PENERAPAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU TIPE THREADED DENGAN LEVEL OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN BERPIKIR KRITIS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA KELAS VIII PADA TEMA INDERA PENGLIHATAN DAN ALAT OPTIK.
PENERAPAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU TIPE
THREADED DENGAN LEVEL OF INQUIRY UNTUK
MENINGKATKAN BERPIKIR KRITIS DAN PENGUASAAN
KONSEP SISWA KELAS VIII PADA TEMA INDERA
PENGLIHATAN DAN ALAT OPTIK
TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan IPA
Oleh
ENDAR MADESA
NIM 1308061
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
(2)
PENERAPAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU TIPE
THREADED DENGAN LEVEL OF INQUIRY UNTUK
MENINGKATKAN BERPIKIR KRITIS DAN PENGUASAAN
KONSEP SISWA KELAS VIII PADA TEMA INDERA
PENGLIHATAN DAN ALAT OPTIK
Oleh
ENDAR MADESA
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd)
pada Program Studi Pendidikan IPA
© Endar Madesa 2015 Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2015
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,
(3)
ENDAR MADESA
PENERAPAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU TIPE THREADED DENGAN LEVEL OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN BERPIKIR
KRITIS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA KELAS VIII PADA TEMA INDERA PENGLIHATAN DAN ALAT OPTIK
Disetujui dan disahkan oleh :
Pembimbing
Prof. Dr.Hj.Anna Permanasari, M.Si. NIP. 19580712 198303 2 002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan IPA Sekolah Pascasarjana UPI
Dr.Phil.H.Ari Widodo, M.Ed. NIP. 19670527 199203 1 001
(4)
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah harus menggunakan pola terpadu. Bahkan Kurikulum 2013, telah mewajibkan pembelajaran IPA dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) untuk dilakukan secara terpadu mulai dari tahun 2014. Sebagai konsekuensi dari kewajiban pelaksanaan pengajaran IPA terpadu ini, pemerintah sudah berupaya memberi dukungan agar pengajaran IPA secara terpadu dapat dilaksanakan dengan baik, mulai dari pengadaan buku siswa, buku guru, mengadakan pelatihan bagi guru-guru IPA bahkan memberikan bantuan beasiswa bagi guru IPA untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang magister. Semua itu dilakukan pemerintah agar pelaksanaan keterpaduan IPA disekolah dapat berjalan dengan baik.
Menurut Undang- undang Pendidikan No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) pada pasal 1 butir 1 dinyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya Pasal 3
menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ada poin-poin penting yang merupakan kata kunci dalam amanat undang-undang tersebut, diantaranya adalah pendidikan sebagai upaya
(5)
terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi pribadi yang cerdas, berakhlak mulia serta terampil yang juga sehat, kreatif serta mandiri. Semua hal tersebut sangat relevan dengan tuntutan untuk mewujudkan generasi emas Indonesia karena tantangan yang akan dihadapi begitu kompleks, untuk itu solusinya adalah pola pendidikan yang baik dan tepat.
Pemerintah terus melakukan upaya dalam pembenahan kualitas mutu pendidikan secara berkelanjutan, diantara upaya tersebut adalah evaluasi yang dilakukan baik di dalam dan keluar. Indonesia ambil bagian dalam evaluasi yang dilaksanakan secara internasional untuk melihat dimana kedudukan kualitas pendidikan khususnya kemampuan siswa yang ada di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lainnya baik itu negara maju atau negara berkembang. Dalam prestasi olimpiade bertaraf internasional, Indonesia termasuk negara yang paling sering memperoleh mendali emas untuk olimpiade matematika dan fisika. Namun kondisi ini berkebalikan dengan evaluasi atau tes berskala Internasional yang diikuiti negara Indonesia yaitu TIIMS (Trends in International Mathematics and Science Study), PISA (Program for International Student Assessment), dan PIRLS (Progress In
International Reading Literacy Study). Semua tes ini pada hakekatnya
memiliki acuan yang sama yaitu menitik beratkan kepada kemampuan siswa dalam membaca, kemampuan matematika dan kemampuan Sains. Studi atau tes ini validitasnya sudah diakui secara internasional. Dari mulai negara Indonesia mengikuti tes PISA sampai sekarang, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kemampuan siswa di Indonesia masih di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan peserta lainya, dengan kecenderungan stagnan bahkan menurun untuk peringkatnya setiap dilakukan tes ( PISA 2000, PISA 2003, PISA 2006, PISA 2009 dan PISA 2012).
Dari hasil evaluasi yang dilakukan juga dari pengamatan beberapa ahli ternyata siswa di Indonesia masih terbiasa menggunakan pemikiran standar. Mereka belum terbiasa berpikir kompleks sehingga pada hasil beberapa kali mengikuti tes PISA menunjukkan siswa di Indonesia pada bidang sains masih dominan berada pada level bawah (level 1, level 2 dan level 3), yaitu tingkatan
(6)
kemahiran di bidang sains dalam memberikan penjelasan sederhana atas fenomena yang ditemukan dengan memilih fakta-fakta dan pengetahuannya dan hanya dapat menerapkan pengetahuannya dalam hal yang sederhana. Siswa Indonesia rata-rata masih berada pada level rendah yaitu pada kemampuan mengidentifikasi, membedakan, eksplanasi dan kemampuan berpikir dasar lainya. Hanya sedikit siswa di Indonesia yang mencapai level 4, level 5 dan level 6, yang pada level ini sangat membutuhkan kemampuan berpikir yang lebih kompleks seperti mengintegrasikan penjelasan dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda, kemudian bisa mengidentifikasi komponen ilmiah dari berbagai situasi kehidupan yang kompleks, serta dapat menerapkan pengetahuan ilmiah dalam berbagai situasi kehidupan yang kompleks.
Kemampuan berpikir kompleks pada siswa menjadi suatu persoalan saat ini. Kemampuan ini menuntut perlakuan yang sedemikian rupa dalam pembelajaran dan membutuhkan persiapan yang kompleks dari seorang guru dalam menyiapkan aktivitas belajar mengajar. Sebuah strategi dan model pembelajar tertentu dibutuhkan untuk mengatasi persoalan ini. Guru tidak dapat melatih keterampilan berpikir kompleks atau tingkat tinggi jika hanya berpusat pada melatih penguasaan konsep yang melatihkan mengingat definisi, hukum, teori tanpa mengembangkannya lebih lanjut dalam aktifitas menganalisis, mengidentifikasi, melakukan aplikasi konsep yang diperoleh untuk memecahkan masalah dalam kehidupan siswa. Siswa dikatakan menguasai konsep apabila mampu mendefinisikan, mengidentifikasi dan memberi contoh konsep, sehingga bisa membawa suatu konsep dalam bentuk lain yang tidak sama dengan buku teks (Depdiknas,2007). Dengan penguasaannya seorang siswa mampu mengenali prosedur atau proses menghitung yang benar dan tidak benar serta mampu menyatakan dan menafsirkan gagasan untuk memberikan alasan induktif dan deduktif sederhana baik secara lisan, tertulis maupun mendemonstrasikannya (Depdiknas,2007). Hal ini yang menjadi poin pentingnya penguasaan konsep bagi siswa dalam belajar.
(7)
Pembelajaran IPA di Indonesia pada tingkat SMP saat ini masih belum mengakomodasi kemampuan berpikir kompleks atau berpikir tingkat tinggi. Saat ini dalam pembelajaran masih cenderung melatih siswa sekedar menghafal fakta, sehingga kebanyakan siswa terhambat dan tidak berdaya mengahadapi tantangan hidup ke depan yang tentunya lebih kompleks (widowati,2010). Pembelajaran pada kenyataannya masih banyak yang semata berorientasi pada upaya mengembangkan dan menguji daya ingat siswa sehingga kemampuan berpikir siswa direduksi dan sekedar dipahami sebagai kemampuan untuk mengingat (Harsanto,2005). Priatiningsih (2005) menambahkan bahwa kemampuan siswa masih rendah dalam menghubungkan konsep atau materi pelajaran yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut dimanfaatkan. Selain itu, dominasi oleh guru merupakan ciri umum dari pelaksanaan pembelajaran IPA.
Proses Pembelajaran yang berorientasi pada target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat jangka pendek, namun gagal dalam membekali siswa memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan jangka panjang (Sudiarta,2006). Kondisi saat ini siswa diharapkan menjadi individu yang mempertanyakan, mengemukakan alasan, meneliti, mengenali konflik dan kontradiksi, membuat pengamatan yang baik dan membuat kesimpulan yang tepat dari pengamatan, berpikir ilmiah, mengkritik, memproduksi, menyadari cara untuk mencapai pengetahuan, kreatif, pembuat keputusan, bertanggung jawab, mengekspresikan dirinya / dirinya sendiri, tidak
menghafal informasi, tetapi menyadari cara untuk menemukan,
menggunakannya, berbagi, dan menghasilkan pengetahuan, dengan kata lain, memiliki keterampilan proses sains dan keterampilan berpikir kritis; dan kurikulum pendidikan disusun sesuai dengan ini (Aktamis & Yenice, 2010). Oleh karena itu pembelajaran IPA seharusnya melalui kegiatan-kegiatan nyata yang timbul dari pemikiran siswa sendiri. pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) dan bersifat konstruktif untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap ilmiah serta mengomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup pembelajar.
(8)
Inkuiri ilmiah mengacu pada beragam cara bagi ilmuwan dalam mempelajari alam semesta dan bertujuan untuk memberikan penjelasan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh. Inkuiri juga mengacu pada aktivitas siswa ketika membangun sebuah pengetahuan dan pemahaman mengenai ide-ide ilmiah, sebagaimana usaha para ilmuwan dalam memahami alam (National Academy of Sciences,2013).
Sebagaimana yang ditegaskan oleh National Education Standards (National Research Council,1996), siswa yang menggunakan inkuiri untuk mempelajari sains akan banyak menjalani aktivitas-aktivitas dan proses berpikir yang sama dengan para ilmuwan yang sedang mengembangkan pengetahuan manusia tentang alam semesta. Namun aktivitas dan proses berpikir para ilmuwan tersebut kurang begitu dikenal oleh para pendidik dalam bentuk pengenalan model inkuiri dalam kelas.
Fakta pembelajaran IPA saat ini, siswa belum begitu terbiasa dengan kegiatan inkuiri. Dalam penelitian Lilliawati, dkk (2014) dikemukakan bahwa siswa SMP belum terbiasa dengan belajar menemukan, mencari dengan kemandirian yang masih rendah (rata-rata nilai indeks prestasi kelompok pada kemampuan inkuiri sebesar 37% yang termasuk kategori kurang terampil). Tuntutan pendidikan saat ini menurut Permendikbud nomor 65 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah telah mengisyaratkan tentang perlunya proses pembelajaran yang dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan saintifik/ilmiah. Pendekatan saintifik/ilmiah merupakan proses pembelajaran yang menggunakan proses berpikir ilmiah. Pendekatan ilmiah dapat dijadikan sebagai jembatan untuk perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan dan pengetahuan peserta didik.Pendekatan saintifik pada kurikulum 2013 yang diterapkan di Indonesia menjabarkan langkah-langkah pembelajaran tersebut menjadi lima (5M), yaitu: mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud,2013). Sesuai materi Kemendikbud, dinyatakan bahwa dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih mengedepankan pendekatan induktif (inductive
(9)
Pada kenyataannya siswa juga perlu diajarkan dalam bernalar secara induktif dan deduktif agar dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapinya dalam kesehariannya, dimana kemampuan siswa dalam bernalar secara induktif dan deduktif ini merupakan salah satu ciri dari berpikir kritis. Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk menarik simpulan secara keseluruhan. Penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi ide yang lebih luas
Salah satu solusi yang diharapkan dapat mengatasi persoalan tersebut adalah menggunakan pendekatan level of inquiry (LoI). Pembelajaran dengan
LoI ini memiliki karakteristik yang sama secara umum dengan pendekatan
saintifik, dimana pada tiap tahapan pembelajarannya terdapat langkah-langkah 5M seperti pada pendekatan saintifik, akan tetapi dalam LoI langkah 5M ini diterapkan secara konsisten pada tiap levelnya sehingga diharapkan siswa lebih terlatih dalam menggunakan pendekatan saintifik. Selain itu penerapan LoI mengatur peran guru dalam proses belajar pada tiap levelnya, dimana semakin tinggi levelnya maka peran guru dalam pembelajaran semakin berkurang sedangkan siswa semakin aktif sehingga membuat pembelajaran menjadi lebih berpusat kepada siswa (student center).
LoI dikembangkan untuk mempermudah guru mengajarkan sains (IPA)
dengan menggunakan inkuiri melalui beberapa tahapan yang disesuaikan dengan tahap kemampuan berpikir siswa. Dalam pelaksanaannya LoI melatihkan siswa untuk bernalar secara induktif dan deduktif. LoI terdiri atas lima level, yaitu discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson,
inquiry lab, dan hypotethical inquiry. Pendekatan levels of inquiry
dimaksudkan untuk memudahkan guru dalam menerapkan inkuiri secara bertahap dan berkesinambungan dengan memperhatikan kemampuan intelektual siswa (Wenning,2014). Beberapa penelitian lainya seperti penelitian yang dilakukan oleh Zhou Qing et al (2010) dikemukakan bahwa berpikir kritis akan dapat ditingkatkan apabila menggunakan pendekatan pembelajaran aktif
(10)
seperti menggunakan inquiry experiment yang dalam hal ini serupa dengan inquiry lab pada LoI.
Wenning (2005) menjelaskan bahwa penggunaan LoI dapat melatih keterampilan-keterampilan siswa, yang meliputi empat jenis keterampilan, yaitu keterampilan elementer, keterampilan dasar, keterampilan yang terpadu dan keterampilan tingkat tinggi. Salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah keterampilan berpikir kritis, yang sangat relevan dikembangkan dalam pembelajaran sains.
Keterampilan berpikir kritis penting dilatihkan kepada siswa karena akan mempengaruhi dalam penguasaan konsep siswa dan melatih siswa dalam berlogika dengan baik. Seperti yang dikemukakan dalam penelitian Zhou Qing et al (2010) bahwa berpikir kritis sangat penting untuk benar-benar memahami sebuah teori, fakta-fakta dan inti permasalahan. Berdasarkan kurikulum berpikir kritis yang dikembangkan oleh Ennis (Costa,1985). Keterampilan berpikir kritis dapat dijabarkan berdasarkan tingkat kesulitannya menjadi 5 indikator berpikir, yaitu: (1) penjelasan sederhana; (2) keterampilan dasar; (3) kesimpulan; (4) penjelasan lanjut; dan (5) strategi dan taktik. Berdasarkan karakteristik kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan di kelas melalui pendekatan LoI. Pembelajaran sains berbasis inkuiri yang mengembangkan keterampilan proses sains, seperti berhipotesis dan membuktikannya, sangat cocok untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Apabila siswa telah terbiasa mempertanyakan segala sesuatu, seperti halnya berhipotesis untuk membentuk kemampuan berargumentasi, maka pengembangan keterampilan berpikir kritis juga akan sangat mudah dikembangkan dari tahap yang rendah ke tahap yang paling tinggi (Liliasari,t.t).
Piaget (dalam Kusdwiratri, 2009) menyatakan bahwa mengetahui suatu obyek adalah dengan melakukan sesuatu pada obyek tersebut. Hal ini berarti tugas guru adalah mendorong aktifitas anak didiknya, karena siswa yang secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dicirikan pada dua aktivitas yakni aktif dalam berpikir (minds-on) dan aktif dalam berbuat (hands-on). Proses belajar siswa tidak terlepas dari aktivitas berpikir, sebab selama
(11)
mengkonstruksi pengetahuan menuntut siswa menggunakan cara berpikirnya dalam memandang atau memahami suatu objek.
Pelaksanaan pembelajaran IPA terpadu dapat diterapkan melalui beberapa tipe pembelajaran. Salah satu tipe pembelajaran yang sesuai untuk melatihkan keterampilan berpikir kritis dan penguasaan konsep adalah tipe
threaded. Menurut Fogarty (1991) tipe threaded adalah model pembelajaran
yang memfokuskan pada metakurikulum yang menggantikan atau yang berpotongan dengan inti subyek materi, misalnya untuk melatih keterampilan berfikir. Keunggulan model ini adalah konsep berputar sekitar metakurikulum yang menekankan pada perilaku metakognitif. Ini berarti pada pembelajaran tipe threaded dapat melatih metakognitif seperti keterampilan berpikir kritis.
Berdasarkan uraian di atas, maka di pandang perlu dilakukan suatu penelitian mengenai pembelajaran menggunakan level of inquiry untuk IPA terpadu tipe threaded untuk mengidentifikasi pengaruhnya terhadap peningkatan keterampilan berpikir kritis dan penguasaan konsep siswa SMP.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana pengaruh penerapan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded dengan level of inquiry terhadap kemampuan berpikir kritis dan penguasaan konsep siswa”.
Agar penelitian ini dapat dilaksanakan dengan lebih terarah, maka rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah implementasi level of inquiry dalam pembelajaran IPA terpadu yang menggunakan tipe threaded.
2. Bagaimana peningkatan keterampilan berpikir kritis (critical thinking) setelah pembelajaran level of inquiry dengan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded dibandingkan dengan pembelajaran IPA terpadu tipe
(12)
3. Bagaimana peningkatan penguasaan konsep siswa setelah pembelajaran
level of inquiry dengan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded
dibandingkan dengan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded pada kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan saintifik.
4. Bagaimanakah hubungan (korelasi) antara keterampilan berpikir kritis siswa dengan penguasaan konsep siswa setelah pembelajaran level of
inquiry dengan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded.
5. Bagaimana tanggapan siswa setelah penerapan pembelajaran level of
inquiry dengan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded.
C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalah yang telah diuraikan pada latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengimplementasikan pembelajaran IPA tipe threaded menggunakan model level of inquiry pada tema Indera Penglihatan dan Alat Optik. 2. Mengidentifikasi bagaimana pengaruh penerapan model pembelajaran
Level of Inquiry yang menggunakan keterpaduan IPA tipe threaded pada
tema indera penglihatan dan alat optik terhadap peningkatan keterampilan berpikir kritis.
3. Mengidentifikasi bagaimana pengaruh penerapan model pembelajaran
Level of Inquiry yang menggunakan keterpaduan IPA tipe threaded pada
tema indera penglihatan dan alat optik terhadap peningkatan pemahaman konsep siswa.
4. Mengetahui hubungan (korelasi) antara keterampilan berpikir kritis siswa dengan peningkatan penguasaan konsep setelah dilakukan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded dengan Level of Inquiry pada tema Indera Penglihatan dan Alat Optik.
5. Memperoleh informasi mengenai tanggapan siswa dengan penerapan model pembelajaran Level of Inquiry yang menggunakan keterpaduan IPA tipe threaded.
(13)
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan referensi baru dan kontribusi dalam rangka sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas dan efektifitas dalam pembelajaran. Lebih rincinya manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi guru.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam pemilihan tipe keterpaduan IPA dan pemilihan model pembelajaran di kelas pada tingkat SMP.
2. Bagi siswa.
Melalui model pembelajaran IPA terpadu tipe threaded dengan level of
inquiry ini siswa dapat melatih keterampilan berpikir kritisnya dengan
berlogika lebih baik dan juga dapat meningkatkan penguasaan konsepnya.
3. Bagi peneliti lain.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh peneliti lain untuk dikembangkan dan ditindaklanjuti dengan penelitian lainya terkait dengan level of inquiry khususnya.
E. Asumsi dan Hipotesis Penelitian 1. Asumsi
Pembelajaran LoI yang terdiri dari 5 level; discovery learning,
interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry lab, real-world application and hypohettical inquiry dapat melatih kemampuan siswa
untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) karena siswa diarahkan kepada kegiatan yang lebih bersifat menganalisa dan mengkontruksi pengetahuannya sendiri dengan tahapan pembelajaran yang dimulai dari level dimana peran guru lebih dominan sampai kepada peran siswa yang lebih dominan (Wenning, 2005). Sejalan dengan temuan Liliasari, et al. (2007) menyatakan bahwa siswa yang telah berkembang keterampilan berpikir kritisnya akan lebih mudah dalam mempelajari
(14)
sains. Hal ini yang kemudian diharapkan penguasaan konsepnya juga akan lebih meningkat.
2. Hipotesis
Berdasarkan asumsi diatas maka dapat dirumuskan hipotesis bahwa pembelajaran IPA terpadu tipe threaded dengan LoI pada tema indera penglihatan dan alat optik dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa dan juga meningkatkan penguasaan konsep siswa.
Lebih jelasnya hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu:
H1 = Terdapat perbedaan antara keterampilan berpikir kritis siswa yang
signifikan antara Pembelajaran IPA terpadu tipe threaded dengan
LoI dengan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded yang
menggunakan pendekatan saintifik.
H2 = Terdapat perbedaan antara pemahaman konsep siswa yang
signifikan antara Pembelajaran IPA terpadu tipe threaded dengan
LoI dengan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded yang
menggunakan pendekatan saintifik.
H3 = Terdapat korelasi yang positif antara keterampilan berpikir kritis
siswa dengan penguasaan konsep siswa.
F. Organisasi Penulisan Tesis
Secara garis besar sistematika penulisan tesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagian awal terdiri dari : Halaman Sampul, Halaman Judul, Lembar Persetujuan Dan Pengesahan, Pernyataan Keaslian Tulisan, Kata Pengantar, Abstrak, Daftar Isi, Daftar Tabel, Daftar Gambar dan Daftar Lampiran.
2. Bagian inti tesis
BAB I terdiri dari Pendahuluan, latar belakang masalah, rumusan masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Asumsi dan Hipotesis Penelitian, dan Organisasi Penulisan Tesis.
(15)
BAB II terdiri dari kajian teoritis dari Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Dan Penguasaan Konsep Siswa Melalui Pembelajaran Ipa Terpadu Tipe Threaded Dengan Level Of Inquiry Pada Tema Indera Penglihatan Dan Alat Optik.
BAB III terdiri dari Metodologi Penelitian yang meliputi : Lokasi dan Subjek Penelitian, Metode dan Desain Penelitian, Definisi Operasional, Instrumen Penelitian, Proses Pengembangan Instrumen, Prosedur Penelitian, Teknik Pengolahan Data.
BAB IV terdiri dari Hasil Penelitian dan Pembahasan yang meliputi : Deskripsi Keterlaksanaan Penerapan Model Pembelajaran Level Of
Inquiry, Peningkatan penguasaan konsep dan keterampilan berpikir
kritis siswa, Korelasi Keterampilan Berpikir Dengan Penguasaan Konsep, Tanggapan siswa terhadap penerapan model pembelajaran
level of inquiry, dan pembahasan.
3. Bagian akhir terdiri dari: Daftar pustaka, Lampiran-lampiran dan Daftar Riwayat Hidup Penulis.
(16)
BAB V
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data secara statistik, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Penerapan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded dengan level of
inquiry pada materi indera penglihatan dan alat optik dapat dilakukan
dengan baik dan sesuai dengan rencana pembelajaran yang dibuat. Tahapan pembelajaran meliputi discovery learnig (observasi awal terhadap media/alat peraga), interactive demonstrations (menggunakan alat praktikum sederhana atau berupa multi media interaktif), inquiry
lessons (pembelajaran konsep dengan pendekatan inkuiri untuk
menentukan langkah-langkah percobaan), inquiry lab (melakukan kegiatan praktikum untuk menguji prediksi atau membuktikan konsep sesuai dengan langkah-langkah yang dibuat siswa).
2. Penggunaan model pembelajaran IPA terpadu tipe threaded dengan
level of inquiry pada materi indera penglihatan dan alat optik secara
signifikan dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa dibandingkan dengan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded yang menggunakan model pendekatan saintifik dengan strategi 5M (kurikulum 2013). Peningkatan pada kelas kontrol terjadi dengan kategori sedang, sementara pada kelas eksperimen juga terjadi pada kategori sedang. 3. Penggunaan model pembelajaran IPA terpadu tipe threaded dengan
level of inquiry secara signifikan juga dapat meningkatkan keterampilan
berpikir kritis siswa lebih besar dibandingkan dengan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded yang menggunakan model pendekatan sains dengan strategi 5M (kurikulum 2013). Peningkatan pada kelas kontrol terjadi dengan kategori sedang, sementara pada kelas eksperimen juga terjadi pada kategori sedang.
(17)
4. Keterampilan berpikir kritis berkorelasi dengan penguasaan konsep siswa. Dengan semakin tingginya keterampilan berpikir kritis yang dimiliki siswa, maka akan mempengaruhi penguasaan konsepnya menjadi semakin baik.
5. Siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran dengan model level of inquiry. Siswa merasa lebih terbantu dan terbimbing dalam menemukan konsep dan siswa merasa lebih terlibat aktif dalam pembelajaran sekaligus terbimbing dalam proses berpikir atau berlogika.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1. Pembelajaran menggunakan model level of inquiry ini dapat menjadi suatu pilihan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis.
2. Dalam menerapkan model ini Guru harus betul-betul mengatur pemakaian waktu tiap levelnya, agar pembelajaran model level of
inquiry ini lebih efektif dan agar siswa dapat mengikuti pembelajaran
dengan baik.
3. Model pembelajaran ini dapat digunakan pada materi atau konsep IPA lainya dengan menyesuaikan antara karakteristik pembelajaran dengan model level of inquiry.
(18)
Daftar Pustaka
Anderson & Krathwohl.(2001). A Taxonomy For Learning, Teaching And
Assesing. New York: Longman
Arikunto, Suharsimi.(2010). Prosedur Penelitian ; Suatu pendekatan praktik. Jakarta :Reineka Cipta.
Asri widowati .(2010). Pembelajaran sains hot dengan menerapkan inquiry
laboratory. Biologi FMIPA UNY
Costa, A.L. (1985). Goal for Critical Thingking Curriculum. In Costa A.L. (ed).
Developing Minds : A. Resource Book for Teaching Thingking.
Alexandria :ASCD. 54-57.
Dahar,R.W.(1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta : Erlangga
Depdiknas. (2003). Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Ennis, Robert H. (1985). Goals for a critical thinking curriulum. in a.l. costa (ed).
developing minds : a Resource Book for Theaching Thinking.
Alexandra : ascd.
Facione, P. A. (2009). Critical thinking: what it is and why it counts. Insight Assessment, (Online), (http://www.insightassessment.com)
Fogarty, Robin. (1991). The mindful school: How to integrate the curricula. Palatine,Illinois: IRI/Skylight Publising. Inc.
Fowler, G. (2004). Critical Thinking Across the Curriculum Project. Tersedia: http://www.kcmetro.cc.mo.us/longview/eta c/definition.htm.
Freankel. (2012). How to design and evaluate research in education. McGraw.Hill International Edition.
Gulo, W. (2002). Metode Penelitian. Jakarta: PT. Grasindo.
Gunawan,A.W. (2003). Genius Learning Strategy : Petunjuk Praktis untuk
Menerapkan Accelerated Learning.. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Hake, R.R.(1998). Interactive engagement versus traditional method: A six
thousand student survey of mechanics tes data for introductory physics course.Am.J.Phys.66(1) 64-74
(19)
Hilal Aktamis & Nilgun Yenice (2010). Determination of the science process
skills and critical thinking skill levels, Procedia Social and Behavioral Sciences ,2.Elsevier Ltd, p.3282-3288
Johnson, E.B.(2007). Contextual Teaching & Learning (terjemahan Ibnu Setiawan). Bandung: MLC.
Kemdikbud.(2013). Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum
2013.BPSDMPMP, Jakarta.
Kemendikbud.( 2013). Permendikbud No 65 Tahun 2013.Jakarta: Kemendikbud. Kusdwiratri.S. (2009). Psikologi Perkembangan. Kajian teori Piaget, Selman,
Kohlberg, dan aplikasi riset. Widya Padjadjaran
Launch Pad. (2001) Thinking Skill. Westminster Institute of Education. Oxford Brookes University. Oxford press : London.
Liliasari,(t.t). Berpikir kritis dalam pembelajaran sains kimia menuju
profesionalitas Guru. Program Studi Pendidikan IPA. SPS UPI.
Liliasari. (2005). Membangun keterampilan berpikir manusia indonesia melalui
pendidikan sains.Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Dalam Ilmu Pendidikan Ipa Pada Fakultas Pmipa Upi : Bandung. Liliasari, Agus Setiawan, Ari Widodo (2007) Pembelajaran berbasis TI untuk
mengembangkan keterampilan generik sains dan berpikir tingkat tinggi pembelajar. Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana, Jakarta DIKTI. National Academy of Sciences. (2000). Inquiry and the national science
education standards, A Guide for Teaching and Learning. National
Academies Press.
National Research Council. (1996). The National Science Education Standards. Washington DC: National Academy Press.
Nur, Mohamad dan Prima Retno Wikandari.(2004). Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivistik dalam Pengajaran. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika UNESA
OECD (2010), PISA 2009 Results: What Students Know and Can Do: Student
Performance in Reading, Mathematics and Science (Volume I), OECD
Publishing.
Ratno Harsanto. (2005). Melatih anak berpikir analisis, kritis, dan kreatif. Jakarta: Gramedia.
(20)
Rustaman, et al.(2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang
Sanjaya.W (2007). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sokoloff, D.R. & Thornton, R.K. (2004). Interactive Lecture Demonstrations:
Active Learning in Introductory Physics. Wiley.
Sugiyono.(2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung : Alfabeta
Susetyo,B. (2012). Statistika Untuk Analisis Data Penlitian. Bandung : Refika Aditama.
Titi Priatiningsih. (2005a). Implementasi pembelajaran bioteknologi berwawasan
SETS Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan kemampuan akademik yang berorientasi life skill pada siswa SMA 6 Semarang. Jurnal Pendidikan Iswara Manggala. Semarang: Forum Pemberdayaan
Tenaga Kependidikan Kota Semarang.
Wenning, C.J.( 2005b). Levels of inquiry: hierarchies of pedagogical practices
and inquiry processes”, Journal Of Physics Teacher Education Online,
2(3), p. 3-11.
Wenning, C.J.(2005c). Implementing inquiry-based instruction in the science
classroom: a new model for solving the improvement-of-practice problem, Journal of Physics Teacher Education Online, 2(4), p. 9-15.
Wenning, C.J.(2011a). Experimental inquiry in introductory physics courses
.Journal of Physics Teacher Education Online, 6(2), p. 1-8.
Wenning, C.J.(2011b).The levels of inquiry model of science teaching .Journal of
Physics Teacher Education Online, 6(2), p. 9-16.
Winkel.(W.S.(1991). Psikologi Pendidikan. Jakarta :Gramedia
Winny Liliawati, dkk.(2014). Analisis kemampuan inkuiri siswa smp, sma dan
smk dalam penerapan levels of inquiry pada pembelajaran fisika. Jurnal Berkala Fisika Indonesia, 6 ( 2), hlm.34-39.
Zhou Qing, Shen Ni & Tian Hong.(2010a). Developing critical thinking
disposition by task-based learning in chemistry experiment teaching, Procedia Social and Behavioral Sciences ,2.Elsevier Ltd, p.4561-4570
(21)
Zhou Qing, Guo Jing & Wang Yan.(2010b). Promoting preservice teachers’
critical thinking skills by inquiry-based chemical experiment, Procedia Social and Behavioral Sciences ,2.Elsevier Ltd, p.4597-4603
(1)
BAB V
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data secara statistik, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Penerapan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded dengan level of
inquiry pada materi indera penglihatan dan alat optik dapat dilakukan
dengan baik dan sesuai dengan rencana pembelajaran yang dibuat. Tahapan pembelajaran meliputi discovery learnig (observasi awal terhadap media/alat peraga), interactive demonstrations (menggunakan alat praktikum sederhana atau berupa multi media interaktif), inquiry
lessons (pembelajaran konsep dengan pendekatan inkuiri untuk
menentukan langkah-langkah percobaan), inquiry lab (melakukan kegiatan praktikum untuk menguji prediksi atau membuktikan konsep sesuai dengan langkah-langkah yang dibuat siswa).
2. Penggunaan model pembelajaran IPA terpadu tipe threaded dengan
level of inquiry pada materi indera penglihatan dan alat optik secara
signifikan dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa dibandingkan dengan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded yang menggunakan model pendekatan saintifik dengan strategi 5M (kurikulum 2013). Peningkatan pada kelas kontrol terjadi dengan kategori sedang, sementara pada kelas eksperimen juga terjadi pada kategori sedang. 3. Penggunaan model pembelajaran IPA terpadu tipe threaded dengan
level of inquiry secara signifikan juga dapat meningkatkan keterampilan
berpikir kritis siswa lebih besar dibandingkan dengan pembelajaran IPA terpadu tipe threaded yang menggunakan model pendekatan sains dengan strategi 5M (kurikulum 2013). Peningkatan pada kelas kontrol terjadi dengan kategori sedang, sementara pada kelas eksperimen juga terjadi pada kategori sedang.
(2)
4. Keterampilan berpikir kritis berkorelasi dengan penguasaan konsep siswa. Dengan semakin tingginya keterampilan berpikir kritis yang dimiliki siswa, maka akan mempengaruhi penguasaan konsepnya menjadi semakin baik.
5. Siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran dengan model level of inquiry. Siswa merasa lebih terbantu dan terbimbing dalam menemukan konsep dan siswa merasa lebih terlibat aktif dalam pembelajaran sekaligus terbimbing dalam proses berpikir atau berlogika.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1. Pembelajaran menggunakan model level of inquiry ini dapat menjadi suatu pilihan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis.
2. Dalam menerapkan model ini Guru harus betul-betul mengatur pemakaian waktu tiap levelnya, agar pembelajaran model level of
inquiry ini lebih efektif dan agar siswa dapat mengikuti pembelajaran
dengan baik.
3. Model pembelajaran ini dapat digunakan pada materi atau konsep IPA lainya dengan menyesuaikan antara karakteristik pembelajaran dengan model level of inquiry.
(3)
Daftar Pustaka
Anderson & Krathwohl.(2001). A Taxonomy For Learning, Teaching And
Assesing. New York: Longman
Arikunto, Suharsimi.(2010). Prosedur Penelitian ; Suatu pendekatan praktik. Jakarta :Reineka Cipta.
Asri widowati .(2010). Pembelajaran sains hot dengan menerapkan inquiry
laboratory. Biologi FMIPA UNY
Costa, A.L. (1985). Goal for Critical Thingking Curriculum. In Costa A.L. (ed).
Developing Minds : A. Resource Book for Teaching Thingking.
Alexandria :ASCD. 54-57.
Dahar,R.W.(1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta : Erlangga
Depdiknas. (2003). Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Ennis, Robert H. (1985). Goals for a critical thinking curriulum. in a.l. costa (ed).
developing minds : a Resource Book for Theaching Thinking.
Alexandra : ascd.
Facione, P. A. (2009). Critical thinking: what it is and why it counts. Insight Assessment, (Online), (http://www.insightassessment.com)
Fogarty, Robin. (1991). The mindful school: How to integrate the curricula. Palatine,Illinois: IRI/Skylight Publising. Inc.
Fowler, G. (2004). Critical Thinking Across the Curriculum Project. Tersedia: http://www.kcmetro.cc.mo.us/longview/eta c/definition.htm.
Freankel. (2012). How to design and evaluate research in education. McGraw.Hill International Edition.
Gulo, W. (2002). Metode Penelitian. Jakarta: PT. Grasindo.
Gunawan,A.W. (2003). Genius Learning Strategy : Petunjuk Praktis untuk
Menerapkan Accelerated Learning.. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Hake, R.R.(1998). Interactive engagement versus traditional method: A six
thousand student survey of mechanics tes data for introductory physics course.Am.J.Phys.66(1) 64-74
(4)
Hilal Aktamis & Nilgun Yenice (2010). Determination of the science process
skills and critical thinking skill levels, Procedia Social and Behavioral Sciences ,2.Elsevier Ltd, p.3282-3288
Johnson, E.B.(2007). Contextual Teaching & Learning (terjemahan Ibnu Setiawan). Bandung: MLC.
Kemdikbud.(2013). Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013.BPSDMPMP, Jakarta.
Kemendikbud.( 2013). Permendikbud No 65 Tahun 2013.Jakarta: Kemendikbud. Kusdwiratri.S. (2009). Psikologi Perkembangan. Kajian teori Piaget, Selman,
Kohlberg, dan aplikasi riset. Widya Padjadjaran
Launch Pad. (2001) Thinking Skill. Westminster Institute of Education. Oxford Brookes University. Oxford press : London.
Liliasari,(t.t). Berpikir kritis dalam pembelajaran sains kimia menuju
profesionalitas Guru. Program Studi Pendidikan IPA. SPS UPI.
Liliasari. (2005). Membangun keterampilan berpikir manusia indonesia melalui
pendidikan sains.Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Dalam Ilmu Pendidikan Ipa Pada Fakultas Pmipa Upi : Bandung. Liliasari, Agus Setiawan, Ari Widodo (2007) Pembelajaran berbasis TI untuk
mengembangkan keterampilan generik sains dan berpikir tingkat tinggi pembelajar. Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana, Jakarta DIKTI. National Academy of Sciences. (2000). Inquiry and the national science
education standards, A Guide for Teaching and Learning. National
Academies Press.
National Research Council. (1996). The National Science Education Standards. Washington DC: National Academy Press.
Nur, Mohamad dan Prima Retno Wikandari.(2004). Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivistik dalam Pengajaran. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika UNESA
OECD (2010), PISA 2009 Results: What Students Know and Can Do: Student
Performance in Reading, Mathematics and Science (Volume I), OECD
Publishing.
Ratno Harsanto. (2005). Melatih anak berpikir analisis, kritis, dan kreatif. Jakarta: Gramedia.
(5)
Rustaman, et al.(2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang
Sanjaya.W (2007). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sokoloff, D.R. & Thornton, R.K. (2004). Interactive Lecture Demonstrations:
Active Learning in Introductory Physics. Wiley.
Sugiyono.(2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung : Alfabeta
Susetyo,B. (2012). Statistika Untuk Analisis Data Penlitian. Bandung : Refika Aditama.
Titi Priatiningsih. (2005a). Implementasi pembelajaran bioteknologi berwawasan
SETS Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan kemampuan akademik yang berorientasi life skill pada siswa SMA 6 Semarang. Jurnal Pendidikan Iswara Manggala. Semarang: Forum Pemberdayaan
Tenaga Kependidikan Kota Semarang.
Wenning, C.J.( 2005b). Levels of inquiry: hierarchies of pedagogical practices
and inquiry processes”, Journal Of Physics Teacher Education Online,
2(3), p. 3-11.
Wenning, C.J.(2005c). Implementing inquiry-based instruction in the science
classroom: a new model for solving the improvement-of-practice problem, Journal of Physics Teacher Education Online, 2(4), p. 9-15.
Wenning, C.J.(2011a). Experimental inquiry in introductory physics courses
.Journal of Physics Teacher Education Online, 6(2), p. 1-8.
Wenning, C.J.(2011b).The levels of inquiry model of science teaching .Journal of
Physics Teacher Education Online, 6(2), p. 9-16.
Winkel.(W.S.(1991). Psikologi Pendidikan. Jakarta :Gramedia
Winny Liliawati, dkk.(2014). Analisis kemampuan inkuiri siswa smp, sma dan
smk dalam penerapan levels of inquiry pada pembelajaran fisika. Jurnal Berkala Fisika Indonesia, 6 ( 2), hlm.34-39.
Zhou Qing, Shen Ni & Tian Hong.(2010a). Developing critical thinking
disposition by task-based learning in chemistry experiment teaching, Procedia Social and Behavioral Sciences ,2.Elsevier Ltd, p.4561-4570
(6)
Zhou Qing, Guo Jing & Wang Yan.(2010b). Promoting preservice teachers’
critical thinking skills by inquiry-based chemical experiment, Procedia Social and Behavioral Sciences ,2.Elsevier Ltd, p.4597-4603