Evaluasi Strategi Pengentasan Kemiskinan di Kecamatan Tembuku Kabupaten Bangli.

(1)

LAPORAN FINAL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

EVALUASI STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DI KECAMATAN TEMBUKU KABUPATEN BANGLI

Drs I Wayan Wenagama,MP NIDN 9908003570

Drs I Nengah Kartika,M.Si NIDN 0031125529 I Ketut Sudiana,SE,MSi NIDN 0012125515

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA 2015


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca, atas karunia-Nya laporan kemajuan Penelitian dengan judul ”PENYUSUNAN EVALUASI STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DI KECAMATAN TEMBUKU KABUPATEN BANGLI

Adapun tujuan penelitian ini dalah (1) mengetahui proses serta ketepatan waktu dan

jumlah bantuan program di kecamatan tembukau (2) mengetahui persepsi mengenai dampak program kemiskinan di kecamatan tembuku (3) mengetahui apa saja yang dihadapi oleh masing-masing pemerintah desa dalam memberikan bantuan kemiskinan. Sedangkan Manfaat penelitian kepada dunia ilmu pengentahuan adalah berupa bertambahnya informasi mengenai evaluasi program kemiskinan di Indonesia,dan manfaat peneltian kepada pemerintah adalah bertambahnya informasi mengenai evaluasi program kemiskinan sehingga dapat digunakan untuk mengambil kebijakan lebih lanjut di Kabupaten Bangli pada khususnya dan Provinsi pada umumnya.Berkat dukungngan dari berbagai pihak maka penelitian ini dapat terlaksana untuk itu saya ucapkan trimkasih Kepada yth :

1. Bapak Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

2. Bapak Ketua Jurusan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana 3. Bapak Ketua LPPM Universitas Udayana

4. Bapak Camat Tembuku serta Kepala Desa di seluruh Kecamatan Tembuku .

Demikian dapat disampaikan laporan final penelitian ini dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai Evaluasi Strategi Pengentasan Kemiskinan di Kecamatan Tembuku Kabupaten Bangli.

Denpasar, Septemberr 2015

Ketua Tim,

Drs. I Wayan


(4)

EVALUATION OF POVERTY REDUCTION STRATEGY IN DISTRICT DISTRICT TEMBUKU BANGLI

Drs I Wayan Wenagama,MP Drs I Nengah Kartika,M.Si I Ketut Sudiana,SE,MSi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

ABSTRACT

World bank defines poverty is the ability or purchasing power based on US $1 or US$ 2 per capita per day. In another case Badan Pusat Statistik (BPS) defines poverty based on the poverty line. The measure of the poverty line used to determine poverty is refers to minimum requirement every is 2100 calories per capita per day. Many programs that have been implemented by the Indonesia Government, Bali provincial government, and also Bangli Regency Government. Tembuku Districts which is divide into 6 village and number of poor households in 2013 is :Undisan Village 29,54 %, Yangapi Village 34,9%, Tembuku Village 21,16%, Undisan Village 23,2%, Bangbang Village 16,68%, and also Peninjoan Village 22,05%. The subject matter in this research is : 1) Poor Families received improper subsidy o r accommodation that required of regulation because of inaccurate data validation 2) Many subsidy are received by non poor families. The purpose of this study is :1) Evaluate the poverty programs in Tembuku District 2) Evaluate the program progressed on target based on poverty programs in Tembuku Districs of Bangli Regency.

This research was evaluated by doing study and survey, and used secondary data study and primary data study. Primary data study done by submitting a list of question and interview. This study used descriptive statistical methods of data analysis that use Mean Method and Frequency table method to discover general overview of respondent from poor families

This research discover that Poverty Progra s of Ba gli Rege cy Gover e t ca ’t ot reach the target that can be seen from several programs from Regency Government such as GGS (Gerbang Gita Shanti) that has started in 2014 and this program is establish for PNPM programs substitute and also from the Government has Another program called Menyame Anyar (Be Family) for Government Official . That various Government programs was have bias goal that shown from existing data that many subsidy are received by non poor families and also there is another program from Government called KUBE (A Joint Program) for Cattle Farm, however the goal is still bias because of uncontrolled government that makes decrease of farm result. In other case that found in Yangapi Village Subsidy for poor families was distributed into non poor families


(5)

EVALUASI STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DI KECAMATAN TEMBUKU KABUPATEN BANGLI

Drs I Wayan Wenagama,MP Drs I Nengah Kartika,M.Si I Ketut Sudiana,SE,MSi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

ABSTRAK

World Bank mendefinisikan kemiskinan dengan menggunakan ukuran kemampuan/ daya beli, yaitu US $1 atau US $2 per kapita per hari. Sementara itu, BPS mendefinisikan kemiskinan berdasarkan pada garis kemiskinan,(poverty line). Ukuran garis kemiskinan mengacu pada kebutuhan minimum yang dibutuhkan oleh seseorng yaitu 2100 kalori per kapita per hari. Berbagai Program yang telah dilaksanakan oleh Pemeritah Pusat,Pemeritah Provinsi Bali serta Pemerintah Kabupaten Bangli. Kecamatan Tembuku yang terbagi menjadi 6 Desa Dinas distribusi KK miskin pada tahun 2013 yaitu Desa Jehem persentase KK miskin sebesar 29,54 %, Desa Yangapi KK miskinnya 34,9 %, Desa Tembuku KK miskinya 21,16 %, Desa Undisan KK miskinnya sebesar 23,32 %, Desa Bangbang KK miskinnya sebesar 16,68% serta Desa Peninjoan KK miskinnya sebesar 22,05 %. Pokok permasalahan dalam peneilitian ini adalah (1) Masih banyaknya KK miskin yang menerima bantuan tidak sesuai dengan persyaratan indikator kemiskinan akibat validasi data yang masih rendah (2) Masih banyak bantuan yang diterima oleh KK miskin tidak tepat sasaran. Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk melakukan evaluasi terhadap program-program pengentasan kemiskinan di Kecamatan Tembuku Kabupaten Bangli, (2) untuk mengetahui ketepatan sasaran dari program pengentasan kemiskinan di Kecamatan Tembuku Kabupaten Bangli.

Jenis data yang digunakan adalah data skunder dan data primer,data primer dilakukan dengan mengunakan daptar pertanyaan terstruktur dan wawancara dengan kepala desa. Dalam penelitian ini digunakan metode analisis data statistik deskritif antara menggunakan nilai mean (rata-rata), tabel frekewnsi. Melalui metode ini didapatkan gambaran umum mengenai kondisi responden penelitian. Selanjutnya untuk mengetehuai kondisi persepsi responden maka digunakan alat analisis cross tab atau tabel silang.

Hasil penelitian menunjukan program pengentasan kemiskinan yang dicanangkan oleh Kepala Derah Kabupaten Bangli yaitu GGS ( Gerbang Gita Shanti) yang dilaksanakan mulai tahu 2014 sebagai penggantinya PNPM, disamping itu juga adanya program Menyama Anyar ( menjadikan keluarga ) untuk pejabat yang menduduki eselon di Kabupaten Bangli. Hasil temuan dilapangan untuk Pedesaan Jehem belum sepenuhnya tepat sasaran , karena adanya anggota masyarakat yang seharusnya menerima bantuan tetapi tidak dapat bantuan. Temuan yang lainya di desa ini adanya program KUBE ( kelompok usaha bersama) dibidang peternakan sapi, namun sapinya terpencar dan tidak adanya pengawasan yang menyebabkan kondisi peternakan kurang menguntungkan bagi kegiatan kelompoknya, Hasil temuan yang lainya bahwa di Dusun Yangapi jatah raskin dibagi rata oleh seluruh KK di dusun yang bersangkutan.

Key word : KK Miskin, Pengentasan kemiskinan.

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan ...1


(6)

1.2 Pokok Masalah ...9

1.3. Tujuan Penelitian ...10

1.4 Manfaat penelitian ...10

BAB II Kajian Pustaka. ...11

2.1.Konsep Kemiskinan ………..11

2.2 Penyebab Kemiskinan ...14

2.3 Jenis Jenis Kemiskinan ...16

2.4 Strategi Pengentasan Kemiskinan ...20

BAB III Metoda Penelitian ...37

3.1 Lokasi Penelitian ...37

3.2 Objek Penelitian ... 37

3.3 Desain Penelitian ... 37

3.4 Metode Penentuan Sampel ... 37

3.4.1 Besarnya sampel ... 37

3.5 Metode Pengambilan Sampel ... 38

3.6 Metode Pengumpulan Data ... 39

3.7 Definisi Oprasional ... 40

3.8 Metode Analisis Data ... 40

3.8.1 Statistik Diskritif ... 40

3.8.2. Crosstab/ Tabel Silang ...41

BAB IV.PEMBAHASAN ... 42

4.1.Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 42


(7)

4.1.2 Pemerintahan Desa... 42

4.1.3 Jumlah Penduduk di Kecamatan Tembuku... 43

4.2. Kondisi Umum Responden ... 47

4.2.1 Jumlah Responden Menurut Jenis Kelamin ... 47

4.2.2 Luas Bangunan Tempat Tinggal Responden ... 48

4.2.3 Jumlah Tanggungan Responden ... 49

4.2.3 Jenjang Pendidikan Tertinggi yang mampu diraih oleh keluarga Responden ... 50

4.2.4 Jumlah Anggota Keluarga Responden Yang Bekerja ... 51

4.2.5 Jenis Bantuan Atau Program Yang Di Terima Oleh Responden ... 51

4.3 Persepsi Kemiskinan yang Dialami Oleh Responden ... 52

4.4 Evaluasi Program Kemiskinan Berdasarkan Proses serta Ketepatan waktu dan Jumlah Bantuan Program ... 55

4.5 Evaluasi Program Kemiskinan Berdasarkan Dampak Program Kemiskinan ... 58

4.5.1 Hasil Wawancara Dengan Bapak Sekcam Tembuku ... 61

4.5.2 Hasil Wawancara Dengan Kepala Desa Jehem ... 61

4.5.3 Hasil Wawancara Dengan Kepala Desa Tembukui ... 61

4.5.4 Hasil Wawancara Dengan Dkepala Desa Yangapi ... 62

4.5.5 Hasil Wawancara Dengan Kepala Desa Undisan ... 52

4.5.6 Hasil Wawancara Dengan kepala Desa Bangbang ... 52

4.5.7 Hasil Wawancara Dengan kepala Desa Peninjoan ... 62

BAB V.Penutup………..63

5.1.Simpulan……… 64 5.2.Saran……… …64 Daftar Pustaka. ... 65


(8)

Daftar Tabel

1.1 Jumlah Penduduk Miskin Di Provinsi Bali ...5

1.2 PAD Kabupaten/Kota di Provinsi Bali tahun 2013, 2011, 2010, 2009, 2008 (dalam, 000) .... 5

1.3 Luas wilayah kecamatan di Kabupaten Bangli dan kepadatan Penduduk tahun 2010 ...6

1.4. Pertumbuhan Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Bangl Tahun


(9)

1.5 Jumlah Rumah Tangga, Rumah tangga Miskin,% Rumah Tangga Miskin Di Kecamatan

Tembuku Kabuapaten Bangli Tahun 2013 ...8

1.7 Jumlah Sampel Per Desa ...39

4.1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Tanah Tahun 2013 ...43

4.2 Banyaknya Desa Adat, Banjar Dinas dan Aparat Desa Dirinci per DesaTahun 2013………43

4.3 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Dirinci Per Desa Keadaan Tahun 2013 ...43

4.4 Jumlah Penduduk, Keluarga dan Rata-Rata Jiwa Per KK Tahun 2013 ...43

4.5 Jumlah Kelahiran dan Kematian Menurut Jenis Kelamin per Desa Tahun 2013 ...45

4.6 Jumlah Penduduk Datang dan Pergi Menurut Jenis Kelamin per Desa Tahun 2013……….46

4.7 Penduduk Menurut Sumber Mata Pencaharian Utama Dirinci per Desa Tahun 2013………46

4.8 Banyaknya Perusahaan Industri Menurut Kelompok Industri Dirinci per Desa Tahun 2013 .47 4.9 Jenis Kelamin ...48

4.10 Luas Bangunan Tempat Tinggal Responden ...48

4.11 Jumlah Tanggungan Responden ...49

4.12 Jenjang Pendidikan yang Mampu diraih oleh Anggota Keluarga Miskin ...50

4.13 Jumlah Anggota Keluarga Sampel Yang bekerja ...51

4.14 Jenis Bantuan Yang Diterima Oleh Keluarga Responden ... 53

4.15 Ketidak Hadiran dalam rapat penerima bantuan ... 53

4.16 Kemiskinan yang disebabkan adat yang ketat………....53

4.17 Kemiskinan karena kurang mendapatkan bantuan dari pemerintah ... 54

4.18 Proses untuk masuk dalam daftar menerima bantuan ... 55

4.19 Pengetahuan masuk daftar dalam penerimaan bantuan ... 56


(10)

4.21 Bantuan sesuai dengan yang dijanjikan ... 58

4.22 Melallui bantuan mampu meningkatkan kesejahtraan ... 58

4.23 Melalui bantuan rasa aman dalam kelangsungan hidup ... 59

4.24 Setelah mendapatkan bantuan mampu hidup mandiri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang.

Krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis multi-dimensi salah satunya berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk yang berada di garis kemiskinan berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk yang berada di garis kemiskinan dan penduduk yang rentan jatuh di bawah garis kemiskinan juga meningkat. Kemiskinan adalah kondisi dimana sesorang atau kelompok orang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan


(11)

mengembangkan kehidupannya secara bermartabat. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai Poverty is concern with absolute standard of living of part of society the poor in equality refers to relative living standards across the whole society (Sumodiningrat, 1999). Kemiskinan yang merupakan ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Ketidakmampuan tersebut ditunjukkan oleh kondisinya yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan. Garis kemiskinan merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan, setara 2100 kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya. Selanjutnya BKKBN memiliki kategori yang mengklasifikasikan keluarga miskin sebagai berikut dalam 14 indikator.

BKKBN . Profil Hasil Pendataan Keluarga miskin yang meliputi Pra KS, KS I,KS II,KSIII dan KSIII plus yang didasarkan pada 14 indikator yang meliputi

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan

3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitasrendah/ tembok tanpa diplester

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tanggalain

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung / sungai /air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu

9. Hanya membeli satu stel pakian baru dalam setahun

10.Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari

11.Tidak sanggup membayar pengobatan di puskesmas /poliklinik

12.Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan,buruh perkebunan, atau pekerjaan lainya dengan pendapatan di bawah Rp.600.000 per bulan


(12)

13.Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD

14.Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah di jual dengan nilai Rp.500.000, seperti sepeda motor( kridit /non kridit ) emas, ternak kapal motor atau barang modal lainya.

Kemiskinan menurut Sayogya (1971) tingkat pengeluaran ekuivalen beras per orang pertahun ( Kg), katagori Miskin ( M) Kota 480 Kg, Desa 320 Kg, katagori Miskin Sekali (MS) Kota 360 Kg, Desa 240 Kg, dan katagori Paling miskin (PM) Kota 270 kg, Desas 180 Kg. Selanjutnya di Indonesia terdapat tiga ciri menonjol kemiskinan di Indonesia, ciri Pertama, banyak rumah tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan nasional, yang setara dengan PPP AS$1,55-per hari, sehingga banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin tetapi rentan terhadap kemiskinan. Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari segi pendapatan, dapat dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Ketiga, mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia (World Bank, 2006: 11).

Terdapat penyebab kemiskinan yang terdiri atas berbagai jenis faktor penyebab. Faktor penyebab kemiskinan antara lain sebagai berikut.

1. Perbedaan Kepemilikan Kekayaan

Perbedaan kepemilikan kekayaan, ini karena terdapat kekayaan yang diwarisakan dalam bentuk piramida kekayaan. Piramida kekayaan diwariskan kepada anak cucu. Sedangkan terdapat individu yang tidak memiliki warisan piramida kekayaan, sehingga individu tersebut tidak memiliki modal akumulasi yang akan digunakan untuk mendapatkan peningkatan pendapatan.

2. Perbedaan dalam Kemampuan Pribadi

Perbedaan kemampuan pribadi adalah perbedaan karena perbedaan mental dan fisik. Perbedaan mental dan fisik ini menyebabkan terdapatnya perbedaan kamampuan untuk mendapatkan pendapatan karena produktifitas yang berbeda karena kemampuan mental dan fisik yang berbeda.


(13)

Perbedaan bidang pengalaman ini karena faktor pendidikan. Pendidikan yang memiliki yang berbeda menyebabkan seseorang tidak memiliki kemampuan yang sama untuk mencapai tingkat pendapatan yang sama. Kepemilikan tingkat pendidikan yang berbeda ini bersumber dari akumulai capital yang dimiliki yang belum tentu dimiliki oleh setiap orang.

Kasus kemiskinan di Indonesia terjadi disetiap provinsi di Indonesia, termasuk Provinsi Bali. Provinsi Bali yang meliputi sembilan kabupaten kota dimana Kabupaten Badung dan Kota Denpasar penduduk miskinnya kalau dilihat dari persentasenya relatif rendah sedangkan kalau dilihat dari persentase penduduk miskin pada tahun 2011 terdapat di Kabupaten Jembrana 6,56%, Kabupaten Klungkung 6,10% disusul Kabupaten Buleleng 5,93% disusul Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Gianyar untuk tahun 2012 Kabupaten Jembrana 5,74%, disusul Kabupaten Klungkung 5,37% disusul Kabupaten Buleleng 5,19% pada tahun 2013. Kabupaten Klungkung 7,01%, disusul Kabupaten Karangasem 6,88% dan Kabupaten Buleleng 6,31%.

Menurut data BKKBN Provinsi Bali, selama tahun 2000-2004 jumlah keluarga miskin yaitu keluarga yang berada pada tahapan keluarga pra sejahtera dan sejahtera I terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 jumlah keluarga miskin 88.035 KK atau 12,20%, meningkat menjadi 88.885 KK pada tahun 2001 tetapi persentasenya menurun menjadi 12,16%. Pada tahun 2002 keluarga miskin meningkat menjadi 98.189 KK dan persentasenya meningkat menjadi 12,81%. Peningkatan keluarga miskin berlanjut pada tahun 2003 dan 2004. Pada tahun 2003 jumlah keluarga miskin 109.193 KK atau 13,91% dan tahun 2004 sebanyak 119.893 KK atau 14,92%.

BKKBN Provinsi Bali menunjukkan jumlah keluarga miskin pada tahun 2004 terbanyak terdapat di Kabupaten Buleleng yaitu 39.568 KK atau 25,98% dari total jumlah keluarga di wilayah tersebut. Sedangkan dilihat dari persentasenya terhadap jumlah keluarga di masing-masing wilayah, persentase keluarga miskin tertinggi terdapat di Kabupaten Karangasem yaitu mencapai 34,18% (33.336 KK). Jumlah keluarga miskin juga relatif tinggi terdapat di Kabupaten Bangli 12.374 KK (22,08%), Tabanan 11.513 KK (10,04%), Klungkung 8.658 KK (20,43) dan Jembrana 6.034 KK (9,15%). Sedangkan di Kabupaten Gianyar, Badung dan Kota Denpasar relatif lebih kecil yaitu masing-masing 5.126 KK (5,00%); 2.713 KK (3,27%); dan 571 KK (0,64%).


(14)

Dilihat dari angka abolutnya yang tertinggi pada tahun 2011 Kabupaten Gianyar dan Tabanan dan tahun 2012 serta tahun 2013 posisinya hampir sama dengan tahun 2011. yang datanya disajikan pada Tabel berikut :

Tabel 1.1.Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Bali tahun 2011-2013. No Kab/Kota Jlh Pddk Miskin (000) % Penduduk Miskin

2011 2012 20913 2011 2012 2013

1 Jembrana 17.6 15.3 14.9 6.56 5.74 5.56

2 Tabanan 24.2 21.0 22.5 5.62 4.90 5.21

3 Badung 14.6 12.5 14.5 2.62 2.16 2.46

4 Gianyar 26.0 22.6 20.8 5.40 4.69 4.27

5 Klungkung 10.7 9.3 12.2 6.10 5.37 7.01

6 Bangli 11.4 9.9 12.0 5.16 4.52 5.45

7 Karangasem 26.1 22.7 27.8 6.43 5.63 6.88

8 Buleleng 37.9 33.0 40.3 5.93 5.19 6.31

9 Denpasar 14.5 12.7 17.6 1.79 1.52 2.07

B A L I 183.1 158.9 182.8 4.59 3.95 4.49

Sumber : Bali Dalam Angka (2014)

Kabupaten Bangli merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Bali yang mempunyai Pendapatan Asli Daerah yang paling rendah diantara Kabupaten yang lainya, sehingga adanya keterbatasan dalam membiayai pembangunan untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakatnya. Tabel 1.2 berikut ini menyajikan data PAD di Kabupaten/Kota Provinsi Bali tahun 2008 – 2013

Tabel 1.2 PAD Kabupaten/Kota di Provinsi Bali tahun 2013, 2011, 2010, 2009, 2008 (dalam, 000)

Kab/Kota 2013 2011 2010 2009 2008

Jembrana 68485482 41 330 606 34 380 823 33952879 21235505 Tabanan 255418 218 141 046 017 107 836 348 93840478 87379829 Badung 2279113502 1 406298099 979 241 565 850170021 449674873 Gianyar 319 612005 175273 316 771 595 587 112322710 96922244 Klungkung 67401910 40735 839 447 067 232 29566917 29028565 Bangli 55986570 22 961 237 475 578 526 16329747 12655751


(15)

Karangasem 168652790 129556 195 673 678 128 47842960 43005827 Buleleng 160292 011 109167 026 852 341 270 63487192 52662170 Denpasar 658 974707 424959 413 903 834 642 215156916 176072308

Sumber : Bali Dalam Angka 2014,2013,2012,2011,2010.

Kabupaten Bangli yang meliputi empat Kecamatan yaitu Kecamatan Susut yang luas wilayahnya 49,3 Km2 dengan tingkat kepadatan penduduknya 873 Km2, Kecamatan Bangli luas wilayahnya 56,3 Km2 dengan tingkat kepadatan penduduknya 804 Km2, Kecamatn Tembuku luas wilayahnya 48,3 Km2 dengan tingkat kepadatan penduduknya 725 Km2 dan Kecamatan Kintamani luas wilayahnya 366,9 Km2 dengan tingkat kepadatan penduduknya 252 Km2, datanya sajikan di Tabel 1.3

Tabel 1.3 Luas wilayah kecamatan di Kabupaten Bangli dan kepadatan Penduduk tahun 2010

Kecamatan Luas Wilayah ( Km2 ) Kepadatan Km2

Susut 49,3 873

Bangli 56,3 804

Tembuku 48,3 725

Kintamani 366,9 252

Sumber: Bali Dalam Angka (2011)

Kecamatan Kintamani mempunyai wilayah yang paling luas dengan tingkat kepadatan yang paling rendah dan kecamatan yang paling padat adalah Kecamatan Susut. Kepadatan penduduk berkaitan dengan pertumbuhan penduduk yang terjadi dalam satu wilayah. Tingkat pertumbuhan penduduk selama lima tahun akan disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 1.4. Pertumbuhan Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Bangl Tahun 2005/2006-2009/2010

Kecamatan Tahun (%)

2005-2006 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010

Susut 0,04 0,19 0,16 0,15 0,10

Bangli 0,49 0,46 0,40 0,82 0,56


(16)

Kintamani 0,08 0,74 0,65 0,60 0,71 Sumber : Bangli Dalam Angka 2010

Kepadatan penduduk suatu wilayah sangat ditentukan dengan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk ditentukan oleh tingkat kelahiran, tingkat kematian, penduduk keluar dan penduduk masuk kewilayah yang bersangkutan. Penduduk melakukan migrasi adanya faktor pendodrong dan faktor penarik. Migrasi keluar tersebut sebagai faktor penariknya karena adanya harapan bahwa ditempat lain lebih mudah mendapatkan pekerjaan, fasilitas pendidikan serta kesehatan lebih baik, sedangkan faktor pendorongnya karena kesulitan memproleh pekerjaan, tingkat keamanan kurang kondusif. Data pertumbuhan penduduk di Kecamatan tembuku dapat disajikan di Tabel 1.4

Pertumbuhan Penduduk di lihat perkecamatan yang paling rendah pertumbuhan penduduknya adalah Kecamatan Tembuku. Selama tiga tahun terakhir di Kabupaten Bangli perkembangan penduduk miskinnya pada tahun 2011 berjumlah 11.400 penduduk miskin (5,16%), tahun 2012 sebanyak 9.900 penduduk miskin (4,52 % ) dan tahun 2013 sebanyak 12.000 penduduk miskin (5,45 %), sedangkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bangli dari tahun 2010 sebesar 4,97 %, tahun 2011 pertumbuhan ekonominya mencapai 5,84 %, tahun 2012 pertumbuhan ekonominya sebesar 5,99 % dan tahun 2013 pertumbuhan ekonominya mencapai 5,61 %. Perkembangan penduduk miskin yang ada di Kabupaten Bangli yang mengalami pluktuasi, sangat diperlukan strategi serta kebijakan yang lebih memadai dalam rangka menurunkan angka kemiskinan yang terjadi.

Kabupaten Bangli yang meliputi empat Kecamatan yakni Kecamatan Susut, Kecamatan Bangli, Kecamatan Tembuku serta Kecamatan Kintamani. Kecamatan Tembuku yang mempunyai pertumbuhan penduduk yang paling rendah bahkan sempat negatip, mempunyai perkembangan penduduk miskin yang relatif besar. Jumlah penduduk miskin di Kecamatan Tembuku di sajikan di Tabel 1.5

Tabel 1.5 . Jumlah Rumah Tangga, Rumah tangga Miskin,% Rumah Tangga Miskin Di Kecamatan Tembuku Kabuapaten Bangli Tahun 2013

No Desa Jumlah KK Jumlah KK

Miskin

% KK

Miskin

1 Jehem 1896 560 29,54

2 Yangapi 1947 681 34,9


(17)

4 Undisan 802 187 23,32

5 Bangbang 1019 170 16,68

6 Peninjoan 2122 468 22,05

8911 2304 25,86

Sumber : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Unud 2013.

Tabel 1.5 menunujukan bahwa Desa Yangapi jumlah KK miskin terbanyak yaitu 681 KK, disusul dengan Desa Jehem yaitu 560 KK dan yang paling kecil jumlah KK miskinnya adalah di Desa Bangbang yaitu 170 KK. Masih tingginya KK miskin adanya kecendrungan bahwa penetapan KK miskin yang digunakan sebagai acuan adalah empat belas indikator. Kasus kemiskinan di Kabupaten Bangli telah dicoba ditanggulangi dengan berbagai program yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Program yang berasal dari pemerintah tersebut meliputi pemberian beras raskin, BLT, bea siswa, pengobatan gratis, bedah rumah, bantuan simantri, gerbangsadu, Klompok Usaha Bersama.

Perbedaan pengentasa kemiskinan denga munculnya program dari tiap pemerintah meliputi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan kabupaten ini karena penerapan otonomi daerah. Penetapan otonomi daerah menyebabkan setiap pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten bisa memiliki keleluasaan dalam menentukan arah pembangunan termasuk program pengentasan kemiskinan berdasarkan potensi dan kendala yang berbeda sesuai dengan daerahnya masing-masing. Selain itu perbedaan jenis program kemiskinan sangat tergantung pada visi dan misi pemimpin daerah yang dicetuskan pada saat melakukan pemilu. Perbedaan program kemiskinan terkesan bahwa ada egosentri kedaerahaan yang menyebabkan kurangnya kordinasi pengentasan kemiskinan, sehingga terkesan pogram kemiskinan berjalan secara parsial karena pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten memiliki jenis pogram pengentasan kemiskinan yang berbeda.

Perbedaan program tersebut dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten telah menyebabkan dampak yang berbeda-beda, padahal pengentasan kemiskinan bisa dilakukan secara bersama-sama sehingga dana program dapat dikumpulkan menjadi satu dan disalurkan dengan lebih baik. Perbedaan program ini juga menimbulkan dampak dan menghadapi masalah yang berbeda. Dampak Program yang berbeda tersebut juga dirasakan oleh penduduk miskin yang berada di kecamatan tembuku, sehingga perlu dilakukan evaluasi program kemiskinan atas


(18)

1.2.Pokok Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini memiliki Pertanyaan peneltian sebagai berikut.

1. Bagaimana proses serta ketepatan waktu dan jumlah bantuan program di kecamatan tembukau?

2. Bagaimana persepsi mengenai dampak program kemiskinan di kecamatan tembuku?

3. Permasalah apa saja yang dihadapi oleh masing-masing pemerintah desa dalam memberikan bantuan kemiskinan?

1.3.Tujuan Penelitian

1. Mengetahui proses serta ketepatan waktu dan jumlah bantuan program di kecamatan tembukau

2. Mengetahui persepsi mengenai dampak program kemiskinan di kecamatan tembuku

3. Mengetahui apa saja yang dihadapi oleh masing-masing pemerintah desa dalam memberikan bantuan kemiskinan.

1.4. Manfaat Penelitian

5. Manfaat penelitian kepada dunia ilmu pengentahuan adalah berupa bertambahnya informasi mengenai evaluasi program kemiskinan di Indonesia

6. Manfaat peneltian kepada pemerintah adalah bertambahnya informasi mengenai evaluasi program kemiskinan sehingga dapat digunakan untuk mengambil kebijakan lebih lanjut di Kabupaten Bangli pada khususnya dan Provinsi pada umumnya.


(19)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kemiskinan

Kemiskinan memiliki konsep yang beragam. World Bank mendefinisikan kemiskinan

dengan menggunakan ukuran kemampuan/ daya beli, yaitu US $1 atau US $2 per kapita per

hari. Sementara itu, BPS mendefinisikan kemiskinan didasarkan pada garis

kemiskinan,(poverty line). Nilai garis kemiskinan yang digunakan untuk menentukan

kemiskinan mengacu pada kebutuhan minimum yang dibutuhkan oleh seseorng yaitu 2100

kalori per kapita per hari, ditambah dengan kebutuhan minimurn non-makan yang merupakan

kebutuhan dasar seseorang yang meliputi: papan, sandang, sekolah, transportasi, serta

kebutuhan rumah tangga dan individu yang mendasar. Menurut BPS, seseorang/ individu

yang pengeluarannya lebih rendah dari Garis Kemiskinan maka seseorang/individu tersebut

dikatakan miskin. Sedangkan kemiskinan menurut Bappenas (2004) adalah kondisi dimana

seseorang atau sekelompok orang laki dan perempuan, yang tidak mampu memenuhi hak-hak

dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak

dasar manusia tersebut meliputi: terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, kesehatan,


(20)

hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi

dalam kehidupan sosial politik.

Dalam pandangan Friedman, kemiskinan berarti ketidaksamaan kesempatan untuk

mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial ini meliputi: (1) Modal

produktif seperti tanah, alat produksi, Perumahan, kesehatan. (2) Sumber keuangan, (3)

Organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk kepentingan bersama seperti

koperasi, partai potitik, organisasi sosial, (4) jaringan sosial, (5) Pengetahuan dan

ketrampilan. (6) Informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Suharto,

dkk., 2004).

Menurut Sadono (2008), pendapatan individu merupakan pendapatan yang diterima

seluruh rumah tangga dalam perekonomian dari pembayaran atas penggunaan faktor-faktor

produksi yang dimilikinya dan dari sumber lain. Dalam penelitian ini salah satu faktor

produksi yang digunakan adalah modal untuk usaha-usaha ekonomi produktif dalam rangka

meningkatkan pendapatan keluarga, khususnya Rumah tangga Miskin.

Menurut Mubyarto (2003) pendapatan merupakan penerimaan yang dikurangi dengan

biaya–biaya yang dikeluarkan. Pendapatan seseorang pada dasarnya tergantung dari pekerjaan dibidang jasa atau produksi, serta waktu jam kerja yang dicurahkan, tingkat

pendapatan perjam yang diterima, serta jenis pekerjaan yang dilakukan. Tingkat pendapatan

perjam yang diterima dipengaruhi oleh pendidikan, keterampilan dan sumber – sumber non tenaga kerja yang dikuasai, seperti tanah, modal dan teknologi.

U n i t e d Na t i o n s D e ve l o p me n t P r ogr a mme (UNDP) mendefinisikan

kemiskinan sebagai kelaparan, ketiadaan tempat berlindung, ketidakmampuan berobat ke

dokter jika sakit, tidak mempunyai akses ke sekolah dan buta huruf, tidak mempunyai

pekerjaan, takut akan masa depan, hidup dalam hitungan harian, ketidakmampuan


(21)

Sementara menurut Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1981, fakir miskin adalah orang

yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai

kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang

mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi

kemanusiaan.

Meskipun miskin bukan kenyataan baru dalam masyarakat, namun sampai saat ini

definisi kemiskinan masih bersifat problematik karena sifatnya yang begitu rumit dalam

beberapa tataran variabel pengukuran. Belum ada definisi baku yang dapat diterima bersama

oleh para ahli seputar kemiskinan. Namun dengan memperhatikan definisi-definisi teoritis

yang dikemukakan diatas, maka definisi operasional dari kemiskinan yang diutarakan disini

adalah kondisi seseorang atau kelompok orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup

minimum yang diperlukan untuk dapat hidup layak dan mengembangkan kehidupan yang

bermartabat, sesuai dengan hak-hak dasar mereka.

Menurut BAPPENAS (2004), hak-hak dasar masyarakat miskin ini yang tertuang

dalam Rencana Strategis (Renstra) beberapa daerah di Indonesia diantaranya: (1) hak untuk

memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) hak untuk memperoleh

perlindungan hukum; (3) hak untuk memperoleh rasa aman; (4) hak memperoleh akses

atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, papan) yang terjangkau; (5) hak untuk memperoleh

akses atas kebutuhan pendidikan; (6) hak untuk memperoleh akses atas kesehatan; (7) hak

untuk memperoleh keadilan; (8) hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan

publik dan pemerintahan; (9) hak untuk berinovasi, serta (1) hak untuk berpartisipasi dalam

menata dan mengelola pemerintahan yang baik.

Orang yang setidaknya bisa memenuhi hak-hak dasar tersebut dianggap tidak miskin,

sedangkan yang tidak dapat memenuhinya maka dapat dikategorikan miskin. Meskipun pada


(22)

tempat tinggal, dan lain-lain. Kemiskinan juga memiliki wujud yang majemuk, termasuk

rendahnya tingkat pendapatan dan sumberdaya produktif yang menjamin kehidupan yang

berkesinambungan, kelaparan dan kekurangan gizi, rendahnya tingkat kesehatan,

keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan pokok lainnya, kondisi tak

wajar, serta kematian akibat penyakit yang terus meningkat, kehidupan menggelandang

dan tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan yang tidak aman, serta diskriminasi

dan keterasingan sosial. Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam

proses pengambilan keputusan serta dalam kehidupan, sosial, dan budaya.

2.2. Penyebab Kemiskinan

Nasikun (2001) menyoroti beberapa sumber dan penyebab terjadinya kemiskinan,

yaitu: Policy Induces Processes. Proses kemiskinan yang dilestarikan,

direproduksimelaluipelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya

adalah kebijakan antikemiskinan, tetapi realitasnya justru melestarikan. Sosio

Economic Dualism. Yakni negara eks koloni mengalami kemiskinan karena pola

produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanahyang subur dikuasai para

petani skala besar dan berorientasi ekspor. Population Growth. Perspektif yang didasari

oleh teori Malthus bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur, sedang

pertambahan pangan seperti deret hitung.ResourcesManagement and The Environment.

Adanya unsure mismanagement sumberdaya alam daningkungan, seperti manajemen

pertanian yang asal tebang dan dapat menurunkan produktivitas.

Na tur a l Cycles a nd P r ocesses. Yakni kemiskinan terjadi karena siklus

alam.Misalkan yang tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan

terjadi banjir, namun jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak


(23)

produktivitas.Na tur a l Cycles a nd P r ocesses. Yaknikemiskinan terjadi karena siklus

alam.Misalkan yang tinggal di lahan kritis,dimana lahan ini jika turun hujan akan

terjadi banjir, namun jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak

memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus menerus.

The Marginalitation of Woman. Adalah peminggiran kaum perempuan karena masih

dianggap sebagai golongan kelas dua sehingga akses dan penghargaan lebih rendah

ketimbang laki-laki. peminggiran kaum perempuan karena masih dianggap sebagai golongan

kelas dua sehingga akses dan penghargaan lebih rendah ketimbang laki-laki.

Culture and Etnik Fa ctor. Bekerjanya faktor budaya dan etnik yang eksis

memelihara kemiskinan. Misalnya pola hidup yang konsumtif pada petani dan nelayan ketika

panen, serta adat istiadat saat upacara adat yang dapat menyedot biaya mahal. Exploitative

Intermediation. Keberadaan penolong yang menjadi penodong, seperti rentenir. Inter na l

P olitical F r agmenta tion and Civil Stratfe. Yakni suatu kebijakan yang diterapkan pada

suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dan dapat menjadi penyebab kemiskinan.

International Processes. Yakni bekerjanya sistem-sistem internasional seperti kolonialisme

dan kapitalisme yang membuat banyak negara menjadi miskin.

Menurut pandangan secara umum, kemiskinan jika dilihat dari faktor

penyebabnya, maka dibedakan atas : kemiskinan kultural, natural dan struktural.

Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti: malas,

tidak disiplin, boros dan lain sebagainya. Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang

disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti: karena cacat, sakit, lanjut usia, dan karena

bencana alam. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh

faktor-faktor buatan manusia, seperti: distribusi aset produktif yang tidak merata, kebijakan

ekonomi yang tidak adil, korupsi dan kolusi, serta tatanan perekonomian yang cenderung


(24)

2.3 Jenis-Jenis Kemiskinan

Menurut Baswir, (1997: 23), Sumodiningrat, (1998: 90).Secara sosioekonomis,

terdapat dua bentuk kemiskinan, yaitu :

1. Kemiskinan absolut adalah suatu kemiskinan di mana orang-orang miskin memiliki

tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan hidup minimum, kebutuhan hidup minimum antara lain diukur dengan

kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan, kalori, GNP per kapita,

pengeluaran konsumsi dan lain-lain.

2. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu

tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong

kaya (mampu) pada masyarakat desa tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desa

yang lain.Di samping itu terdapat juga bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi

faktor penyebab kemiskinan (asal mula kemiskinan). Ia terdiri dari: (1) Kemiskinan natural,

(2) Kemiskinan kultural, dan (3) Kemiskinan structural (Kartasasmita, 1996: 235,

Sumodiningrat, 1998: 67, dan Baswir, 1997: 23).

a Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin.

Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang

memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya pembangunan,

atau kalaupun mereka ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya mendapat imbalan

pendapatan yang rendah. Menurut Baswir (1997: 21) kemiskinan natural adalah kemiskinan

yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena

bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita (1996: 235) disebut


(25)

seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumberdaya alamnya ataudaerah

yang terisolir.

b`. Kemiskinan kuktural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat

yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka merasa hidup

berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah

untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan

merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut

ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir (1997:

21) bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan

lain-lainnya.

c. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh factor-faktorbuatan

manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak

merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan

kelompok masyarakat tertentu (Baswir, 1997: 21). Selanjutnya Sumodiningrat (1998: 27)

mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena berupaya

menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacammacam program

dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak

merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak

merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Menurut

Kartasasmita (1996: 236) hal ini disebut “accidental poverty”, yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat

kesejahteraan masyarakat. Masalah-masalah kemiskinan tersebut di atas menurut Nurkese

(dalam Sumodiningrat. 1999: 150) sebagai suatu “lingkaran setan kemiskinan” yang meliputi enam unsur, yaitu : Keterbelakangan, Kekurangan modal, Investasi rendah, Tabungan rendah,


(26)

Lain halnya dengan pendapat Chambers yang mengatakan bahwa inti dari masalah

kemiskinan dan kesenjangan sebenarnya, di mana “deprivation trap” atau jebakan

kemiskinan ini terdiri dari lima unsur yaitu: Kemiskinan, Kelemahan jasmani, Isolasi,

Kerentanan, Ketidakberdayaan. Kelima unsur tersebut saling kait mengait antara satu dengan

yang lain dan saling mempengaruhi(Chambers, 1983 : 145-147).

Data kemiskinan agregat hanya menggambarkan persentase dan jumlah penduduk

miskin. Walaupun sangat berguna untuk mengetahui kemajuan pembangunan suatu bangsa,

namun tidak dapat digunakan sebagai penetapan sasaran program penanggulangan kemiskinan.

Program penanggulangan kemiskinan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan

Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Program Bantuan Pendidikan membutuhkan informasi

tentang siapa dan dimana penduduk miskin itu berada (by name dan by address).

Penyaluran program penanggulangan kemiskinan memerlukan nama dan alamat rumah

tangga sasaran. Data rumah tangga sasaran (RTS) ini sering disebut data kemiskinan mikro.

Pengumpulan datanya harus dilakukan secara sensus. Pengumpulan data rumah tangga sasaran

didasarkan pada ciri-ciri rumah tangga miskin yang diperoleh dari survei kemiskinan agregat.

2.3. 1. Ukuran Kemiskinan lain

Ukuran kemiskinan lain yang sering digunakan adalah Poverty Gap Index atau P1.

Indeks ini menggambarkan selisih (dalam persen terhadap garis kemiskinan) rata-rata antara

pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Jumlah seluruh populasi digunakan

untuk menghitung rata-rata dengan menganggap selisih sama dengan 0 (nol) bagi penduduk

yang berada di atas garis kemiskinan. Indeks ini menggambarkan kedalaman kemiskinan (the

depth of poverty). Perkembangan angka indeks P1 dari waktu ke waktu yang semakin kecil

menunjukkan terjadinya perbaikan.

Ukuran kemiskinan lain adalah Poverty Severity Index atau P2. Indeks Keparahan


(27)

rata-rata antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Jumlah seluruh

populasi digunakan untuk menghitung rata-rata dengan menganggap selisih sama dengan 0 (nol)

bagi penduduk yang berada di atas garis kemiskinan. Dengan melakukan pengkuadratan, indeks

ini memberi bobot yang lebih besar bagi penduduk miskin yang memiliki pengeluaran jauh di

bawah garis kemiskinan. Serupa dengan P1, Perkembangan angka indeks P2 dari waktu ke waktu

yang semakin kecil menunjukkan terjadinya perbaikan. Baik menggunakan P1 maupun

menggunakan P2, menunjukan adanya perbaikan dari waktu ke waktu, ukuran kemiskinan lain

yang sering digunakan adalah menggunakan batas kemiskinan 1 (satu) US$ dan 2 (dua) US$ per

kapita per hari. Batas kemiskinan menggunakan US$ ini sering disalah artikan dengan

menggunakan nilai tukar biasa (exchange rate) untuk mendapatkan garis kemiskinan. Sehingga

kalau nilai tukar adalah Rp. 8.500 per satu dolar, maka garis kemiskinan 1 (satu) US$ per kapita

per hari, menjadi Rp. 255.000 per kapita per bulan. Bila perhitungan ini benar maka menjadi

lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional yang sebesar Rp. 233.740 per kapita per bulan,

kenyataannya tidak begitu. Nilai tukar yang digunakan dalam perhitungan garis kemiskinan 1

(satu) US$ dan 2 (dua) US$ adalah nilai tukar dolar PPP (Purchasing Power Parity). Nilai tukar

PPP menunjukkan daya beli mata uang di suatu negara, dalam hal ini US$, untuk membeli

barang dan jasa yang "sama" di negara lain.

Ilustrasi sederhana adalah sebagai berikuti, bila seseorang di Indonesia membeli beras

seharga Rp. 5000 per liter, sementara di Amerika satu liter beras dengan kualitas yang sama

harganya adalah 1 (satu) US$, dengan nilai tukar biasa artinya Rp. 8.500, dengan pengertian nilai

tukar PPP, maka orang di Indonesia yang membeli beras tadi dianggap telah membelanjakan 1

(satu) US$, walaupun pada kenyataannya dia hanya mengeluarkan Rp. 5000. Dalam realitanya

tidak sesederhana ilustrasi di atas, barang dan jasa yang tersedia tidak hanya beras melainkan

ratusan barang dan jasa lainnya.Dengan menggunakan US$ PPP tadi, maka garis kemiskinan


(28)

kemiskinan nasional yang digunakan selama ini lebih tinggi dari batas 1 (satu) US$ PPP. Tidak

heran, bila kita menggunakan ukuran garis kemiskinan 1 (satu) US$ per kapita per hari, justru

jumlah orang miskin di Indonesia hanya sekitar 10,01 % pada tahun 2009 lebih sedikit dengan

jumlah orang miskin yang dikeluarkan oleh BPS yaitu 14,15 % pada tahun 2009. Untuk

kepentingan tujuan Millenium Development Goals (MDGs), digunakan ukuran kemiskinan 1 US$

per kapita per hari. Sasaran MDGs untuk tingkat kemiskinan Indonesia adalah 10,3% pada tahun

2015. Dengan ukuran ini Indonesia telah mencapai sasaran MDGs pada tahun 2009, jauh sebelum

tahun 2015.Dengan menggunakan ukuran kemiskinan 2 (dua) US$ PPP per kapita per hari,

jumlah orang miskin di Indonesia menjadi sekitar 50 %. Ukuran kemiskinan 2 (dua) US$ PPP per

kapita per hari biasanya digunakan untuk negara yang kondisi ekonominya jauh lebih baik. Untuk

negara berkembang ukuran 2 US$ per kapita per hari dianggap terlalu tinggi. Namun

demikian, jika perkembangan tingkat kemiskinan menggunakan ukuran yang konsisten, maka baik

dengan menggunakan 1 US$ per kapita per hari, maupun dengan 2 US$ per kapita per hari,

maupun dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan di

Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus menurun setiap tahunnya.

2.4 Strategi Pengentasan kemiskinan

Menurut Bank Dunia adanya dua jalan penting yang perlu diambil oleh rumah tangga

miskin untuk keluar dari kemiskinan di Indonesia.. Jalan keluar pertama dari kemiskinan

adalah peningkatan produktivitas pertanian. Kondisi akan mampu meningkatkan

produktivitas pada pertanian berskala kecil. Peningkatan produktivitas pertanian sebagai hasil

revolusi hijau merupakan salah satu pemicu utama pertumbuhan selama tiga dasawarsa yang

bermula pada tahun 1970an. Dewasa ini, harga komoditas dunia yang tinggi telah menopang

pertumbuhan output, sedangkan pergeseran tenaga kerja keluar dari sektor pertanian telah


(29)

kemiskinan menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan di sektor pertanian tetap menjadi

pendorong utama untuk pengurangan kemiskinan. Data panel antara tahun 1993 dan 2000

menunjukkan bahwa 40 persen pekerja pertanian di daerah pedesaan mampu keluar dari

jeratan kemiskinan dengan tetap bekerja di sektor pertanian pedesaan.

Jalan keluar kedua dari kemiskinan adalah peningkatan produktivitas non-pertanian,

baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan yang dikotakan dengan cepat. Dalam

hal ini, transisi melalui usaha non-tani pedesaan merupakan suatu pijakan penting untuk

bergerak keluar dari kemiskinan, baik melalui upaya menghubungkan usaha pedesaan dengan

proses pertumbuhan perkotaan, atau lebih penting lagi, dengan memasukkan usaha-usaha di

daerah pedesaan pinggir kota ke dalam daerah perkotaan. Antara tahun 1993 dan 2002,

pangsa pekerja non-miskin di lapangan kerja non-tani pedesaan mengalami peningkatan

sebesar 6,7 poin persentase, menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas non-pertanian di

daerah pedesaan merupakan jalan penting untuk keluar dari kemiskinan. Lagi pula, banyak

di antara daerah pedesaan tersebut berubah menjadi daerah perkotaan pada akhir jangka

waktu tersebut, yang menunjukkan peranan saling melengkapi antara urbanisasi dan

peningkatan produktivitas.

Strategi pengentasan kemiskinan ( Bank Dunia)yang efektif bagi Indonesia terdiri dari

tiga komponen. Pertama, membuat Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.

Pertumbuhan ekonomi telah dan akan tetap menjadi landasan bagi pengentasan kemiskinan.

Pertama, langkah «membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat miskin» merupakan kunci

bagi upaya untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan proses pertumbuhan-baik dalam

konteks pedesaan-perkotaan ataupun dalam berbagai pengelompokan berdasarkan daerah dan

pulau. Hal ini sangat mendasar dalam menangani aspek perbedaan antar daerah. Kedua,


(30)

distribusi pendapatan di Indonesia, apapun yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat

akan dapat dengan cepat mengurangi angka kemiskinan serta kerentanan kemiskinan.

Kedua, membuat Layanan Sosial Bermanfaat bagi Rakyat Miskin. Penyediaan

layanan sosial bagi rakyat miskinbaik oleh sektor pemerintah ataupun sektor swasta-adalah

mutlak dalam penanganan kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal itu merupakan kunci dalam

menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di Indonesia. Indikator pembangunan

manusia yang kurang baik, misalnya Angka Kematian Ibu yang tinggi, harus diatasi dengan

memperbaiki kualitas layanan yang tersedia untuk masyarakat miskin. Hal ini lebih dari

sekedar persoalan yang bekaitan dengan pengeluaran pemerintah, karena berkaitan dengan

perbaikan sistem pertanggungjawaban, mekanisme penyediaan layanan, dan bahkan proses

kepemerintahan. Kedua, ciri keragaman antar daerah kebanyakan dicerminkan oleh

perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya

perbedaan dalam pencapaian indikator pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan

demikian, membuat layanan masyarakat bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci

dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks keragaman antar daerah.

Ketiga, membuat Pengeluaran Pemerintah Bermanfaat bagi Rakyat Miskin. Di

samping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran pengeluaran

untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka dalam menghadapi kemiskinan

(baik dari segi pendapatan maupun non-pendapatan). Pertama, pengeluaran pemerintah dapat

digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari segi pendapatan

melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan kemampuan mereka

sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Kedua, pengeluaran pemerintah dapat

digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator pembangunan manusia, sehingga dapat


(31)

masyarakat miskin sangat menentukan saat ini, terutama mengingat adanya peluang dari sisi

fiscal yang ada di Indonesia saat kini.

Usaha pemerintah dalam penanggulangan masalah kemiskinan sangatlah serius,

bahkan merupakan salah satu program prioritas, termasuk bagi pemerintah provinsi Jawa

Tengah. Upaya penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah dilaksanakan melalui lima pilar

yang disebut “Grand Strategy” . Pertama, perluasan kesempatan kerja, ditujukan untuk menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan

masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan dalam pemenuhan hak-hak dasar dan

peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan. Kedua, pemberdayaan masyarakat, dilakukan

untuk mempercepat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat dan

memperluas partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik

yang menjamin kehormatan, perlindungan, dan pemenuhan hakhak dasar. Ketiga,

peningkatan kapasitas, dilakukan untuk pengembangan kemampuan dasar dan kemampuan

berusaha masyarakat miskin agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan. Keempat,

perlindungan sosial, dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi

kelomnpok rentan dan masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan yang disebabkan

antara lain oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial. Kelima,

kemitraan regional, dilakukan untuk pengembangan dan menata ulang hubungan dan

kerjasama lokal, regional, nasional, dan internasional guna mendukung pelaksanaan ke empat

strategi diatas (Bappeda Jateng, 2007 ).

Secara umum program-program pengentasan kemiskinan dapat dikategorikan

menjadi dua kelompok besar (Bappenas, 2007). Kelompok pertama terdiri dari

program-program yang ditujukan hanya pada orang miskin. Jika program-program-program-program ini dilaksanakan

secara efektif, maka keluarga-keluarga miskin yang benar-benar akan menikmati hampir


(32)

akurat untuk memastikan bahwa penerima manfaat teridentifikasi dengan benar. Contoh

programnya adalah bantuan beras untuk rakyat miskin (RASKIN) (2007), BLT (2006),

Jaminan Kesehatan (Askeskin) (2006), PNPM Mandiri (2007), PKPS BBM (2005).

Kelompok kedua terdiri dari program-program yang ditujukan tidak hanya untuk

rakyat miskin tapi juga untuk masyarakat dari semua golongan pendapatan, tapi secara

proporsional akan memberi manfaat lebih bagi rakyat miskin. Contoh program ini adalah

pendanaan pelayanan kesehatan, penyediaan obat generik, dan pengurangan biaya sekolah,

BOS (2005). Pemberdayaan masyarakat juga dapat diwujudkan dengan menerapkan

prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat, yaitu (Karsidi, 2002):

(1) Belajar dari masyarakat;

(2) Pendamping sebagai fasilitator, masyarakat sebagai pelaku;

(3) Saling belajar, saling berbagi pengalaman

Terdapat tiga pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Pertama,

pendekatan yang terarah, artinya pemberdayaan masyarakat harus terarah yakni berpihak

kepada orang miskin. Kedua, pendekatan kelompok, artinya secara bersama-sama untuk

memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi. Ketiga, pendekatan pendampingan, artinya

selama proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat miskin perlu

didampingi oleh pendamping yang profesional sebagai fasilitator, komunikator, dan

dinamisator terhadap kelompok untuk mempercepat tercapainya kemandirian (Soegijoko,

1997). Selanjutnya arah baru strategi pembangunan diwujudkan dalam bentuk: (1) upaya

pemihakan kepada yang lemah dan pemberdayaan masyarakat, (2) pemantapan otonomi dan

desentralisasi, dan (3) modernisasi melalui penajaman arah perubahan struktur social

ekonomi masyarakat (Sumodiningrat, 1999) Menurut Kuncoro, (1997: 102–103). Mengemukakan bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi


(33)

1. Bagaimanakah mengukur standar hidup ?

2. Apa yang dimaksud dengan standar hidup minimum ?

3. Indikator sederhana yang bagaimanakah yang mampu mewakili masalahkemiskinan yang

begitu rumit?

Untuk memahami lebih jauh persoalan kemiskinan ada baiknyamemunculkan

beberapa kosakata standar dalam kajian kemiskinan (Friedmann,1992: 89) sebagai berikut :

1. Powerty line (garis kemiskinan). Yaitu tingkat konsumsi rumah tangga minimum yang dapat diterima secara sosial. Ia biasanya dihitung berdasarkan income yang dua pertiganya

digunakan untuk “keranjang pangan” yang dihitung oleh ahli statistik kesejahteraan sebagai persediaan kalori dan protein utama yang paling murah.

2. Absolute and relative poverty (kemiskinan absolut dan relatif). Kemiskinanabsolut adalah

kemiskinan yang jatuh dibawah standar konsumsi minimum dan karenanya tergantung pada

kebaikan (karitas/amal). Sedangkan relative adalah kemiskinan yang eksis di atas garis

kemiskinan absolut yang sering dianggap sebagai kesenjangan antara kelompok miskin dan

kelompok non miskin berdasarkan income relatif.

3. Deserving poor adalah kaum miskin yang mau peduli dengan harapan orang-orang non-miskin, bersih, bertanggungjawab, mau menerima pekerjaan apa saja demi memperoleh upah

yang ditawarkan.

4. Target population (populasi sasaran adalah kelompok orang tertentu yang dijadikan sebagai objek dan kebijakan serta program pemerintah.

Mereka dapat berupa rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak-anak, buruh tani

yang tak punya lahan, petani tradisional kecil, korban perang dan wabah, serta penghuni

ampung kumuh perkotaan.Friedmann juga merumuskan kemiskinan sebagai minimnya

kebutuhan dasar sebagaimana yang dirumuskan dalam konferensi ILO tahun 1976.


(34)

1. Kebutuhan minimum dari suatu keluarga akan konsumsi privat (pangan, sandang, papan

dan sebagainya).

2. Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan untuk komunitas pada

umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga listrik, angkutan umum, dan fasilitas kesehatan

dan pendidikan).

3. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka

4. Terpenuhinya tingkat absolut kebutuhan dasar dalam kerangka kerja yang lebih luas dari

hak-hak dasar manusia.

5. Penciptaan lapangan kerja (employment) baik sebagai alat maupun tujuan dari strategi

kebutuhan dasar. Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbedabeda.

Konduisi ini menunjukan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup.

Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang

dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan digunakan

patokan 2.100 kalori per hari. Adapun pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan

meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Selama periode

1976 sampai 1993, telah terjadi peningkatan batas garis kemiskinan, yang disesuaikan dengan

kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat. Batas garis kemiskinan ini

dibedakan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Garis kemiskinan lain yang paling dikenal

adalah garis kemiskinan Sajogyo, yang dalam studi selama bertahun-tahun menggunakan

suatu garis kemiskinan yang didasarkan atas harga beras. Sajogyo mendefinisikan batas

gariskemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras.

Dengan menerapkan garis kemiskinan ini kedalam data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi

Nasional) dari tahun 1976 sampai dengan 1987, akan diperoleh persentasi penduduk yang


(35)

multidimensional, dalam arti berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, politik dan

aspek lainnya (Sumodiningrat, 1989: 26).

Selanjutnya Kartasasmita (1997: 234) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan

masalah dalam pembangunan yang ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan, yang

kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam

kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal

jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi(Kartasasmita, 1997: 234).

Hal tersebut senada dengan yang dikatakan Friedmann yang mengatakan bahwa kemiskinan

sebagai akibat dari ketidak-samaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial

(Friedmann , 1992: 123).

Menurut Brendley (dalam Ala, 1981: 4) kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk

mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi

kebutuhan sosial yang terbatas. Hal ini diperkuat oleh Salim yang mengatakan bahwa

kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memperoleh kebutuhan

hidup yang pokok(Salim dalam Ala, 1981: 1). Sedangkan Lavitan mendefinisikan kemiskinan

sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu

standar hidup yang layak.

Dalam mengkaji pemberdayaan, sebagianbesar literatur mengakui pentingnya rumah

tangga sebagai sumber utama pemberdayaan. Rumah tangga disini dapat diartikan sebagai

sekelompok penduduk yang hidup dibawah satu atap, makan dari panci yang sama, dan

bersama-sama terlibat dalam proses pembuatan keputusan sehari-hari. Pada dasarnya, rumah

tangga merupakan suatu unit yang proaktif dan produktif. Sebagai unit dasar dari masyarakat

sipil, maingmasing rumah tangga membentuk pemerintahan dan ekonomi dalam bentuk


(36)

Menurut Friedmann(1992:32-33), rumah tangga menempatkan tiga macam kekuatan,

yaitu sosial, politik, dan psikologis. Kekuatan sosial menyangkut akses terhadap dasar-dasar

produksi tertentu suatu rumah tangga, misalnya informasi, pengetahuan dan ketrampilan.

Partisipasi dalam organisasi sosial, dan sumbersumber keuangan. Bila ekonomi rumah tangga

tersebut meningkatkan aksesnya pada dasar-dasar produksi diatas, maka kemampuannya

dalam menentukan dan mencapai tujuannya juga meningkat. Peningkatan akses rumah tangga

terhadap dasar-dasar kekayaan produktif mereka.

Pemahaman keluarga dibedakan menurut pendekatannya. Pendekatan struktural

fungsional memandang keluarga sebgai group kecil yang memiliki cirri tertentu(struktur dan

fungsi) untuk memelihara kelangsungan hidup (Soemardjan, 1986). Pendekatann antropologi

memandang keluarga memilikiarti yang berbeda sesuai adat istiadat setempat. Secara umum

memiliki ciri-ciri yang relatif sama, terbentuk dari ikatan perkawinan yang diakui

masyarakat, daerah dan adopsi sesuai dengan adat, merupakan unit orang yang berinteraksi,

diidentifikasi sebagai sistem penanaman kekerabatan (Geertz, 1985). Didalam wadah

keluarga, penting untuk melengkapi pembagian kerja dan fungsi(peranan) yang terorganisasi

berdasarkan status setiap anggota keluarga yang terdiri ayah, ibu, dan anak (Sumantri, 2000)

Penggunaan kata “empowerment” dan “to empower” diterjemahkan menjadi

pemberdayaan dan memberdayakan. Konsep empowerment (pemberdayaan) yang dirintis

oleh Friedmann (1992: 124) memunculkan adanya 2 (dua) premis mayor, yaitu “kegagalan

dan harapan” dalam memandang konsep konsep keneysian. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi terdahulu dalam menanggulangi

masalah kemiskinan dan menjamin kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan

harapan muncul karena adanya model-model pembangunan alternatif yang memasukkan

nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, persamaan antar generasi dan pertumbuhan


(37)

ukur dari hasil kerja ilmu sosial melainkan lebih merupakan cermin dari nilai nilai normatif

dan moral yang berkembang dalam lokalitas. Kegagalan dan harapan akan terasa sangat nyata

pada tingkat individu dan masyarakat. Pada tingkat yang lebih luas, yang dirasakan hanyalah

gejala dari kegagalan dan harapan. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat pada

hakekatnya adalah nilai kolektif dari pemberdayaan individu.

Sementara itu Blanchard (2001: 6) mendefisikan bahwa pemberdayaan sebagai upaya

untuk menguraiakan belenggu yang membelit masyarakat terutama yang berkaitan dengan

pengetahuan, pengalaman, motivasinya. “The real essence f empowerment comes from releasing the knowledge, experience, and motivarional power that is already in people but is

being severely underutilized” Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan

harkat dan martabat lapisan masyarakat di mana kondisi sekarang tidak mampu untuk

melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain,

memberdayakan adalah meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian

masyarakat. Konsep partisipasi yang aktif dan kreatif atau seperti yang dikemukakan oleh

Paul dalam Cohen sebagai berikut : “Participation refers to an active process whereby

beneficiaries influence the direction and excution of development projects rather than merely receive a share of project benefits”. Definisi di atas memandang keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil evaluasi

(Cohen & Uphoff, 1980: 215-223).

Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang

dihadapinya, serta berupaya untuk mencari jalan keluar yang dapat dipakai demi mengatasi

masalahnya. Partisipasi juga membantu masyarakat miskin untuk melihat realitas sosial

ekonomi dan proses desentralisasi yang dilakukan dengan memperkuat “Delivery system” (sistem distribusi) di tingkat bawah. Soetrisno (1995: 74) menyatakan bahwa ada dua definisi


(38)

pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana proyek pembangunan yang

dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi

masyarakat dalam definisi inipun disamakan dengan kemauan rakyat untuk ikut menanggung

biaya pembangunan baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan proyek

pembangunan pemerintah. Dipandang dari sudut sosiologis definisi ini tidak dapat dikatakan

sebagai partisipasi rakyat dalam pembangunan melainkan mobilisasi rakyat dalam

pembangunan. Definisi kedua partisipasi dalam pembangunan merupakan kerjasama yang

erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan

mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai.

Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur

dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan tetapi juga dengan ada

tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang dibangun diwilayah

mereka serta ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan hasil proyek

itu. Sementara itu para ahli yang berpendapat bahwa partisipasi dikonsepsikan secara baru

sebagai suatu insentif moral yang mengijinkan kaum miskin yang tidak berdaya untuk

merundingkan insentif-insentif material baru bagi diri mereka dan sebagai suatu terobosan

yang memperbolehkan masyarakat grassroot berhasil mendapatkan jalan menuju

bidang-bidang makro pembuatan keputusan. Dengan demikian, partisipasi merupakan aspek

terpenting dalam upaya memberdayakan masyarakat baik secara individu maupun kelompok.

Kemampuan masyarakat untuk “mewujudkan” dan “mempengaruhi” arah serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan power yang dimilikinya sehingga

pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya

aktif dan kreatif. “Participation is concerned with the distribution of power in society, for it

is power which enables groups to determine which needs, and whose needs will be met through the distribution of resources” (Curtis, et. Al., 1978: 1). Pemberdayaan merupakan


(39)

the missin ingredient (unsur tersembunyi) dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yang

aktif dan kreatif.

Secara sederhana, pemberdayaan mengacu pada kemampuan masyarakat untuk

mendapatkan dan memanfaatkan akses ke dan kontrol atas sumber-sumber hidup penting.

Upaya masyarakat miskin melibatkan diri dalam proses pembangunan melalui power yang

dimilikinya merupakan bagian dari pembangunan manusia (personal/human development).

Pembangunan manusia merupakan proses kemandirian (self-reliance), kesediaan bekerjasama

dan toleran terhadap sesamanya dengan manyadari potensi yang dimilikinya. Hal ini dapat

terwujud dengan menimba ilmu dan ketrampilan baru, serta aktif berpartisipasi dalam

pembangunan ekonomi, sosial, dan politik dalam komunitas mereka. Bagaimana

pemberdayaan masyarakat merupakan satu masalah sendiri yang berkaitan dengan hakekat

dari kekuasaan, serta hubungan antar individu atau lapisan-lapisan sosial yang lain.

Pada dasarnya setiap individu dilahirkan dengan kekuasaan. Hanya saja kadar dari

kekuasaan itu akan berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Kondisi ini

dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait (interlinking factors) antara lain seperti

pengetahuan, kemampuan, status, harta, kedudukan, dan jenis kelamin. Faktor-faktor yang

saling terkait itu pada akhirnya membuat hubungan antar individu dengan dikotomi subyek

(penguasa) dan obyek (yang dikuasai). Bentuk relasi sosial yang dicirikan dengan dikotomi

subyek dan obyek tersebut merupakan relasi yang ingin “diperbaiki” melalui proses pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan proses rekonstruksi hubungan antara subyek dan

obyek. Proses ini mensyaratkan adanya pengakuan subyek atas kemampuan atau power yang

dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya flow of power (transfer

kekuasaan) dari subyek ke obyek. Pemberian kekuasaan, kebebasan dan pengakuan dari

subyek ke obyek dengan memberinya kesempatan untuk meningkatkan hidupnya dengan


(40)

mewujudkan harapannya dengan pemberian pengakuan oleh subyek merupakan bukti bahwa

individu tersebut memiliki kekuasaan/daya.

Dengan kata lain, mengalirnya daya ini dapat terwujud suatu upaya aktualisasi diri

dari obyek untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai daya yang ada padanya serta

dibantu juga dengan daya yang dimiliki subyek. Dalam pengertian yang lebih luas, hasil akhir

dari proses pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi

subyek (yang baru), sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya akan ditandai dengan

relasi antar subyek (lama) dengan subyek (baru) yang lain. atau proses pemberdayaan adalah

mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi relasi subyek-subyek.

Dengan demikan, transfer kekuasaan ini merupakan faktor yang penting dalam

mewujudkan pemberdayaan. Terdapat dua perspektif atas dimensi power itu, yaitu perspektif

distributif yang menghambat pemberdayaan, dan perspektif generatif yang cenderung

mendukung pemberdayaan (Mas’oed, 1994: 100-101). Bila power ditinjau dalam perspektif

distributif, maka ia bersifat zero-sum dan sangat kompetitif. Kalau yang satu mempunyai

daya berarti yang lain tidak tidak punya. Kalau satu pihak memperoleh tambahan daya,

berarti pihak yang lain kehilangan. Dalam hubungan kekuasaan seperti ini, aktor yang

berperilaku rasional dianggap tidak mungkin bekerjasama karena hanya akan merugikan diri

sendiri. Kalau pemberdayaan si miskin dapat dilakukan dengan mengurangi kekuasaan si

pemegang kekuasaan, maka pasti si penguasa akan berusaha mencegah proses pemberdayaan

itu. Sebaliknya, yang berlaku pada sisi perspektif generatif bersifat positivesum. Artinya,

pemberian pada pihak lain dapat meningkatkan daya sendiri. Kalau daya suatu unit sosial

secara keseluruhan meningkat, semua anggotanya dapat menikmati bersama-sama. Dalam

kasus ini, pemberian daya kepada lapisan miskin secara tidak langsung juga akan

meningkatkan daya si pemberi, yaitu si penguasa. Dengan menggunakan kajian teori yang


(41)

suatu perubahan yangbersifat terencana karena input yang akan digunakan dalam perubahan

telah diantisipasi sejak dini sehingga out put yang akan dihasilkan mampu berdaya guna

secara optimal. Upaya pemberdayaan dapat juga dilakukan melalui 3 (tiga) jurusan

(Kartasasmita, 1995: 4) yaitu:

1. Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya

adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat

dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong,

memberikanmotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta

berupaya untuk mengembangkan.

2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering ). Dalam rangka ini

diperlukan langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan

(input), serta pembukaan akses ke berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi

makin berdaya dalam memanfaatkan peluang.

3. Memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah

yang lemah menjadi semakin lemah, dan menciptakan kebersamaan serta kemitraan antara

yang sudah maju dan yang belum maju/berkembang. Secara khusus perhatian harus diberikan

dengan keberpihakan melalui pembangunan ekonomi rakyat, yaitu ekonomi usaha kecil

termasuk koperasi, agar tidak makin tertinggal jauh, melainkan justru dapat memanfaatkan

momentum globalisasi bagi pertumbuhannya. Namun Friedmann juga mengingatkan bahwa

sangatlah tidak realistic apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur-struktur di luar

masyarakat madani diabaikan.

Oleh karena itu, menurut Friedmann pemberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas

ekonomi saja namun juga secara politis, sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki

posisi tawar menawar yang kompetitif, baik secara nasional maupun internasional. Paradigma


(42)

dengan cara member kesempatan pada kelompok orang miskin untuk merencanakan dan

kemudian melaksanakan program pembangunan yang mereka pilih sendiri, kelompok orang

miskin ini, juga diberi kesempatan untuk mengelola pembangunan, baik yang berasal dari

pemerintah maupun pihak luar (Soetrisno, 1995: 80). Peningkatan partisipasi masyarakat

dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri masyarakat sendiri merupakan

unsur yang sungguh penting dalam hal ini.

Dengan dasar pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat

kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengalamandemokrasi. Dalam konteks dan

alur pikir ini Friedmann (1992: 34) menyatakan : “The empowerment approach, which is

fundamental to alternative development, places the emphasis on autonomy in decesion making of territotially organized communities, local self-reliance (but not autarchy) democracy and experiental social learning”. Titik fokus dari pemberdayaan ini adalah lokalitas, karena civil society, menurut Friedmann lebih siap diberdayakan lewat isu-isu lokal.

Empowerment dapat berarti menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar

kepada si miskin. Hal senada diberikan oleh Paulo Freire (dalam Soetrisno, 1995: 27) yang

menyatakan bahwa empowerment bukanlah sekedar memberi kesempatan pada rakyat untuk

menggunakan sumber-sumber alam dan dana pembangunan saja, akan tetapi lebih dari itu,

empowerment merupakan upaya untuk mendorong masyarakat untuk mencari cara

menciptakan kebebasan dari struktur-struktur yang represif (bersifat menekan). Dengan kata

lain, empowerment berarti partisipasi masyarakat dalam politik. Rumusan lain tentang konsep

empowerment ini ditemui dalam pernyataan Schumacher yang kurang berbau politik dan

lebih menekankan pada halhal sebagai berikut : “Economic development can succed only if it

is carried forward as a broad popular „movement reconstruction‟ with the primary emphasis on the full utilization of the drive, enthusiasm, intelligence and labour power of every one”


(1)

bantuan tetapi karena status kekeluargaan yang bersangkutan karena tidak punya anak laki sehingga menjadi satu KK dengan kemenakanya kendatipun kondis nyata bahwa yang bersangkutan satu dapur dengan istrinya dan yang bersangkutan cacat pisik mengalami kebutaan sehingga tidak bisa menghasilkan. Temuan yang lainya pada dusun ini adanya program KUBE ( kelompok usaha bersama) dibidang peternakan sapi namun sapinya terpencar dan tidak adanya pengawasan yang menyebabkan kondisi peternakan kurang menguntungkan bagi kegiatan kelompoknya.

4.5.3. Hasil Wawancara dengan Pak Kepala Desa Tembuku

Hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Tembuku menunjukan bahwa program pengentasan kemiskinan sudah tepat sasaran, sehingga tidak meninbulkan komplik,dimana penetapan keluarga miskin didasarkan pada muswarah dusun.Hasil pantauan menunjukan bahwa di Dusun Penida kelod penetapan didasarka pada muswarah dusun sehingga masyarakat merasa puas dalam menerima bantuan kemiskinan. Program yang diluncurkan dari Pemerintah Provinsi Bali yaitu program Simantri 414 Garapan Serta Merta yang beranggotakan 22 orang dengan bantuan ternaknya 21 ekor, dilakukan pertanian integrasi sperti pemeliharaan lelle,kacang tanah.Hasil yang dinikmati hasil pupuk Rp 500.000 setiap bulanya,hasil penjualan lele Rp.600.000 perbulan serta menghasilkan gas untuk memenuhi para anggotanya, namun hasil dari wawancara para anggota kelompok ini campuran arti banyak diluar penduduk miskin.

4.5.4. Hasil Wawancara dengan Pak Kepala Desa Yangapi

Penetapan data miskin yang ada di wilayah desa Yangapi ditetapkan oleh BPS yang pendatanya dilakukan tahun 2013.Menurut kepala Dea bahwa kemiskinan yang terjadi diwilayahnya karena disesbkan oleh rendahnya pendidikan. Dari temuan yang ada di Dusun Yangapi bahwa rakin untuk pengentasan kemiskinan dalam kenyataanya dibagi oleh anggota masyarakat secara keseluruhan, kondisini menunujukan bahwa pengentasan kemiskinan kurang efektif.

4.5.5. Hasil Wawancara dengan Pak Kepala Desa Undisan

Program pengentasan kemiskinan di Dusun Undisan Kelod datanya didasarka pada data yang bersumber dari BPS, sehingga adanya komplin dari masyarakat


(2)

tanggung jawabanya bukan di Kepala Lingkungan. Untuk Program Simantri yang mencapai 2 kelompok langsung mendapatkan pengawasan dari pertanian.

4.5.6. Hasil Wawancara dengan Pak Kepala Desa Babngbang

Program pengentasan kemiskinan meliputi bedah rumah, raskin dan BLT,Kube serta Simantri. Pada awalnya di Desa Bangbang karena datanya tidak dilakukan perubahan menyebabkan adanya keributan kecil karena masyarakat yang mampu mendapatkan bantuan, tapi sekarang menetapan penduduk miskin itu sudah ditetapkan melalui musawarah lingkungan sehingga sasaran dari program ini tapat sasaran.

4.5.7. Hasil Wawancara dengan Pak Kepala Desa Peninjoan.

Pelaksanaan program pengentasan kemiskinan yang dilaksankan di Desa Peninjoan didasarkan pada data dari BPS.Program pengentasan kemiskinan yang ada di Desa Peninjoaan meliputi Raskin, bedah Rumah,Simantri Beasiswa juga awalnya ada BLT. Penetapan awalnya sasaran penduduk miskin ditetapkan oleh BPS, sehingga meninmulkan banyak yang komplin karana orang mampu mendapatkan bantuan sedangkan orang miskin tidak dapat bantuan.Sekarang sudah dilakukan pendataan baru atas dasar muswarah lingkungan namun datanya belum selesai divalidasi, sehingga harapan dari Kepala Desa danya bisa akurat untuk menekan kecemburuan masyarakat. Program Simantri yang bernama Kelompok Ternak Manik Bayu Kebon Kangin dengan Nomor 040 dengan jumlah ternak 20 ekor. Hasil yang sudah ada pada kelompok ini meliputi Biogas pupuk serta sudah adanya Koperasi, yang harapanya dari kelompok ini pemerintah bisa memberikan bantuan permodalan.

BAB V PENUTUP 5.1.Simpulan.

Dari hasil penelitian serta pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Program pengentasan kemiskinan yang dicanangkan oleh Kepala Derah Kabupaten Bangli yaitu GGS ( Gerbang Gita Shanti) yang dilaksanakan mulai tahu 2014 sebagai


(3)

penggantinya PNPM, disamping itu juga adanya program Menyama Anyar ( menjadikan keluarga ) untuk pejabat yang menduduki eselon di Kabupaten Bangli.

2. Program pengentasan kemiskinan di Pedesaan Jehem belum sepenuhnya tepat sasaran , karena adanya anggota masyarakat yang seharusnya menerima bantuan tetapi tidak dapat bantuan Temuan yang lainya pada dusun ini adanya program KUBE ( kelompok usaha bersama) dibidang peternakan sapi namun sapinya terpencar dan tidak adanya pengawasan yang menyebabkan kondisi peternakan kurang menguntungkan bagi kegiatan kelompoknya

3. Program pengentasan Kemiskinan akan tepat sasaran apabila dalam penentuan miskin tsb melalui musawarah dusun.

4.Masih adanya jatah raskin dibagi rata antara masyarakat tanpa melihat apakah yang bersangkutan masuk miskin atau tidak.

5.Program usaha kelompok bersama belum mampu meningkatkan usahanya dalam mendorong kemandirian masyarakat disebabkan masih minimnya pengawasan dari pemerintah.

5.2.Saran

Setelah peneliti melakukan analisis berdasarkan hasil temuan dilapangan maka dapat diajukan saran-saran sebagai berikut :

1. Dalam penetapan sasaran keluarga miskin sebaiknya menggunakan musawarah dusun sehingga datanya sangat akurat yang pada akhirnya akan mampu mewujudkan keadailan sehingga akan menghilangkan komplik dalam masarakat dalam pembagian berbagai program kemiskinan.

2. Diperlukan berbagai koodinasi antara level Pemerintahan dalam pelaksanaan proram pengentasan kemiskinan baik kepala Desa, Camat maupun SKP yang megerakan program pengentasan kemiskinan.

3. Setiap program pengentasan kemiskinan diperlukan pengawasan yang lebih terpadu sehingga program pengentasan kemiskinan akan bisa berjalan sesuai dengan perencanaan yang ada.


(4)

Daftar Pustaka

Bappenas. 2004. Strategi Nasional penanggulangan Kemiskinan Bab II. http://bappenas.go.id Bappenas, 1994. Kaji Tindak Desa TertinggalTahun Pertama Yogjakarta: Aditya Media. Bappenas. 2007. Penggunaan Hasil Evaluasi: Cara Meningkatkan Program-Program yang

Berpihak pada Rakyat Miskin.

Baswir, revrisond.2004. Drama Ekonomi Indonesia. Yogyakarta : Kreasi Wacana BKKBN, 2009. Profil Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2009, BKKBN, Jakarta

Chambers, R. (1983). Rur a l development: P utting the last first. UK: Longman-Harlow.

Friedman, John, 1992. Empowerment: Politics of Alternation Development, Massachusetts, Blackwell Publisher

Kartasamita, Ginandjar. 1996. PembangunanUntuk Rakyat; Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta. CIDES

Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta: LP3ES Meier,

Kuncoro Mudrajad. 1997. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah, dan Kebijakan, Edisi Ketiga, Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Kuncoro, Mudrajad, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah, Jakarta : Penerbit Erlangga, Jakarta

Kuncoro Mudrajad, (2006). Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan, UPP Akademi Manajemen Perusahaan YKPN Mubyarto, 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan, P3PK UGM Yogyakarta.

Mubyarto .1993, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan.Jakarta: LP3ES. Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: LP3ES

Mubyarto 2003'Penanggulangan Kemiskinan di Lrdonesia.' Jurnal Ekonomi Rakyaf Th.II No.2, April, 2003. Access via internet:


(5)

Mubyarto (2004) Ekonomi dan Kemiskinan. Access via internet httP: / / www.ekonomiPancasila. org'artikel 26.htm'

NASIKUN. 2001. Bahan Kuliah ; Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Soegijoko dan Kusbiantoro. 1997, Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Grasindo, Jakarta

Soetrisno, Loekman. 1995Memberdayakan Rakyat Dalam Pembangunan Indonesia

dalam Pembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan Rakyat (Anggito Abimanyu, dkk) (Yogyakarta: PAU-Se UGM bersama BPFE UGM,

Sumodiningrat, Gunawan, 1998, Membangun Perekonomian Rakyat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Sumodiningrat, Gunawan, 1999, Pemberdayaan Masyarakat Dan JPS, PT Gramedia, Jakarta

Sumodiningrat, Gunawan. 2003 Kebijakan P enanggulangan Kemiskinan Indonesia: Agenda Kini dan ke Depan

Sumardjan, Selo. 1993. Kemiskinan (Suatu Pandangan Sosiologis).Makalah, Jakarta. Sajogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa, Yayasan Obor Indonesia.

UNDP, 2005. ’ The Indonesia MDGsReport 2005. (http://undp.or.id/ pubs/imdg

World Bank, 1993, the East Asian Miracle:Economic Growth and Public Policy, Oxford: Oxford University Press


(6)