5 Membina kerja
47
20
26
(79,57)
(66,891
!%ima(xs)
,
56
26,52 1
26,5 10
6 Memberi ganjar40
19
34
15
anJsanksi (&)
(66,27)
(78.00)
7 Penghubung antar
27,385
27,554
41
17
20
36
sistem (X7)
(7605)
(67,19)
8 Partisipasi Masya
65,453
65,28 1
47
75
80
49
(87,27)
rakat (Xg)
(81,60)
65,042
64,966
9 Hasil Pelaksaaaao
49
77
42
(81.20)
PernbanOr)
(84,47)
38,245
35,260
26,89
23,111 52,444
Rata-rata
49,ll
(67,24)
'
a
Kekmmn: 1. Angka cetak miring dalam kurung = % (persentase) Mean terhadap
&or maksimum -pin
& pengikut).
2. Pemimpin: n = % dan pengrlrut n = 384.
pin dan pengikut selalu tejadi interaksi sehingga terbuka peluang bagi pengikut untuk mengamati perilaku atau penampilan peranan pemimpin hari demi hari.
Kajian lebih jauh terhadap skor pemimpin dan pengikut untuk tiap peubah, dilakukan dengan uji korelasi peringkat Spearman (r,). Hasil uji tersebut beserta nilai rata-rata (Mean) adalah seperti pada Tabel 13. Tercantum pada tabel nilai korelasi skor
pemimpin informal dan pengikutnya untuk tiap peubah. Angka-angka tersebut menun
140
jukkan korelasi yang tinggi dan sangat nyata karena kebanyakan P-nya = 0,0001. Semua angka menunjukkan selain tidak terdapat perbedaan yang berarti antara rata-rata
(Mean) dari skor pemimpin informal dan pengikut, korelasi kedua skor juga sangat
nyata. Dengan kata lain, setiap kali para pemimpin menyatakan penampilannya tergoTabel 13. Skor rata-rat.(Mean) dm Nilai Korelasi skor Pemimpin
Informl dan Pengikut
No
PEUBAH
Rata-Rata Skor
Pemimpin Pengikut
1
2
3
4
Menyadarkan akan masalah ( X I )
Memberi nformasi (X2)
Memotivasi pengikut (X3)
Mengarahkan kegiatan (&)
23,666
37,135
34,385
27,364
23,609
36,924
33,924
27,185
KoreIasi Skor
Pemimp. &
Pengikut
P
rs
0,9490
0,9082
0,8868
0,9599
0,000 1
0,000 1
0,0001
0,000 1
long baik atau tinggi (ditunjukkan oleh skor tinggi) untuk peubah tertentu, ha1 yang
sama juga dinyatakan pengikut melalui pemberian skor tinggi. Sebaliknya apabila si
pemimpin memberi skor sedang atau rendah terhadap peranan tertentu yang ditampilkannya, pengikut juga cenderung memberi skor dalam kategori yang sama (sedang
atau rendah). Dengan demikian terdapat kesesuaian skor dari pemimpin dan pengikut
terhadap penampilan peranan pemimpin yang menjadi obyek atau sasaran penelitian.
Berdasarkan ha1 ini serta ditunjang oleh kesamaan rata-rata (Mean) dari sekor pemimpin dan pengikut untuk tiap peubah (lihat Tabel 13), maka data yang dianalisis untuk
melihat korelasi antar-peubah dan analisis lintasan adalah data pemimpin informal.
Kenormalan Distribusi
Uji normalitas dilakukan dengan teknik uji Lilliefors sebagai salah satu cara
pengujian kenormalan suatu distribusi secara non-parametrik. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan gambaran tentang ciri dari distribusi sekor pernimpin informal. Perhitungan dan hasil uji normalitas terdapat pada Tabel 14. Tabel menunjukkan bahwa
hampir semua distribusi skor pemimpin (n
bbservasi
=
96) menunjukkan nilai Lhitungatau
lebih kecil dari Ltsbel (L) untuk n = 96 dan taraf nyata a = 0,05. Bahkan untuk
beberapa peubah, seperti: (a) memberi inforrnasi kepada pengikut, dan (b) kekosmoTabel 14. Perhitungan Uji Normalitas Lilliefors Distribusi Skor
Pemimpin Infonnal untuk tiap Peubah
UNSUR PENGHlTUNGAN*)
PEUBAH
Menyadakan akan masalah (XI)
Memberi informasi
31
53
0.0099
1 15 I Hasil pelaksanaan pembangunan (Y) 1
77
1
1,7425
1 0,9591 1
1
( 0,0409
Kekraman: 1. *) = Angka-angka dari baris terakhir Daftar yang panjang untuk pedutungan b
1.
= Angka terGnggi dari &tan &or sampe1.
2. q = Sekor starsdar dari &or tednggi
3. F(q) = Angka diambil dari Daftar distribusi Normal bala untuk nilai q
4. S(q) = Pro@ dari sekor yang lebib kecil atau sama d q a n q
= Harga mutlak pahg besar dari selisih F(q) - S(q)
5.
6. Dengan n = % dan taraf nyata 0,05,
= 0,0904
7. Lo < & = populasi berdisfribusi n o d .
1
142
politan pemimpin informal, nilai Lo hanya sebesar 0,006 1 sementara Lt-nya = 0,0904;
dengan kata lain nilai Lo jauh lebih kecil dari nilai Lt. Nilai Lo yang agak besar namun
masih lebih kecil dari Lt untuk n = 96 dan taraf nyata 0,05 terdapat pada peubah: (a)
membina kerja sama, (b) optimisme pemimpin, (c) partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dan (d) hasil pelaksanaan pembangunan. Berdasarkan hasil uji normalitas dapat disimpulkan bahwa sampel terambil dari populasi yang berdistribusi
normal. Oleh sebab itu terbuka kemungkinan untuk mempergunakan teknik analisis
secara parametrik atau tepatnya analisis regresi linier ganda, karena dalam mempelajari pengaruh peubah bebas terhadap peubah respons, terdapat lebih dari satu peubah bebas. Gambar 4 menunjukkan bahwa peubah bebas, baik karakteristik pribadi
pernimpin informal maupun peranan pemimpin terhadap partisip